Kumpulan Cerita Bersambung : DOUBLE YU - SEASON 1 (karya Yulia Sutjahjono)
Double Yu
oleh Yulia Sutjahjono
Yureka. New York. Masa Depan.
Bulan
Juli. Musim panas 2018.
Pukul 16.54 / 4.54 PM EDT.
Bulan
ini, tepat 1 tahun aku tinggal di New York. Ya, aku ingat sekali bagaimana New
York menyambutku kala pertama aku menapakkan kaki di Bandara John F. Kennedy;
PANAS! Kala itu aku ingat betul kalau temperaturnya sampai 31 derajat. Ya,
sebenarnya sama saja dengan Jakarta, kota
di mana aku dilahirkan, hanya saja bedanya matahari
Jakarta tidak semenyengat New York. Entah mengapa. Silau sekali. Apalagi di musim panas. Ya, matahari
hanya ada satu dan harusnya rasanya sama saja, tapi entah mengapa matahari New York
sempat membuat kulit ku pecah-pecah dan terlihat lebih kusam. Tapi tidak apa
lah, toh aku sudah cinta mati dengan kota ini sejak aku berusia 5 tahun. Sehingga permasalahan soal silaunya matahari musim panas tidak cukup dewasa untuk
dikeluhkan.
Hari
ini hari Sabtu. Kebetulan, aku ingin santai dari rutinitas kampus. Selama musim
panas, kegiatan di kampus memang berkurang karena semua orang menikmati hak libur
musim panas mereka untuk pergi kemanapun mereka mau. Tapi tidak denganku,
khususnya tahun ini, karena aku sudah masuk semester akhir jadi sudah waktunya harus
mondar-mandir sana-sini untuk menyiapkan topik tugas akhirku. Berhubung
minggu ini sudah banyak waktuku habiskan dengan menemui profesor di kampus dan
juga di luar kampus, jadi tidak salah kan kalau aku mendapatkan 5 menit saja
untuk bersantai?
Tapi
tunggu, sepertinya aku melupakan sesuatu. Sepertinya aku punya satu agenda
penting hari ini.
Baru
saja ingin memikirkan kejadian penting apa yang akan terjadi hari ini, sebuah
nada notifikasi pertanda pesan WhatsApp
masuk pun berbunyi. Tidak hanya satu kali, tapi sampai lima kali berbunyi. Hmm, berarti ini penting.
Ketika
ku buka WhatsApp, ternyata itu dari
grup “Batik
Day 2018 Team”.
Pesan mereka berbunyi:
Arianna: “Kawan-kawan jangan lupa nanti jam 6 sore kumpul. Yang punya makanan
jangan lupa dibawa. Paham kan lo semua?”
Empat
pesan lainnya berbunyi
Fikri : “Tempatnya dimana guys? Gue lupa”
Farida: “Ya ampun kan udah dikasih tahu fik, di apartemennya Kak Anna. Gimana sih?”
Fikri : “Lah katanya mau di McDonald’s aja biar sekalian makan-makan? Bosen guys
di rumah mulu rapatnya”
Eugene : “Tanggal tua. Di rumah aja Kak Anna aja udah bener lah”
Arianna : “Lu
apa sih yang gak tanggal tua, jin? Ini masih tanggal 15 woiii”
Eugene : “Oh iya ya? Yaa kan hemat kak”
Terkadang aku ingin
tertawa sendiri melihat tingkah laku mereka kalau sudah melempar candaan di
grup WhatsApp. Ada-ada saja yang
dibahas, mulai dari yang sangat serius, sangat penting, bahkan yang tidak
penting sekalipun, semua kami bahas. Bagaimanapun aku merasa nyaman dan
bersyukur masih berada ditengah-tengah keseruan mereka. Maklum lah, sebagai
imigran dari negeri jauh, aku juga butuh lelucon segar yang dibuat langsung
dari bahasa ibu yang sudah ku kenal sejak masih dalam perut ibu.
Jadi
begini, sebenarnya aku dan teman-teman grup tersebut merupakan panitia acara “Batik Day 2018” yang
mewakili mahasiswa-mahasiswi PERMIAS New York City. Ide membuat acara ini sebenarnya
berasal dari salah satu pegawai Konsulat
Jenderal Republik Indonesia New York, Ibu Mirna,
yang ingin mengadakan kegiatan apapun yang berhubungan dengan Hari Batik
Nasional juga Internasional yang jatuh pada
tanggal 2 Oktober mendatang.
Sebenarnya sudah pernah ada acara sejenisnya di
tahun-tahun sebelumnya, hanya saja dahulu dibuat terlalu sederhana dan target
penonton dari kalangan warga sipil pun tidak terpenuhi. Terlebih panitianya dari pengurus PERMIAS itu sendiri. Dan di tahun-tahun sebelumnya juga jadwalnya selalu bentrok dengan acara mereka
lainnya seperti Hari Sumpah Pemuda dan agenda tahunan yang lainnya. Maka
dari itu, Ibu Mirna dan pegawai pegawai KJRI lainnya berinisiatif untuk merekrut
mahasiswa Indonesia
untuk mengatur acara ini. Akhirnya, terpilihlah delapan mahasiswa tanpa dosa
yang tergabung dalam sebuah tim panitia
untuk acara seminar tertutup dan pameran busana terbuka yang semuanya acaranya berhubungan dengan
batik. Target penonton pun akan
ditingkatkan dan jangkauannya lebih luas lagi, di mana warga lokal diperbolehkan
untuk berpartisipasi dalam acara ini.
Lalu PERMIAS NYC itu apa? Dari tadi
aku sebutkan tapi tidak dijelaskan apa
kepanjangannya.
Jadi begini, PERMIAS NYC itu merupakan kependekkan
dari “Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat” cabang New York City.
Kami adalah komunitas mahasiswa-mahasiswi asal Indonesia yang sedang mengenyam
pendidikan, baik Sarjana, Magister, ataupun Doktoral di Amerika Serikat. Memang
tidak semua mahasiswa Indonesia bergabung menjadi pengurus komunitas ini, tapi
ku pikir semua mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat otomatis menjadi
anggotanya. Termasuk diriku dan tujuh
teman ku lainnya tersebut. Salah satu dari kami adalah pengurus inti PERMIAS
NYC, namun sisanya hanya anggota.
Bagiku, tetap terhubung dengan orang-orang Indonesia
di luar negeri adalah hal yang paling utama. Alasannya?
Sederhana saja. Aku hanya tidak ingin melupakan bahasa ibuku, Bahasa Indonesia.
Aku pun tidak ingin lupa siapa identitasku atau darimana aku berasal. Maka dari itu, berkumpul dengan orang-orang Indonesia adalah upayaku agar terus bisa
ingat siapa diriku, apa warna kulitku, apa warna asli rambut dari negaraku, dan apa warna bendera negaraku. Agar setelah ‘berperang di
medan perang’ usai alias setelah lulus kuliah nanti, aku tetap ingat rumah dan kembali ke tanah air. Atau sekalipun aku akan berkelana kembali, dimanapun aku berada, aku tidak akan melupakan tanah air tercinta, Indonesia.
Selama
menjadi anggota PERMIAS satu tahun belakangan ini, aku seperti tidak berada di
New York. Ya, tentu karena hampir setiap akhir pekan aku bertemu dan berdiskusi
banyak dengan teman-teman mahasiswa Indonesia lainnya. Ada banyak pula
acara-acara yang diadakan PERMIAS yang berkolaborasi dengan KJRI. Seperti
seminar, buka puasa bersama saat bulan Ramadhan, bahkan hanya sekadar diskusi
sederhana atau makan malam bersama. Rasanya benar-benar lupa kalau aku sedang
berada di New York.
Oh
ya, aku sampai lupa memberi tahu siapa
diriku.
Jadi,
nama lengkapku Yureka Bhanuresmi Cendekia. Sapa saja aku Yureka, atau
singkatnya Rere juga boleh. Tapi sebenarnya aku lebih suka dipanggil Yureka
sih. Sedangkan di rumah aku dipanggil Kia oleh semua anggota
keluargaku. Tapi di kampus orang-orang selalu memanggilku dengan sebutan “Yure”
atau kadang-kadang “Yur Sayur” sebagai bahan bercanda teman-teman Indonesia ku
selama di New York. Ya, baiklah aku tidak akan meneruskan soal namaku atau akan
menjelaskan arti dari namaku. Aku yakin itu akan menghabiskan waktu saja. Mungkin
di lain waktu.
Saat
ini aku tercatat sebagai mahasiswi sekolah
Pascasarjana Tisch School of Art untuk jurusan penulisan drama di New York
University. Ini merupakan tahun keduaku tinggal di New York sekaligus tahun ajaran terakhir mengenyam
pendidikan S2 di NYU. Senang sekali akhirnya aku sudah memasuki tahap tugas
akhir, tapi pastinya ada banyak hal yang akan sangat aku rindukan dari kota
terbesar di dunia ini, mulai dari mahalnya biaya sewa apartemen, sulitnya
mencari orang yang mau berbagi uang sewa apartemen, bertemu banyak imigran dari
berbagai macam ras dan budaya, bahkan hanya
sekadar mengantre makan es krim di pinggiran
jalan dekat Times Square.
Kembali
soal grup WhatsApp, ternyata benar,
aku hampir lupa kalau malam ini akan ada agenda rapat yang ketiga untuk
membahas perkembangan susuan acara yang
akan berlangsung selama sepekan pertama di bulan Oktober mendatang.
Jadi,
siapa penggagas acara ini?
Hmm,
pasti bukan aku. Memangnya aku siapa?
Jadi sebenarnya KJRI New York, khususnya Ibu Mirna yang sudah aku sebutkan tadi,
beliau lah yang menggagas
acara ini. Tahun-tahun
sebelumnya, Hari Batik Nasional tidak dirayakan secara besar atau khusus. Kami,
para mahasiswa, para pegawai dan juga diaspora Indonesia hanya diwajibkan
menggunakan pakaian batik saja. Di tahun-tahun sebelumnya juga, ketika KJRI
akan mengadakan acara bertema batik, selalu bersamaan dengan persiapan acara
besar lain seperti peringatan HUT RI, Hari Sumpah Pemuda, dan Hari Pahlawan.
Jadi, pihak KJRI ingin agar
acara peringatan Hari Batik itu,
tidak hanya sekadar hari peringatan
biasa, melainkan lebih bagus dan menarik lagi terutama untuk menarik warga lokal.
Maka dengan perekrutan kami berdelapan yang juga
bergabung dengan beberapa panitia dari pihak KJRI lainnya,
berharap acara yang akan mengadakan peragaan
busana batik terbuka dan juga
perlombaan itu akan banyak
mengundang perhatian banyak diaspora dan juga warga lokal untuk ikut
berpartisipasi.
Total panitia untuk acara ini sekitar 27 orang dari
pihak KJRI, dan 8 lainnya dari mahasiswa Indonesia, diantaranya adalah Kak
Arianna (atau sapa saja Kak Anna), Farida, Fikri, Gilang, Dhimas, Chandra, Eugene (terkadang ia dipanggil dengan ejaan ‘Yujin’),
dan termasuk aku sendiri. Grup WhatsApp
seperti yang ku sebutkan sebelumnya pun sudah tergabung sejak 1 bulan terakhir.
Rapat perdana dan kedua pun sudah diadakan tiap akhir pekan pada akhir bulan
lalu. Namun sayangnya, aku tidak ikut serta dalam dua
rapat perdana
tersebut karena harus menemui profesor yang lebih suka ditemui di Teater
Broadway dan Radio City Hall. Maka, rapat internal ketiga ini aku tidak boleh
ketinggalan.
Setelah
ingat apa yang harus ku lakukan malam ini, aku bergegas ganti pakaian dan
siap-siap menuju apartemen Kak Anna yang sebenarnya
jaraknya
cukup jauh dari apartemenku. Sekiranya dibutuhkan waktu 20 menit naik subway
dan 10 menit berjalan kaki.
Dalam
perjalanan menuju apartemen Kak Anna naik kereta bawah tanah, kebiasaan burukku
muncul, membayangkan hal-hal yang tidak penting. Parahnya aku menamai hal
tersebut dengan istilah IMAJINASI. Mulai dari membayangkan aku akan menjadi
Sekjen PBB, menjadi salah satu orang paling berpengaruh versi Majalah Times,
bekerja sama dalam garapan produksi film bersama Stephen Spielberg, atau
berteman akrab dengan Sarah Jessica Parker. Rasanya memang aneh. Aku bahkan tidak
tahu apakah itu kebiasaan buruk atau malah sebaliknya. Lebih parah lagi kalau
aku mulai terbawa arus perasaan, seperti menginginkan kekasih hati, saat itu
pula aku merasa bumi ini seperti ada di jaman batu, merasa sendirian dan
kesepian.
Duh,
kenapa harus membahas yang satu itu?
Baiklah,
ku akui, aku tidak pernah berpacaran sebelumnya. Payah.
Kalau
teman dekat semacam gebetan misalnya?
Ya,
sejak SMP aku cukup sering gonta-ganti gebetan. Kalau bisa ku hitung, mungkin sekitar
27 kali aku suka dengan teman laki-laki
yang berbeda-beda. Bukan karena aku yang pemilih atau tidak cocok dengan
mereka, hanya saja mereka semua yang tidak ingin didekati olehku. Kenapa
semenyedihkan ini? Entahlah. Tapi
entah mengapa pada saat aku suka dengan 27 laki-laki tersebut,
ada-ada saja kejadiannya, seperti ada
yang sudah punya pacar lah, ada yang suka dengan teman sebangkuku lah, ada yang
seperti banci lah, ada yang sok jual mahal lah, malah ada yang kepedean ketika ku dekati padahal aku hanya ingin melihat
catatan pelajaran Sejarahnya saja. Pokoknya banyak alasan
mengapa dulu aku tidak bisa lebih jauh daripada seorang penggemar rahasia.
Bagaimana
kalau kencan? Untungnya aku pernah satu kali kencan dengan seorang lelaki.
Berarti aku normal kan?
Tapi
kapan ya itu? Hmm, sepertinya 5 tahun lalu.
Astaga sudah 5 tahun rupanya.
Siapa
dia ya? Kenapa aku lupa?
Oh
ya, lelaki berkewarganegaraan Malaysia keturunan Tionghoa itu. Namanya Adam
yang kalau tidak salah nama belakangnya Wang. Ya, Adam Wang, lelaki ganteng
berparas oriental berkacamata itu adalah ketua panitia program pertukaran
pelajar di KDU College University, Penang,
Malaysia.
Saat
itu aku terpilih menjadi salah satu dari 5 orang tim Indonesia yang dikirim
kampus almamaterku, Universitas Paramadina, ke Penang Malaysia untuk mengikuti
pertukaran mahasiswa jurusan Komunikasi selama satu bulan.
Kala
itu adalah kali pertamanya aku ke luar negeri. Aku masih ingat betul betapa
kampungannya diriku saat pertama naik pesawat. Benar-benar mengerikan berada di
dalam pesawat. Kalau saja tidak ada pramugara yang tampan yang menawarkanku
segelas jus jeruk sesaat setelah turbulensi hebat selama 7 menit kala itu, aku
pasti tidak akan mau lagi terbang naik pesawat.
Sesampainya
di Penang, Malaysia, semua begitu menarik. Acara pertukaran pelajar pun
berjalan dengan lancar. Tapi tidak denganku di akhir pekan pertama di asrama.
Aku terjangkit flu berat. Mungkin penyesuaian udara. Padahal kalau
dipikir-pikir Indonesia-Malaysia kan tidak beda jauh. Tampak sama-sama di
bagian Asia Tenggara dan dekat dengan garis khatulistiwa dimana udara agak
sedikit panas dari negara-negara tetangga kami. Tapi memang tidak bisa dibohongi, flu berat makin
parah. Bisa jadi karena kelelahan selama
minggu pertama itu. Alhasil, akhir pekan saat itu aku
gunakan untuk istirahat di kamar asrama sedangkan yang lain menikmati liburan
gratis keliling pulau Penang, terutama
jalan-jalan menikmati ibukotanya, George Town, selama seharian penuh. Sial.
Malam
harinya tiba. Sudah pukul 19.00 waktu setempat, tapi teman-temanku belum juga
kembali ke asrama. Aku agak bosan. Makan sudah, minum sudah, menelan pil pahit hidup, hmm maksudnya pil pereda flu
dan demam juga sudah, nonton TV kabel pun sampai bingung mau nonton
acara mana lagi. Hingga tak berapa lama ku dengar seseorang mengetuk pintu
kamar sebanyak tiga kali. Ini pasti Diana, Arumi, Ghina, dan Tommy. Dengan
kondisi tubuh masih lemas, ku bukakan pintu itu.
Ternyata
tidak. Ku lihat sosok pria tinggi 175cm, mengenakan kemeja hitam, berkacamata Emporio Armani,
celana jeans biru, dan juga jas almamater
berlogo KDU College, sudah berdiri dengan tampannya di
depan pintu. Ya, itu Adam Wang! Astaga
keren
sekali dia!
Jujur
saja, sejak awal aku melihat Adam, aku terbawa arus imajinasi luar biasa yang
membuatku berpikir kalau aku
bisa memiliki hubungan romantis dengan seseorang yang tampan seperti dirinya.
Ya, untungnya itu hanya imajinasiku saja.
Yang
ku tahu, saat itu, Adam adalah mahasiswa semester 5 yang berkebangsaan Malaysia
keturunan Tionghoa yang tahun ini menjabat sebagai ketua himpunan mahasiswa di
jurusannya. Usut punya usut, Adam ini gosipnya adalah anak pebisnis kaya raya
di Malaysia. Bisnis Ayahnya tersebar hingga ke seluruh penjuru Asia Tenggara
dan Pasifik. Kantor pusatnya saja di Hong Kong. Tidak heran ketika kami makan siang
bersama di hari ketiga, ia sempat menceritakan beberapa hal tentang Hong Kong di
depanku dan teman-teman Indonesiaku. Sepertinya ia sangat fasih di luar kepala.
Konon katanya pula, hampir setiap bulan ia pergi menemui Ayahnya yang bertugas
di kantor pusat bisnis keluarga di Hong Kong. Pun, adik perempuannya yang bernama Sophia katanya baru saja masuk kuliah
jurusan Ekonomi di The University of Hong Kong.
Setelah
membukakan pintu, entah dari mana asalnya, suasana menjadi canggung. Berdasarkan pengalaman, aku sudah familiar dengan yang
namanya memecahkan suasana seperti ini, aku pun memulai pembicaraan.
“You are Adam, right? Ada perlu apa? Hm, I mean, what’s going on?”,
tanyaku sambil berusaha menahan senyum karena tersipu malu.
“Saya
dengar dari kawan-kawan,
kalau awak ni sedang sakit. Benarkah?”, jawab Adam dengan aksen melayunya yang
sangat kental.
“Ya,
benar. But now, I feel better. Thank you
for asking”, jawabku dengan menggunakan bahasa Inggris karena daripada aku
salah menggunakan bahasa Melayu, nanti malah membuat moment romantis menjadi
hancur lebur.
“Well, since you’re not join with the others
to the city today, I have intention to invite you to walk around the city tomorrow.
But if you still need to take a rest, it’s okay.”, jelasnya.
“Tomorrow? City tour? Well, I know
tomorrow is the free day and everybody can explore to everywhere... But... I
still feel... Hmm... Yes, I’d loved to!”.
Bodohnya dirimu, Yureka! Murahan sekali!
“So, it does mean okay?” tanyanya yang
pasti terkejut mendengar keterusteranganku.
“Yeah. Why not?”, jawabku masih sok-sokan
tersipu malu.
“Really? Are you sure?”, tanyanya sekali
lagi agar aku terlihat konsisten.
“Yeah. What time?”, sambil menaruh kedua
tanganku ke kantung baju piyama biru bergambarkan beruang madu yang ku pakai
seharian saat sakit.
“It’s about 10 am? Is it too early for you?”,
tanyanya sambil mengernyitkan dahinya.
“Perfect! And only two of us. Got it. Well, I’ll
see you tomorrow. And thanks for inviting me”, respon ku penuh senyum
sumringah.
“Okay. See you tomorrow. Take a rest”,
tutup Adam lalu pergi.
Ya,
aku memang bodoh mengapa langsung mengiyakan penawarannya untuk jalan-jalan
dengannya.
Dalam
hatiku berperang: “Bodoh sekali kamu,
Yureka. Memang kamu tahu Adam itu siapa? Kalian saja baru kenal satu minggu.
Itu pun ngobrol hanya pada waktu makan siang dan malam saja. Lebihnya, kamu
malah sibuk menepuk pundak Tommy saat kesal akibat poin pada mobil balap
virtual mu tak kunjung
bertambah. Tenang. Santai. Tarik napas.
Semoga
ini pertanda baik.”
Ya,
aku tahu tawaran jalan-jalan Adam menandakan bahwa rekorku menyendiri sudah
terpecahkan. Sejak dulu memang aku yang selalu mengajak laki-laki jalan duluan,
tapi na'asnya tidak pernah berhasil. Entah aku yang terlalu berani, atau mereka
yang tidak punya perasaan sama sekali ketika menolak tawaran gadis bawel nan
aneh sepertiku. Semoga Adam tidak seperti gebetan-gebetan ku terdahulu yang
sok-sokan jual mahal.
Sehari
kemudian, tepat pukul 9.00 pagi, entah ada angin dari mana yang biasanya saat
akhir pekan aku bangun siang, aku malah sudah mandi dan rapih menggunakan baju
bermotif bunga berwarna pink dan kuning.
Memoles
wajah dengan bedak? Aku rasa aku butuh sedikit. Juga pelembab bibir agar bibir
ku tidak terlihat kering akibat AC kamar asrama sepanjang waktu yang membuat
kulit dan bibir kering.
Lalu
rambut ikal sebahuku ini aku apakan ya?
Di
kuncir? Sepertinya ide buruk.
Baiklah
di gerai saja dan diberi jepitan untuk poni sepanjang
10cm-an ini.
Tidak lupa kacamata oval berwarna hitam metalik yang sudah menemani ku sejak
setahun terakhir. Kutempelkan ke kedua telinga lalu menempel indah di hidung
setengah mancungku ini, dan, yap, Sempurna!
Waktu
sudah menunjukkan pukul 9.50, tapi lagi-lagi ada yang mengetuk pintu. Haduh,
itu pasti Adam! Baiklah tenang, Yureka, semua akan baik-baik saja.
Sekali
lagi ku lihat diriku di cermin. Sudah rapih. Oke, pasti kencan ini akan berhasil.
Saat
Diana, Arumi, dan Ghina masih tertidur pulas, ku tinggalkan pesan di kertas
yang berbunyi “Doakan gue guys. Ada cowok
ganteng dari negeri panda ngajak jalan-jalan. Cihuy!”
Saat
ku buka pintu, benar itu Adam! Saat melihatnya pagi itu, aku tambah meleleh
dibuatnya. Berbeda dari pertama kali aku melihat dirinya saat upacara pembukaan
dan penyambutan mahasiswa-mahasiswa program pertukaran pelajar tujuh hari lalu.
Kala itu ia tampak lusuh dan belum mandi. Mungkin tidak sempat tidur karena
sibuk menangani acara ini. Meskipun lusuh begitu pun aku sudah tertarik padanya
apalagi saat ia memberikan kata-kata sambutannya. Kharismatik!
Tapi Adam yang kulihat ini benar-benar beda.
Ia menggunakan kaos Polo putih dan celana pendek biru donker juga mengalungkan
kamera mahal layaknya fotografer profesional.
Jadi
sebenarnya kita mau kencan kemana kalau ia bawa kamera?
Lagi-lagi
imajinasi ku mulai muncul ke permukaan. Bukan, Yureka, kalian tidak akan foto
pra-menikah. Bukan!
“Good morning, Yureka. Feel better?”
tanya Adam dengan ketampanannya.
“Morning. Yeah, of course.
Shall...?” tanyaku yang kemudian situasi
romantis yang sudah diniatkan sebelumnya menjadi buyar karena kedatangan tamu
tak diharapkan. Ya, seseorang menghampiri kami, entah dari mana datangnya.
“Hi, you must be Yureka?”, gadis tinggi
berwajah Arab datang menghampiri kami.
“Hi, who are you by the way? Adam, you said that
will be just two of us, right?” tanya ku heran seribu persen.
“Really? Did I say that? Hmm, I don’t think so. Because....
So... well, this is Hamidah. She will be with us today. Because she is the
responsible for city touring activity, and me as a chief of your team, and
since you were not able to come to the city tour yesterday, so today, we all
will take you to walking around the city. It’s like recover your city tour activity”,
terang Adam yang membuatku terbangun dari imajinasiku akan momentum romantis.
“And free of course!”, Hamidah menyambar
bagai petir. Lucu sekali.
“Hahahahahaha. Alright. Hmm. Yeah”, aku
bahkan tidak punya alternatif jawaban.
“Okay, shall we?”, Hamidah mengajak kami
semua untuk segera meninggalkan asrama.
“Okay”, bibir ku senyum tapi hatiku 180
derajat kebalikannya.
Sial,
ternyata aku yang terlewat percaya diri. Lagipula memang iya juga kalau Adam
tidak memberikan pernyataan apapun semalam apakah akan hanya kita berdua yang
pergi atau tidak. Ternyata memang tidak. Untung ‘penyusup’nya berjenis kelamin
perempuan, jadi bisa saja percakapan kami akan lumayan seru. Ya tahu sendiri kan kalau sesama perempuan bisa jadi tidak secanggung yang dibayangkan.
Sepanjang
hari itu kami menjelajahi pulau
Penang. Senang sekali karena meskipun aku seorang diri yang tidak ikut acara
jalan-jalan kemarin, tapi sehari setelahnya aku mendapat layanan premium dan
menjadi tamu istimewa. Mobil yang disediakan pun berbeda dengan yang mengantar
teman-temanku kemarin. Mereka pakai bus, sedangkan aku dapat mobil jenis
SUV.
Sepanjang
jalan, aku, Adam, dan Hamidah ngobrol banyak. Mulai dari kegiatan kami
masing-masing di kampus, bagaimana rasanya menjadi anak Komunikasi, dan juga
apa tujuan ku setelah lulus dari sekolah Strata 1 ini. Kami juga membahas soal
hobi kami masing-masing. Hamidah yang terlihat sangat perempuan, ternyata suka
musik rock and metal. Tipe prianya juga dari kalangan militer. Pula warna
kesukaannya yang hijau army dan hitam. Aku semakin sadar mengapa kita tidak
boleh menilai seseorang dari luarnya saja.
Ya, contohnya seperti itu.
Beda
dengan Adam. Ternyata ada banyak persamaan antara aku dan Adam. Kami sama-sama
suka makan olahan mie. Ya, mungkin karena dia keturunan Tionghoa jadi dia
sangat terbiasa makan mie.
Terlebih dia kan sering ke Hong Kong, pasti tidak asing di mata dan telinganya
soal aneka mie. Beda denganku yang suka mie karena sejak aku SD, gerobak mie
ayam milik Pak Onar selalu lewat setiap hari bahkan
mangkal di pos satpam dekat rumahku.
Aneh memang, tapi apapun yang sudah terbiasa dan tidak asing sejak kecil pasti
hanya ada dua pilihan; bosan atau malah ketagihan.
Tidak
hanya mie saja, ternyata ada
persamaan lainnya yang kutemukan pada diriku dan Adam bahwa kami sama-sama suka
musik klasik! Aku jarang sekali menemukan pria yang suka mendengarkan musik
klasik. Ketika ia menyebutkan komposer besar macam Frédéric Chopin, aku sontak
teriak dan mengatakan “You know him too?!
No way!”. Dan ya, ia memang tahu dan sangat familiar dengan karya-karya
Chopin. Menurutnya memang siapa yang tidak kenal Chopin,
karya-karya Chopin selalu melekat di telinga penikmat musik, khususnya musik
klasik. Seketika suasana semakin hangat karena
akhirnya aku dan Adam tidak begitu dingin lagi ketika aku tahu ia suka hal-hal yang sama seperti denganku.
Mungkin kala itu dalam hati Hamidah bergumam kalau ia merasa seperti obat
nyamuk di antara nyamuk-nyamuk yang kasmaran.
Semakin
sore, perbincangan semakin seru. Pada akhirnya aku juga menjadi banyak
berdiskusi dengan Hamidah karena ternyata ia penyuka film sepertiku. Nah, kalau
yang satu ini Adam bungkam. Sepertinya dari gelagatnya, ia tidak suka menonton
film.
Hari berlalu dengan cepat dan
sudah mulai gelap, seharian sudah kami
bertiga jalan-jalan di kota
George Town dan saatnya kembali ke asrama. Aku sangat berterima kasih dengan
Adam dan Hamidah yang sudah menemani ku jalan-jalan seharian penuh itu.
Meskipun ekspektasiku jalan berdua dengan Adam dibantai habis dengan kenyataan
bahwa Hamidah juga ikut, tapi aku tetap bersyukur akhirnya aku menemukan teman
baru di Malaysia. Lebih-lebih, aku
jadi tahu sisi lain dari seorang Adam yang tampan dan rupawan itu.
Saat
berpisah, Hamidah harus segera
meninggalkan aku berdua dengan Adam di lobi asrama karena ia keburu sakit perut
dan harus ke kamar mandi secepat
mungkin. Ku kira kami akan berpisah di lobi, ternyata Adam mengantarkanku
sampai depan pintu kamarku yang
berada di lantai 2. Benar-benar pacar idaman. Hmm, maksud
ku pemimpin idaman. Ia bertanggung jawab atas semua peserta program pertukaran ini agar
semuanya dalam keadaan yang sebaik-baiknya.
Setibanya
kami di depan pintu, aku yang buru-buru bilang “Good night and thank you for today”, Adam justru mengatakan “Are you free in tomorrow’s evening? Around 7pm?”
Habislah
aku, ia mengatakan itu lagi? Mirip-mirip dengan tawarannya kemarin malam.
Jadi
ini sebenarnya ada apa?
Aku dikerjai atau bagaimana?
Jangan
berekspektasi macam-macam dulu, Yureka. Tarik napas, dan pikirkan hal-hal nyata
yang bisa saja terjadi.
((BERSAMBUNG))
Yureka. Nostalgia. Masa Depan.
Stasiun
tujuanku sudah tiba. Aku harus segera turun dari kereta ini atau aku akan
terbawa sampai ujung New York. Aku saja masih suka nyasar kalau mau ke Central
Park, bagaimana kalau sampai ke Long
Island? Aku takut.
Setelah
turun dari kereta, aku masih harus jalan kaki sekitar 10 menit menuju apartemen
Kak Anna. Sepanjang perjalanan pun, aku masih terbawa arus nostalgia tentang Adam,
pria Tionghoa dari negeri Jiran itu.
Jadi
sampai mana aku tadi cerita?
Oh
ya, jadi setelah lelah seharian jalan-jalan kota George Town, Adam mengantarkanku sampai ke
depan kamarku di lantai dua.
“Thank you for today, Adam. It was really amazing
day. Good night”, kata-kata penutup untuk hari yang melelahkan tapi
menyenangkan, ditambahkan menyebalkan karena ada Hamidah yang merusak
ekspektasiku.
“Yureka...” sambung Adam
“Yes? What’s happen?” tanyaku penasaran.
“Are you free tomorrow night at 7?” Adam melemparkan pertanyaan yang secepat kilat
membuatku merasa percaya diri, kembali.
Astaga.
Jangan-jangan dia berniat mengatakan
hal-hal yang mirip seperti yang ia katakan saat membuatku terbang melayang
penuh percaya diri seperti kemarin
malam itu? Kalau kemarin ia mengundangku untuk
jalan-jalan kota yang bahkan aku terlalu bodoh untuk bilang “Hanya kita
berdua”, lalu bagaimana dengan yang ini?
“Hmm, I have no clues. What’s wrong?”, aku berusaha tenang dan tidak terlalu pe-de.
“Would you mind to buy some dessert nearby
with me? Just two of us”.
Akhirnya jawaban yang kuharapkan keluar dari bibirnya.
Jreng
jreeeeengg. Apa? Hanya berdua? Tunggu dulu, aku harus konfirmasi ulang ini.
“Two of us? Seriously?” Ya aku harus konfirmasi agar tidak ada kejadian na'as yang
kedua kalinya.
“Yeah. Why not, right? What do you think?” jawabnya sambil menundukkan kepalanya lalu mengangkat
lagi dan menatap mataku.
“Yeah, I would like to. If it’s...really...just
two of us”.
Bodoh
lagi kau, Yureka. Itu terlalu jujur!
“Okay. Good.
See you tomorrow. Good night”, balasnya dengan santai sambil melambaikan tangannya
yang cukup putih itu ke arahku.
“Good night”, jawabku sambil melambaikan tanganku yang tak seberapa indahnya ini.
Kemudian
aku masuk kamar dan menutup kamar dengan perlahan sambil mengucap syukur
di balik pintu. Oh Tuhan, ini mirip seperti film-film drama yang sering ku
tonton di bioskop dan di DVD itu. Ternyata hal-hal romantis itu belum punah di
dunia ini. Terima kasih, Tuhan!
“Alhamdulillah...” ucapku sambil menghela napas.
“Kenapa
lu, Yur?” tanya Ghina kebingungan sambil mengeringkan rambutnya menggunakan hairdryer pink kesukaannya.
“Iyaa
nih, pulang-pulang aneh gitu. Lu beneran kencan ama orang? Siapa sih? Penasaran
gue”, samber Diana yang
sedang membaca booklet hasil ‘jarahan’
keliling museum kemarin siang.
“Jalan-jalan
romantis. Nggak deng bukan.
Jadi gue kan nggak ikut kalian tuh
kemaren, dan hari ini panitianya nge-cover
jalan-jalan buat gue. Asyik deh, gue berasa
jadi tamu premium gitu.
Naik mobil SUV keluaran terbaru, private air-conditioner, dan bersama orang ganteng”, jelasku sambil tersenyum-senyum sumringah.
Dari
penjelasanku itu, aku bisa melihat wajah-wajah kebingungan Diana dan Ghina
mencuat. Tidak dengan Arumi yang datar saja. Ia bahkan tidak bergeming saat keluar
dari kamar mandi dan melihatku baru pulang setelah seharian tidak di kamar.
Cuek sekali, bukan? Padahal Arumi adalah paling cantik dan paling alim di antara
aku, Diana, dan Ghina. Tapi sifat tidak pedulinya yang tinggi membuat dia
terlihat biasa saja. Manusia memang tidak sempurna.
Hari
Minggu kali itu ditutup dengan cerita-ceritaku
tentang jalan-jalanku keliling George
Town seharian penuh. Intinya, menyenangkan sekali kenal
dua orang hebat seperti Adam dan Hamidah. Dan
aku paham betul bahwa diriku sudah termakan pesona Adam yang sudah ada di level
internasional itu, maka tidak heran kalau aku menjadi penggemar rahasia Adam
sejak awal berada di KDU Penang
University College. Terlebih sejak aku tahu kalau Adam suka makan
mie dan mendengarkan
musik klasik, aku tambah terbawa perasaan.
Aku benar-benar suka padanya. Tapi
untuk hal ini, aku tidak
akan ceritakan pada teman-temanku. Sangat riskan.
Keesokan
harinya, aktivitas kami di kampus KDU Penang
University College sebagai peserta program
pertukaran pelajar berlangsung lancar. Jadwal kami untuk minggu kedua adalah
observasi langsung ke laboratorium komunikasi kampus KDU Penang, seperti studio siaran
radio dan studio film yang menjadi tempat mahasiswa-mahasiswi jurusan Mass Communication belajar sehari-harinya.
Hingga
malam tiba, suasana hatiku makin senang namun makin tegang. Ya, malam ini aku
ada janji dengan Adam seperti yang ia tawarkan kemarin.
Apakah
akan terjadi sesuatu yang menyenangkan? Atau Hamidah akan ikut kami lagi? Entahlah, tapi aku berharap yang terbaik.
Tepat
pukul 18.55, aku izin kepada Diana dan Arumi untuk pergi keluar. Ghina kemana
ya? Oh ya, dia juga ada janji dengan salah satu panitia acara untuk menenaminya
membeli kartu memori kameranya yang katanya rusak karena penyebab yang belum
bisa dipastikan. Ah, paling Ghina juga sekalian kencan. Karena yang ku tahu
panitia yang mengantarkannya belanja kartu memori itu laki-laki. Kalau tidak
salah namanya Ghibran. Rupanya ada dua pemudi Indonesia jatuh cinta pada dua
pemuda Malaysia yang berbeda. Ya, siapa tahu kalau kami masing-masing jadian, tidak ada
lagi pertikaian antara dua negara Asia
Tenggara ini.
Ketika
akan turun ke lobi, ternyata Adam juga sedang naik tangga menuju kamarku. Duh,
jodoh bukan sih kalau papasan di tangga
seperti itu? Apapun itu semoga kencanku kali ini
berhasil. Kala itu Adam mengenakan celana pendek putih dan sweater hitam yang
aku tidak tahu tulisan apa yang disablon di atasnya. Mungkin logo KDU Penang University
College. Hmm, sepertinya memang iya.
Setelah papasan, dan saling menyapa basa-basi busuk,
kami berdua jalan keluar asrama. Kupikir kita berdua akan naik mobil SUV lagi,
ternyata tidak. Kami berjalan kaki. Tidak apa, jalan kaki bersama cowok ganteng
buatan Malaysia juga sudah lebih dari cukup bagiku.
Kala itu Adam bilang kalau ia mau mengajakku makan
makanan khas Hong Kong yang terletak di beberapa blok dekat kampus KDU.
Sepanjang jalan, kami
membahas
banyak hal. Ya, lagi-lagi kami membahas topik musik klasik yang aku rasa tidak
akan ada habisnya. Ternyata Adam ini termasuk penggemar musik klasik yang rajin pergi ke konser musik orkestra,
baik di Malaysia, Hong Kong, Indonesia, bahkan ia pernah pergi langsung ke
kiblatnya di Italia. Tidak heran, dia kan memang anak orang kaya. Harga tiket
konser orkestra bagi dia pasti seperti membeli
sebungkus
kacang koro di supermarket. Tidak
denganku yang selama ini suka musik klasik hanya bermodalkan streaming Youtube saja. Strata kelas
berbicara.
Kemudian sampailah kami di kedai mie, seperti kesukaan
kami berdua. Kami masih
berbincang banyak soal musik klasik. Tapi selain itu, kami berdua juga membahas
hal lain seperti bagaimana pengalaman menjadi mahasiswa jurusan Komunikasi.
Adam juga bertanya padaku mengapa aku masuk ke jurusan itu. Sambil menyantap
semangkuk mie, aku menjelaskan bahwa aku memang sudah tertarik di bidang Komunikasi sejak aku SD. Aku suka menulis, aku suka membuat video-video
sederhana, aku sendiri juga anaknya sangat bawel dan cerewet. Secara halusnya,
aku gemar berbicara di depan banyak orang tanpa malu-malu. Karena kelebihan yang
menurutku kekurangan itu, membuat aku sering dijadikan sebagai moderator dalam
seminar-seminar yang diadakan di kampus ku, Universitas Paramadina.
Setelah mangkuk mie kami habis, kami masih membahas
soal pengalaman masing-masing di jurusan Komunikasi. Tapi sebelum
meneruskannya, Adam menyarankan agar kami melanjutkan cerita di kedai sup
puding dingin khas Hong Kong yang tak
jauh dari kedai mie tersebut.
Setelah berjalan sekitar 5 menit, kami sampai di salah
satu kedai makanan khas Hong Kong, menu spesialnya
bernama Tong Sui. Tak berapa lama kami memesan, dua
porsi Tong Sui pun mendarat dengan indah di atas meja kami.
Kami pun meneruskan cerita kami. Saat itu giliran Adam yang bercerita. Ia
bilang kalau masuk di jurusan Komunikasi Massa memang bukan salah satu
keinginannya. Alasannya sederhana, sebenarnya Adam ini orangnya pemalu. Saat
SMA dulu, ia tidak percaya diri apabila diminta maju ke depan kelas oleh
gurunya. Lebih sederhananya, kalau Ibu dan Ayahnya menyuruhnya berpergian
sendiri. Terlebih sesaat sebelum kuliah, ia harus hidup sendiri di George Town,
Penang, sedangkan adik dan orang tuanya lebih sering berada di Hong Kong. Sejak
itulah ia memberanikan diri untuk masuk ke jurusan Komunikasi agar ia bisa
tampil lebih percaya diri serta bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang
baru yang ia temui.
Di sela-sela ia bercerita, ia sempat mengambil gambar
diriku yang sedang menyuap Tong Sui dengan kamera canggihnya yang ia kalungkan
itu. Rasanya kencan ini benar-benar berhasil. Sesuai ekspektasiku. Malah
melebihi ekspektasiku! Ya, aku tahu agaknya ini berlebihan, kampungan, tapi
tidak bisa dibohongi kalau aku memang benar-benar senang berada di dekat Adam.
Terlebih aku kan tidak pernah pacaran, jadi wajar kalau aku bahagia 100 kali
lipat berkat semua ini.
Malam
itu ditutup dengan ucapan selamat malam dan selama tidur dari Adam. Sesampainya
di atas kasur empuk asrama pun, Adam masih mengirim pesan di WhatsApp kepadaku yang membuat aku tambah percaya diri
kalau ini bukan sekadar jalan-jalan malam saja, ada potensi lain yang bisa
terjadi.
Keesokannya,
dua hari setelahnya, hingga tiba pekan terakhir program pertukaran pelajar, aku
dan Adam masih saling menyapa, bercerita, berdiskusi, dan juga mengirim pesan WhatsApp. Oh ya, kami juga sempat jalan-jalan
ke George Town bersama. Ya, meskipun kala itu
ramai-ramai berlima belas orang kesana untuk sesi jalan-jalan kota yang terakhir sebelum
program berakhir. Rasanya ini benar-benar di luar dugaanku. Ku pikir aku tidak
akan pernah bisa kencan dengan pria setampan dan sekeren Adam. Dan kalau boleh aku pe-de,
dari gelagatnya selama empat minggu ini, aku rasa ia punya perasaan yang sama
denganku. Semoga benar begitu, Ya
Tuhan.
Setelah
program usai, aku, Ghina, Diana, Arumi, dan Tommy harus kembali ke tanah air. Sesaat sebelum ke bandara, kami berlima dan semua
panitia dan peserta Student Exchange
berfoto bersama. Semua foto pun di unggah ke masing-masing media sosial,
termasuk ke Instagram. Untungnya aku
dan Adam sudah saling follow di
Instagram jadi tidak heran kalau kemudian ia memberi tag nama akunku ke foto
yang ia unggah. Dan dengan begitu meskipun kami akan saling berjauhan, kami
akan tetap merasa dekat melalui media sosial yang kami saling ikuti di dunia
virtual itu.
Sepanjang
perjalanan udara, aku terus memikirkan Adam. Padahal niat hati tidak ingin demikian. Tapi entah mengapa, isi otakku penuh dengan wajah dan
perawakannya yang memang tidak bisa dilupakan itu. Aku berharap, tidak hanya Malaysia
saja yang menjadi saksi sebuah rasa yang lebih dari sekadar peserta-panitia
itu. Aku juga berharap Indonesia juga
bisa menjadi saksi sebuah hal yang bisa lebih luar biasa daripada ini.
Satu
hari, dua hari, tiga hari, hingga satu minggu pasca kepulanganku dari Penang,
aku sama sekali tidak melihat tanda-tanda Adam menghubungiku. Tiap pagi, tiap
makan siang, hingga akan tidur pun, aku selalu rajin mengecek notifikasi di smartphone-ku apakah ada WhatsApp dari Adam atau tidak. Ya,
nihil. Chat terakhir yang Adam kirim hanya berbunyi “Safe flight and say hi to Indonesia. Really want to back there just
watch Jakarta Phillaharmonic Concert or just buy some cheap jacket in Tanah
Abang”. Setelah itu, tidak ada lagi pesan masuk darinya. Tiap malam pun aku sibuk bolak-balik membuka akun
Instagramnya untuk sekadar “kepo” akunnya. Kepo atau kangen, Yureka?
Satu
minggu, dua minggu, tiga minggu, hingga satu bulan benar-benar tidak ada kabar.
Baiklah, seperti biasa, seorang Yureka tidak suka didiamkan seperti ini. Dengan
cepat dan tanggap, aku menyiapkan keberanian untuk mengirim pesan WhatsApp
ke Adam. Basa-basi apa saja yang penting aku tahu bahwa Adam belum punah. Dan
lagi-lagi aku yang harus mulai duluan. Apa aku salah? Tidak, kan? Memang ada
peraturannya kalau wanita tidak boleh mulai duluan? Kalau pun ada, aku akan
mengajukan keberatanku
yang teramat sangat. Ini kan sudah zaman milenial, wanita dengan pria sudah
disamaratakan. Terima kasih, Ibu Kartini!
Pesanku kepadanya itu berbunyi “I heard that there
will be an
orchestra concert in Gedung Kesenian Jakarta two weeks from now. I wonder if
you will watch that or not...”
Satu
menit, dua menit, hingga satu jam, tidak ada balasan. Ya, sudah lah, dari dulu
memang selalu begitu, aku ini pecundang di tengah kalangan pemuda-pemudi yang
menjunjung tinggi keromantisan dan menghalalkan segara cara untuk pamer foto
berdua di media sosial. Aku memang payah.
Tapi
bukan Yureka namanya kalau menyerah. Ya, aku memutuskan untuk tidak menyerah.
Aku kirim lagi pesan kepada Adam dengan berbunyi “I went a Mall in Central Jakarta and drank Teh Tarik.
Somehow it recalled me the same Teh Tarik when the last trip in George Town
together with KDU’s students. Really want to come back there”.
Lagi
dan lagi, satu jam, dua jam, hingga keesokan harinya Adam tidak membalas juga.
Padahal sesekali kalau ku tengok ke profilnya, ia sedang online. Berarti kan dia masih hidup dan masih punya WhatsApp. Orang ini memang aneh. Baiklah
aku putuskan untuk melupakan semua itu sejenak. Mungkin ada hikmahnya karena
aku harus fokus ke Ujian Akhir Semester yang akan datang beberapa minggu lagi.
Hingga
keesokan harinya Adam membalas:
“Hi, Yureka. Apologize to the late reply of your
messages. Been busy with campus life. Well, thank you for the information. But
I can’t go anywhere out of Penang until next month even I really wanted to. Teh Tarik?
Yeah, I bet you’re addicted on it. Here come back to Penang and we can enjoy
another part of Malaysia if you want”
AKHIRNYA
ADAM MEMBALAS WHATSAPP KU!
Sebuah
keajaiban!
Untuk menanggapi balasan tersebut, sebenarnya ingin
sekali rasanya ku balas dengan: “Kau pikir terbang ke Malaysia hanya cukup
dengan 5000 perak? Mengada-ngada saja. Uang jajan saja aku masih minta Ayah dan
Ibu”.
Kemudian pesan itu ku balas dengan “Oh so sorry if I’m bothering you now. Hope
everything okay there. Stay healthy and keep hydrate. I’d loved to come back to
Malaysia, but I should focused on my final exam, it will in several weeks. Wish
me luck!”
“Stay healthy and keep hydrate”? Sudah seperti pacar
saja mengingatkannya untuk tetap menjaga kondisi badan dan minum air putih yang
banyak. Imajinasiku mulai berkembang lagi. Tapi ya sudah lah, kami kan memang
teman baik, tidak ada salahnya saling mengingatkan, bukan?
Kami
pun kemudian asyik berbalas WhatsApp. Ternyata Adam yang lebih dari
sebulan tidak ada kabar itu sedang sibuk mengerjakan tugas-tugas juga
ketertinggalannya di kampus akibat menjadi penanggung jawab tim kampusku saat
kami exchange
kala itu. Pula sedang
menyiapkan diri untuk pergi ke London, Inggris dalam 3 bulan mendatang. Katanya
akan ada pertemuan keluarga disana. Ya, dia memang punya beberapa anggota
keluarga di London. Ia bahkan berencana untuk ambil S2 di Inggris setelah lulus
nanti. Sudah pintar, kaya raya, ganteng, apa lagi? Ia punya semua. Hanya saja satu hal
yang benar-benar tampak tak sempurna, membalas pesan saja lamanya minta ampun.
Bagaimana kalau dia punya pacar? Pasti pacarnya tidak tahan karena lamanya ia
membalas pesan. Untung aku belum jadi pacarnya. Eh tapi kalau jadi juga tidak
apa. Duh Yureka, jangan mulai dengan imajinasi konyolmu itu.
Selama
berbalas pesan itu, Adam juga memberi tahuku kalau lebaran tahun depan dia akan ke
Jakarta untuk bersilahturahmi dengan sanak saudara juga rekan kerja Ayahnya di
Jakarta. Dalam hati aku bertanya: “Jadi sebenarnya ada berapa jumlah
saudaranya hingga di semua negara ia punya saudara? Di Malaysia, ia memang orang sana. Di Hong Kong, ada.
Di Inggris juga katanya ada. Sekarang di Indonesia. Ayo sebutkan dimana lagi?”
Dengan
sigap aku balas pernyataannya dengan: “Really?
Come and visit my house. Which part of Jakarta is your family?”
Ia
membalas: “South Jakarta. Hmm, I think
it’s Pakubuwono or something”
Pakubowono?
Yang banyak rumah gedong itu? Ah kecil. Aku tinggal di Cinere. Jangankan
Pakubowono, aku berenang lewat kali Ciliwung sampai Ancol pun kalau untuk Adam juga
aku sanggup.
Lalu
Adam membalas lagi dengan pernyataan: “I
will
try later. I’ll let
you know soon.”
Asyik.
Kalau saja ia jadi datang ke Jakarta, rasa rinduku pada lelaki tampan ini akan
segera berakhir.
Eh
tapi jangan senang dulu. Tenang, Yureka. Jangan terlalu terbawa perasaan.
Tenangkan pikiran dan emosimu. Berdoa pada Tuhan
agar Adam jadi ke Jakarta dan
benar-benar bisa menemuimu.
💙💙💙
Beberapa
bulan kemudian, hari yang dinanti tiba. Hari Lebaran Idul Fitri datang. Aku bersyukur aku masih bisa merasakan
lebaran dengan berkumpul keluarga. Aku juga bersyukur, bahwa Adam jadi datang ke
Jakarta! Dia bahkan sudah mengkonfirmasi sejak 1 minggu lalu dengan mengirim WhatsApp: “Hey, I got 2 days free in
Jakarta which is not planned before. Let’s meeting in somewhere.”
Oh
Tuhan, rasanya senang betul aku hari itu. Rasanya seperti memenangkan undian
hadiah mobil dari Bank ternama. Semoga kali ini berhasil karena aku sudah
mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu pada Adam. Ya, aku akan
menyatakan perasaanku padanya. Tidak peduli lagi, aku sudah tidak sanggup
dengan semua itu. Hidup di bawah bayang-bayang wajah tampannya, pula semakin
hari imajinasiku semakin konyol yang membayangkan tentang diriku dan Adam
menjadi sepasang kekasih.
Dua
hari kemudian, pertemuan yang sudah direncakan tiba. Kami janjian bertemu di
salah satu restoran masakan Italia di daerah Kemang. Kala itu aku menggunakan blouse berwarna merah, jeans panjang hitam, dan flatshoes berwarna peach. Rambut ikal yang ku
banggakan pun juga digerai. Baiklah semua sudah siap. Aku sudah tidak
sabar bertemu Adam sang pujaan hati.
Saat
itu aku sudah ada di restoran sejak pukul 12.45, sedangkan waktu janjian kami
adalah pukul 13.00. Tidak apa kan kalau aku datang lebih awal? Hitung-hitung
latihan berbicara dengan Adam tentang hal yang akan aku ungkapkan.
Tepat
pukul 13.02, Adam menunjukkan batang hidungnya. Aku yang kala itu duduk di
pojok ruangan, bisa melihat kedatangannya. Ia mengenakan kaos berkerah
garis-garis hitam-biru-putih, juga celana jeans panjang berwarna biru dongker,
dan menenteng tas belanja bertuliskan “Hermes”.
Tunggu
dulu, siapa itu yang ada di belakang Adam?
Setelah
Adam masuk lewat pintu restoran, ada sosok wanita tinggi rupawan mengenakan short dress merah selutut berlengan panjang dan
sepatu lari berwarna putih yang ada logo berbentuk ceklisnya, yang membuatnya tampak sangat stylist. Pula menenteng tas tangan bermerk “Coach”. Jika
dibandingkan denganku, AKU BUKANLAH
SIAPA-SIAPA.
Tapi
siapa yaa dia?
Adam
menghampiriku dan menyapaku,
“Yureka! Long time no see!”, sapa Adam nyaris membuat seluruh mata pengunjung
tertuju pada kami.
“Hey, How are you?”, balasku senang namun penasaran dengan si wanita
tersebut.
“I’m great. How are you?” tanya Adam yang tersenyum penuh gembira. Entah
gembira bertemu diriku atau gembira karena membawa wanita itu.
“Good. Perfect”, jawabku datar.
“Well, this is Tiara. Meet my friend, honey,
this is Yureka. She is Indonesian like you. We met in my campus when she was a student exchange.
Like I told you before”, jelas Adam sambil menyuruh si wanita berbaju merah
untuk berjabat tangan denganku.
Tunggu,
“Honey”? Tidak salah dengar kah aku barusan?
“Hai.
Aku Tiara”, jawab si gadis berbaju
merah yang ternyata bernama Tiara itu.
“She is my girlfriend”, ucap Adam yang bahkan aku masih ingat jelas
kata-kata itu sampai kiamat datang.
“Oh come on.
It’s recent”,
jawab Tiara tersipu malu.
“Oh wow. Nice to meet you, Tiara. Eh iya
kita sama-sama orang Indonesia ya. Silahkan duduk”, Aku mempersilahkan mereka duduk dihadapanku. Ya, di hadapanku.
Ada
apa ini, Ya Tuhan? Terakhir kali saat aku dan Adam akan jalan, ada Hamidah,
sekarang ada Tiara. Lebih baik lah ketika ku tahu Hamidah hanya penanggungjawab
sesi jalan-jalan. Tidak dengan Tiara. Rasanya seperti mimpi buruk ketika
mengetahui bahwa Tiara adalah pacar
Adam.
Mungkin, ini penyebab ia tidak pernah mengubungiku lagi karena dia sudah ada
yang punya. Benar-benar menyedihkan.
Setelah melihat semua kondisi canggung itu, ditambah
rasa sedih dalam hati yang tentunya aku tutupi, aku bertanya-tanya akan
sesuatu.
Jadi, apa maksudnya waktu itu ia mengajakku kencan
makan Tong Sui malam-malam?
Lalu
mengapa ia mengajakku ngobrol lebih intensif saat di kampus KDU kala itu?
Mengapa
pula dia masih terus
membalas WhatsApp ku saat masih
berada di asrama dulu?
Rasanya
memang seperti tersambar petir atau terkena duri pohon nanas. Sakit sekali.
Tapi aku mencoba untuk tenang dan tidak terlihat gelisah atau sebagainya. Ya, aku sudah terbiasa dengan hal semacam ini. Yureka
kuat! Yureka hebat!
Lalu
kemudian kami bertiga pesan satu loyang Pizza dan tiga porsi Spagetti
Carbonara. Kami berbincang banyak hal
kala
itu. Ada banyak hal juga yang ku tahu dari Tiara saat kami ngobrol. Ternyata
Tiara itu anak dari rekan kerja Ayahnya Adam yang ia maksud di Whatsapp sebelumnya. Tiara juga menambahkan bahwa mereka
baru saja jadian minggu lalu
sesaat setelah sholat Ied karena Adam memang menghabiskan lebarannya tahun ini
di Jakarta. Aku malah baru tahu kalau Adam ini seorang Muslim yang kupikir
beragama Konghucu atau Buddha. Ya, itu karena wajah oriental yang ia punya, maka
aku berpikir kalau dia mungkin saja bukan seorang Muslim. Juga saat di Penang, aku tidak pernah melihatnya pergi
ke Mushola atau Masjid. Ya, memang ibadah kan bukan hal yang harus dipamerkan.
Tapi setidaknya kan ada tanda-tandanya. Lagipula, yang membuatku berpikir
demikian karena nama belakangnya yang “Wang” itu. Setelah ku korek informasi darinya, ternyata ayahnya, Andy Wang, adalah seorang pria Malaysia keturunan Tionghoa yang
menjadi mualaf ketika menikah dengan ibunya, Siti Zubaidah, wanita asli
keturunan Melayu Malaysia.
Kalau
Tiara, ia ternyata seorang model berkewarganegaraan
Indonesia tapi memiliki darah Inggris-Malaysia dari ayahnya, sedangkan ibunya
asli orang Bandung. Ia lahir dan menghabiskan masa
kecilnya di Kuala Lumpur, Malaysia.
Namun sejak SMP ia harus pindah ke Indonesia karena
orang tuanya bercerai dan ia ikut ibunya dan tinggal di Jakarta. Tapi kemudian
di usia 16 tahun, ia memutuskan untuk ambil sekolah modeling di London dan
setelah lulus ia mendapat tawaran pekerjaan modeling di Malaysia juga
Indonesia. Jadi, saat ini Tiara masih bolak-balik
Kuala Lumpur dan Jakarta.
Lalu
dari mana Adam bisa kenal dan berpacaran dengan Tiara?
Jadi,
ternyata keluarga Adam dan Tiara sudah kenal lama karena orang tua mereka
adalah rekan bisnis yang sudah
seperti sanak saudara sendiri. Mereka sebenarnya
sudah lama kenal, namun Tiara sejak dulu sudah mengagumi Adam. Tiara pun
berkata kalau ia yang mulai duluan untuk menyapa dan mengajak Adam jalan. Tuh kan
benar, siapa bilang hanya aku satu-satunya wanita yang mulai duluan? Tiara juga
demikian. Ya, bedanya mereka memang sudah lama kenal. Sedangkan aku kenal Adam
saja baru-baru ini, itu pun kenal hanya di kampus tempat ia kuliah saja. Tidak
sama kelasnya dengan cara Adam dan Tiara bertemu. Pertemuan mereka jelas lebih elegan.
Kami
masih asyik mengobrol sampai makanan-makanan yang kami pesan habis. Waktu pun
menunjukkan pukul 17.15 WIB. Saatnya pulang ke rumah masing-masing. Saatnya
pula kami berpisah. Aku tahu aku
patah hati, tapi aku tahu ini adalah jalan yang terbaik. Aku berharap mereka
bahagia. Lalu bagaimana dengan rencanaku menyatakan perasaan pada Adam? Aku
rasa aku harus tetap mengatakannya. Karena kalau dibiarkan, aku semakin
gelisah. Ya, setidaknya dengan ‘nembak’ Adam, aku menjadi lebih lega. Beban
hidupku berkurang satu. Tapi nanti,
tunggu sampai rasa tak karuan ini mereda.
Sampai
rumah, aku masih terdiam di kamar. Perasaanku campur aduk. Senang, sedih,
kesal, marah, semuanya. Aku senang karena akhirnya aku berjumpa lagi dengan
Adam. Aku sedih karena ternyata Adam sudah punya pacar. Aku kesal terhadap
diriku sendiri yang selalu berimajinasi konyol tentang aku dan Adam. Aku juga
marah karena mengapa tidak dari awal Adam mengatakannya pada ku kalau ia sudah lama punya kenalan model sekeren Tiara.
Malamnya,
aku mengirim pesan WhatsApp ke Adam. Kali
ini benar-benar akan ku katakan pada Adam tentang apa yang kurasakan padanya
selama ini. Tidak peduli dia akan membenciku atau lain sebagainya.
Saat
ku ketik di layar smartphone dengan
kata-kata: “Thank you for today. Greet
to Tiara. Greatest day ever”
Tidak
lama ia membalas: “My pleasure to meet
you again. Really can’t believe that we still meet each other. And I will say
it to Tiara. She said you are such an awesome girl.”
Ketika membaca kata-kata itu dalam hati aku merespon:
“Yeah, she is such a bi*** and you’re
such an as*****!”.
Setelah emosi mereda, aku
langsung mengetik apa yang akan aku ingin katakan pada Adam.
Aku
mengetik: “Adam, there’s something I
want to tell you about. I know this must be ashame for me and maybe for you.
That is about my feeling for you. Since we met in Penang, I think there is something different between us. I thought that we have same feeling. But
clearly, it’s not. Only my side. So sorry to say this, but I’m into you since
we had Tong Sui that night. Please don’t tell this to your GF. I don’t want to make her feel hurt. I just want to say this, just want to tell about what I am
feeling for you. Thank you for the noodles, thank you for the Tong
Sui.
Thank you for everything.”
Lega
rasanya menulis semua isi hatiku pada Adam seperti itu. Aku bahkan tidak
berharap jawaban apapun dari Adam. Hanya dibaca pun juga tidak apa-apa karena
aku hanya ingin mengungkapkannya saja tanpa bertanya sedikit pun tentang apa
yang ia rasakan padaku.
Tapi,
tak berapa lama setelah pesan
tersebut terkirim, ku lihat tanda “typing…” muncul di kolom profile nya.
Adam akan membalasnya?
Apa
yang akan ia katakan?
((BERSAMBUNG))
Yureka. Apartemen Kak Anna. Masa Depan.
Sudah
sampai apartemen Kak Anna. Tapi ternyata aku membutuhkan waktu 15 menit dari
stasiun ke apartemen Kak Anna, 5 menit
lebih lama dari biasanya. Mungkin karena sedang
bernostalgia, apalagi nostalgia hal-hal yang menyedihkan, maka langkah kakiku tak sengaja melamban.
Sampai
di apartemen Kak Anna, ternyata teman-teman sudah berkumpul. Ternyata aku yang
paling lambat diantara mereka. Memangnya ini sudah jam berapa? Astaga ternyata sudah pukul
18.25, aku terlambat 25 menit dari jadwal rapat yang ditentukan.
Tapi firasatku berkata
kalau perhitungan waktuku sudah pas. Ya,
aku tahu aku meninggalkan apartemen sekitar pukul 17.35, kalau dihitung-hitung
seharusnya cukup, atau kalau memang terlambat ya hanya 5 sampai 10 menit saja. Apa
karena ini semua karena nostalgia tentang Adam? Kalau ya, sial sekali. Padahal
kan langkah kakiku hanya diperlambat sedikit, ternyata berdampak pada aspek
lainnya. Sudah lah yang penting aku sampai di apartemen Kak
Anna dengan selamat dan sentausa.
“Hai
semua! Sorry telat”, sapaku pada Kak Anna, Farida, Fikri, Dhimas, Gilang,
Chandra, dan Eugene.
“Lu
tumben paling terakhir, biasanya kalo ngumpul paling cepet”, jawab Chandra yang sedang sibuk membuka laptop
bersama Fikri, Gilang, dan Dhimas.
“Ada
something lah”, jawabku sambil melepas sepatu kets ku yang kemudian
kuletakkan di belakang pintu. Sekadar informasi, sebagai orang Indonesia,
terutama ketika bertamu di rumah orang Indonesia di New York, kebiasaan melepas
sepatu masih kami pertahankan. Dulu, kini, hingga nanti.
“Udah
telat, meeting yang kemaren nggak dateng.
Aneh lu”, cetus Kak Anna yang sambil menatap ke layar
MacPro-nya. Kak Anna memang begitu orangnya, jutek tapi penyayang.
Balasku hanya, “Yaudah sih,
maaf. Nggak usah dihakimi gitu dong guenya. Eh bentar gue mau pipis dulu”.
Di
kamar mandi, setelah buang air kecil, aku melihat diriku di cermin. Aku masih dalam
suasana biru karena nostalgia soal Adam. Jadi belum selesai kah aku bercerita
bagaimana respon dari Adam?
Ya,
jadi begini, setelah mengirim pesan
‘tembak’ untuk Adam, aku melihat kata “typing…”
muncul di atas bar profilnya. Ia pasti akan menulis sesuatu. Semoga bukan hal
yang tidak aku inginkan.
Ternyata balasannya: “Wow, that’s pretty good actually. And you’re kind of brave person. I
appreciate that. But, I am so sorry for this. I can’t go out more with you
unless with my Tiara now. I know it might be because our nighttime back then.
The Tong Sui, the noodles, George Town, anything. Perhaps, made you crazy and
falling in love with me. I appreciate that though. There is one thing I want to
tell you too actually. Why we did do that, why I asked you that night…”
Membaca balasannya, rasanya aku ingin meneguk obat
anti kecoa cair saja. Eh tapi tunggu, ia ingin mengatakan sesuatu. Sebuah
petunjuk mengapa dirinya saat itu mengajakku jalan malam-malam. Ia menambahkan
: “Honestly, your face, your gesture,
looks like so much with Tiara, if you notice that. For the first time I met
you, you really remind me with her. I know that’s too bad but I couldn’t help
with that…”
Ya, yang ku ingat bentuk wajahku dengan Tiara hampir
sama, sama-sama lonjong dengan dagu lancip. Ditambah bentuk rambut kami yang
sejenis, bergelombang semi lurus. Bedanya ia panjang dan aku hanya sebahu.
Wajah kami juga hampir mirip. Kami sama-sama berperawakan Arab. Padahal aku
sendiri tidak ada darah Arab sama sekali, sedangkan Tiara masih ada karena
pengaruh aroma Melayu Malaysia dari nenek moyangnya. Tapi perbedaan paling
signifikan adalah tinggi kami, yakni tingginya yang 178cm, sedangkan aku hanya
165cm. Jelas jauh berbeda. Betisnya juga indah, semampai. Kalau aku? Jangan
ditanya. Dengan berat 70kg, apa yang bisa diharapkan?
Jadi pantas sajalah kalau Adam kesemsem denganku
karena keterlaluan mirip dengan Tiara. Tapi ada bangganya sih karena itu
berarti aku yang tidak seberapa ini bisa disamakan dengan model kelas
internasional macam Tiara. Hahaha.
Lalu, Adam kembali mengetik: “I know Tiara said that she loves me first, but in the deepest of my
heart, I always catch her up every day since the day we met when we were child.
We already met each other since we were 8, and we’ve been best friend since
that too. Turned out, before she left KL for Jakarta, in my 12th
birthday party at my place, she was there, she became as a very beautiful,
independent, and smart girl. Since that, somehow I fell in love with her, until
now. But, we should separate when she decided to move to Jakarta and then she
lived in London to take modeling school. I felt no air without her for sure. So,
when we met again several weeks ago in KL, we hang out again. From that, we are
both falling in love each other. Just like now. Really apologize, Yureka. But I
hope we still be good friends in a lifetime”
Ya, saat itu langit serasa runtuh atau hujan salju
menyerang hebat. Tapi aku lega, setidaknya ia mau jujur karena aku sudah jujur
kepadanya. Tidak ada lagi yang harus dirahasiakan. Dan untuk pertama kalinya,
seorang gebetan bisa merespon isi hatiku meskipun secara tidak langsung. Dan
bukan berarti dia akan menerima cintaku, dia hanya mengapresiasi apa yang telah
terjadi kepada kami.
Saat itu aku hanya berharap kami tidak saling bertemu
lagi. Ya, bagiku ketika aku tidak bisa mendapatkan cinta seseorang, lebih baik
aku tidak bertemu lagi dengannya, sama sekali! Daripada harus bertemu dan
merasakan sakit lagi. Bertemu lagi dan mengingat semua momen-momen bersamanya.
Belum lagi kalau bertemu mana ada yang tahu apakah kita bisa jatuh hati lagi
atau tidak. Dan sejak itu, aku cukup takut untuk memulai lagi.
Sambil melihat ke arah cermin, aku melihat diriku,
Yureka, gadis yang sedang dalam proses metamorfosis menjadi wanita dewasa yang
tidak pernah beruntung dalam hal cinta, Hmm, maksudku belum beruntung. Ya, aku
memang punya segalanya. Aku masih memiliki orang tua dan anggota keluarga yang
lengkap dan harmonis, aku bisa membiayai sebagian biaya hidupku di New York,
aku sudah pernah beberapa kali ke luar negeri, dan juga banyak mendapat
pencapaian dalam hidup, tapi tidak dengan cerita cintaku. Tapi bukan Yureka
namanya kalau menyerah begitu saja. Aku masih harus sabar menunggu siapa
sebenarnya yang akan memenangkan hati ini.
-Dok dok
dok dok-
Aku yang sedang asyik merenung, tiba-tiba dikagetkan
dengan suara ketukan pintu kamar mandi yang lumayan keras.
“Yur, udeh belom? Lama amat? Gantian dong kebelet
nih!”, teriak Chandra dari luar.
Tanpa menjawab aku pun keluar kamar mandi.
“Yar yur yar yur. Emang gue sayur”, ucapku kesal.
“Yaa emang nama lu begitu, bukan? Udah buruan gantian,
kebelet”, balas Chandra sambil terburu-buru masuk ke kamar mandi.
Lucu memang kalau sudah bertemu mereka bertujuh.
Ada-ada saja yang dibercandakan. Rasa sedihku pun hilang seketika.
Setelah memasuki ruang rapat yang diadakan di ruang
makan apartemen Kak Anna, dengan sangat terkejut aku menerima sebuah kertas
dari tangan Kak Anna ke wajahku yang akan lewat dan berniat duduk dibaris
depan.
“Nih!”, disodorkannya sebuah kertas dari Kak Anna.
Sontak aku kaget sambil berkata, “Duh santai dong.
Jangan ke muka juga. Apaan nih btw?”
“Ini tugas-tugas yang direkomendasiin Bu Mirna ke
kita. Nah karena lu kemaren nggak dateng, jadi lu bisa baca-baca dulu. Eh tunggu,
jangan-jangan lu belom tahu lu masuk divisi mana?”, jelas Kak Anna yang sangat bossy meskipun ia memang yang jadi
bosnya di antara kami berdelapan.
“Iyaa, gue nggak tahu Kak. Hehehe”, jawabku polos sambil
mengelus rambutku yang agak sedikit tidak beraturan.
“Hmm, sudah kuduga”, Kak Anna menyipitkan kedua
matanya ke arahku.
“Sorry.
Janji, gue akan kerja dan cari ide sebanyak-banyaknya”, ucapku tegas pada Kak
Anna.
“Bener yaa? Nih gue jelasin dulu, jadi gue kan
koordinatornya. Dhimas, Gilang, sama Chandra bagian perlengkapan. Farida sama
Fikri bagian promosi dan cari talent…”
Belum selesai Kak Anna bicara, aku memotong
perkataannya,
“Eh tunggu, Farida sama Fikri kan sepupuan, curang
banget mereka dijadiin satu divisi?”, tanyaku protes
“Heh, justru karena mereka itu sepupuan, jadinya
gampang kalo komunikasi. Mereka juga tinggal satu apartemen kan? Jadi gampang
koordinasinya. Udah deh nggak usah protes. Nah, kalo elo sama Eugene, bagian
dekorasi. Paham kan lu maksud gue? Nih datanya. Tuh kalo lu gak tahu orangnya,
noh duduk dipojokan dia.”, Nah kalau yang seperti ini Kak Anna terlihat aslinya
yang sangat bijaksana. Tidak salah kalau kami berdelapan memanggilnya dengan
sebutan “Ibu Pertiwi” yang bijak dan selalu menasehati kami dengan nilai-nilai
budaya negeri tercinta.
“Okay, beres bos!”, jawabku dengan posisi tangan
hormat di atas dahi. “So, gue kerja dulu ya. Jangan ngoceh aja ah. Nanti
cantiknya luntur”.
“Kecantikan gue abadi selamanya, ya kan, guys?”, tanya
Kak Anna pada semua anggota rapat.
Naasnya, semua terdiam tanpa gaung. Menandakan bahwa
lelucon Kak Anna kali ini gagal total.
“Santai aja dong ngeliatinnya. Yaudah internal lagi.
Dalam waktu 30 menit, kita mulai rapat besarnya ya”,
“Siap, Kak!”, hanya Farida yang menggubris. Memang
anak baik. Sedangkan yang lainnya hanya menjawab “Iyaaa” dengan tanpa ekspresi.
Sesaat sebelum aku duduk dan bekerja sama dengan
Eugene, seperti yang ditugaskan Kak Anna, aku melihat semua tim sibuk membahas
hal-hal yang menjadi bagian divisi masing-masing. Ku lihat Dhimas yang sedang
sibuk menasehati Gilang yang sedang browsing
informasi di internet. Sedangkan Farida dan Fikri juga asyik dengan gadget
mereka guna mencari orang-orang yang akan dijadikan sebagai model dalam
peragaan busana nanti. Lalu Chandra kemana? Oh ya, dia kan sedang buang air
kecil.
Setelah melihat-lihat, lalu aku menghampiri Eugene
yang katanya satu tim denganku. Aku dan dirinya tergabung dalam divisi
dekorasi. Aku belum bisa melihat wajahnya dengan jelas karena tertutup setengah
dengan laptop MacPro-nya. Kelihatannya, ia sudah sibuk sedari tadi. Tatapannya
ke arah laptop berwarna perak itu sangat serius. Dilengkapi kacamata kotaknya,
ia terlihat duduk sangat nyaman di kursi kuliah di sudut ruangan dekat wastafel
dapur. Tapi ngomong-ngomong, ku dengar memang Eugene ini bekas anak arsitektur,
jadi pasti ide dan konsepnya soal dekorasi akan sangat bermanfaat. Tidak heran
kalau melihat dia serius begitu, pasti sudah mulai mencari informasi-informasi
seputar ide dekorasi untuk acara Batik Day nanti.
“Hey”, sapaku.
“Eh, Yureka. Dateng juga lu akhirnya. Duduk, Yur”,
balasnya. Sopan sekali lelaki ini.
“Thank you”,
ucapku sambil meletakkan tas ku diatas meja dapur dekat wastafel. Dan ketika
melihat wajah Eugene, aku rasa aku tidak asing lagi. Hingga kemudian tercipta
percakapan seperti berikut:
Yureka :
“Eh Eugene, ya? Iyaa bener. Parama Eugene Oetomo, kan? Anak Columbia University
itu? Yang satu kelompok sama gue pas seminar Sumpah Pemuda tahun lalu. Ya,
kan?” (ekspresiku terkejut. Benar-benar terkejut)
Eugene :
“Iyaa. Gue emang Eugene. Elu Yureka kan? Lah emang lu nggak tahu kalo yang satu
divisi sama elu itu yaa gue?” (ekspresinya datar)
Yureka :
“Nah iyaa, gue nggak tahu sama sekali. Sumpah! Gue kira Eugene siapa. Yaa nama
Eugene kan banyak. Heh Kak Anna, elo kok kenapa nggak bilang kalo Eugene nya Eugene
ini?” (ku lempar percakapan ke Kak Anna yang sibuk dengan laptopnya)
Kak Anna :
“Lah elu nggak nanya sama gue? Salah sendiri sibuk mulu ngurus tesis.” (rasanya
ingin ku pukul Kak Anna seketika)
Dhimas :
“Ya maklum, Kak, orang sibuk.” (Dhimas tiba-tiba menyambar bagai kilat)
Yureka :
“Apaan sih, Dhim.”
Farida :
“Oh jadi ternyata Kak Yure sama Kak Eugene pernah ketemu sebelumnya?” (tidak
hanya Dhimas, Farida pun ikut menyambar)
Yureka :
“Iyaa kita pernah ketemu sebelumnya. Jadi, waktu itu gue sama Eugene satu tim
bareng pas sesi mini forum gitu deh di acara seminar Sumpah Pemuda KJRI tahun
lalu.”
Eugene :
(hanya mengangguk sambil mata tetap menatap layar laptop)
Farida :
“Oh gitu ternyata”
Yureka :
“Hehehe. Iyaa.”
Kami semua melanjutkan rapat internal kami. Begitu
pula denganku dan Eugene. Tapi kami masih saling berbincang-bincang. Agaknya
ini seperti reunian yaa.
Yureka :
“Eh, Jin, kayaknya lu waktu itu agak-agak hilang dari peredaran. Kayak lost contact gitu. Kenapa sih?”
Eugene :
“Oh iyaa emang bulan Maret kemaren hape gue rusak. Kecemplung bak wastafel pas
lagi cuci piring. Trus rusak, nggak bisa nyala, semua kontak disitu ilang, dan
akhirnya ganti baru. Tapi ganti barunya juga sekitar 3 mingguan kemudian sih.”
(berhenti sejenak dari aktifitasnya membuat desain panggung hanya untuk
menjawab pertanyaanku. Eugene memang baik.)
Yureka :
“Kenapa demikian?”
Eugene :
“Yaa biasa. Permasalahan anak kuliahan apaan sih yang nggak jauh dari duit.
Akhirnya gua pinjem loan money dari
kampus dan baru cair 3 minggu kemudian.”
Yureka :
“Oh gitu. Kasian ih. Tapi, now it’s all
good kan?” Udah bisa kontak sana kontak sini?”
Eugene :
“Iyaa udah bisa kok.” (sambil tersenyum)
Chandra :
“Apaan jin, satu-satunya alasan lu beli hape lagi kan demi main game offline.
Ya kan?”
Eugene :
“Apaan sih lu, dateng-dateng abis pipis malah sok tahu gitu.”
Chandra :
“Nggak usah bo’ong. Jujur aja udah.”
Eugene :
“Iyaa sih.” (sambil meringis)
Yureka :
“Ya ya, anak game. Got it. Trus trus, kalau ada kabar soal
kampus, atau PERMIAS, gimana tuh?”
Eugene :
“Yaudah nggak bisa aja. Mau gimana lagi. Yaa ujung-ujungnya gua suruh mereka email gue.”
Yureka :
“Okay I see. Eh tapi sumpah loh gua
masih nggak nyangka kalo Eugene yang dimaksud itu tuh elu. Kirain siapa gitu.”
Eugene :
“Menurut lu orang Indonesia mana lagi yang namanya Eugene dikalangan PERMIAS
dan KJRI? Kayak cuma gue doang deh. Pede banget ya gue?”
Yureka :
“Ya kan siapa tahu.”
Ya, percakapan yang cukup panjang itu memang untuk
mengingat kembali kapan pertama kali aku dan Eugene bertemu. Saat itu kami
sama-sama mengikuti seminar Sumpah Pemuda yang diadakan PERMIAS dan KJRI. Dan
saat itu pula kami menjadi satu tim untuk forum kecil yang kami namakan “Blue
Aqua Team” karena saat penentuan kelompok, semua anggota kelompok kami
sama-sama duduk di bangku dengan nomor meja berwarna biru.
Jujur, saja awalnya aku tidak tertarik sama sekali
dengan Eugene. Bayangkan saja, tampak luar ia sangat arogan dan jutek. Matanya
yang sipit dan wajahnya yang oriental itu membuatku makin yakin dengan
mengecapnya sebagai “Chinese yang Jutek”. Lalu, saat kami dalam satu tim itu,
Eugene sama sekali tidak memberikan idenya. Hanya duduk mendengarkan keempat
anggota lainnya menyampaikan pendapat. Dalam hatiku saat itu berkata “Dasar Cina, mentang-mentang pinter trus nggak mau join sama kita yang biasa aja kayak
gini”. Tapi ternyata setelah bertemu kembali, Eugene tidak seperti yang ku
kenal saat pertama kali bertemu. Ia sekarang tampak lebih ramah, sopan, dan
halus. Apa benar seseorang bisa berubah drastis dalam kurun waktu yang singkat?
Ya, semoga saja demikian. Meskipun wajah juteknya tidak berubah sama sekali,
tapi setidaknya ada sedikit senyum di bibirnya dibandingkan dahulu karena dia sangat
kikir senyum. Tunggu, kenapa aku jadi memujinya? Aku kan tidak ada niatan
demikian.
Memang aku akui Eugene adalah laki-laki paling ganteng
di antara anggota tim seminar saat itu. Jangan salah sangka dulu, karena memang
waktu itu semua anggota kelompok perempuan semua, kecuali dia laki-laki
satu-satunya. Saat itu kelompok kami ada lima orang, ada Intan, Kinanti, Dewi,
Eugene dan aku. Ya, sudah jelas kan diantara anggota kelompokku, ia memang yang
paling tampan karena ia laki-laki sendirian.
Tapi bagaimana kalau dibandingkan dengan anggota
laki-laki panitia Batik Day lainnya?
Gilang? Ya, lumayan sih karena ia tinggi semampai bak
pemain basket ibukota. Tapi sayangnya wajahnya polos dan gaya bicaranya medok
Jogjakarta. Tidak apa sih memang, toh orang kan tidak ada yang sama, punya
keunikan tersendiri.
Bagaimana dengan Dhimas? Tampak keren dari luar. Kalau
di Indonesia, dia totalitas anak gaul Jakarta. Kalau main selalu ke Mall atau
minimal ke kafe-kafe terbaik ibukota. Cara berpakaian pun selalu mengikuti
jaman dan cara berbicaranya juga gaul sekali. Selalu terselip kata “Anjas,
anjrit, dan an-an-an” yang lain yang terlontar dari mulutnya. Benar-benar anak
gaul. Tapi sayangnya, label anak gaulnya mendadak memudar kalau kalian tahu
bahwa dia jarang mandi ke kampus. Dhimas juga kudengar sering gonta-ganti
pacar. Semoga segera ia insyaf dan memilih 1 wanita saja yang dia persunting
nantinya.
Kalau Fikri? Oke sih menurutku. Tipikal wajahnya yang
ganteng Indonesia itu membuat hampir semua perempuan terenyuh. Ia juga kalem,
pintar, birokasinya bagus, dan prestasinya di bidang Sains tidak diragukan.
Tidak salah kalau beasiswa LPDP menjadikannya salah satu penerima beasiswa full di Columbia University. Tapi
sayangnya ia sudah punya pacar. Bagiku, seganteng apapun seorang laki-laki,
kalau sudah punya pacar, tidak jadi ganteng, jadi biasa saja.
Dan Chandra? Hmmm. Begini, aku bukan bermaksud
menjelek-jelekkan teman sendiri tapi… Matanya sipit, kepalanya botak, giginya
agak maju kedepan, pakai kacamata bulat seperti Boboho, ada tahi lalat di
pelipis dan dekat matanya dan gayanya yang sok itu, membuatku jijik setengah
mati. Cara bicaranya juga terkadang kasar, mengandung konten seksual. Hmm, aku
tidak suka laki-laki yang kalau bicara terlalu kasar dan porno. Untung Chandra
ini teman baikku selama di New York. Semua kelemahannya ku maafkan.
Kalau Eugene? Secara fisik dia boleh juga. Tingginya
175cm, warna kulit kuning langsat, wajahnya oriental, mengenakan kacamata
berbentuk kotak full frame, badannya
berisi, dan gaya rambutnya yang seperti Oppa-Oppa Korea, agaknya membuatku
mulai meleleh.
Tunggu, kenapa aku jadi memuji Eugene lagi? Dan kenapa
aku jadi memuji orang berwajah oriental seperti ini? Apa karena masih dipengaruhi
oleh bayangan Adam yang Chinese itu?
Jadi, gara-gara Adam aku jadi suka pria oriental? Ada apa denganmu, Yureka?
Setelah percakapan yang ternyata juga reunian itu, aku
dan Eugene melanjutkan perbincangan kami dengan membahas dekorasi panggung untuk
acara “Batik Day 2018” mendatang. Eugene menyarankan agar kami membuat desain
dekorasi untuk panggung peragaan busana terlebih dahulu, baru kemudian dekorasi
podium untuk seminarnya. Selama diskusi, aku benar-benar tidak melihat Eugene
se-arogan dan se-sombong seperti pertama bertemu. Kenapa bisa begitu ya? Ya,
aku tahu semua orang kan bisa saja berubah setiap detiknya, tapi ini
benar-benar beda dari yang pertama aku mengenalnya. Lebih lagi, aku juga masih
ingat betul, saat kami foto berlima sesaat setelah seminar itu selesai, Eugene
sangat kikir senyum. Oke, pada beberapa foto ia tersenyum, tapi sisanya,
ekspresinya sangat datar. Ya, aku tidak tahu persis mengapa demikian, mungkin
kala itu dia sedang ada masalah, jadi agak malas tersenyum. Dan mungkin sekarang,
atau beberapa hari belakangan, suasana hatinya baik, jadi terlihat sangat
ramah. Tapi kan dia laki-laki, laki-laki biasanya mental dan emosinya sudah
stabil, tidak sepertiku yang sudah berjenis kelamin perempuan, emosi masih
labil, semua hal bisa jadi terbalik kalau sesuatu membuatku mendadak tidak mood.
Selama berdiskusi, sesekali aku selipkan pertanyaan
yang kuajukan pada Eugene. Yaa, supaya tidak terlalu canggung diantara kami
berdua. Aku hanya tidak ingin sebagai sesama divisi, kami tidak punya chemistry yang baik.
“Wah jago banget sih desainnya. Jurusan lu apa sih?
Desain?”, tanyaku pada Eugene.
“Bukan. Cuma arsitektur kok”, jawabnya sambil membuat
garis-garis simetris di laptopnya.
“Oh pantesan. Yaa, tetep aja kenanya kan desain juga”,
sautku protes.
“Beda dong. Desain kan apa tuh sebutannya, hmm DKV.
Iyaa, DKV. Nah gue arsitektur. Yaa, just
architecture. Beda”, jawabnya yang kudengar penuh kesabaran akan
keprotesanku itu.
“Iyaa deh beda. Emang beda sih. Eh tapi yang ini pake Autocad kan? Yang biasanya buat anak
arsitek itu?”, tanyaku lagi.
“Iyaa gue emang terbiasa pake ini dari jaman kuliah S1
dulu. By the way, kok lu tahu ini Autocad?”, jawab Eugene sambil
tersenyum. Astaga senyumnya manis juga.
“Iyaa, soalnya bokap gue dulunya arsitek juga. Kakak
gue juga dulu kuliahnya arsitektur”, ucapku mulai tersipu malu.
“Oh pantesan. Jadi nggak kaget dong liat-liat
bangunan?”, tanyanya sambil menatap ke arah ku. Astaga aku mulai gugup.
“Iyaa. Trus ini lu S2 nya arsitektur juga?”, tanyaku
lagi.
“Nope. Urban
Planning”, jawabnya masih dengan kharismanya.
“Waduh, ada calon Menteri Tata Kota nih. Entar bikin
dong Indonesia jadi banyak taman, banyak kembang-kembangnya, banyak yang
ijo-ijonya lah pokoknya. Jakarta udah panas”, saranku sambil mengambil botol
minum di tasku karena mulai kehausan.
“Iyaa, Jakarta emang makin… hmmm yaa gitu lah. Panas.
Macet. Everything. But, I still love it”,
jawabnya sambil terus menatap ke layar laptop.
“Emang domisili lu Jakarta kok tahu aja Jakarta makin
kacau panasnya?”, tanyaku penasaran.
“Tahu lah, gue lahir di Jakarta soalnya”, jawab Eugene lugas.
“Lahir dan gedenya di Jakarta?”, aku mulai interogasi
Eugene lebih dalam. Ya, aku mulai penasaran.
“Hmm, gimana yaa. Jadi tuh gue lahir dan kecil sampe
lulus SD di Jakarta, tapi pas TK sempet pindah ke Surabaya sih. Trus pas SMP
pindah ke Bali. Dan tinggal disana sampe sekarang. Keluarga gue juga masih
tinggal disana”, jelasnya sambil menaikkan kacamata kotaknya yang sedikit
melorot.
“Oh orang Bali ternyata. Keren. Sering liat pantai
dong”, entah kenapa aku jadi wawancara Eugene seperti ini. Pembangunan chemistry macam apa ini?
“Nggak juga. Tapi waktu SMA sih sering kabur ke pantai.
Biasa lah anak muda. Di Bali tuh kalo gabut yaa having fun aja di pantai. Liat ombak. Liat orang pada sunbathing”, jawabnya semakin lama
semakin santai.
“Wah, bisa surfing
dong?”, tanyaku masih penasaran.
“Nggak bisa. Gue…seasick. Hehehe”, jawabnya agak malu-malu.
“Seorang Eugene anak Urban Planning Columbia
University takut laut? Ya ampun”, aku hanya bisa tertawa dalam hati. Bagaimana
bisa hidup di Bali bertahun-tahun tidak bisa berselancar.
“Anak Columbia kan juga manusia, ya kan?”, jawabnya santai
tapi aku tahu pasti dalam hatinya dia juga malu.
“I know.
Hmm, trus lu berarti lahir di Jakarta, besar di Bali, trus kuliah S1 di Bali
juga?”
“Nggak. Gue kuliah di luar”, jawabnya yang agak
mencurigakan.
“Di luar? Luar negeri maksudnya? Dimananya?”, tanyaku
sambil sekilas membuka layar ponsel ku untuk melihat jam.
“Di Hong Kong”, jawabnya tegas.
“Hong Kong?!”, seketika aku kaget dibuatnya. Untung
ponsel milenial yang sedang kupegang tidak ku lempar.
“Iyaa Hong Kong. Kenapa? Ada yang salah?”, tanyanya
kepadaku penasaran.
“Eh… hmmm… itu…”, Aku bahkan tidak bisa menjelaskan
apa-apa. Lidahku membeku. Memoriku melayang kemana-mana.
Ada apa ini? Kenapa seperti dejavu? Telingaku seakan
berdenging mendengar negara berawalan ‘H’ itu. Eugene bukan salah satu anggota
keluarganya Adam Wang kan? Katakan padaku kalau ini hanya kebetulan saja.
((BERSAMBUNG))
Yureka. Apartemen Arianna. Masa Depan.
Baiklah, Yureka, tenang. Percayalah kalau Eugene tidak
ada sangkut pautnya dengan Adam. Kalau saja Ya, habislah aku.
Aku mencoba tenang di depan Eugene. Tidak gugup. Tidak
panik. Tapi kemudian aku berkeringat di atas keningku. Payah sekali.
“Yureka, are you
okay? Kok tiba-tiba keringetan gitu?”, tanya Eugene penasaran.
“Ehm, enggak. Enggak apa-apa kok. Cuma kaget aja. Anak
lulusan Hong Kong gitu loh. Waw. Keren.”, jawabku mencari alasan agar tidak
terlihat panik.
“Biasa aja. Dulu sama sekarang yaa sama aja, anak
kosan, ngirit, sering sakit-sakitan. Wah banyak lah memorinya”, setelah yakin
kalau aku baik-baik saja, ia kembali sibuk dengan laptopnya.
Aku pun mencoba tenang dan rileks. Sambil mengajukan
pertanyaan lain, “Di Univ mana kalo boleh tahu?”
“The University of Hong Kong. Departemen Arsitektur”,
jawabnya seperti penuh kebanggaan.
“Waah The University of Hong Kong yaa?! Waaah kereeen!”
Suaraku makin meninggi. Kepanikan tidak jadi berkurang. Dalam hati aku bergumam
: “Kampus itu kan kampus adiknya Adam Wang, si
Sophia. Semoga Eugene tidak kenal Sophia anak jurusan Ekonomi itu”.
“Kenapa sih? Ada yang aneh yaa? Kayaknya dari tadi
reaksi lu nggak wajar gitu. Ada apaan emangnya?”, Eugene penasaran lagi.
“Enggak apa-apa kok. Santai aja. Yuk terusin lagi ini
ngedesainnya”, aku mengalihkan pembicaraan.
Tak berapa lama, Kak Anna menghentikan kami-kami yang
sedang sibuk diskusi internal. Kak Anna yang tampak jutek namun baik hati
seperti peri itu mulai menggabungkan kami berdelapan untuk mengadakan forum
besar guna membahas hal-hal yang sudah kami diskusikan dengan masing-masing
divisi sebelumnya.
Tepat pukul 19.00, kami yang biasanya ketawa
terbahak-bahak, saling lempar lelucon, mendadak menjadi serius. Ya, karena
untuk membahas sesuatu yang bersifat profesional, tentunya kami semua harus
profesional, harus serius agar semua pokok pembahasan dibahas dengan cepat dan
tepat.
Empat puluh menit berlalu, kami masih serius membahas
ide untuk lokasi acara. Kami sempat kebingungan mengenai lokasi, karena kami harus
memikirkan lokasi yang mudah dijangkau oleh banyak khalayak, tidak jauh dari
KJRI, dan tidak jauh dari basecamp
kami yaitu apartemen Kak Anna. Permasalahannya memang ada di lokasi apartemen
Kak Anna yang agak jauh dari dua lokasi yang kusebutkan tadi.
“Ada dua opsi untuk solving problem lokasi ini. Mau deket basecamp supaya tetep gampang buat kita mondar-mandir, atau, jauh
dari basecamp tapi deket sama KJRI?”,
ucap Dhimas.
“Tapi masa iyaa kita mau basecampnya di KJRI? Nggak enak kali. Suka ada anak-anak PERMIAS
disitu pada rapat. Fikri, lu kan pengurus PERMIAS, gimana menurut lu?”, sahut
Kak Anna.
“Duh, gue nggak tahu kak. Gue kan jarang ngumpul sama
mereka”, bahkan Fikri tidak bisa memberikan solusi.
“Kenapa emang? Lu harusnya bersyukur udah jadi pengurus
PERMIAS. Akses mereka ke KJRI juga gampang”, tanyaku kritis.
“Ya, lu nggak tahu aja kak Yure gimana anak PERMIAS.
Kurang cocok sama gaya bergaul gue, Kak”, aku Fikri.
“Berarti kamu yang kurang gaul?”, sahut Gilang dengan
logat medoknya itu.
“Udah udah jangan diperpanjang. Udah biarin aja. Toh,
itu privasi mereka. Hmm, kalau kita pake apartemennya Yureka buat jadi basecamp, gimana?”, Kak Anna lagi-lagi
bijaksana menanggapi semua itu.
“Wah nggak deh. Bukannya nggak mau nih, tapi gue sekamar
sama dua orang dan dua-duanya beda banget. Gue cuma sungkan aja sama salah satu
dari mereka”, jawabku agak protes.
“Salah satu dari mereka? Maksudnya?”, tanya Eugene.
“Jadi, yang satu imigran dari Libya. Anaknya strict banget. Nggak boleh pake banget
laki-laki masuk ke apartemen kita. Ya, padahal kan we are in US right? Yaa, tahu sih gue sama dia sama-sama muslim,
dan sebisa mungkin nggak masukin yang bukan muhrim. Tapi menurut gue itu
kurang… yaa…”, jelasku kebingungan.
“Ya ya gue paham maksud lu. Trus yang satunya gimana?”,
tanya Kak Anna lagi.
“Nah, kalo yang satu lagi sih enak banget orangnya.
Orang Meksiko, santai banget anaknya. Kalau aja gue satu apartemen ama dia doang
yang orang Meksiko itu, lu pada mau mondar-mandir ke apartemen gue ampe jungkir
balik juga nggak masalah sama dia. Dia juga orangnya jarang di apartemen,
sering malah doi nggak pulang karena tugas di luar kota”, jelasku pada tujuh
panitia lainnya yang akhirnya mengerti situasiku ini.
Di tengah-tengah diskusi, tiba-tiba suara adzan
berkumandang dari salah satu smartphone
kami.
Aku bergumam dan bertanya pada yang lain, “Sejak kapan
Islamic Center NYU pindah deket apartemen Kak Anna?”
Kak Anna langsung merespon, “Itu bukan masjid nona.
Noh, hape-nya si Yujin”
Eugene langsung mengeluarkan smartphone barunya dan berkata, “Iyaa ini hape gue kok guys. Sorry
sorry. Hehehe.
“Btw, udah
magrib nih, kalo kita-kita pada sholat dulu aja gimana? Gapapa kan Kak Anna?”
tanya Dhimas penuh perhatian.
“Yaa deh gapapa. Kayaknya kita juga udah hampir satu jam disini.
Perlu refreshing nggak sih buat jeda gitu?”, jawab Kak Anna
bijak.
“Iyaa bener kak. Yuk yuk. Utamakan ibadah. Kak Anna pinjem kamarnya
yaa”, Gilang seakan yang akan memimpin sholat berjamaahnya.
“Santai lah pake aja”, respon Kak Anna santai.
Ya, adzan magrib telah berkumandang. Memang, waktu
solat magrib kala musim panas seperti ini dimulai sekitar pukul 19.47 waktu
setempat. Satu setengah jam lebih lama dari waktu normal di Indonesia. Kemudian
ku melihat Gilang, Dhimas, Eugene dan Fikri bersama-sama menuju kamar Kak Anna
untuk menunaikan solat magrib berjamaah. Sedangkan aku dan Farida, kami
sama-sama sedang menstruasi. Sedangkan Kak Anna sendiri penganut Khatolik dan
Chandra pun penganut Konghucu. Meski demikian, itu tidak menghalangi pertemanan
kami. Kami kan satu Indonesia, berbeda-beda tapi tetap satu.
Eh tapi tunggu, suara adzan tadi dari notifikasi
hape-nya Eugene, ya tadi? Berarti Eugene punya aplikasi waktu solat dong? Dan itu berarti Eugene muslim?
“Yureka, solat nggak?”, tanya Eugene padaku dari arah
belakang ketika ia sudah berdiri dan menuju ruang solat.
“Lagi nggak sholat, jin. Biasa bulanan perempuan”,
jawabku kaget karena hampir terlelap dalam lamunan.
“Oh gitu. Oke deh. Kita solat dulu ya”, respon Eugene
tampak sejuk membuat hati adem.
Ya ampun, ternyata Eugene itu seorang muslim. Aku
pikir dia bukan. Ya, dilihat dari luarnya memang tampak seperti non-muslim,
tapi ternyata dugaanku salah. Benar lagi kan kalau kita tidak boleh menilai
orang dari luarnya aja. Tapi boleh juga nih si Eugene kalau dijadikan pacar.
Aduh, Yureka, hentikan lah. Jangan mulai mengkhayal lagi. Cukup rasa sakit
akibat Adam, jangan cari perkara lagi. Eh tapi tidak ada salahnya kan kalau
lebih tahu Eugene lebih dalam. Ah, tidak tahu lah. Lihat saja nanti.
Kemudian Kak Anna menyarankan sesuatu, “Eh gimana
sambil nunggu mereka solat, lu order makanan, Chan? Nanti gue yang bayar bill-nya”.
“Wuih udah kaya raya rupanya sekarang yaa”, sahut
Chandra.
“Bukan duit gue, Chandra Setiawan! Duit dari KJRI.
Kita dikasih itu buat biaya konsumsi rapat kita. Jangan lupa bilang terima kasih
sama beliau-beliau yaa nanti. Ya udah sana order apa lah gitu”, jelas Kak Anna.
“Enggak nunggu kakak-kakak yang lagi pada solat aja,
Kak? Siapa tahu mereka mau apa gitu”. Benar juga yang dibilang Farida.
“Udah pada solat belum mereka? Kalau belum mulai, biar
gue tanyain aja,” saranku sambil mengunyah satu biskuit yang kuambil dari
sebuah toples di meja makan Kak Anna.
Kemudian ku ketuk pintu kamar Kak Anna yang ada persis
di sebelah ruang makan apartemen. Ternyata para laki-laki belum mulai solat,
jadi bisa ku tanyakan terlebih dahulu.
“Hey, para laki-laki, Chandra mau order makanan, pada
mau makan apa?” Tanyaku sambil tetap mengunyah biskuit Kak Anna. Sepertinya aku
mulai lapar.
“Hmm apa yaa?”, Fikri menggumam.
“Mie-mie gitu dong.” Eugene mengungkapkan pendapat.
“Mie? Yang lain?”, Dhimas agaknya protes.
“Pengen nasi padang. Kangen nasi padang titik maksimal
nih”, Gilang membuat pernyataan sengak.
“Aduh itu mahal nggak sih bisa 15$ sendiri sebungkus? Yang lain deh”, kesal tapi kuingin tertawa
mendengar perkataan Gilang tersebut.
“Spagetti aja. Chinese
noodle ada minyak… the pig-nya”.
Fikri alim sekali.
“Iyaa juga sih. Tapi gue sering makan itu di China
Town selama ini. Waduh lupa gue nggak tanyain ke penjualnya pake minyak itu
atau nggak”, ungkap Eugene yang menjadi paranoid.
“Ya kalo lu tanyain satu-satu yaa nggak akan nemu yang
nggak pake, Jin. Susah kali”, Dhimas berkomentar dengan bijaksananya.
“Yaudah nggak usah berantem. Cepetan mau pesen
apaan?”, sahutku mulai dongkol.
“Boleh deh spaghetti aja. Yang penting mie-mie-an
gitu”, Eugene tetap pada pilihan hatinya. Pemuda ini merasa ia punya hak untuk
memilih.
“Okay, spagetti yaa. Gue bilangin yang lain nih. Yakin
yaa?”, tutup ku meyakinkan para pemuda generasi penerus bangsa ini.
“Iyaa boleh boleh. Thank you Yureka!”, ujar semua pemuda.
Sambil jalan dari kamar Kak Anna kembali ke ruang
makan, aku berfikir sesaat dan dalam hati berkata “Eugene suka mie? Kenapa dari
tadi pilihannya jatuh pada mie bukan pizza gitu misalnya, atau sandwich apa
gitu. Dia tetap bilang mie. Kenapa Eugene jadi mirip Adam? Aduh kebiasaan dari
dulu Yureka ini kalau suka sama laki-laki, gue samakan ciri-cirinya dengan
orang lain. Lebih lagi terkadang Yureka menganggap wajah orang lain mirip
dengan lelaki yang ia suka. Yureka, kamu sangat aneh”.
Setelah terlelap dalam lamunan selama 15 detik, segera
ku sampaikan pesanan makanan kepada Chandra, “Mereka pengen spagetti. Pokoknya
mie-mie-an gitu deh”.
“Okay, spagetti yaa. Lu juga kan, Farida, Kak Anna?”,
tanya Chandra meyakinkan.
“Iyaa Kak, samain aja”, Farida yang menjawab, Kak Anna
entah dimana, sepertinya di kamar mandi.
Setelah sekitar 30 menit menunggu, akhirnya pesanan
kami datang. Chandra yang tadi pesan 8 spaghetti dan 1 loyang pizza juga 8 soda
kalengan, pun yang menerima pesanannya di depan apartemen Kak Anna. Selama
makan malam, kami berbincang-bincang banyak hal. Ternyata ada banyak hal yang
belum aku ketahui dari delapan teman-temanku ini. Padahal sudah hampir satu
tahun aku mengenal mereka, tapi tetap saja ada informasi yang belum aku
ketahui, seperti Chandra, ternyata mahasiswa Institute of Culinary Education
New York City jurusan Pastry itu
memiliki saudara kembar. Kembarannya bernama Chelsea. Kupikir kembarannya
laki-laki, tapi ternyata perempuan. Dari cerita yang Chandra bagikan, kembarannya
itu tidak lagi satu rumah dengannya sejak mereka berusia 3 tahun. Chandra dan
keluarganya tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur, sedangkan Chelsea tinggal
dengan sepupu Ayahnya di Palembang. Hal itu terpaksa dilakukan untuk mengurangi
biaya hidup keluarganya yang sangat pas-pasan dikarenakan Ayahnya yang saat itu
sakit-sakitan, dan juga biaya hidup dengan Ibu dan kedua kakaknya yang juga
terbatas. Akhirnya, sepupu Ayahnya atau bisa disebut dengan Tantenya, mau
membantu mengurangi beban hidup keluarganya dengan mengadopsi kembarannya
tersebut. Meskipun tinggal berjauhan, namun hingga saat ini mereka masih tetap
berkomunikasi dengan baik. Chandra menambahkan kalau saat ini Chelsea berada di
Barcelona, Spanyol untuk bekerja di sebuah restoran di hotel sekaligus kursus
masak disana, persis seperti dirinya saat ini. Chandra yang saat bercerita itu
sambil menambahkan lada bubuk ke dalam piring spaghetti-nya, sudah berkaca-kaca
di matanya, lalu sedikit menitihkan air mata. Ia buru-buru mengelap ujung matanya
dengan melepas kacamatanya dan menyeka dengan tisu dari bungkusan pizza yang
kami pesan. Aku yakin itu air mata bahagia karena bangga memiliki saudara
kembar seperti Chelsea yang sudah sukses di Barcelona, bukan air mata yang
disebabkan oleh lada bubuk yang ia taburkan tadi.
Aku pun mencoba memberikan semangat kepada Chandra,
“Gue jadi ikut bangga. Gue emang nggak kenal kembaran lu, Chan, tapi dari cerita
lu, you deserve with that. You know, life is like rollercoaster.
Kemaren kita dibawah, besok kita bisa diatas. Tapi emang nggak selamanya kita
diatas, Chan, jadi stay humble yaa
kalo lu udah jadi chef sekelas Gordon Ramsay nanti.”
Tapi dibalas dengan pernyataan konyol Chandra, “Jadi
chef yang galak yang suka ngata-ngatain masakan orang kalo masakannya nggak enak,
gitu?”
Dibalasku dengan bijaksana, “Iyaa tapi jangan pake kata
kasar ya. Please hahaha”.
Setelah selesai makan, melempar candaan, mencuci
piring sampai ada yang harus ke kamar mandi untuk buang air besar, kami kembali
ke rutinitas kami dengan agenda rapat malam itu. Kami kembali membahas konsep
acara. Saatnya membahas media promosi untuk acara “Batik Day 2018”. Sebagai
divisi Kehumasan, Fikri memberikan sebuah ide. Ia berpikir kalau membuat video
singkat untuk di unggah ke media-media sosial adalah bentuk promosi acara yang
paling efektif.
Kemudian Kak Anna berceloteh dengan idenya, “Nah kita
kan punya penulis film disini”. Lirikan menggoda Kak Anna menuju ke arahku.
Sontak aku menjawab, “Apa? Kenapa? Suruh ngapain gue?”
“Nggak usah belagak lupa. Situ kuliah jurusan apa gue
tanya?”, Kak Anna nyolot.
“Kepenulisan drama”, jawabku polos.
“Dapet mata kuliah bikin film nggak?”, tanyanya lagi
menginterogasi.
“Nggak sih, tapi pernah dapet tugas analisis film”,
jawabku masih polos.
“Tapi pernah bikin film kan? Yang lu upload di Youtube
itu”. Kak Anna punya bukti. Sial.
“Hehehe iyaa. Tapi… it was really long time ago, Kak”. Aku pun membela diri.
“Ya tapi bisa kan bikin film? Yeah, at least lu tahu gimana konsep bikin film”. Secara tersirat
Kak Anna mendukung. Tapi ini seperti paksaan menurut ku.
“Ya okay I know
what you mean, Kak. Hmmm. Oke deh boleh, tapi gue harus di provide kameranya ya”. Aku mulai
memaksa. Tapi aku tidak salah kan kalau aku dapat hakku?
“Gampang, nanti pake punya gue aja, Yur”, Eugene
membantu keberlangsungan kehidupan Batik Day 2018.
Tunggu dulu? Eugene punya kamera? Kamera canggih macam
fotografer-fotografer hajatan begitu? Suka ia kalungkan juga ke leher? Seperti
Adam dong kalau begitu?
Mereka benar tidak saling kenal kan?
Atau jangan-jangan kembar?
Tapi mana mungkin, postur tubuh keduanya sangat
berbeda. Adam kan tinggi dan kurus, semampai bak model susu pengembang otot.
Sedangkan Eugene tinggi juga tapi lebih berisi dari Adam. Mungkin berat
badannya sekitar 70-80kg. Tapi sejak tadi kulihat dan dari informasi yang ku
dapat, mereka punya kesamaan. Sama-sama Chinese, sama-sama pakai kacamata,
sama-sama suka makan mie, sama-sama punya kamera canggih, dan sama-sama
berhubungan dengan Hong Kong. Yaa, Hong Kong lagi, Hong Kong lagi. Lagi-lagi
Hong Kong.
Ada apa sih dengan Hong Kong?
Ada yang spesial kah disana sampai semua pria yang
memikat hatiku berasal dari Hong Kong? Jackie Chan juga dari Hong Kong tapi aku
biasa saja kalau menonton aktingnya di layar lebar. Kecuali Andy Lau, aktor
tampan itu sangat memukau.
Setelah hampir 2 jam, akhirnya rapat pun disudahi
karena waktu sudah menunjukkan pukul 22.15. Semuanya harus kembali ke apartemen
masing-masing. Kak Anna menyarankan kami semua agar bermalam di apartemennya,
tapi sayangnya kami bertujuh sudah punya agenda lain di hari besoknya. Alhasil
kami semua tetap memutuskan untuk pulang naik kereta bawah tanah. Ada aku dan
Gilang yang pulang satu arah ke NYU, kemudian Eugene, Farida dan Fikri juga
satu arah ke Columbia University, serta Dhimas dan Chandra ke arah stasiun
World Trade Center.
Sebelum pulang, Dhimas memberikan ide kalau agenda
rapat berikutnya dibuat dengan acara menginap di apartemen Kak Anna. Alasannya
supaya kami bisa membahas konsep acara lebih lama dan kalau sampai malam bisa
lebih dihentikan hanya dengan tidur dan makan saja. Semua pun setuju dan
akhirnya agenda rapat selanjutnya akan diadakan minggu depan dengan tambahan
agenda menginap bersama. Tapi tenang, meskipun kami tinggal di kota sebebas New
York, tapi sebagai diaspora dari Asia Tenggara dengan adat ketimuran yang
kental, kami tidak tidur berbarengan melainkan nantinya yang perempuan tidur di
kamar kak Anna, sedangkan para lelaki akan tidur di ruang tengah dengan alas
karpet dan selimut. Semoga keesokkannya mereka tidak masuk angin.
Selama jalan kaki dari apartemen Kak Anna ke stasiun subway terdekat, kami membicarakan
banyak hal. Dhimas sibuk berdiskusi klub sepakbola dengan Chandra dan Fikri,
sedangkan Farida dan Gilang diskusi soal hobi mereka yang sama-sama suka musik
indie. Lalu aku, secara tidak sengaja aku jalan beriringan dengan Eugene, si
pria oriental tinggi besar ini. Duh, kenapa aku jadi canggung jalan
di sebelahnya? Kebiasaan sekali Yureka dari dulu kalau jalan dengan pria tampan
selalu gugup bahkan sampai keluar keringat di kening. Tapi tenang, Yureka,
buatlah se-natural mungkin, bicara
apa saja yang bisa membuat suasana tidak canggung. Bukan kah kamu seorang ahli
dalam pemecah suasana awkward,
Yureka?
“Jadi lu angkatan 2017 di Columbia? Seangkatan gue berarti.
Gue pikir lu baru masuk Spring season kemaren”, tanyaku pada Eugene.
“Nggak, gue masuk Columbia dari musim gugur tahun lalu. Dan
lu tahu nggak, acara seminar kemaren tuh acara non-kampus pertama gue loh”,
ungkap Eugene.
“Maksudnya?”, tanyaku lagi.
“Semenjak gue tinggal di New York dan kuliah di Columbia,
gue nggak pernah kemana-mana. Yaa, tugas emang banyak, tapi gue nggak pede aja
ke acara-acara macam seminar gitu”. Pemalu juga rupanya pemuda ini.
“Emang pas lu S1 dulu, lu nggak ikut apa gitu? Semacam
UKM atau kegiatan kampus?”, tanyaku lagi.
“Nggak.” Jawabnya singkat.
“Hmm homeboy yaa. Hmm keliatan sih”, Eugene ku cap
jelek sekali yaa. Tapi kenyataannya kan memang demikian.
“Masa sih? Keliatan banget yaa? Dulu udah sibuk juga
sama tugas kuliahnya. Keluar rumah cuma les bahasa Canton aja. Sisanya cuma
jalan-jalan aja keliling Hong Kong sambil hunting foto. Dan suasana kota
Hong Kong itu yang bikin gue ketagihan buat jalan-jalan”. Tidak pemalu kok, itu
dia bisa cerita panjang lebar.
“I see. Eh
di Hong Kong tuh banyak makanan street food gitu ya? Kayak Tong Sui”. Mulai kau Yureka, mulai lagi dengan hal ke-Hong Kong-an
itu.
“Iyaa bener. Itu dessert
yang lumayan terkenal disana. Kok lu tahu, lu pernah ke Hong Kong juga?”, tanya
Eugene dan aku mulai gugup.
“Nggak bukan. Dulu pernah makan itu, diajakin sama
temen waktu di Penang”, jawabku sambil menunduk.
“Penang tuh Malaysia, kan? Acara apaan?” Eugene
penasaran.
“Exchange.
Cuma sebulan kok”, jawabku sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaket.
“Kampus mana?”, tanya Eugene sambil berusaha melihat
mataku. Sumpah aku gugup.
“KDU Penang University College. Dulu semacam mewakili
kampus gitu deh buat exchange disana.
Programnya dari kampus gue”, aku berusaha lihat kedua bola matanya. Beruntung
lah aku bisa menjawab semua pertanyaannya dengan kontak mata yang tajam. Aku
tidak pernah berhasil kontak empat mata saat berbicara dengan orang lain. Ya,
itu kelemahanku.
“Dulu lu S1 di Jakarta?” tanya Eugene sambil tetap
menatap mataku.
“Iyaa. Di Paramadina yang di TB Simatupang”, jawabku
kemudian mengambil hape dari kantung tas untuk mengecek waktu.
“Oh situ. Tahu gue. Deket rumah gue dulu”, Eugene tahu
kampusku ternyata. Waw.
“Emang dulu rumah lu di Jakarta dimananya?” Aku yang
mulai penasaran.
“Tebet”, jawabnya singkat.
“Ahh Tebet. Deket tuh. Gue di Cinere.” Wow, rumah kami
berdekatan.
“Oh Cinere. Yaa masih satu area lah, meskipun rumah lu
masih area Depok tapi deket banget sama Jaksel.” Jawabnya membela.
Aku hanya bisa tersenyum simpul lalu hening sejenak
tapi tak lama aku mengajukan pertanyaan lagi kepadanya, “Eh ceritain dong
pengalaman lu di Hong Kong. Kayaknya seru tinggal di Hong Kong”.
Sambil memegang lehernya yang kemungkinan gatal, dia
menjawab, “Ehm apa aja yaa?...”
Tidak terasa perjalanan kami ke stasiun telah sampai.
Belum sempat Eugene bercerita, kami yang akan terbagi dalam 3 grup tujuan yang
berbeda harus berpisah.
“Lah udah sampe aja ke stasiun”, ujar Eugene.
“Yaah nggak jadi cerita deh. Yaudah minggu depan yaa”,
ungkap ku, sambil berharap.
“Sip santai aja”, jawab Eugene tersenyum.
Astaga Tuhan kenapa senyumnya manis
sekali? Aku kesal!
“Bye
semuaaa. Kak Yureka, Kak Gilang, Kak Chandra, Kak Dhimas, kita duluan. Kereta
tujuan kita 2 menit lagi dateng”, ujar Farida.
“Oke, Far, Fik, Jin, hati-hati yaa”, ungkap Dhimas.
Pertemuan kami di Sabtu ini ditutup dengan lambaian
tangan teman-teman senasib sepenanggunang ini. Tapi tidak hanya itu tapi juga
diakhiri dengan indahnya tatapan mata Eugene. Sesaat sebelum mereka bertiga
naik kereta tujuan mereka, aku melihat mata sipitnya berbicara kepadaku. Entah
apa artinya, atau entah aku yang terlalu percaya diri atau tidak, tapi aku bisa
merasakan sesuatu dari tatapan matanya itu. Ia juga tersenyum dengan manisnya.
Ya, aku tahu ia senyum tidak hanya untukku, tapi ke semuanya. Tapi yang ku
bilang tadi, tatapan matanya itu tidak terlupakan. Aku bahkan masih ingat betul
setelah kereta tujuan ku datang, hingga di dalam kereta juga demikian. Meskipun
aku asyik ngobrol dengan Gilang, tapi bayangan senyum dan tatapan mata Eugene
tadi masih terngiang dibenakku.
Ada apa ini?
Masa aku secepat itu melupakan Adam dan menggantikan
posisinya dengan Eugene?
Aku takut memulai lagi untuk hal-hal seperti ini. Apa
aku benar sudah siap?
((BERSAMBUNG))
Eugene. New York. Masa Depan.
Akhir pekan harusnya waktunya buat santai-santai, tapi
sayangnya gue udah keburu punya jadwal rapat sama anak-anak PERMIAS buat bahas
acara bulan Oktober besok. Nama acaranya “Batik Day 2018”. Pertama-tama gue
nggak pernah jadi panitia acara sebelumnya. Istilahnya jadi aktivis lah
pokoknya, dan bener-bener nggak pernah sama sekali. Palingan ikut
kegiatan-kegiatan pas SMA, kayak ikut ekskul basket sama catur. Sisanya gue
habiskan waktu buat belajar, belajar, dan belajar. Ya, banyak yang ngira gue
rajin dan pinter, padahal sih menurut gue biasa aja. Soalnya meskipun
orang-orang liat gue bisa kuliah di luar negeri, padahal dibaliknya biasa aja,
prosesnya juga nggak gampang, cuma memang nggak banyak orang yang tahu proses
itu.
Yang paling tahu persis cuma Nyokap sama Bokap gue
doang. Terlebih orang tua gue emang agak strict
ngedidik anak-anaknya. Orang tua gue bukan berasal dari keluarga tajir dan lain
sebagainya. Misalnya keluarga besar Nyokap, mereka dulunya orang yang kurang
beruntung, bermasalah dalam finansial dan nggak punya kehidupan yang layak. Nah
dari situ, kakek-nenek gue punya prinsip untuk mendidik anak-cucunya agar
menjadi keluarga yang bisa menghasilkan uang dengan cara yang semestinya, bukan
dengan cara yang salah. Mulai dari membiasakan anak-cucunya bangun subuh,
menjadi pribadi yang tepat waktu, sampai gimana harus belajar yang rajin dan
kerja keras.
Terlebih soal belajar. Yang gue bilang tadi, orang tua
gue, lebih tepatnya Nyokap gue, beliau strict
banget sama jam belajar gue. Dari SD gue selalu disibukkan dengan kegiatan
akademik dan non-akademik, misalnya Nyokap masukin gue ke kursus bahasa
Mandarin, ikut kegiatan klub Sains di sekolah, bahkan yang membuat gue
termotivasi masuk ekskul catur dan basket juga dari Nyokap gue. Alasan utamanya
sih karena Nyokap-Bokap gue harus memastikan gue ikut kegiatan yang bermanfaat.
Kedua, gue dari dulu orangnya pemalu banget jadi dengan diikutin kegiatan itu
berharapnya gue jadi bisa lebih bersosialisasi dengan orang banyak. Kenyataan
dari harapannya sih nggak demikian. Sampe detik ini pun gue masih nggak percaya
diri buat ketemu orang banyak, jadi lebih mending berdiam diri di rumah, cuma
sekadar belajar, bantuin Nyokap, atau cuma main game online.
Meskipun ada Nyokap dan Bokap yang selalu ngasih
dukungan buat gue, tapi sebenernya gue nggak sering ketemu mereka. Alasan
klasik sih, mereka pergi kerja. Cerita sedikit soal keluarga gue, jadi dari gue
kecil Nyokap-Bokap disibukkan dengan urusan bisnis yang mereka bangun dari lama. Sekarang sih Alhamdulillah
bisnisnya lancar, tapi sebenernya dulu nggak segitu. Keluarga gue udah banyak
melalui asam garam perbisnisan, mulai dari cuma buka usaha toko pompa air,
rental mobil kecil-kecilan, sampe sekarang punya hostel pribadi dan toko
material sendiri. Nah, dari situ orang tua jarang ketemu gue karena ya itu
tadi. Akhirnya gue dititipin ke Eyang dari Bokap yang tinggal di Surabaya dan
jadinya gue pernah tinggal di Surabaya selama 2 tahun. Dari situ gue deket
banget sama beliau. Dan dari situ gue jadi anak yang super duper manja. Sampe
pas gue harus pindah ke Jakarta karena orang tua gue memutuskan buat buka usaha
baru disana, Eyang gue rela bolak-balik Surabaya-Jakarta sekitar satu bulan
atau dua bulan sekali cuma demi ketemu gue doang. Tapi pas beliau meninggal
sekitar pas gue SMA, akhirnya yang menggantikan ‘posisi’nya adalah Nenek dari
Nyokap yang gue panggil Popo (panggilan Nenek dari sisi nyokap dalam bahasa Mandarin).
Jadi dulu Popo sering banget nengokin gue pas kuliah
S1 di Hong Kong dulu. Ya terdengar manja banget memang, tapi Popo rela jauh-jauh
dari Seoul ke Hong Kong cuma mau liat cucunya karena waktu awal-awal kuliah,
kondisi kesehatan gue nggak stabil. Berat badan gue turun drastis dari 65kg
sampe cuma 50an kilogram. Itu semua karena kali pertamanya gue jauh dari
keluarga. Dulu, gue tipikal orang yang lupa makan, apalagi kalo udah ngerjain
tugas, pasti bener-bener nggak inget makan bahkan nggak laper sama sekali.
Pokoknya kalo nggak disuruh makan atau nggak diingetin makan, yaa gue nggak
akan makan. Dan waktu kuliah di Hong Kong dulu, karena nggak ada yang ngingetin
atau nyiapin makan, akhirnya jarang makan bahkan lupa makan sampe akhirnya
berat badan turun dan sakit-sakitan.
Selain pola makan gue yang berantakan akibat pertama
kali merantau, tahun pertama kuliah juga diisi dengan bolak-balik
Hong Kong-Denpasar karena adik gue, Kenzi atau kalau di rumah panggilannya
Genji, dia juga sakit-sakitan. Sakitnya Genji pun bukan sakit panas atau
batuk-pilek biasa, melainkan ada gangguan psikologi yang dia punya. Entah
kenapa dari bayi, Genji itu sensitif dan pemarah. Gue nggak tahu pasti apakah
itu akibat terlalu banyak nonton video di iPad
yang dikasih Nyokap-Bokap ke dia supaya dia diam, atau ada hal lain, intinya
tiap kali dia lagi nonton video di Youtube atau di TV dan orang lain ganggu
dia, bahkan cuma buat disuapin makan, dia mendadak marah, bahkan sering ngamuk.
Atau juga kalau mainannya kotor, makanan yang dia makan nggak enak, semua
dibikin bad mood sama dia. Ada lagi,
kadang tanpa sebab tertentu dia teriak-teriak dan ngamuk sendiri.
Seketika Nyokap panggil Psikolog anak yang udah ahli
di bidang itu buat terapiin adik gue. Waktu itu terapisnya cuma ngasih saran ke
keluarga gue bahwa kalau bisa kakaknya alias gue bisa lebih sering dirumah.
Katanya sih kelengkapan keluarga itu salah satu keberhasilan terapinya. Tapi memang bener sih, sebelum gue berangkat ke Hong Kong adik gue
yang dasarnya punya gangguan psikologis itu tambah parah semenjak gue kuliah di
Hong Kong. Akhirnya demi kesembuhan adik gue, gue harus bolak-balik
Hong Kong-Indonesia satu kali dalam sebulan. Awalnya berat banget harus
fokus kuliah dan fokus ke adik gue, tapi Alhamdulillah, selama kurang lebih 6
bulan, perkembangan psikologis adik gue membaik dan gue pun bisa menjalani
kehidupan sebagai mahasiswa di perantauan pada umumnya dengan baik.
Tapi nggak mungkin semuanya berlalu gitu aja. Meskipun
adik gue udah sembuh, jadinya gue yang jadi sakit-sakitan akibatnya bolak-balik
nengokin adik gue itu. Pokoknya pola makan dan hidup gue yang jadi berantakan.
Gue sering banget makan cuma sekali sehari, itupun makan makanan yang seadanya
yang bisa gue makan karena nggak ada waktu. Gue juga nggak bisa masak,
ujung-ujung kembali ke mie instan kalo memang terpaksa. Gue bahkan inget banget
karena berbarengan dengan penerbangan ke Bali di sore hari tapi pagi harinya
gue masih harus kuliah, dan seharian gue nggak makan akhirnya gue cuma makan di
pesawat.
Ngeliat gue nggak keurus, Popo gue yang jadi turun
tangan. Beliau jadi sering datang dan nemenin gue di apartemen tempat gue
tinggal di Hong Kong waktu itu. Karena pekerjaannya dulu adalah seorang
herbalis dan terapis alias Sinshe beliau pasti tahu obat-obatan alami yang bisa dipake buat ngatasin
susah makannya gue. Gue memang lupa makan, tapi jujur lupa makannya gue pun
terkadang karena nggak nafsu makan. Jadi, jeleknya gue adalah kalau gue terlalu
asyik sama dunia sendiri alias belajar dan main, gue hampir nggak punya nafsu
buat makan atau minum sesuatu. Nah dari situ, Popo bawain obat herbal dari
Korea yang bisa bikin gue jadi nafsu makan. Sebulan dan dua bulan pertama
gagal, gue masih lupa makan dan kalaupun makan juga nggak nafsu-nafsu amat. Tapi
Popo sabar banget. Beliau pernah tinggal di apartemen gue selama sebulan full
beberapa bulan setelahnya, katanya demi bisa liat gue terlihat lebih sehat.
Akhirnya, setelah 4-5 bulan, pola makan gue teratur, nafsu makan pun ada, dan
berat badan yang tadinya cuma 50kg jadi hampir 60kg.
Setelah pola makan gue membaik dan pola hidup jadi
normal, Popo akhirnya harus balik ke Seoul dan nggak mungkin juga kalau terus-terusan nemenin gue di Hong Kong. She
has her own life and business and I need to be more independent now
terutama soal pola makan. Awal-awal Popo udah balik, gue ngerasa kesepian
banget. Mungkin karena terbiasa ada teman bicara jadi saat gue harus tinggal
sendiri yaa jadi sepi dan sendirian. Dari situ gue tersadar, kayaknya nggak ada
dalam hidup gue yang bener-bener sendirian. Dari kecil, meskipun Nyokap-Bokap
sibuk, tapi ada Eyang Putri dan Kakung juga Popo sama Hal-abeoji yang selalu
nemenin. Sodara-sodara juga banyak yang sering datengin ke rumah satu sama
lain. Nggak lupa gue punya asisten rumah tangga dan supir, Mba Dila sama Om
Yayan, yang udah kayak keluarga banget.
Meskipun Popo udah balik, tapi gue tetep harus
menjalani kegiatan kampus dan perkuliahan dengan baik. Ya, awalnya kesepian
memang seperti yang gue bilang tadi, tapi lama-lama jadi terbiasa. Sampe pada
akhirnya, waktu menjelang penyusunan tugas akhir, gue jadi bener-bener butuh
teman bicara buat curhat segala permasalahan yang gua hadapi pas nyusun tugas
akhir itu. Nama lainnya butuh pacar sih.
Ngomong-ngomong soal pacaran, terakhir pacaran itu
waktu SMA. Pas kuliah S1 bener-bener nggak punya karena mungkin terlalu sibuk
kuliah dan fokus ke pengaturan pola makan pasca sakit itu. Kalo deket sih ada,
salah duanya adalah Lenka dan Michiko. Kalau Lenka itu mahasiswi asing dari Ceko
yang kuliah juga di kampus yang sama, The University of Hong Kong. Kami juga
sama-sama jurusan Arsitektur. Karena keseringan praktikum bareng kita jadi
deket. Kalau Michiko itu senior waktu gue exchange
ke Chiba University, Jepang selama 6 bulan. Tapi dua-duanya hanya berakhir
teman, karena permasalahannya adalah soal keyakinan. Kalau Lenka adalah
penganut Roman Katholik yang taat, sedangkan Michiko menganut kepercayaan Shinto. Gue sih
nggak ada masalah kalau cuma teman aja, tapi jadi masalah kalau lebih dari
teman. Karena buat gue kalau pacaran harus serius, dan kalau serius berarti
harus memikirkan juga soal keyakinan. Nyokap gue yang nasehatin gue kalau gue
cari pasangan yang seiman, seIslam, karena meskipun beliau adalah seorang
mualaf dari Buddha ke Islam. Banyak yang ngira kalau beliau jadi mualaf karena
menikahi Bokap gue, padahal kenyataannya jauh sebelum mereka ketemu, Nyokap gue
udah mualaf. Jadi beliau bilang kalau dia yang jemput hidayah Allah SWT itu, dan menikah dengan Bokap gue adalah pelengkapnya. Anyway, sampe tahun kedua gue kuliah
S2 di Columbia University, gue masih sendirian aja kayak biasanya. Ya, mudah-mudahan
secepatnya gue dapet temen ngobrol yang bisa lebih dari sekadar temen ngobrol.
Oh ya, balik lagi soal kegiatan gue jadi panitia
“Batik Day 2018”. Karena nggak pernah bergabung sebelumnya, gue mencoba untuk
mengiyakan apa yang diminta Kak Anna karena dia koordinator acara ini. Dia
nyuruh gue buat ngerjain desain panggung buat peragaan busana dan juga dekorasi
buat tempat seminarnya. Tapi nggak cuma gue aja yang ada di divisi dekorasi,
Kak Anna bilang ada satu lagi yang jadi partner gue buat nge-desain, namanya
Yureka. Ya, gue kenal siapa dia. Dia satu tim sama gue waktu seminar Sumpah
Pemuda tahun lalu. Lucu sih, gue sama dia udah lama nggak contact bareng karena hape gue rusak dan lain sebagainya, dan dia
pun kelihatannya sibuk banget, tapi ketemu lagi jadi partner acara bareng.
Gue udah mulai desain panggung pake Autocad. Hmm, gue nggak tahu aplikasi
lainnya buat desain semacam ini. Tapi karena yang gue paham pake Autocad, yaa gue pake itu aja, seadanya
lah. Sambil nunggu Yureka dateng, gue masih mantengin desainnya. Nggak lama
kemudian, Yureka dateng dengan muka agak sedih. Gue nggak berniat tanya, tapi
kalo dibandingin sama waktu pertama kita ketemu dulu, dia anaknya ceria banget.
Dia ekstrovert dan banyak ide. Gue suka tuh cewek yang ekstrovert. Nggak tahu
yaa apakah karena gue introvert apa gimana pokoknya gue lumayan tertarik sama
cewek-cewek bawel kayak Yureka.
Waktu seminar dulu juga dia jadi best speaker karena ide-idenya gue akuin
bagus dan berani banget. Dia kritis terhadap banyak hal. Dan sepertinya dia
rajin baca buku, pinter, yaa pokoknya smart
lah. Gue appreciate banget sama cewek
macam itu. Mungkin kalo ditanya tipe cewek gue kayak gimana, kalo boleh jujur
sih yang kayak Yureka. Smart, independent, well-behaved. Karena menurut gue cewek cantik aja nggak cukup.
Cewek itu harus cerdas dan mandiri. Buat sebagian orang mungkin selera gue
dianggap aneh, tapi mungkin karena role model perempuan di keluarga gue yang
menurut gue berhasil adalah Nyokap dan dua nenek gue (dari Bokap dan dari
Nyokap) karena beliau-beliau adalah wanita yang kuat, mandiri, dan juga cerdas.
Jadi yaa menurut gue perempuan hebat itu yaa yang kayak gitu.
Kembali soal reunian gue sama Yureka. Jadi, pas dia
dateng, nggak tahu yaa dia ngeh sama gue apa nggak. Pokoknya abis masuk
ruangan, dia malah ke kamar mandi dalam waktu yang cukup lama. Abis dari kamar
mandi, ada hal aneh tapi lucu, jadi ternyata Yureka lupa siapa gue. Dia bilang
dia pikir Eugene itu siapa, bukan anak PERMIAS yang pernah dia temuin di
seminar dulu. Entah dia beneran lupa atau emang nggak ngeh atau karena dia lagi
unmood makanya dia lupa sama gue.
Apapun itu, gue nggak masalah, yang penting kerjasama gue sama dia soal desain-mendesain
panggung akan beres.
Beberapa menit pertama ngobrol, yaa Yureka masih sama
kayak dulu, banyak tanya, banyak ngobrol, tapi emang ekspresinya aja yang
kurang mood. Gue nggak berniat tanya
jauh kenapa dia bisa begitu, bukan urusan gue juga. Tapi agak aneh deh ketika
gue cerita kalo gue dulu S1 di Hong Kong. Dia kayak kaget tapi semacam pura-pura
nggak ada apa-apa. Apa dia nggak pernah tanya ke gue sebelumnya kalo emang gue
pernah di Hong Kong selama 3 tahun? Hmm, tapi seinget gue emang pas seminar dulu nggak
cerita banyak sih. Soalnya dulu kita cuma disibukkan dengan diskusi. Coffee break aja juga cuma
ngobrol-ngobrol tanya informasi yang standar. Jadi emang nggak cerita banyak.
Apa jangan-jangan dia punya sejarah sama Hong Kong? Kalau Ya, dia pasti cerita.
Secara dia bawel, harusnya sih dia mau cerita ada hubungan apa antara dia sama
Hong Kong. Tapi sejauh ini dia nggak cerita apa-apa. Dia cuma kaget tiap gue
sebutin kata Hong Kong. Lupakan lah soal itu. Mungkin suatu saat dia mau cerita
soal itu.
Yureka yang gue liat sekarang dan dulu juga masih
sama, selain masih bawel, dia juga masih cuek soal penampilan. Buat gue,
penampilan emang penting, tapi bukan prioritas utama. Kayak yang gue bilang
tadi, yang terpenting bagi gue cewek itu otaknya. Make up itu perlu tapi jangan jadi mengesampingkan kecerdasan juga
sih. Tapi ada faktor lain yang juga penting, yaitu cewek itu harus punya
kharisma. Pandangan gue soal kharisma seseorang itu bukan soal penampilan dari
luar ataupun dalemnya aja, tapi dia juga harus punya aura yang dalam hal ini
aura positif, yang bisa membuat orang lain tertarik sama dia. Dan bagi gue,
Yureka punya itu.
Dari awal kita ketemu dulu, gue merasa dia emang punya aura
itu, lebih tepatnya aura positif. Dia semacam punya cara buat bikin orang lain nyaman
berada di dekatnya. Tapi dari pertemuan reunian ini, jujur gue jadi lebih
tertarik sama Yureka. Dia terlihat makin mature,
makin dewasa, pokoknya beda kayak pertama kali kenal dulu. Apa yaa
perubahannya? Lebih touch up mungkin.
Tapi yang seperti gue bilang tadi, itu bukan hal utama, tapi boleh juga kalau
emang dia lebih concern sama
penampilannya.
Trus apalagi ya yang berubah dari dia? Kayaknya dia
lebih bisa jadi pendengar yang baik. Karena waktu kita seminar dulu, dia kayak
nggak mau kalau pendapatnya nggak diterima orang lain, jadi dia kayak push orang lain buat mengiyakan
pendapatnya. Sedangkan ketika orang lain menyampaikan pendapatnya, dia semacam
menolak gitu dan cenderung nggak mau dengerin. Menurut gue itu namanya egois.
Tapi anehnya dia dapet predikat best
speaker ya? Hahaha itu aneh tapi yaa kenyataannya begitu. Dan berdasarkan
percakapan orang tentang Yureka kala itu, dia emang patut diapresiasi karena
ide-idenya yang emang brilian banget.
Kembali soal rapat, lebih dari 3 jam kita rapat dan
lumayan dapet hasilnya. Karena udah malam dan kami semua nggak ada persiapan
sama sekali buat nginep, ditambah beberapa dari kita udah punya janji sama
orang lain di hari esoknya, akhirnya kita semua pulang ke apartemen
masing-masing. Selama jalan dari apartemen dari rumah Kak Anna ke stasiun bawah
tanah, gue juga sempet ngobrol sama Yureka. Makin lama Yureka makin nyenengin.
Mungkin karena emang gue pendiam dan dia tukang ngobrol, entah kenapa dari dulu
gue emang nyaman kalo ada orang yang ngomongnya banyak. Dia juga sesekali bikin
lawakan receh yang berhasil bikin gue ketawa. Udah pinter, mandiri, perilakunya
baik, jago ngelawak pula, apalagi senyumnya manis banget.
Pas udah sampe stasiun, gue, Fikri, sama Farida cabut
duluan, karena kita bertiga satu arah yaitu ke arah kampus Columbia University dan kereta ke tempat tujuan
kita udah ada, jadi kita langsung naik dan harus pisah sama yang lain. Yureka
bakal bareng Gilang, Dhimas sama Chandra juga akan satu tujuan ke arah WTC. Gue
berharap rapat minggu depan Yureka bisa dateng, karena gue tahu dia bisa aja
nggak dateng kayak rapat pertama dan kedua karena agendanya di kampus super
padat. Katanya sih emang Yureka terkenal banget di kalangan dosen-dosen dan
profesornya, jadi nggak heran kalau misalnya dia bakal ijin nggak dateng rapat.
Semoga gadis ke-arab-araban ini bisa dateng yaa di rapat mendatang.
💚💚💚
Satu minggu kemudian, anak-anak “Batik Day” balik lagi
ke apartemen kak Anna buat membahas lanjutan agenda rapat acara. Dan seperti
yang kita semua harapkan bahwa kami berdelapan datang semua, lengkap. Termasuk
Yureka.
Entah kenapa sejak reunian minggu lalu, gue jadi
ketagihan ngobrol sama dia. Hahaha. Lucu sih, aneh juga. Gue nggak pernah
ngalamin ini sebelumnya. Tapi emang auranya Yureka bisa banget bikin suasana
ngobrol jadi makin enak dan nyaman. Termasuk rapat hari ini. Meskipun kita
sama-sama sibuk sama divisi masing-masing, tapi gue sama Yureka malah asyik
ngobrol dan malah bahas yang lain. Sampe-sampe Kak Anna nyeloteh : “Heh itu
yang dipojok jangan ngobrol aja yaa”. Yaa nadanya memang mengancam tapi
percayalah, Kak Anna nggak akan jauh-jauh dari itu. Dia galak tapi nggak akan
tega nyakitin kita.
Yang bikin ngobrol sama Yureka asyik itu karena
ternyata dia suka musik klasik. Keren banget. Jarang gue nemuin cewek suka
musik klasik. Kebanyakan cewek jaman sekarang suka musik EDM atau rock metal gitu. Hmmm, jujur gue pribadi
nggak suka dan kurang tertarik juga sama cewek yang aliran musiknya itu. Trus
ada satu lagi, dia juga suka musik folk gitu, contohnya musik Irlandia. Dan
ternyata dia kenal juga lagu-lagunya Enya. Wah, kalo dia ketemu Nyokap gue,
pasti mereka bakal seharian dengerin albumnya. Yaa, jadi Nyokap gue dari dulu
suka lagu-lagunya Enya. Katanya bikin adem. Yaa bener banget, dan karena
kebiasaan Nyokap gue itu gue jadi kebiasaan dengerin lagu-lagunya Enya, jadi
ketagihan juga sih soalnya bikin suasana jadi adem dan menenangkan.
Untungnya sih
selama ngobrol sama Yureka, kita nggak kehilangan konsentrasi buat ngerjain
tugas kita ngedesain dekorasi panggung. Sampe-sampe waktu nggak kerasa kita
udah hampir 4 jam kerja sambil ngobrol tanpa putus. Seinget gue kita mulai
ngerjain dari jam 10 sampe waktu menunjukkan pukul 13.45. Dan karena udah
kelamaan juga, kita memutuskan untuk istirahat makan siang dan solat Dzuhur.
Pas mau ngajak yang lain solat Dzuhur, entah mengapa sebagian kecil dari kami
menghilang. Maksudnya Fikri, Gilang sama Dhimas keluar beli makan dan
keliatannya udah dari 15 menit yang lalu. Selama mereka keluar dan nunggu
makanannya datang, disitu cuma ada gue, Yureka, Kak Anna, Chandra, dan Farida.
Berhubung Kak Anna dan Chandra non-muslim dan Farida katanya masih menstruasi,
akhirnya gue cuma ajak Yureka solat
berjamaah.
“Farida masih dapet?”, tanya Yureka ke Farida.
“Iyaa masih kak. Tinggal dikit sih, tapi belom mandi wajib”,
jawab Farida.
“Oh yaudah. Aku sama Eugene aja kalau gitu”, balas
Yureka.
“Loh lu udah selesai dapetnya, Yur?”, tanya gue
penasaran.
“Udah kok. Yaudah mau solat? Lu duluan apa gimana?”,
tanya Yureka keliatan innocent.
“Hmm, jamaah aja yuk. Pahalanya lebih banyak juga”,
saran gue ke Yureka.
“Hehehe iyaa juga sih. Hmm yaudah boleh deh. Yuk”.
Yaa, Yureka mengiyakan. Well, gue belum pernah sih imamim solat ke orang lain
kecuali sama orang-orang rumah, tapi boleh juga lah dicoba.
Setelah solat 4 rakaat, Fikri, Gilang sama Dhimas udah
balik lagi. Mereka pulang membawa 8 delapan bungkusan sandwich tuna organik dan
2 loyang pizza jamur saus tomat ukuran besar. Karena udah laper, semuanya
menyerbu makanan bak orang nggak makan berhari-hari. Sambil makan, Yureka
sesekali mengetik sesuatu di handphone
nya. Nggak tahu sih ngapain, tapi kayaknya lagi chattingan serius sama orang.
Soalnya gue liat pas ngetik tuh kayak emosi gitu. Mau gue nanya, tapi nggak
sopan. Eh tapi nggak lama dia berceloteh : “Duh udah gue bilang nggak bisa yaa
nggak bisa”
Tanpa mengganggu privasinya, tapi tetep penasaran, gue
tanya sesuatu ke Yureka “Kenapa Yur?”
Sambil tetep mengetik dan emosi dia menjawab : “Itu
tetangga gue. Maksa banget ngajak nonton besok. Orang udah ada agenda
disini yaa nggak bisa lah”.
“Ngajaknya udah lama atau barusan?”, tanya gue lebih
lanjut.
“Udah lama. Wah dari lama pokoknya. Sekitar 1 bulan
lalu. Tapi kan tahu sendiri gue sibuk. Hahaha. Nggak deng. Sebenernya gue ada
waktu tuh minggu lalu, tapi malem doang dan bisa aja kan gue iyain. Tapi nggak
deh. Males gue sama dia”, jawabnya agak sewot.
“Laki apa perempuan tuh tetangga?”, tanya gue lagi.
“Cowok. Dan tahu nggak? Dia tuh kayaknya suka sama
gue. Ya, bukan gue pede nih, tapi dia sering banget ke apartemen gue dan ngasih
kue pie coklat bikinan dia. Soalnya gue pernah sekali bilang ke dia kalo gue
suka banget sama coklat. Akhirnya dia jadi sering bikinin atau ngasih gue
coklat gue”, jawabnya sambil bercanda.
“Yaa bagus dong. Kan dapet makanan gratis”. Abis emosi
trus senyum gitu. Lucu banget sih nih anak.
“Yaa tapi
lama-lama annoying lah. Gue nggak
srek sama orangnya. Soalnya apa coba? Awalnya tuh gue tahu banget kalo dia mau
deketin roommate gue, yang dari
Mexico itu, si Cassandra. Trus karena si Cassandra udah punya tunangan, jadi si
bule ini malah deketin gue. Awalnya minjem apa yaa waktu itu? Cairan buat
ngepel apa buat bersihin jendela gitu. Eh lama-lama ngobrol dan lama-lama malah
deketin gue”, ceritanya panjang lebar.
“Btw kenapa
emang nggak mau sama bule? Kan banyak orang bela-belain keluar negeri buat
ngincer jodoh bule”, tanya gue iseng.
“Nggak deh. Gue nggak srek sama bule. Yaa, oke, gue
akuin bule itu ganteng-ganteng. Tapi gue mau cari produk buatan Indonesia aja.
Lebih kece hahaha”, ceritanya sambil tertawa.
“Ada alasan khusus?”, tanya gue jadi penasaran.
“Hmm, apa yaa? Yaa kalau diajak diskusi kan bisa lebih
enak. Kalau ada masalah nggak harus mikir dua kali buat nerjemahin ke bahasa
Inggrisnya. Oh yaa sama kalau nonton lawak bisa ketawa bareng. That’s all”, celotehnya bikin gue ketawa
seketika.
“What? Nggak salah denger nih gue? Hmm yaya tapi make sense sih. Me too actually”, ucap gue agak malu.
“Hmm kenapa?”, tanya Yureka sambil menatap gue.
Sepertinya dia juga penasaran, sama penasarannya sama alasannya tadi.
“Soalnya Nyokap gue orang asing, dan gue tahu persis
itu ribet banget ngurus dokumennya. Dan karena gue naturalisasi dan udah fix
jadi WNI dan punya KTP Indonesia, jadi gue pengen aja cari pasangan orang Indo.
Ya, bakal gampang aja ngurus dokumennya”, jelasnya dengan wajah kembali ceria.
“Ya, bener. Gue setuju tuh. Emang lu bisa milih
kewarganegaraan, Jin?”, tanyanya lagi.
“Yaa, soalnya Nyokap dwi-warganegara jadi anaknya
harus milih. Kalau nggak salah sih yaa itu istilahnya naturalisasi. Jadi kalau
ada orang tua yang warga negara asing atau ganda, anaknya bisa milih mau ke
bapaknya atau ke ibunya. Dan jauh sebelum gue punya KTP gue udah memutuskan
untuk ambil kayak Bokap, jadi WNI. Nyokap gue juga udah nyaman katanya tinggal
di Indo. Katanya nggak ada makanan di Indo yang nggak pake micin. Semuanya
dibikin gurih, dan lidahnya cocok banget. Apalagi indomie soto”, jawab gue panjang lebar.
“Oh gitu ceritanya. Baru tahu gue. Kalo boleh tahu,
Nyokap lu warganegara ganda, emang dari mana asalnya?”
Baru mau gue jawab, eh ada telepon masuk. Panjang
umur, yang nelpon Nyokap gue.
“Ehm itu... Eh sorry bentar ya. Yeoboseyo?
Ne, Eomma?”. Yah, keceplosan gue pake
bahasa Korea. Sebenernya gue rada nggak nyaman kalo lagi ngobrol sama Nyokap
pake bahasa Korea, entah langsung atau lewat telepon, meskipun ada temen-temen
deket tapi gue nggak terlalu nyaman aja.
Setelah tutup telpon, percakapan kembali dilanjutkan:
Eugene :
“Sorry tadi Nyokap telpon”
Yureka :
“Bentar, Nyokap lu di Indo kan? Sekarang hampir jam 2 siang disini berarti di
Indo jam 2 jam 3an pagi dong? Ngapain subuh-subuh Nyokap lu telpon? Pasti
urgent calling yaa? Atau kangen kali yaa sama elu.”
Eugene :
“Ah nggak. Cuma katanya minta ditemenin sahur aja. Dia mau bayar puasa hari
ini. Katanya kalau besok besok nggak bisa soalnya dia minggu depan mau ke
pulang kampung”
Yureka :
“Pulang kampung kemana? Ke negara asalnya?”
Eugene :
“Oh yaa tadi lu tanyain itu yaa? Hmm iyaa jadi…. Hmmm mungkin kalo lu denger
gue tadi ngomong pake bahasa asing tadi, yaa itu negara asal Nyokap gue”
Yureka :
“Hmm yang mana yaa? Oh yaa pas lu tadi angkat telpon maksudnya?”
Eugene :
“Iyaa yang itu. Ayo coba tebak?”
Yureka :
“Yah mana gue inget yang kayak gimana. Coba ulangin lagi dong.”
Eugene :
“Ah nggak ada siaran ulang. Hmm, oke deh. Yeoboseyo?
Annyeonghaseyo?”
Yureka :
“Ahh tahu! Bahasanya Lee Minho sama Song Jongki kan? Hahahaha. Bahasa Korea.
Yaa gak salah lagi”
Eugene :
“Correct!”
Yureka :
“Yeaah! Mana hadiahnya gue udah bisa jawab pertanyaan lu. Nggak deng becanda.
Oh jadi Nyokap lu warganegara ganda Indonesia-Korea gitu yaa?”
Eugene :
“Korea Selatan. Jangan sampe ketuker sama yang satunya hehehe.”
Yureka :
“Oh yaa Korea Selatan maksudnya. Bukan yang satunya lagi. Hahaha”
Eugene :
“Yaa begitulah kira-kira.”
Yureka :
“Oh jadi rupanya pemuda ini keturunan Korea ya. Pantesan.”
Eugene :
“Pantesan apa?”
Yureka :
“Muka lu?”
Eugene :
“Muka gue kenapa?”
Yureka :
“Yaa itu… tipikal oriental”
Eugene :
“Hmm yaa oriental. Hahaha.”
Yureka :
“Tapi gue pikir lu keturunan Chinese. Maksudnya kan di Indonesia orang
keturunan Tiong Hoa banyak tuh. Nah maksudnya gue tuh lu yang itu. Yang seperti
keluarga Tiong Hoa di Indonesia pada umumnya.”
Eugene :
“Emang lu bisa bedain mana Korea mana China?”
Yureka :
“Yaa kan kalo Korea lebih… lebih apa yaa? Sorry
to say nih, lebih putih. Putihnya tuh putiiiiihhh banget. Ampe mengkerelep
kalo kata orang Betawi hahaha.”
Eugene :
“Trus kalo China nggak putih emang?”
Yureka :
“Putih. China juga putih tapi ada perbedaannya. Kalo China lebih agak kuning
langsat gitu. Trus sipitnya sipitan orang China sih kalo kata gue.”
Eugene :
“Lu tahu dari mana perbedaannya emang?”
Yureka :
“Gue cukup sering kok nonton variety show korea. Hmmm apa tuh judulnya gue
lupa. Ngakak pokoknya nontonnya.”
Eugene :
“KDrama?”
Yureka :
“Yaa lumayan”
Eugene :
“KPop?”
Yureka :
“Nope. No no no. Hmmm gue kurang suka jenis musik itu. Tapi dua sepupu gue gila
banget tuh sama Kpop. Beuh. Nggak ada abisnya tuh berdua kalo lagi ngomongin
Oppa-Oppa Korea.”
Eugene :
“Jadi tetep musik klasik di hati yaa?”
Yureka :
“Ya jelas dong hahaha”
Setelah makan, kita lanjutin kerja lagi dan langsung
dilakukan rapat besar. Sengit banget. Dhimas sama Kak Anna sempet adu mulut
gara-gara konsep acara. Tapi kita semua nggak heran ngeliat itu soalnya
dasarnya Kak Anna keras dan Dhimas juga keras. Tapi akhirnya dilerai oleh Fikri
sama Gilang. Saat Gilang mencoba mediasi sama salah satunya, entah dari mana
asalnya si Chandra jadi kesulut api juga. Menurut gue disini Chandra belain
Dhimas. Nggak tahu kenapa pokoknya tiap dia ngasih saran, cenderung belain
Dhimas. Setelah lebih dari 30 menit selisih paham, kami akhirnya memutuskan
untuk pause dulu sekaligus
menenangkan Kak Anna dan Dhimas yang abis berantem itu.
Pas istirahat, gue sempet keluar apartemen sebentar
buat nelpon Nyokap gue lagi. Pas balik lagi, gue liat Yureka lagi menenangkan
hati Kak Anna. Dari kejauhan dia ngomongnya alus banget, bukan kayak Yureka
yang gue kenal. Ternyata dibalik sisi Yureka yang petakilan dan membawa tawa,
dia bijak juga.
Setelah 30 menit istirahat, gue rasa suasana sedikit
lebih tenang dan rileks. Kak Anna udah bisa senyum, Dhimas juga udah santai.
Awal-awalnya hening banget ruangan rapat, tapi kemudian Yureka bangun dari
kursinya dan menghampiri Dhimas dan menyeretnya ke Kak Anna sambil berkata,
“Gue nggak suka peperangan. Cukup jaman Hitler sama jaman Budi Utomo aja ada
perang, sekarang nggak usah. Baikan yaa kalian. Please!”
Nggak lama kemudian, Kak Anna ketawa pas liat-liatan
sama Dhimas. Trus akhirnya mereka baikan. Syukurlah akhirnya bisa baikan. Gue
nggak mau aja satu tim tapi saling diem-dieman. Kemudian rapat dimulai lagi.
Ngobrol lagi, ketawa-ketiwi lagi, sambil makan pizza bareng, minum soda
berbotol-botol, sampe waktu udah mulai larut. Akhirnya rapat kita hentikan di
pukul 22.00. Pembahasan rapat juga udah clear.
Sejauh ini konsep acara mateng dan tinggal realisasi lain-lainnya, termasuk
dekorasi.
Setelah rapat, kita semua pada tepar. Ada yang tiduran
bahkan ketiduran di sofa, contohnya Fikri. Dia sering banget kayak gitu. Saking
sering ketiduran, kita akhirnya jadi manggil dia “TuTi” alias Tukang Tidur.
Sedangkan Kak Anna, Farida sama Yureka bersih-bersih piring dan gelas bekas
makan di dapur. Dhimas sama Chandra main PS sedangkan gue sama Gilang
ngobrol-ngobrol soal kuliah. Kemudian Yureka masuk ke ruang tengah dan
menyediakan semangkuk besar melon potong dan semangka. Wah, Yureka tahu aja gue
suka melon. Sambil ngobrol-ngobrol santai dan menyantap buah-buahan, tiba-tiba
Chandra nyeletuk: “Gue punya ide guys!”
“Nggak bisa, Kak. Kan rapatnya kan udah selesai. Nggak
eh bercanda”, jawab Farida sambil ketawa kecil.
“Gimana kalau
kita main Truth or Dare aja. Berani
nggak?”, balas Chandra penuh semangat.
“Hmm setuju!”, Kak Anna merespon dengan mulut penuh
melon.
“Oh maaaann. Kenapa harus game itu. Nggak ada yang
lain? Apa kek monopoli? Uno stacko?”, Yureka tampak tidak tertarik dengan
permainan itu.
“Ah bosen, udah bener itu aja. Yukk. Permainannya cuma
pake botol doang tinggal diputer doang”, balas Gilang dengan logat medok
jawanya itu.
“Jangan. Udah mainstream. Gimana kalo lempar biji
semangka ke bagian muka tapi dilepeh gitu dari mulut ke arah atas. Nah kalo
bijinya jatuh ke jidat misalnya, berarti yang kena, misalnya Kak Eugene”,
celetuk Farida.
“Nah tahunya jidat itu bagiannya si Yujin pegimana
Far?”, tanya Kak Anna.
“Ya milih aja. Terserah bebas. Masing-masing milih
bagian muka yang mana. Misalnya Kak Eugene jidat, Kak Yureka mata sebelah
kanan, dan seterusnya”, jelas Farida.
Idenya Farida boleh juga. Belom pernah nih main Truth or Dare kayak gini. Agak jorok
juga sih lepehin biji semangka ke muka, tapi yaa boleh lah dicoba. Trus,
akhirnya masing-masing dari kita milih bagian wajah yang dirasa paling susah
dijangkau. Biar nggak asal milih, akhirnya kita berdelapan suit
gunting-batu-kertas, yang menang duluan yang milih pertama. Yang menang pertama
Dhimas, akhirnya Dhimas milih leher karena katanya yang paling susah dijangkau.
Yang kedua menang Fikri, dia milih rambut. Awalnya pada nggak setuju karena
rambut bukan bagian wajah. Akhirnya Fikri milih rambut alis yang sama-sama
rambut katanya. Yaa, agak aneh sih, tapi yaudah lah ya, suka-suka dia aja.
Dilanjut Gilang, dia pilih mata bagian kanan. Disambung Kak Anna yang milih
mata kiri, trus Farida milih dagu, Chandra milih jidat, dan tersisa gue sama
Yureka. Karena nggak ada pilihan lain, akhirnya gue milih pipi kanan, dan
Yureka pipi kiri.
Pemain pertama yang bertugas melepeh biji semangka
pertama ditentukan dari siapa yang makan pizza paling banyak tadi siang. Dan
pilihan jatuh kepada Gilang. Dari awal kita temenan, Gilang emang terkenal
paling banyak makan makannya postur badannya tinggi banget dan beriisi gitu.
Kemudian Gilang lepehin biji semangkanya, dan jatuh ke jidat, berarti Chandra
yang akan jadi sasarannya.
“Chandra, Truth
or Dare?”, tanya Gilang.
“Dare!”,
Chandra menjawab penuh semangat.
“Okay. Aku mau kamu sekarang suitin cewek-cewek yang
lewat depan apartemen Kak Anna. Yaa dari jendela aja biar nggak usah repot
turun kebawah”. Wah idenya Gilang seru banget tuh.
“Hmm, Oke. Siapa takut!”, balas Chandra dan langsung
menuju ke jendela apartemen Kak Anna. Dan yaa, benar dia ngelakuin tantangan
itu dan sempet dimarahin sama orang-orang yang lagi pada ngerokok dibawah
apartemen Kak Anna. Gue rasa ini kita bener-bener nggak ada kerjaan.
Akhirnya permainan dilanjut. Seru juga soalnya
setelah-setelahnya pas bagian Kak Anna sama Farida yang kena, mereka milih Truth, dan pertanyaannya seputar
kehidupan percintaan. Ya biasa lah cewek. Padahal di awal cuma ditanya “pernah
di PHP atau friendzone nggak?”,
jawaban mereka malah jadi sesi curhat-curhatan.
Setelah Kak Anna dan Farida panjang lebar cerita,
sekarang gilirannya Fikri, Gilang, Dhimas, sama gue. Mereka milih Dare. Fikri dikasih tantangan bawa
bantal ke tangga apartemen sampe ada tetangga lewat minimal dua orang. Yang ini
agak lama sih, sekitar 15 menit baru ada orang yang lewat dan ditanyain “Hey, get out of here!”. Yaa kayaknya
Fikri beneran dikira gembel padahal emang kalo udah masuk gedung apartemennya
harusnya cuma dikira penghuni apartemen, tapi masih tetep dikira gelandangan.
Abis itu Gilang sama Dhimas nerima tantangan yang sama
tapi beda objek. Jadi Gilang disuruh minta garam ke tetangga sebelahnya Kak
Anna. Masih gampang, tapi pas Dhimas, kita dia suruh pinjem stik PS kalo bisa
sama CD game-nya. Dia juga sempet
dimarahin karena ibaratnya nggak kenal tapi malah minjem stik PS. Dan kayaknya
pas giliran gue yang paling nggak enak. Jadi karena gue bisa ngomong bahasa
Mandarin, gue disuruh minta keju mozzarella ke tetangganya Kak Anna yang orang
China dilantai paling bawah. Kata Kak Anna galak orangnya, tapi karena gue
lebih memilih Dare, akhirnya mau
nggak mau gue iyain. Ternyata nggak segalak yang dibilang tuh. Apa karena gue
ngomong pake bahasa Mandarin yaa makanya nggak kenapa-kenapa. Tapi sayangnya
tetangganya nggak punya mozzarella, dia cuma punya keju chedar. Karena bukan
itu yang kita mau, akhirnya di anulir dan nanti harus diganti pake Truth. Wah nggak hoki nih gue main
ginian.
Dan giliran terakhir adalah Yureka. Keliatannya dia
capek dan nggak tertarik sama permainan ini. Makanya dia milih Truth karena mungkin nggak mau capek dan
ambil resiko kayak kalo ambil Dare.
Dan yang ngasih pertanyaan ke Yureka itu Kak Anna.
Awalnya sempet hening, nggak ngerti Kak Anna mau mau ngomong apa. Setelah
beberapa saat sepi, Kak Anna buka suara dengan pertanyaan: “So, Yureka. Gue
ada perumpamaan dan nanti ada pertanyaanya. Tapi kalau bisa jawabnya jujur,
paling jujur dari hati terdalam. Paham yaa? Jadi gini, semisal beberapa tahun mendatang, hanya
tersisa 6 manusia aja di muka bumi ini, 1 nya elu, dan 5 nya pemuda-pemuda.
Tapi ini misal doang yaa. Trus karena udah nggak ada generasi penerusnya, maka
elu diharuskan memilih 1 pemuda dari 5 itu untuk dijadikan partner untuk
membuat… Ya gitu lah. Paham kan lu maksud gue?”.
“Apaan yang jelas dong, Kak?”, Chandra begitu
penasaran.
Kemudian dilanjut Kak Anna dengan jawaban: “Intinya lu
harus memilih 1 di antaranya untuk meneruskan keturunan, intinya begitu”.
“Okay. Terus?”, jawab Yureka sambil menampakkan
mukanya yang capek.
“Pemuda-pemuda tersebut adalah…. ”
“Anjir perasaan gue nggak enak nih”, celetuk Dhimas.
“Ssst diem. Let
me finish my words, please”, Kak Anna mulai emosi.
“Ya, sorry
kak. Jangan ribut lagi kita barusan aja baikan, Kak”, jawab Dhimas.
“Never mind. Oke jadi, pemuda-pemuda tersebut adalah
Chandra, Fikri, Dhimas, Gilang, dan Eugene. Nah, lu mau pilih siapa? Tenang lu
nggak harus ngasih alasannya kok, tinggal pilih aja. Pilih 1 yang menurut lu
oke buat nerusin keturunan”, jelas Kak Anna mengundang riuh temen-temen disekitar.
Sontak semuanya ribut tapi gue liat Yureka tetep diam. Tapi sesekali dia
tersenyum.
“Hmmm… let me
think first”, respon Yureka.
“Nggak usah kebanyakan mikir. Langsung jawab aja”,
celetuk Kak Anna protes.
Baru denger tuh ada perumpamaan kayak gitu. Lucu juga
sih. Tapi kalo misal beneran ada semacam itu, kira-kira Yureka pilih siapa ya?
Sambil tetap berpikir, dia berulang kali melihat ke
arah gue dan 4 pemuda yang disebutkan tadi. Sambil tetep tersenyum simpul.
Kemudian tak lama dia menjawab : “Okay, kalau di bumi ini cowoknya tinggal
kalian berlima…. Dan harus meneruskan keturunan... Hmm… Gue pilih Eugene”.
What? Dia pilih gue? Kenapa bisa gitu?
“Oh Eugene. Ya ya ya. Yaudah, kan tadi gue bilang nggak
usah kasih alasan. Yaudah. Yaudah.”, respon Kak Anna.
Agak penasaran sih kenapa dia pilih gue. Tapi nggak
lama gue ngelamun mikirin kira-kira alasannya Yureka pilih gue, ternyata
tantangan Dare yang nggak valid tadi harus diganti sama Truth.
“Nah Eugene. Pertanyaannya…. Sama kayak tadi. Tapi
dibalik. Jadi kalau di bumi ini ceweknya tinggal 3, di antara gue, Farida, atau
Yureka, lu pilih yang mana? Tapi lu harus kasih saran”, tanya Kak Anna.
“Yaah curang. Tadi Yureka nggak disuruh kasih alasan,
masa gue pake?”, gue protes keras.
“Ya, beda. Soalnya kan lu main Dare tadi di anulir. Dan harusnya Truth yang ini 1 level lebih sulit dari sekadar Truth biasa. Jadi ini harus pake alasan.
Udah cepetan jawab”, bela Kak Anna.
“Tetep aja curang. Yaudah okay. Gue pilih…. Yureka”, jawab
gue cepat.
“Alasannya?”, tanya Kak Anna. Dan yang lain jadi pada
liatin gue dengan serius.
“Soalnya lu kan tidak percaya pernikahan. Lu juga
nggak mau punya anak, Kak. Jadi nggak mungkin. Kalo Farida udah punya pacar,
jadi nggak juga”, jawab gue perlahan-perlahan agar tidak salah ngomong.
“Jadi pilih Yureka aja nih?”, tanya Kak Anna dengan
tampang yang mencurigakan.
Dan semuanya bilang : “Ciyeeeee” dan salah satu
berkata “Ada yang cinta lokasi euy gegara Truth
or Dare”.
Gue nggak tahu harus bilang apa, tapi hari ini
bener-bener canggung banget. Gue juga jadi senyum-senyum sendiri, apalagi kalo
liat Yureka. Jadi lebih canggung dan nggak bisa nahan buat nggak senyum.
Hari Sabtu ini ditutup dengan canda tawa kami
berdelapan. Setelah permainan usai memang tidak ada yang mencoba memancing
obrolan soal Truth or Dare tadi
apalagi yang bagian gue jawab Truth.
Tapi siapa yang tahu mungkin besok ada yang mulai mancing-mancing. Abis capek
rapat dan main, saatnya tidur. Pastinya nggak digabung antara laki-laki sama
perempuan, meskipun kita di Amrik, tapi budaya ketimuran harus tetap dijaga.
Gue, Chandra, Fikri, Gilang, sama Dhimas tidur di ruang tengah dengan
beralaskan selimut super tebalnya Kak Anna yang biasa dia pake pas winter. Sedangkan cewek-ceweknya tidur
di kamar Kak Anna.
💚💚💚
Malam berlalu dengan cepat. Udah hari Minggu pagi. Dan
hari pun udah berganti lagi. Rasanya cepet banget, rasanya baru kemaren ngerasa
rileks dapet weekend meskipun harus
tetep diisi sama agenda rapat. Itu berarti besok harus kembali ke rutinitas
seperti biasanya. Kuliah, belajar, makan, tidur, ngumpul sama temen, ketemu
dosen, dan lain sebagainya.
Pagi ini gue kebangun jam 5 subuh. Sebenernya udah
biasa juga bangun jam segitu. Karena kebangun dan setelah solat subuh nggak
tahu mau ngapain sedangkan yang lain belom bangun, akhirnya gua memutuskan buat
cari udara segar sebentar di balkon apartemennya Kak Anna. Suhu diluar cukup
sejuk, sekitar 22 derajat. Cukup sejuk di musim panas kayak gini. Di balkon gue
terdiam. Liat lampu-lampu gedung pencakar langit New York yang masih menyala.
Gue mencoba buat nggak mikir apa-apa, gue mau rileks sejenak. Tapi entah kenapa
jadi terlintas mukanya Yureka di benak gue. Maksudnya apa yaa? Kan baru ketemu
lagi setelah berbulan-bulan nggak ketemu trus ketemu lagi baru dua kali ini.
Tapi kenapa gue jadi mikirin Yureka terus?
Nggak lama Kak Anna dateng dan ganggu suasana melamun
gue.
“Ngapain pagi-pagi ngabsen di balkon orang?”, tanya
Kak Anna sambil membuka sebungkus rokok dari saku celananya.
“Yah elu, ganggu aja orang lagi enak-enak cari angin”,
jawab gue dengan alasan klasik.
“Cari angin atau cari jodoh?”, tanya Kak Anna lagi
sambil mengambil sebatang rokok dan menyalakannya dengan korek elektrik yang
juga ia ambil dari sakunya. Kemudian sambil bertanya: “Mau nggak lu?”
“Pagi-pagi itu sarapan roti bukan rokok. Nggak, makasih”, jawab gue sambil bercanda dengan Kak Anna. Gue juga bukan perokok.
Dulu sempet ngerokok tapi karena gue alergi sama tumbuh-tumbuhan semacam
tembakau, gue jadi berhenti ngerokok.
“Lu belom jawab
pertanyaan gue. Cari angin atau cari jodoh, hah? Nggak usah nutup-nutupin,
Jin”. Kak Anna mulai sok tahu.
“Nutupin apaan sih?”, tanya gue sewot.
“Nggak usah boong. Gue kan gini-gini generasi
penerusnya Mama Lauren”, jawab Kak Anna sambil menghisap rokok yang merk-nya
berinisial M itu.
“Astagfirulloh. Ih orang udah meninggal jangan
disebut-sebut. Pamali”, jelas gue sambil mengelus dada.
“Nggak deng becanda, Ya Tuhan. Maap yaa Mama Lauren. Peace! Eh belom dijawab juga, cari angin
atau cari jodoh?”, Kak Anna masih terus memaksa gue buat jawab.
“Gue nggak paham maksud pertanyaan lu, Kak”, respon
gue datar.
Setelah itu suasana agak hening dan kemudian Kak Anna
membeberkan semua yang dia tebak. Dia bilang kalau selama rapat acara ini, dia
melihat kalau gue ada sesuatu sama Yureka. Dia nebak kalo gue suka sama Yureka.
Awalnya gue mau bungkam aja, nggak mau cerita apa-apa. Males juga curhat kayak
ginian, terutama sama cewek. Gue pernah sih curhat sama cewek, tapi itupun sama
Nyokap gue doang. Soalnya menurut gue kalo nggak perlu diceritain ke orang
lain, baik temen-temen cewek atau geng cowok-cowok, yaa nggak usah diceritain.
Tapi Kak Anna masih maksa gue buat ceritain sesuatu yang berhubungan dengan
Yureka. Ya, akhirnya gue luluh dan cerita semuanya.
“Ya, jadi… Sebenernya, gue tuh…”
((BERSAMBUNG))
Yureka. New York. Masa Depan.
Selamat pagi dari kota New York. Aku tidak bisa tidur.
Bukan karena lupa pakai kaus kaki, tapi memikirkan permainan Truth or Dare yang semalam. Benar-benar
canggung sekali. Jadi, semalam kami main permainan itu yang mana lima pemuda
memilih Dare sedangkan pemudinya
memilih Truth yang berhujung sesi
curhat. Tapi itu tidak penting, yang terpenting adalah sampai detik ini aku
masih merasa canggung karena jawaban yang ku berikan saat menjawab pertanyaan
Kak Anna.
Jadi semalam Kak Anna memberikan perumpamaan, kalau
semisal di bumi ini laki-lakinya tinggal Fikri, Gilang, Dhimas, Chandra, dan
Eugene, aku mau pilih yang mana untuk meneruskan keturunan. Kak Anna juga
bilang aku harus menjawabnya secara jujur. Padahal kan hanya Truth, kok disuruh jawab jujur? Ya
sudah, akhirnya dengan perasaan campur aduk kala itu, aku pilih Eugene. Tapi
untungnya tidak perlu memberikan alasannya. Aneh sekali yaa, padahal kan
biasanya menjawab sesuatu harus memberikan alasan. Contohnya menjawab soal
ujian dari dosen versi esai, ada kasus dan dijawab dengan akal logika serta
alasan mengapa dan dari mana. Mungkin Kak Anna tidak ingin menjadi dosen.
Yaa, aku tahu itu semua hanya permainan dan hanya
candaan saja, tapi kan aku yang mulai kesemsem sama Eugene ini jadi was-was.
Takut-takut benar mereka sudah tahu kalau aku suka dengan Eugene dari cara dan
gelagatku beberapa kali bertemu Eugene seperti ini. Aku memang begitu,
terkadang menggila atau overreacting
tiap kali bertemu pujaan hati. Ya, namanya juga bertemu orang yang disukai,
pasti ada reaksi yang tidak bisa dikendalikan. Contohnya? Kalau aku biasanya jadi lebih banyak tanya, banyak
bicara, bahkan banyak membuat candaan dengan orang tersebut.
Setelah membuka mata dan beberapa menit memikirkan itu
semua, aku memutuskan untuk bangun dari tempat tidur. Kulihat Farida masih
tidur nyenyak. Aku tidak ingin mengganggunya.
Tapi kemana Kak Anna?
Jam berapa sih sekarang?
Hah masih jam 6?
Tumben sekali aku sudah bangun jam segini? Biasanya
kalau weekend aku bangun jam 11
siang. Oops.
“Duh laper”, ucapku tak sengaja karena memang aku
mulai lapar. Padahal kan aku semalam makan 3 potong pizza tapi sepagi ini aku
sudah lapar. Eh lebih, 4 atau 5. Hmm, aku sudah lupa. Tapi intinya perutku
pagi-pagi sudah minta dipresensi.
Ketika turun dari tempat tidur dan keluar menuju ruang
tengah, aku masih melihat 4 pemuda masih tertidur lelap.
Tapi kok cuma 4? Hmmm, siapa yang tidak disitu?
Ah, Eugene! Kemana tuh anak?
Sekilas ku melihat ke arah balkon, disitu ada Kak Anna
dan Eugene.
Oh, jadi disitu mereka rupanya. Wah, pagi-pagi sudah
ngerumpi.
Ngobrolin apa yaa mereka? Penasaran.
Eh kenapa jadi ngurusin hidup orang? Aku kan tadi mau
buka kulkas cari makanan.
Ku buka kulkas Kak Anna, ku cari-cari mana makanan
yang cocok dimakan di pagi-pagi hari seperti ini. Dan kulihat ada melon dan
semangka sisa semalam. Aku jadi teringat Eugene ketika ia melontarkan komennya
saat aku menghidangkan buah-buahan ini kepada mereka bertujuh. Katanya: “Wah
ada melon. Kok tahu aja sih gue doyan melon”.
Saat itu pun dalam hati ku berkata: “Duh kok
kebetulan banget sih gue beli buah yang dia suka. Waktu beli itu di supermarket
sih gue milih buah itu karena pasti banyak yang suka. Tapi emang lagi diskon
sih jadi lebih murah juga”. Tapi diluar konteks buah-buahan murah, aku pun
sangat suka buah-buah itu, lebih tepatnya semangka, tapi tidak terlalu dengan
melon. Ternyata pemuda yang mulai membuatku kecanduan akan kehadirannya ini
suka sekali buah melon.
Apakah ini pertanda bahwa ini semacam perjodohan dari
Yang Maha Kuasa?
Oke, Stop
Yureka, jangan mulai berkhayal lagi. Ini masih jam 6 pagi, sebaiknya kau
pikirkan hal yang lebih penting ketimbang mempertimbangkan perjodohan Tuhan
lewat buah-buahan tidak berdosa ini.
…“Yur, tutup
kulkasnya. Itu dinginnya ampe kesini-sini tahu!”, Dhimas terbangun karena udara
dari kulkas yang kubuka tadi. Ternyata lamunanku membuat ku lupa kalau aku
sedang membuka kulkas dan sedang mencari makanan.
Dengan penuh penyesalan, aku hanya membalas “Oh yaa
maap, Dhim. Yaa, nih gue tutup lagi”.
Setelah ku ambil melon dan semangka yang tersisa
beberapa potong itu, aku duduk di kursi dekat dapur yang arahnya menghadap
serong kiri ke pintu menuju balkon. Jadi Eugene dan Kak Anna masih ngobrol yaa
diluar? Sepertinya obrolan mereka seru sekali. Kelihatannya Kak Anna juga enjoy berada di dekat Eugene. Ah, andai
yang diposisi Kak Anna itu aku. Pasti lebih seru lagi.
Tunggu, tunggu, kenapa aku jadi cemburu dengan Kak
Anna?
Oke, Yureka, ini mulai berlebihan. Jadi, tolong
hentikan ini.
Sambil mengunyah buah-buah segar ini, aku masih
memikirkan permainan semalam. Aku masih ingat betul kata demi kata yang
dilontarkan Kak Anna, ataupun reaksi-reaksi semacam “Ciyeee” dari teman-teman
panitia. Bahkan aku masih ingat bagian Eugene saat ia menjawab Truth. Setelah tantangan Dare yang ia lakukan di anulir yang
disebabkan oleh tantangan yang diminta tidak ada saat itu juga. Jadi sebenarnya
tantangan tersebut adalah ia harus meminta sebungkus keju mozarela dari
tetangga Kak Anna yang tinggal di lantai 1, namun sayangnya beliau hanya
memiliki keju chedar. Diterima sih keju chedarnya, tapi bagi teman-teman
berenam lainnya, tantangan tersebut di anulir dan harus diganti dengan Truth. Jahat sekali yaa teman-temanku
ini. Namun bodohnya, pertanyaan yang diajukan Kak Anna ke Eugene sama seperti
pertanyaan yang diajukan kepadaku, hanya saja objeknya yang berbeda. Intinya,
antara Kak Anna, Farida, dan aku, Eugene pilih yang mana? Dengan keheningan
sesaat, kemudian ia menyebut namaku. Ya, NAMAKU! YUREKA! Sumpah, saat itu juga
aku bereaksi mematung, membeku, atau apalah. Apa maksudnya coba? Ya, dia memang
diminta menyebutkan satu nama dari tiga nama tadi tapi kan itu yang justru
membuatku tambah kegirangan sampai ke angkasa.
Tidak berapa lama, mereka yang sedang aku bicarakan
dalam benak, masuk kembali.
“Eh, Yureka. Kirain siapa. Udah bangun?”, tanya Eugene
yang masih terlihat muka bantal di wajah tampannya.
“Ajegile pagi-pagi udah makan. Laper lu atau gimana?”,
celetuk Kak Anna.
“Iyaa laper gue. Hehehe”, jawabku tersenyum simpul.
Setelah basa-basi busuk, Kak Anna kemudian
mengingatkanku untuk mengambil barang-barang bekas di apartemenku untuk bahan
membuat dekorasi. Yaa, memang hasil rapat seharian kemarin itu menghasilkan ide
untuk membuat DIY (Do It Yourself)
untuk dekorasi panggung peragaan busana nanti. Memang tidak full panggung yang akan kami hias dengan
DIY, tapi nanti sebagiannya lagi akan menggunakan barang-barang pajangan yang
bisa disewa dari sebuah studio seni yang tidak jauh dari apartemen Kak Anna.
Kemudian Kak Anna menambahkan kalau nanti ketika
mengambil barang DIY itu, Eugene yang akan membantu mengambilkannya dan
mengantarkannya ke apartemen Kak Anna. Alamak! Duh pasti tambah
canggung lagi nanti. Yaa, Eugene memang satu tim denganku tapi kan bisa minta
tolong beberapa orang lagi untuk ambil ke apartemenku. Tapi kan semua sudah
punya tugasnya masing-masing yaa. Ya, yasudah lah, mau bagaimana lagi.
Tepat pukul 8.00 pagi, setelah cuci muka dan lain
sebagainya, aku dan Eugene meluncur ke apartemenku dengan menggunakan kereta
bawah tanah. Selama perjalanan, kami cerita banyak. Ibaratnya, meneruskan
percakapan yang kemarin kami lakukan. Kemarin kami bicara soal apa ya? Ah, yaa
soal keluarganya Eugene dan Mamanya yang orang Korea itu.
Ternyata Eugene ini punya adik laki-laki yang
perbedaan usianya sangat jauh, yakni 15 tahun. Adiknya sempat sakit-sakitan,
baik fisik maupun psikologisnya. Bukan gila yaa, tapi hanya butuh terapi saja.
Tapi itu dulu katanya, waktu usianya masih 3 tahun. Sekarang adiknya yang
namanya Genji itu sudah kelas 2 SD, usianya 8 tahun, tumbuh menjadi anak yang
sehat walafiat dengan emosi yang sudah cukup stabil. Karena katanya, dulu emosi adiknya tidak bisa
dikontrol. Sebentar-sebentar ia marah dan ngamuk, kadang malah tanpa sebab. Awalnya
juga sempat bersekolah di sekolah umum, tapi karena hal itu tadi yang akhirnya
membuat orang tuanya beralih ke homeschooling
dengan tujuan agar emosi Genji bisa dikontrol lebih mudah dengan bantuan guru
dan terapisnya. Sampai sekarang pun katanya masih homeschooling dan direncanakan sampai lulus SD nanti. Kalau SMP dan
seterusnya, melihat bagaimana perkembangan Genji nanti.
Menanggapi cerita yang ini, adiknya homeschooling, ikut terapi dari psikolog
berpengalaman, berarti keluarganya kaya raya yaa? Kalau memang demikian, yaa,
ya sudah. Tapi aku suka Eugene bukan karena hartanya ya. Lagi pula awalnya mana
ku tahu kalau ia setajir itu. Aku kan suka karena kebaikan hatinya, kecerdasan
otaknya, dan juga kerupawanan wajahnya. Ah, sempurna!
Karena makin penasaran dengan latar belakang
keluarganya, aku bertanya lagi bagaimana soal Ibunya yang berasal dari Korea
Selatan tersebut. Sambil mampir beli dua potong bagel sandwich, ia beberkan panjang lebar. Jadi, mulai dari Kakek
dan Neneknya yang tinggal di Korea. Kakeknya bernama Kang Dong-won, asli orang
Korea Selatan, lebih tepatnya dari kota Incheon. Lalu Kakek Dong-won menikah
dengan Nenek Meiyin Wang atau nama Korea-nya Kang Mi-young. Neneknya berasal
dari Guangzhou, China yang kemudian pindah warganegara menjadi warga Korea
Selatan sesaat setelah menikah dengan Kakek Kang Dong-won.
Tunggu dulu, tunggu, nama belakang Neneknya “Wang”?
Nah kan betul, Eugene dan Adam ada hubungan saudara. Atau jangan-jangan
Neneknya Eugene dengan Neneknya Adam ada hubungan pertalian saudara? Tapi kan
yang namanya “Wang” banyak, Yureka. Kau ini bagaimana. Ah, tidak tahu lah.
Nanti saja investigasi lagi. Sekarang aku harus fokus terlebih dahulu ke cerita
Eugene tentang keluarganya. Ya, siapa tahu akan jadi bagian dari keluarganya
juga. Hah, berharap sekali yaa Yureka ini.
Lalu, Kakek dan Neneknya punya 4 orang anak, dan salah
satunya Mamanya Eugene yang ternyata anak ketiga dari 4 bersaudara itu.
Kemudian tahun 1980an, mereka pindah ke Jakarta dan membuka usaha toko obat
herbal di daerah Glodok. Saat itu Kakek dan Neneknya hanya membawa dua anaknya
saja, yaitu Mamanya yang bernama Kang Mi-sook dan juga adik Mamanya alias
Tantenya Eugene yang bernama Kang Mija. Sedangkan dua kakak Mamanya saat itu
sudah berkeluarga dan satu lagi sedang wajib militer maka tidak ikut pindah ke
Indonesia.
Selama tinggal di Jakarta, Kang Mi-sook atau nama
Indonesia Mia Oetomo ini, membantu usaha kedua orang tuanya alias Kakek dan
Neneknya Eugene, sampai kemudian Tante Mia memutuskan untuk meneruskan studi ke
jenjang universitas. Saat itu Tante Mia kuliah di jurusan Farmasi Universitas
Indonesia. Kemudian, di toko Kakek-Neneknya Eugene ada pelanggan tetap yang
ternyata berprofesi sebagai dosen Sastra Mandarin di UI. Karena Tante Mia bisa
bahasa Mandarin, maka pelanggan yang dosen tadi memintanya untuk menjadi
asisten pengajar selama satu semester. Nah, dari asisten pengajar Sastra
Mandarin itulah Tante Mia bertemu suaminya alias Papanya Eugene yang bernama
Geni Joyo Oetomo. Papanya memang bukan mahasiswa Sastra Mandarin, tapi Papanya
itu murid lesnya dosen tadi karena katanya saat itu Om Geni sedang kursus
bahasa Mandarin guna mempersiapkan keberangkatannya ke China untuk menjalani
program magang selama 6 bulan di salah satu perusahaan berbasis pertanian. Nah,
dari pertemuan di kampus FIB UI itu, Tante Mia dan Om Geni ketemu dan akhirnya
sampai sekarang menikah.
Eugene juga cerita kalau kisah percintaan Mama-Papanya
tidak seindah yang dilihat orang dari luarnya. Karena katanya awal mereka
dekat, Kakek dari Papanya atau Eyang Kakungnya kurang setuju karena meskipun
Tante Mia sudah mualaf sejak sebelum bertemu Om Geni, tapi yang waktu itu agak
dipermasalahkan adalah karena keluarga besar Tante Mia masih beragama Buddha.
Setelah menjalani serangkaian pendekatan persuasif, akhirnya Mama-Papanya
mendapat restu. Setelah selesai magang di China yang mana aku lupa itu di kota
mana, kemudian Om Geni balik ke Indonesia dan langsung menikahi Tante Mia. Dari
pernikahan itulah, beliau-beliau dikaruniai dua anak ganteng seperti Eugene dan
Genji. Ya, aku memang belum ketemu Genji langsung sih, tapi Eugene menunjukkan
foto adiknya dari handphonenya. Iyaa,
memang ganteng. Abang-Adik sama-sama tampan dan rupawan. Duh, jadi ingin
menikahi Abangnya. Baiklah, Yureka jangan mulai lagi!
Eugene juga menjelaskan lika-liku kehidupan
keluarganya. Salah satunya beberapa kali pindah-pindah tempat tinggal. Jadi,
Eugene ini lahir di Jakarta pada tanggal 20 Maret 1995, kemudian ketika ia
berusia 3 tahun, ia dan Mama-Papanya pindah ke Korea untuk tinggal sementara
disana untuk menghindari efek krisis moneter di Indonesia tahun 1998. Sekitar
lima bulan kemudian, hanya Papa dan Mamanya saja yang kembali ke Indonesia,
sementara Eugene tetap tinggal dengan Neneknya di Incheon, Korea Selatan,
selama kurang lebih 1,5 tahun. Setelah itu Eugene pindah ke Surabaya karena
sejak orang tuanya pindah dari Korea, mereka membuka usaha di Surabaya. Eugene
pun lagi-lagi harus dititipkan pada Nenek dari Papanya yang ia panggil Eyang
Putri itu. Di Surabaya, Eugene tinggal selama 2 tahun kalau tidak salah. Setelah
itu ia dan orang tuanya pindah ke Jakarta dan membuka cabang dari usaha
keluarganya itu.
Setelah pindah ke Jakarta, bukan tambah bahagia, tapi
saat itu keluarganya mendapat musibah, yakni Om Geni sakit stroke yang membuat
bagian tubuh sebelah kirinya tidak bisa digerakkan. Untuk membayar pengobatan
Papanya itu, Mamanya terpaksa menjual seluruh aset bisnisnya baik yang ada di
Surabaya maupun yang baru dibuka di Jakarta. Tapi bersyukurnya setelah 2 tahun
menjalani pengobatan alternatif, akhirnya Papanya sembuh total dan kembali
menjalani aktifitas seperti sedia kala. Katanya sih, Om Geni dulu hidupnya
kurang sehat, pola makannya berantakan, tidak pernah olahraga, perokok berat,
bahkan katanya Papanya juga sempat kecanduan minuman beralkohol. Beliau juga
katanya sering marah-marah, sering memarahi Eugene kalau ia malas belajar dan
sekolah. Eugene bahkan pernah dihukum dikurung di kamar selama beberapa jam
oleh Papanya akibat ia mendapat nilai yang kurang bagus dalam mata pelajaran
bahasa Inggris dan bahasa Mandarin di sekolah. Uang jajannya pun tidak
diberikan selama satu bulan. Mungkin karena perlakuan beliau yang demikian
membuat beliau sakit stroke. Memang sih, setauku salah satu penyebab stroke itu
karena selain pola hidup yang tidak sehat, sering marah-marah dan gampang emosi
juga jadi pemicu utamanya.
Meskipun modal dan aset keluarganya menipis, tapi
orang tua Eugene tidak kehilangan akal. Mereka semua akhirnya pindah kota untuk
yang kesekian kalinya. Dipilihlah Denpasar yang sampai saat ini keluarganya
Eugene masih tinggal disana. Sambil merapihkan serpihan roti dibajunya, ia
berkata: “Ya, Alhamdulillah sejak pindah ke Bali, semuanya stabil. Meskipun
ada drama adik gue sakit yang tadi gue ceritain itu. Tapi keluarga gue nggak
ambil pusing sih, soalnya kita semua jadi belajar ikhlas. Pokoknya semenjak
Bokap sakit stroke yang tiba-tiba dan sembuhnya pun lama sampe 2 tahun,
ditambah adik gue sakit, ya, Nyokap gue cuma bilang itu semua cobaan dari
Allah. Dan ambil pelajaran aja dari disitu supaya nggak sampe terulang lagi.”
Dari pernyataannya itu, Eugene juga mengungkapkan
itulah salah satu alasan mengapa ia tidak merorok karena ia memetik pelajaran
dari kejadian Papanya sakit. Ia bilang ia tahu betul pola hidup Papanya yang
sangat tidak sehat. Sering begadang dan lain sebagainya. Tapi selain mengambil
pelajaran dari Papanya, ia tidak merokok juga katanya ia alergi dengan
tembakau. Aku baru dengar ada kelainan semacam itu. Penyakit macam apa yang
membuat seseorang alergi dengan tumbuh-tumbuhan semacam tembakau? Ya, mungkin
memang ada tapi aku yang belum cari tahu lebih lengkapnya. Tapi tetap saja
aneh. Intinya, dahulu waktu awal-awal Eugene mencoba merokok saat duduk di
bangku SMA, ia bilang setiap habis merokok maka kemudian di wajahnya akan
timbul bercak-bercak merah seperti jerawat. Kasihan sekali gebetanku ini.
Dari ceritanya dan caranya bercerita, aku bisa melihat
kalau Eugene ini penyayang keluarga. Setelah terlontar dari benakku, ia
kemudian yang mengaku sendiri kalau ia memang sangat menyayangi keluarnya. Ia
bilang kalau ia rela belajar mati-matian agar bisa mendapat nilai yang maksimal
dan setelah lulus nanti bisa menghasilkan uang yang banyak yang nantinya akan
membalas kebaikan dan kasih sayang kedua orang tuanya selama ini. Meskipun
katanya memang kasih sayang orang tua tidak akan bisa dibalas dengan apapun,
apalagi dengan sepeser uang. Tapi ngomong-ngomong, aku suka sekali loh
laki-laki yang family man karena
dengan mencintai keluarganya berarti kan dia bisa mencintai wanita dengan
sepenuh hati. Tapi siapa yaa wanita yang akan ia cintai? Cintai aku saja maka
aku sangat menerimamu apa adanya, Jin. Nah kan, mulai lagi Yureka Bhanuresmi
Cendekia anak Cinere satu ini.
Tidak terasa,
setelah cerita panjang lebar, akhirnya sampai juga di apartemenku yang tidak
jauh dari kampus NYU, kampusku tercinta. Ketika naik tangga menuju ke lantai 3,
tempat ku dan dua roommate menetap,
aku dan Eugene berpapasan dengan tetangga yang suka memberikan ku kue pie
coklat kepadaku.
“Yureka! How’s
going? How was your weekend?”. Laki-laki berambut cokelat kepirang-pirangan bermata biru yang
katanya keturunan Rusia dan Slovenia ini menghampiriku dan basa-basi menanyakan
kabarku.
“Good. It was
great. I spent my weekend with a bunch of friend, Indonesian friends”,
balasku dengan muka datar. Ya, aku tidak terlalu suka pria bule ini.
Jadi, tetangga yang ku ceritakan pada Eugene kemarin
itu namanya Jamie Whitley. Sejak beberapa minggu terakhir, aku agak terganggu
dengan kedatangan Jamie yang lumayan sering ke apartemenku. Awalnya ia mau
mendekati Cassandra, salah satu roomate
asal Mexico. Setelah mengetahui Cassandra sudah punya tunangan, maka Jamie
perlahan mundur dan malah sekarang beralih mendekatiku. Ya, bukannya aku Pe-de,
tapi ia sering sekali memberikanku sebatang coklat dengan isian kacang atau
bahkan membuatkanku pie coklat. Ya, pekerjaannya memang jadi tukang masak di
restoran Italia ternama di New York, aku bahkan lupa namanya apa. Dan tidak
heran memang kalau ia membuatkanku kue pie karena dia memang bisa membuatnya,
tapi kan kalau keterusan berarti ada udang di balik batu. Aku jadi memutar ulang
kapan pertama kali Jamie memberikanku coklat, ternyata itu semua berawal dari
pernyataanku yang sangat menyukai coklat ini. Makanan favoritnya juga ternyata
coklat. Intinya semenjak itu ia jadi mendekatiku, bahkan sudah berani
mengajakku jalan.
“By the way, I’m
so sorry to not reply your message. Very busy weekend with my friends. Owh, and
this is Eugene, one of my Indonesian friends. So, Jamie this is Eugene. And
Eugene, this is Jamie. Jamie works as a chef, in the very famous Italian
Restauran in New York City. He’s also way to smart to cook chocolate pie. He
always come by and give me a very special chocolate pie.”, jelasku pada
keduanya namun sesekali mengedipkan mata ke Eugene dengan maksud untuk
menunjukkan padanya siapa sesungguhnya tetangga yang suka menggangu yang ku
ceritakan padanya kemarin. Dan manusia itu adalah yang sedang ia temui saat
ini.
“Owh. Jamie.
Chocolate pie. I’m Eugene. Nice to meet you”, ucap Eugene dengan tambahan
ekspresi terkejut.
“I’m Jamie. Nice
to meet you bro”, Jamie menjabat tangan Eugene dan bersalaman lah mereka
pada akhirnya.
Setelah
berjabat dan bersenyum sapa yang bisa jadi ada gunanya namun bisa juga tidak
ada gunanya, Jamie kemudian menanyakan kepadaku tentang sesuatu, “So, Yureka? Still no?”
“I have no idea.
I’ll let you know soon”. Ya, Jamie masih ingin mengajakku jalan. Tak
henti-hentinya pria bule ini berusaha agar aku mengiyakan permintaannya.
“Alright. That’s
fine. Well, have a nice Sunday. See you around”. Jamie pamit undur diri.
Aku membuang napas pertanda lega. Kupikir akan ada
drama yang antara pria bule dan pria oriental demi mendapatkan hati gadis
Cinere.
“Jadi itu tetangga yang lu maksud, yang ngajak lu
jalan? Kenapa nggak lu iyain aja sih? Yaa, gue tahu lu nggak mau sama bule tapi kan
nggak ada salahnya menerima ajakan dia. Kan sebagai teman”. Menanggapi
pernyataan Eugene begini aku tambah kesal. Tapi sarannya boleh juga sih.
“Iyaa tahu, tapi kalo setelah itu dia jadi besar
kepala dan terus-terusan ngajak gue jalan, ngajak gue pacaran, gimana?”, sambil
sibuk mencari kunci pintu apartemen di tas punggungku, nada bicaraku meninggi.
“Yaa, jodoh kan nggak kemana-mana. Ya, kan?”, jawab
Eugene.
“Duh, nggak deh, Jin. Bukan gue rasis nih, tapi doi
itu Atheis. Dalam prinsip hidup gue… Ya… Nggak bisa. Lu paham kan maksud gue?”.
Saking emosinya, aku jadi salah ambil kunci. Harusnya kunci pintu malah kunci
gudang yang akan aku kunjungi setelah ini.
“Oh Atheis ternyata. Nggak heran sih kalo disini. Yaa,
tapi kan bagus dong kalo lu ajak dia jadi mualaf”. Saran Eugene memang bagus
tapi sekali hati ini berkata tidak ya tetap tidak.
“Ngajak dia mualaf? Alhamdulillah kalo berhasil. Lah
kalo nggak? Orang terakhir gue bahas agama sama dia, ujung-ujungnya ribut. Dia
keukeuh bilang, Tuhan itu nggak ada. Astagfirullohalazim.
Gimana mau dijadiin pasangan hidup, pegangan hidup aja dia nggak punya”, gumam
ku lalu pintu berhasil dibuka dan secara tersirat mempersilahkan Eugene masuk
ke dalam apartemenku.
“Hmm nice
thought. I appreciate that anyway”, Eugene hanya menanggapinya dengan
senyuman. Untung dia gebetanku, untung juga senyumnya manis. Kalau tidak, aku
usir dia saat itu juga karena masih terbawa kesal terhadap Jamie.
Setelah masuk ke apartemen, sepertinya tidak ada
orang. Oh ya, baru sadar, Cassandra dan Salima, dua teman berbagi apartemen,
sedang ada acara masing-masing. Cassandra sepertinya sedang menginap di
apartemen tunangannya di daerah Queens. Biasa lah, disini seperti itu tidak
perlu diherankan lagi. Sedangkan Salima sedang berlibur bersama keluarganya ke
Boston.
Setelah mempersilahkan Eugene masuk, aku menyiapkan
satu teko besar dan satu gelas untuk Eugene, siapa tahu dia haus. Sambil
berkata “Yaudah, gue cari dulu barang-barangnya di kamar. Trus, kalo lu kalo
laper atau mau nyemil-nyemil, ada di lemari atas nomor dua yaa. Di kulkas juga
ada. Feel free aja pokoknya.”
“Sip. Thank you, Yur.”, balas Eugene sambil melihat area dalam apartemen tempat aku tinggal.
Di kamar, sembari mencari barang-barang yang bisa
dijadikan bahan dekorasi, aku sempat tersenyum lebar. Astaga, baru dua kali
bertemu dan semalam menginap yang artinya frekuensi bertemu dengan Eugene lebih
banyak, sekarang malah mampir ke apartemen, meskipun cuma hanya sekadar
mengambil barang. Duh, aku belum pernah menerima tamu laki-laki sebelumnya.
Maksudnya laki-laki yang aku sukai. Kan beda rasanya memasukkan laki-laki yang
satu bahasa, satu bangsa denganku, ke dalam tempat tinggal selama satu tahun
belakangan. Kalau mempersilahkan Jamie masuk sih biasa saja. Atau teman kuliah
juga beberapa kali pernah kesini. Tapi hanya mampir saja, yaa seperti ini, ambil
barang lalu pergi lagi.
Sebenarnya tidak banyak teman pria yang datang dan
berdiam agak lama. Maksudnya, aku tidak pernah belajar atau diskusi kelompok
bersama teman kampus yang jujur saja kebanyakan laki-laki, di apartemen ini.
Itu semua karena Salima, teman apartemenku yang kurang nyaman kalau laki-laki
masuk ke apartemen kami. Bukan menghakimi, tapi memang maklum saja dia wanita
berhijab yang cukup relijius, jadi wajar saja kalau dia kurang nyaman ada
laki-laki bukan muhrim kami masuk ke apartemen. Aku pun sebenarnya sama
muslimnya dengan Salima, tapi bagiku kalau hanya sekadar mampir dan belajar
bersama, apa salahnya? Ya, aku pernah membicarakan ini diam-diam dengan
Cassandra bahwa kami berdua kurang nyaman dengan prinsip Salima tersebut.
Cassandra juga sempat kesal karena tunangannya, Jose, tidak pernah bisa
menginap karena hal tersebut yang pada akhirnya membuat Cassandra mengalah dan
tidur di tempat tinggal Jose kalau memang diinginkan. Tapi kemudian aku dan
Cassandra menyadari bahwa membicarakan Salima di belakangnya bukan solusi yang
baik, kami pun pada akhirnya harus menghargai keputusan dan prinsip hidup
Salima tersebut.
Lupakan soal gadis Libya atau si Mexico itu. Aku tetap
fokus pada pencarian barang-barang bekas yang kemudian ada satu kardus berukuran
sedang dengan penuhnya. Kemudian ku letakkan di bawah meja makan persis dekat
kaki Eugene yang sedang bersantai sambil membaca-baca buku kuliahku yang
ternyata masih bertengger di meja makan bekas ku baca Jumat sore lalu. “Nih,
segini dulu. Sisanya ada di gudang yang ada di rooftoop. Mau bantu cariin atau lu tunggu sini aja?”
“Ya, bantuin lah. Masa satu tim nggak saling bantu”,
jawab Eugene sangat bijaksana.
“Bisa aja nih Oppa-Oppa. Yaudah yuk”, ajakan
ku yang hampir saja berencana menarik tangannya. Tapi aku urungi karena itu
terlalu obvious.
Sampai di gudang, kami langsung mencari barang-barang
seperti kardus, tali-temali, dan kertas-kertas karton bekas yang masih bisa
terpakai. Biasanya di gudang ada banyak barang-barang bekas dari penghuni yang
sudah pindah. Tapi ada juga barang-barang yang masih dipakai oleh penghuni saat
ini. Jadi, harus teliti memilihnya. Biasanya yang ada tulisannya “for free”, nah itu berarti boleh
diambil. Atau kalau tanda masih dipakai berarti ada nama pemiliknya. Seperti
satu kardus sepatu bertulisan “J. Whitley” yang pastinya sudah tidak diragukan
lagi kalau kepunyaan Jamie, si tetangga bule itu.
Selama mencari-cari, aku beberapa kali bersin-bersin.
“Are you okay,
Yur?”, Eugene yang sedang menahan pohon natal berukuran kecil menanyakan
keadaanku.
“Hmm. It’s okay.
Nggak okay sih sebenernya. Hmm sebenernya gue paling nggak suka kalau disuruh
ke gudang soalnya gue alergi debu”, akuku pada Eugene.
“Yah, elu kenapa nggak bilang dari tadi. Tahu gitu kan
gue aja yang cari. Yaudah lu tunggu di luar aja, biar gue yang bongkar-bongkar”,
ungkapnya dengan nada perhatian. Kemudian aku iyakan permintaannya dan dia yang
kemudian mencari barang-barang yang kami cari.
Setelah berjibaku dengan barang-barang di gudang, kami
harus segera kembali ke apartemen Kak Anna sebelum jam 12 siang, dan saat itu
waktu sudah menunjukkan hampir pukul 11. Kami harus bergegas meninggalkan
apartemen dan meluncur ke apartemen Kak Anna. Barang-barangnya cukup banyak,
kami tidak yakin akan sanggup membawanya kalau naik subway. Daripada kerepotan,
kami putuskan untuk naik taksi dengan membayar patungan. Berniat naik taksi
namun mobil tranportasi umum berwarna kuning itu tak kunjung datang. Duh, aku
paling benci cari taksi di New York. Ya, New York yang sebesar ini dan taxi cab itu bejibun, tetap saja susah.
Mau orang bilang lebih enak naik taksi karena langsung ke tempat tujuan, tapi
tidak dengan di New York. Kalau kalian sanggup berteriak “Taxi” berulang kali atau mengancungkan jempol sampai taksi datang, itu
artinya level kesabaran kalian sangat tinggi. Namun tidak denganku.
Sudah hampir lima belas menit tidak ada taksi yang mau
menepi, dan kami berdua mulai lapar, akhirnya kami cari makan. Karena barangnya
terlalu banyak dan tidak memungkinkan membawanya sambil mencari makan, akhirnya
Eugene yang bersedia membelikan kami makanan. Kebetulan ada bistro yang tidak jauh dari
apartemenku. Agak mahal sih, tapi lebih baik lah daripada kalau kami
mati kelaparan di negara orang lalu menjadi headline
di koran-koran. Duh amit-amit. Sepuluh menit kemudian, Eugene
kembali dengan kantung kertas berisi 4 roti lapis isi tuna dan dua botol air
mineral.
Sambil makan, aku menerima pesan Whatsapp dari adik sepupuku, Dione, atau sering disapa Dee. Isi
pesannya “Woi, lagi apa lu, Kak? Sepi
amat nggak ada kabar? Btw, di New York lagi 20 derajat ya? Eh doain yaa ini gue
lagi otw ke Bali. Mau jalan-jalan”.
Belum ku balas pesan sepupuku itu, aku mengekspresikan
respon ku dengan berkata “Wuih mau Bali”.
“Siapa mau ke Bali?”, tanggap Eugene dengan cepat.
“Ini, adik sepupu gue”, sambil tersenyum dan membalas
pesan sepupuku tersebut.
“Oh yang kata lu suka Kpop itu yaa?”, tanyanya sambil
merapihkan selada didalam sandwich yang agak berantakan.
“Iyaa yang itu. Lucu deh, dia tuh sering banget ngasih
tahu kalo di New York jam berapa, di New York berapa derajat. Itu hasil dia
ngeliat pake aplikasi gitu. Sebenernya nggak dikasih tahu juga gue udah bisa
liat sendiri pake aplikasi yang sama. Tapi gue jadi berasa diperhatiin gitu sih
sama dia. Jadi kangen.”
Dengan lahapnya menyantap makan siang sederhana ini,
dia merespon. “Sepupuan kan emang harus gitu bukannya? Gue juga gitu sama
sepupu gue, namanya Cindy, yang tinggal di Malang. Di keluarga gue nggak banyak
sepupu yang deket kayak sampe Whatsappan
gitu. Kecuali si Cindy itu. Saking deketnya gue sama adik sepupu ini, gue sampe
pernah dikira pacaran sama Mba-Mba waitress
resto Jepang di Tunjungan Plaza Surabaya. Astaga. Parah banget. Tapi lucu sih.
Hahaha.”
Baru mau kutanggapi ceritanya, tidak berapa lama, video call masuk. Ya, karena keasyikan
ngobrol sama Eugene, dan lupa membalas Whatsapp
Dione, sepupu bau kencur itu jadi mem-video
call ku.
Sepanjang telepon tatap muka virtual itu, aku cerita
panjang lebar ke Dee. Sepertinya sudah lama tidak video call dengannya. Mungkin karena aku disibukkan dengan urusan
kampus, begitupun dengan dia. Dan ada hal lucu yang terjadi dalam percakapan
kami, jadi saat aku berkata kalau aku sedang bersama Eugene dan aku jelaskan
pula bahwa Mamanya Eugene orang Korea, mendadak Dee berkata “Annyeonghaseyo, Oppa”. Eugene hanya
membalas sambil tertawa. Setelah itu Dee malah tanya ke Eugene kalau dia bisa
bahasa Korea atau tidak. Eugene pun menjawab “Ya, bisa. Lumayan lah”, dan
kemudian dua manusia ini berbicara menggunakan bahasa Song Jongki itu. Memang
sejak lama, Dione dan kakaknya, Delila, suka hal-hal yang berbau Korea. Mereka
sampai rela kursus bahasa Korea demi bisa lancar berbicara bahasa Korea. Mereka
juga sedang dalam program menabung untuk liburan ke Korea tahun depan. Setelah
ngomong panjang lebar, kami akhiri video
call tersebut.
Setelah kenyang dan mengakhiri telepon virtual, tidak
lama kemudian, kami dapat taksi. Oh, jadi begitu yaa, harus kenyang dulu atau
bertegur sapa dengan sanak saudara di kampung halaman, baru dapat taksi. Lucu
sekali.
Kembali ke apartemen Kak Anna, rapat lagi, ngobrol
lagi, ketawa-ketiwi lagi, tidak lupa juga ngobrol dengan Eugene. Duh, rasanya
aku ingin memberi Kak Anna sekuntum mawar merah, karena ia yang membuat aku dan
Eugene bergabung dalam satu divisi dan mulai dari itulah kami jadi dekat. Aku
merasa bahwa lama-kelamaan, obrolanku dengan Eugene makin intensif. Aku
benar-benar belum pernah merasakan seperti ini, maksudnya ketika aku suka
dengan seseorang, belum pernah yang frekuensi mengobrolnya sebanyak dengan
Eugene begini. Sepertinya aku memang benar-benar jatuh cinta dengan Eugene.
Awalnya memang sulit untuk menerima kondisi ini, apalagi aku masih trauma
dengan kejadian Adam waktu itu. Rasanya takut kalau-kalau Eugene juga sama
seperti Adam yang hanya menganggap aku mirip dengan gebetannya atau bahkan
pacarnya. Eh tapi kan kemarin Eugene bilang kalau dia belum pernah pacaran lagi
kecuali pas SMA dulu. Berarti sekarang dia jomblo dong? Hmm, benar-benar
kesempatan yang baik.
Setelah lelah rapat, lelah bercanda, lelah makan,
lelah nyeloteh, akhirnya kami berdelapan mengakhiri pertemuan minggu ini.
Minggu yang indah memang, lebih tepatnya karena banyak hal yang aku lakukan
bersama Eugene hari ini. Seperti biasa, kami jalan kaki bersama sampai stasiun subway terdekat, dan seperti biasa pula,
Fikri, Farida, dan Eugene satu arah pulang dan seperti biasa juga keretanya
sudah datang. Curang sekali sih kenapa setiap pulang selalu mereka duluan yang
kereta datang, kenapa bukan Dhimas dan Chandra saja? Kan aku masih ingin
berlama-lama dengan Eugene. Yaa, untungnya minggu depan kami akan bertemu lagi
dalam agenda rapat yang sepertinya akan menjadi rutinitas sampingan kami dalam
beberapa waktu mendatang. Bagus lah, aku jadi bisa bertemu Eugene lebih banyak.
🙆🙆🙆
Hari berganti, kembali menjalani rutinitas menjadi
mahasiswa Tisch School of Art NYU. Cuaca juga hari ini cerah, membuatku bisa
tersenyum bahagia, bersyukur, atas menikmati hari minimal dengan tidak
mengeluh. Meskipun hari ini aku harus ke perpustakaan untuk mencari sumber data
untuk bahan tugas akhir ku. Tiga jam lebih berada di dalam perpustakaan membuatku
hampir stress, akhirnya aku putuskan untuk mendinginkan kepala dan otak dengan
mencari minuman dingin di kantin.
Di kantin yang tidak jauh dari perpustakaan, aku
memesan Caramel Chocolate Ice Blended.
Setelah pesananku siap, aku berniat duduk di sudut kantin, tapi belum aku
duduk, aku melihat pemuda berkaus putih dan celana jeans hitam duduk sambil
menatap ke layar handphone. Aku kenal
punggung itu. Ya, itu punggungnya Eugene. Aku mengenalinya aku kebiasaan kalau
ngobrol dengan orang lain pasti aku tepuk pundak atau punggungnya. Dan tahu
sendiri sejak kemarin aku sangat intensif ngobrol dengannya. Tanpa berpikir
panjang, aku hampiri dia dan berkata “Nah loh lagi ngapain di kampus orang?”
“Yah, baru mau gua WhatsApp.
Hehehe ketahuan yaa. Nggak surprise
deh”, Eugene kaget seketika melihat ku mengetahui kedatangannya.
“Nggak ada yang bisa kasih surprise buat seorang Yureka. Pasti ketahuan duluan sama orangnya hahaha.
Jadi, lagi ngapain lu disini?”, jawabku penuh percaya diri.
Sambil mempersilahkan ku duduk di sebrangnya, ia
bercerita kalau hari ini sejak selesai perkuliahan 1 jam yang lalu, tadinya ia
ingin langsung pulang, tapi katanya ia penasaran dengan kampusku tercinta, New
York University, dan memang berniat menemuiku. Tapi karena batre handphone-nya habis dan belum menemukan
colokan, akhirnya dia menepi ke kantin dan pesan ice cream. Eugene juga melanjutkan bahwa katanya ia memang sengaja
mau mengajakku makan siang di luar.
Apa? Mengajakku makan diluar? Ini seperti dejavu yaa. Jangan seperti Adam ya
Eugene, please, aku mohon!
“Belum makan kan? Yaudah yuk, cari makan di luar, pasti
bosen deh makan di kantin sini mulu”, ungkap Eugene dengan senyum khasnya itu.
“Gue jarang juga makan di kantin sini”, jelasku sambil
menyeruput Ice Blended yang bahkan
belum sempat diminum.
“Trus?”, tanyanya penasaran.
“Bawa bekel terus doong. Hemat lah hemat”, jawabku
sambil tertawa simpul penuh kebahagiaan.
Setelah Ice Blended
nikmat itu lenyap ke dalam tenggorokan sampai ke perutku, aku dan Eugene segera
meninggalkan kampus NYU menuju tempat makan siang hasil rekomendasi Eugene. Nah
harusnya dulu Adam seperti ini, kalau mengajak tidak perlu direncanakan,
langsung tancap gas. Tapi ngomong-ngomong Eugene berarti tipe orang yang tidak
suka punya janjian sama orang alias kalau punya niatan langsung ia laksanakan.
Beda denganku yang sangat terencana. Sebenarnya aku kurang tertarik dengan
ajakan yang mendadak seperti ini. Iyaa untung saja siang ini aku tidak ada
janji atau agenda lain selain ke perpustakaan, coba kalau hari ini aku ada
janji dengan dosen atau ada perkuliahan, pasti aku tolak mentah-mentah ajakan
Eugene. Kan sayang sekali kalau sampai menolak ajakan pria ganteng.
Siang ini Eugene berniat mengajakku ke restoran sushi
Jepang yang cukup terkenal dekat Central Park. Tapi sayangnya sesampainya
disana antriannya MasyaAllah panjang
sekali! Tidak heran memang sedang jam makan siang. Melihat antrean seperti itu,
Eugene langsung mengajakku mencari tempat lain. Dia bilang dia kurang suka
dengan tempat yang terlalu ramai apalagi antreannya sampai panjang sampai
memakan setengah jalan trotoar. Dia bilang kalau dia lebih suka bayar mahal
tapi tempat makannya nyaman dan sepi ketimbang harus menjadi waiting list seperti ini. Wah, berarti
meskipun dia bukan tipikal yang terencana tapi dia sangat tidak suka menunggu.
Sebaliknya denganku, jadwalku terstruktur, tapi aku masih Okay kalau makan dengan antrean yang panjang atau waiting list demi makan enak apalagi
yang murah. Hmm, sepertinya banyak perbedaan diantara kami. Tapi kan katanya
pasangan itu cocok karena banyak perbedaan yang saling melengkapi. Duh, apalagi
nih ini Yureka? Mulai lagi kan!
Setelah gagal makan sushi di Blue Ribbon, akhirnya
kami beralih ke restoran bernama Blossom Du Jour Express. Restoran itu
menyediakan makanan-makanan vegan yang tentunya aman bagi kami berdua yang
tidak makan daging babi. Ya, agak susah memang cari makanan halal di New York.
Ada sih, tapi kalau dicari di peta virtual, tempatnya saling berjauhan, jauh
pula dari tempat kami berada saat ini, jadi boleh lah kalau kali ini makan
makanan vegetarian. Di restoran vegan ini, aku pesan Smoky Avocado Wrap, sedangkan Eugene pesan Spicy Green Bowl. Smoky
Avocado Wrap itu semacam kebab, isiannya pun ada tempe asap, selada, tomat,
kacang hitam, dan tentunya ada alpukatnya. Kalau pesanan Eugene ada sayur kale,
kol, kacang hitam, jagung, dan juga nasi kuning dan disajikan dengan saus
pedas.
Setelah makan, rupanya Eugene belum selesai mengajakku
jalan. Kemudian, ia mengajakku makan es krim. Namanya Emack & Bolio’s.
Memang agak jauh sih dari tempat kami makan sebelumnya tapi karena ia yang
mengajakku jadi aku ikut saja. Ia bilang kenapa ia mau ke tempat itu karena disana
tersedia berbagai macam rasa ice cream
yang bisa jadi pilihan, dan salah satunya mereka punya rasa favorit Eugene,
yaitu Apple Cinnamon. Seleranya
jarang kudengar. Aku tidak pernah menemukan laki-laki doyan kayu manis. Dan
ngomong-ngomong soal kayu manis, aku cukup tidak tertarik dengan rempah-rempah
satu itu. Baunya itu menyengat sekali, membuatku mual. Untung di toko es krim
itu punya rasa coklat, jadi aku aman. Memang toko es krim mana yang tega tidak
menyediakan rasa coklat yang nikmatnya bukan main itu? Kalau tidak, aku akan
mengumpulkan massa dan melakukan demonstrasi.
“Jadi lu suka rasa kayu manis yaa?”, tanyaku pada
Eugene sambil mengernyitkan dahi.
“Yap. Suka banget! Wanginya tuh… hmmm nenangin banget.
Emang lu nggak suka kayu manis?”, jawabnya penuh gairah.
“Nggak. Gue nggak terlalu suka sama rempah-rempah
gitu. Aneh aja di lidah”. Aku berhasil jujur, karena kalau dari awal berbohong,
akan runyam kedepannya.
“Yah, sayang banget. Padahal enak banget loh. Emang lu
sukanya rasa apa?”, tanyanya sambil mengambilkan selembar tisu untukku yang
tetesan es krimnya mulai jatuh ke jari-jemariku.
“Rasa ingin memiliki… hahaha. Bercanda. Gue suka rasa
coklat, nih makanya kenapa tadi gue langsung ambil ini karena ini tuh
menggiurkan banget. Tuh kan bisa diliat, ini menggoda banget”, jawabku juga
penuh gairah.
“Oh pantesan, Jamie Jamie tetangga lu itu sering
ngasih lu coklat karena dia tahu lu suka coklat?”, Eugene baru tersadar akan
sesuatu.
“Lah emang bukannya gue bilang begitu kemaren?”,
tanyaku memastikan bahwa ia sudah paham mengapa Jamie suka sekali membuatkan ku
seloyang pie coklat.
“Hmm iya yaa? Ah lupa. Tapi by the way, gue nggak suka coklat tuh.”, akunya sedikit malu-malu.
“Ih kenapa? Enak tahu. Everybody’s love chocolate”, tanyaku padanya sambil mengunyah ice cream cone ini.
“Hmm nggak tahu dari kecil gue benci banget sama
coklat. Gue mau muntah gitu loh kalo nyium baunya”, jawabnya yang sepertinya
kami berdua sama-sama kecewa karena selera kami berbeda.
“Ih padahal coklat itu… just like paradise”, responku sambil membuat gerakan mendanga ke
arah angkasa.
“Ya, selera orang emang beda-beda sih yaa”, tambah Eugene.
“Iyaa bener banget. Meskipun lu suka banget kayu manis
dan gue benci banget, sementara sebaliknya gue suka banget coklat dan elu
nggak, semoga nggak bikin kita berantem ya kayak Kak Anna sama Dhimas kemaren”.
Pernyataanku seketika membuat kami berdua tertawa. Kami benar-benar menikmati
siang ini dengan penuh canda tawa. Apalagi aku yang terlewat bahagia, pertama
dihampiri oleh pujaan hati tanpa disangka-sangka, pula diajak makan siang
meskipun bayar bill masing-masing,
makan es krim bersama, hingga tertawa bersama. Benar-benar hari Senin yang luar
biasa.
Tidak sampai disitu, karena momen yang sedang
dilakukan adalah makan, maka topik pembicaraan kami selanjutnya adalah seputar
makanan. Yap, menceritakan makanan kesukaan masing-masing. Eugene bilang kalau
sebenarnya ia tipe pemakan segalanya, ia suka semua jenis makanan. Tapi yang
menurutnya terbaik sampai saat ini adalah ketoprak. Ya, tapi sayangnya hanya
bisa ditemukan versi orisinilnya di Indonesia. Kalau makanan non-Indonesia, ia sangat suka tuna sandwich, pasta fusilli, dimsum,
dan bakpao. Dari kecil ia juga sangat suka buah-buahan yang berawalan huruf ‘P’
seperti pisang, pepaya, peach, plum, prune, ya terkecuali melon yang kemudian menjadi outsider di antara daftar buah-buahan
favoritnya tersebut. Tapi bukan kebetulan kan karena nama depannya berinisial
‘P’? Ya, katanya memang agak aneh tapi begitulah yang terjadi.
Selain buah, ia juga sangat suka makan-makanan yang
manis, seperti aneka kue, roti isian, aneka macam permen, dan tidak lupa es
krim. Ia menambahkan kalau ia dan es krim sudah menjadi sahabat setia sejak ia
kecil. Tapi beruntungnya, meskipun ia makan makanan yang manis, giginya
terlihat rapih, sehat, dan terawat. Bagus sekali, sampai kalau senyum atau
tertawa yang memperlihatkan giginya, membuat hatiku berdecak kagum.
“Ya, jadi waktu bokap sakit stroke dulu, kata dokter
salah satu penyebabnya karena junk food.
Dan bokap sebelum itu katanya emang suka banget junk food atau makanan asin, berminyak, dan bersantan. Yaudah,
jadinya kolesterolnya tinggi sampe akhirnya stroke deh. Nah dari situ, gue jadi
il-fil sama junk food atau
makan-makanan yang gurih”, ungkapnya soal masa lalu Papanya itu.
“Iyaa sih, lu nggak suka makan junk food yang artinya lu bisa terhindar dari kolesterol. Tapi yaa
sama aja dong kalo lu suka makan yang manis-manis which is lu bakal kena diabetes kalo nggak dijaga”, balasku
terdengar sangat perhatian.
“Uhhh, perhatian banget sih kalo gue kena diabet. Hmm,
tapi lu bener juga sih. Gue udah sadar akan hal itu sebenernya. Tapi, gimana
dong, gue udah jatuh hati banget sama es krim dan kawan-kawan dessert-nya”, respon yang
awal membuat hatiku menang, dan respon keduanya terdengar membutuhkan
nasehatku.
“Gampang. Selama lu masih mau makanan sehat, makan
sayur, buah, olahraga, tidur cukup, minum air putih yang banyak, InsyaAllah sehat walafiat”, nada suara
dari nasehat yang kubuat itu terdengar halus dan lembut. Yureka tidak seperti
itu biasanya.
“Good point.
Thanks yaa. Eh gantian dong, sekarang
lu yang cerita makanan favorit lu apa aja? Ya, sapa tahu ada favorite dish yang sama dan kapan-kapan
kita cari restorannya bareng. Kan asik tuh”, balas Eugene kemudian menyenggol
lenganku sambil mengangkat alisnya. Astaga, pemuda ini benar-benar membuatku
mati gaya.
Sambil tertawa kecil dan senyum sumringah aku menjawab
kalau makanan kesukaanku sebenarnya beragam. Itu semua karena terkadang aku
latah ketika orang lain makan apa, aku jadi suka makanan itu, dan lain
sebagainya. Tapi top list makanan
favoritku adalah makanan laut terutama cumi-cumi, kwetiau goreng seafood,
scrambled eggs, sushi, aneka pasta, acar ketimun, semangka, durian, dan tentu
saja cokelat nikmatnya tak terkalahkan rasanya oleh apapun. Dan setelah
dilihat-lihat, rupanya kami sama-sama suka pasta yang kemudian membuat kami
menyusun rencana ketika acara Batik Day sudah selesai, kami berdua akan makan
pasta dan hunting restoran Italia
yang paling terkenal di kota New York.
Hmm, jadi tidak sabar jalan berdua lagi dengannya.
Setelah cerita banyak, tidak lengkap rasanya kalau
tidak foto berdua. Mumpung es krimnya belum habis, akhirnya kami berdua foto
selfie yang kemudian mengunggahnya ke Instagram
Story dan juga WhatsApp Story
masing-masing. Aku membuat kutipan “Orang tuh jalan-jalan hari Sabtu-Minggu,
ini kenapa hari Senin coba? Hahahaha”, sedangkan Eugene mengutip “Chocolate vs Cinnamon” dengan
menambahkan emoji tertawa. Benar-benar dua manusia yang aneh. Sudah jalan-jalan
tanpa rencana, makan siang ala vegan, beli es krim dengan pilihan rasa
masing-masing. Tapi apapun itu, aku benar-benar bersyukur kalau semua itu
setidaknya bukan hanya sekadar imajinasi atau mimpi belaka. Semoga ini semua juga bukan sekadar sesaat saja, atau kami berdua bukan hanya sekadar teman makan
siang saja. Semoga saja bisa lebih dari itu.
Dalam lamunanku akan rasa syukurku, aku merasakan
getaran. Bukan getaran dalam dada, tapi getaran pertanda pesan masuk. Ya, handphone ku selalu dalam mode getar,
tidak pernah ada bunyi-bunyian kece seperti orang-orang di luar sana. Ah,
rupanya ada WhatsApp.
Pesan itu ternyata dari Ibuku, yang berbunyi: “Itu
lagi sama siapa, Kia?”
Dalam hati aku hanya bergurau: “Alamak! Kenapa juga
aku unggah di WhatsApp? Kan Nyokap
gue jadi tahu. Duh tahu gitu nggak gue upload,
upload di Instagram atau Path doang
lebih aman. Pasti abis ini Nyokap tanya macem-macem deh”
Belum sempat ku ketik untuk membalas, Ibuku menulis
lagi dan berkata: “Itu temannya ya, dek? Siapa namanya? Orang Amerika atau
mana? Mahasiswa asal China bukan?”
Nah kan benar Ibu mulai tanya-tanya.
((BERSAMBUNG))
Yureka. Agustus-Oktober 2018. New York. Masa Depan.
Tidak terasa, proses acara Batik Day 2018 sudah
setengah jalan. Sudah satu bulan lebih kami disibukkan dengan rapat, rapat, dan
rapat. Kami juga fokus pada divisi masing-masing, atau bahkan membantu divisi
lain seperti mengurusi perizinan dan promosi.
Semakin lama, hubungan pertemanan kami berdelapan pun
semakin dekat. Aku merasa pertemanan kami satu level lebih tinggi, yakni menjadi
persahabatan. Lebih-lebih kami sudah seperti keluarga sendiri. Kami jadi makin
tahu kesukaan dan ketidaksukaan masing-masing. Seperti Farida yang ternyata
tidak bisa lepas dari slime berwarna
kuning kesukaannya yang sejak setahun ini ia simpan sebagai hadiah dari
pacarnya. Memberi hadiah kok slime?
Pacarnya aneh sekali.
Atau Kak Anna yang bercerita panjang lebar mengapa ia
tidak percaya pernikahan. Agak aneh sih orang Indonesia bisa punya pemikiran
seperti orang Amerika yang tidak mau menikah. Alasannya sih karena hidup
sendiri itu sangat nikmat, tidak ada yang perlu diributkan apabila ia membuat
kesalahan. Kemudian, yang membuatnya tidak ingin menikah bahkan tidak percaya
pernikahan adalah karena orang tuanya sering bertengkar dan kemudian terpaksa
berpisah saat ia duduk di kelas 3 SMP. Tapi katanya ia juga agak trauma dengan
laki-laki. Dulunya Kak Anna ini tergolong anak salah gaul. Sejak SMA ia memang
sudah merokok tapi jauh sebelum sekarang ia benar-benar perokok berat. Ia juga
pernah kecanduan alkohol waktu kuliah S1 dulu. Lebih parah lagi, ia pernah
melakukan hubungan seks bebas dengan pacarnya saat itu yang bernama Leo. Pria
yang sudah menjadi mantannya itupun juga sering ketahuan selingkuh dengan
banyak teman perempuannya.
Tapi setelah tiga tahun seperti itu, Kak Anna
memutuskan untuk kembali ke jalan Tuhan dan benar-benar bertaubat. Ia dulu
tidak pernah sama sekali pergi ke gereja, tapi salah satu sahabatnya yang
sempat lost contact dengannya karena
kuliah di Selandia Baru, mengajaknya untuk bertaubat. Lambat laun Kak Anna
mulai ikut kebaktian, jadi rajin ke gereja, bahkan sering mengunjungi para
biarawati dan banyak belajar dari mereka. Nah, dari situ, ia merasa ia menjadi
pribadi yang lebih baik. Ia pun memberikan pernyataan “Itu mending yee gue
nggak sampe hamil dan aborsi. Jadi gue bersyukur banget sama Tuhan karena
sebelum masalah makin rumit, gue dibangunin dari situasi itu dan bener-bener
ditunjukkin jalan taubat lewat sahabat gue itu. Dan dari situ gue jadi nggak
pengen nikah dan pengen ngabdi aja hidup gue buat Tuhan”.
Bahkan cerita Gilang yang sedikit menyayat hati ketika
ia bercerita soal bagaimana ia bisa terbang ke New York. Ia berasal dari
keluarga yang kurang mampu. Waktu kuliah S1 dia anak Bidikmisi, itu loh
beasiswa dari pemerintah buat yang berprestasi tapi kurang mampu. Kemudian
dalam waktu tepat 4 tahun ia berhasil mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan
Bahasa Inggris dari Universitas Negeri Yogyakarta. Kemudian karena
kegigihannya, ia juga berhasil jadi salah satu penerima beasiswa kece sekelas
LPDP dan akhirnya sekarang ia disini, jadi mahasiswa S2 TESOL di kampus yang
sama kayak gue.
Bagaimana dengan Eugene?
Ah, tidak ada habisnya membicarakan laki-laki
ganteng itu. Aku sampai lupa apa saja yang kami bahas selama ini. Intinya
semakin banyak informasi yang kudapat soal Eugene, seperti hobinya yang suka
main game online, atau gambar sketsa rumah dan gedung. Ah, asyik sekali yaa
punya gebetan anak Urban Planning.
Eugene, Eugene, kamu benar-benar bisa kolaborasi dengan Ayahku kalau sudah
lulus nanti. Sekalian memperkenalkan diri sebagai calon menantu juga boleh.
Hmmm, Yureka hayoo jangan mulai.
Ya, kami makin dekat. Sesekali atau dua kali Eugene
mampir ke apartemen untuk sekadar main dan ngobrol. Meskipun sering sekali Salima
berdeham kalau Eugene kelamaan mampir.
Ngomong-ngomong soal Eugene nih, aku jadi teringat
obrolan WhatsApp dengan Ibuku kala
beliau menanggapi foto yang kuunggah ke Whatsapp
Story beberapa waktu lalu. Ya, harusnya aku tidak perlu mengunggahnya
karena Ibuku pakai WhatsApp juga, dan
hampir tiap aku posting, beliau
memberikan komentar. Ya, tidak salah sih namanya juga orang tua mau tahu
kesibukan anaknya bagaimana. Tapi tidak dengan yang satu ini karena pasti akan
ditanya macam-macam. Dan benar saja, kala itu Ibuku bertanya “Itu temannya ya,
dek? Siapa namanya? Orang Amerika atau mana? Mahasiswa asal China bukan?”
Aku masih ingat bagaimana reaksiku menanggapi WA Ibu itu. Agak berkeringat sih, tapi semoga kala itu Eugene tidak ngeh dengan hal
itu. Kemudian ku balas lah dengan kalimat: “Nggak kok Bu, itu temen panitia
acara buatnya KJRI yang kemarin Kia kasih tahu itu. Bukan orang China bu, orang
Indonesia juga kok, cuma keturunan Chinese sih. Namanya Eugene, dibacanya
Yujin, namanya kayak bule yaa? Hehehe”.
Begitulah balasan WhatsApp
ku ke Ibuku. Kemudian kutanyakan mengapa ia mengirim WhatsApp jam segini. Karena perbedaan waktu Jakarta-New York adalah
13 jam, jadi kalau di New York jam 2 siang, kira-kira di Jakarta jam 1 pagi.
Beliau bilang baru mau tidur karena semalaman ada tamu datang. Tamunya hanya
dari keluarga sendiri, yaitu Ayah dan Ibunya Dione dan Delila alias Om dan
Tanteku. Mereka sudah terbiasa main ke rumah, karena selain rumah mereka dekat,
tidak salah dong kalau sering mampir, namanya juga sanak saudara.
Tapi kupikir awalnya Ibuku hanya sekadar komentar,
ternyata ia memberikan pernyataan yang membuatku mendadak bimbang. Beliau
berkata “Oh yaa. Hati-hati yaa. Semoga sukses acaranya. Hati-hati juga
pilih-pilih teman”.
Nah aku tahu nih kalau Ibuku sudah bilang “Pilih-pilih
teman”, itu berarti “Pilih-pilih pacar” secara tersirat. Ya, aku tahu beliau
pasti khawatir, tapi kenapa Ibu jadi begitu yaa? Memangnya aku tidak boleh
dekat dengan Eugene? Haduh, jangan-jangan, ibuku tidak suka dengan Eugene? Yah,
bagaimana mau dijadikan kekasih kalau orang tua saja dari awal begitu sudah
tidak nyaman. Entah lah, lihat saja nanti.
Jujur aku sempat tidak bersemangat dan konsentrasiku
pun tidak melulu penuh. Aku sering melamun hanya karena memikirkan kata-kata Ibuku
tadi. Aku jadi punya feeling kalau
Ibuku tidak suka dengan Eugene. Hmm, bukan tidak suka secara dalamnya, ya
karena kan Ibuku belum tahu kepribadiannya Eugene bagaimana, baru tahu dari
luarnya saja. Karena yang aku tahu, Ibuku memang sangat selektif apabila
anaknya punya teman dekat. Mungkin karena dulu aku pernah dekat dengan
laki-laki yang tidak percaya agama, atau bisa dibilang Agnostic, jadi Ibuku agak-agak trauma apabila aku dekat dengan
laki-laki yang dilihat dari luarnya bukan seiman dengan keluarga kami. Ah, ya,
Ibuku kan belum tahu kalau Eugene itu Muslim. Ya, aku paham sekarang mengapa
beliau berkata demikian, karena pasti yang ada di benaknya pria Tiong Hoa itu
pasti penganut Kristen, Katolik, bahkan Buddha dan lain sebagainya. Duh, Ibuku tidak
pernah membaca sejarah Islam di Xinjiang China sih, jadi beliau tidak tahu
pasti kalau di daratan China pun ada banyak penduduk Muslim disana. Ya, entah
lah. Kapan-kapan saja aku beri tahu Ibuku soal yang satu itu. Intinya, meskipun
aku terkena sindrom galau akut karena pengaruh kata-kata ibuku, aku harus tetap
konsentrasi menghadapi Batik Day yang tinggal beberapa minggu lagi.
🎉🎉🎉
Bulan sudah masuk September, itu artinya acara Batik
Day makin dekat sekitar 3 minggu lagi. Kami menjadwalkan acara ini selama satu
pekan, yakni dari tanggal 1-7 Oktober 2018. Dua hari pertama kami jadwalkan
untuk workshop dan seminar tertutup khusus untuk mahasiswa atau orang-orang
yang berlatar belakang bidang desain. Hari ketiga untuk diskusi tertutup untuk
diaspora Indonesia. Hari keempat forum diskusi umum tentang keberagaman batik
yang didukung oleh Kementerian Pariwisata. Sedangkan tiga hari sisanya pameran batik
dan peragaan busana.
Makin hari, makin melelahkan. Makin hari pula makin
membuat emosi kami kurang terkontrol. Mungkin pengaruh kelelahan itu sendiri.
Kami jadi sering tersulut amarah, contohnya ketika Dhimas dan Chandra
bertengkar karena saling menyalahkan akan hilangnya salah satu alat pinjaman
pertukangan milik tetangga Kak Anna yang mana mau tidak mau akan kami ganti
nantinya. Ya, tahu sih hanya sekadar meteran dan bor atau apalah itu namanya.
Secara uang sih memang mahal, tapi tanggungjawab lah yang lebih mahal. Kita
bisa kehilangan uang, tapi kalau kehilangan kepercayaan dari orang lain itu
jauh lebih sulit. Ibaratnya “Sudah pinjam, dihilangkan, trus nggak diganti
gitu?”. Pasti orang yang meminjamkan akan malas meminjamkannya lagi.
Selain kejadian hilangnya alat-alat yang kusebutkan
tadi, ada masalah lain. Memang emosiku pun makin ikut tidak terkontrol, dan
yang kemudian memunculkan masalah adalah rasa kecemburuan yang mulai muncul
dalam diriku kepada Farida. Jadi begini, rapat minggu lalu, seperti biasa kami
rapat di apartemen Kak Anna. Saat itu Farida tidak berniat menginap karena
keesokan paginya ia sudah ada janji dengan temannya untuk pergi ke New Jersey.
Karena malam sudah larut, yakni sekitar pukul 11 malam dan kami semua khawatir
kalau ia pulang naik subway, akhirnya
Eugene yang berinisiatif mencarikan taksi untuk Farida. Aku pun heran mengapa
harus Eugene yang antar? Dia sengaja kah membuatku cemburu? Ya, memang waktu
itu sepupunya yang satu tim dengannya, si Fikri, sedang tidak datang. Dhimas
dan Gilang sedang rapat internal penting dengan Kak Anna. Jadi dengan segala
hormat mereka tidak bisa diganggu. Kalau Chandra kakinya belum lama itu
terkilir dan agak susah berjalan. Aku? Yah mana mungkin, aku juga kan
perempuan, pasti riskan kalau mencarikan taksi untuk Farida. Akhirnya mau tidak
mau Eugene lah yang menemaninya.
Selama Eugene mengantarkan Farida mencari taksi, aku
ingat betul rasanya lama sekali mereka mendapat taksinya. Saking keponya, aku
mengecek jam. Aku menghitung durasi waktu berapa menit atau jam mereka mencari
taksi. Mereka mulai keluar apartemen sekitar pukul 23.12, kemudian Eugene baru
balik ke apartemen pukul 23.40. Ya, seperti biasa memang lama mencari taksi di
New York, tapi kira-kira apa yaa yang mereka perbincangkan selama kira-kira 30
menit itu?
Kekhawatiranku terjadi ketika satu minggu kemudian,
kami berempat, aku, Eugene, Fikri, dan Farida sama-sama ke KJRI untuk menemui
wakil divisi kebudayaan, yang juga sebagai penanggungjawab acara Batik Day ini.
Selama perjalanan menuju KJRI, entah mengapa Eugene dekat sekali dengan Farida.
Mereka bicara banyak, tapi apa sih yang mereka sebenarnya perbincangkan? Pada
akhirnya aku hanya ngobrol dengan Fikri. Tapi selama bicara dengan Fikri aku
sering tidak konsen, karena terganggu dengan pertunjukkan Eugene dan Farida
bicara berdua seperti itu.
Lain halnya dengan Farida yang entah mengapa jadi
dekat dengan Eugene. Sama halnya denganku yang agak aneh juga karena beberapa minggu
terakhir Chandra jadi modus denganku. Dia jadi sering memberikanku coklat dan hal-hal lainnya. Jadi
Chandra berubah menjadi Jamie begitu?
Jadi satu minggu setelah kejadian kecemburuan itu
menimpaku, tiada hujan tiada angin, Chandra memberiku coklat. Bukan, hari itu
bukan hari ulang tahunku, ulang tahunku sudah lewat awal Juli kemarin. Itu juga
bukan hari ulang tahunnya yang dirayakan tiap bulan Februari. Jadi, katanya
waktu itu restoran tempat ia praktik, memiliki banyak pasokan coklat susu, dan
pemasoknya sengaja memberikan 2 kotak tambahan sebagai bonus. Hmm, baik sekali
yaa. Akhirnya kami berdelapan masing-masing dapat 1 coklat. Tapi yang aneh
adalah, entah mengapa, semoga ini hanya perasaanku saja, Chandra memberikan ku
coklat dengan ukuran paling besar diantara yang lain. Diberi pita pula! What? Apa-apaan ini? Dan ada tulisan:
“Terima kasih Yureka krim anti terkilir dan pijat gratisnya waktu itu”. Ah ya
aku baru ingat waktu kakinya terkilir, aku yang bantu pijat kaki kirinya yang
terkilir karena habis main bola kala itu. Aku memang tidak tahu banyak tentang
bidang perpijatan, tapi aku tahu sedikit teknik yang diajarkan Ayahnya Dione
yang bekas pelatih sepak takraw itu. Jadi, aku juga jadi tahu kalau kaki
keseleo atau pegal-pegal itu harus dipijat bagian mana.
Tapi, kan bukan itu juga seharusnya yang menjadi
alasan utama mengapa aku diberi coklat dengan ukuran besar, ya kan?
Tidak hanya coklat, aku pun baru menyadari, kalau
selama rapat ini berlangsung, tiap kali Chandra yang beli makan, orang pertama
yang ia hidangkan makanan tersebut adalah aku. Juga, waktu kami bosan beli
makan diluar dan masak makanan sendiri, Chandra yang memaksaku untuk ikut
membantunya memasak. Ya, memang sih aku bisa masak, cukup jago lah boleh
dibilang, begitupun Kak Anna. Meskipun Farida katanya tidak bisa memasak, tapi
masa harus aku yang jadi sasaran Chandra untuk menemaninya di dapur?
Duh, makin lama makin tidak nyaman. Belum lagi urusan
dengan Jamie. Ah dia lagi. Dia sudah jarang sih membuatkanku pie coklat,
katanya sibuk di tempat kerjanya dan pulang malam terus. Tapi tidak dengan
tawarannya mengajakku jalan. Dia benar-benar tidak bosan mengajakku keluar
meskipun hanya sekadar makan kacang rebus pinggir jalan. Aku benar-benar tidak
tahu harus berbuat apa. Aku sebenarnya ingin sekali menerima ajakannya, tapi
hati ini sekali bilang tidak yaa tetap tidak. Aku pun tidak bisa membohongi
diriku sendiri. Pokoknya kalau hatiku bilang tidak yaa tetap tidak. Titik.
🎊🎊🎊
Satu minggu sebelum hari H, badan makin lelah, emosi
makin tidak stabil, semuanya dibuat pusing. Seharusnya sih tidak. Kami berusaha
sebisa mungkin tidak saling menyalahkan kala kami menemukan ketidaksempurnaan
pada persiapan acara kami yang akan dilaksanakan satu pekan mendatang. Aku tahu,
kami semua harus bekerja dan menghasilkan karya dan perfoma yang semaksimal dan
sesempurna mungkin, tapi kan namanya juga manusia, tidak ada yang namanya
sempurna. Tapi hal kesempurnaan dan ketidaksempurnaan menjadi momok bagi Kak
Anna. Dia memang koordinator kami, ia punya tanggungjawab yang besar kepada
KJRI untuk menyelesaikan semua ini dengan sebaik mungkin. Disamping itu memang
Kak Anna tipikal orang yang perfectionist,
jadi apa-apa harus teliti, tidak sembarangan ini dan itunya. Dari situlah aku baru
tersadar mengapa beberapa kali ia bersilat lidah dengan Dhimas, seperti yang
waktu itu, karena pada dasarnya Dhimas orangnya easy going, dan ia paling malas dengan orang yang menuntut ini dan
itu. Sedangkan Kak Anna apapun harus dibuat sebagus dan sesempurna mungkin.
Tapi bagaimanapun, persiapan kami sejauh ini lumayan
baik, sudah 90% matang. Agenda acara yang kami jadwalkan sudah pasti dan siap
dilaksanakan. Yang belum hanya proses dekorasi. Ya, itu bagianku dan Eugene.
Kami sempat kewalahan dengan realisasi dari desain panggung yang pernah Eugene
buat. Aku agak kesal sih dengannya karena dekorasinya terlalu sederhana,
sedangkan ia bilang itu sudah cukup baik. Setelah kutanyakan pada Kak Anna
memang ada yang kurang. Kami pun sempat adu mulut soal itu. Ternyata aku ini
seperti Kak Anna yaa yang perfectionist,
tapi tidak seekstrem Kak Anna sih, aku masih bisa mewajarkan segala sesuatunya
kok.
Aku juga sempat marah ke Eugene karena ternyata desain
terakhir yang ia buat sesaat sebelum eksekusi itu berbeda dengan yang kami buat
di awal-awal kami rapat. Yang membuat aku jadi naik pitam adalah karena ia
tidak bilang padaku terlebih dahulu. Ia hanya berkata “Gue kan udah bilang Kak
Anna, bukannya lu udah tahu?”. Yah, intinya seperti itulah. Kami bertengkar sesaat, tidak saling tegur sapa dalam beberapa hari. Aku masih kesal, dia pun
sepertinya tidak tahu harus berbuat apa meskipun sudah minta maaf padaku.
Agak rugi sih diam-diaman dengan gebetan sendiri.
Jujur, saat kami bertengkar, aku khawatir, khawatir karena takut itu semua
merusak kesan-kesan Eugene terhadapku. Duh, memang kebiasaan sekali aku dari
dulu selalu mementingkan outside
dibandingkan inside impression kepada
gebetanku. Agak berlebihan sih, tapi yang kulakukan memang semata-mata karena
aku tidak mau hubunganku dengan orang yang kusukai jadi aneh dan kaku seperti
pertama kali bertemu. Jadi, sebisa mungkin aku membuat kesan yang baik didepan
Eugene.
⚡⚡⚡
Tiga hari menjelang hari yang dinanti. Bukan, bukan
hari pernikahan ku dengan Eugene, jadian saja belum sudah melangkah pesat ke
jenjang pernikahan. Astaga imajinasiku terlewat berlebihan. Bagaimanapun, aku
sudah baikan dengan Eugene. Itu semua karena Kak Anna yang melerai kami berdua.
Ia bilang “Udah dong kalian jangan diem-dieman, nggak enak nih udah mau Hari H,
harus profesional dong kalian. Kalau masih marahan, nggak usah ikutan Batik Day
deh”.
Ya, setengah dilerai, setengah diancam. Baiklah,
akhirnya kami berdua memutuskan untuk berbaikan. Lagi-lagi aku yang mulai
duluan dengan mengatakan “Yaudah lu gue maafin. Tapi pokoknya lain kali kalo
ada apa-apa bilang dulu yaa, biar sama-sama enak” pada Eugene. Ia pun dengan
ekspresi bersalahnya, merespon “Ya, sekali lagi maaf ya. Gue traktir es krim
mau ya?”. Nah, jujur kalau yang itu aku jadi tidak bisa menahan tawaku.
Langsung tersenyum lebar aku dibuatnya. Eh tapi boleh juga tawarannya, asal
jangan ditraktir rasa kayu manis saja seperti rasa kesukaannya.
🎉🎉🎉
Akhirnya “Batik Day 2018” dilaksanakan. Semua sudah
siap. Panggung, ruangan seminar, semua sudah siap 100%. Sesama panitia pun
sudah tidak ada yang marah-marahan lagi. Selama acara berlangsung, kami semua
kompak. Selama tujuh hari berturut-turut, kami bekerja sama, saling membantu,
saling terbuka, saling berkata “maaf, tolong, dan terima kasih” kepada masing-masing
panitia termasuk kepada panitia dari pihak KJRI.
Tapi selama acara berlangsung, Eugene jadi agak
berbeda denganku. Dia jadi agak cuek denganku. Loh, kan aku sudah memaafkannya
tiga hari yang lalu? Kenapa jadi acuh begitu kepadaku?
Aku pikir-pikir sejena dan meresapi apa yang
terjadi. Pesan WhatsApp-nya tadi
malam juga hanya di read. Ya, memang
hanya kata-kata penyemangat “May the
force be with you…” yang kuambil dari salah satu kutipan film Star Wars.
Ditambah dengan “Jangan lemes sampe seminggu kedepan ya! Semangat Yujin!!!”.
Biasanya Eugene membalas, seperti waktu itu aku kirim
kutipan-kutipan film Forrest Gump: “My
Mama always said life is like a box of chocolates, you’ll never know what
you’re gonna get”. Yah, meskipun waktu itu dia hanya membalas “Quotes dari mana tuh? Bahasnya coklat
mulu ah si Yureka nih, yang lain dong”, tapi kan intinya dia masih membalas.
Membahas soal kutipan film tersebut, sebenarnya agak heran dengannya karena
ketika kusebutkan bahwa itu salah satu kutipan terkenal dari film yang
dibintangi Tom Hanks itu, Eugene tidak tahu sama sekali. Dia bilang “Siapa tuh
Tom Hanks?”. Astaga, masa aktor kelas internasional macam Tom Hanks saja ia
tidak tahu? Tidak heran memang setelah ku tahu ia tidak suka nonton film. Yah
sayang sekali padahal kalau ia juga hobi nonton film, aku bisa tukar informasi
seputar film dengannya. Ternyata tidak suka ya? Ada-ada saja yaa. Pertama, ia
tidak suka coklat, kedua ia tipikal yang mendadak, dan ketiga tidak suka film.
180 derajat terbalik denganku. Kalaupun kita tetap berbeda, aku masih berharap
setidaknya kami berjodoh. Kan kami punya beberapa kesamaan.
Tunggu, tapi sepertinya sikap tidak pedulinya bukan
hanya karena itu.
Atau jangan-jangan soal Chandra? Tapi masa karena
Chandra waktu itu memberiku coklat yang ukurannya lebih besar dan ada kata
pengantarnya, Eugene jadi berubah denganku?
Atau karena job-desc
yang diberikan koordinator KJRI yang menempatkanku dan Chandra sebagai lini
keamanan? Apa iyaa itu yang membuat Eugene jadi aneh?
Ya, memang selama acara aku mendapat bagian mengawal
dan membantu mengamankan jalannya acara, khususnya di depan pintu ketika acara
workshop dan seminar berlangsung. Dan untuk tiga hari berturut-turut aku
bertugas dengan Chandra, jadi otomatis kami ngobrol disela-sela waktu.
Sedangkan Eugene saat itu hanya bagian operator saja.
Apa itu yang membuatnya jadi acuh kepadaku?
Jadi Eugene cemburu dengan Chandra?
🎊🎊🎊
Setelah tujuh hari, “Batik Day 2018” pun selesai!
Lega, puas, bahagia, tapi sedih.
Lega karena persiapan yang kita lakukan jauh-jauh hari
akhirnya selesai juga.
Puas karena hasil kerja keras kita semua membuahkan
hasil. Peserta seminar dan pengunjung peragaan busananya saja sudah melebihi
angka target. Ditambah performa para model yang kami undang langsung dari DNA
Models Management yang cukup terkenal di New York itu sangat sesuai dengan
konsep acara kami.
Bahagia juga karena kapan lagi bisa bekerjasama dengan
orang-orang penting di KJRI dan tidak lupa bahagia punya teman-teman
seperti Fikri, Farida, Gilang, Dhimas, Chandra, Eugene, dan satu-satunya “Ibu”
kami, Kak Anna. Ditambah lagi bahagia karena kapan lagi bisa satu divisi dengan
gebetan sendiri, setiap rapat bertemu, menjelang hari H apalagi. Kami bahkan
bertemu dua minggu berturut-turut menjelang Batik Day tiba.
Tapi sedih. Pasti sedih karena aku tidak tahu apakah
setelah Batik Day kami berdelapan masih bisa berkumpul intensif seperti ini
lagi atau tidak. Mengingat kebanyakan dari kami sudah menempuh tahun kedua di
universitas, jadi pasti tugas makin menumpuk, kegiatan di kampus makin
menggila. Apalagi yang sudah mau menyusun tugas akhir sepertiku ini, rasanya sulit
sekali meluangkan waktu untuk mereka kalau bukan karena demi kelulusan sekolah
masterku nanti.
Apalagi soal Eugene. Aku sempat menitikkan air mata
saat kami foto bersama. Selain karena sedih kami semua harus kembali ke
rutinitas masing-masing, aku sedih karena aku tidak tahu apakah setelah ini
hubunganku dengan Eugene tetap bisa seperti ini atau tidak. Apakah aku bisa
makan siang bareng lagi atau tidak. Ya, selama rapat acara ini, aku dan Eugene
jadi banyak mampir ke tempat-tempat makan yang murah-murah di New York, mulai
dari makan makanan Vietnam lah, makanan Thailand lah, Western Food lah, sampai Fast
Food, semua kami coba bersama.
Tentunya kami jadi makin banyak tukar informasi soal
pribadi masing-masing, salah satunya aku jadi makin tahu apa yang suka dan
tidak disukai Eugene, seperti ia sangat suka melihat gedung-gedung bertingkat,
intinya ia ini tipe yang city person.
Kalau boleh jujur, aku juga demikian. Maka dari itu ia memilih tinggal di New
York karena ia tidak akan bosan melihat New York karena banyak gedung-gedung
pencakar langit yang bisa ia pandangi setiap hari.
Kalau soal hal yang ia tidak sukai, sebenarnya bukan
tidak suka, tapi lebih ke phobia. Jadi, Eugene ganteng itu ternyata Claustrophobia alias phobia terhadap
ruangan sempit. Jadi aku mengerti saat Eugene bercerita kalau waktu ia kuliah
di Hong Kong, ia punya apartemen sendiri, seperti studio lah kira-kira, besar
dan luas. Itu semua karena yaa phobianya itu yang katanya kalau ia terlalu lama
berada di ruangan sempit, ia akan tersugesti untuk sulit bernapas bahkan
pingsan. Dan itu pula alasannya selama Batik Day berlangsung, kalau kami ada
urusan dengan KJRI atau mengunjungi institusi tertentu, Eugene lebih memilih
naik tangga ketimbang naik lift. Hmm, aneh sih tapi jadi sehat juga kalau
begitu keadaannya.
Lupakan soal phobianya, aku ingin bercerita soal
momentum menggetarkan hati yang terjadi di Chinatown persis seminggu sebelum
Batik Day. Saat itu, entah mengapa kami banyak tukar informasi soal keluarga
masing-masing. Seperti sudah sangat percaya diri kalau aku bisa jadian
dengannya dan menikahinya suatu hari nanti. Tapi lagi-lagi aku membutuhkan
tamparan yang keras untuk itu.
Tapi bukan hanya soal itu, ada lagi satu hal lain yang
benar-benar membuatku bergetar di dalam dada. Masih di Chinatown, saat itu
hari Minggu dan Chinatown di Mott Street atau lebih dikenal dengan Little
Hong Kong yang saat itu sedang ramai turis wisatawan. Secara harafiah, benar-benar
ramai! Orang bertaburan di jalan, desak-desakan. Pokoknya penuh sekali dan aku
tidak suka itu. Karena secara pribadi, aku tidak terlalu suka keramaian, lebih
tepatnya takut kalau-kalau kecopetan atau apapun. Melihatku begitu dan aku terdiam
beberapa saat, itu mungkin yang membuat Eugene menjadi bertanya “Lu kenapa,
Yur?”, dan kujawab dengan “Gue nggak suka kalau banyak orang gini. Insecure aja”. Dan mau tahu apa yang
terjadi? Eugene menggenggam tangan kananku dengan tangan kirinya waktu itu!
Tidak ada kata-kata keluar dari mulutnya, tapi aku bisa merasakan kalau dalam
hatinya berkata “Don’t worry, you won’t
be alone and lost”.
Ah, Indah sekali! Ya, itu kali pertamanya itu terjadi
dalam hidupku ada laki-laki yang mau menggenggam tanganku dengan penuh kasih
sayang. Hmmm bukan hidupku juga sih, lebih tepatnya kehidupan percintaanku.
Kalau hanya digenggam saja, Ayahku dan Kakekku juga pernah memegang tanganku
kalau mau menyebrang jalan saat masih kecil dulu. Intinya, aku bahkan tidak
bisa berkata apa-apa kala itu, bahkan sampai detik ini. Ini rasanya seperti
mimpi!
Ya, itulah sebabnya aku menitikkan air mata saat kami
berdelapan berfoto bersama. Aku tidak tahu apakah atas nama Batik Day aku bisa
seperti itu dengan Eugene atau tidak. Maksudku, bisa saja kalau bukan karena
Batik Day, aku tidak bisa kenal Eugene lebih jauh, tidak tahu persamaan dan
perbedaan yang ada pada kami berdua sampai sedekat ini. Aku terbawa emosi, aku
sedih, aku takut kalau saja setelah acara ini berakhir, hubunganku dengan
Eugene juga akan berakhir begitu saja, berakhir menjadi teman, berakhir hanya
menjadi gebetan. Seperti itu saja terus! Dari dulu tidak pernah berhasil
mencuri hati satu pria pun. Gebetan berakhir menjadi gebetan yang kemudian
menjadi mantan gebetan ketika ku menemukan gebetan baru, dan begitu terus
sampai kapan juga aku tidak tahu.
Aku mengerti, aku harus tetap sabar menanti. Tapi
kalau ku boleh meminta pada Tuhan, dalam hati yang terdalam, bahwasanya Eugene adalah
pilihan yang tepat. Ada banyak persamaan tapi ada banyak perbedaan di antara
kami dan itu yang membuatku memiliki firasat bahwa “Aku sangat merasa nyaman
seperti ini. Eugene bukan seperti teman panitia biasa, ia bisa lebih dari itu.
Kami cocok kok kalau dilihat-lihat”.
Karena tidak tahan dengan perasaanku itu dan aku
bingung harus mengekspresikannya kepada siapa, akhirnya Dione, sepupu yang gila
Korea itu, akhirnya kujadikan tempat curhat. Habisnya siapa lagi yang mau
diajak curhat soal gebetan? Keluargaku yang lain? Ah, udah nggak asik gara-gara
kejadian tidak menyenangkan saat aku semester 7 dulu. Lagipula Ibuku kan sempat
mempertanyakan soal Eugene dan pasti kalau aku mengaku kalau aku suka
dengannya, pasti Ibu angkat bicara. Atau malah bisa-bisa Ibuku rela menyusulku
ke New York demi menasehatiku secara empat mata soal bagaimana harus berteman
dan dekat dengan lelaki dan atau lain sebagainya.
Ku curahkan lah isi hatiku pada Dione dan cerita
semuanya. Bahwa betapa senang dan berbunga-bunganya aku saat ini. Terlebih soal
pegangan tangan itu. Benar-benar impian menjadi nyata. Benar-benar bahagia
meskipun hanya di respon “Lah jadi yang waktu kita video-callan itu? Itu gebetan baru lu? Yaelah ini gebetan lu yang
ke berapa sih? Udah nggak bisa keitung? Lah emang yang bule itu udah nggak
suka?” oleh Dione.
Ah sial, si Dione jadi nggak asik gini. Kalau saja dia
juga tidak curhat soal gebetannya yang ia temui saat ia pergi ke Bali beberapa
waktu lalu itu, aku tidak akan sabar menghadapi responnya yang sengit ini.
Ngomong-ngomong, Dione adalah satu-satunya orang yang
paling overreacting saat pertama aku
ke New York. Aku masih ingat betul kata-katanya sesaat sebelum aku berangkat,
yang mungkin akan dikatakan wanita-wanita Indonesia lainnya yakni “Tolong
bawakan aku satu bule untuk aku nikahi. Tinggi badan lelaki Indonesia tidak
mendukung tinggi badanku, Kak. Please”.
Tapi memang dari penyataannya dia seperti sudah desperate soal itu.
Ya, memang lucu sekali. Dione memang bekas atlet
renang waktu ia kecil, makanya efeknya tinggi badannya jadi tidak normal alias
melebihi batas normal tinggi badan perempuan Indonesia pada umumnya.
Tapi rasanya, kekhawatiran Dione jadi berkurang
setelah ia berkenalan dengan pemuda asal Denmark yang bernama lengkap Arthur
Frederik Holm. Katanya sih mereka sebaya, dan mereka bisa bertemu karena
sama-sama menghadiri workshop waktu
mereka pergi ke Bali belum lama ini. Lucunya adalah ternyata mereka sama-sama
berasal dari kampus yang sama. Yang jelas kalau Arthur ini adalah mahasiswa
asing yang kuliah di kampus Dione, dan Arthur ini adalah mahasiswa hasil
pertukaran pelajar dari Roskilde University, Denmark. Kece sekali rupanya
sepupu ini. Tidak jadi mencari Oppa-Oppa Korea saja?
🎉🎉🎉
Sesuai rencana, aku dan Eugene “merayakan”
keberhasilan tim dekorasi dengan makan pasta di Vapiano Italian Restaurant di
University Place Street 113 yang kebetulan tidak jauh dari kampusku di Jalan
Broadway.
Tidak ada lilin sih, tapi makan malam ini cukup
romantis. Kami pesan Spagetti Aglio E Olio, Fusili Scampi E Spinaci, Lasagna Al
Forno, dan Risotto Ai Funghi. Sebagai hidangan penutup, kami pesan Tiramisu dan
Panna Cotta. Ya, kami keluar uang banyak malam itu, tapi kami puas. Kami merasa
kami layak mendapatkan makanan-makanan lezat itu. Selain karena selama
persiapan Batik Day kami hampir tidak pernah keluar uang untuk beli makan yang disebabkan oleh hampir tiap rapat kami dibelikan makanan. Itupun yang menjadi salah
satu faktor uang kami bisa hemat banyak. Selain itu juga karena aku dan Eugene
sengaja menabung dan tidak jajan demi makan-makanan Italia seperti ini. Ah, rasanya
nikmat sekali.
“Nggak nyesel kan kesini?”, tanya Eugene dengan
tatapan perhatian.
“Iyaa. Hehehe. Padahal gue pengennya ke L’Artusi atau
minimal Scarpetta lah”, jawabku sambil tersipu malu dan berusaha fokus dengan
piring saji.
“Gila, itu sih makan disitu semalem doang udah hampir
mirip kayak setengah uang sewa dormitory
gue. Nggak deh makasih”, tatapan perhatian mendadak pudar setelah tahu aku
banyak maunya.
“Nggak lah becanda. Tapi kapan-kapan bisa dong dinner lagi, tapi yang fine dining gitu. hmmm ketahuan yaa
ngarep?”, sambil menjawab sambil mencuil coklat diatas Tiramisu dengan sendok
teh perak itu.
“Yaa, why not?
By the way, kamu waktu itu jadi
dateng ke birthday party nya si
Jamie? No offense, tapi aku cuma
pengen tahu aja”. Sebentar, Eugene mendadak jadi ngomong “Aku-Kamu”? Waduh.
“Yaah, Jamie lagi dibahas. Untung udah selesai makan,
kalo nggak gue muntah deh”, mendadak napsu makanku hilang.
“Yaah sorry
deh. Bete yaa? Hmm, aku cuma pengen tahu aja dan masih penasaran, kenapa sih
kamu sebegitu nggak sukanya sama dia? Dia kan cuma mau jadi temen aja. Nggak
ada salahnya kan?”, balas Eugene sambil melahap Tiramisunya.
“Duh, Eugene. Gimana yaa… Lu nggak tahu aja keadaannya
gimana”. Aku tidak berani menatap mata Eugene untuk membicarakan soal ini.
Dan percakapan pun berlanjut seperti berikut:
Eugene :
“Okay. We can talk about it later. Will
that be okay?”
Yureka :
“Yeah.”
Eugene :
“Trus, gimana birthday party-nya dia
waktu itu? Seru?”
Yureka :
“Yaa, seru. Jadi kenal temen baru. Kebanyakan sih temen-temennya dari restoran
tempat dia kerja. Apa ya nama restorannya? Giano atau apa gitu. No-no-no lah
pokoknya.”
Eugene :
“Tuh kan kamu jadi banyak kenalan baru. Siapa tahu ada yang bisa diajak diskusi
bareng, soal film misalnya.”
Yureka :
“Iyaa juga sih. Yaa liat nanti deh. Dan sebenernya waktu itu, biasa lah ada after party gitu, aku diajak juga tapi
aku nggak mau. Waktu itu bareng-bareng sih, tapi nggak ah. Lagian udah malem
waktu itu.”
Eugene :
“Trus, kamu bilang nggak kalau next time
aja kamu ikut hang out lagi? Gini
Yur, bukannya aku ngatur yaa, tapi please,
nggak ada salahnya kok mengiyakan ajakan dia. Sekali aja.”
Yureka :
“Iyaa sih sebenernya waktu itu aku udah, hmmm, yaa bisa dikatakan janji ke dia
mau ke bioksop bareng, tapi abis Batik Day. Trus dia bilang, yaa nggak apa-apa
yang penting bisa jalan bareng.”
Eugene :
“Bagus lah. Trus udah ke bioskopnya?”
Yureka :
“Belum.”
Eugene :
“Oh. Come on!”
Yureka :
“Yah, yaudah lah liat nanti aja. Males ah. Hmm, how about one more dessert?”
Eugene :
“You’re kidding me? Siapa takut!
Okay, aku yang panggil waitress-nya. Excuse me, can we have more dessert?”
Waitress :
“Yes, what else do you want to order?”
Eugene : “We would have Chocolate Mouse, 2
Chocolate Mouse. That's all. Thank you”
Yureka :
“Are you sure about that? Lu makan
coklat? Katanya nggak suka”
Eugene :
“Sekali-kali lah makan coklat, nggak ada salahnya. Tapi nggak tahu deh nanti
gue muntah atau enggak pas makan itu. Hahaha.”
Yureka :
“You must be like it. I bet it yes.”
Kami berdua tenggelam dalam tawa, tapi tidak lama
tertawa kami terhenti. Bukan, aku yang mendadak berhenti tertawa tapi aku
mendadak membeku karena tercengang melihat seseorang yang aku kenal betul siapa
dia. Ya, orang yang baru saja aku dan Eugene bicarakan. Jamie! Ya, itu Jamie!
Sedang apa dia disini?
“Yureka? Eugene? What
are you doing here?”, tanya Jamie datang dari jauh yang masih menggunakan
celemek putih dengan sablon “Vapiano” itu.
“We have dinner…
here… Anyway, what are you doing here too?”, tanyaku dengan bicara yang
putus-putus seperti telepon susah sinyal.
“I’m working.
This is my workplace. Don’t you remember? In my birthday party? I said I work
in Vapiano”, jelas Jamie panjang lebar.
“Oh, I thought
you work in Giano. Oh, men, I’m so sorry. It was misheard”, jawabku merasa
bersalah.
“Well, it
doesn’t matter. So, are you both here just two of you?”, tanyanya agak
heran.
“Yeah. We are.
Kind of special dinner, with the special person”, balas Eugene dengan cepat
dan terlihat penuh percaya diri. Ada apa sih dengan orang ini?
“What? You’re
going together now?”, tanya Jamie keheranan.
“No! Hmmm, I
mean….”, responku agak berlebihan.
“Hmmm. I have no
idea, we have no idea. What do you think, Yureka?”, Eugene tetap stay cool, ia tidak tahu apa yang
terjadi.
“Hmmm…”, hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Wow. I’m sort
of surprised. Because you said that you and Eugene don’t have any… what,
special relationship, or something. Yeah, I think people changed their mind,
right?”, ungkap Jamie.
“What does it
mean?” Eugene mulai bertanya-tanya. Nah kan, ia mulai tahu yang sebenarnya
terjadi.
“It does not
have a meaning, Eugene”, aku benar-benar kehabisan kata-kata.
“What, it does
not mean anything? Wow, this is completely complicated”, balas Eugene mulai
emosi.
“No, it’s not
complicated at all”, aku berusaha mendinginkan situasi ini. Agak heran juga
kenapa Eugene jadi marah begitu.
Kemudian Jamie menyambar sesuatu, “And hey hey, by the way, you owe me a time
to go to cinema together, right? And you said that you would go with me
tonight, but unfortunately I can’t because I work this weekend, and you said
that you have an appointment with your friends in campus. You said that, didn’t you?”
“Yeah, I did.
But…”, aku benar-benar sudah kehabisan diksi bahasa Inggris. Rasanya kalau
sudah begini ingin bertele-tele menggunakan bahasa Indonesia saja.
“And you prefer
to go with your… your somebody here. Please, Yureka. Don’t be lie to me”,
Jamie membalas sambil menggelengkan kepalanya karena tidak percaya aku sudah
membohonginya.
“Are you making
a lie, Yureka?”, tanya Eugene menyambar.
“No, I’m not! I
didn’t lie to you. Well, yeah I have an appointment with my friend, which is
Eugene, and… yeah, I’m lying that I’m not going to campus, but here…”, Aku
berusaha tenang dan menjelaskan semuanya.
Semuanya terdiam beberapa saat. Tidak ada yang
berkata. Ini canggung sekali.
Tapi untungnya tidak seperti di film-film yang kalau
ada momentum seperti ini ada gelas atau piring pecah. Tidak, tidak sama sekali.
Akhirnya aku minta maaf pada Jamie, dan berjanji dan benar-benar berjanji minggu
depan kami nonton dan makan bersama. Jamie memang marah karena kau bohong
padanya, Yureka. Siapa sih yang suka dibohongi meskipun hanya bohong “Aku ke
kampus padahal ke resto mahal sama gebetan”. Aku tahu aku mungkin itu menyakiti
Jamie seperti itu, tapi aku benar-benar tidak bermaksud demikian.
Setelah situasi canggung itu, Jamie pun memaafkanku
dan aku pun benar-benar akan mengajaknya nonton bareng sebagai pengganti
ajakannya makan malam denganku.
Jamie sudah mencair, tidak dengan Eugene. Sesaat
setelah membayar bill restoran, kami
keluar restoran. Saat itu kami akan kembali ke apartemenku sebentar karena
sebelum kami ke Vapiano, beberapa barang Eugene ditinggalkan disana karena agak
berat kalau dibawa ke restoran. Lagipula, masa mau makan malam indah bawa
barang banyak, kan tidak lucu. Eh tapi jadi tidak indah juga karena kejadian tadi.
Sepanjang perjalanan jalan kaki dari Vapiano ke
apartemen, aku dan Eugene tidak bicara banyak. Aku tahu Eugene pasti marah
denganku. Aku tahu itu.
Aku pun mencoba mengajaknya ngobrol seperti bertanya
“Lagi ada acara apa yang bagus di kampus lu?”
“Nggak tahu, nggak pernah update”. Datar sekali jawabannya.
Aku jadi khawatir kalau Eugene benar-benar marah
padaku. Habislah aku.
Aku paling benci saat aku dekat dengan laki-laki dan
karena satu hal konyol kami jadi saling diam, bahkan saling marahan. Itu
benar-benar tidak elegan.
Sepanjang perjalanan sampai ke apartemen, kami benar-benar saling diam. Aku hanya bisa menikmati lampu-lampu kota New York yang
dihasilkan dari gedung-gedung pencakar langit yang indah dan simfonis. Ah,
andai saja tidak ada kejadian tadi, pasti lebih indah lagi.
Sesampainya di apartemen, Eugene mengambil kembali
barangnya. Saat akan pulang, Eugene menatapku dengan dalam, dan hanya berkata “Have a nice night. Bye”.
Itu bukan Eugene yang ku kenal tiga bulan ini.
Aku khawatir ia akan begitu seterusnya. Jangan, ku
mohon, jangan.
((BERSAMBUNG))
Eugene.
Musim Gugur 2018. New York. Masa Depan.
Batik
Day baru aja selesai, sekitar dua minggu lalu. Akhirnya kelar juga, bener-bener
tiga bulan menyita waktu banget. Bukan gimana-gimana sih, tapi konsentrasi gue
jadi terpecah belah; harus manage
waktu buat kuliah, ketemu temen kuliah bahas tugas, ngerjain tugas individu
juga apalagi, sama yang paling penting yaa itu tadi buat Batik Day. Tapi seneng
sih ada pengalaman baru, ketemu orang baru yang mana gue kan susah banget buat
kenalan sama orang. Intinya Batik Day membuka banyak peluang buat gue untuk
dapet informasi baru, temen baru, yang nantinya mungkin akan saling bantu kalo
masing-masing dari kita ada yang butuh bantuan.
Gue
juga puas banget sama acaranya. Jujur sih nggak pernah liat acara sebegitu
gedenya. Gue pernah ke event-event
paling yaa seminar di kampus, pameran, sama festival gitu. Nah kalo Batik Day
kemaren tuh bener-bener semua konsep ada disitu. Ada workshop-nya, seminar juga ada, forum diskusi, sampe fashion show. Pokoknya lengkap. Eh tapi
ada satu sih yang rada mengecewakan, agenda kompetisi fotografi dengan tema “Me, New York, and Batik” nggak jadi
diadain. Padahal bagus banget tuh kalo ada. Gue juga kalo jadi orang umum bakalan ikutan. Tapi karena satu dan lain hal akhirnya dibatalin. Kecewa sih
tapi nggak apa-apa lah, maybe next time.
Dan
yang bikin gue bangga sama acara ini karena yang ngadain Kantor Konsulat
Jenderal Indonesia. Oh yaa, pengunjungnya juga lebih dari yang kita
targetin loh. Pas acara fashion show
plus exhibition-nya mencapai angka
300 pengunjung! Gokil banget kan? Peserta seminar aja hampir 50-70 orang, belom
lagi diaspora Indonesia yang diundang juga hampir 100 orang yang dateng waktu
itu. Pokoknya nggak nyesel jadi bagian dari Batik Day. Bener-bener pengalaman
yang nggak akan gue lupakan.
Tapi
dibalik enaknya Batik Day kemaren, ada nggak enaknya sih. Gue sebagai tim
dekorasi pas hari H-nya malah banting setir jadi operator karena sebenernya
kita kekurangan orang buat pembagian jobdesc
hari H, jadinya gue di bagian operator, Fikri jadi sesi foto-foto, Farida bagian
konsumsi, Gilang sama Dhimas bagian peralatan dan perlengkapan, Kak Anna jelas
jadi seksi acara yang bantuin Ibu Mirna, dan sisanya bagian keamanan yaitu
Yureka dan Chandra yang mana mereka jaga pintu ruangan seminar atau mobile pas sesi fashion show.
Sebenernya
rada males juga sih kenapa Yureka sama Chandra ditaro di keamanan. Yureka kan
satu divisi sama gue harusnya minimal dia ditaro di bagian dekorasi. Ya, tahu
sih pra-acara dekorasi emang diperluin banget tapi ternyata pas hari H nya
dekorasi jadi dipecah ke jobdesc yang
bener-bener dibutuhin kayak operator atau keamanan. Tapi jadi males juga liat
Chandra sebegitu deketnya sama Yureka selama acara berlangsung. Udah gitu
beberapa waktu lalu Chandra ngasih coklat ke Yureka, Yureka dikasih coklat
paling gede diantara yang lain, pake ada tulisannya pula. Nggak tahu deh
tulisannya apaan, tapi kayaknya mereka jadi deket banget.
Enggak
cuma itu, ada yang lebih ngeselin lagi yang bikin gue rada kecewa sama Yureka.
Jadi seminggu setelah acara, gue sama Yureka jalan ke resto Italia namanya
Vapiano, buat pesta makan pasta. Kita berdua sama-sama pecinta pasta jadi kita
putuskan buat ‘merayakan’ keberhasilan Batik Day sebagai sesama divisi dekorasi
buat makan pasta bareng. Kita pesen banyak banget waktu itu, mulai dari
Spagetti Aglio E Olio, Lasagna, sampe dessertnya
nambah dua kali. Tapi abis makan, ada momen kurang menyenangkan yang terjadi di
restoran. Gue sama Yureka nggak sengaja ketemu Jamie, tetangga satu gedung
apartemennya si Yureka. Katanya sih Jamie kerja di resto itu, padahal Yureka
tahunya Jamie kerjanya di Giano, bukan Vapiano. Salah denger aja bisa jadi
runyam yaa.
Jadi
begini, pas kita ketemu Jamie, saling sapa, ternyata ada yang salah disitu.
Jamie ceritanya udah ngajak Yureka jalan dari lama, dari sebelum Batik Day
malah. Tapi nggak pernah di-iya-in sama Yureka. Nggak tahu tuh kenapa. Gue udah
tanya alasannya tapi dia nggak pernah mau ngaku. Trus, pas gue bilang kalau
kita emang semacam lagi nge-date
gitu, Jamie mulai kesel sama Yureka soalnya Yureka bohong katanya kalau weekend itu dia mau nonton sama Jamie
tapi Yureka bilang nggak bisa karena dia mau ketemu temen kampusnya. Nyatanya
dia jalan sama gue. Yaa, jelas lah yaa siapa sih yang mau dibohongin begitu.
Gue tahu Yureka nggak mau diajak jalan sama Jamie, tapi harusnya dia bilang
jujur apa adanya dan nggak bikin kebohongan kayak gitu.
Untungnya
amarah Jamie cuma sebentaran aja, soalnya abis itu Yureka janji besoknya atau
minggu depan gitu gue lupa, pokoknya Yureka mau ngajak Jamie nonton ke bioskop
bareng sebagai permintaan maaf. Jamie juga keliatannya udah maafin Yureka. Yaa,
semoga pas mereka nonton bareng besok Yureka mau jujur soal kenapa selama ini
dia nggak pernah setuju soal rencana mereka nge-date bareng. Gue juga masih bener-bener penasaran soal itu.
Balik
dari Vapiano, gue ambil barang dulu ke apartemen Yureka. Tapi sepanjang
perjalanan kita diem-dieman. Gue sih yang memutuskan untuk nggak ngomong dulu
sama dia. Lagi males aja waktu itu. Tapi itu bener-bener nggak kayak biasanya.
Semenjak ngurus acara Batik Day bareng, gue banyak ngobrol sama dia termasuk
pas lagi otw dijalan. Tapi karena gue
masih kecewa sama dia, akhirnya gue cuekin dia buat sementara waktu. Gue
bener-bener nggak nyangka orang yang gue suka karena kepribadiannya yang
menyenangkan itu bisa bohong ke orang lain, udah gitu yang dibohongin orang
bule, yaa marah lah. Semua orang emang nggak mau dibohongin tapi menurut gue
orang bule lebih nggak suka lagi. Mereka bener-bener nggak respect sama orang yang tukang bohong. Ibaratnya jadi kayak nggak
punya harga diri aja. Itu sih yang gue amatin selama tinggal di US.
💘💘💘
Beberapa
hari gue agak buat jarak sama Yureka. Gue butuh ruang dan waktu lebih buat
berpikir. Bukan berpikir untuk nggak jadi suka sama Yureka, gue suka dia apa
adanya kok, tapi masih nggak nyangka aja orang unik kayak dia bisa begitu. Ya,
nggak salah juga sih soalnya dia juga manusia biasa yang bisa aja khilaf dan
buat kesalahan. Tapi beneran deh gue harus cari tahu kenapa Yureka bisa begitu.
Hari
Sabtu, 20 Oktober 2018, kita berdelapan kumpul lagi. Bukan buat rapat lagi,
tapi buat evaluasi soal acara kemaren. Tapi tempatnya bukan di apartemen Kak
Anna lagi, udah bosen banget kita rapat disana, meskipun waktu itu sempet dua
kali kita rapat di luar sambil makan. Dan sambil evaluasi sebenernya sekalian
pembubaran panitia jadinya kita putusin buat jalan-jalan dan makan-makan
di luar.
Karena
udah kehabisan ide mau makan dimana di sekitaran Manhattan atau Upper East
Side, akhirnya kita berdelapan memutuskan untuk jalan-jalan ke Brooklyn. Trus
kita makan dessert di The Chocolate
Room yang katanya cukup terkenal di Brooklyn. Tapi sebelumnya kita makan siang
dulu di Loving Hut, biasa lah vegan
restaurant itu jadi matter banget
buat kita mungkin terkecuali buat Chandra dan Kak Anna. Yaa, tahu sendiri lah
kenapa. Nah abis dari Loving Hut baru kita ke The Chocolate Room buat makan dessert dan ngadain evaluasi. Wah itu
tempatnya sih si Yureka banget, secara doi suka banget sama coklat soalnya.
Selama
evaluasi gue masih nggak bicara sama Yureka alias masih jaga jarak. Biarin aja
deh diem-dieman dulu, gue juga butuh waktu. Tapi dari diem-diemannya kita,
kayaknya Kak Anna bisa merasakan apa yang terjadi meskipun nggak kita kasih
tahu. Trus abis rapat evaluasi selesai, udah sekitar jam 5 sore lah kira-kira,
akhirnya kita putusin buat balik ke Manhattan. Sepanjang perjalanan pake metro,
Kak Anna ngajak gue ngobrol. Ngobrolnya kali ini agak serius, soal gimana gue
sama Yureka.
“Lu
kayaknya lagi diem-dieman ama Yureka. Kenapa lu pada berdua?”, tanya Kak Anna
sambil berbisik.
“Nggak
kenapa-kenapa”, jawab gue singkat.
“Nggak
usah boong. Jujur aja. Atau main Truth or
Dare lagi nih?”, Kak Anna mengancam dengan cara yang tidak asik.
“Eh
jangan! Ogah amat gue. Hmm, gimana yaa? Jadi gini kak…”
Akhirnya
gue ceritain semuanya ke Kak Anna. Kak Anna menyimak dengan serius setiap detil
yang gue ceritain ke dia yang akhirnya memunculkan sebuah ‘light bulb’ dari otaknya dan sontak merespon “Ah itu gue tahu
kayaknya alasannya dia apa?”. Gue juga sontak merespon “Hah? Apaan emang kak?
Kasih tahu dong. Please, gue pengen
tahu kenapa. Kayaknya ada yang kurang bener disitunya”.
“Harusnya
sih lu tanya sendiri langsung ke orangnya, Jin. Tapi kalau emang keadaannya
masih begini, oke deh gue cerita nih ke elu. Tapi janji yaa, abis ini lu baikan
sama dia. Dan lu harus konfirmasi ini lagi ke dia, semoga gue nggak salah
karena dia yang cerita langsung dan dia bilang gue nggak bisa cerita sama
siapapun”, jelas Kak Anna panjang lebar.
“Iyaa
yaudah buruan!”, gue bener-bener maksain Kak Anna buat cerita.
Sebelum
gue mempersilahkan Kak Anna cerita, gue liat ke arah temen-temen yang lain dan
memastikan ada jarak yang cukup buat gue sama Kak Anna mengungkap ceritanya
Yureka. Situasi dirasa aman, Yureka, si objek yang lagi mau kita bicarakan lagi
asyik cerita-cerita sama Chandra. Duh, gue sama dia lagi diem-dieman, dianya
malah memanfaatkan keadaan sama Chandra gini. Tapi itu nggak penting, yang
penting gue tahu dulu cerita di balik Yureka kenapa dia nggak mau jalan sama
Jamie.
Kak
Anna secara perlahan membeberkan. Waktu rapat minggu ke berapa gitu dia lupa,
katanya dia nggak sengaja denger percakapan Yureka sama Ibunya lewat telepon.
Katanya waktu itu lagi berantem soal orang yang lagi dideketin Yureka. Kak Anna
sempat memperagakan kalimat yang sempat ia dengar, kira-kira seperti berikut;
“Dulu Nabil udah aku jauhin, dan aku udah dengerin kata-kata Ibu kalo aku nggak
boleh pacaran sama beda agama. Udah kok, ini cuma deket aja”. Gitu intinya.
Percakapan sisanya Kak Anna nggak tahu lagi. Ah payah nih Ibu Pertiwi kalo
dengerin setengah-setengah.
Abis
itu, beberapa waktu kemudian Yureka yang curhat sendiri ke Kak Anna soal Jamie.
Tapi nggak tahu juga itu ada hubungannya dengan pembicaraan dengan Ibunya di
telepon atau bukan. Jadi begini, ternyata sebenernya Yureka punya masa lalu
yang nggak enak sama orang yang tidak percaya agama atau Tuhan dan semacamnya.
Waktu Yureka semester 7, dia deket sama satu juniornya di kampus. Mereka
katanya udah sering jalan bareng, traveling
bareng, sampe udah ngenalin ke keluarga masing-masing dan main ke rumah
masing-masing juga. Katanya sih emang mereka nggak pacaran, nggak pernah
jadian, tapi udah deket banget. Yureka bahkan nggak tahu harus menyebut
hubungan itu apa. Dibilang temen juga udah lebih dari temen, dibilang sahabat
juga bukan, dibilang pacar apalagi. Sama sekali nggak ada status yang jelas
saat itu.
“Ya,
lu tahu sendiri, Jin, cewek itu gampang baper. Diajak jalan dikit dikira
disukain. Apalagi Yureka yang notabene nggak pernah pacaran, yaa punya hubungan
kayak gitu sama mantan gebetannya, yaa tingkat kebaperannya lebih tinggi lah,
udah sampe puncak malah. Kasian sih gue sama dia, soalnya dia digituin sama tuh
cowok hampir 2 tahun! 2 tahun men, di PHP. Parah kan! Brengsek emang tuh cowoknya.
Eh mantannya. Eh mantan gebetannya maksudnya.” Jelas Kak Anna sambil emosi.
Gue
nggak respon apa-apa karena gue bener-bener speechless
dengerin penjelasan Kak Anna itu. Gue jadi merasa bersalah. Tapi salah Yureka
juga sih nggak mau ngasih tahu sendiri.
Kak
Anna kemudian melanjutkan, “Trus dia bilang dia kenapa dia nggak mau bilang
siapa-siapa soalnya dia takut kehilangan sosok teman. Tapi tahu nggak, katanya
dia juga, dia sempet suka sama Jamie. Tapi cuma beberapa saat aja sebelum
Yureka tahu kalau Jamie itu Atheis, apalagi dia bule dan Warganegara Asing. Dia bilang fix
aja dia udah nggak suka sama Jamie, karena langsung keinget si mantan
gebetannya yang bajingan itu.”
“Hmm
jadi gitu ceritanya. Tapi mantannya, eh mantan gebetannya Atheis yang bener-bener Atheis,
Kak?”, jawabku sambil mengangguk dan mengelus dagu.
“Bukan
Atheis. Ada lagi satu lagi, yang
pokoknya percaya Tuhan tapi nggak percaya agama. Apa yaa? Bentar deh gue cari
di Google dulu. Penasaran gue juga”,
ucap Kak Anna yang kemudian membuka hape-nya.
Ketika
Kak Anna mencari tahu informasi itu di internet, gue sesekali melihat ke arah
Yureka. Nggak nyangka, cewek secerewet dia, sepinter, seberbakat dia, punya
masa lalu yang nggak ngenakin gitu. Andai dia mau jujur sama gue, pasti gue
akan ngerti keadaan itu.
Sontak
Kak Anna menemukan sesuatu dan berkata, “Agnostic!
Ya, Agnostic bener. Pokoknya gitu
deh. Katanya dulu tiap Yureka ngajak atau ngingetin sholat tuh cowok nolak
mulu. Kalo bulan puasa sering sahur sama buka puasa bareng mereka, eh tapi
Yureka sering nge-gap tuh cowok nggak
puasa. Makanya kalo kata gua semenjak itu dia bener-bener cari cowok yang nggak
cuma sama muslimnya aja, tapi mempraktekkan agama juga. Bagus tuh. Gua salut
sama dia punya prinsip itu.”
Menanggapi
cerita itu gue bener-bener salut sama Yureka. Pertama, dia nggak mau nikah sama
bule karena terkait bahasa. Dia emang jago, fasih lah kalo boleh dibilang
bahasa Inggrisnya, tapi dia pernah bilang ke gue kalo dia lebih memilih orang
Indonesia karena kalo nonton lawak Indonesia biar bisa ketawa bareng, karena sense humornya orang Indonesia bagi dia
tuh ngena banget. Jadi menurut gue emang nggak cuma sense-nya tapi bahasanya juga. Jadi intinya bisa menertawakan hal
yang lucu bareng-bareng tapi dalam bahasa Ibunya sendiri. Kedua, dia nggak mau
nikah sama orang yang tidak mempraktekkan agama. Istilahnya nggak mau punya
pasangan yang Islam KTP doang.
Itu
semua secara nggak langsung bener-bener menyadarkan gue. Terutama soal
mempraktekkan agama itu sendiri. Mungkin selama ini gue sering ninggalin
ibadah, tapi karena Yureka gue jadi tersadar untuk jadi muslim yang lebih baik lagi,
yaa meskipun sebagai manusia juga pasti nantinya ada khilaf-khilaf dikit. Tapi
kan berusaha jadi lebih baik itu nggak salah, ya kan?
💘💘💘
Yureka.
Musim Gugur 2018. New York. Masa Depan.
Persis
dua minggu pasca Batik Day dan persis satu minggu aku tidak saling sapa dengan
Eugene karena kejadian tidak menyenangkan di restoran Vapiano Sabtu malam, 13
Oktober 2018 itu. Eugene jadi tahu kalau aku membohongi Jamie yang akhirnya
membuat Eugene malas bicara denganku. Termasuk saat rapat evaluasi di Brooklyn
hari ini. Ya, baru saja kami makan di Loving Hut, resto Vegan yang cukup
terkenal di Brooklyn, plus menikmati lezatnya dessert dan minum kopi di The Chocolate Room. Aku yang meskipun
pecinta coklat ini jadi hilang selera karena masih memikirkan Eugene. Ia
benar-benar masih marah padaku. Dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah
aku jujur kepada Eugene soal semuanya? Soal Jamie? Soal mengapa aku sering
menolak ajakan Jamie jalan atau kencan?
Untungnya
masih ada Chandra yang mau berbagi tawa denganku. Sepanjang perjalanan
khususnya ketika kembali ke Manhattan, aku duduk bersebelahan dengan Chandra di
metro dan kami saling melempar canda dan tertawa bersama. Eh tunggu, ini kenapa
aku jadi begini sama Chandra? Duh, jangan dong, aku tidak ingin begitu saja
melupakan Eugene yang tampan dan ideal itu. Bagaimanapun aku masih berhutang
padanya soal semua keadaan canggung ini.
👏👏👏
Keesokan
harinya, aku membayar hutangku pada Jamie. Bukan, bukan soal hutang uang atau
barang, terlebih dia sering membuatkanku pie coklat. Bukan soal semua itu,
melainkan hutang pergi ke bioskop bersamanya. Dan di Minggu malam yang cukup
cerah, aku dan Jamie pergi ke Times Square dan nonton film terbarunya Benedict
Cumberbatch di Times Square Theater.
Ternyata
jalan-jalan bersama Jamie tidak semenyeramkan itu. Kami berbincang banyak hal
layaknya teman, layaknya tetangga apartemen. Kami juga terkadang membahas soal
fasilitas apartemen yang kurang memuaskan dan masih banyak lagi. Merasa
semuanya lebih baik namun aku masih bersama perasaan ketidak-enakan ku, aku pun
berkata “I’m so sorry if I being rude to
you back then. I didn’t mean to you, Jamie”
“So, could you please tell me why you did it?”
Ya,
mungkin sudah saatnya aku jujur ke Jamie perihal masa laluku dengan Nabil, si
bajingan itu, ah malas sebenarnya membahasnya. Benar-benar malas. Tapi semua
sudah kuungkapkan pada Jamie. Dan memastikan bahwa selama ini memang ada salah
paham dan sekarang Jamie sudah tahu semuanya. Aku lega karena aku tidak perlu
berbohong lagi pada Jamie atau nantinya akan mempengaruhi hubunganku dengan
Eugene. Ngomong-ngomong soal Eugene, ada satu kutipan Jamie yang ia lontarkan
padaku soal Eugene. Dia bilang “You look
so into to him, don’t you? If yes, don’t waste a time. Go ahead and make
everything everlasting with him”.
Terdengar
picisan tapi benar juga sih bule ini. Dan ada satu lagi nasehatnya, “If you fall in love with somebody, stop waiting.
Go and catch it! And if divine belong to both of you, there will always a way
to get closer each other”. Luar biasa! Aku sangat terkesima mendengar itu,
bahkan dari mulut seseorang yang tidak percaya Tuhan seperti Jamie.
Bagaimanapun itu, aku sangat mengapresiasi saran dan nasehatnya. Ku rasa Jamie
cocok jadi motivator bukan koki di restoran Italia.
💘💘💘
Beberapa
hari kemudian, masih tidak ada kabar soal Eugene. Pesan WhatsApp terakhir dengannya berupa broadcasting update informasi seputar PERMIAS NYC yang akan
mengadakan acara kolaborasi dengan PERMIAS New Jersey. Pesan itu pun tidak
digubris. Aku berharap ada harapan yang datang di antara aku dan Eugene. Aku
benar-benar tidak suka keadaan dan situasi seperti ini.
Sabtu,
27 Oktober 2018, hujan datang sedari pagi. Aku sendirian di apartemen.
Cassandra seperti biasa ke rumah tunangannya. Salima sedang ambil shift weekend di restoran tempat ia
bekerja. Tidak banyak yang kulakukan. Hujan membuat syahdu tapi juga jadi
dingin. Temperatur pun menurun hingga 11 derajat. Makin dingin, seperti diriku
dengan Eugene, masih dingin dan makin dingin. Mungkin akan membeku.
*Tok
Tok Tok Tok*
Tunggu
ada yang mengetuk pintu? Perasaan aku tidak memesan delivery pizza, lalu siapa itu?
Ku
dekati lubang kecil di pintu untuk mengintip siapa yang datang. Astaga ternyata
itu Eugene! Mau apa dia datang kemari?
Tak
berapa lama ku bukakan pintu. Kami masih diam, hanya saling menatap. Awalnya
aku ingin acuh tapi Eugene kehujanan dan seluruh bajunya basah kuyup, termasuk
sebuket bunga mawar pink yang ia bawa. Lalu ku suruh dia cepat-cepat masuk. Ngomong-ngomong,
aku tidak suka mawar dan aku tidak suka warna pink, tapi siapa yang tidak
senang gebetan datang disaat yang tak terduga seperti ini, pula membawakan bunga.
Benar-benar romantis. Sambil berkata “Aku udah tahu semuanya. Aku minta maaf.”
“Tahu
apa? Maaf apa?” tanyaku mulai kebingungan apa maksud yang ia katakan itu.
“Soal
kamu, Jamie, Nabil. Semuanya”, jawabnya sambil menggigil kedinginan.
“Lu
tahu dari siapa?”, tanyaku lagi
“Kak
Anna”, jawabnya masih menggigil.
“Ah
emang bener ngeselin deh Kak Anna nih.”
Eugene
makin menggigil lalu ku ambilkan handuk untuknya mengeringkan bajunya, juga ku
hidangkan secangir teh panas untuknya agar ia lebih merasa hangat.
Sambil
mengeringkan rambutnya yang keren itu, ia menjelaskan “Jangan salahin dia, aku
yang maksa dia buat cerita semuanya. Awalnya dia tahu kalo kita berdua
diem-dieman, kita nggak saling sapa minggu lalu, itu yang membuat Kak Anna yang
jadi bertanya-tanya. Pas aku cerita semua ke dia kenapa kita begitu, dia bilang
dia punya cerita soal kamu dan Nabil. Awalnya dia nggak mau cerita karena kamu
yang suruh dia jaga rahasia itu, tapi aku berhak tahu. Akhirnya aku paksa dia
buat cerita dan sekarang aku udah tahu semua. Maafin aku yaa. Tapi kalo dari
awal kamu mau cerita semuanya, pasti nggak akan ada kejadian ini.”
“Gue
nggak marah sama elu. Beneran. Justru gue yang takut lu yang marah sama gue
karena gue bohongin Jamie waktu itu”, jawabku memelas.
“Iyaa
sempet marah soal itu tapi… intinya kalo emang kamu punya sesuatu yang perlu
dikasih tahu ke orang, ngomong aja. Dan jangan bohongin orang lagi ya”, nasehat Eugene menyentuh.
Syukurlah,
karena itu aku jadi berbaikan dengan Eugene. Bunga pemberian darinya pun aku
pajang di kamarku menggunakan vas yang biasa kupakai untuk menaruh bunga daisy
kesukaanku yang kala itu sedang tidak kubeli karena terlalu fokus dengan Batik
Day beberapa minggu sebelumnya. Ternyata vas bunganya bisa terisi kembali,
apalagi yang memberikan dari pemuda Tiong Hoa tampan pujaan hati. Sungguh
kenikmatan yang hakiki.
Waktu
sudah menunjukkan jam makan malam, berhubung Eugene mampir, sekalian saja aku
buatkan masakan untuk makan malam kami berdua. Mumpung Cassandra dan Salima
sedang tidak ada di rumah juga, jadi Eugene bisa berlama-lama tanpa perlu di
deham-deham.
“Mau
makan apa nih? Gue punya ayam, beras, telur juga ada, roti apalagi jangan
ditanya”, tanyaku pada Eugene yang masih asyik meneguk teh panas yang sudah
tidak terlalu panas lagi itu.
“Apa
aja deh yang penting makan. Mulai laper hehehe”, jawabnya dengan ekspresi yang
tumben sekali lucu.
“Masak
ayam kremes aja kali yaa?”, tanyaku mengkonfirmasi.
“Eh
itu kesukaan aku loh. Soalnya di Tebet ada tuh ayam kremes yang enak gitu. Boleh deh hehehe”, jawabnya penuh gairah seperti tidak
makan ayam kremes dua abad.
Akhirnya
kami berdua masak bersama. Tugas Eugene cukup mudah, dia hanya membantuku
menanak nasi. Sedangkan aku mempersiapkan bumbu-bumbu untuk menggoreng ayam dan
membuat kremesnya dari tepung terigu. Sambil masak pula sambil ngobrol-ngobrol.
Seperti biasa, ada banyak topik pembahasan kalau sudah mengobrol dengan pemuda
yang satu ini. Tapi kali ini obrolan makin seru, hmm mungkin karena kemarin saling diam
selama berminggu-minggu. Mulai dari komentar soal acara Batik Day kemarin yang
mana Eugene sangat puas dengan keseluruhan acara, kecuali satu hal, ia kecewa karena
konsep perlombaan fotografi yang awalnya direncakan jadinya ditiadakan.
Katanya, beberapa waktu belakangan ia sempat hobi fotografi. Maka, waktu ia
tahu kalau akan ada perlombaan memotret kece itu, ia excited sekali. Sayang, tidak jadi makanya kecewa ia dibuatnya.
“Oh,
jadi selama acara berlangsung muka lu kusut gara-gara itu”, tanyaku sambil
memeriksa apakah bumbu rempah-rempahnya sudah merasuk kedalam ayam dengan baik
atau belum.
“Eh…
hmmm. Yaa, kind of….”, jawab Eugene
yang secara mengejutkan jago juga masak, walau hanya masak nasi.
Kami
terdiam sejenak, lalu Eugene memulai percakapan lagi.
“Sebenernya
nggak gitu sih kenyataannya”, ia berhenti mengaduk-aduk nasi di panci, dan
mengatakan sesuatu.
“Maksudnya?”,
tanyaku penasaran.
“Aku
boleh nanya sesuatu dulu nggak?”
“Apa
tuh?”
“Kamu
sama Chandra ada apa sih?”
“Chandra?
Ada apa denganku dan dirinya? Nggak ada apa-apa? Ngarang deh”, jawabku sedikit
tertawa.
“Serius
nih. Kok dijawabnya pake ketawa, nggak lucu tau!”
“Nggak
apa-apa. Gue cuma ngakak aja tiba-tiba lu nanya gitu”
“Tapi
boleh tahu kenapa?”
“Nggak
ada apa-apa. Beneran. Tapi nggak tahu yaa, gue juga jadi penasaran kenapa
Chandra tiba-tiba begitu. Suka kali dia sama gue”
“Serius?
Hmmm, maksudnya, yakin tuh dia suka sama kamu?”
“Kan
kayaknya. Aneh soalnya, waktu itu dia ngasih coklat, gede banget, ada tulisan
terima kasih atas pijatan yang kaki dia terkilir itu. Trus pas kita jadi
keamanan, dia becanda mulu. Ngebully
gitu, ngebully bercanda maksudnya.”
Eugene
terdiam sesaat dan menampakkan ekspresi tidak senang.
“Ohh
jadi bukan karena nggak ada lomba fotografinya. Tapi karena… hmmm Chandra. Ya,
ya, ya paham gue sekarang”, tanyaku meledek.
“Hmmm.
Uhm... Ah nggak tahu ah”, balasnya seperti anak kecil. Semakin dekat semakin
lucu juga mahasiswa Urban Planning ini.
Topik
percakapan tersebut berakhir dengan kecanggungan. Kami berdua hanya saling
lempar senyuman. Tertawa kecil juga menghiasi dapur kala itu. Benar-benar malam
yang indah. Terima kasih, Ya Tuhan!
Satu
jam kemudian, masakan ayam kremes, nasi putih, dan sambel tomat plus lalapan
daun selada dan timun, siap disantap! Tidak menyangka malam ini makan masakan
yang super duper Indonesia. Padahal biasanya kalau malam aku hanya makan roti,
acar ketimun, dan ikan tuna kalengan atau kadang hanya pakai keju saja. Mungkin
karena ada orang spesial yang datang, maka makanan sesederhana itu pun juga
bisa jadi sangat spesial.
Sambil
menyantap makan malam, aku dan Eugene masih meneruskan Quality Time kami. Selain membahas kesan dan pesan seputar Batik
Day, tidak sengaja kami membahas cerita cinta kami berdua. Ya, aku jadi mengaku
semua dan cerita semuanya pada Eugene yang sesungguhnya masih penasaran soal
Jamie dan Nabil itu. Ternyata selain pintar di bidangnya, serta tampan dan
rupawan, rasa keponya bahkan melebihiku.
Sebenarnya
malas juga harus menjelaskan secara runtut soal keduanya. Intinya aku jelaskan
pada Eugene kalau yang diceritakan Kak Anna memang benar. Aku trauma
berhubungan dengan orang yang tidak beragama atau percaya pada Tuhan, apapun
itu intinya aku tidak cukup respect
dengan orang yang tidak mau mengenal penciptanya. Semenjak selisih pendapat
dengan Jamie soal keberadaan Tuhan dan praktik agama, yang mana waktu itu
memang obrolannya sangat serius, aku langsung tidak tertarik sama sekali
dengannya. Jujur, awalnya aku sedikit tertarik dengan Jamie. Siapa sih yang
tidak suka dengan bule berambut pirang bermata biru seperti Jamie? Apalagi
Jamie ini ganteng, ganteng ala Amerika, siapa yang tidak suka? Tapi mendadak
hilang selera ketika yaa saat membahas agama itu. Ia pun mengaku sendiri kalau
ia tidak pernah sama sekali mempraktikkan satu agama, walaupun sebenarnya
katanya salah satu orang tuanya penganut Yahudi. Ringkasnya, dari kejadian itu,
aku langsung teringat akan Nabil yang sudah menyakitiku beberapa tahun silam,
tidak lama berselang dari kejadian dengan Adam. Semenjak itu aku punya prinsip
untuk tidak lagi memiliki hubungan serius dengan pria yang tidak mempraktikkan
agama, apalagi sampai tidak percaya akan Tuhan. Ya, kalau hanya sekadar
berteman aku masih mau, tidak ada masalah sama sekali. Tapi kalau lebih dari
itu, maaf, aku benar-benar tidak bisa.
“Berarti
kamu bener-bener trauma ya?”, tanya Eugene penasaran sambil membantuku membawa
piring-piring ke dalam wastafel karena aku segera akan mencucinya.
“Aku
orangnya traumaan banget. Soal Nabil, soal Adam, apapun yang pernah bikin aku
sakit hati, aku bener-bener muak”, jawabku sambil merapihkan sisa-sisa makanan
ke dalam tong sampah. Tunggu, mengapa aku jadi mengulang lagi perbendaharaan
kata menggunakan Aku-Kamu dengan Eugene seperti ini? Ngomong-ngomong, kalau
orang Indonesia apalagi orang-orang yang berdomisili Jakarta sepertiku dan
Eugene, kalau percakapan sudah memasuki penggunaan Aku-Kamu, itu tandanya ada
sesuatu yang spesial di antara kami. Benarkah bahwa Eugene suka padaku? Duh,
Yureka fokus! Hargai lawan bicaramu kalau ia sedang berbiacara.
“Wait, Adam tuh siapa? Kayaknya kamu
belum pernah cerita ya?”, tanya Eugene lagi.
“Iyaa
kah? Hmmm pernah ah”, jawabku masih memikirkan perbendaharaan Aku-Kamu tadi.
“Nggak
pernah”, balas Eugene dengan nada halus.
“Pernah…
eh belum deng”. Ternyata aku belum pernah ceritakan soal Adam kepada Eugene.
Mungkin ini saat yang tepat untuk mencerikatakan semuanya.
Sambil
mencuci piring, aku ceritakan detil demi detilnya tentang Adam Wang kepada
lelaki bernama lengkap Parama Eugene Oetomo ini. Hingga ketika aku sebut kata
‘Hong Kong’, ia sontak merespon “Oh! Jadi yang waktu kamu kaget pas aku bilang
aku kuliah di The University of Hong Kong itu, gara-gara orang yang namanya Adam
toh. Pantesan.”
Yaa,
pada akhirnya Eugene tahu segalanya tentangku. Agak sungkan cerita ini semua
padanya, tapi aku berharap ia akan tahu dan paham posisiku seperti apa.
Makanan
sudah habis, semua peralatan makan dan memasak sudah dicuci bersih, dan malam
sudah larut. Aku terpaksa menyuruh Eugene pulang karena takut kalau Salima
sudah kembali dan ia masih disini, aku yang akan kena komplen nantinya.
“Makasih
yaa ayam kremesnya”, ucap Eugene sambil menggunakan jaket milikku yang
kupinjamkan padanya agar tidak kedinginan. Salahnya sendiri hari ini ia tidak
membawa jaket. Harusnya ia tadi tidak kehujanan kalau ia mau melihat ramalan
cuaca hari ini karena memang hari ini diperkirakan hujan sepanjang hari.
“Aneh
sih, kata kamu, kamu nggak suka yang gurih-gurih atau asin, tapi kok ayam
kremes jadi makanan idola gitu?”, tanyaku sambil mengencangkan kuncir rambutku.
“Kan
aku bilangnya aku nggak suka junk food,
bukan ayam kremes”
“Kan
sama aja”
“Beda…”
“Sama…”
“Beda…”
“Yaudah
sama. Oke. Terkecuali ayam kremes”, Eugene mengalah. Lagi-lagi ekspresi dan
tingkah lakunya seperti anak kecil. Menggemaskan!
Kami
terdiam sejenak lagi. Eugene menatap mataku sangat dalam. Tidak, tidak, jangan
bilang ia mau menciumku seperti yang ada di film-film yang sering ku tonton
itu! Aku hanya mengerutkan dahi, dan Eugene melihat jam tangannya dan berkata
“O wow, udah jam 11 tenyata. Nggak kerasa yaa. Hmm kalau next time aku ajak jalan, nggak nolak kayak kamu nolak Jamie kan?”
“I have
no idea. We’ll see…”, jawabku sambil menaruh tangan ke kantung celana jeans
sedang ku pakai dan mengangkat kedua pundak yang melambangkan ketidakpastian
apakah aku akan jalan dengan Eugene lagi atau tidak.
“Nope. Itu jawaban yang selalu kamu kasih
buat Jamie. Say something else, please”
“Okay, I will! Puas? Udah malem. Sana,
keburu metronya jalan. Sana, hush hush”,
usirku dengan nada bercanda pada Eugene.
“Okay.
Aku pulang yaa. Have a nice sleep. Bye”, Eugene melambaikan tangannya yang
putih dan bersih itu.
“You too, bye”, aku pun melambaikan
tanganku yang tidak seberapa bagus ini.
Sampai
turun tangga pun, Eugene masih melempar senyuman kepadaku. Astaga, senyumnya
manis sekali! Kenapa tidak dari dulu saja begitu, Jin, saat pertama kita
bertemu di seminar. Kalau dari dulu kamu tidak kikir senyum, aku kan bisa mendekatimu
sedari lama.
Ku
tutup pintu secara perlahan, kemudian bersandar di balik pintu dan menghela
napas panjang. Ya Tuhan, inikah yang namanya jatuh cinta yang benar-benar jatuh
cinta? Aku yakin, semua yang terjadi tadi atau kemarin-kemarin bukan hanya dari
pihakku saja, melainkan Eugene juga demikian. Jadi benar atau tidak ia juga
punya perasaan yang sama denganku? Aku tidak ingin berasumsi dengan jawaban
‘Ya’ segera, aku takut peristiwa dahulu terulang kembali. Jangan, Ya Tuhan,
jangan! Ku mohon jangan terulang lagi! Rasanya ingin berakhir bahagia dengan Eugene
saja.
Masih
bersandar di belakang pintu, aku masih terdiam disana, berkali-kali aku mengucap
syukur, dan air mataku tak sengaja menetes lewat kedua pipiku. Buru-buru aku
menyekanya. Dan aku masih berdiam di balik pintu untuk beberapa saat.
💘💘💘
Eugene.
Musim Gugur di Akhir Oktober 2018. Columbia University. Masa Depan.
Hari
ini seperti biasa kayak hari-hari biasanya, ngampus ke kampus tercinta, lebih
tepatnya di GSAPP alias Graduate School
of Architecture, Planning, and Preservation. Gue udah jadi salah satu
bagian dari kampus ini sejak satu tahun setengah belakangan. Mudah-mudahan
tahun depan bisa lulus seperti yang diperkirakan.
Hari Selasa jadwalnya mata
kuliah Community Development Planning.
Selama dua jam perkuliahan, gue nggak konsentrasi sama sekali. Dan kalau mau
tahu, dari kemaren gue kayak gini. Lebih tepatnya semenjak makan malam di
apartemen Yureka Sabtu kemaren. Gue hilang fokus karena masih ingat dalam
memori gue akan senyumnya Yureka yang manis itu. Apalagi kalau dia lagi ketawa,
kayaknya lepas banget, happy person
banget anaknya. Udah pinter, sering jadi speaker juga, jago masak lagi. Ya, Sabtu kemaren dia masakin gue
ayam kremes. Beuh, ayam kremesnya enak banget loh! Wah, gue sampe ketagihan dan
pengen minta bikinin lagi sama dia.
Setelah
perkuliahan dengan Nyonya O’Neill-Hutson, gue nggak tahu lagi mau kemana.
Kuliah cuma satu kalo tiap Senin sama Selasa. Berhubung gue laper, gue ke kantin
dulu deh, siapa tahu ada inspirasi mau jalan kemana abis ini.
Di
kantin, seperti biasa andalan gue tuna
sandwich yang aman dan halal. Ditambah sebotol jus jeruk, gue lahap semua
makanan itu. Tapi kok ada yang hilang yaa. Sepi gitu rasanya makan sendirian.
Apa karena udah keseringan makan sama Yureka yaa? Ya, sih soalnya selama
rapat-rapat Batik Day kemaren, apa-apa bareng Yureka terus. Ngedesain bareng,
kemana-mana bareng, yang paling sering sih makan bareng. Sepi rasanya kalau
sehari tanpa dia. Kayaknya gue beneran jatuh cinta sama dia. Bener kata Eyang
gue yang mengambil pepatah jawa “Witing
tresno jalaran soko kulino” yang artinya “Cinta tumbuh karena terbiasa”.
Almarhumah Eyang Putri gue dulu pernah cerita kenapa beliau bisa menikah sama
Eyang Kakung. Katanya dulu mereka itu teman satu komunitas gamelan bareng dan
mereka sering banget ketemu apalagi kalau lagi latihan. Eh lama-lama mereka
saling suka, trus beberapa tahun kemudian mereka married. Ah, keren banget!
Apa
bener yaa yang pepatah itu terjadi sama gue sekarang? Gue jadi jatuh cinta sama
Yureka karena udah keseringan bareng?
Atau
gue beraniin diri aja buat nembak dia? Sebelum keduluan Jamie apalagi Chandra.
Atau nanti malah suatu hari si mantan-mantannya dia yang namanya Adam sama
Nabil itu datang lagi dan nembak Yureka. Ih, nggak deh. Nggak rela gue kalau
Yureka yang lucu itu jatuh di tangan orang yang kurang ajar kayak mereka.
Orang sebaik dia, sepinter, dan selucu dia layak kok dapet perhatian. Tapi
gimana yaa ngomongnya? Gue lupa cara nembak cewek. Terakhir kan pas SMA. Trus waktu
kuliah gue yang ditembak cewek tapi gue tolak, lagi-lagi problem-nya sama kayak Yureka ke Jamie, soal keyakinan. Ah nggak
penting, yang penting sekarang gue harus beraniin diri buat ngomong jujur sama
dia.
💘💘💘
Yureka.
Musim Gugur di Akhir Oktober 2018. New York University. Masa Depan.
Pekan
paling hectic. Dari minggu lalu tugas
numpuk tidak ada tandingannya. Mulai dari tugas analisis cerita TV, tugas nulis
script tingkat lanjutan, sampai tugas
masterclass program TV anak-anak.
Untung sedari awal aku menginginkan ini semua, jadi rasanya ini semua tidak
cukup dewasa kalau dikeluhkan begitu saja. Sejauh ini aku sangat menikmatinya.
Tapi aku jadi tidak punya banyak waktu untuk cuci baju, cuci piring, masak, dan
rapih-rapih kamar. Akhirnya beberapa hari belakangan Cassandra yang mencucikan
piring-piringku. Di satu sisi aku tidak enak dengannya, masa roommate kuminta untuk mencuci piringku.
Tapi disisi lain, ia sangat membantu. Ia juga bilang “I know you’re busy. Don’t worry I’ll do it for you”. Benar-benar
malaikat tanpa sayap.
Eh btw, besok kan Halloween, pasti ramai! Hei, Yureka kenapa kau
jadi membicarakan pesta Halloween, harusnya kan membicarakan soal kegiatanmu
hari ini. Jadi, setiap Selasa, waktunya mata kuliah Late Night Comedy Writing dan Advance
TV: One Hour. Anehnya, mata kuliah penulisan skrip televisi berdurasi satu
jam, kelasnya dibatalkan. Tumben sekali. Ya, ada untungnya sih, aku jadi bisa
mengerjakan tugas lainnya, tapi kalau begini ilmunya jadi pending satu hari.
*telepon genggamku
berdering*
Dalam
hati ku bergumam, “Eugene? Ngapain telepon? Tumben.”
“Halo?”, ujarku mengangkat panggilan masuk dari Eugene.
“Halo, Assalamualaikum Yureka, lagi dimana?”
“Walaikumsalam,
Jin. Lagi di kampus. Ada apa?”
“Oh. Ada kuliah?”
“Udah
selesai sih. Sebenernya ada lagi 1 tapi the
class is canceled. Yaudah jadi lagi nongkrong aja di kantin sambil nyicil
ngerjain tugas. Kenapa?”
“Kuliahnya apa tadi?”
“Late
Night Comedy Writing”
“Wah komedi yaa. Pasti kamu paling jago
di antara semua mahasiswa”
“Kenapa
bisa begitu?”
“Yaa, kan selera humor kamu tinggi banget. Sering
bikin orang ngakak”
“Bisa
aja. Lu lagi dimana?”
“Kampus. Udah selesai kuliah juga barusan”
“Okay.
Trus…?”
“Hmmm, kalo kuliahnya cancel berarti sore ini
ada waktu dong?”
Firasatku
berkata Eugene akan mengajakku jalan. Aku bingung dan senang skornya imbang
setengah-setengah. Lalu kalau Ya, harus aku iyakan atau tolak?
Tugas
atau Eugene?
Tugas
atau Eugene?
Duh,
Tuhan apa yang akan terjadi?!
Seseorang
di kampus Columbia Univeristy masih setia menunggu jawabanku.
“Halo?”
Lalu
ku balas pertanyaannya dengan, “Iyaa. Ada waktu kok… hmmm kenapa emangnya?”.
Bodoh, Yureka, kau mau lulus S2 tiga tahun yaa?!
“Jalan-jalan yuk?”
“Jalan-jalan
kemana? Jalan kaki maksudnya?”
“Nggak literally jalan kaki juga lah. Hmmm.
Ke Staten Island mau gak? Liberty Statue gitu?”
“Buset.
Jauh aja. Biasanya juga lu ngajaknya ke… Central Park, Times Square,
mentok-mentok Lower East Side liat Brooklyn Bridge.”
“Ya, sekali-kali dong yang jauhan dikit.”
“Tapi
nggak punya duit nih buat naik ferry-nya”
“Aku traktir!”
“Dalam
rangka apa?”
“Ucapan terima kasih atas ayam kremesnya yang
super lezat itu”
“Ya
ampun. Ayam kremes dibayar pake kapal ferry ke Liberty Statue gitu?”
“Iyaa, mau nggak?”
“Jangan
malem-malem yaa. Aku harus ngerjain tugas soalnya”. Nah begitu lebih oke. Dengan begitu
S2 mu hanya 2 tahun saja!
“Yaa nggak lama kok. Yaudah aku jemput 1 jam
lagi. Tunggu ya”
“Okay.
See you soon”
Oh My Goodness,
lagi-lagi dia ngajak jalan dadakan! Antara bahagia tapi kesal juga. Kenapa
harus semendadak ini.? Mau lihat Patung Liberty pula. Mau ngapain sih?
Dimana-mana kesana itu kalau akhir pekan datang, bukan awal pekan begini.
💘💘💘
Tepat
satu jam kemudian, Eugene datang. Dengan kaus putih dan jaket blue navy ditambah celana jeans biru
gelap, ia membuatku terkesima. Tidak lupa kacamata kotaknya yang makin
membuatnya tampak menggemaskan. Tapi sepertinya ada yang beda darinya. Apa yaa
itu?
“Kamu
potong rambut ya?”, tanyaku sambil melihat dan menyentuh rambutnya.
“Hehehe.
Iyaa”, jawabnya sambil merapihkan rambut.
“Kapan?”,
tanyaku lagi.
“Baru
kemaren”, jawabnya sambil mengambil handphone
di sakunya.
“Buang
sial atau gimana?”, tanyaku lagi iseng.
“Udah
panjang lah. Rambutku tuh panjangnya cepet banget bisa 2 minggu sekali potong
rambut. Yaudah yuk, keburu sore nih. Entar ketinggalan ferry lagi. Departure terdekat satu jam dari
sekarang soalnya”, jelasnya nampak panik takut kami ketinggalan ferry menuju The
Statue of Liberty Island.
Sepanjang
perjalanan dari kampusku menuju Battery Park, tempat kami nantinya naik kapal
ferry, seperti biasa kami ngobrol-ngobrol. Kami membahas apa yang kami lakukan
di kampus seharian. Aku juga menanyakan sesuatu kepada Eugene yang sampai
sekarang membuatku penasaran. Agak malu sih untuk menanyakan ini, tapi kalau
aku tidak dapat jawabannya, bisa-bisa aku tidak bisa menuju langkah lebih
lanjut untuk lebih dekat dengannya. Aku bertanya pada Eugene tentang mengapa ia
dan Farida sangat akrab saat mereka ngobrol beberapa waktu lalu, apalagi
semenjak kejadian mencarikan taksi bersama. Menanggapi pertanyaanku tersebut,
ia malah tertawa, tapi karena aku tidak sedang bercanda, maka aku paksa ia
untuk menjawabnya dengan serius. Ini sama persis seperti waktu ia memintaku
menjawab pertanyaan soal mengapa aku bisa dekat dengan Chandra.
Kemudian
Eugene mengaku kalau saat itu, mereka membicarakan salah satu komik Jepang.
Selain hobi main game, ternyata
Eugene juga suka anime Jepang. Farida pun demikian, pacarnya Farida, Randy,
juga begitu. Maka dari itu mereka jadi sangat akrab dan saling tukar informasi
seputar dunia anime yang mana kata Eugene sudah lama ia tidak update informasi terbaru soal
komik-komik Jepang. Eugene sampai berbalas pesan WhatsApp dengan Randy dan sampai sekarang pun masih asyik
membicarakan hal-hal Jejepangan itu. Syukurlah, ku pikir ia suka pada Farida.
Farida kan cantik, manis, kulitnya putih, bersinar, berhijab, dan anggun. Siapa
pula pria yang tidak suka padanya
“Yaa
kan dia punya pacar, yaa kali aku jadi selingkuhan. Gila aja”, akunya padaku
sambil sesekali merapihkan rambutnya yang terkibas angin.
“Ya
kirain. Orang kan bisa khilaf”, jawabku hanya datar. Masih kesal dengan
kejadian Eugene bicara akrab dengan Farida.
“Kalo
aku sih InsyaAllah setia kok
orangnya. Beneran”
“Yakin?”
“Tanya
aja yang lain, aku dulu kalo pacaran putus bukan karena selingkuh…”
“Trus?
Karena apa?”
“Karena
beda agama…”
Oh My Goodness,
ternyata permasalahan kami sama! Sama persis! Dari cara ia menjawab, sepertinya
ia juga trauma dengan yang namanya menjalin hubungan dengan seseorang yang beda
keyakinan. Tanpa mengurangi rasa hormat ku padanya, ku korek sedikit informasi
soal itu. Untungnya ia mau menjelaskan semuanya. Intinya dulu waktu SMP dan
SMA, Eugene pernah menjalin hubungan dengan dua gadis yang berbeda agama
dengannya. Waktu SMP ia jadian dengan pemeluk Katolik, dan saat SMA jadian
dengan pemeluk agama Hindu. Jadi, dari semua pengalaman-pengalaman itu, Eugene
tidak ingin lagi memiliki hubungan dengan yang tidak se-iman dengannya. Dia
juga bilang “Ya, kalau temenan doang nggak apa-apa, tapi kalo lebih serius? No, thank you”. Itu sama persis seperti
yang aku katakan tadi soal Jamie dan Nabil. Yaa, kira-kira seperti itu lah.
Semoga sekarang Eugene mengerti perasaanku karena sesungguhnya permasalahan
kami sama.
Akhirnya
kapal ferry kami menuju The Statue of Liberty berangkat. Pemandangan sekitar
benar-benar memanjakan mata kami. Angin laut pun mengibas rambut-rambut kami.
Rambut selalu tidak rapih, tapi angin itu sangat menyejukkan. Lebih sejuk lagi
karena ada Eugene disisiku saat ini. Kami tertawa bersama karena asyik bermain
tebak-tebakan yang agaknya sudah sangat lawas tapi tetap saja membuat kami
berdua terhibur. Kami juga menghabiskan roti Pretzel kami yang tadi kami beli
dekat pelabuhan. Benar-benar indah sekali akhir bulan ini.
Sesampainya
di Liberty Statue Island, kami foto bersama, atau saling mengambil gambar satu
sama lain. Benar-benar lupa kalau aku masih punya banyak tugas. Benar-benar
lupa kalau aku harusnya belajar lebih giat supaya lulus tepat waktu. Ah, tapi
rasanya untuk hari ini saja aku ingin meluangkan waktu sejenak dan menikmati
semua ini bersama Eugene karena semua ini tidak akan datang dua kali.
Sudah
lelah berfoto-foto, selfie,
lari-larian mengejar burung-burung dara yang datang, kami kelelahan dan
memutuskan untuk rehat sejenak duduk di bangku taman berwana coklat dengan
gagang perak yang persis menghadap ke pulau Ellis.
Kami
hanya terdiam untuk beberapa saat. Meresapi angin pantai, melihat pemandangan
sekitaran dengan penuh rasa syukur, sambil sekali menengok ke arah patung
Liberty-nya. Kami berdua berkali-berkali menghela napas panjang tanda menikmati
alam sekitar yang tak akan terlupakan.
Dalam
diam yang cukup lama, akhirnya Eugene membuka percakapan baru. Akhirnya bukan
aku yang mulai duluan. Terima kasih, Jin.
“Yureka….”
“Hmmm.
Kenapa?”
“Kamu
tahu nggak, apa yang aku obrolin sama Kak Anna di balkon waktu itu?”
Waduh.
Aku kan pernah kepo soal ini. Apa aku pura-pura tidak tahu saja yaa supaya
tidak terlihat keponya? Lalu aku hanya membalas “Di balkon yang mana? Kapan?”
“Yang
satu malam pasca Truth or Dare itu”
“Ohh
yang itu. Emang kalian ngobrolin apa?”
“Aku
cerita sama Kak Anna soal kamu.”
“Soal
aku? Kalian gibahin aku apaan emang? Wah bisa yaa, talking behind my back. Nggak bener nih.”
“Bukan,
bukan jelek-jelekin kamu kok. Justru sebaliknya.”
“Trus
apa dong?”
“Aku
minta pendapat dia soal aku sama kamu itu gimana.”
“Gimana…
gimana apanya?”, aku benar-benar tidak tahu arah pembicaraan ini kemana.
“Hmmm
gimana yaa ngomongnya. Hmm, intinya… pertanyaan Kak Anna yang Truth itu ada benarnya”, akunya yang
membuatku tetap tidak tahu apa maksudnya.
“Ada
benarnya gimana? Nggak ngerti ah. Apaan sih, yang lengkap dong ngomongnya.”
“Jadi…
waktu itu Kak Anna bilang, “Eugene, gue
liat-liat lu tertarik sama Yureka. Kalo suka mah gebet aja, nggak apa-apa,
Yureka jomblo tuh. Ajak jalan dulu lah tapi, saling mengakrabkan diri. Trus, kalo
lu udah siap, lu bilang deh sama dia soal perasaan lu ke dia.”… Gitu…”,
jelas Eugene sambil memperagakan ucapan Kak Anna saat pagi-pagi buta di balkon
itu.
Aku
membeku. Sepertinya aku tahu arah pembicaraan ini kemana. Momen ini telah
kunantikan begitu lama. Oh Tuhan, tolong beri petunjuk kalau yang dikatakan
Eugene barusan itu kenyataan bukan ilusiku belaka!
Dengan
sedikit mengambil napas dalam dan menghembuskannya keluar secara perlahan, inhale-exhale, Eugene pun melanjutkan
kata-katanya, “So, let me say this. From
the first time I joined Batik Day and saw you at that time, actually not with
the seminar back then, but from that moment, I was seeing how different you
are. Humorist, brilliant, independent, talk-active, and… just different from
the others. You have also that kind of… charisma. And it’s only you who have
that in my eyes.”
“Am I?”, balasku masih membeku dengan
bonus mata mulai berkaca-kaca.
“Yeah… So, from that moment on, I think… I
am… hmmm. Okay, let me finish my words… I think I’m falling in love with you,
Yureka!”, Eugene terlihat gugup.
Tolong
katakan Eugene akan mengatakan sesuatu yang telah kuharapkan begitu lama.
Tolong!
Kami
terdiam sejenak. Ku balas kalimat-kalimat pujiannya dengan senyum simpulku. Aku
bahkan tidak tahu harus berkata apa. Kami hanya saling terdiam, saling lempar
senyuman, dan hanya saling menatap. Seakan diamnya kami tersirat makna, seakan
senyuman kami cukup menyimpulkan sebuah jawaban, dan tatapannya begitu memikat!
Beberapa
detik kemudian Eugene berkata,
“Kamu mau nggak jadi pacar aku?”
Mataku
terbelalak. Aku tidak percaya.
Okay,
tenang Yureka, tenang. Jangan panik.
Ya,
Tuhan, INI MIMPI BUKAN?!
Aku
menunduk sesaat, seakan mencari sesuatu di bawah, padahal hanya pasir dan tanah
dan buatan Semesta lainnya. Ketika ku angkat lagi kepalaku dan menatapnya lagi,
Eugene seakan kebingungan. Tapi aku tidak ingin bicara.
Kami
terdiam lagi, saling lempar senyuman lagi.
Kutarik
napasku dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan. Yang ada dibenakku
hanyalah, YA BENAR INI KENYATAAN BUKAN LAGI IMAJINASIKU!
Beratus-ratus
detik kami berdua dalam diam, Eugene tidak tahan, dan kemudian berkata, “Ehmm please say something…”. Aku tidak
merespon, hanya bergeming. Bukan aku tidak ingin berkata, tapi yang ku butuhkan
hanyalah pemuda keturunan Tiong Hoa-Korea ini. Ya, aku sedang membutuhkannya.
Ya, aku membutuhkannya sejak lama.
Tak
ingin berkata-berkata bukan berarti tak ingin bicara. Aku mencoba berbicara
dari hati ke hati padanya. Kedengarannya memang konyol. Tapi dengan ku raih
tangan kirinya dan menyandarkan kepalaku ke pundaknya, semoga ia menerima
sinyalku yang tersirat ini.
Matahari
pun mulai tenggelam, senja mulai menyapa. Hari baik, hari yang cerah. Musim
gugur yang indah. New York memang indah. Masih di bangku taman yang sama, kami
masih tetap disitu untuk waktu yang lebih lama. Menikmati ciptaan Tuhan dengan
penuh suka cita dan rasa syukur yang begitu mendalam, khususnya aku.
Terima kasih, Tuhan!
Kemudian
ku tengok waktu di jam tanganku dan tersadar waktu kami hanya tersisa empat
puluh lima menit sampai ferry terakhir menuju Manhattan berangkat. Ah tak
apalah empat puluh lima menit itu masih cukup lama. Nikmati saja dulu.
Aku
pun memulai percakapan lagi agar tidak canggung. Selalu aku yang memulai, lagi
dan lagi. Dulu, kini, hingga nanti.
“Sebenernya
aku kasian loh sama kamu, di grup Whatsapp
pada nulis nama kamu pake Y-U-J-I-N bukan ejaan aslinya yang E-U-G-E-N-E”,
kepalaku masih tersandar di pundak Eugene.
“Hahaha.
Santai aja lagi. Cuma di WhatsApp
doang kok. Lah aku lebih kasian sama kamu”, Eugene meraih pandangannya padaku.
“Hah,
kenapa?”
“Harusnya
kalau dalam bahasa Yunani aslinya namanya kamu kan ejaannya E-U-R-E-K-A bukan
pake ‘Y’ sama ‘U’ depannya.”
“Hahaha.
Iyaa yaah. Nggak tahu tuh petugas catatan sipilnya ngantuk kali, salah nulis
jadinya. Tapi kan unik, ya nggak?”
“Iyaa
lucu. Eh tapi aku baru sadar, prefix
nama kita ternyata samaan ya. Yu-Yu. Yureka-Yujin”
“Iyaa.
Lucu yaa. Jodoh kali yaa kita.”
– BERSAMBUNG KE SEASON 2 –
Yuk langsung lanjut ke Season selanjutnya!
------------------------------------------------------>>> DOUBLE YU SEASON 2
ReplyDeleteSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut