700 Hari Tanpa Gummy (Sebuah Cerpen)
700
Hari Tanpa Gummy
oleh
Yulia Sutjahjono
(Courtesy Pinterest) |
Seperti
biasanya, aku berpamitan dengan Papa dan Mamaku sebelum berangkat sekolah.
Setelah berpamitan, lajulah aku dengan sepeda biruku yang sudah sejak lama
menemaniku. Tidak lupa, headset dengan music jazz yang ku gemari, dan tidak
lupa permen karet. Hmm, memang sih sudah biasa orang mengunyah permen karet, tapi
kalau untuk gadis sepertiku lah benda pink itu menjadi luar biasa dimataku.
Kebiasaan
mengunyah permen karet ini ku lakukan sejak bangku SMP kelas 1. Entah mengapa,
setiap habis mengunyahnya, kinerja otakku menjadi berkali lipat. Pernah suatu
saat, ulangan harian Matematikaku mendapat nilai 85. Angka yang fantastis.
Mustahil sekali orang sepertiku bisa meraih angka sebesar itu. Yaa, memang sih,
ada juga yang mendapat lebih tinggi dariku, tapi pada kenyataannya, seorang
sepertiku dengan keterbatasan kemampuan, terutama kemampuan berhitungku yang
sangat lemah, itu patut dicurigai. Aku memang tidak mencontek, hanya saja,
soal-soal yang waktu itu aku kerjaan sangat sama dengan apa yang aku kerjaan di
soal latihan sebelumnya.
Sampai
suatu saat, ketika sedang asyik mengunduh lagu-lagu jazz terbaru, aku menemukan
artikel, bahwa apabila kita mengunyah permen karet minimal 5 menit sebelum
ujian dimulai, maka kerja otak kita akan bertambah dan konsentrasi kita lebih
tinggi. Percaya atau tidak, itulah kenyataannya. Toh, betul atau tidaknya
artikel itu, kalian sendiri yang seharusnya merasakannya. Hmm, memang sih,
tidak semua ujianku berjalan lancar hanya karena benda bewarna merah jambu
bernama permen karet. Itu bukan jaminan seratus persen, itu hanya untuk
membantu otak kita agar lebih konsentrasi lagi.
Saat
ini aku duduk dibangku kelas 3 SMA. Tak terasa Ujian Nasional sebentar lagi
akan berlangsung. Aku tidak hanya mengandalkan si gummy, hmmm, begitu aku
menyebut permen karet, tapi aku juga harus belajar lebih keras lagi, agar
nilai-nilaiku tidak terlalu buruk. Namun, sebuah petaka datang. Suatu pagi,
gigiku terasa sakit sekali. Padahal, setiap habis makan dan sebelum tidur aku
selalu menggosok gigi. Ada yang tidak beres pasti.
Akhirnya,
Mamaku mengantarkan ku ke Dokter gigi dekat rumah. Kata Dokter yang bernama
Hanna itu mengatakan bahwa, gigiku mengalami krisis karies gigi yang cukup
memprihatinkan. Memang gigi yang berlubang belum parah, tapi karies gigi atau
yang biasa disebut sisa makan yang menempel pada sela-sela gigi itu sepertinya
sudah harus ditangani lebih lanjut. Dan
juga struktur gigiku lama-kelamaan kalau dibiarkan akan menjadi tidak rata, dan
sekarang saja susunan gigi bawahku memang sudah tidak rata.
“Trus,
aku harus gimana dong, Dok?” tanya ku sedikit ketakutan. Karena aku tidak mau
salah satu gigiku dicabut.
“Hmmm,
kayaknya kamu harus di behel deh. Di kawat, biar rapih”, kata Dokter Hanna
dengan jawaban yang sangat santai.
“Hah?
Di behel? Kan sakit, Dok? Nanti aku gak bisa makan enak dong?” tanya ku lagi
tambah ketakutan.
“Siapa
bilang? Emang sakit, tapi diawal doang kok, nanti juga lama-lama terbiasa”,
jawab dokter mencoba menenangkanku.
Alhasil,
aku pun bulan depan harus segera di behel dan dibersihkan karies gigi yang
bermasalah tadi. Mamaku yang sangat santai menanggapinya, malah memarahi.
Katanya ini pasti ulahku tiap pagi mengunyah permen karet. Lebih parahnya sih setiap
hari aku mengunyah permen karet itu. Hmm, ya mau bagaimana lagi, ini sudah
menjadi jalan takdirku. Aku dan si gummy akan berpisah untuk sementara.
Bulan
berikutnya aku datang lagi ke dokter Hanna. Aku siap di pasang kawat gigi.
Semoga setelah ini gigiku menjadi rapih dan bersih lagi. Proses pemasangan
behel ternyata rumit juga. Butuh waktu sekitar 2 jam untuk membersihkan
sekaligus memasangnya. Selama dua jam itu pula aku harus membuka mulutku
lebar-lebar dengan penyangga khusus bewarna putih bening yang disanggahkan ke
kedua sisi mulutku, agar si dokter bisa memasangnya dengan mudah.
Dua
jam akhirnya usai. Nah, belum selesai penderitaanku. Aku harus puasa makan
selama minimal 4 jam agar lemnya merekat dengan sempurna. Ketika semua selesai,
aku pun pulang ke rumah dengan oleh-oleh behel baru dengan karet bracket
bewarna pink, warna kesukaanku. Lalu, tiga jam kemudian, aku merasa lapar,
karena dari siang aku belum makan. Lalu, kulihatnya tiga buah pisang bakar
berjejer dengan sexy-nya di atas piring.
“Wah,
pisang bakar. Ada kejunya juga lagi. Aku makan satu ah!” lahapku terhadap para
barisan pisang bakar itu. Karena kenakalanku itulah, aku mendapatkan buah
karmanya sendiri. satu behelku lepas, bahkan tertelan! “Haduh, bagaimana ini!
Baru pasang masa udah copot aja. Mama!...”
Bukannya
diberi pertolongan, aku malah dimarah-marahi Mama. “Makanya kalau dibilang
belum boleh makan tuh, jangan makan dulu. Kamu sih bandel. Mama jadi harus
nganterin kamu ke dokter Hanna lagi deh”.
“Ya
deh, Ma, maaf. Kan aku emang belom makan dari siang”, gerutuku kepada Mama.
Semua
kejadian naas itu telah kulalui dengan lancar. Akhirnya dokter membenahi
behelku yang copot dan lain sebagainya. Dan pesan dokter yang sangat menusuk
hatiku yang selalu ia katakan setiap kali aku kontrol setiap bulan, yakni “Sasha,
pokoknya kamu jangan pernah sesekali menyentuh permen karet sebelum kamu lepas
behel! Kalau kamu ketahuan ngunyah permen karet diam-diam, nanti dokter gak mau
jadi dokter kamu lagi loh!”. Ancaman itu sangat membunuhku.
Sampai
suatu hari, aku pergi ke minimarket untuk berbelanja bahan-bahan kue untuk
dibuat Mama besok pagi. Ketika mengantre menunggu giliran di kasir, aku melihat
jejeran bungkus permen karet yang sangat rapih dan seakan mereka semua
menggodaku untuk membeli semuanya lalu memakannya. Ah, tapi aku buru-buru ingat
pesan dokter, bahwa setidaknya 700 hari mendatang aku haram menyentuh barang
imut itu. Demi tercapainya sebuah gigi yang rapih, aku rela melepas gummy untuk
sementara waktu.
Hari
demi hari ku lalui dengan si behel. Sepertinya aku semakin terbiasa hidup
berdampingan dengannya. Meskipun masih saja aku iri dengan gummy yang biasa
kulihat di minimarket. Ironis sekali. Sampai pada satu titik jenuh aku bersama
behel. Ketika baru saja check up ke dokter, seperti biasanya setiap bulan aku mengganti
karetku agar pergerakan giginya semakin rapih. Sesaat setelah mengganti karet
si behel, gigiku terasa sangat ngilu dan sakit. Rasanya aku tidak ingin makan
saja seminggu kedepan. Benar-benar menjengkelkan. Sakit luar biasa.
Rasa
sakit itu selalu aku rasakan setiap kali aku check ke dokter. Kalau saja aku
tidak seceroboh itu, mungkin aku tidak pernah hidup berdampingan dengan si
behel ini. Ya, penyesalan selalu datang terlambat. Satu-satunya hal yang bisa
kulakukan adalah menikmatinya saja, meskipun sesulit apapun dan sesakit apapun.
Sudah
hari ke 650 aku bersama si behel. Sepertinya aku semakin terbiasa tapi tetap
saja aku rindu gummy dan rasanya aku ingin cepat-cepat meninggalkan segala
bentuk perlengkapan yang harus digunakan dengan si behel, seperti obat kumur
dan sikat gigi khusus. Tapi kenyataan berkata lain. Pemasangan kawat gigi yang
awalnya dijadwalkan hanya 730 hari atau sekitar 2 tahun lamanya, ternyata harus
diundur menjadi 3 bulan lagi. Ini kabar yang sangat buruk. Padahal aku sudah
siap kembali menyapa para gummy merah jambu itu setidaknya 3 bulan mendatang,
tapi karena dokter mengatakan bahwa gigi ku belum sepenuhnya rapih, maka mau
tidak mau aku harus menuruti dokter itu.
Akhirnya,
3 bulan semenjak kabar buruk itu, aku kembali menemui dokter gigiku. Akhirnya
setelah bergulat, berjungkir balik ria dengan si behel selama kurang lebih 2
tahun belakangan, aku bisa melepasnya sekarang. Rasanya senang sekali. Akhirnya
aku tidak harus mondar mandir ke dokter gigi lagi ataupun rutin membeli obat
kumur khusus lagi. Dan kabar baiknya, sekarang aku boleh makan permen karet
lagi. Wah, akhirnya si gummy di minimarket deket rumah telah menantiku sejak
lama. Malamnya, aku buru-buru membeli permen karet kesukaanku
sebanyak-banyaknya. Dan di rumah, aku langsung mengunyahnya buru-buru. Mungkin
saking senang dan rindunya kepada si gummy, rasanya aku mengunyahnya dengan
nikmat. Ya, meskipun awalnya aneh, yang biasanya aku makan dengan benda di
gigiku, dan sekarang aku sudah tidak bertemu dia lagi.
Semakin
hari semakin lega rasanya, karena akhirnya aku bisa berjalan kemanapun dengan
si gummy yang ku kunyah setiap saat. Tapi kecuali mengunyah gummy di dalam
kelas. Bisa-bisa aku dikeluarkan dari kelas karena tidak sopan mengunyah permen
karet ketika jam pelajaran berlangsung.
Sampai
pada suatu waktu, ketika hujan turun, dan aku menunggu hujan reda di balkon
sekolah, aku melihat salah satu adik kelasku yang baru saja berjalan
melewatiku. Ia sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya. Dan adik kelas itu
mengenakan behel di giginya. Melihat behel, aku jadi ingat si kawat gigi yang
telah menemaniku selama lebih dari 2 tahun. Entah mengapa, aku merindukannya.
Aku rindu di saat-saat kerepotan ketika sehabis makan karena aku harus siap
sedia tusuk gigi kapanpun dan dimanapun aku berada. Rasanya kesulitan itu
membuat ku banyak belajar. Seharusnya aku tidak memasang behel kalau saja aku
menuruti kata orang tuaku agar aku selalu menggosok gigi setelah makan dan
sebelum tidur. Dan seharusnya aku tidak terlalu banyak makan permen karet.
Ya,
penyesalan memang selalu datang terlambat. Mereka tidak pernah mengetuk pintumu
terlebih dulu. Tapi ya sudahlah, itu semua sudah berlalu. Meskipun aku rindu
masa-masa dengan si behel, tapi sekarang aku sudah bisa berdampingan lagi
dengan si gummy. Dan 700 hari tanpa si gummy cukup membuatku kerepotan. Semoga
tidak ada lagi 700 hari lainnya dalam hidupku.
Comments
Post a Comment