Lelaki Berbaju Biru Di Gerbong Tujuh Itu… (Sebuah Cerpen)

 

Lelaki Berbaju Biru Di Gerbong Tujuh Itu…

oleh Yulia Sutjahjono

(Courtesy Flickr)

Hari yang sangat melelahkan. Delapan jam menghabiskan waktu untuk duduk disebuah kursi empuk bukanlah barang mewah bagi kami, para kaum pekerja yang sangat gila pekerjaan. Sudah lebih dari tujuh tahun aku bekerja sebagai seorang pustakawan di sebuah pusat kebudayaan asing di Jakarta. Jarak rumah ke kantor sangatlah menguras tenaga. Rumahku terletak di kawasan Pondok Indah, sedangkan kantorku berada di sebuah kawasan perkantoran di Menteng, Jakarta Pusat.

Sudah tujuh tahun belakangan pula, aku menjadi warga Jakarta yang egois yang setiap harinya menggunakan kendaraan pribadi ketimbang kendaraan umum. Ya, aku mengendarai mobil SUV ku sendiri. Ya, mau bagaimana lagi, karena selain akses dari rumah ke kantor yang cukup sulit menggunakan transportasi umum, aku juga belakangan disibukkan dengan urusan luar kantor yang tak kalah jelimetnya dari kecametan ibukota. Maka mau tidak mau aku harus mengenderai mobil pribadi untuk mempermudah mobilitasku mondar-mandir keliling Jakarta demi menemui para klien.

Ini akhir pekan, jalanan sudah pasti macet. Pusing. Tapi mau bagaimana lagi. Kan ini resiko tidak menggunakan kendaraan umum. Dari Menteng, aku menuju rumah orang tuaku di Depok. Anak-anak sengaja aku titipkan ke rumah Papa-Mamaku karena sejak akhir pekan lalu mereka sudah libur akhir semester dan mereka sendiri yang meminta untuk berlibur di rumah Oma dan Opanya. Akhir pekan ini pun aku putuskan untuk menginap disana sekaligus melepas rinduku yang mendalam pada Renata dan Dias, kedua buah hatiku.

Sambil mendengarkan lagu di radio, aku sempat berhenti di sebuah pintu perlintasan rel kereta listrik di kawasan Sudirman. Ada dua kereta berbeda yang melintas. Sembari menunggu, entah mengapa aku malah terfokus pada gerbong-gerbong kereta itu, seakan teringat sebuah kenangan bersama seseorang. Saat aku masih sering pulang-pergi kerja naik kereta. Sebuah cinta kembali hadir di gerbong nomor tujuh.

###

Seperti biasa, aku menggunakan jasa angkutan umum yaitu kereta listrik. Untungnya, Jakarta tidak pernah tidur, jadi meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 23.30, masih ada kereta yang menangkut penumpang sampai tujuan akhir Bogor. Beruntungnya diriku karena ternyata kereta yang akan kunaiki ini adalah kereta terakhir menuju arah selatan. Entah mengapa aku lebih memilih duduk di gerbong terakhir, di gerbong 12, karena gerbong awal dan akhir merupakan gerbong khusus untuk wanita. Kaki dan badanku sudah berhasil masuk ke rangkaian kereta Jakarta Kota-Bogor ini dan aku siap diantar pulang oleh serangkaian besi berjalan tersebut.

Kereta ini cukup sepi, dan memang wajar saja karena kereta terakhir. Tapi entah mengapa, kaki ini ingin sekali melangkah menuju gerbong yang lebih depan. Padahal gerbong wanita ini sepertinya sama sepinya dengan gerbong-gerbong lainnya. Tapi karena setelah dipikir-pikir, stasiun tujuanku, Stasiun Depok Baru, memiliki pintu keluar di sisi tengah, maka akan lebih mudah kalau aku duduk di gerbong tengah saja agar tidak perlu berjalan terlalu jauh di peron stasiun nantinya. Seakan tidak ingin mengecewakan rasa penasaranku, kaki ini akhirnya mantap melangkah menuju gerbong didepannya.

Satu persatu aku melewati gerbong 11, 10, 9, dan seterusnya. Aku berniat duduk di gerbong 6 atau 5, tapi saat memasuki gerbong 7, langkahku terhenti saat melihat seorang laki-laki yang duduk sendirian mengenakan kaus kerah berwarna biru di sisi kanan sambil duduk mengangkat satu kakinya plus menunduk memainkan gadget-nya. Sepertinya aku mengenal sosok ini. Aku pun sedikit demi sedikit melangkah lebih maju menghampirinya. Lebih dekat lagi dan aku memperhatikan dirinya dari ujung kaki ke ujung kepala. Benar saja aku mengenal orang ini!

“Motta!”, seruku.

###

“Kakak udah lama suka sama kamu, Tan. Kamu mau nggak, jadi pacar kakak?”

Kalimat itu yang membuatku terhanyut. Kafe 3-in-One ini pasti akan menjadi saksi sejarah percintaanku dengan Motta, senior di kampus yang beda 3 angkatan denganku. Pertama kali aku mengenalnya ketika masa orientasi di kampus beberapa bulan yang lalu. Waktu itu ia menjadi kakak pendamping Mahasiswa baru, dan ia menjadi pendamping fakultasku, meskipun kami berbeda fakultas dimana aku Fakultas Sastra dan ia Fakultas Teknik, namun justru disitulah letak seninya berkenalan. Menurut pengakuan Motta, Ia dulu bahkan sampai rela harus bertanya kesana kemari demi mendapatkan nama Facebook dan nomor hape ku. Aku cukup salut dengan usahanya, perjuangannya patut dihargai. Dan itu sekilas tentangnya, dan saat ini aku sedang dihadapkan dengan kenyataan bahwa cinta itu memang sebenarnya ada.

“Jadi kamu mau nggak, jadi pacar aku? Jangan diem aja dong, aku jadi bingung nih”, tanya Motta.

“Hmm, gimana ya, Kak? Sebenernya, aku… Aku juga suka sama kakak. Ya deh, aku terima kakak. Hmm, tapi aku boleh tahu nggak kenapa kakak sukanya sama aku? Kan masih banyak cewek-cewek di kampus ini yang lebih oke dari aku. Kenapa harus aku?”, jawabku merendah diri.

“Kamu mau tahu banget ya? Gimana ya? Kamu tuh beda aja dari yang lain, Tan. Asyik, humoris, meskipun pemalu kalau pertama kali kenalan. Dan nggak kaku aja kayak yang lain. Apalagi di Fakultas aku. Kamu tahu sendiri lah. Hehehe”, jawab Motta.

“Oh ya? Masa sih?”, aku hanya bisa tersipu malu. Kupu-kupu di dalam perut itu sungguh menggelikan.

Kami berdua pun menikmati momen-momen itu. Kami mencoba saling mengenal lebih dalam dan kami mencoba untuk lebih saling perhatian. Aku tidak menyangka hal ini akan terjadi, karena aku sama sekali belum pernah merasakan hal seperti ini. Ini pertama kalinya dalam hidupku.

Selama berpacaran, hubungan kami disetujui banyak pihak, termasuk para sahabatku, Lisa, Wendy, dan Gerry. Pula kedua orang tuaku. Seakan restu-restu itu merupakan pertanda kalau Tuhan juga merestui hubunganku dengan Motta. Aku berharap, Motta adalah lelaki pertama dan terakhirku.

Hari demi hari kami lewati berdua. Kami lebih saling terbuka dan saling memberikan masukan. Motta adalah sosok yang sudah ku anggap sebagai kakak kandungku sendiri. Meskipun ia tergolong anak manja, tapi sikapnya sangat dewasa bahkan melebihi usianya yang kala itu masih 21 tahun. Aku benar-benar merasa nyaman berada didekatnya. Lalu kami saling terbuka soal cita-cita dan tujuan hidup kami. Aku banyak cerita ke Motta perihal impianku meneruskan kuliah ke Eropa. Ia sangat mendukung hal itu. Sedangkan ia ingin meneruskan kuliah hingga jenjang S3 sekaligus ingin membuat sebuah temuan ilmiah yang berkaitan dengan bidangnya, yaitu perminyakan.

###

Tak terasa sudah 6 bulan aku menjadi sosok yang selalu mengisi hatinya. Tak terasa juga akhirnya Motta dinyatakan lulus dan resmi menyandang gelar Sarjana Teknik. Sayangnya ada sebuah masalah yang menghampiri hubungan kami. Beruntungnya bukan soal perselingkuhan diantara kami. Satu hal yang cukup membuat kami saling bertengkar. Masalah ini sebenarnya tergolong masalah yang ringan, namun Motta yang menjadikannya lebih serius.

“Ya, mau gimana lagi dong. Aku udah terlanjur keterima kerja disana”, ungkap Motta bernada pasrah

“Manado kan masih di Indonesia, Sayang. Masa iya kamu mau jadiin ini sebagai masalah yang serius. Paling cuma berapa tahun, sih? Aku mau kok nunggu kamu”, jawabku ketus namun diakhiri nada lebih rendah untuk meluluhkan tensinya yang sedang panas.

“Kamu nggak tahu kan rasanya LDR? Aku udah pernah ngerasain itu dan itu nggak enak banget, Tania!”

“Oh, jadi cuma gara-gara LDR trus kamu mau mutusin aku? Gitu? Harusnya kamu jalanin dulu baru kamu tahu bedanya antara LDR sama aku dan sama mantan kamu itu. Aku sama dia kan beda. Jangan di sama-samain deh”

Pertengkaran di telepon itu tidak dapat dielakkan. Saking lelahnya bertengkar, aku langsung menutup teleponnya. Tapi tak berapa lama, ia mengirimku pesan tanda permintaan maaf. Motta juga menyarankan agar kita saling bertemu untuk menemukan solusi dari masalah ini.

Keesokannya, kami bertemu di kafe tempat kami biasa nongkrong setiap malam minggu yang tidak jauh dari kampus. Disitu semua masalah yang menjadi beban kami akhir-akhir ini diungkapkan dan dipecahkan satu persatu. Salah satunya soal LDR antara Jakarta-Manado itu. Setelah mendengar ungkapan Motta, aku jadi agak berempati. Ia berkata, ia tidak ingin lagi LDR seperti dulu saat dia masih bersama mantannya, Marion, yang harus meneruskan kuliah ke Jepang. Ia merasa LDR menjadi beban tersendiri bagi dirinya dan banyak kejadian tidak menyenangkan yang sering terjadi setiap harinya, seperti sering meributkan hal-hal kecil yang menjadi besar. Intinya hal itu benar-benar membuat Motta trauma.

Dengan jujur juga ia mengaku kalau ia memiliki prinsip bahwa masa pacaran adalah masa-masa dimana harus saling mengenal dan dekat betul dengan pasangan. Tidak hanya pasangan, tapi juga ke teman, sahabat, dan keluarga masing-masing. Sedangkan dari sisiku, aku tidak mempermasalahkan kalau memang harus menjalani pacaran ini dengan LDR. Karena bagiku, yang terpenting adalah komunikasi yang tidak pernah putus. Lagipula, LDR merupakan momen dimana kesetian kepada pasangan benar-benar diuji.

Beberapa detik aku dan Motta sempat saling diam. Namun akhirnya kami berdua membuat sebuah keputusan.

“Jadi? Kita putus nih?” tanyaku sangat pasrah.

“Ya, mau gimana lagi. Untuk sementara waktu aja selama aku disana. Tapi jangan khawatir, Tania akan selalu jadi adiknya Motta, dan aku akan tetep jadi abang kamu. Kamu bisa calling aku kapan aja kamu butuh aku”, ungkap Motta kulihat ada titik air mata yang menggenang dan akan jatuh ke pipinya yang putih itu.

Aku tahu aku sedih dengan hal ini, berpisah dengan lelaki seperti Motta tidak pernah ada dibayangan ku sebelumnya. Karena aku yakin sejak awal kalau kakak senior tampan keturunan Uzbekistan-Rusia ini merupakan pria yang tepat untukku yang sangat bisa menjadi pasangan seumur hidup bagi seseorang yang pemalu namun optimistik seperti diriku.

###

“Mottano Ahmad Heiglsyah, kan? Teknik Perminyakan 2008? Kok bisa disini?” tanyaku yang sudah berdiri di depan lelaki berbaju biru di gerbong tujuh itu.

“Tania? Iya ini aku, Motta. Aku baru aja pulang dari apartemen orang tuaku yang di Pluit. Kamu apa kabar? Kerja dimana sekarang? Kok balik dari Belanda nggak ngabarin aku sih?” jawab Motta panjang lebar namun terbata-bata. Tapi aku tahu dari gelagatnya sepertinya ia senang bertemu lagi denganku. Apalagi random di kereta seperti ini.

“Yaa, aku udah pulang empat bulan lalu dan langsung diterima kerja di pusat kebudayaan gitu di Menteng. Kamu apa kabar? Kamu mau kemana nih ceritanya?”

“Baik, Alhamdulillah, baik banget. Aku dari Pluit, nginep di apartemen Mama-Papa karena ada sepupu-sepupuku dari Rusia dateng liburan ke Indo. Dan mereka seminggu ke depan akan nginep di rumah Pamulang. Trus ini mau ke kantor yang di Tanjung Barat karena mau ambil motor yang aku titip disana. Trus, balik ke Pamulang deh buat nge-host sepupu-sepupu aku. Gitu deh kira-kira. Kalau kamu apa kabar? Kamu masih di Depok?”

“Baik juga. Aku masih di Depok kok. Berarti kamu kerja di kantor yang di Tanjung Barat itu? Wah, akhirnya cita-cita kamu beneran kesampean ya?”

“Ya, Alhamdulillah. Kamu juga, akhirnya kesampean juga kamu pergi ke Eropa. Mudah-mudahan nggak balik lagi, ya.”

“Wah, kok gitu doainnya. Pengennya balik lagi sih.”

“Di Indo aja lah, lebih enak. Kan ada aku?”

Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Motta pun demikian. Kami hanya terdiam setelahnya. Tidak ada suara lain selain suara laju kereta dan pengumuman masinis yang menggema ke seluruh penjuru gerbong tujuh ini.

Tak terasa sudah mau memasuki stasiun Tanjung Barat. Itu artinya kami akan berpisah karena stasiun ini merupakan stasiun tujuan Motta, sedangkan aku masih harus menunggu beberapa stasiun lagi. Untungnya kami sudah saling bertukar nomor Whatsapp dan Instagram. Aku berharap dari pertemuan tidak terduga ini, akan terjadi sesuatu yang tak kalah terduganya lainnya di masa datang. Entah mengapa aku memiliki firasat kalau malam ini bukanlah kejadian yang kebetulan yang lewat begitu saja. Namun malam ini menjadi awalan dari semuanya.

Sepanjang sisa perjalananku hingga stasiun tujuanku, aku hanya tersenyum sendirian. Kenangan dengannya pun terungkap kembali ke permukaan. Otakku seakan diselimuti semua kenangan manis dan pahit bersamanya.

Sampai dirumah, aku beristirahat sejenak. Setelah mandi dan keramas, aku sejenak membuka hapeku sambil mengeringkan rambutku yang masih basah. Ternyata ada pesan Whatsapp masuk, dan ternyata itu Motta! Berkat pertemuan random di kereta itu, aku dan Motta sepertinya akan kembali merajut kisah cinta yang sempat terhenti di tengah jalan. Sepertinya ada harapan untuk kami bisa sama-sama kembali lagi setelah bertahun-tahun tidak bertemu bahkan kami sempat lost contact. Semoga ini awalan yang baik untuk bisa mengisi lembaran hidupku yang baru bersama dengannya.

Tujuh tahun yang lalu, kami harus mengambil keputusan yang membuat kami harus terpisah dan perpisahan itu pun sebenarnya masih menyisakan beberapa gram perasaan yang tertinggal di hatiku. Beberapa bulan pertama, aku belum bisa melupakan Motta sepenuhnya. Karena selain kami masih suka saling telpon atau SMS, namun aku masih berharap penuh kalau ia bisa menjadi jodohku. Ia benar-benar sangat sempurna dimataku. Kebaikannya, ketulusannya, dan bijaksananya yang akan selalu tertanam indah di memoriku. Namun ternyata tak pernah kusangka kalau kami dipertemukan kembali seperti ini. Semoga ini benar-benar pertanda kalau kami memang benar dijodohkan oleh Tuhan.  

Hari demi hari dilalui, sampai tidak terasa, sudah dua bulan kami saling mengenal lagi dari nol. Kami saling bertukar informasi soal apa saja yang telah dilakukan tujuh tahun belakangan. Aku menceritakan pengalamanku menyelesaikan kuliah S1 ku hingga akhirnya aku bisa mendapat kesempatan kuliah S2 di Belanda. Begitupun dengan Motta, ia juga bercerita tentang pengalamannya bekerja di Manado, Maluku, dan Papua. Bahkan ia pernah mampir ke Makassar, Gorontalo, Palu, dan kota-kota lainnya.

Ada satu hal yang membuat pikiranku kalut bukan kepalang. Suatu malam minggu setelah tujuh bulan kami berbalikan, ia mengajakku makan malam di sebuah restoran fine dining di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Sepertinya ada yang tidak beres. Benar saja, Motta melakukan hal yang membuat perasaanku campur aduk seketika. Ini merupakan hal yang paling serius yang aku pernah temui dalam hidupku.

###

Tidak terasa, dua kereta listrik lewat dengan cepatnya. Tidak terasa pula aku terlelap dengan sebuah memori di masa lalu. Bahkan mobil belakang membunyikan klakson mereka agar aku terbangun dari jendela kenangan dan segera melajukan mobilku. Setelah melewati rel tersebut dan kembali melajukan mobilku, ada tersisa kenangan yang masih bisa menjadi sebuah nostalgia. Aku hanya bisa tersenyum dibuatnya.

Tidak berapa lama nada panggilan masuk ke iPhone-ku berdering. Bertuliskan “Mottano A. Heiglsyah”. Ya, walau aku tahu mengangkap telepon sambil menyetir itu tidak baik, tapi aku tidak punya alasan lain selain tidak sabar untuk menerima telpon ini. Ada suara laki-laki usia 40 awal yang masih sama teduhnya seperti puluhan tahun silam. Mendengarnya berkata “Aku tunggu, hati-hati di jalan”, sudah cukup menghilangkan kepenatanku akan kota Jakarta dan kemacetannya di akhir pekan. Setelah menutup telpon itu, aku kembali berada dalam nostalgia.

Kalau saja aku tidak berjalan ke depan dari gerbong 12 menuju gerbong 7, mungkin aku tidak akan bisa sebahagia seperti saat ini. Hidupku sangat sempurna. Didampingi dan mendampingi seorang suami juga memiliki dua buah hati yang selalu aku rindukan keberadaannya, membuatku menjadi wanita yang paling beruntung di daratan bumi ini.

Ya, lelaki berbaju biru di gerbong tujuh itu adalah Mottano, suamiku, cinta abadiku.


SELESAI

Comments

Popular posts from this blog

Kumpulan Cerita Bersambung : DOUBLE YU - SEASON 1 (karya Yulia Sutjahjono)

"Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan)" Part 2

Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan) Part 1