Kumpulan Cerita Bersambung : DOUBLE YU - SEASON 1 (karya Yulia Sutjahjono)


Double Yu
oleh Yulia Sutjahjono



SELAMAT MEMBACA! :)



Episode 1 : “Berawal dari Penang”

Yureka. New York. Masa Depan.
Bulan Juli. Musim panas 2018. Pukul 16.54 / 4.54 PM EDT.
Bulan ini, tepat 1 tahun aku tinggal di New York. Ya, aku ingat sekali bagaimana New York menyambutku kala pertama aku menapakkan kaki di Bandara John F. Kennedy; PANAS! Kala itu aku ingat betul kalau temperaturnya sampai 31 derajat. Ya, sebenarnya sama saja dengan Jakarta, kota di mana aku dilahirkan, hanya saja bedanya matahari Jakarta tidak semenyengat New York. Entah mengapa. Silau sekali. Apalagi di musim panas. Ya, matahari hanya ada satu dan harusnya rasanya sama saja, tapi entah mengapa matahari New York sempat membuat kulit ku pecah-pecah dan terlihat lebih kusam. Tapi tidak apa lah, toh aku sudah cinta mati dengan kota ini sejak aku berusia 5 tahun. Sehingga permasalahan soal silaunya matahari musim panas tidak cukup dewasa untuk dikeluhkan.
Hari ini hari Sabtu. Kebetulan, aku ingin santai dari rutinitas kampus. Selama musim panas, kegiatan di kampus memang berkurang karena semua orang menikmati hak libur musim panas mereka untuk pergi kemanapun mereka mau. Tapi tidak denganku, khususnya tahun ini, karena aku sudah masuk semester akhir jadi sudah waktunya harus mondar-mandir sana-sini untuk menyiapkan topik tugas akhirku. Berhubung minggu ini sudah banyak waktuku habiskan dengan menemui profesor di kampus dan juga di luar kampus, jadi tidak salah kan kalau aku mendapatkan 5 menit saja untuk bersantai?
Tapi tunggu, sepertinya aku melupakan sesuatu. Sepertinya aku punya satu agenda penting hari ini.
Baru saja ingin memikirkan kejadian penting apa yang akan terjadi hari ini, sebuah nada notifikasi pertanda pesan WhatsApp masuk pun berbunyi. Tidak hanya satu kali, tapi sampai lima kali berbunyi. Hmm, berarti ini penting.
Ketika ku buka WhatsApp, ternyata itu dari grup “Batik Day 2018 Team”. Pesan mereka berbunyi:
Arianna: “Kawan-kawan jangan lupa nanti jam 6 sore kumpul. Yang punya makanan jangan lupa dibawa. Paham kan lo semua?
Empat pesan lainnya berbunyi
Fikri  : “Tempatnya dimana guys? Gue lupa
Farida: “Ya ampun kan udah dikasih tahu fik, di apartemennya Kak Anna. Gimana sih?
Fikri  : “Lah katanya mau di McDonald’s aja biar sekalian makan-makan? Bosen guys di rumah mulu rapatnya
Eugene  : “Tanggal tua. Di rumah aja Kak Anna aja udah bener lah
Arianna : “Lu apa sih yang gak tanggal tua, jin? Ini masih tanggal 15 woiii
Eugene  : “Oh iya ya? Yaa kan hemat kak

Terkadang aku ingin tertawa sendiri melihat tingkah laku mereka kalau sudah melempar candaan di grup WhatsApp. Ada-ada saja yang dibahas, mulai dari yang sangat serius, sangat penting, bahkan yang tidak penting sekalipun, semua kami bahas. Bagaimanapun aku merasa nyaman dan bersyukur masih berada ditengah-tengah keseruan mereka. Maklum lah, sebagai imigran dari negeri jauh, aku juga butuh lelucon segar yang dibuat langsung dari bahasa ibu yang sudah ku kenal sejak masih dalam perut ibu.
Jadi begini, sebenarnya aku dan teman-teman grup tersebut merupakan panitia acara “Batik Day 2018” yang mewakili mahasiswa-mahasiswi PERMIAS New York City. Ide membuat acara ini sebenarnya berasal dari salah satu pegawai Konsulat Jenderal Republik Indonesia New York, Ibu Mirna, yang ingin mengadakan kegiatan apapun yang berhubungan dengan Hari Batik Nasional juga Internasional yang jatuh pada tanggal 2 Oktober mendatang. 
Sebenarnya sudah pernah ada acara sejenisnya di tahun-tahun sebelumnya, hanya saja dahulu dibuat terlalu sederhana dan target penonton dari kalangan warga sipil pun tidak terpenuhi. Terlebih panitianya dari pengurus PERMIAS itu sendiri. Dan di tahun-tahun sebelumnya juga jadwalnya selalu bentrok dengan acara mereka lainnya seperti Hari Sumpah Pemuda dan agenda tahunan yang lainnya. Maka dari itu, Ibu Mirna dan pegawai pegawai KJRI lainnya berinisiatif untuk merekrut mahasiswa Indonesia untuk mengatur acara ini. Akhirnya, terpilihlah delapan mahasiswa tanpa dosa yang tergabung dalam sebuah tim panitia untuk acara seminar tertutup dan pameran busana terbuka yang semuanya acaranya berhubungan dengan batik. Target penonton pun akan ditingkatkan dan jangkauannya lebih luas lagi, di mana warga lokal diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam acara ini.
Lalu PERMIAS NYC itu apa? Dari tadi aku sebutkan tapi tidak dijelaskan apa kepanjangannya.
Jadi begini, PERMIAS NYC itu merupakan kependekkan dari Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat” cabang New York City. Kami adalah komunitas mahasiswa-mahasiswi asal Indonesia yang sedang mengenyam pendidikan, baik Sarjana, Magister, ataupun Doktoral di Amerika Serikat. Memang tidak semua mahasiswa Indonesia bergabung menjadi pengurus komunitas ini, tapi ku pikir semua mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat otomatis menjadi anggotanya. Termasuk diriku dan tujuh teman ku lainnya tersebut. Salah satu dari kami adalah pengurus inti PERMIAS NYC, namun sisanya hanya anggota.
Bagiku, tetap terhubung dengan orang-orang Indonesia di luar negeri adalah hal yang paling utama. Alasannya? Sederhana saja. Aku hanya tidak ingin melupakan bahasa ibuku, Bahasa Indonesia. Aku pun tidak ingin lupa siapa identitasku atau darimana aku berasal. Maka dari itu, berkumpul dengan orang-orang Indonesia adalah upayaku agar terus bisa ingat siapa diriku, apa warna kulitku, apa warna asli rambut dari negaraku, dan apa warna bendera negaraku. Agar setelah ‘berperang di medan perang’ usai alias setelah lulus kuliah nanti, aku tetap ingat rumah dan kembali ke tanah air. Atau sekalipun aku akan berkelana kembali, dimanapun aku berada, aku tidak akan melupakan tanah air tercinta, Indonesia.
Selama menjadi anggota PERMIAS satu tahun belakangan ini, aku seperti tidak berada di New York. Ya, tentu karena hampir setiap akhir pekan aku bertemu dan berdiskusi banyak dengan teman-teman mahasiswa Indonesia lainnya. Ada banyak pula acara-acara yang diadakan PERMIAS yang berkolaborasi dengan KJRI. Seperti seminar, buka puasa bersama saat bulan Ramadhan, bahkan hanya sekadar diskusi sederhana atau makan malam bersama. Rasanya benar-benar lupa kalau aku sedang berada di New York.
Oh ya, aku sampai lupa memberi tahu siapa diriku.
Jadi, nama lengkapku Yureka Bhanuresmi Cendekia. Sapa saja aku Yureka, atau singkatnya Rere juga boleh. Tapi sebenarnya aku lebih suka dipanggil Yureka sih. Sedangkan di rumah aku dipanggil Kia oleh semua anggota keluargaku. Tapi di kampus orang-orang selalu memanggilku dengan sebutan “Yure” atau kadang-kadang “Yur Sayur” sebagai bahan bercanda teman-teman Indonesia ku selama di New York. Ya, baiklah aku tidak akan meneruskan soal namaku atau akan menjelaskan arti dari namaku. Aku yakin itu akan menghabiskan waktu saja. Mungkin di lain waktu.
Saat ini aku tercatat sebagai mahasiswi sekolah Pascasarjana Tisch School of Art untuk jurusan penulisan drama di New York University. Ini merupakan tahun keduaku tinggal di New York sekaligus tahun ajaran terakhir mengenyam pendidikan S2 di NYU. Senang sekali akhirnya aku sudah memasuki tahap tugas akhir, tapi pastinya ada banyak hal yang akan sangat aku rindukan dari kota terbesar di dunia ini, mulai dari mahalnya biaya sewa apartemen, sulitnya mencari orang yang mau berbagi uang sewa apartemen, bertemu banyak imigran dari berbagai macam ras dan budaya, bahkan hanya sekadar mengantre makan es krim di pinggiran jalan dekat Times Square.
Kembali soal grup WhatsApp, ternyata benar, aku hampir lupa kalau malam ini akan ada agenda rapat yang ketiga untuk membahas perkembangan susuan acara yang akan berlangsung selama sepekan pertama di bulan Oktober mendatang.
Jadi, siapa penggagas acara ini?
Hmm, pasti bukan aku. Memangnya aku siapa?
Jadi sebenarnya KJRI New York, khususnya Ibu Mirna yang sudah aku sebutkan tadi, beliau lah yang menggagas acara ini. Tahun-tahun sebelumnya, Hari Batik Nasional tidak dirayakan secara besar atau khusus. Kami, para mahasiswa, para pegawai dan juga diaspora Indonesia hanya diwajibkan menggunakan pakaian batik saja. Di tahun-tahun sebelumnya juga, ketika KJRI akan mengadakan acara bertema batik, selalu bersamaan dengan persiapan acara besar lain seperti peringatan HUT RI, Hari Sumpah Pemuda, dan Hari Pahlawan.
Jadi, pihak KJRI ingin agar acara peringatan Hari Batik itu, tidak hanya sekadar hari peringatan biasa, melainkan lebih bagus dan menarik lagi terutama untuk menarik warga lokal. Maka dengan perekrutan kami berdelapan yang juga bergabung dengan beberapa panitia dari pihak KJRI lainnya, berharap acara yang akan mengadakan peragaan busana batik terbuka dan juga perlombaan itu akan banyak mengundang perhatian banyak diaspora dan juga warga lokal untuk ikut berpartisipasi.
Total panitia untuk acara ini sekitar 27 orang dari pihak KJRI, dan 8 lainnya dari mahasiswa Indonesia, diantaranya adalah Kak Arianna (atau sapa saja Kak Anna), Farida, Fikri, Gilang, Dhimas, Chandra, Eugene (terkadang ia dipanggil dengan ejaan ‘Yujin’), dan termasuk aku sendiri. Grup WhatsApp seperti yang ku sebutkan sebelumnya pun sudah tergabung sejak 1 bulan terakhir. Rapat perdana dan kedua pun sudah diadakan tiap akhir pekan pada akhir bulan lalu. Namun sayangnya, aku tidak ikut serta dalam dua rapat perdana tersebut karena harus menemui profesor yang lebih suka ditemui di Teater Broadway dan Radio City Hall. Maka, rapat internal ketiga ini aku tidak boleh ketinggalan.
Setelah ingat apa yang harus ku lakukan malam ini, aku bergegas ganti pakaian dan siap-siap menuju apartemen Kak Anna yang sebenarnya jaraknya cukup jauh dari apartemenku. Sekiranya dibutuhkan waktu 20 menit naik subway dan 10 menit berjalan kaki.
Dalam perjalanan menuju apartemen Kak Anna naik kereta bawah tanah, kebiasaan burukku muncul, membayangkan hal-hal yang tidak penting. Parahnya aku menamai hal tersebut dengan istilah IMAJINASI. Mulai dari membayangkan aku akan menjadi Sekjen PBB, menjadi salah satu orang paling berpengaruh versi Majalah Times, bekerja sama dalam garapan produksi film bersama Stephen Spielberg, atau berteman akrab dengan Sarah Jessica Parker. Rasanya memang aneh. Aku bahkan tidak tahu apakah itu kebiasaan buruk atau malah sebaliknya. Lebih parah lagi kalau aku mulai terbawa arus perasaan, seperti menginginkan kekasih hati, saat itu pula aku merasa bumi ini seperti ada di jaman batu, merasa sendirian dan kesepian.
Duh, kenapa harus membahas yang satu itu?
Baiklah, ku akui, aku tidak pernah berpacaran sebelumnya. Payah.
Kalau teman dekat semacam gebetan misalnya?
Ya, sejak SMP aku cukup sering gonta-ganti gebetan. Kalau bisa ku hitung, mungkin sekitar 27 kali aku suka dengan teman laki-laki yang berbeda-beda. Bukan karena aku yang pemilih atau tidak cocok dengan mereka, hanya saja mereka semua yang tidak ingin didekati olehku. Kenapa semenyedihkan ini? Entahlah. Tapi entah mengapa pada saat aku suka dengan 27 laki-laki tersebut, ada-ada saja kejadiannya, seperti ada yang sudah punya pacar lah, ada yang suka dengan teman sebangkuku lah, ada yang seperti banci lah, ada yang sok jual mahal lah, malah ada yang kepedean ketika ku dekati padahal aku hanya ingin melihat catatan pelajaran Sejarahnya saja. Pokoknya banyak alasan mengapa dulu aku tidak bisa lebih jauh daripada seorang penggemar rahasia.
Bagaimana kalau kencan? Untungnya aku pernah satu kali kencan dengan seorang lelaki. Berarti aku normal kan?
Tapi kapan ya itu? Hmm, sepertinya 5 tahun lalu. Astaga sudah 5 tahun rupanya.
Siapa dia ya? Kenapa aku lupa?
Oh ya, lelaki berkewarganegaraan Malaysia keturunan Tionghoa itu. Namanya Adam yang kalau tidak salah nama belakangnya Wang. Ya, Adam Wang, lelaki ganteng berparas oriental berkacamata itu adalah ketua panitia program pertukaran pelajar di KDU College University, Penang, Malaysia.
Saat itu aku terpilih menjadi salah satu dari 5 orang tim Indonesia yang dikirim kampus almamaterku, Universitas Paramadina, ke Penang Malaysia untuk mengikuti pertukaran mahasiswa jurusan Komunikasi selama satu bulan.
Kala itu adalah kali pertamanya aku ke luar negeri. Aku masih ingat betul betapa kampungannya diriku saat pertama naik pesawat. Benar-benar mengerikan berada di dalam pesawat. Kalau saja tidak ada pramugara yang tampan yang menawarkanku segelas jus jeruk sesaat setelah turbulensi hebat selama 7 menit kala itu, aku pasti tidak akan mau lagi terbang naik pesawat.
Sesampainya di Penang, Malaysia, semua begitu menarik. Acara pertukaran pelajar pun berjalan dengan lancar. Tapi tidak denganku di akhir pekan pertama di asrama. Aku terjangkit flu berat. Mungkin penyesuaian udara. Padahal kalau dipikir-pikir Indonesia-Malaysia kan tidak beda jauh. Tampak sama-sama di bagian Asia Tenggara dan dekat dengan garis khatulistiwa dimana udara agak sedikit panas dari negara-negara tetangga kami. Tapi memang tidak bisa dibohongi, flu berat makin parah. Bisa jadi karena kelelahan selama minggu pertama itu. Alhasil, akhir pekan saat itu aku gunakan untuk istirahat di kamar asrama sedangkan yang lain menikmati liburan gratis keliling pulau Penang, terutama jalan-jalan menikmati ibukotanya, George Town, selama seharian penuh. Sial.
Malam harinya tiba. Sudah pukul 19.00 waktu setempat, tapi teman-temanku belum juga kembali ke asrama. Aku agak bosan. Makan sudah, minum sudah, menelan pil pahit hidup, hmm maksudnya pil pereda flu dan demam juga sudah, nonton TV kabel pun sampai bingung mau nonton acara mana lagi. Hingga tak berapa lama ku dengar seseorang mengetuk pintu kamar sebanyak tiga kali. Ini pasti Diana, Arumi, Ghina, dan Tommy. Dengan kondisi tubuh masih lemas, ku bukakan pintu itu.
Ternyata tidak. Ku lihat sosok pria tinggi 175cm, mengenakan kemeja hitam, berkacamata Emporio Armani, celana jeans biru, dan juga jas almamater berlogo KDU College, sudah berdiri dengan tampannya di depan pintu. Ya, itu Adam Wang! Astaga keren sekali dia!
Jujur saja, sejak awal aku melihat Adam, aku terbawa arus imajinasi luar biasa yang membuatku berpikir kalau aku bisa memiliki hubungan romantis dengan seseorang yang tampan seperti dirinya. Ya, untungnya itu hanya imajinasiku saja.
Yang ku tahu, saat itu, Adam adalah mahasiswa semester 5 yang berkebangsaan Malaysia keturunan Tionghoa yang tahun ini menjabat sebagai ketua himpunan mahasiswa di jurusannya. Usut punya usut, Adam ini gosipnya adalah anak pebisnis kaya raya di Malaysia. Bisnis Ayahnya tersebar hingga ke seluruh penjuru Asia Tenggara dan Pasifik. Kantor pusatnya saja di Hong Kong. Tidak heran ketika kami makan siang bersama di hari ketiga, ia sempat menceritakan beberapa hal tentang Hong Kong di depanku dan teman-teman Indonesiaku. Sepertinya ia sangat fasih di luar kepala. Konon katanya pula, hampir setiap bulan ia pergi menemui Ayahnya yang bertugas di kantor pusat bisnis keluarga di Hong Kong. Pun, adik perempuannya yang bernama Sophia katanya baru saja masuk kuliah jurusan Ekonomi di The University of Hong Kong.
Setelah membukakan pintu, entah dari mana asalnya, suasana menjadi canggung. Berdasarkan pengalaman, aku sudah familiar dengan yang namanya memecahkan suasana seperti ini, aku pun memulai pembicaraan.
You are Adam, right? Ada perlu apa? Hm, I mean, what’s going on?”, tanyaku sambil berusaha menahan senyum karena tersipu malu.
“Saya dengar dari kawan-kawan, kalau awak ni sedang sakit. Benarkah?”, jawab Adam dengan aksen melayunya yang sangat kental.
“Ya, benar. But now, I feel better. Thank you for asking”, jawabku dengan menggunakan bahasa Inggris karena daripada aku salah menggunakan bahasa Melayu, nanti malah membuat moment romantis menjadi hancur lebur.
Well, since you’re not join with the others to the city today, I have intention to invite you to walk around the city tomorrow. But if you still need to take a rest, it’s okay.”, jelasnya.
Tomorrow? City tour? Well, I know tomorrow is the free day and everybody can explore to everywhere... But... I still feel... Hmm... Yes, I’d loved to!”. Bodohnya dirimu, Yureka! Murahan sekali!
So, it does mean okay?” tanyanya yang pasti terkejut mendengar keterusteranganku.
Yeah. Why not?”, jawabku masih sok-sokan tersipu malu.
Really? Are you sure?”, tanyanya sekali lagi agar aku terlihat konsisten.
Yeah. What time?”, sambil menaruh kedua tanganku ke kantung baju piyama biru bergambarkan beruang madu yang ku pakai seharian saat sakit.
It’s about 10 am? Is it too early for you?”, tanyanya sambil mengernyitkan dahinya.
Perfect! And only two of us. Got it. Well, I’ll see you tomorrow. And thanks for inviting me”, respon ku penuh senyum sumringah.
Okay. See you tomorrow. Take a rest”, tutup Adam lalu pergi.
Ya, aku memang bodoh mengapa langsung mengiyakan penawarannya untuk jalan-jalan dengannya.
Dalam hatiku berperang: “Bodoh sekali kamu, Yureka. Memang kamu tahu Adam itu siapa? Kalian saja baru kenal satu minggu. Itu pun ngobrol hanya pada waktu makan siang dan malam saja. Lebihnya, kamu malah sibuk menepuk pundak Tommy saat kesal akibat poin pada mobil balap virtual mu tak kunjung bertambah. Tenang. Santai. Tarik napas. Semoga ini pertanda baik.
Ya, aku tahu tawaran jalan-jalan Adam menandakan bahwa rekorku menyendiri sudah terpecahkan. Sejak dulu memang aku yang selalu mengajak laki-laki jalan duluan, tapi na'asnya tidak pernah berhasil. Entah aku yang terlalu berani, atau mereka yang tidak punya perasaan sama sekali ketika menolak tawaran gadis bawel nan aneh sepertiku. Semoga Adam tidak seperti gebetan-gebetan ku terdahulu yang sok-sokan jual mahal.
Sehari kemudian, tepat pukul 9.00 pagi, entah ada angin dari mana yang biasanya saat akhir pekan aku bangun siang, aku malah sudah mandi dan rapih menggunakan baju bermotif bunga berwarna pink dan kuning.
Memoles wajah dengan bedak? Aku rasa aku butuh sedikit. Juga pelembab bibir agar bibir ku tidak terlihat kering akibat AC kamar asrama sepanjang waktu yang membuat kulit dan bibir kering.
Lalu rambut ikal sebahuku ini aku apakan ya?
Di kuncir? Sepertinya ide buruk.
Baiklah di gerai saja dan diberi jepitan untuk poni sepanjang 10cm-an ini. Tidak lupa kacamata oval berwarna hitam metalik yang sudah menemani ku sejak setahun terakhir. Kutempelkan ke kedua telinga lalu menempel indah di hidung setengah mancungku ini, dan, yap, Sempurna!
Waktu sudah menunjukkan pukul 9.50, tapi lagi-lagi ada yang mengetuk pintu. Haduh, itu pasti Adam! Baiklah tenang, Yureka, semua akan baik-baik saja.
Sekali lagi ku lihat diriku di cermin. Sudah rapih. Oke, pasti kencan ini akan berhasil.
Saat Diana, Arumi, dan Ghina masih tertidur pulas, ku tinggalkan pesan di kertas yang berbunyi “Doakan gue guys. Ada cowok ganteng dari negeri panda ngajak jalan-jalan. Cihuy!
Saat ku buka pintu, benar itu Adam! Saat melihatnya pagi itu, aku tambah meleleh dibuatnya. Berbeda dari pertama kali aku melihat dirinya saat upacara pembukaan dan penyambutan mahasiswa-mahasiswa program pertukaran pelajar tujuh hari lalu. Kala itu ia tampak lusuh dan belum mandi. Mungkin tidak sempat tidur karena sibuk menangani acara ini. Meskipun lusuh begitu pun aku sudah tertarik padanya apalagi saat ia memberikan kata-kata sambutannya. Kharismatik!
 Tapi Adam yang kulihat ini benar-benar beda. Ia menggunakan kaos Polo putih dan celana pendek biru donker juga mengalungkan kamera mahal layaknya fotografer profesional.
Jadi sebenarnya kita mau kencan kemana kalau ia bawa kamera?
Lagi-lagi imajinasi ku mulai muncul ke permukaan. Bukan, Yureka, kalian tidak akan foto pra-menikah. Bukan!
Good morning, Yureka. Feel better?” tanya Adam dengan ketampanannya.
Morning. Yeah, of course. Shall...?” tanyaku yang kemudian situasi romantis yang sudah diniatkan sebelumnya menjadi buyar karena kedatangan tamu tak diharapkan. Ya, seseorang menghampiri kami, entah dari mana datangnya.
Hi, you must be Yureka?”, gadis tinggi berwajah Arab datang menghampiri kami.
Hi, who are you by the way? Adam, you said that will be just two of us, right?” tanya ku heran seribu persen.
Really? Did I say that? Hmm, I don’t think so. Because.... So... well, this is Hamidah. She will be with us today. Because she is the responsible for city touring activity, and me as a chief of your team, and since you were not able to come to the city tour yesterday, so today, we all will take you to walking around the city. It’s like recover your city tour activity”, terang Adam yang membuatku terbangun dari imajinasiku akan momentum romantis.
And free of course!”, Hamidah menyambar bagai petir. Lucu sekali.
Hahahahahaha. Alright. Hmm. Yeah”, aku bahkan tidak punya alternatif jawaban.
Okay, shall we?”, Hamidah mengajak kami semua untuk segera meninggalkan asrama.
Okay”, bibir ku senyum tapi hatiku 180 derajat kebalikannya.

Sial, ternyata aku yang terlewat percaya diri. Lagipula memang iya juga kalau Adam tidak memberikan pernyataan apapun semalam apakah akan hanya kita berdua yang pergi atau tidak. Ternyata memang tidak. Untung ‘penyusup’nya berjenis kelamin perempuan, jadi bisa saja percakapan kami akan lumayan seru. Ya tahu sendiri kan kalau sesama perempuan bisa jadi tidak secanggung yang dibayangkan.
Sepanjang hari itu kami menjelajahi pulau Penang. Senang sekali karena meskipun aku seorang diri yang tidak ikut acara jalan-jalan kemarin, tapi sehari setelahnya aku mendapat layanan premium dan menjadi tamu istimewa. Mobil yang disediakan pun berbeda dengan yang mengantar teman-temanku kemarin. Mereka pakai bus, sedangkan aku dapat mobil jenis SUV.
Sepanjang jalan, aku, Adam, dan Hamidah ngobrol banyak. Mulai dari kegiatan kami masing-masing di kampus, bagaimana rasanya menjadi anak Komunikasi, dan juga apa tujuan ku setelah lulus dari sekolah Strata 1 ini. Kami juga membahas soal hobi kami masing-masing. Hamidah yang terlihat sangat perempuan, ternyata suka musik rock and metal. Tipe prianya juga dari kalangan militer. Pula warna kesukaannya yang hijau army dan hitam. Aku semakin sadar mengapa kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja. Ya, contohnya seperti itu.
Beda dengan Adam. Ternyata ada banyak persamaan antara aku dan Adam. Kami sama-sama suka makan olahan mie. Ya, mungkin karena dia keturunan Tionghoa jadi dia sangat terbiasa makan mie. Terlebih dia kan sering ke Hong Kong, pasti tidak asing di mata dan telinganya soal aneka mie. Beda denganku yang suka mie karena sejak aku SD, gerobak mie ayam milik Pak Onar selalu lewat setiap hari bahkan mangkal di pos satpam dekat rumahku. Aneh memang, tapi apapun yang sudah terbiasa dan tidak asing sejak kecil pasti hanya ada dua pilihan; bosan atau malah ketagihan.
Tidak hanya mie saja, ternyata ada persamaan lainnya yang kutemukan pada diriku dan Adam bahwa kami sama-sama suka musik klasik! Aku jarang sekali menemukan pria yang suka mendengarkan musik klasik. Ketika ia menyebutkan komposer besar macam Frédéric Chopin, aku sontak teriak dan mengatakan “You know him too?! No way!”. Dan ya, ia memang tahu dan sangat familiar dengan karya-karya Chopin. Menurutnya memang siapa yang tidak kenal Chopin, karya-karya Chopin selalu melekat di telinga penikmat musik, khususnya musik klasik. Seketika suasana semakin hangat karena akhirnya aku dan Adam tidak begitu dingin lagi ketika aku tahu ia suka hal-hal yang sama seperti denganku. Mungkin kala itu dalam hati Hamidah bergumam kalau ia merasa seperti obat nyamuk di antara nyamuk-nyamuk yang kasmaran.
Semakin sore, perbincangan semakin seru. Pada akhirnya aku juga menjadi banyak berdiskusi dengan Hamidah karena ternyata ia penyuka film sepertiku. Nah, kalau yang satu ini Adam bungkam. Sepertinya dari gelagatnya, ia tidak suka menonton film.
Hari berlalu dengan cepat dan sudah mulai gelap, seharian sudah kami bertiga jalan-jalan di kota George Town dan saatnya kembali ke asrama. Aku sangat berterima kasih dengan Adam dan Hamidah yang sudah menemani ku jalan-jalan seharian penuh itu. Meskipun ekspektasiku jalan berdua dengan Adam dibantai habis dengan kenyataan bahwa Hamidah juga ikut, tapi aku tetap bersyukur akhirnya aku menemukan teman baru di Malaysia. Lebih-lebih, aku jadi tahu sisi lain dari seorang Adam yang tampan dan rupawan itu.
Saat berpisah, Hamidah harus segera meninggalkan aku berdua dengan Adam di lobi asrama karena ia keburu sakit perut dan harus ke kamar mandi secepat mungkin. Ku kira kami akan berpisah di lobi, ternyata Adam mengantarkanku sampai depan pintu kamarku yang berada di lantai 2. Benar-benar pacar idaman. Hmm, maksud ku pemimpin idaman. Ia bertanggung jawab atas semua peserta program pertukaran ini agar semuanya dalam keadaan yang sebaik-baiknya.
Setibanya kami di depan pintu, aku yang buru-buru bilang “Good night and thank you for today”, Adam justru mengatakan “Are you free in tomorrow’s evening? Around 7pm?
Habislah aku, ia mengatakan itu lagi? Mirip-mirip dengan tawarannya kemarin malam.
Jadi ini sebenarnya ada apa? Aku dikerjai atau bagaimana?
Jangan berekspektasi macam-macam dulu, Yureka. Tarik napas, dan pikirkan hal-hal nyata yang bisa saja terjadi.
((BERSAMBUNG))


                                                                                 ↺↺


Episode 2 : “Terima Kasih Tong Sui

Yureka. Nostalgia. Masa Depan.
Stasiun tujuanku sudah tiba. Aku harus segera turun dari kereta ini atau aku akan terbawa sampai ujung New York. Aku saja masih suka nyasar kalau mau ke Central Park, bagaimana kalau sampai ke Long Island? Aku takut.
Setelah turun dari kereta, aku masih harus jalan kaki sekitar 10 menit menuju apartemen Kak Anna. Sepanjang perjalanan pun, aku masih terbawa arus nostalgia tentang Adam, pria Tionghoa dari negeri Jiran itu.
Jadi sampai mana aku tadi cerita? Oh ya, jadi setelah lelah seharian jalan-jalan kota George Town, Adam mengantarkanku sampai ke depan kamarku di lantai dua.
“Thank you for today, Adam. It was really amazing day. Good night”, kata-kata penutup untuk hari yang melelahkan tapi menyenangkan, ditambahkan menyebalkan karena ada Hamidah yang merusak ekspektasiku.
Yureka...” sambung Adam
Yes? What’s happen?” tanyaku penasaran.
Are you free tomorrow night at 7? Adam melemparkan pertanyaan yang secepat kilat membuatku merasa percaya diri, kembali.
Astaga. Jangan-jangan dia berniat mengatakan hal-hal yang mirip seperti yang ia katakan saat membuatku terbang melayang penuh percaya diri seperti kemarin malam itu? Kalau kemarin ia mengundangku untuk jalan-jalan kota yang bahkan aku terlalu bodoh untuk bilang “Hanya kita berdua”, lalu bagaimana dengan yang ini?
Hmm, I have no clues. What’s wrong?, aku berusaha tenang dan tidak terlalu pe-de.
Would you mind to buy some dessert nearby with me? Just two of us.
Akhirnya jawaban yang kuharapkan keluar dari bibirnya.
Jreng jreeeeengg. Apa? Hanya berdua? Tunggu dulu, aku harus konfirmasi ulang ini.
Two of us? Seriously? Ya aku harus konfirmasi agar tidak ada kejadian na'as yang kedua kalinya.
Yeah. Why not, right? What do you think? jawabnya sambil menundukkan kepalanya lalu mengangkat lagi dan menatap mataku.
Yeah, I would like to. If it’s...really...just two of us”.
Bodoh lagi kau, Yureka. Itu terlalu jujur!
Okay. Good. See you tomorrow. Good night, balasnya dengan santai sambil melambaikan tangannya yang cukup putih itu ke arahku.
Good night”, jawabku sambil melambaikan tanganku yang tak seberapa indahnya ini.
Kemudian aku masuk kamar dan menutup kamar dengan perlahan sambil mengucap syukur di balik pintu. Oh Tuhan, ini mirip seperti film-film drama yang sering ku tonton di bioskop dan di DVD itu. Ternyata hal-hal romantis itu belum punah di dunia ini. Terima kasih, Tuhan!
“Alhamdulillah...” ucapku sambil menghela napas.
“Kenapa lu, Yur?” tanya Ghina kebingungan sambil mengeringkan rambutnya menggunakan hairdryer pink kesukaannya.
“Iyaa nih, pulang-pulang aneh gitu. Lu beneran kencan ama orang? Siapa sih? Penasaran gue”, samber Diana yang sedang membaca booklet hasil ‘jarahan’ keliling museum kemarin siang.
“Jalan-jalan romantis. Nggak deng bukan. Jadi gue kan nggak ikut kalian tuh kemaren, dan hari ini panitianya nge-cover jalan-jalan buat gue. Asyik deh, gue berasa jadi tamu premium gitu. Naik mobil SUV keluaran terbaru, private air-conditioner, dan bersama orang ganteng, jelasku sambil tersenyum-senyum sumringah.
Dari penjelasanku itu, aku bisa melihat wajah-wajah kebingungan Diana dan Ghina mencuat. Tidak dengan Arumi yang datar saja. Ia bahkan tidak bergeming saat keluar dari kamar mandi dan melihatku baru pulang setelah seharian tidak di kamar. Cuek sekali, bukan? Padahal Arumi adalah paling cantik dan paling alim di antara aku, Diana, dan Ghina. Tapi sifat tidak pedulinya yang tinggi membuat dia terlihat biasa saja. Manusia memang tidak sempurna.
Hari Minggu kali itu ditutup dengan cerita-ceritaku tentang jalan-jalanku keliling George Town seharian penuh. Intinya, menyenangkan sekali kenal dua orang hebat seperti Adam dan Hamidah. Dan aku paham betul bahwa diriku sudah termakan pesona Adam yang sudah ada di level internasional itu, maka tidak heran kalau aku menjadi penggemar rahasia Adam sejak awal berada di KDU Penang University College. Terlebih sejak aku tahu kalau Adam suka makan mie dan mendengarkan musik klasik, aku tambah terbawa perasaan. Aku benar-benar suka padanya. Tapi untuk hal ini, aku tidak akan ceritakan pada teman-temanku. Sangat riskan.
Keesokan harinya, aktivitas kami di kampus KDU Penang University College sebagai peserta program pertukaran pelajar berlangsung lancar. Jadwal kami untuk minggu kedua adalah observasi langsung ke laboratorium komunikasi kampus KDU Penang, seperti studio siaran radio dan studio film yang menjadi tempat mahasiswa-mahasiswi jurusan Mass Communication belajar sehari-harinya.
Hingga malam tiba, suasana hatiku makin senang namun makin tegang. Ya, malam ini aku ada janji dengan Adam seperti yang ia tawarkan kemarin.
Apakah akan terjadi sesuatu yang menyenangkan? Atau Hamidah akan ikut kami lagi? Entahlah, tapi aku berharap yang terbaik.
Tepat pukul 18.55, aku izin kepada Diana dan Arumi untuk pergi keluar. Ghina kemana ya? Oh ya, dia juga ada janji dengan salah satu panitia acara untuk menenaminya membeli kartu memori kameranya yang katanya rusak karena penyebab yang belum bisa dipastikan. Ah, paling Ghina juga sekalian kencan. Karena yang ku tahu panitia yang mengantarkannya belanja kartu memori itu laki-laki. Kalau tidak salah namanya Ghibran. Rupanya ada dua pemudi Indonesia jatuh cinta pada dua pemuda Malaysia yang berbeda. Ya, siapa tahu kalau kami masing-masing jadian, tidak ada lagi pertikaian antara dua negara Asia Tenggara ini.
Ketika akan turun ke lobi, ternyata Adam juga sedang naik tangga menuju kamarku. Duh, jodoh bukan sih kalau papasan di tangga seperti itu? Apapun itu semoga kencanku kali ini berhasil. Kala itu Adam mengenakan celana pendek putih dan sweater hitam yang aku tidak tahu tulisan apa yang disablon di atasnya. Mungkin logo KDU Penang University College. Hmm, sepertinya memang iya.
Setelah papasan, dan saling menyapa basa-basi busuk, kami berdua jalan keluar asrama. Kupikir kita berdua akan naik mobil SUV lagi, ternyata tidak. Kami berjalan kaki. Tidak apa, jalan kaki bersama cowok ganteng buatan Malaysia juga sudah lebih dari cukup bagiku.
Kala itu Adam bilang kalau ia mau mengajakku makan makanan khas Hong Kong yang terletak di beberapa blok dekat kampus KDU. Sepanjang jalan, kami membahas banyak hal. Ya, lagi-lagi kami membahas topik musik klasik yang aku rasa tidak akan ada habisnya. Ternyata Adam ini termasuk penggemar musik klasik yang rajin pergi ke konser musik orkestra, baik di Malaysia, Hong Kong, Indonesia, bahkan ia pernah pergi langsung ke kiblatnya di Italia. Tidak heran, dia kan memang anak orang kaya. Harga tiket konser orkestra bagi dia pasti seperti membeli sebungkus kacang koro di supermarket. Tidak denganku yang selama ini suka musik klasik hanya bermodalkan streaming Youtube saja. Strata kelas berbicara.
Kemudian sampailah kami di kedai mie, seperti kesukaan kami berdua. Kami masih berbincang banyak soal musik klasik. Tapi selain itu, kami berdua juga membahas hal lain seperti bagaimana pengalaman menjadi mahasiswa jurusan Komunikasi. Adam juga bertanya padaku mengapa aku masuk ke jurusan itu. Sambil menyantap semangkuk mie, aku menjelaskan bahwa aku memang sudah tertarik di bidang Komunikasi sejak aku SD. Aku suka menulis, aku suka membuat video-video sederhana, aku sendiri juga anaknya sangat bawel dan cerewet. Secara halusnya, aku gemar berbicara di depan banyak orang tanpa malu-malu. Karena kelebihan yang menurutku kekurangan itu, membuat aku sering dijadikan sebagai moderator dalam seminar-seminar yang diadakan di kampus ku, Universitas Paramadina.
Setelah mangkuk mie kami habis, kami masih membahas soal pengalaman masing-masing di jurusan Komunikasi. Tapi sebelum meneruskannya, Adam menyarankan agar kami melanjutkan cerita di kedai sup puding dingin khas Hong Kong yang tak jauh dari kedai mie tersebut.
Setelah berjalan sekitar 5 menit, kami sampai di salah satu kedai makanan khas Hong Kong, menu spesialnya bernama Tong Sui. Tak berapa lama kami memesan, dua porsi Tong Sui pun mendarat dengan indah di atas meja kami. Kami pun meneruskan cerita kami. Saat itu giliran Adam yang bercerita. Ia bilang kalau masuk di jurusan Komunikasi Massa memang bukan salah satu keinginannya. Alasannya sederhana, sebenarnya Adam ini orangnya pemalu. Saat SMA dulu, ia tidak percaya diri apabila diminta maju ke depan kelas oleh gurunya. Lebih sederhananya, kalau Ibu dan Ayahnya menyuruhnya berpergian sendiri. Terlebih sesaat sebelum kuliah, ia harus hidup sendiri di George Town, Penang, sedangkan adik dan orang tuanya lebih sering berada di Hong Kong. Sejak itulah ia memberanikan diri untuk masuk ke jurusan Komunikasi agar ia bisa tampil lebih percaya diri serta bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang baru yang ia temui.
Di sela-sela ia bercerita, ia sempat mengambil gambar diriku yang sedang menyuap Tong Sui dengan kamera canggihnya yang ia kalungkan itu. Rasanya kencan ini benar-benar berhasil. Sesuai ekspektasiku. Malah melebihi ekspektasiku! Ya, aku tahu agaknya ini berlebihan, kampungan, tapi tidak bisa dibohongi kalau aku memang benar-benar senang berada di dekat Adam. Terlebih aku kan tidak pernah pacaran, jadi wajar kalau aku bahagia 100 kali lipat berkat semua ini.
Malam itu ditutup dengan ucapan selamat malam dan selama tidur dari Adam. Sesampainya di atas kasur empuk asrama pun, Adam masih mengirim pesan di WhatsApp kepadaku yang membuat aku tambah percaya diri kalau ini bukan sekadar jalan-jalan malam saja, ada potensi lain yang bisa terjadi.
Keesokannya, dua hari setelahnya, hingga tiba pekan terakhir program pertukaran pelajar, aku dan Adam masih saling menyapa, bercerita, berdiskusi, dan juga mengirim pesan WhatsApp. Oh ya, kami juga sempat jalan-jalan ke George Town bersama. Ya, meskipun kala itu ramai-ramai berlima belas orang kesana untuk sesi jalan-jalan kota yang terakhir sebelum program berakhir. Rasanya ini benar-benar di luar dugaanku. Ku pikir aku tidak akan pernah bisa kencan dengan pria setampan dan sekeren Adam. Dan kalau boleh aku pe-de, dari gelagatnya selama empat minggu ini, aku rasa ia punya perasaan yang sama denganku. Semoga benar begitu, Ya Tuhan.
Setelah program usai, aku, Ghina, Diana, Arumi, dan Tommy harus kembali ke tanah air. Sesaat sebelum ke bandara, kami berlima dan semua panitia dan peserta Student Exchange berfoto bersama. Semua foto pun di unggah ke masing-masing media sosial, termasuk ke Instagram. Untungnya aku dan Adam sudah saling follow di Instagram jadi tidak heran kalau kemudian ia memberi tag nama akunku ke foto yang ia unggah. Dan dengan begitu meskipun kami akan saling berjauhan, kami akan tetap merasa dekat melalui media sosial yang kami saling ikuti di dunia virtual itu.
Sepanjang perjalanan udara, aku terus memikirkan Adam. Padahal niat hati tidak ingin demikian. Tapi entah mengapa, isi otakku penuh dengan wajah dan perawakannya yang memang tidak bisa dilupakan itu. Aku berharap, tidak hanya Malaysia saja yang menjadi saksi sebuah rasa yang lebih dari sekadar peserta-panitia itu. Aku juga berharap Indonesia juga bisa menjadi saksi sebuah hal yang bisa lebih luar biasa daripada ini.
Satu hari, dua hari, tiga hari, hingga satu minggu pasca kepulanganku dari Penang, aku sama sekali tidak melihat tanda-tanda Adam menghubungiku. Tiap pagi, tiap makan siang, hingga akan tidur pun, aku selalu rajin mengecek notifikasi di smartphone-ku apakah ada WhatsApp dari Adam atau tidak. Ya, nihil. Chat terakhir yang Adam kirim hanya berbunyi “Safe flight and say hi to Indonesia. Really want to back there just watch Jakarta Phillaharmonic Concert or just buy some cheap jacket in Tanah Abang”. Setelah itu, tidak ada lagi pesan masuk darinya. Tiap malam pun aku sibuk bolak-balik membuka akun Instagramnya untuk sekadar “kepo” akunnya. Kepo atau kangen, Yureka?
Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, hingga satu bulan benar-benar tidak ada kabar. Baiklah, seperti biasa, seorang Yureka tidak suka didiamkan seperti ini. Dengan cepat dan tanggap, aku menyiapkan keberanian untuk mengirim pesan WhatsApp ke Adam. Basa-basi apa saja yang penting aku tahu bahwa Adam belum punah. Dan lagi-lagi aku yang harus mulai duluan. Apa aku salah? Tidak, kan? Memang ada peraturannya kalau wanita tidak boleh mulai duluan? Kalau pun ada, aku akan mengajukan keberatanku yang teramat sangat. Ini kan sudah zaman milenial, wanita dengan pria sudah disamaratakan. Terima kasih, Ibu Kartini!
Pesanku kepadanya itu berbunyi “I heard that there will be an orchestra concert in Gedung Kesenian Jakarta two weeks from now. I wonder if you will watch that or not...
Satu menit, dua menit, hingga satu jam, tidak ada balasan. Ya, sudah lah, dari dulu memang selalu begitu, aku ini pecundang di tengah kalangan pemuda-pemudi yang menjunjung tinggi keromantisan dan menghalalkan segara cara untuk pamer foto berdua di media sosial. Aku memang payah.
Tapi bukan Yureka namanya kalau menyerah. Ya, aku memutuskan untuk tidak menyerah. Aku kirim lagi pesan kepada Adam dengan berbunyi “I went a Mall in Central Jakarta and drank Teh Tarik. Somehow it recalled me the same Teh Tarik when the last trip in George Town together with KDU’s students. Really want to come back there”.
Lagi dan lagi, satu jam, dua jam, hingga keesokan harinya Adam tidak membalas juga. Padahal sesekali kalau ku tengok ke profilnya, ia sedang online. Berarti kan dia masih hidup dan masih punya WhatsApp. Orang ini memang aneh. Baiklah aku putuskan untuk melupakan semua itu sejenak. Mungkin ada hikmahnya karena aku harus fokus ke Ujian Akhir Semester yang akan datang beberapa minggu lagi.
Hingga keesokan harinya Adam membalas:
Hi, Yureka. Apologize to the late reply of your messages. Been busy with campus life. Well, thank you for the information. But I can’t go anywhere out of Penang until next month even I really wanted to. Teh Tarik? Yeah, I bet you’re addicted on it. Here come back to Penang and we can enjoy another part of Malaysia if you want
AKHIRNYA ADAM MEMBALAS WHATSAPP KU!
Sebuah keajaiban!
Untuk menanggapi balasan tersebut, sebenarnya ingin sekali rasanya ku balas dengan: “Kau pikir terbang ke Malaysia hanya cukup dengan 5000 perak? Mengada-ngada saja. Uang jajan saja aku masih minta Ayah dan Ibu”.
Kemudian pesan itu ku balas dengan “Oh so sorry if I’m bothering you now. Hope everything okay there. Stay healthy and keep hydrate. I’d loved to come back to Malaysia, but I should focused on my final exam, it will in several weeks. Wish me luck!
Stay healthy and keep hydrate”? Sudah seperti pacar saja mengingatkannya untuk tetap menjaga kondisi badan dan minum air putih yang banyak. Imajinasiku mulai berkembang lagi. Tapi ya sudah lah, kami kan memang teman baik, tidak ada salahnya saling mengingatkan, bukan?
Kami pun kemudian asyik berbalas WhatsApp. Ternyata Adam yang lebih dari sebulan tidak ada kabar itu sedang sibuk mengerjakan tugas-tugas juga ketertinggalannya di kampus akibat menjadi penanggung jawab tim kampusku saat kami exchange kala itu. Pula sedang menyiapkan diri untuk pergi ke London, Inggris dalam 3 bulan mendatang. Katanya akan ada pertemuan keluarga disana. Ya, dia memang punya beberapa anggota keluarga di London. Ia bahkan berencana untuk ambil S2 di Inggris setelah lulus nanti. Sudah pintar, kaya raya, ganteng, apa lagi? Ia punya semua. Hanya saja satu hal yang benar-benar tampak tak sempurna, membalas pesan saja lamanya minta ampun. Bagaimana kalau dia punya pacar? Pasti pacarnya tidak tahan karena lamanya ia membalas pesan. Untung aku belum jadi pacarnya. Eh tapi kalau jadi juga tidak apa. Duh Yureka, jangan mulai dengan imajinasi konyolmu itu.
Selama berbalas pesan itu, Adam juga memberi tahuku kalau lebaran tahun depan dia akan ke Jakarta untuk bersilahturahmi dengan sanak saudara juga rekan kerja Ayahnya di Jakarta. Dalam hati aku bertanya: “Jadi sebenarnya ada berapa jumlah saudaranya hingga di semua negara ia punya saudara? Di Malaysia, ia memang orang sana. Di Hong Kong, ada. Di Inggris juga katanya ada. Sekarang di Indonesia. Ayo sebutkan dimana lagi?
Dengan sigap aku balas pernyataannya dengan: “Really? Come and visit my house. Which part of Jakarta is your family?
Ia membalas: “South Jakarta. Hmm, I think it’s Pakubuwono or something
Pakubowono? Yang banyak rumah gedong itu? Ah kecil. Aku tinggal di Cinere. Jangankan Pakubowono, aku berenang lewat kali Ciliwung sampai Ancol pun kalau untuk Adam juga aku sanggup.
Lalu Adam membalas lagi dengan pernyataan: “I will try later. I’ll let you know soon.
Asyik. Kalau saja ia jadi datang ke Jakarta, rasa rinduku pada lelaki tampan ini akan segera berakhir.
Eh tapi jangan senang dulu. Tenang, Yureka. Jangan terlalu terbawa perasaan. Tenangkan pikiran dan emosimu. Berdoa pada Tuhan agar Adam jadi ke Jakarta dan benar-benar bisa menemuimu.

💙💙💙

Beberapa bulan kemudian, hari yang dinanti tiba. Hari Lebaran Idul Fitri datang. Aku bersyukur aku masih bisa merasakan lebaran dengan berkumpul keluarga. Aku juga bersyukur, bahwa Adam jadi datang ke Jakarta! Dia bahkan sudah mengkonfirmasi sejak 1 minggu lalu dengan mengirim WhatsApp: “Hey, I got 2 days free in Jakarta which is not planned before. Let’s meeting in somewhere.
Oh Tuhan, rasanya senang betul aku hari itu. Rasanya seperti memenangkan undian hadiah mobil dari Bank ternama. Semoga kali ini berhasil karena aku sudah mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu pada Adam. Ya, aku akan menyatakan perasaanku padanya. Tidak peduli lagi, aku sudah tidak sanggup dengan semua itu. Hidup di bawah bayang-bayang wajah tampannya, pula semakin hari imajinasiku semakin konyol yang membayangkan tentang diriku dan Adam menjadi sepasang kekasih.
Dua hari kemudian, pertemuan yang sudah direncakan tiba. Kami janjian bertemu di salah satu restoran masakan Italia di daerah Kemang. Kala itu aku menggunakan blouse berwarna merah, jeans panjang hitam, dan flatshoes berwarna peach. Rambut ikal yang ku banggakan pun juga digerai. Baiklah semua sudah siap. Aku sudah tidak sabar bertemu Adam sang pujaan hati.
Saat itu aku sudah ada di restoran sejak pukul 12.45, sedangkan waktu janjian kami adalah pukul 13.00. Tidak apa kan kalau aku datang lebih awal? Hitung-hitung latihan berbicara dengan Adam tentang hal yang akan aku ungkapkan.
Tepat pukul 13.02, Adam menunjukkan batang hidungnya. Aku yang kala itu duduk di pojok ruangan, bisa melihat kedatangannya. Ia mengenakan kaos berkerah garis-garis hitam-biru-putih, juga celana jeans panjang berwarna biru dongker, dan menenteng tas belanja bertuliskan “Hermes”.
Tunggu dulu, siapa itu yang ada di belakang Adam?
Setelah Adam masuk lewat pintu restoran, ada sosok wanita tinggi rupawan mengenakan short dress merah selutut berlengan panjang dan sepatu lari berwarna putih yang ada logo berbentuk ceklisnya, yang membuatnya tampak sangat stylist. Pula menenteng tas tangan bermerk “Coach”. Jika dibandingkan denganku, AKU BUKANLAH SIAPA-SIAPA.
Tapi siapa yaa dia?
Adam menghampiriku dan menyapaku,
Yureka! Long time no see!, sapa Adam nyaris membuat seluruh mata pengunjung tertuju pada kami.
Hey, How are you?, balasku senang namun penasaran dengan si wanita tersebut.
I’m great. How are you? tanya Adam yang tersenyum penuh gembira. Entah gembira bertemu diriku atau gembira karena membawa wanita itu.
Good. Perfect, jawabku datar.
Well, this is Tiara. Meet my friend, honey, this is Yureka. She is Indonesian like you. We met in my campus when she was a student exchange. Like I told you before, jelas Adam sambil menyuruh si wanita berbaju merah untuk berjabat tangan denganku.
Tunggu, “Honey”? Tidak salah dengar kah aku barusan?
“Hai. Aku Tiara”, jawab si gadis berbaju merah yang ternyata bernama Tiara itu.
She is my girlfriend, ucap Adam yang bahkan aku masih ingat jelas kata-kata itu sampai kiamat datang.
Oh come on. It’s recent, jawab Tiara tersipu malu.
Oh wow. Nice to meet you, Tiara. Eh iya kita sama-sama orang Indonesia ya. Silahkan duduk”, Aku mempersilahkan mereka duduk dihadapanku. Ya, di hadapanku.
Ada apa ini, Ya Tuhan? Terakhir kali saat aku dan Adam akan jalan, ada Hamidah, sekarang ada Tiara. Lebih baik lah ketika ku tahu Hamidah hanya penanggungjawab sesi jalan-jalan. Tidak dengan Tiara. Rasanya seperti mimpi buruk ketika mengetahui bahwa Tiara adalah pacar Adam. Mungkin, ini penyebab ia tidak pernah mengubungiku lagi karena dia sudah ada yang punya. Benar-benar menyedihkan.
Setelah melihat semua kondisi canggung itu, ditambah rasa sedih dalam hati yang tentunya aku tutupi, aku bertanya-tanya akan sesuatu.
Jadi, apa maksudnya waktu itu ia mengajakku kencan makan Tong Sui malam-malam?
Lalu mengapa ia mengajakku ngobrol lebih intensif saat di kampus KDU kala itu?
Mengapa pula dia masih terus membalas WhatsApp ku saat masih berada di asrama dulu?
Rasanya memang seperti tersambar petir atau terkena duri pohon nanas. Sakit sekali. Tapi aku mencoba untuk tenang dan tidak terlihat gelisah atau sebagainya. Ya, aku sudah terbiasa dengan hal semacam ini. Yureka kuat! Yureka hebat!
Lalu kemudian kami bertiga pesan satu loyang Pizza dan tiga porsi Spagetti Carbonara. Kami berbincang banyak hal kala itu. Ada banyak hal juga yang ku tahu dari Tiara saat kami ngobrol. Ternyata Tiara itu anak dari rekan kerja Ayahnya Adam yang ia maksud di Whatsapp sebelumnya. Tiara juga menambahkan bahwa mereka baru saja jadian minggu lalu sesaat setelah sholat Ied karena Adam memang menghabiskan lebarannya tahun ini di Jakarta. Aku malah baru tahu kalau Adam ini seorang Muslim yang kupikir beragama Konghucu atau Buddha. Ya, itu karena wajah oriental yang ia punya, maka aku berpikir kalau dia mungkin saja bukan seorang Muslim. Juga saat di Penang, aku tidak pernah melihatnya pergi ke Mushola atau Masjid. Ya, memang ibadah kan bukan hal yang harus dipamerkan. Tapi setidaknya kan ada tanda-tandanya. Lagipula, yang membuatku berpikir demikian karena nama belakangnya yang “Wang” itu. Setelah ku korek informasi darinya, ternyata ayahnya, Andy Wang, adalah seorang pria Malaysia keturunan Tionghoa yang menjadi mualaf ketika menikah dengan ibunya, Siti Zubaidah, wanita asli keturunan Melayu Malaysia.
Kalau Tiara, ia ternyata seorang model berkewarganegaraan Indonesia tapi memiliki darah Inggris-Malaysia dari ayahnya, sedangkan ibunya asli orang Bandung. Ia lahir dan menghabiskan masa kecilnya di Kuala Lumpur, Malaysia. Namun sejak SMP ia harus pindah ke Indonesia karena orang tuanya bercerai dan ia ikut ibunya dan tinggal di Jakarta. Tapi kemudian di usia 16 tahun, ia memutuskan untuk ambil sekolah modeling di London dan setelah lulus ia mendapat tawaran pekerjaan modeling di Malaysia juga Indonesia. Jadi, saat ini Tiara masih bolak-balik Kuala Lumpur dan Jakarta.
Lalu dari mana Adam bisa kenal dan berpacaran dengan Tiara?
Jadi, ternyata keluarga Adam dan Tiara sudah kenal lama karena orang tua mereka adalah rekan bisnis yang sudah seperti sanak saudara sendiri. Mereka sebenarnya sudah lama kenal, namun Tiara sejak dulu sudah mengagumi Adam. Tiara pun berkata kalau ia yang mulai duluan untuk menyapa dan mengajak Adam jalan. Tuh kan benar, siapa bilang hanya aku satu-satunya wanita yang mulai duluan? Tiara juga demikian. Ya, bedanya mereka memang sudah lama kenal. Sedangkan aku kenal Adam saja baru-baru ini, itu pun kenal hanya di kampus tempat ia kuliah saja. Tidak sama kelasnya dengan cara Adam dan Tiara bertemu. Pertemuan mereka jelas lebih elegan.
Kami masih asyik mengobrol sampai makanan-makanan yang kami pesan habis. Waktu pun menunjukkan pukul 17.15 WIB. Saatnya pulang ke rumah masing-masing. Saatnya pula kami berpisah. Aku tahu aku patah hati, tapi aku tahu ini adalah jalan yang terbaik. Aku berharap mereka bahagia. Lalu bagaimana dengan rencanaku menyatakan perasaan pada Adam? Aku rasa aku harus tetap mengatakannya. Karena kalau dibiarkan, aku semakin gelisah. Ya, setidaknya dengan ‘nembak’ Adam, aku menjadi lebih lega. Beban hidupku berkurang satu. Tapi nanti, tunggu sampai rasa tak karuan ini mereda.
Sampai rumah, aku masih terdiam di kamar. Perasaanku campur aduk. Senang, sedih, kesal, marah, semuanya. Aku senang karena akhirnya aku berjumpa lagi dengan Adam. Aku sedih karena ternyata Adam sudah punya pacar. Aku kesal terhadap diriku sendiri yang selalu berimajinasi konyol tentang aku dan Adam. Aku juga marah karena mengapa tidak dari awal Adam mengatakannya pada ku kalau ia sudah lama punya kenalan model sekeren Tiara.
Malamnya, aku mengirim pesan WhatsApp ke Adam. Kali ini benar-benar akan ku katakan pada Adam tentang apa yang kurasakan padanya selama ini. Tidak peduli dia akan membenciku atau lain sebagainya.
Saat ku ketik di layar smartphone dengan kata-kata: “Thank you for today. Greet to Tiara. Greatest day ever
Tidak lama ia membalas: “My pleasure to meet you again. Really can’t believe that we still meet each other. And I will say it to Tiara. She said you are such an awesome girl.
Ketika membaca kata-kata itu dalam hati aku merespon: “Yeah, she is such a bi*** and you’re such an as*****!”.
Setelah emosi mereda, aku langsung mengetik apa yang akan aku ingin katakan pada Adam.
Aku mengetik: “Adam, there’s something I want to tell you about. I know this must be ashame for me and maybe for you. That is about my feeling for you. Since we met in Penang, I think there is something different between us. I thought that we have same feeling. But clearly, it’s not. Only my side. So sorry to say this, but I’m into you since we had Tong Sui that night. Please don’t tell this to your GF. I don’t want to make her feel hurt. I just want to say this, just want to tell about what I am feeling for you. Thank you for the noodles, thank you for the Tong Sui. Thank you for everything.
Lega rasanya menulis semua isi hatiku pada Adam seperti itu. Aku bahkan tidak berharap jawaban apapun dari Adam. Hanya dibaca pun juga tidak apa-apa karena aku hanya ingin mengungkapkannya saja tanpa bertanya sedikit pun tentang apa yang ia rasakan padaku.
Tapi, tak berapa lama setelah pesan tersebut terkirim, ku lihat tanda “typingmuncul di kolom profile nya.
Adam akan membalasnya?
Apa yang akan ia katakan?
((BERSAMBUNG))


                                                                                ↺↺


Episode 3 : “Ternyata Kita Pernah Bertemu Sebelumnya

Yureka. Apartemen Kak Anna. Masa Depan.
Sudah sampai apartemen Kak Anna. Tapi ternyata aku membutuhkan waktu 15 menit dari stasiun ke apartemen Kak Anna, 5 menit lebih lama dari biasanya. Mungkin karena sedang bernostalgia, apalagi nostalgia hal-hal yang menyedihkan, maka langkah kakiku tak sengaja melamban.
Sampai di apartemen Kak Anna, ternyata teman-teman sudah berkumpul. Ternyata aku yang paling lambat diantara mereka. Memangnya ini sudah jam berapa? Astaga ternyata sudah pukul 18.25, aku terlambat 25 menit dari jadwal rapat yang ditentukan. Tapi firasatku berkata kalau perhitungan waktuku sudah pas. Ya, aku tahu aku meninggalkan apartemen sekitar pukul 17.35, kalau dihitung-hitung seharusnya cukup, atau kalau memang terlambat ya hanya 5 sampai 10 menit saja. Apa karena ini semua karena nostalgia tentang Adam? Kalau ya, sial sekali. Padahal kan langkah kakiku hanya diperlambat sedikit, ternyata berdampak pada aspek lainnya. Sudah lah yang penting aku sampai di apartemen Kak Anna dengan selamat dan sentausa.
“Hai semua! Sorry telat”, sapaku pada Kak Anna, Farida, Fikri, Dhimas, Gilang, Chandra, dan Eugene.
“Lu tumben paling terakhir, biasanya kalo ngumpul paling cepet”, jawab Chandra yang sedang sibuk membuka laptop bersama Fikri, Gilang, dan Dhimas.
“Ada something lah”, jawabku sambil melepas sepatu kets ku yang kemudian kuletakkan di belakang pintu. Sekadar informasi, sebagai orang Indonesia, terutama ketika bertamu di rumah orang Indonesia di New York, kebiasaan melepas sepatu masih kami pertahankan. Dulu, kini, hingga nanti.
“Udah telat, meeting yang kemaren nggak dateng. Aneh lu”, cetus Kak Anna yang sambil menatap ke layar MacPro-nya. Kak Anna memang begitu orangnya, jutek tapi penyayang.
Balasku hanya, “Yaudah sih, maaf. Nggak usah dihakimi gitu dong guenya. Eh bentar gue mau pipis dulu”.
Di kamar mandi, setelah buang air kecil, aku melihat diriku di cermin. Aku masih dalam suasana biru karena nostalgia soal Adam. Jadi belum selesai kah aku bercerita bagaimana respon dari Adam?
Ya, jadi begini, setelah mengirim pesan ‘tembak’ untuk Adam, aku melihat kata “typing…” muncul di atas bar profilnya. Ia pasti akan menulis sesuatu. Semoga bukan hal yang tidak aku inginkan.
Ternyata balasannya: “Wow, that’s pretty good actually. And you’re kind of brave person. I appreciate that. But, I am so sorry for this. I can’t go out more with you unless with my Tiara now. I know it might be because our nighttime back then. The Tong Sui, the noodles, George Town, anything. Perhaps, made you crazy and falling in love with me. I appreciate that though. There is one thing I want to tell you too actually. Why we did do that, why I asked you that night…
Membaca balasannya, rasanya aku ingin meneguk obat anti kecoa cair saja. Eh tapi tunggu, ia ingin mengatakan sesuatu. Sebuah petunjuk mengapa dirinya saat itu mengajakku jalan malam-malam. Ia menambahkan : “Honestly, your face, your gesture, looks like so much with Tiara, if you notice that. For the first time I met you, you really remind me with her. I know that’s too bad but I couldn’t help with that…
Ya, yang ku ingat bentuk wajahku dengan Tiara hampir sama, sama-sama lonjong dengan dagu lancip. Ditambah bentuk rambut kami yang sejenis, bergelombang semi lurus. Bedanya ia panjang dan aku hanya sebahu. Wajah kami juga hampir mirip. Kami sama-sama berperawakan Arab. Padahal aku sendiri tidak ada darah Arab sama sekali, sedangkan Tiara masih ada karena pengaruh aroma Melayu Malaysia dari nenek moyangnya. Tapi perbedaan paling signifikan adalah tinggi kami, yakni tingginya yang 178cm, sedangkan aku hanya 165cm. Jelas jauh berbeda. Betisnya juga indah, semampai. Kalau aku? Jangan ditanya. Dengan berat 70kg, apa yang bisa diharapkan?
Jadi pantas sajalah kalau Adam kesemsem denganku karena keterlaluan mirip dengan Tiara. Tapi ada bangganya sih karena itu berarti aku yang tidak seberapa ini bisa disamakan dengan model kelas internasional macam Tiara. Hahaha.
Lalu, Adam kembali mengetik: “I know Tiara said that she loves me first, but in the deepest of my heart, I always catch her up every day since the day we met when we were child. We already met each other since we were 8, and we’ve been best friend since that too. Turned out, before she left KL for Jakarta, in my 12th birthday party at my place, she was there, she became as a very beautiful, independent, and smart girl. Since that, somehow I fell in love with her, until now. But, we should separate when she decided to move to Jakarta and then she lived in London to take modeling school. I felt no air without her for sure. So, when we met again several weeks ago in KL, we hang out again. From that, we are both falling in love each other. Just like now. Really apologize, Yureka. But I hope we still be good friends in a lifetime
Ya, saat itu langit serasa runtuh atau hujan salju menyerang hebat. Tapi aku lega, setidaknya ia mau jujur karena aku sudah jujur kepadanya. Tidak ada lagi yang harus dirahasiakan. Dan untuk pertama kalinya, seorang gebetan bisa merespon isi hatiku meskipun secara tidak langsung. Dan bukan berarti dia akan menerima cintaku, dia hanya mengapresiasi apa yang telah terjadi kepada kami.
Saat itu aku hanya berharap kami tidak saling bertemu lagi. Ya, bagiku ketika aku tidak bisa mendapatkan cinta seseorang, lebih baik aku tidak bertemu lagi dengannya, sama sekali! Daripada harus bertemu dan merasakan sakit lagi. Bertemu lagi dan mengingat semua momen-momen bersamanya. Belum lagi kalau bertemu mana ada yang tahu apakah kita bisa jatuh hati lagi atau tidak. Dan sejak itu, aku cukup takut untuk memulai lagi.
Sambil melihat ke arah cermin, aku melihat diriku, Yureka, gadis yang sedang dalam proses metamorfosis menjadi wanita dewasa yang tidak pernah beruntung dalam hal cinta, Hmm, maksudku belum beruntung. Ya, aku memang punya segalanya. Aku masih memiliki orang tua dan anggota keluarga yang lengkap dan harmonis, aku bisa membiayai sebagian biaya hidupku di New York, aku sudah pernah beberapa kali ke luar negeri, dan juga banyak mendapat pencapaian dalam hidup, tapi tidak dengan cerita cintaku. Tapi bukan Yureka namanya kalau menyerah begitu saja. Aku masih harus sabar menunggu siapa sebenarnya yang akan memenangkan hati ini.
-Dok dok dok dok-
Aku yang sedang asyik merenung, tiba-tiba dikagetkan dengan suara ketukan pintu kamar mandi yang lumayan keras.
“Yur, udeh belom? Lama amat? Gantian dong kebelet nih!”, teriak Chandra dari luar.
Tanpa menjawab aku pun keluar kamar mandi.
“Yar yur yar yur. Emang gue sayur”, ucapku kesal.
“Yaa emang nama lu begitu, bukan? Udah buruan gantian, kebelet”, balas Chandra sambil terburu-buru masuk ke kamar mandi.
Lucu memang kalau sudah bertemu mereka bertujuh. Ada-ada saja yang dibercandakan. Rasa sedihku pun hilang seketika.
Setelah memasuki ruang rapat yang diadakan di ruang makan apartemen Kak Anna, dengan sangat terkejut aku menerima sebuah kertas dari tangan Kak Anna ke wajahku yang akan lewat dan berniat duduk dibaris depan.
“Nih!”, disodorkannya sebuah kertas dari Kak Anna.
Sontak aku kaget sambil berkata, “Duh santai dong. Jangan ke muka juga. Apaan nih btw?”
“Ini tugas-tugas yang direkomendasiin Bu Mirna ke kita. Nah karena lu kemaren nggak dateng, jadi lu bisa baca-baca dulu. Eh tunggu, jangan-jangan lu belom tahu lu masuk divisi mana?”, jelas Kak Anna yang sangat bossy meskipun ia memang yang jadi bosnya di antara kami berdelapan.
“Iyaa, gue nggak tahu Kak. Hehehe”, jawabku polos sambil mengelus rambutku yang agak sedikit tidak beraturan.
“Hmm, sudah kuduga”, Kak Anna menyipitkan kedua matanya ke arahku.
Sorry. Janji, gue akan kerja dan cari ide sebanyak-banyaknya”, ucapku tegas pada Kak Anna.
“Bener yaa? Nih gue jelasin dulu, jadi gue kan koordinatornya. Dhimas, Gilang, sama Chandra bagian perlengkapan. Farida sama Fikri bagian promosi dan cari talent…”
Belum selesai Kak Anna bicara, aku memotong perkataannya,
“Eh tunggu, Farida sama Fikri kan sepupuan, curang banget mereka dijadiin satu divisi?”, tanyaku protes
“Heh, justru karena mereka itu sepupuan, jadinya gampang kalo komunikasi. Mereka juga tinggal satu apartemen kan? Jadi gampang koordinasinya. Udah deh nggak usah protes. Nah, kalo elo sama Eugene, bagian dekorasi. Paham kan lu maksud gue? Nih datanya. Tuh kalo lu gak tahu orangnya, noh duduk dipojokan dia.”, Nah kalau yang seperti ini Kak Anna terlihat aslinya yang sangat bijaksana. Tidak salah kalau kami berdelapan memanggilnya dengan sebutan “Ibu Pertiwi” yang bijak dan selalu menasehati kami dengan nilai-nilai budaya negeri tercinta.
“Okay, beres bos!”, jawabku dengan posisi tangan hormat di atas dahi. “So, gue kerja dulu ya. Jangan ngoceh aja ah. Nanti cantiknya luntur”.
“Kecantikan gue abadi selamanya, ya kan, guys?”, tanya Kak Anna pada semua anggota rapat.
Naasnya, semua terdiam tanpa gaung. Menandakan bahwa lelucon Kak Anna kali ini gagal total.
“Santai aja dong ngeliatinnya. Yaudah internal lagi. Dalam waktu 30 menit, kita mulai rapat besarnya ya”,
“Siap, Kak!”, hanya Farida yang menggubris. Memang anak baik. Sedangkan yang lainnya hanya menjawab “Iyaaa” dengan tanpa ekspresi.
Sesaat sebelum aku duduk dan bekerja sama dengan Eugene, seperti yang ditugaskan Kak Anna, aku melihat semua tim sibuk membahas hal-hal yang menjadi bagian divisi masing-masing. Ku lihat Dhimas yang sedang sibuk menasehati Gilang yang sedang browsing informasi di internet. Sedangkan Farida dan Fikri juga asyik dengan gadget mereka guna mencari orang-orang yang akan dijadikan sebagai model dalam peragaan busana nanti. Lalu Chandra kemana? Oh ya, dia kan sedang buang air kecil.
Setelah melihat-lihat, lalu aku menghampiri Eugene yang katanya satu tim denganku. Aku dan dirinya tergabung dalam divisi dekorasi. Aku belum bisa melihat wajahnya dengan jelas karena tertutup setengah dengan laptop MacPro-nya. Kelihatannya, ia sudah sibuk sedari tadi. Tatapannya ke arah laptop berwarna perak itu sangat serius. Dilengkapi kacamata kotaknya, ia terlihat duduk sangat nyaman di kursi kuliah di sudut ruangan dekat wastafel dapur. Tapi ngomong-ngomong, ku dengar memang Eugene ini bekas anak arsitektur, jadi pasti ide dan konsepnya soal dekorasi akan sangat bermanfaat. Tidak heran kalau melihat dia serius begitu, pasti sudah mulai mencari informasi-informasi seputar ide dekorasi untuk acara Batik Day nanti.
“Hey”, sapaku.
“Eh, Yureka. Dateng juga lu akhirnya. Duduk, Yur”, balasnya. Sopan sekali lelaki ini.
Thank you”, ucapku sambil meletakkan tas ku diatas meja dapur dekat wastafel. Dan ketika melihat wajah Eugene, aku rasa aku tidak asing lagi. Hingga kemudian tercipta percakapan seperti berikut:
Yureka : “Eh Eugene, ya? Iyaa bener. Parama Eugene Oetomo, kan? Anak Columbia University itu? Yang satu kelompok sama gue pas seminar Sumpah Pemuda tahun lalu. Ya, kan?” (ekspresiku terkejut. Benar-benar terkejut)
Eugene : “Iyaa. Gue emang Eugene. Elu Yureka kan? Lah emang lu nggak tahu kalo yang satu divisi sama elu itu yaa gue?” (ekspresinya datar)
Yureka : “Nah iyaa, gue nggak tahu sama sekali. Sumpah! Gue kira Eugene siapa. Yaa nama Eugene kan banyak. Heh Kak Anna, elo kok kenapa nggak bilang kalo Eugene nya Eugene ini?” (ku lempar percakapan ke Kak Anna yang sibuk dengan laptopnya)
Kak Anna : “Lah elu nggak nanya sama gue? Salah sendiri sibuk mulu ngurus tesis.” (rasanya ingin ku pukul Kak Anna seketika)
Dhimas : “Ya maklum, Kak, orang sibuk.” (Dhimas tiba-tiba menyambar bagai kilat)
Yureka : “Apaan sih, Dhim.”
Farida : “Oh jadi ternyata Kak Yure sama Kak Eugene pernah ketemu sebelumnya?” (tidak hanya Dhimas, Farida pun ikut menyambar)
Yureka : “Iyaa kita pernah ketemu sebelumnya. Jadi, waktu itu gue sama Eugene satu tim bareng pas sesi mini forum gitu deh di acara seminar Sumpah Pemuda KJRI tahun lalu.”
Eugene : (hanya mengangguk sambil mata tetap menatap layar laptop)
Farida   : “Oh gitu ternyata”
Yureka  : “Hehehe.  Iyaa.”
Kami semua melanjutkan rapat internal kami. Begitu pula denganku dan Eugene. Tapi kami masih saling berbincang-bincang. Agaknya ini seperti reunian yaa.
Yureka  : “Eh, Jin, kayaknya lu waktu itu agak-agak hilang dari peredaran. Kayak lost contact gitu. Kenapa sih?”
Eugene : “Oh iyaa emang bulan Maret kemaren hape gue rusak. Kecemplung bak wastafel pas lagi cuci piring. Trus rusak, nggak bisa nyala, semua kontak disitu ilang, dan akhirnya ganti baru. Tapi ganti barunya juga sekitar 3 mingguan kemudian sih.” (berhenti sejenak dari aktifitasnya membuat desain panggung hanya untuk menjawab pertanyaanku. Eugene memang baik.)
Yureka : “Kenapa demikian?”
Eugene : “Yaa biasa. Permasalahan anak kuliahan apaan sih yang nggak jauh dari duit. Akhirnya gua pinjem loan money dari kampus dan baru cair 3 minggu kemudian.”
Yureka : “Oh gitu. Kasian ih. Tapi, now it’s all good kan?” Udah bisa kontak sana kontak sini?”
Eugene : “Iyaa udah bisa kok.” (sambil tersenyum)
Chandra : “Apaan jin, satu-satunya alasan lu beli hape lagi kan demi main game offline. Ya kan?”
Eugene : “Apaan sih lu, dateng-dateng abis pipis malah sok tahu gitu.”
Chandra : “Nggak usah bo’ong. Jujur aja udah.”
Eugene  : “Iyaa sih.” (sambil meringis)
Yureka  : “Ya ya, anak game. Got it. Trus trus, kalau ada kabar soal kampus, atau PERMIAS, gimana tuh?”
Eugene : “Yaudah nggak bisa aja. Mau gimana lagi. Yaa ujung-ujungnya gua suruh mereka email gue.”
Yureka  : “Okay I see. Eh tapi sumpah loh gua masih nggak nyangka kalo Eugene yang dimaksud itu tuh elu. Kirain siapa gitu.”
Eugene : “Menurut lu orang Indonesia mana lagi yang namanya Eugene dikalangan PERMIAS dan KJRI? Kayak cuma gue doang deh. Pede banget ya gue?”
Yureka  : “Ya kan siapa tahu.”                                                          
Ya, percakapan yang cukup panjang itu memang untuk mengingat kembali kapan pertama kali aku dan Eugene bertemu. Saat itu kami sama-sama mengikuti seminar Sumpah Pemuda yang diadakan PERMIAS dan KJRI. Dan saat itu pula kami menjadi satu tim untuk forum kecil yang kami namakan “Blue Aqua Team” karena saat penentuan kelompok, semua anggota kelompok kami sama-sama duduk di bangku dengan nomor meja berwarna biru. 
Jujur, saja awalnya aku tidak tertarik sama sekali dengan Eugene. Bayangkan saja, tampak luar ia sangat arogan dan jutek. Matanya yang sipit dan wajahnya yang oriental itu membuatku makin yakin dengan mengecapnya sebagai “Chinese yang Jutek”. Lalu, saat kami dalam satu tim itu, Eugene sama sekali tidak memberikan idenya. Hanya duduk mendengarkan keempat anggota lainnya menyampaikan pendapat. Dalam hatiku saat itu berkata “Dasar Cina, mentang-mentang pinter trus nggak mau join sama kita yang biasa aja kayak gini”. Tapi ternyata setelah bertemu kembali, Eugene tidak seperti yang ku kenal saat pertama kali bertemu. Ia sekarang tampak lebih ramah, sopan, dan halus. Apa benar seseorang bisa berubah drastis dalam kurun waktu yang singkat? Ya, semoga saja demikian. Meskipun wajah juteknya tidak berubah sama sekali, tapi setidaknya ada sedikit senyum di bibirnya dibandingkan dahulu karena dia sangat kikir senyum. Tunggu, kenapa aku jadi memujinya? Aku kan tidak ada niatan demikian.
Memang aku akui Eugene adalah laki-laki paling ganteng di antara anggota tim seminar saat itu. Jangan salah sangka dulu, karena memang waktu itu semua anggota kelompok perempuan semua, kecuali dia laki-laki satu-satunya. Saat itu kelompok kami ada lima orang, ada Intan, Kinanti, Dewi, Eugene dan aku. Ya, sudah jelas kan diantara anggota kelompokku, ia memang yang paling tampan karena ia laki-laki sendirian.
Tapi bagaimana kalau dibandingkan dengan anggota laki-laki panitia Batik Day lainnya?
Gilang? Ya, lumayan sih karena ia tinggi semampai bak pemain basket ibukota. Tapi sayangnya wajahnya polos dan gaya bicaranya medok Jogjakarta. Tidak apa sih memang, toh orang kan tidak ada yang sama, punya keunikan tersendiri.
Bagaimana dengan Dhimas? Tampak keren dari luar. Kalau di Indonesia, dia totalitas anak gaul Jakarta. Kalau main selalu ke Mall atau minimal ke kafe-kafe terbaik ibukota. Cara berpakaian pun selalu mengikuti jaman dan cara berbicaranya juga gaul sekali. Selalu terselip kata “Anjas, anjrit, dan an-an-an” yang lain yang terlontar dari mulutnya. Benar-benar anak gaul. Tapi sayangnya, label anak gaulnya mendadak memudar kalau kalian tahu bahwa dia jarang mandi ke kampus. Dhimas juga kudengar sering gonta-ganti pacar. Semoga segera ia insyaf dan memilih 1 wanita saja yang dia persunting nantinya.
Kalau Fikri? Oke sih menurutku. Tipikal wajahnya yang ganteng Indonesia itu membuat hampir semua perempuan terenyuh. Ia juga kalem, pintar, birokasinya bagus, dan prestasinya di bidang Sains tidak diragukan. Tidak salah kalau beasiswa LPDP menjadikannya salah satu penerima beasiswa full di Columbia University. Tapi sayangnya ia sudah punya pacar. Bagiku, seganteng apapun seorang laki-laki, kalau sudah punya pacar, tidak jadi ganteng, jadi biasa saja.
Dan Chandra? Hmmm. Begini, aku bukan bermaksud menjelek-jelekkan teman sendiri tapi… Matanya sipit, kepalanya botak, giginya agak maju kedepan, pakai kacamata bulat seperti Boboho, ada tahi lalat di pelipis dan dekat matanya dan gayanya yang sok itu, membuatku jijik setengah mati. Cara bicaranya juga terkadang kasar, mengandung konten seksual. Hmm, aku tidak suka laki-laki yang kalau bicara terlalu kasar dan porno. Untung Chandra ini teman baikku selama di New York. Semua kelemahannya ku maafkan.
Kalau Eugene? Secara fisik dia boleh juga. Tingginya 175cm, warna kulit kuning langsat, wajahnya oriental, mengenakan kacamata berbentuk kotak full frame, badannya berisi, dan gaya rambutnya yang seperti Oppa-Oppa Korea, agaknya membuatku mulai meleleh.
Tunggu, kenapa aku jadi memuji Eugene lagi? Dan kenapa aku jadi memuji orang berwajah oriental seperti ini? Apa karena masih dipengaruhi oleh bayangan Adam yang Chinese itu? Jadi, gara-gara Adam aku jadi suka pria oriental? Ada apa denganmu, Yureka?
Setelah percakapan yang ternyata juga reunian itu, aku dan Eugene melanjutkan perbincangan kami dengan membahas dekorasi panggung untuk acara “Batik Day 2018” mendatang. Eugene menyarankan agar kami membuat desain dekorasi untuk panggung peragaan busana terlebih dahulu, baru kemudian dekorasi podium untuk seminarnya. Selama diskusi, aku benar-benar tidak melihat Eugene se-arogan dan se-sombong seperti pertama bertemu. Kenapa bisa begitu ya? Ya, aku tahu semua orang kan bisa saja berubah setiap detiknya, tapi ini benar-benar beda dari yang pertama aku mengenalnya. Lebih lagi, aku juga masih ingat betul, saat kami foto berlima sesaat setelah seminar itu selesai, Eugene sangat kikir senyum. Oke, pada beberapa foto ia tersenyum, tapi sisanya, ekspresinya sangat datar. Ya, aku tidak tahu persis mengapa demikian, mungkin kala itu dia sedang ada masalah, jadi agak malas tersenyum. Dan mungkin sekarang, atau beberapa hari belakangan, suasana hatinya baik, jadi terlihat sangat ramah. Tapi kan dia laki-laki, laki-laki biasanya mental dan emosinya sudah stabil, tidak sepertiku yang sudah berjenis kelamin perempuan, emosi masih labil, semua hal bisa jadi terbalik kalau sesuatu membuatku mendadak tidak mood.
Selama berdiskusi, sesekali aku selipkan pertanyaan yang kuajukan pada Eugene. Yaa, supaya tidak terlalu canggung diantara kami berdua. Aku hanya tidak ingin sebagai sesama divisi, kami tidak punya chemistry yang baik.
“Wah jago banget sih desainnya. Jurusan lu apa sih? Desain?”, tanyaku pada Eugene.
“Bukan. Cuma arsitektur kok”, jawabnya sambil membuat garis-garis simetris di laptopnya.
“Oh pantesan. Yaa, tetep aja kenanya kan desain juga”, sautku protes.
“Beda dong. Desain kan apa tuh sebutannya, hmm DKV. Iyaa, DKV. Nah gue arsitektur. Yaa, just architecture. Beda”, jawabnya yang kudengar penuh kesabaran akan keprotesanku itu.
“Iyaa deh beda. Emang beda sih. Eh tapi yang ini pake Autocad kan? Yang biasanya buat anak arsitek itu?”, tanyaku lagi.
“Iyaa gue emang terbiasa pake ini dari jaman kuliah S1 dulu. By the way, kok lu tahu ini Autocad?”, jawab Eugene sambil tersenyum. Astaga senyumnya manis juga.
“Iyaa, soalnya bokap gue dulunya arsitek juga. Kakak gue juga dulu kuliahnya arsitektur”, ucapku mulai tersipu malu.
“Oh pantesan. Jadi nggak kaget dong liat-liat bangunan?”, tanyanya sambil menatap ke arah ku. Astaga aku mulai gugup.
“Iyaa. Trus ini lu S2 nya arsitektur juga?”, tanyaku lagi.
Nope. Urban Planning”, jawabnya masih dengan kharismanya.
“Waduh, ada calon Menteri Tata Kota nih. Entar bikin dong Indonesia jadi banyak taman, banyak kembang-kembangnya, banyak yang ijo-ijonya lah pokoknya. Jakarta udah panas”, saranku sambil mengambil botol minum di tasku karena mulai kehausan.
“Iyaa, Jakarta emang makin… hmmm yaa gitu lah. Panas. Macet. Everything. But, I still love it”, jawabnya sambil terus menatap ke layar laptop.
“Emang domisili lu Jakarta kok tahu aja Jakarta makin kacau panasnya?”, tanyaku penasaran.
“Tahu lah, gue lahir di Jakarta soalnya”, jawab Eugene lugas.
“Lahir dan gedenya di Jakarta?”, aku mulai interogasi Eugene lebih dalam. Ya, aku mulai penasaran.
“Hmm, gimana yaa. Jadi tuh gue lahir dan kecil sampe lulus SD di Jakarta, tapi pas TK sempet pindah ke Surabaya sih. Trus pas SMP pindah ke Bali. Dan tinggal disana sampe sekarang. Keluarga gue juga masih tinggal disana”, jelasnya sambil menaikkan kacamata kotaknya yang sedikit melorot.
“Oh orang Bali ternyata. Keren. Sering liat pantai dong”, entah kenapa aku jadi wawancara Eugene seperti ini. Pembangunan chemistry macam apa ini?
“Nggak juga. Tapi waktu SMA sih sering kabur ke pantai. Biasa lah anak muda. Di Bali tuh kalo gabut yaa having fun aja di pantai. Liat ombak. Liat orang pada sunbathing”, jawabnya semakin lama semakin santai.
“Wah, bisa surfing dong?”, tanyaku masih penasaran.
“Nggak bisa. Gue…seasick. Hehehe”, jawabnya agak malu-malu.
“Seorang Eugene anak Urban Planning Columbia University takut laut? Ya ampun”, aku hanya bisa tertawa dalam hati. Bagaimana bisa hidup di Bali bertahun-tahun tidak bisa berselancar.
“Anak Columbia kan juga manusia, ya kan?”, jawabnya santai tapi aku tahu pasti dalam hatinya dia juga malu.
I know. Hmm, trus lu berarti lahir di Jakarta, besar di Bali, trus kuliah S1 di Bali juga?”
“Nggak. Gue kuliah di luar”, jawabnya yang agak mencurigakan.
“Di luar? Luar negeri maksudnya? Dimananya?”, tanyaku sambil sekilas membuka layar ponsel ku untuk melihat jam.
“Di Hong Kong”, jawabnya tegas.
“Hong Kong?!”, seketika aku kaget dibuatnya. Untung ponsel milenial yang sedang kupegang tidak ku lempar.
“Iyaa Hong Kong. Kenapa? Ada yang salah?”, tanyanya kepadaku penasaran.
“Eh… hmmm… itu…”, Aku bahkan tidak bisa menjelaskan apa-apa. Lidahku membeku. Memoriku melayang kemana-mana.
Ada apa ini? Kenapa seperti dejavu? Telingaku seakan berdenging mendengar negara berawalan ‘H’ itu. Eugene bukan salah satu anggota keluarganya Adam Wang kan? Katakan padaku kalau ini hanya kebetulan saja.
((BERSAMBUNG))



                                                                                 ↺↺



Episode 4 : “Hong Kong Lagi, Hong Kong Lagi”

Yureka. Apartemen Arianna. Masa Depan.
Baiklah, Yureka, tenang. Percayalah kalau Eugene tidak ada sangkut pautnya dengan Adam. Kalau saja Ya, habislah aku.
Aku mencoba tenang di depan Eugene. Tidak gugup. Tidak panik. Tapi kemudian aku berkeringat di atas keningku. Payah sekali.
“Yureka, are you okay? Kok tiba-tiba keringetan gitu?”, tanya Eugene penasaran.
“Ehm, enggak. Enggak apa-apa kok. Cuma kaget aja. Anak lulusan Hong Kong gitu loh. Waw. Keren.”, jawabku mencari alasan agar tidak terlihat panik.
“Biasa aja. Dulu sama sekarang yaa sama aja, anak kosan, ngirit, sering sakit-sakitan. Wah banyak lah memorinya”, setelah yakin kalau aku baik-baik saja, ia kembali sibuk dengan laptopnya.
Aku pun mencoba tenang dan rileks. Sambil mengajukan pertanyaan lain, “Di Univ mana kalo boleh tahu?”
“The University of Hong Kong. Departemen Arsitektur”, jawabnya seperti penuh kebanggaan.
“Waah The University of Hong Kong yaa?! Waaah kereeen!” Suaraku makin meninggi. Kepanikan tidak jadi berkurang. Dalam hati aku bergumam : “Kampus itu kan kampus adiknya Adam Wang, si Sophia. Semoga Eugene tidak kenal Sophia anak jurusan Ekonomi itu”.
“Kenapa sih? Ada yang aneh yaa? Kayaknya dari tadi reaksi lu nggak wajar gitu. Ada apaan emangnya?”, Eugene penasaran lagi.
“Enggak apa-apa kok. Santai aja. Yuk terusin lagi ini ngedesainnya”, aku mengalihkan pembicaraan.
Tak berapa lama, Kak Anna menghentikan kami-kami yang sedang sibuk diskusi internal. Kak Anna yang tampak jutek namun baik hati seperti peri itu mulai menggabungkan kami berdelapan untuk mengadakan forum besar guna membahas hal-hal yang sudah kami diskusikan dengan masing-masing divisi sebelumnya.
Tepat pukul 19.00, kami yang biasanya ketawa terbahak-bahak, saling lempar lelucon, mendadak menjadi serius. Ya, karena untuk membahas sesuatu yang bersifat profesional, tentunya kami semua harus profesional, harus serius agar semua pokok pembahasan dibahas dengan cepat dan tepat.
Empat puluh menit berlalu, kami masih serius membahas ide untuk lokasi acara. Kami sempat kebingungan mengenai lokasi, karena kami harus memikirkan lokasi yang mudah dijangkau oleh banyak khalayak, tidak jauh dari KJRI, dan tidak jauh dari basecamp kami yaitu apartemen Kak Anna. Permasalahannya memang ada di lokasi apartemen Kak Anna yang agak jauh dari dua lokasi yang kusebutkan tadi.
“Ada dua opsi untuk solving problem lokasi ini. Mau deket basecamp supaya tetep gampang buat kita mondar-mandir, atau, jauh dari basecamp tapi deket sama KJRI?”, ucap Dhimas.
“Tapi masa iyaa kita mau basecampnya di KJRI? Nggak enak kali. Suka ada anak-anak PERMIAS disitu pada rapat. Fikri, lu kan pengurus PERMIAS, gimana menurut lu?”, sahut Kak Anna.
“Duh, gue nggak tahu kak. Gue kan jarang ngumpul sama mereka”, bahkan Fikri tidak bisa memberikan solusi.
“Kenapa emang? Lu harusnya bersyukur udah jadi pengurus PERMIAS. Akses mereka ke KJRI juga gampang”, tanyaku kritis.
“Ya, lu nggak tahu aja kak Yure gimana anak PERMIAS. Kurang cocok sama gaya bergaul gue, Kak”, aku Fikri.
“Berarti kamu yang kurang gaul?”, sahut Gilang dengan logat medoknya itu.
“Udah udah jangan diperpanjang. Udah biarin aja. Toh, itu privasi mereka. Hmm, kalau kita pake apartemennya Yureka buat jadi basecamp, gimana?”, Kak Anna lagi-lagi bijaksana menanggapi semua itu.
“Wah nggak deh. Bukannya nggak mau nih, tapi gue sekamar sama dua orang dan dua-duanya beda banget. Gue cuma sungkan aja sama salah satu dari mereka”, jawabku agak protes.
“Salah satu dari mereka? Maksudnya?”, tanya Eugene.
“Jadi, yang satu imigran dari Libya. Anaknya strict banget. Nggak boleh pake banget laki-laki masuk ke apartemen kita. Ya, padahal kan we are in US right? Yaa, tahu sih gue sama dia sama-sama muslim, dan sebisa mungkin nggak masukin yang bukan muhrim. Tapi menurut gue itu kurang… yaa…”, jelasku kebingungan.
“Ya ya gue paham maksud lu. Trus yang satunya gimana?”, tanya Kak Anna lagi.
“Nah, kalo yang satu lagi sih enak banget orangnya. Orang Meksiko, santai banget anaknya. Kalau aja gue satu apartemen ama dia doang yang orang Meksiko itu, lu pada mau mondar-mandir ke apartemen gue ampe jungkir balik juga nggak masalah sama dia. Dia juga orangnya jarang di apartemen, sering malah doi nggak pulang karena tugas di luar kota”, jelasku pada tujuh panitia lainnya yang akhirnya mengerti situasiku ini.
Di tengah-tengah diskusi, tiba-tiba suara adzan berkumandang dari salah satu smartphone kami.
Aku bergumam dan bertanya pada yang lain, “Sejak kapan Islamic Center NYU pindah deket apartemen Kak Anna?”
Kak Anna langsung merespon, “Itu bukan masjid nona. Noh, hape-nya si Yujin”
Eugene langsung mengeluarkan smartphone barunya dan berkata, “Iyaa ini hape gue kok guys. Sorry sorry. Hehehe.
Btw, udah magrib nih, kalo kita-kita pada sholat dulu aja gimana? Gapapa kan Kak Anna?” tanya Dhimas penuh perhatian.
“Yaa deh gapapa. Kayaknya kita juga udah hampir satu jam disini. Perlu refreshing nggak sih buat jeda gitu?”, jawab Kak Anna bijak.
“Iyaa bener kak. Yuk yuk. Utamakan ibadah. Kak Anna pinjem kamarnya yaa”, Gilang seakan yang akan memimpin sholat berjamaahnya.
“Santai lah pake aja”, respon Kak Anna santai.
Ya, adzan magrib telah berkumandang. Memang, waktu solat magrib kala musim panas seperti ini dimulai sekitar pukul 19.47 waktu setempat. Satu setengah jam lebih lama dari waktu normal di Indonesia. Kemudian ku melihat Gilang, Dhimas, Eugene dan Fikri bersama-sama menuju kamar Kak Anna untuk menunaikan solat magrib berjamaah. Sedangkan aku dan Farida, kami sama-sama sedang menstruasi. Sedangkan Kak Anna sendiri penganut Khatolik dan Chandra pun penganut Konghucu. Meski demikian, itu tidak menghalangi pertemanan kami. Kami kan satu Indonesia, berbeda-beda tapi tetap satu.
Eh tapi tunggu, suara adzan tadi dari notifikasi hape-nya Eugene, ya tadi? Berarti Eugene punya aplikasi waktu solat dong? Dan itu berarti Eugene muslim?
“Yureka, solat nggak?”, tanya Eugene padaku dari arah belakang ketika ia sudah berdiri dan menuju ruang solat.
“Lagi nggak sholat, jin. Biasa bulanan perempuan”, jawabku kaget karena hampir terlelap dalam lamunan.
“Oh gitu. Oke deh. Kita solat dulu ya”, respon Eugene tampak sejuk membuat hati adem.
Ya ampun, ternyata Eugene itu seorang muslim. Aku pikir dia bukan. Ya, dilihat dari luarnya memang tampak seperti non-muslim, tapi ternyata dugaanku salah. Benar lagi kan kalau kita tidak boleh menilai orang dari luarnya aja. Tapi boleh juga nih si Eugene kalau dijadikan pacar. Aduh, Yureka, hentikan lah. Jangan mulai mengkhayal lagi. Cukup rasa sakit akibat Adam, jangan cari perkara lagi. Eh tapi tidak ada salahnya kan kalau lebih tahu Eugene lebih dalam. Ah, tidak tahu lah. Lihat saja nanti.
Kemudian Kak Anna menyarankan sesuatu, “Eh gimana sambil nunggu mereka solat, lu order makanan, Chan? Nanti gue yang bayar bill-nya”.
“Wuih udah kaya raya rupanya sekarang yaa”, sahut Chandra.
“Bukan duit gue, Chandra Setiawan! Duit dari KJRI. Kita dikasih itu buat biaya konsumsi rapat kita. Jangan lupa bilang terima kasih sama beliau-beliau yaa nanti. Ya udah sana order apa lah gitu”, jelas Kak Anna.
“Enggak nunggu kakak-kakak yang lagi pada solat aja, Kak? Siapa tahu mereka mau apa gitu”. Benar juga yang dibilang Farida.
“Udah pada solat belum mereka? Kalau belum mulai, biar gue tanyain aja,” saranku sambil mengunyah satu biskuit yang kuambil dari sebuah toples di meja makan Kak Anna.
Kemudian ku ketuk pintu kamar Kak Anna yang ada persis di sebelah ruang makan apartemen. Ternyata para laki-laki belum mulai solat, jadi bisa ku tanyakan terlebih dahulu.
“Hey, para laki-laki, Chandra mau order makanan, pada mau makan apa?” Tanyaku sambil tetap mengunyah biskuit Kak Anna. Sepertinya aku mulai lapar.
“Hmm apa yaa?”, Fikri menggumam.
“Mie-mie gitu dong.” Eugene mengungkapkan pendapat.
“Mie? Yang lain?”, Dhimas agaknya protes.
“Pengen nasi padang. Kangen nasi padang titik maksimal nih”, Gilang membuat pernyataan sengak.
“Aduh itu mahal nggak sih bisa 15$ sendiri sebungkus? Yang lain deh”, kesal tapi kuingin tertawa mendengar perkataan Gilang tersebut.
“Spagetti aja. Chinese noodle ada minyak… the pig-nya”. Fikri alim sekali.
“Iyaa juga sih. Tapi gue sering makan itu di China Town selama ini. Waduh lupa gue nggak tanyain ke penjualnya pake minyak itu atau nggak”, ungkap Eugene yang menjadi paranoid.
“Ya kalo lu tanyain satu-satu yaa nggak akan nemu yang nggak pake, Jin. Susah kali”, Dhimas berkomentar dengan bijaksananya.
“Yaudah nggak usah berantem. Cepetan mau pesen apaan?”, sahutku mulai dongkol.
“Boleh deh spaghetti aja. Yang penting mie-mie-an gitu”, Eugene tetap pada pilihan hatinya. Pemuda ini merasa ia punya hak untuk memilih.
“Okay, spagetti yaa. Gue bilangin yang lain nih. Yakin yaa?”, tutup ku meyakinkan para pemuda generasi penerus bangsa ini.
“Iyaa boleh boleh. Thank you Yureka!”, ujar semua pemuda.
Sambil jalan dari kamar Kak Anna kembali ke ruang makan, aku berfikir sesaat dan dalam hati berkata “Eugene suka mie? Kenapa dari tadi pilihannya jatuh pada mie bukan pizza gitu misalnya, atau sandwich apa gitu. Dia tetap bilang mie. Kenapa Eugene jadi mirip Adam? Aduh kebiasaan dari dulu Yureka ini kalau suka sama laki-laki, gue samakan ciri-cirinya dengan orang lain. Lebih lagi terkadang Yureka menganggap wajah orang lain mirip dengan lelaki yang ia suka. Yureka, kamu sangat aneh”.
Setelah terlelap dalam lamunan selama 15 detik, segera ku sampaikan pesanan makanan kepada Chandra, “Mereka pengen spagetti. Pokoknya mie-mie-an gitu deh”.
“Okay, spagetti yaa. Lu juga kan, Farida, Kak Anna?”, tanya Chandra meyakinkan.
“Iyaa Kak, samain aja”, Farida yang menjawab, Kak Anna entah dimana, sepertinya di kamar mandi.
Setelah sekitar 30 menit menunggu, akhirnya pesanan kami datang. Chandra yang tadi pesan 8 spaghetti dan 1 loyang pizza juga 8 soda kalengan, pun yang menerima pesanannya di depan apartemen Kak Anna. Selama makan malam, kami berbincang-bincang banyak hal. Ternyata ada banyak hal yang belum aku ketahui dari delapan teman-temanku ini. Padahal sudah hampir satu tahun aku mengenal mereka, tapi tetap saja ada informasi yang belum aku ketahui, seperti Chandra, ternyata mahasiswa Institute of Culinary Education New York City jurusan Pastry itu memiliki saudara kembar. Kembarannya bernama Chelsea. Kupikir kembarannya laki-laki, tapi ternyata perempuan. Dari cerita yang Chandra bagikan, kembarannya itu tidak lagi satu rumah dengannya sejak mereka berusia 3 tahun. Chandra dan keluarganya tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur, sedangkan Chelsea tinggal dengan sepupu Ayahnya di Palembang. Hal itu terpaksa dilakukan untuk mengurangi biaya hidup keluarganya yang sangat pas-pasan dikarenakan Ayahnya yang saat itu sakit-sakitan, dan juga biaya hidup dengan Ibu dan kedua kakaknya yang juga terbatas. Akhirnya, sepupu Ayahnya atau bisa disebut dengan Tantenya, mau membantu mengurangi beban hidup keluarganya dengan mengadopsi kembarannya tersebut. Meskipun tinggal berjauhan, namun hingga saat ini mereka masih tetap berkomunikasi dengan baik. Chandra menambahkan kalau saat ini Chelsea berada di Barcelona, Spanyol untuk bekerja di sebuah restoran di hotel sekaligus kursus masak disana, persis seperti dirinya saat ini. Chandra yang saat bercerita itu sambil menambahkan lada bubuk ke dalam piring spaghetti-nya, sudah berkaca-kaca di matanya, lalu sedikit menitihkan air mata. Ia buru-buru mengelap ujung matanya dengan melepas kacamatanya dan menyeka dengan tisu dari bungkusan pizza yang kami pesan. Aku yakin itu air mata bahagia karena bangga memiliki saudara kembar seperti Chelsea yang sudah sukses di Barcelona, bukan air mata yang disebabkan oleh lada bubuk yang ia taburkan tadi.
Aku pun mencoba memberikan semangat kepada Chandra, “Gue jadi ikut bangga. Gue emang nggak kenal kembaran lu, Chan, tapi dari cerita lu, you deserve with that. You know, life is like rollercoaster. Kemaren kita dibawah, besok kita bisa diatas. Tapi emang nggak selamanya kita diatas, Chan, jadi stay humble yaa kalo lu udah jadi chef sekelas Gordon Ramsay nanti.”
Tapi dibalas dengan pernyataan konyol Chandra, “Jadi chef yang galak yang suka ngata-ngatain masakan orang kalo masakannya nggak enak, gitu?”
Dibalasku dengan bijaksana, “Iyaa tapi jangan pake kata kasar ya. Please hahaha”.
Setelah selesai makan, melempar candaan, mencuci piring sampai ada yang harus ke kamar mandi untuk buang air besar, kami kembali ke rutinitas kami dengan agenda rapat malam itu. Kami kembali membahas konsep acara. Saatnya membahas media promosi untuk acara “Batik Day 2018”. Sebagai divisi Kehumasan, Fikri memberikan sebuah ide. Ia berpikir kalau membuat video singkat untuk di unggah ke media-media sosial adalah bentuk promosi acara yang paling efektif.
Kemudian Kak Anna berceloteh dengan idenya, “Nah kita kan punya penulis film disini”. Lirikan menggoda Kak Anna menuju ke arahku. Sontak aku menjawab, “Apa? Kenapa? Suruh ngapain gue?”
“Nggak usah belagak lupa. Situ kuliah jurusan apa gue tanya?”, Kak Anna nyolot.
“Kepenulisan drama”, jawabku polos.
“Dapet mata kuliah bikin film nggak?”, tanyanya lagi menginterogasi.
“Nggak sih, tapi pernah dapet tugas analisis film”, jawabku masih polos.
“Tapi pernah bikin film kan? Yang lu upload di Youtube itu”. Kak Anna punya bukti. Sial.
“Hehehe iyaa. Tapi… it was really long time ago, Kak”. Aku pun membela diri.
“Ya tapi bisa kan bikin film? Yeah, at least lu tahu gimana konsep bikin film”. Secara tersirat Kak Anna mendukung. Tapi ini seperti paksaan menurut ku.
“Ya okay I know what you mean, Kak. Hmmm. Oke deh boleh, tapi gue harus di provide kameranya ya”. Aku mulai memaksa. Tapi aku tidak salah kan kalau aku dapat hakku?
“Gampang, nanti pake punya gue aja, Yur”, Eugene membantu keberlangsungan kehidupan Batik Day 2018.
Tunggu dulu? Eugene punya kamera? Kamera canggih macam fotografer-fotografer hajatan begitu? Suka ia kalungkan juga ke leher? Seperti Adam dong kalau begitu?
Mereka benar tidak saling kenal kan?
Atau jangan-jangan kembar?
Tapi mana mungkin, postur tubuh keduanya sangat berbeda. Adam kan tinggi dan kurus, semampai bak model susu pengembang otot. Sedangkan Eugene tinggi juga tapi lebih berisi dari Adam. Mungkin berat badannya sekitar 70-80kg. Tapi sejak tadi kulihat dan dari informasi yang ku dapat, mereka punya kesamaan. Sama-sama Chinese, sama-sama pakai kacamata, sama-sama suka makan mie, sama-sama punya kamera canggih, dan sama-sama berhubungan dengan Hong Kong. Yaa, Hong Kong lagi, Hong Kong lagi. Lagi-lagi Hong Kong.
Ada apa sih dengan Hong Kong?
Ada yang spesial kah disana sampai semua pria yang memikat hatiku berasal dari Hong Kong? Jackie Chan juga dari Hong Kong tapi aku biasa saja kalau menonton aktingnya di layar lebar. Kecuali Andy Lau, aktor tampan itu sangat memukau.
Setelah hampir 2 jam, akhirnya rapat pun disudahi karena waktu sudah menunjukkan pukul 22.15. Semuanya harus kembali ke apartemen masing-masing. Kak Anna menyarankan kami semua agar bermalam di apartemennya, tapi sayangnya kami bertujuh sudah punya agenda lain di hari besoknya. Alhasil kami semua tetap memutuskan untuk pulang naik kereta bawah tanah. Ada aku dan Gilang yang pulang satu arah ke NYU, kemudian Eugene, Farida dan Fikri juga satu arah ke Columbia University, serta Dhimas dan Chandra ke arah stasiun World Trade Center.
Sebelum pulang, Dhimas memberikan ide kalau agenda rapat berikutnya dibuat dengan acara menginap di apartemen Kak Anna. Alasannya supaya kami bisa membahas konsep acara lebih lama dan kalau sampai malam bisa lebih dihentikan hanya dengan tidur dan makan saja. Semua pun setuju dan akhirnya agenda rapat selanjutnya akan diadakan minggu depan dengan tambahan agenda menginap bersama. Tapi tenang, meskipun kami tinggal di kota sebebas New York, tapi sebagai diaspora dari Asia Tenggara dengan adat ketimuran yang kental, kami tidak tidur berbarengan melainkan nantinya yang perempuan tidur di kamar kak Anna, sedangkan para lelaki akan tidur di ruang tengah dengan alas karpet dan selimut. Semoga keesokkannya mereka tidak masuk angin.
Selama jalan kaki dari apartemen Kak Anna ke stasiun subway terdekat, kami membicarakan banyak hal. Dhimas sibuk berdiskusi klub sepakbola dengan Chandra dan Fikri, sedangkan Farida dan Gilang diskusi soal hobi mereka yang sama-sama suka musik indie. Lalu aku, secara tidak sengaja aku jalan beriringan dengan Eugene, si pria oriental tinggi besar ini. Duh, kenapa aku jadi canggung jalan di sebelahnya? Kebiasaan sekali Yureka dari dulu kalau jalan dengan pria tampan selalu gugup bahkan sampai keluar keringat di kening. Tapi tenang, Yureka, buatlah se-natural mungkin, bicara apa saja yang bisa membuat suasana tidak canggung. Bukan kah kamu seorang ahli dalam pemecah suasana awkward, Yureka?
“Jadi lu angkatan 2017 di Columbia? Seangkatan gue berarti. Gue pikir lu baru masuk Spring season kemaren”, tanyaku pada Eugene.
“Nggak, gue masuk Columbia dari musim gugur tahun lalu. Dan lu tahu nggak, acara seminar kemaren tuh acara non-kampus pertama gue loh”, ungkap Eugene.
“Maksudnya?”, tanyaku lagi.
“Semenjak gue tinggal di New York dan kuliah di Columbia, gue nggak pernah kemana-mana. Yaa, tugas emang banyak, tapi gue nggak pede aja ke acara-acara macam seminar gitu”. Pemalu juga rupanya pemuda ini.
“Emang pas lu S1 dulu, lu nggak ikut apa gitu? Semacam UKM atau kegiatan kampus?”, tanyaku lagi.
“Nggak.” Jawabnya singkat.
“Hmm homeboy yaa. Hmm keliatan sih”, Eugene ku cap jelek sekali yaa. Tapi kenyataannya kan memang demikian.
“Masa sih? Keliatan banget yaa? Dulu udah sibuk juga sama tugas kuliahnya. Keluar rumah cuma les bahasa Canton aja. Sisanya cuma jalan-jalan aja keliling Hong Kong sambil hunting foto. Dan suasana kota Hong Kong itu yang bikin gue ketagihan buat jalan-jalan”. Tidak pemalu kok, itu dia bisa cerita panjang lebar.
I see. Eh di Hong Kong tuh banyak makanan street food gitu ya? Kayak Tong Sui”. Mulai kau Yureka, mulai lagi dengan hal ke-Hong Kong-an itu.
“Iyaa bener. Itu dessert yang lumayan terkenal disana. Kok lu tahu, lu pernah ke Hong Kong juga?”, tanya Eugene dan aku mulai gugup.
“Nggak bukan. Dulu pernah makan itu, diajakin sama temen waktu di Penang”, jawabku sambil menunduk.
“Penang tuh Malaysia, kan? Acara apaan?” Eugene penasaran.
Exchange. Cuma sebulan kok”, jawabku sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaket.
“Kampus mana?”, tanya Eugene sambil berusaha melihat mataku. Sumpah aku gugup.
“KDU Penang University College. Dulu semacam mewakili kampus gitu deh buat exchange disana. Programnya dari kampus gue”, aku berusaha lihat kedua bola matanya. Beruntung lah aku bisa menjawab semua pertanyaannya dengan kontak mata yang tajam. Aku tidak pernah berhasil kontak empat mata saat berbicara dengan orang lain. Ya, itu kelemahanku.
“Dulu lu S1 di Jakarta?” tanya Eugene sambil tetap menatap mataku.
“Iyaa. Di Paramadina yang di TB Simatupang”, jawabku kemudian mengambil hape dari kantung tas untuk mengecek waktu.
“Oh situ. Tahu gue. Deket rumah gue dulu”, Eugene tahu kampusku ternyata. Waw.
“Emang dulu rumah lu di Jakarta dimananya?” Aku yang mulai penasaran.
“Tebet”, jawabnya singkat.
“Ahh Tebet. Deket tuh. Gue di Cinere.” Wow, rumah kami berdekatan.
“Oh Cinere. Yaa masih satu area lah, meskipun rumah lu masih area Depok tapi deket banget sama Jaksel.” Jawabnya membela.
Aku hanya bisa tersenyum simpul lalu hening sejenak tapi tak lama aku mengajukan pertanyaan lagi kepadanya, “Eh ceritain dong pengalaman lu di Hong Kong. Kayaknya seru tinggal di Hong Kong”.
Sambil memegang lehernya yang kemungkinan gatal, dia menjawab, “Ehm apa aja yaa?...”
Tidak terasa perjalanan kami ke stasiun telah sampai. Belum sempat Eugene bercerita, kami yang akan terbagi dalam 3 grup tujuan yang berbeda harus berpisah.
“Lah udah sampe aja ke stasiun”, ujar Eugene.
“Yaah nggak jadi cerita deh. Yaudah minggu depan yaa”, ungkap ku, sambil berharap.
“Sip santai aja”, jawab Eugene tersenyum.
Astaga Tuhan kenapa senyumnya manis sekali? Aku kesal!
Bye semuaaa. Kak Yureka, Kak Gilang, Kak Chandra, Kak Dhimas, kita duluan. Kereta tujuan kita 2 menit lagi dateng”, ujar Farida.
“Oke, Far, Fik, Jin, hati-hati yaa”, ungkap Dhimas.
Pertemuan kami di Sabtu ini ditutup dengan lambaian tangan teman-teman senasib sepenanggunang ini. Tapi tidak hanya itu tapi juga diakhiri dengan indahnya tatapan mata Eugene. Sesaat sebelum mereka bertiga naik kereta tujuan mereka, aku melihat mata sipitnya berbicara kepadaku. Entah apa artinya, atau entah aku yang terlalu percaya diri atau tidak, tapi aku bisa merasakan sesuatu dari tatapan matanya itu. Ia juga tersenyum dengan manisnya. Ya, aku tahu ia senyum tidak hanya untukku, tapi ke semuanya. Tapi yang ku bilang tadi, tatapan matanya itu tidak terlupakan. Aku bahkan masih ingat betul setelah kereta tujuan ku datang, hingga di dalam kereta juga demikian. Meskipun aku asyik ngobrol dengan Gilang, tapi bayangan senyum dan tatapan mata Eugene tadi masih terngiang dibenakku.
Ada apa ini?
Masa aku secepat itu melupakan Adam dan menggantikan posisinya dengan Eugene?
Aku takut memulai lagi untuk hal-hal seperti ini. Apa aku benar sudah siap?

((BERSAMBUNG))


                                                                                    ↺↺



Episode 5 : “Yureka Pilih Siapa?”

Eugene. New York. Masa Depan.
Akhir pekan harusnya waktunya buat santai-santai, tapi sayangnya gue udah keburu punya jadwal rapat sama anak-anak PERMIAS buat bahas acara bulan Oktober besok. Nama acaranya “Batik Day 2018”. Pertama-tama gue nggak pernah jadi panitia acara sebelumnya. Istilahnya jadi aktivis lah pokoknya, dan bener-bener nggak pernah sama sekali. Palingan ikut kegiatan-kegiatan pas SMA, kayak ikut ekskul basket sama catur. Sisanya gue habiskan waktu buat belajar, belajar, dan belajar. Ya, banyak yang ngira gue rajin dan pinter, padahal sih menurut gue biasa aja. Soalnya meskipun orang-orang liat gue bisa kuliah di luar negeri, padahal dibaliknya biasa aja, prosesnya juga nggak gampang, cuma memang nggak banyak orang yang tahu proses itu.
Yang paling tahu persis cuma Nyokap sama Bokap gue doang. Terlebih orang tua gue emang agak strict ngedidik anak-anaknya. Orang tua gue bukan berasal dari keluarga tajir dan lain sebagainya. Misalnya keluarga besar Nyokap, mereka dulunya orang yang kurang beruntung, bermasalah dalam finansial dan nggak punya kehidupan yang layak. Nah dari situ, kakek-nenek gue punya prinsip untuk mendidik anak-cucunya agar menjadi keluarga yang bisa menghasilkan uang dengan cara yang semestinya, bukan dengan cara yang salah. Mulai dari membiasakan anak-cucunya bangun subuh, menjadi pribadi yang tepat waktu, sampai gimana harus belajar yang rajin dan kerja keras.
Terlebih soal belajar. Yang gue bilang tadi, orang tua gue, lebih tepatnya Nyokap gue, beliau strict banget sama jam belajar gue. Dari SD gue selalu disibukkan dengan kegiatan akademik dan non-akademik, misalnya Nyokap masukin gue ke kursus bahasa Mandarin, ikut kegiatan klub Sains di sekolah, bahkan yang membuat gue termotivasi masuk ekskul catur dan basket juga dari Nyokap gue. Alasan utamanya sih karena Nyokap-Bokap gue harus memastikan gue ikut kegiatan yang bermanfaat. Kedua, gue dari dulu orangnya pemalu banget jadi dengan diikutin kegiatan itu berharapnya gue jadi bisa lebih bersosialisasi dengan orang banyak. Kenyataan dari harapannya sih nggak demikian. Sampe detik ini pun gue masih nggak percaya diri buat ketemu orang banyak, jadi lebih mending berdiam diri di rumah, cuma sekadar belajar, bantuin Nyokap, atau cuma main game online.
Meskipun ada Nyokap dan Bokap yang selalu ngasih dukungan buat gue, tapi sebenernya gue nggak sering ketemu mereka. Alasan klasik sih, mereka pergi kerja. Cerita sedikit soal keluarga gue, jadi dari gue kecil Nyokap-Bokap disibukkan dengan urusan bisnis yang mereka bangun dari lama. Sekarang sih Alhamdulillah bisnisnya lancar, tapi sebenernya dulu nggak segitu. Keluarga gue udah banyak melalui asam garam perbisnisan, mulai dari cuma buka usaha toko pompa air, rental mobil kecil-kecilan, sampe sekarang punya hostel pribadi dan toko material sendiri. Nah, dari situ orang tua jarang ketemu gue karena ya itu tadi. Akhirnya gue dititipin ke Eyang dari Bokap yang tinggal di Surabaya dan jadinya gue pernah tinggal di Surabaya selama 2 tahun. Dari situ gue deket banget sama beliau. Dan dari situ gue jadi anak yang super duper manja. Sampe pas gue harus pindah ke Jakarta karena orang tua gue memutuskan buat buka usaha baru disana, Eyang gue rela bolak-balik Surabaya-Jakarta sekitar satu bulan atau dua bulan sekali cuma demi ketemu gue doang. Tapi pas beliau meninggal sekitar pas gue SMA, akhirnya yang menggantikan ‘posisi’nya adalah Nenek dari Nyokap yang gue panggil Popo (panggilan Nenek dari sisi nyokap dalam bahasa Mandarin).
Jadi dulu Popo sering banget nengokin gue pas kuliah S1 di Hong Kong dulu. Ya terdengar manja banget memang, tapi Popo rela jauh-jauh dari Seoul ke Hong Kong cuma mau liat cucunya karena waktu awal-awal kuliah, kondisi kesehatan gue nggak stabil. Berat badan gue turun drastis dari 65kg sampe cuma 50an kilogram. Itu semua karena kali pertamanya gue jauh dari keluarga. Dulu, gue tipikal orang yang lupa makan, apalagi kalo udah ngerjain tugas, pasti bener-bener nggak inget makan bahkan nggak laper sama sekali. Pokoknya kalo nggak disuruh makan atau nggak diingetin makan, yaa gue nggak akan makan. Dan waktu kuliah di Hong Kong dulu, karena nggak ada yang ngingetin atau nyiapin makan, akhirnya jarang makan bahkan lupa makan sampe akhirnya berat badan turun dan sakit-sakitan.
Selain pola makan gue yang berantakan akibat pertama kali merantau, tahun pertama kuliah juga diisi dengan bolak-balik Hong Kong-Denpasar karena adik gue, Kenzi atau kalau di rumah panggilannya Genji, dia juga sakit-sakitan. Sakitnya Genji pun bukan sakit panas atau batuk-pilek biasa, melainkan ada gangguan psikologi yang dia punya. Entah kenapa dari bayi, Genji itu sensitif dan pemarah. Gue nggak tahu pasti apakah itu akibat terlalu banyak nonton video di iPad yang dikasih Nyokap-Bokap ke dia supaya dia diam, atau ada hal lain, intinya tiap kali dia lagi nonton video di Youtube atau di TV dan orang lain ganggu dia, bahkan cuma buat disuapin makan, dia mendadak marah, bahkan sering ngamuk. Atau juga kalau mainannya kotor, makanan yang dia makan nggak enak, semua dibikin bad mood sama dia. Ada lagi, kadang tanpa sebab tertentu dia teriak-teriak dan ngamuk sendiri.
Seketika Nyokap panggil Psikolog anak yang udah ahli di bidang itu buat terapiin adik gue. Waktu itu terapisnya cuma ngasih saran ke keluarga gue bahwa kalau bisa kakaknya alias gue bisa lebih sering dirumah. Katanya sih kelengkapan keluarga itu salah satu keberhasilan terapinya. Tapi memang bener sih, sebelum gue berangkat ke Hong Kong adik gue yang dasarnya punya gangguan psikologis itu tambah parah semenjak gue kuliah di Hong Kong. Akhirnya demi kesembuhan adik gue, gue harus bolak-balik Hong Kong-Indonesia satu kali dalam sebulan. Awalnya berat banget harus fokus kuliah dan fokus ke adik gue, tapi Alhamdulillah, selama kurang lebih 6 bulan, perkembangan psikologis adik gue membaik dan gue pun bisa menjalani kehidupan sebagai mahasiswa di perantauan pada umumnya dengan baik.
Tapi nggak mungkin semuanya berlalu gitu aja. Meskipun adik gue udah sembuh, jadinya gue yang jadi sakit-sakitan akibatnya bolak-balik nengokin adik gue itu. Pokoknya pola makan dan hidup gue yang jadi berantakan. Gue sering banget makan cuma sekali sehari, itupun makan makanan yang seadanya yang bisa gue makan karena nggak ada waktu. Gue juga nggak bisa masak, ujung-ujung kembali ke mie instan kalo memang terpaksa. Gue bahkan inget banget karena berbarengan dengan penerbangan ke Bali di sore hari tapi pagi harinya gue masih harus kuliah, dan seharian gue nggak makan akhirnya gue cuma makan di pesawat.
Ngeliat gue nggak keurus, Popo gue yang jadi turun tangan. Beliau jadi sering datang dan nemenin gue di apartemen tempat gue tinggal di Hong Kong waktu itu. Karena pekerjaannya dulu adalah seorang herbalis dan terapis alias Sinshe beliau pasti tahu obat-obatan alami yang bisa dipake buat ngatasin susah makannya gue. Gue memang lupa makan, tapi jujur lupa makannya gue pun terkadang karena nggak nafsu makan. Jadi, jeleknya gue adalah kalau gue terlalu asyik sama dunia sendiri alias belajar dan main, gue hampir nggak punya nafsu buat makan atau minum sesuatu. Nah dari situ, Popo bawain obat herbal dari Korea yang bisa bikin gue jadi nafsu makan. Sebulan dan dua bulan pertama gagal, gue masih lupa makan dan kalaupun makan juga nggak nafsu-nafsu amat. Tapi Popo sabar banget. Beliau pernah tinggal di apartemen gue selama sebulan full beberapa bulan setelahnya, katanya demi bisa liat gue terlihat lebih sehat. Akhirnya, setelah 4-5 bulan, pola makan gue teratur, nafsu makan pun ada, dan berat badan yang tadinya cuma 50kg jadi hampir 60kg.
Setelah pola makan gue membaik dan pola hidup jadi normal, Popo akhirnya harus balik ke Seoul dan nggak mungkin juga kalau terus-terusan nemenin gue di Hong Kong. She has her own life and business and I need to be more independent now terutama soal pola makan. Awal-awal Popo udah balik, gue ngerasa kesepian banget. Mungkin karena terbiasa ada teman bicara jadi saat gue harus tinggal sendiri yaa jadi sepi dan sendirian. Dari situ gue tersadar, kayaknya nggak ada dalam hidup gue yang bener-bener sendirian. Dari kecil, meskipun Nyokap-Bokap sibuk, tapi ada Eyang Putri dan Kakung juga Popo sama Hal-abeoji yang selalu nemenin. Sodara-sodara juga banyak yang sering datengin ke rumah satu sama lain. Nggak lupa gue punya asisten rumah tangga dan supir, Mba Dila sama Om Yayan, yang udah kayak keluarga banget.
Meskipun Popo udah balik, tapi gue tetep harus menjalani kegiatan kampus dan perkuliahan dengan baik. Ya, awalnya kesepian memang seperti yang gue bilang tadi, tapi lama-lama jadi terbiasa. Sampe pada akhirnya, waktu menjelang penyusunan tugas akhir, gue jadi bener-bener butuh teman bicara buat curhat segala permasalahan yang gua hadapi pas nyusun tugas akhir itu. Nama lainnya butuh pacar sih.
Ngomong-ngomong soal pacaran, terakhir pacaran itu waktu SMA. Pas kuliah S1 bener-bener nggak punya karena mungkin terlalu sibuk kuliah dan fokus ke pengaturan pola makan pasca sakit itu. Kalo deket sih ada, salah duanya adalah Lenka dan Michiko. Kalau Lenka itu mahasiswi asing dari Ceko yang kuliah juga di kampus yang sama, The University of Hong Kong. Kami juga sama-sama jurusan Arsitektur. Karena keseringan praktikum bareng kita jadi deket. Kalau Michiko itu senior waktu gue exchange ke Chiba University, Jepang selama 6 bulan. Tapi dua-duanya hanya berakhir teman, karena permasalahannya adalah soal keyakinan. Kalau Lenka adalah penganut Roman Katholik yang taat, sedangkan Michiko menganut kepercayaan Shinto. Gue sih nggak ada masalah kalau cuma teman aja, tapi jadi masalah kalau lebih dari teman. Karena buat gue kalau pacaran harus serius, dan kalau serius berarti harus memikirkan juga soal keyakinan. Nyokap gue yang nasehatin gue kalau gue cari pasangan yang seiman, seIslam, karena meskipun beliau adalah seorang mualaf dari Buddha ke Islam. Banyak yang ngira kalau beliau jadi mualaf karena menikahi Bokap gue, padahal kenyataannya jauh sebelum mereka ketemu, Nyokap gue udah mualaf. Jadi beliau bilang kalau dia yang jemput hidayah Allah SWT itu, dan menikah dengan Bokap gue adalah pelengkapnya. Anyway, sampe tahun kedua gue kuliah S2 di Columbia University, gue masih sendirian aja kayak biasanya. Ya, mudah-mudahan secepatnya gue dapet temen ngobrol yang bisa lebih dari sekadar temen ngobrol.
Oh ya, balik lagi soal kegiatan gue jadi panitia “Batik Day 2018”. Karena nggak pernah bergabung sebelumnya, gue mencoba untuk mengiyakan apa yang diminta Kak Anna karena dia koordinator acara ini. Dia nyuruh gue buat ngerjain desain panggung buat peragaan busana dan juga dekorasi buat tempat seminarnya. Tapi nggak cuma gue aja yang ada di divisi dekorasi, Kak Anna bilang ada satu lagi yang jadi partner gue buat nge-desain, namanya Yureka. Ya, gue kenal siapa dia. Dia satu tim sama gue waktu seminar Sumpah Pemuda tahun lalu. Lucu sih, gue sama dia udah lama nggak contact bareng karena hape gue rusak dan lain sebagainya, dan dia pun kelihatannya sibuk banget, tapi ketemu lagi jadi partner acara bareng.
Gue udah mulai desain panggung pake Autocad. Hmm, gue nggak tahu aplikasi lainnya buat desain semacam ini. Tapi karena yang gue paham pake Autocad, yaa gue pake itu aja, seadanya lah. Sambil nunggu Yureka dateng, gue masih mantengin desainnya. Nggak lama kemudian, Yureka dateng dengan muka agak sedih. Gue nggak berniat tanya, tapi kalo dibandingin sama waktu pertama kita ketemu dulu, dia anaknya ceria banget. Dia ekstrovert dan banyak ide. Gue suka tuh cewek yang ekstrovert. Nggak tahu yaa apakah karena gue introvert apa gimana pokoknya gue lumayan tertarik sama cewek-cewek bawel kayak Yureka. 
Waktu seminar dulu juga dia jadi best speaker karena ide-idenya gue akuin bagus dan berani banget. Dia kritis terhadap banyak hal. Dan sepertinya dia rajin baca buku, pinter, yaa pokoknya smart lah. Gue appreciate banget sama cewek macam itu. Mungkin kalo ditanya tipe cewek gue kayak gimana, kalo boleh jujur sih yang kayak Yureka. Smart, independent, well-behaved. Karena menurut gue cewek cantik aja nggak cukup. Cewek itu harus cerdas dan mandiri. Buat sebagian orang mungkin selera gue dianggap aneh, tapi mungkin karena role model perempuan di keluarga gue yang menurut gue berhasil adalah Nyokap dan dua nenek gue (dari Bokap dan dari Nyokap) karena beliau-beliau adalah wanita yang kuat, mandiri, dan juga cerdas. Jadi yaa menurut gue perempuan hebat itu yaa yang kayak gitu.
Kembali soal reunian gue sama Yureka. Jadi, pas dia dateng, nggak tahu yaa dia ngeh sama gue apa nggak. Pokoknya abis masuk ruangan, dia malah ke kamar mandi dalam waktu yang cukup lama. Abis dari kamar mandi, ada hal aneh tapi lucu, jadi ternyata Yureka lupa siapa gue. Dia bilang dia pikir Eugene itu siapa, bukan anak PERMIAS yang pernah dia temuin di seminar dulu. Entah dia beneran lupa atau emang nggak ngeh atau karena dia lagi unmood makanya dia lupa sama gue. Apapun itu, gue nggak masalah, yang penting kerjasama gue sama dia soal desain-mendesain panggung akan beres.
Beberapa menit pertama ngobrol, yaa Yureka masih sama kayak dulu, banyak tanya, banyak ngobrol, tapi emang ekspresinya aja yang kurang mood. Gue nggak berniat tanya jauh kenapa dia bisa begitu, bukan urusan gue juga. Tapi agak aneh deh ketika gue cerita kalo gue dulu S1 di Hong Kong. Dia kayak kaget tapi semacam pura-pura nggak ada apa-apa. Apa dia nggak pernah tanya ke gue sebelumnya kalo emang gue pernah di Hong Kong selama 3 tahun? Hmm, tapi seinget gue emang pas seminar dulu nggak cerita banyak sih. Soalnya dulu kita cuma disibukkan dengan diskusi. Coffee break aja juga cuma ngobrol-ngobrol tanya informasi yang standar. Jadi emang nggak cerita banyak. Apa jangan-jangan dia punya sejarah sama Hong Kong? Kalau Ya, dia pasti cerita. Secara dia bawel, harusnya sih dia mau cerita ada hubungan apa antara dia sama Hong Kong. Tapi sejauh ini dia nggak cerita apa-apa. Dia cuma kaget tiap gue sebutin kata Hong Kong. Lupakan lah soal itu. Mungkin suatu saat dia mau cerita soal itu.
Yureka yang gue liat sekarang dan dulu juga masih sama, selain masih bawel, dia juga masih cuek soal penampilan. Buat gue, penampilan emang penting, tapi bukan prioritas utama. Kayak yang gue bilang tadi, yang terpenting bagi gue cewek itu otaknya. Make up itu perlu tapi jangan jadi mengesampingkan kecerdasan juga sih. Tapi ada faktor lain yang juga penting, yaitu cewek itu harus punya kharisma. Pandangan gue soal kharisma seseorang itu bukan soal penampilan dari luar ataupun dalemnya aja, tapi dia juga harus punya aura yang dalam hal ini aura positif, yang bisa membuat orang lain tertarik sama dia. Dan bagi gue, Yureka punya itu. 
Dari awal kita ketemu dulu, gue merasa dia emang punya aura itu, lebih tepatnya aura positif. Dia semacam punya cara buat bikin orang lain nyaman berada di dekatnya. Tapi dari pertemuan reunian ini, jujur gue jadi lebih tertarik sama Yureka. Dia terlihat makin mature, makin dewasa, pokoknya beda kayak pertama kali kenal dulu. Apa yaa perubahannya? Lebih touch up mungkin. Tapi yang seperti gue bilang tadi, itu bukan hal utama, tapi boleh juga kalau emang dia lebih concern sama penampilannya.
Trus apalagi ya yang berubah dari dia? Kayaknya dia lebih bisa jadi pendengar yang baik. Karena waktu kita seminar dulu, dia kayak nggak mau kalau pendapatnya nggak diterima orang lain, jadi dia kayak push orang lain buat mengiyakan pendapatnya. Sedangkan ketika orang lain menyampaikan pendapatnya, dia semacam menolak gitu dan cenderung nggak mau dengerin. Menurut gue itu namanya egois. Tapi anehnya dia dapet predikat best speaker ya? Hahaha itu aneh tapi yaa kenyataannya begitu. Dan berdasarkan percakapan orang tentang Yureka kala itu, dia emang patut diapresiasi karena ide-idenya yang emang brilian banget.
Kembali soal rapat, lebih dari 3 jam kita rapat dan lumayan dapet hasilnya. Karena udah malam dan kami semua nggak ada persiapan sama sekali buat nginep, ditambah beberapa dari kita udah punya janji sama orang lain di hari esoknya, akhirnya kita semua pulang ke apartemen masing-masing. Selama jalan dari apartemen dari rumah Kak Anna ke stasiun bawah tanah, gue juga sempet ngobrol sama Yureka. Makin lama Yureka makin nyenengin. Mungkin karena emang gue pendiam dan dia tukang ngobrol, entah kenapa dari dulu gue emang nyaman kalo ada orang yang ngomongnya banyak. Dia juga sesekali bikin lawakan receh yang berhasil bikin gue ketawa. Udah pinter, mandiri, perilakunya baik, jago ngelawak pula, apalagi senyumnya manis banget.
Pas udah sampe stasiun, gue, Fikri, sama Farida cabut duluan, karena kita bertiga satu arah yaitu ke arah kampus Columbia University dan kereta ke tempat tujuan kita udah ada, jadi kita langsung naik dan harus pisah sama yang lain. Yureka bakal bareng Gilang, Dhimas sama Chandra juga akan satu tujuan ke arah WTC. Gue berharap rapat minggu depan Yureka bisa dateng, karena gue tahu dia bisa aja nggak dateng kayak rapat pertama dan kedua karena agendanya di kampus super padat. Katanya sih emang Yureka terkenal banget di kalangan dosen-dosen dan profesornya, jadi nggak heran kalau misalnya dia bakal ijin nggak dateng rapat. Semoga gadis ke-arab-araban ini bisa dateng yaa di rapat mendatang.

💚💚💚

Satu minggu kemudian, anak-anak “Batik Day” balik lagi ke apartemen kak Anna buat membahas lanjutan agenda rapat acara. Dan seperti yang kita semua harapkan bahwa kami berdelapan datang semua, lengkap. Termasuk Yureka.
Entah kenapa sejak reunian minggu lalu, gue jadi ketagihan ngobrol sama dia. Hahaha. Lucu sih, aneh juga. Gue nggak pernah ngalamin ini sebelumnya. Tapi emang auranya Yureka bisa banget bikin suasana ngobrol jadi makin enak dan nyaman. Termasuk rapat hari ini. Meskipun kita sama-sama sibuk sama divisi masing-masing, tapi gue sama Yureka malah asyik ngobrol dan malah bahas yang lain. Sampe-sampe Kak Anna nyeloteh : “Heh itu yang dipojok jangan ngobrol aja yaa”. Yaa nadanya memang mengancam tapi percayalah, Kak Anna nggak akan jauh-jauh dari itu. Dia galak tapi nggak akan tega nyakitin kita.
Yang bikin ngobrol sama Yureka asyik itu karena ternyata dia suka musik klasik. Keren banget. Jarang gue nemuin cewek suka musik klasik. Kebanyakan cewek jaman sekarang suka musik EDM atau rock metal gitu. Hmmm, jujur gue pribadi nggak suka dan kurang tertarik juga sama cewek yang aliran musiknya itu. Trus ada satu lagi, dia juga suka musik folk gitu, contohnya musik Irlandia. Dan ternyata dia kenal juga lagu-lagunya Enya. Wah, kalo dia ketemu Nyokap gue, pasti mereka bakal seharian dengerin albumnya. Yaa, jadi Nyokap gue dari dulu suka lagu-lagunya Enya. Katanya bikin adem. Yaa bener banget, dan karena kebiasaan Nyokap gue itu gue jadi kebiasaan dengerin lagu-lagunya Enya, jadi ketagihan juga sih soalnya bikin suasana jadi adem dan menenangkan.
 Untungnya sih selama ngobrol sama Yureka, kita nggak kehilangan konsentrasi buat ngerjain tugas kita ngedesain dekorasi panggung. Sampe-sampe waktu nggak kerasa kita udah hampir 4 jam kerja sambil ngobrol tanpa putus. Seinget gue kita mulai ngerjain dari jam 10 sampe waktu menunjukkan pukul 13.45. Dan karena udah kelamaan juga, kita memutuskan untuk istirahat makan siang dan solat Dzuhur. Pas mau ngajak yang lain solat Dzuhur, entah mengapa sebagian kecil dari kami menghilang. Maksudnya Fikri, Gilang sama Dhimas keluar beli makan dan keliatannya udah dari 15 menit yang lalu. Selama mereka keluar dan nunggu makanannya datang, disitu cuma ada gue, Yureka, Kak Anna, Chandra, dan Farida. Berhubung Kak Anna dan Chandra non-muslim dan Farida katanya masih menstruasi, akhirnya gue cuma ajak Yureka solat berjamaah.
“Farida masih dapet?”, tanya Yureka ke Farida.
“Iyaa masih kak. Tinggal dikit sih, tapi belom mandi wajib”, jawab Farida.
“Oh yaudah. Aku sama Eugene aja kalau gitu”, balas Yureka.
“Loh lu udah selesai dapetnya, Yur?”, tanya gue penasaran.
“Udah kok. Yaudah mau solat? Lu duluan apa gimana?”, tanya Yureka keliatan innocent.
“Hmm, jamaah aja yuk. Pahalanya lebih banyak juga”, saran gue ke Yureka.
“Hehehe iyaa juga sih. Hmm yaudah boleh deh. Yuk”. Yaa, Yureka mengiyakan. Well, gue belum pernah sih imamim solat ke orang lain kecuali sama orang-orang rumah, tapi boleh juga lah dicoba.
Setelah solat 4 rakaat, Fikri, Gilang sama Dhimas udah balik lagi. Mereka pulang membawa 8 delapan bungkusan sandwich tuna organik dan 2 loyang pizza jamur saus tomat ukuran besar. Karena udah laper, semuanya menyerbu makanan bak orang nggak makan berhari-hari. Sambil makan, Yureka sesekali mengetik sesuatu di handphone nya. Nggak tahu sih ngapain, tapi kayaknya lagi chattingan serius sama orang. Soalnya gue liat pas ngetik tuh kayak emosi gitu. Mau gue nanya, tapi nggak sopan. Eh tapi nggak lama dia berceloteh : “Duh udah gue bilang nggak bisa yaa nggak bisa”
Tanpa mengganggu privasinya, tapi tetep penasaran, gue tanya sesuatu ke Yureka “Kenapa Yur?”
Sambil tetep mengetik dan emosi dia menjawab : “Itu tetangga gue. Maksa banget ngajak nonton besok. Orang udah ada agenda disini yaa nggak bisa lah”.
“Ngajaknya udah lama atau barusan?”, tanya gue lebih lanjut.
“Udah lama. Wah dari lama pokoknya. Sekitar 1 bulan lalu. Tapi kan tahu sendiri gue sibuk. Hahaha. Nggak deng. Sebenernya gue ada waktu tuh minggu lalu, tapi malem doang dan bisa aja kan gue iyain. Tapi nggak deh. Males gue sama dia”, jawabnya agak sewot.
“Laki apa perempuan tuh tetangga?”, tanya gue lagi.
“Cowok. Dan tahu nggak? Dia tuh kayaknya suka sama gue. Ya, bukan gue pede nih, tapi dia sering banget ke apartemen gue dan ngasih kue pie coklat bikinan dia. Soalnya gue pernah sekali bilang ke dia kalo gue suka banget sama coklat. Akhirnya dia jadi sering bikinin atau ngasih gue coklat gue”, jawabnya sambil bercanda.
“Yaa bagus dong. Kan dapet makanan gratis”. Abis emosi trus senyum gitu. Lucu banget sih nih anak.
 “Yaa tapi lama-lama annoying lah. Gue nggak srek sama orangnya. Soalnya apa coba? Awalnya tuh gue tahu banget kalo dia mau deketin roommate gue, yang dari Mexico itu, si Cassandra. Trus karena si Cassandra udah punya tunangan, jadi si bule ini malah deketin gue. Awalnya minjem apa yaa waktu itu? Cairan buat ngepel apa buat bersihin jendela gitu. Eh lama-lama ngobrol dan lama-lama malah deketin gue”, ceritanya panjang lebar.
Btw kenapa emang nggak mau sama bule? Kan banyak orang bela-belain keluar negeri buat ngincer jodoh bule”, tanya gue iseng.
“Nggak deh. Gue nggak srek sama bule. Yaa, oke, gue akuin bule itu ganteng-ganteng. Tapi gue mau cari produk buatan Indonesia aja. Lebih kece hahaha”, ceritanya sambil tertawa.
“Ada alasan khusus?”, tanya gue jadi penasaran.
“Hmm, apa yaa? Yaa kalau diajak diskusi kan bisa lebih enak. Kalau ada masalah nggak harus mikir dua kali buat nerjemahin ke bahasa Inggrisnya. Oh yaa sama kalau nonton lawak bisa ketawa bareng. That’s all”, celotehnya bikin gue ketawa seketika.
What? Nggak salah denger nih gue? Hmm yaya tapi make sense sih. Me too actually”, ucap gue agak malu.
“Hmm kenapa?”, tanya Yureka sambil menatap gue. Sepertinya dia juga penasaran, sama penasarannya sama alasannya tadi.
“Soalnya Nyokap gue orang asing, dan gue tahu persis itu ribet banget ngurus dokumennya. Dan karena gue naturalisasi dan udah fix jadi WNI dan punya KTP Indonesia, jadi gue pengen aja cari pasangan orang Indo. Ya, bakal gampang aja ngurus dokumennya”, jelasnya dengan wajah kembali ceria.
“Ya, bener. Gue setuju tuh. Emang lu bisa milih kewarganegaraan, Jin?”, tanyanya lagi.
“Yaa, soalnya Nyokap dwi-warganegara jadi anaknya harus milih. Kalau nggak salah sih yaa itu istilahnya naturalisasi. Jadi kalau ada orang tua yang warga negara asing atau ganda, anaknya bisa milih mau ke bapaknya atau ke ibunya. Dan jauh sebelum gue punya KTP gue udah memutuskan untuk ambil kayak Bokap, jadi WNI. Nyokap gue juga udah nyaman katanya tinggal di Indo. Katanya nggak ada makanan di Indo yang nggak pake micin. Semuanya dibikin gurih, dan lidahnya cocok banget. Apalagi indomie soto”, jawab gue panjang lebar.
“Oh gitu ceritanya. Baru tahu gue. Kalo boleh tahu, Nyokap lu warganegara ganda, emang dari mana asalnya?”
Baru mau gue jawab, eh ada telepon masuk. Panjang umur, yang nelpon Nyokap gue.
“Ehm itu... Eh sorry bentar ya. Yeoboseyo? Ne, Eomma?”. Yah, keceplosan gue pake bahasa Korea. Sebenernya gue rada nggak nyaman kalo lagi ngobrol sama Nyokap pake bahasa Korea, entah langsung atau lewat telepon, meskipun ada temen-temen deket tapi gue nggak terlalu nyaman aja.
Setelah tutup telpon, percakapan kembali dilanjutkan:
Eugene             : “Sorry tadi Nyokap telpon”
Yureka            : “Bentar, Nyokap lu di Indo kan? Sekarang hampir jam 2 siang disini berarti di Indo jam 2 jam 3an pagi dong? Ngapain subuh-subuh Nyokap lu telpon? Pasti urgent calling yaa? Atau kangen kali yaa sama elu.”
Eugene            : “Ah nggak. Cuma katanya minta ditemenin sahur aja. Dia mau bayar puasa hari ini. Katanya kalau besok besok nggak bisa soalnya dia minggu depan mau ke pulang kampung”
Yureka            : “Pulang kampung kemana? Ke negara asalnya?”
Eugene          : “Oh yaa tadi lu tanyain itu yaa? Hmm iyaa jadi…. Hmmm mungkin kalo lu denger gue tadi ngomong pake bahasa asing tadi, yaa itu negara asal Nyokap gue”
Yureka            : “Hmm yang mana yaa? Oh yaa pas lu tadi angkat telpon maksudnya?”
Eugene           : “Iyaa yang itu. Ayo coba tebak?”
Yureka            : “Yah mana gue inget yang kayak gimana. Coba ulangin lagi dong.”
Eugene           : “Ah nggak ada siaran ulang. Hmm, oke deh. Yeoboseyo? Annyeonghaseyo?”
Yureka           : “Ahh tahu! Bahasanya Lee Minho sama Song Jongki kan? Hahahaha. Bahasa Korea. Yaa gak salah lagi”
Eugene            : “Correct!
Yureka           : “Yeaah! Mana hadiahnya gue udah bisa jawab pertanyaan lu. Nggak deng becanda. Oh jadi Nyokap lu warganegara ganda Indonesia-Korea gitu yaa?”
Eugene             : “Korea Selatan. Jangan sampe ketuker sama yang satunya hehehe.”
Yureka             : “Oh yaa Korea Selatan maksudnya. Bukan yang satunya lagi. Hahaha”
Eugene            : “Yaa begitulah kira-kira.”
Yureka            : “Oh jadi rupanya pemuda ini keturunan Korea ya. Pantesan.”
Eugene            : “Pantesan apa?”
Yureka            : “Muka lu?”
Eugene           : “Muka gue kenapa?”
Yureka            : “Yaa itu… tipikal oriental”
Eugene            : “Hmm yaa oriental. Hahaha.”
Yureka            : “Tapi gue pikir lu keturunan Chinese. Maksudnya kan di Indonesia orang keturunan Tiong Hoa banyak tuh. Nah maksudnya gue tuh lu yang itu. Yang seperti keluarga Tiong Hoa di Indonesia pada umumnya.”
Eugene             : “Emang lu bisa bedain mana Korea mana China?”
Yureka            : “Yaa kan kalo Korea lebih… lebih apa yaa? Sorry to say nih, lebih putih. Putihnya tuh putiiiiihhh banget. Ampe mengkerelep kalo kata orang Betawi hahaha.”
Eugene             : “Trus kalo China nggak putih emang?”
Yureka            : “Putih. China juga putih tapi ada perbedaannya. Kalo China lebih agak kuning langsat gitu. Trus sipitnya sipitan orang China sih kalo kata gue.”
Eugene              : “Lu tahu dari mana perbedaannya emang?”
Yureka            : “Gue cukup sering kok nonton variety show korea. Hmmm apa tuh judulnya gue lupa. Ngakak pokoknya nontonnya.”
Eugene              : “KDrama?”
Yureka              : “Yaa lumayan”
Eugene             : “KPop?”
Yureka            : “Nope. No no no. Hmmm gue kurang suka jenis musik itu. Tapi dua sepupu gue gila banget tuh sama Kpop. Beuh. Nggak ada abisnya tuh berdua kalo lagi ngomongin Oppa-Oppa Korea.”
Eugene             : “Jadi tetep musik klasik di hati yaa?”
Yureka            : “Ya jelas dong hahaha”

Setelah makan, kita lanjutin kerja lagi dan langsung dilakukan rapat besar. Sengit banget. Dhimas sama Kak Anna sempet adu mulut gara-gara konsep acara. Tapi kita semua nggak heran ngeliat itu soalnya dasarnya Kak Anna keras dan Dhimas juga keras. Tapi akhirnya dilerai oleh Fikri sama Gilang. Saat Gilang mencoba mediasi sama salah satunya, entah dari mana asalnya si Chandra jadi kesulut api juga. Menurut gue disini Chandra belain Dhimas. Nggak tahu kenapa pokoknya tiap dia ngasih saran, cenderung belain Dhimas. Setelah lebih dari 30 menit selisih paham, kami akhirnya memutuskan untuk pause dulu sekaligus menenangkan Kak Anna dan Dhimas yang abis berantem itu. 
Pas istirahat, gue sempet keluar apartemen sebentar buat nelpon Nyokap gue lagi. Pas balik lagi, gue liat Yureka lagi menenangkan hati Kak Anna. Dari kejauhan dia ngomongnya alus banget, bukan kayak Yureka yang gue kenal. Ternyata dibalik sisi Yureka yang petakilan dan membawa tawa, dia bijak juga.
Setelah 30 menit istirahat, gue rasa suasana sedikit lebih tenang dan rileks. Kak Anna udah bisa senyum, Dhimas juga udah santai. Awal-awalnya hening banget ruangan rapat, tapi kemudian Yureka bangun dari kursinya dan menghampiri Dhimas dan menyeretnya ke Kak Anna sambil berkata, “Gue nggak suka peperangan. Cukup jaman Hitler sama jaman Budi Utomo aja ada perang, sekarang nggak usah. Baikan yaa kalian. Please!”
Nggak lama kemudian, Kak Anna ketawa pas liat-liatan sama Dhimas. Trus akhirnya mereka baikan. Syukurlah akhirnya bisa baikan. Gue nggak mau aja satu tim tapi saling diem-dieman. Kemudian rapat dimulai lagi. Ngobrol lagi, ketawa-ketiwi lagi, sambil makan pizza bareng, minum soda berbotol-botol, sampe waktu udah mulai larut. Akhirnya rapat kita hentikan di pukul 22.00. Pembahasan rapat juga udah clear. Sejauh ini konsep acara mateng dan tinggal realisasi lain-lainnya, termasuk dekorasi.
Setelah rapat, kita semua pada tepar. Ada yang tiduran bahkan ketiduran di sofa, contohnya Fikri. Dia sering banget kayak gitu. Saking sering ketiduran, kita akhirnya jadi manggil dia “TuTi” alias Tukang Tidur. Sedangkan Kak Anna, Farida sama Yureka bersih-bersih piring dan gelas bekas makan di dapur. Dhimas sama Chandra main PS sedangkan gue sama Gilang ngobrol-ngobrol soal kuliah. Kemudian Yureka masuk ke ruang tengah dan menyediakan semangkuk besar melon potong dan semangka. Wah, Yureka tahu aja gue suka melon. Sambil ngobrol-ngobrol santai dan menyantap buah-buahan, tiba-tiba Chandra nyeletuk: “Gue punya ide guys!”
“Nggak bisa, Kak. Kan rapatnya kan udah selesai. Nggak eh bercanda”, jawab Farida sambil ketawa kecil.
 “Gimana kalau kita main Truth or Dare aja. Berani nggak?”, balas Chandra penuh semangat.
“Hmm setuju!”, Kak Anna merespon dengan mulut penuh melon.
Oh maaaann. Kenapa harus game itu. Nggak ada yang lain? Apa kek monopoli? Uno stacko?”, Yureka tampak tidak tertarik dengan permainan itu.
“Ah bosen, udah bener itu aja. Yukk. Permainannya cuma pake botol doang tinggal diputer doang”, balas Gilang dengan logat medok jawanya itu.
“Jangan. Udah mainstream. Gimana kalo lempar biji semangka ke bagian muka tapi dilepeh gitu dari mulut ke arah atas. Nah kalo bijinya jatuh ke jidat misalnya, berarti yang kena, misalnya Kak Eugene”, celetuk Farida.
“Nah tahunya jidat itu bagiannya si Yujin pegimana Far?”, tanya Kak Anna.
“Ya milih aja. Terserah bebas. Masing-masing milih bagian muka yang mana. Misalnya Kak Eugene jidat, Kak Yureka mata sebelah kanan, dan seterusnya”, jelas Farida.
Idenya Farida boleh juga. Belom pernah nih main Truth or Dare kayak gini. Agak jorok juga sih lepehin biji semangka ke muka, tapi yaa boleh lah dicoba. Trus, akhirnya masing-masing dari kita milih bagian wajah yang dirasa paling susah dijangkau. Biar nggak asal milih, akhirnya kita berdelapan suit gunting-batu-kertas, yang menang duluan yang milih pertama. Yang menang pertama Dhimas, akhirnya Dhimas milih leher karena katanya yang paling susah dijangkau. Yang kedua menang Fikri, dia milih rambut. Awalnya pada nggak setuju karena rambut bukan bagian wajah. Akhirnya Fikri milih rambut alis yang sama-sama rambut katanya. Yaa, agak aneh sih, tapi yaudah lah ya, suka-suka dia aja. Dilanjut Gilang, dia pilih mata bagian kanan. Disambung Kak Anna yang milih mata kiri, trus Farida milih dagu, Chandra milih jidat, dan tersisa gue sama Yureka. Karena nggak ada pilihan lain, akhirnya gue milih pipi kanan, dan Yureka pipi kiri.
Pemain pertama yang bertugas melepeh biji semangka pertama ditentukan dari siapa yang makan pizza paling banyak tadi siang. Dan pilihan jatuh kepada Gilang. Dari awal kita temenan, Gilang emang terkenal paling banyak makan makannya postur badannya tinggi banget dan beriisi gitu. Kemudian Gilang lepehin biji semangkanya, dan jatuh ke jidat, berarti Chandra yang akan jadi sasarannya.
“Chandra, Truth or Dare?”, tanya Gilang.
Dare!”, Chandra menjawab penuh semangat.
“Okay. Aku mau kamu sekarang suitin cewek-cewek yang lewat depan apartemen Kak Anna. Yaa dari jendela aja biar nggak usah repot turun kebawah”. Wah idenya Gilang seru banget tuh.
“Hmm, Oke. Siapa takut!”, balas Chandra dan langsung menuju ke jendela apartemen Kak Anna. Dan yaa, benar dia ngelakuin tantangan itu dan sempet dimarahin sama orang-orang yang lagi pada ngerokok dibawah apartemen Kak Anna. Gue rasa ini kita bener-bener nggak ada kerjaan.
Akhirnya permainan dilanjut. Seru juga soalnya setelah-setelahnya pas bagian Kak Anna sama Farida yang kena, mereka milih Truth, dan pertanyaannya seputar kehidupan percintaan. Ya biasa lah cewek. Padahal di awal cuma ditanya “pernah di PHP atau friendzone nggak?”, jawaban mereka malah jadi sesi curhat-curhatan.
Setelah Kak Anna dan Farida panjang lebar cerita, sekarang gilirannya Fikri, Gilang, Dhimas, sama gue. Mereka milih Dare. Fikri dikasih tantangan bawa bantal ke tangga apartemen sampe ada tetangga lewat minimal dua orang. Yang ini agak lama sih, sekitar 15 menit baru ada orang yang lewat dan ditanyain “Hey, get out of here!”. Yaa kayaknya Fikri beneran dikira gembel padahal emang kalo udah masuk gedung apartemennya harusnya cuma dikira penghuni apartemen, tapi masih tetep dikira gelandangan.
Abis itu Gilang sama Dhimas nerima tantangan yang sama tapi beda objek. Jadi Gilang disuruh minta garam ke tetangga sebelahnya Kak Anna. Masih gampang, tapi pas Dhimas, kita dia suruh pinjem stik PS kalo bisa sama CD game-nya. Dia juga sempet dimarahin karena ibaratnya nggak kenal tapi malah minjem stik PS. Dan kayaknya pas giliran gue yang paling nggak enak. Jadi karena gue bisa ngomong bahasa Mandarin, gue disuruh minta keju mozzarella ke tetangganya Kak Anna yang orang China dilantai paling bawah. Kata Kak Anna galak orangnya, tapi karena gue lebih memilih Dare, akhirnya mau nggak mau gue iyain. Ternyata nggak segalak yang dibilang tuh. Apa karena gue ngomong pake bahasa Mandarin yaa makanya nggak kenapa-kenapa. Tapi sayangnya tetangganya nggak punya mozzarella, dia cuma punya keju chedar. Karena bukan itu yang kita mau, akhirnya di anulir dan nanti harus diganti pake Truth. Wah nggak hoki nih gue main ginian.
Dan giliran terakhir adalah Yureka. Keliatannya dia capek dan nggak tertarik sama permainan ini. Makanya dia milih Truth karena mungkin nggak mau capek dan ambil resiko kayak kalo ambil Dare.
Dan yang ngasih pertanyaan ke Yureka itu Kak Anna. Awalnya sempet hening, nggak ngerti Kak Anna mau mau ngomong apa. Setelah beberapa saat sepi, Kak Anna buka suara dengan pertanyaan: “So, Yureka. Gue ada perumpamaan dan nanti ada pertanyaanya. Tapi kalau bisa jawabnya jujur, paling jujur dari hati terdalam. Paham yaa? Jadi gini, semisal beberapa tahun mendatang, hanya tersisa 6 manusia aja di muka bumi ini, 1 nya elu, dan 5 nya pemuda-pemuda. Tapi ini misal doang yaa. Trus karena udah nggak ada generasi penerusnya, maka elu diharuskan memilih 1 pemuda dari 5 itu untuk dijadikan partner untuk membuat… Ya gitu lah. Paham kan lu maksud gue?”.
“Apaan yang jelas dong, Kak?”, Chandra begitu penasaran.
Kemudian dilanjut Kak Anna dengan jawaban: “Intinya lu harus memilih 1 di antaranya untuk meneruskan keturunan, intinya begitu”.
Okay. Terus?”, jawab Yureka sambil menampakkan mukanya yang capek.
“Pemuda-pemuda tersebut adalah….
“Anjir perasaan gue nggak enak nih”, celetuk Dhimas.
“Ssst diem. Let me finish my words, please”, Kak Anna mulai emosi.
“Ya, sorry kak. Jangan ribut lagi kita barusan aja baikan, Kak”, jawab Dhimas.
Never mind. Oke jadi, pemuda-pemuda tersebut adalah Chandra, Fikri, Dhimas, Gilang, dan Eugene. Nah, lu mau pilih siapa? Tenang lu nggak harus ngasih alasannya kok, tinggal pilih aja. Pilih 1 yang menurut lu oke buat nerusin keturunan”, jelas Kak Anna mengundang riuh temen-temen disekitar. Sontak semuanya ribut tapi gue liat Yureka tetep diam. Tapi sesekali dia tersenyum.
“Hmmm… let me think first”, respon Yureka.
“Nggak usah kebanyakan mikir. Langsung jawab aja”, celetuk Kak Anna protes.
Baru denger tuh ada perumpamaan kayak gitu. Lucu juga sih. Tapi kalo misal beneran ada semacam itu, kira-kira Yureka pilih siapa ya?
Sambil tetap berpikir, dia berulang kali melihat ke arah gue dan 4 pemuda yang disebutkan tadi. Sambil tetep tersenyum simpul. Kemudian tak lama dia menjawab : “Okay, kalau di bumi ini cowoknya tinggal kalian berlima…. Dan harus meneruskan keturunan... Hmm… Gue pilih Eugene”.
What? Dia pilih gue? Kenapa bisa gitu?
“Oh Eugene. Ya ya ya. Yaudah, kan tadi gue bilang nggak usah kasih alasan. Yaudah. Yaudah.”, respon Kak Anna.
Agak penasaran sih kenapa dia pilih gue. Tapi nggak lama gue ngelamun mikirin kira-kira alasannya Yureka pilih gue, ternyata tantangan Dare yang nggak valid tadi harus diganti sama Truth.
“Nah Eugene. Pertanyaannya…. Sama kayak tadi. Tapi dibalik. Jadi kalau di bumi ini ceweknya tinggal 3, di antara gue, Farida, atau Yureka, lu pilih yang mana? Tapi lu harus kasih saran”, tanya Kak Anna.
“Yaah curang. Tadi Yureka nggak disuruh kasih alasan, masa gue pake?”, gue protes keras.
“Ya, beda. Soalnya kan lu main Dare tadi di anulir. Dan harusnya Truth yang ini 1 level lebih sulit dari sekadar Truth biasa. Jadi ini harus pake alasan. Udah cepetan jawab”, bela Kak Anna.
“Tetep aja curang. Yaudah okay. Gue pilih…. Yureka”, jawab gue cepat.
“Alasannya?”, tanya Kak Anna. Dan yang lain jadi pada liatin gue dengan serius.
“Soalnya lu kan tidak percaya pernikahan. Lu juga nggak mau punya anak, Kak. Jadi nggak mungkin. Kalo Farida udah punya pacar, jadi nggak juga”, jawab gue perlahan-perlahan agar tidak salah ngomong.
“Jadi pilih Yureka aja nih?”, tanya Kak Anna dengan tampang yang mencurigakan.
Dan semuanya bilang : “Ciyeeeee” dan salah satu berkata “Ada yang cinta lokasi euy gegara Truth or Dare”.
Gue nggak tahu harus bilang apa, tapi hari ini bener-bener canggung banget. Gue juga jadi senyum-senyum sendiri, apalagi kalo liat Yureka. Jadi lebih canggung dan nggak bisa nahan buat nggak senyum.
Hari Sabtu ini ditutup dengan canda tawa kami berdelapan. Setelah permainan usai memang tidak ada yang mencoba memancing obrolan soal Truth or Dare tadi apalagi yang bagian gue jawab Truth. Tapi siapa yang tahu mungkin besok ada yang mulai mancing-mancing. Abis capek rapat dan main, saatnya tidur. Pastinya nggak digabung antara laki-laki sama perempuan, meskipun kita di Amrik, tapi budaya ketimuran harus tetap dijaga. Gue, Chandra, Fikri, Gilang, sama Dhimas tidur di ruang tengah dengan beralaskan selimut super tebalnya Kak Anna yang biasa dia pake pas winter. Sedangkan cewek-ceweknya tidur di kamar Kak Anna.

💚💚💚

Malam berlalu dengan cepat. Udah hari Minggu pagi. Dan hari pun udah berganti lagi. Rasanya cepet banget, rasanya baru kemaren ngerasa rileks dapet weekend meskipun harus tetep diisi sama agenda rapat. Itu berarti besok harus kembali ke rutinitas seperti biasanya. Kuliah, belajar, makan, tidur, ngumpul sama temen, ketemu dosen, dan lain sebagainya.
Pagi ini gue kebangun jam 5 subuh. Sebenernya udah biasa juga bangun jam segitu. Karena kebangun dan setelah solat subuh nggak tahu mau ngapain sedangkan yang lain belom bangun, akhirnya gua memutuskan buat cari udara segar sebentar di balkon apartemennya Kak Anna. Suhu diluar cukup sejuk, sekitar 22 derajat. Cukup sejuk di musim panas kayak gini. Di balkon gue terdiam. Liat lampu-lampu gedung pencakar langit New York yang masih menyala. Gue mencoba buat nggak mikir apa-apa, gue mau rileks sejenak. Tapi entah kenapa jadi terlintas mukanya Yureka di benak gue. Maksudnya apa yaa? Kan baru ketemu lagi setelah berbulan-bulan nggak ketemu trus ketemu lagi baru dua kali ini. Tapi kenapa gue jadi mikirin Yureka terus?
Nggak lama Kak Anna dateng dan ganggu suasana melamun gue.
“Ngapain pagi-pagi ngabsen di balkon orang?”, tanya Kak Anna sambil membuka sebungkus rokok dari saku celananya.
“Yah elu, ganggu aja orang lagi enak-enak cari angin”, jawab gue dengan alasan klasik.
“Cari angin atau cari jodoh?”, tanya Kak Anna lagi sambil mengambil sebatang rokok dan menyalakannya dengan korek elektrik yang juga ia ambil dari sakunya. Kemudian sambil bertanya: “Mau nggak lu?”
“Pagi-pagi itu sarapan roti bukan rokok. Nggak, makasih”, jawab gue sambil bercanda dengan Kak Anna. Gue juga bukan perokok. Dulu sempet ngerokok tapi karena gue alergi sama tumbuh-tumbuhan semacam tembakau, gue jadi berhenti ngerokok.
 “Lu belom jawab pertanyaan gue. Cari angin atau cari jodoh, hah? Nggak usah nutup-nutupin, Jin”. Kak Anna mulai sok tahu.
“Nutupin apaan sih?”, tanya gue sewot.
“Nggak usah boong. Gue kan gini-gini generasi penerusnya Mama Lauren”, jawab Kak Anna sambil menghisap rokok yang merk-nya berinisial M itu.
“Astagfirulloh. Ih orang udah meninggal jangan disebut-sebut. Pamali”, jelas gue sambil mengelus dada.
“Nggak deng becanda, Ya Tuhan. Maap yaa Mama Lauren. Peace! Eh belom dijawab juga, cari angin atau cari jodoh?”, Kak Anna masih terus memaksa gue buat jawab.
“Gue nggak paham maksud pertanyaan lu, Kak”, respon gue datar.
Setelah itu suasana agak hening dan kemudian Kak Anna membeberkan semua yang dia tebak. Dia bilang kalau selama rapat acara ini, dia melihat kalau gue ada sesuatu sama Yureka. Dia nebak kalo gue suka sama Yureka. Awalnya gue mau bungkam aja, nggak mau cerita apa-apa. Males juga curhat kayak ginian, terutama sama cewek. Gue pernah sih curhat sama cewek, tapi itupun sama Nyokap gue doang. Soalnya menurut gue kalo nggak perlu diceritain ke orang lain, baik temen-temen cewek atau geng cowok-cowok, yaa nggak usah diceritain. Tapi Kak Anna masih maksa gue buat ceritain sesuatu yang berhubungan dengan Yureka. Ya, akhirnya gue luluh dan cerita semuanya.
“Ya, jadi… Sebenernya, gue tuh…”

((BERSAMBUNG))

  
  ↺↺


Episode 6 : “Chocolate vs Cinnamon”

Yureka. New York. Masa Depan.
Selamat pagi dari kota New York. Aku tidak bisa tidur. Bukan karena lupa pakai kaus kaki, tapi memikirkan permainan Truth or Dare yang semalam. Benar-benar canggung sekali. Jadi, semalam kami main permainan itu yang mana lima pemuda memilih Dare sedangkan pemudinya memilih Truth yang berhujung sesi curhat. Tapi itu tidak penting, yang terpenting adalah sampai detik ini aku masih merasa canggung karena jawaban yang ku berikan saat menjawab pertanyaan Kak Anna.
Jadi semalam Kak Anna memberikan perumpamaan, kalau semisal di bumi ini laki-lakinya tinggal Fikri, Gilang, Dhimas, Chandra, dan Eugene, aku mau pilih yang mana untuk meneruskan keturunan. Kak Anna juga bilang aku harus menjawabnya secara jujur. Padahal kan hanya Truth, kok disuruh jawab jujur? Ya sudah, akhirnya dengan perasaan campur aduk kala itu, aku pilih Eugene. Tapi untungnya tidak perlu memberikan alasannya. Aneh sekali yaa, padahal kan biasanya menjawab sesuatu harus memberikan alasan. Contohnya menjawab soal ujian dari dosen versi esai, ada kasus dan dijawab dengan akal logika serta alasan mengapa dan dari mana. Mungkin Kak Anna tidak ingin menjadi dosen.
Yaa, aku tahu itu semua hanya permainan dan hanya candaan saja, tapi kan aku yang mulai kesemsem sama Eugene ini jadi was-was. Takut-takut benar mereka sudah tahu kalau aku suka dengan Eugene dari cara dan gelagatku beberapa kali bertemu Eugene seperti ini. Aku memang begitu, terkadang menggila atau overreacting tiap kali bertemu pujaan hati. Ya, namanya juga bertemu orang yang disukai, pasti ada reaksi yang tidak bisa dikendalikan. Contohnya? Kalau aku biasanya jadi lebih banyak tanya, banyak bicara, bahkan banyak membuat candaan dengan orang tersebut.
Setelah membuka mata dan beberapa menit memikirkan itu semua, aku memutuskan untuk bangun dari tempat tidur. Kulihat Farida masih tidur nyenyak. Aku tidak ingin mengganggunya.
Tapi kemana Kak Anna?
Jam berapa sih sekarang?
Hah masih jam 6?
Tumben sekali aku sudah bangun jam segini? Biasanya kalau weekend aku bangun jam 11 siang. Oops.
“Duh laper”, ucapku tak sengaja karena memang aku mulai lapar. Padahal kan aku semalam makan 3 potong pizza tapi sepagi ini aku sudah lapar. Eh lebih, 4 atau 5. Hmm, aku sudah lupa. Tapi intinya perutku pagi-pagi sudah minta dipresensi.
Ketika turun dari tempat tidur dan keluar menuju ruang tengah, aku masih melihat 4 pemuda masih tertidur lelap.
Tapi kok cuma 4? Hmmm, siapa yang tidak disitu?
Ah, Eugene! Kemana tuh anak?
Sekilas ku melihat ke arah balkon, disitu ada Kak Anna dan Eugene.
Oh, jadi disitu mereka rupanya. Wah, pagi-pagi sudah ngerumpi.
Ngobrolin apa yaa mereka? Penasaran.
Eh kenapa jadi ngurusin hidup orang? Aku kan tadi mau buka kulkas cari makanan.
Ku buka kulkas Kak Anna, ku cari-cari mana makanan yang cocok dimakan di pagi-pagi hari seperti ini. Dan kulihat ada melon dan semangka sisa semalam. Aku jadi teringat Eugene ketika ia melontarkan komennya saat aku menghidangkan buah-buahan ini kepada mereka bertujuh. Katanya: “Wah ada melon. Kok tahu aja sih gue doyan melon”.
Saat itu pun dalam hati ku berkata: “Duh kok kebetulan banget sih gue beli buah yang dia suka. Waktu beli itu di supermarket sih gue milih buah itu karena pasti banyak yang suka. Tapi emang lagi diskon sih jadi lebih murah juga”. Tapi diluar konteks buah-buahan murah, aku pun sangat suka buah-buah itu, lebih tepatnya semangka, tapi tidak terlalu dengan melon. Ternyata pemuda yang mulai membuatku kecanduan akan kehadirannya ini suka sekali buah melon.
Apakah ini pertanda bahwa ini semacam perjodohan dari Yang Maha Kuasa?
Oke, Stop Yureka, jangan mulai berkhayal lagi. Ini masih jam 6 pagi, sebaiknya kau pikirkan hal yang lebih penting ketimbang mempertimbangkan perjodohan Tuhan lewat buah-buahan tidak berdosa ini.
 …“Yur, tutup kulkasnya. Itu dinginnya ampe kesini-sini tahu!”, Dhimas terbangun karena udara dari kulkas yang kubuka tadi. Ternyata lamunanku membuat ku lupa kalau aku sedang membuka kulkas dan sedang mencari makanan.
Dengan penuh penyesalan, aku hanya membalas “Oh yaa maap, Dhim. Yaa, nih gue tutup lagi”.
Setelah ku ambil melon dan semangka yang tersisa beberapa potong itu, aku duduk di kursi dekat dapur yang arahnya menghadap serong kiri ke pintu menuju balkon. Jadi Eugene dan Kak Anna masih ngobrol yaa diluar? Sepertinya obrolan mereka seru sekali. Kelihatannya Kak Anna juga enjoy berada di dekat Eugene. Ah, andai yang diposisi Kak Anna itu aku. Pasti lebih seru lagi.
Tunggu, tunggu, kenapa aku jadi cemburu dengan Kak Anna?
Oke, Yureka, ini mulai berlebihan. Jadi, tolong hentikan ini.
Sambil mengunyah buah-buah segar ini, aku masih memikirkan permainan semalam. Aku masih ingat betul kata demi kata yang dilontarkan Kak Anna, ataupun reaksi-reaksi semacam “Ciyeee” dari teman-teman panitia. Bahkan aku masih ingat bagian Eugene saat ia menjawab Truth. Setelah tantangan Dare yang ia lakukan di anulir yang disebabkan oleh tantangan yang diminta tidak ada saat itu juga. Jadi sebenarnya tantangan tersebut adalah ia harus meminta sebungkus keju mozarela dari tetangga Kak Anna yang tinggal di lantai 1, namun sayangnya beliau hanya memiliki keju chedar. Diterima sih keju chedarnya, tapi bagi teman-teman berenam lainnya, tantangan tersebut di anulir dan harus diganti dengan Truth. Jahat sekali yaa teman-temanku ini. Namun bodohnya, pertanyaan yang diajukan Kak Anna ke Eugene sama seperti pertanyaan yang diajukan kepadaku, hanya saja objeknya yang berbeda. Intinya, antara Kak Anna, Farida, dan aku, Eugene pilih yang mana? Dengan keheningan sesaat, kemudian ia menyebut namaku. Ya, NAMAKU! YUREKA! Sumpah, saat itu juga aku bereaksi mematung, membeku, atau apalah. Apa maksudnya coba? Ya, dia memang diminta menyebutkan satu nama dari tiga nama tadi tapi kan itu yang justru membuatku tambah kegirangan sampai ke angkasa.
Tidak berapa lama, mereka yang sedang aku bicarakan dalam benak, masuk kembali.
“Eh, Yureka. Kirain siapa. Udah bangun?”, tanya Eugene yang masih terlihat muka bantal di wajah tampannya.
“Ajegile pagi-pagi udah makan. Laper lu atau gimana?”, celetuk Kak Anna.
“Iyaa laper gue. Hehehe”, jawabku tersenyum simpul.
Setelah basa-basi busuk, Kak Anna kemudian mengingatkanku untuk mengambil barang-barang bekas di apartemenku untuk bahan membuat dekorasi. Yaa, memang hasil rapat seharian kemarin itu menghasilkan ide untuk membuat DIY (Do It Yourself) untuk dekorasi panggung peragaan busana nanti. Memang tidak full panggung yang akan kami hias dengan DIY, tapi nanti sebagiannya lagi akan menggunakan barang-barang pajangan yang bisa disewa dari sebuah studio seni yang tidak jauh dari apartemen Kak Anna.
Kemudian Kak Anna menambahkan kalau nanti ketika mengambil barang DIY itu, Eugene yang akan membantu mengambilkannya dan mengantarkannya ke apartemen Kak Anna. Alamak! Duh pasti tambah canggung lagi nanti. Yaa, Eugene memang satu tim denganku tapi kan bisa minta tolong beberapa orang lagi untuk ambil ke apartemenku. Tapi kan semua sudah punya tugasnya masing-masing yaa. Ya, yasudah lah, mau bagaimana lagi.
Tepat pukul 8.00 pagi, setelah cuci muka dan lain sebagainya, aku dan Eugene meluncur ke apartemenku dengan menggunakan kereta bawah tanah. Selama perjalanan, kami cerita banyak. Ibaratnya, meneruskan percakapan yang kemarin kami lakukan. Kemarin kami bicara soal apa ya? Ah, yaa soal keluarganya Eugene dan Mamanya yang orang Korea itu.
Ternyata Eugene ini punya adik laki-laki yang perbedaan usianya sangat jauh, yakni 15 tahun. Adiknya sempat sakit-sakitan, baik fisik maupun psikologisnya. Bukan gila yaa, tapi hanya butuh terapi saja. Tapi itu dulu katanya, waktu usianya masih 3 tahun. Sekarang adiknya yang namanya Genji itu sudah kelas 2 SD, usianya 8 tahun, tumbuh menjadi anak yang sehat walafiat dengan emosi yang sudah cukup stabil.  Karena katanya, dulu emosi adiknya tidak bisa dikontrol. Sebentar-sebentar ia marah dan ngamuk, kadang malah tanpa sebab. Awalnya juga sempat bersekolah di sekolah umum, tapi karena hal itu tadi yang akhirnya membuat orang tuanya beralih ke homeschooling dengan tujuan agar emosi Genji bisa dikontrol lebih mudah dengan bantuan guru dan terapisnya. Sampai sekarang pun katanya masih homeschooling dan direncanakan sampai lulus SD nanti. Kalau SMP dan seterusnya, melihat bagaimana perkembangan Genji nanti.
Menanggapi cerita yang ini, adiknya homeschooling, ikut terapi dari psikolog berpengalaman, berarti keluarganya kaya raya yaa? Kalau memang demikian, yaa, ya sudah. Tapi aku suka Eugene bukan karena hartanya ya. Lagi pula awalnya mana ku tahu kalau ia setajir itu. Aku kan suka karena kebaikan hatinya, kecerdasan otaknya, dan juga kerupawanan wajahnya. Ah, sempurna!
Karena makin penasaran dengan latar belakang keluarganya, aku bertanya lagi bagaimana soal Ibunya yang berasal dari Korea Selatan tersebut. Sambil mampir beli dua potong bagel sandwich, ia beberkan panjang lebar. Jadi, mulai dari Kakek dan Neneknya yang tinggal di Korea. Kakeknya bernama Kang Dong-won, asli orang Korea Selatan, lebih tepatnya dari kota Incheon. Lalu Kakek Dong-won menikah dengan Nenek Meiyin Wang atau nama Korea-nya Kang Mi-young. Neneknya berasal dari Guangzhou, China yang kemudian pindah warganegara menjadi warga Korea Selatan sesaat setelah menikah dengan Kakek Kang Dong-won.
Tunggu dulu, tunggu, nama belakang Neneknya “Wang”? Nah kan betul, Eugene dan Adam ada hubungan saudara. Atau jangan-jangan Neneknya Eugene dengan Neneknya Adam ada hubungan pertalian saudara? Tapi kan yang namanya “Wang” banyak, Yureka. Kau ini bagaimana. Ah, tidak tahu lah. Nanti saja investigasi lagi. Sekarang aku harus fokus terlebih dahulu ke cerita Eugene tentang keluarganya. Ya, siapa tahu akan jadi bagian dari keluarganya juga. Hah, berharap sekali yaa Yureka ini.
Lalu, Kakek dan Neneknya punya 4 orang anak, dan salah satunya Mamanya Eugene yang ternyata anak ketiga dari 4 bersaudara itu. Kemudian tahun 1980an, mereka pindah ke Jakarta dan membuka usaha toko obat herbal di daerah Glodok. Saat itu Kakek dan Neneknya hanya membawa dua anaknya saja, yaitu Mamanya yang bernama Kang Mi-sook dan juga adik Mamanya alias Tantenya Eugene yang bernama Kang Mija. Sedangkan dua kakak Mamanya saat itu sudah berkeluarga dan satu lagi sedang wajib militer maka tidak ikut pindah ke Indonesia.
Selama tinggal di Jakarta, Kang Mi-sook atau nama Indonesia Mia Oetomo ini, membantu usaha kedua orang tuanya alias Kakek dan Neneknya Eugene, sampai kemudian Tante Mia memutuskan untuk meneruskan studi ke jenjang universitas. Saat itu Tante Mia kuliah di jurusan Farmasi Universitas Indonesia. Kemudian, di toko Kakek-Neneknya Eugene ada pelanggan tetap yang ternyata berprofesi sebagai dosen Sastra Mandarin di UI. Karena Tante Mia bisa bahasa Mandarin, maka pelanggan yang dosen tadi memintanya untuk menjadi asisten pengajar selama satu semester. Nah, dari asisten pengajar Sastra Mandarin itulah Tante Mia bertemu suaminya alias Papanya Eugene yang bernama Geni Joyo Oetomo. Papanya memang bukan mahasiswa Sastra Mandarin, tapi Papanya itu murid lesnya dosen tadi karena katanya saat itu Om Geni sedang kursus bahasa Mandarin guna mempersiapkan keberangkatannya ke China untuk menjalani program magang selama 6 bulan di salah satu perusahaan berbasis pertanian. Nah, dari pertemuan di kampus FIB UI itu, Tante Mia dan Om Geni ketemu dan akhirnya sampai sekarang menikah.
Eugene juga cerita kalau kisah percintaan Mama-Papanya tidak seindah yang dilihat orang dari luarnya. Karena katanya awal mereka dekat, Kakek dari Papanya atau Eyang Kakungnya kurang setuju karena meskipun Tante Mia sudah mualaf sejak sebelum bertemu Om Geni, tapi yang waktu itu agak dipermasalahkan adalah karena keluarga besar Tante Mia masih beragama Buddha. Setelah menjalani serangkaian pendekatan persuasif, akhirnya Mama-Papanya mendapat restu. Setelah selesai magang di China yang mana aku lupa itu di kota mana, kemudian Om Geni balik ke Indonesia dan langsung menikahi Tante Mia. Dari pernikahan itulah, beliau-beliau dikaruniai dua anak ganteng seperti Eugene dan Genji. Ya, aku memang belum ketemu Genji langsung sih, tapi Eugene menunjukkan foto adiknya dari handphonenya. Iyaa, memang ganteng. Abang-Adik sama-sama tampan dan rupawan. Duh, jadi ingin menikahi Abangnya. Baiklah, Yureka jangan mulai lagi!
Eugene juga menjelaskan lika-liku kehidupan keluarganya. Salah satunya beberapa kali pindah-pindah tempat tinggal. Jadi, Eugene ini lahir di Jakarta pada tanggal 20 Maret 1995, kemudian ketika ia berusia 3 tahun, ia dan Mama-Papanya pindah ke Korea untuk tinggal sementara disana untuk menghindari efek krisis moneter di Indonesia tahun 1998. Sekitar lima bulan kemudian, hanya Papa dan Mamanya saja yang kembali ke Indonesia, sementara Eugene tetap tinggal dengan Neneknya di Incheon, Korea Selatan, selama kurang lebih 1,5 tahun. Setelah itu Eugene pindah ke Surabaya karena sejak orang tuanya pindah dari Korea, mereka membuka usaha di Surabaya. Eugene pun lagi-lagi harus dititipkan pada Nenek dari Papanya yang ia panggil Eyang Putri itu. Di Surabaya, Eugene tinggal selama 2 tahun kalau tidak salah. Setelah itu ia dan orang tuanya pindah ke Jakarta dan membuka cabang dari usaha keluarganya itu.
Setelah pindah ke Jakarta, bukan tambah bahagia, tapi saat itu keluarganya mendapat musibah, yakni Om Geni sakit stroke yang membuat bagian tubuh sebelah kirinya tidak bisa digerakkan. Untuk membayar pengobatan Papanya itu, Mamanya terpaksa menjual seluruh aset bisnisnya baik yang ada di Surabaya maupun yang baru dibuka di Jakarta. Tapi bersyukurnya setelah 2 tahun menjalani pengobatan alternatif, akhirnya Papanya sembuh total dan kembali menjalani aktifitas seperti sedia kala. Katanya sih, Om Geni dulu hidupnya kurang sehat, pola makannya berantakan, tidak pernah olahraga, perokok berat, bahkan katanya Papanya juga sempat kecanduan minuman beralkohol. Beliau juga katanya sering marah-marah, sering memarahi Eugene kalau ia malas belajar dan sekolah. Eugene bahkan pernah dihukum dikurung di kamar selama beberapa jam oleh Papanya akibat ia mendapat nilai yang kurang bagus dalam mata pelajaran bahasa Inggris dan bahasa Mandarin di sekolah. Uang jajannya pun tidak diberikan selama satu bulan. Mungkin karena perlakuan beliau yang demikian membuat beliau sakit stroke. Memang sih, setauku salah satu penyebab stroke itu karena selain pola hidup yang tidak sehat, sering marah-marah dan gampang emosi juga jadi pemicu utamanya.
Meskipun modal dan aset keluarganya menipis, tapi orang tua Eugene tidak kehilangan akal. Mereka semua akhirnya pindah kota untuk yang kesekian kalinya. Dipilihlah Denpasar yang sampai saat ini keluarganya Eugene masih tinggal disana. Sambil merapihkan serpihan roti dibajunya, ia berkata: “Ya, Alhamdulillah sejak pindah ke Bali, semuanya stabil. Meskipun ada drama adik gue sakit yang tadi gue ceritain itu. Tapi keluarga gue nggak ambil pusing sih, soalnya kita semua jadi belajar ikhlas. Pokoknya semenjak Bokap sakit stroke yang tiba-tiba dan sembuhnya pun lama sampe 2 tahun, ditambah adik gue sakit, ya, Nyokap gue cuma bilang itu semua cobaan dari Allah. Dan ambil pelajaran aja dari disitu supaya nggak sampe terulang lagi.”
Dari pernyataannya itu, Eugene juga mengungkapkan itulah salah satu alasan mengapa ia tidak merorok karena ia memetik pelajaran dari kejadian Papanya sakit. Ia bilang ia tahu betul pola hidup Papanya yang sangat tidak sehat. Sering begadang dan lain sebagainya. Tapi selain mengambil pelajaran dari Papanya, ia tidak merokok juga katanya ia alergi dengan tembakau. Aku baru dengar ada kelainan semacam itu. Penyakit macam apa yang membuat seseorang alergi dengan tumbuh-tumbuhan semacam tembakau? Ya, mungkin memang ada tapi aku yang belum cari tahu lebih lengkapnya. Tapi tetap saja aneh. Intinya, dahulu waktu awal-awal Eugene mencoba merokok saat duduk di bangku SMA, ia bilang setiap habis merokok maka kemudian di wajahnya akan timbul bercak-bercak merah seperti jerawat. Kasihan sekali gebetanku ini.
Dari ceritanya dan caranya bercerita, aku bisa melihat kalau Eugene ini penyayang keluarga. Setelah terlontar dari benakku, ia kemudian yang mengaku sendiri kalau ia memang sangat menyayangi keluarnya. Ia bilang kalau ia rela belajar mati-matian agar bisa mendapat nilai yang maksimal dan setelah lulus nanti bisa menghasilkan uang yang banyak yang nantinya akan membalas kebaikan dan kasih sayang kedua orang tuanya selama ini. Meskipun katanya memang kasih sayang orang tua tidak akan bisa dibalas dengan apapun, apalagi dengan sepeser uang. Tapi ngomong-ngomong, aku suka sekali loh laki-laki yang family man karena dengan mencintai keluarganya berarti kan dia bisa mencintai wanita dengan sepenuh hati. Tapi siapa yaa wanita yang akan ia cintai? Cintai aku saja maka aku sangat menerimamu apa adanya, Jin. Nah kan, mulai lagi Yureka Bhanuresmi Cendekia anak Cinere satu ini.
 Tidak terasa, setelah cerita panjang lebar, akhirnya sampai juga di apartemenku yang tidak jauh dari kampus NYU, kampusku tercinta. Ketika naik tangga menuju ke lantai 3, tempat ku dan dua roommate menetap, aku dan Eugene berpapasan dengan tetangga yang suka memberikan ku kue pie coklat kepadaku.
Yureka! How’s going? How was your weekend?”. Laki-laki berambut cokelat kepirang-pirangan bermata biru yang katanya keturunan Rusia dan Slovenia ini menghampiriku dan basa-basi menanyakan kabarku.
Good. It was great. I spent my weekend with a bunch of friend, Indonesian friends”, balasku dengan muka datar. Ya, aku tidak terlalu suka pria bule ini.
Jadi, tetangga yang ku ceritakan pada Eugene kemarin itu namanya Jamie Whitley. Sejak beberapa minggu terakhir, aku agak terganggu dengan kedatangan Jamie yang lumayan sering ke apartemenku. Awalnya ia mau mendekati Cassandra, salah satu roomate asal Mexico. Setelah mengetahui Cassandra sudah punya tunangan, maka Jamie perlahan mundur dan malah sekarang beralih mendekatiku. Ya, bukannya aku Pe-de, tapi ia sering sekali memberikanku sebatang coklat dengan isian kacang atau bahkan membuatkanku pie coklat. Ya, pekerjaannya memang jadi tukang masak di restoran Italia ternama di New York, aku bahkan lupa namanya apa. Dan tidak heran memang kalau ia membuatkanku kue pie karena dia memang bisa membuatnya, tapi kan kalau keterusan berarti ada udang di balik batu. Aku jadi memutar ulang kapan pertama kali Jamie memberikanku coklat, ternyata itu semua berawal dari pernyataanku yang sangat menyukai coklat ini. Makanan favoritnya juga ternyata coklat. Intinya semenjak itu ia jadi mendekatiku, bahkan sudah berani mengajakku jalan.
By the way, I’m so sorry to not reply your message. Very busy weekend with my friends. Owh, and this is Eugene, one of my Indonesian friends. So, Jamie this is Eugene. And Eugene, this is Jamie. Jamie works as a chef, in the very famous Italian Restauran in New York City. He’s also way to smart to cook chocolate pie. He always come by and give me a very special chocolate pie.”, jelasku pada keduanya namun sesekali mengedipkan mata ke Eugene dengan maksud untuk menunjukkan padanya siapa sesungguhnya tetangga yang suka menggangu yang ku ceritakan padanya kemarin. Dan manusia itu adalah yang sedang ia temui saat ini.
Owh. Jamie. Chocolate pie. I’m Eugene. Nice to meet you”, ucap Eugene dengan tambahan ekspresi terkejut.
I’m Jamie. Nice to meet you bro”, Jamie menjabat tangan Eugene dan bersalaman lah mereka pada akhirnya.
 Setelah berjabat dan bersenyum sapa yang bisa jadi ada gunanya namun bisa juga tidak ada gunanya, Jamie kemudian menanyakan kepadaku tentang sesuatu, “So, Yureka? Still no?
I have no idea. I’ll let you know soon”. Ya, Jamie masih ingin mengajakku jalan. Tak henti-hentinya pria bule ini berusaha agar aku mengiyakan permintaannya.
Alright. That’s fine. Well, have a nice Sunday. See you around”. Jamie pamit undur diri.
Aku membuang napas pertanda lega. Kupikir akan ada drama yang antara pria bule dan pria oriental demi mendapatkan hati gadis Cinere.
“Jadi itu tetangga yang lu maksud, yang ngajak lu jalan? Kenapa nggak lu iyain aja sih? Yaa, gue tahu lu nggak mau sama bule tapi kan nggak ada salahnya menerima ajakan dia. Kan sebagai teman”. Menanggapi pernyataan Eugene begini aku tambah kesal. Tapi sarannya boleh juga sih.
“Iyaa tahu, tapi kalo setelah itu dia jadi besar kepala dan terus-terusan ngajak gue jalan, ngajak gue pacaran, gimana?”, sambil sibuk mencari kunci pintu apartemen di tas punggungku, nada bicaraku meninggi.
“Yaa, jodoh kan nggak kemana-mana. Ya, kan?”, jawab Eugene.
“Duh, nggak deh, Jin. Bukan gue rasis nih, tapi doi itu Atheis. Dalam prinsip hidup gue… Ya… Nggak bisa. Lu paham kan maksud gue?”. Saking emosinya, aku jadi salah ambil kunci. Harusnya kunci pintu malah kunci gudang yang akan aku kunjungi setelah ini.
“Oh Atheis ternyata. Nggak heran sih kalo disini. Yaa, tapi kan bagus dong kalo lu ajak dia jadi mualaf”. Saran Eugene memang bagus tapi sekali hati ini berkata tidak ya tetap tidak.
“Ngajak dia mualaf? Alhamdulillah kalo berhasil. Lah kalo nggak? Orang terakhir gue bahas agama sama dia, ujung-ujungnya ribut. Dia keukeuh bilang, Tuhan itu nggak ada. Astagfirullohalazim. Gimana mau dijadiin pasangan hidup, pegangan hidup aja dia nggak punya”, gumam ku lalu pintu berhasil dibuka dan secara tersirat mempersilahkan Eugene masuk ke dalam apartemenku.
Hmm nice thought. I appreciate that anyway”, Eugene hanya menanggapinya dengan senyuman. Untung dia gebetanku, untung juga senyumnya manis. Kalau tidak, aku usir dia saat itu juga karena masih terbawa kesal terhadap Jamie.
Setelah masuk ke apartemen, sepertinya tidak ada orang. Oh ya, baru sadar, Cassandra dan Salima, dua teman berbagi apartemen, sedang ada acara masing-masing. Cassandra sepertinya sedang menginap di apartemen tunangannya di daerah Queens. Biasa lah, disini seperti itu tidak perlu diherankan lagi. Sedangkan Salima sedang berlibur bersama keluarganya ke Boston.
Setelah mempersilahkan Eugene masuk, aku menyiapkan satu teko besar dan satu gelas untuk Eugene, siapa tahu dia haus. Sambil berkata “Yaudah, gue cari dulu barang-barangnya di kamar. Trus, kalo lu kalo laper atau mau nyemil-nyemil, ada di lemari atas nomor dua yaa. Di kulkas juga ada. Feel free aja pokoknya.”
“Sip. Thank you, Yur.”, balas Eugene sambil melihat area dalam apartemen tempat aku tinggal.
Di kamar, sembari mencari barang-barang yang bisa dijadikan bahan dekorasi, aku sempat tersenyum lebar. Astaga, baru dua kali bertemu dan semalam menginap yang artinya frekuensi bertemu dengan Eugene lebih banyak, sekarang malah mampir ke apartemen, meskipun cuma hanya sekadar mengambil barang. Duh, aku belum pernah menerima tamu laki-laki sebelumnya. Maksudnya laki-laki yang aku sukai. Kan beda rasanya memasukkan laki-laki yang satu bahasa, satu bangsa denganku, ke dalam tempat tinggal selama satu tahun belakangan. Kalau mempersilahkan Jamie masuk sih biasa saja. Atau teman kuliah juga beberapa kali pernah kesini. Tapi hanya mampir saja, yaa seperti ini, ambil barang lalu pergi lagi.
Sebenarnya tidak banyak teman pria yang datang dan berdiam agak lama. Maksudnya, aku tidak pernah belajar atau diskusi kelompok bersama teman kampus yang jujur saja kebanyakan laki-laki, di apartemen ini. Itu semua karena Salima, teman apartemenku yang kurang nyaman kalau laki-laki masuk ke apartemen kami. Bukan menghakimi, tapi memang maklum saja dia wanita berhijab yang cukup relijius, jadi wajar saja kalau dia kurang nyaman ada laki-laki bukan muhrim kami masuk ke apartemen. Aku pun sebenarnya sama muslimnya dengan Salima, tapi bagiku kalau hanya sekadar mampir dan belajar bersama, apa salahnya? Ya, aku pernah membicarakan ini diam-diam dengan Cassandra bahwa kami berdua kurang nyaman dengan prinsip Salima tersebut. Cassandra juga sempat kesal karena tunangannya, Jose, tidak pernah bisa menginap karena hal tersebut yang pada akhirnya membuat Cassandra mengalah dan tidur di tempat tinggal Jose kalau memang diinginkan. Tapi kemudian aku dan Cassandra menyadari bahwa membicarakan Salima di belakangnya bukan solusi yang baik, kami pun pada akhirnya harus menghargai keputusan dan prinsip hidup Salima tersebut.
Lupakan soal gadis Libya atau si Mexico itu. Aku tetap fokus pada pencarian barang-barang bekas yang kemudian ada satu kardus berukuran sedang dengan penuhnya. Kemudian ku letakkan di bawah meja makan persis dekat kaki Eugene yang sedang bersantai sambil membaca-baca buku kuliahku yang ternyata masih bertengger di meja makan bekas ku baca Jumat sore lalu. “Nih, segini dulu. Sisanya ada di gudang yang ada di rooftoop. Mau bantu cariin atau lu tunggu sini aja?”
“Ya, bantuin lah. Masa satu tim nggak saling bantu”, jawab Eugene sangat bijaksana.
“Bisa aja nih Oppa-Oppa. Yaudah yuk”, ajakan ku yang hampir saja berencana menarik tangannya. Tapi aku urungi karena itu terlalu obvious.
Sampai di gudang, kami langsung mencari barang-barang seperti kardus, tali-temali, dan kertas-kertas karton bekas yang masih bisa terpakai. Biasanya di gudang ada banyak barang-barang bekas dari penghuni yang sudah pindah. Tapi ada juga barang-barang yang masih dipakai oleh penghuni saat ini. Jadi, harus teliti memilihnya. Biasanya yang ada tulisannya “for free”, nah itu berarti boleh diambil. Atau kalau tanda masih dipakai berarti ada nama pemiliknya. Seperti satu kardus sepatu bertulisan “J. Whitley” yang pastinya sudah tidak diragukan lagi kalau kepunyaan Jamie, si tetangga bule itu.
Selama mencari-cari, aku beberapa kali bersin-bersin.
Are you okay, Yur?”, Eugene yang sedang menahan pohon natal berukuran kecil menanyakan keadaanku.
“Hmm. It’s okay. Nggak okay sih sebenernya. Hmm sebenernya gue paling nggak suka kalau disuruh ke gudang soalnya gue alergi debu”, akuku pada Eugene.
“Yah, elu kenapa nggak bilang dari tadi. Tahu gitu kan gue aja yang cari. Yaudah lu tunggu di luar aja, biar gue yang bongkar-bongkar”, ungkapnya dengan nada perhatian. Kemudian aku iyakan permintaannya dan dia yang kemudian mencari barang-barang yang kami cari.
Setelah berjibaku dengan barang-barang di gudang, kami harus segera kembali ke apartemen Kak Anna sebelum jam 12 siang, dan saat itu waktu sudah menunjukkan hampir pukul 11. Kami harus bergegas meninggalkan apartemen dan meluncur ke apartemen Kak Anna. Barang-barangnya cukup banyak, kami tidak yakin akan sanggup membawanya kalau naik subway. Daripada kerepotan, kami putuskan untuk naik taksi dengan membayar patungan. Berniat naik taksi namun mobil tranportasi umum berwarna kuning itu tak kunjung datang. Duh, aku paling benci cari taksi di New York. Ya, New York yang sebesar ini dan taxi cab itu bejibun, tetap saja susah. Mau orang bilang lebih enak naik taksi karena langsung ke tempat tujuan, tapi tidak dengan di New York. Kalau kalian sanggup berteriak “Taxi” berulang kali atau mengancungkan jempol sampai taksi datang, itu artinya level kesabaran kalian sangat tinggi. Namun tidak denganku.
Sudah hampir lima belas menit tidak ada taksi yang mau menepi, dan kami berdua mulai lapar, akhirnya kami cari makan. Karena barangnya terlalu banyak dan tidak memungkinkan membawanya sambil mencari makan, akhirnya Eugene yang bersedia membelikan kami makanan. Kebetulan ada bistro yang tidak jauh dari apartemenku. Agak mahal sih, tapi lebih baik lah daripada kalau kami mati kelaparan di negara orang lalu menjadi headline di koran-koran. Duh amit-amit. Sepuluh menit kemudian, Eugene kembali dengan kantung kertas berisi 4 roti lapis isi tuna dan dua botol air mineral.
Sambil makan, aku menerima pesan Whatsapp dari adik sepupuku, Dione, atau sering disapa Dee. Isi pesannya “Woi, lagi apa lu, Kak? Sepi amat nggak ada kabar? Btw, di New York lagi 20 derajat ya? Eh doain yaa ini gue lagi otw ke Bali. Mau jalan-jalan”.
Belum ku balas pesan sepupuku itu, aku mengekspresikan respon ku dengan berkata “Wuih mau Bali”.
“Siapa mau ke Bali?”, tanggap Eugene dengan cepat.
“Ini, adik sepupu gue”, sambil tersenyum dan membalas pesan sepupuku tersebut.
“Oh yang kata lu suka Kpop itu yaa?”, tanyanya sambil merapihkan selada didalam sandwich yang agak berantakan.
“Iyaa yang itu. Lucu deh, dia tuh sering banget ngasih tahu kalo di New York jam berapa, di New York berapa derajat. Itu hasil dia ngeliat pake aplikasi gitu. Sebenernya nggak dikasih tahu juga gue udah bisa liat sendiri pake aplikasi yang sama. Tapi gue jadi berasa diperhatiin gitu sih sama dia. Jadi kangen.”
Dengan lahapnya menyantap makan siang sederhana ini, dia merespon. “Sepupuan kan emang harus gitu bukannya? Gue juga gitu sama sepupu gue, namanya Cindy, yang tinggal di Malang. Di keluarga gue nggak banyak sepupu yang deket kayak sampe Whatsappan gitu. Kecuali si Cindy itu. Saking deketnya gue sama adik sepupu ini, gue sampe pernah dikira pacaran sama Mba-Mba waitress resto Jepang di Tunjungan Plaza Surabaya. Astaga. Parah banget. Tapi lucu sih. Hahaha.”
Baru mau kutanggapi ceritanya, tidak berapa lama, video call masuk. Ya, karena keasyikan ngobrol sama Eugene, dan lupa membalas Whatsapp Dione, sepupu bau kencur itu jadi mem-video call ku.
Sepanjang telepon tatap muka virtual itu, aku cerita panjang lebar ke Dee. Sepertinya sudah lama tidak video call dengannya. Mungkin karena aku disibukkan dengan urusan kampus, begitupun dengan dia. Dan ada hal lucu yang terjadi dalam percakapan kami, jadi saat aku berkata kalau aku sedang bersama Eugene dan aku jelaskan pula bahwa Mamanya Eugene orang Korea, mendadak Dee berkata “Annyeonghaseyo, Oppa”. Eugene hanya membalas sambil tertawa. Setelah itu Dee malah tanya ke Eugene kalau dia bisa bahasa Korea atau tidak. Eugene pun menjawab “Ya, bisa. Lumayan lah”, dan kemudian dua manusia ini berbicara menggunakan bahasa Song Jongki itu. Memang sejak lama, Dione dan kakaknya, Delila, suka hal-hal yang berbau Korea. Mereka sampai rela kursus bahasa Korea demi bisa lancar berbicara bahasa Korea. Mereka juga sedang dalam program menabung untuk liburan ke Korea tahun depan. Setelah ngomong panjang lebar, kami akhiri video call tersebut.
Setelah kenyang dan mengakhiri telepon virtual, tidak lama kemudian, kami dapat taksi. Oh, jadi begitu yaa, harus kenyang dulu atau bertegur sapa dengan sanak saudara di kampung halaman, baru dapat taksi. Lucu sekali.
Kembali ke apartemen Kak Anna, rapat lagi, ngobrol lagi, ketawa-ketiwi lagi, tidak lupa juga ngobrol dengan Eugene. Duh, rasanya aku ingin memberi Kak Anna sekuntum mawar merah, karena ia yang membuat aku dan Eugene bergabung dalam satu divisi dan mulai dari itulah kami jadi dekat. Aku merasa bahwa lama-kelamaan, obrolanku dengan Eugene makin intensif. Aku benar-benar belum pernah merasakan seperti ini, maksudnya ketika aku suka dengan seseorang, belum pernah yang frekuensi mengobrolnya sebanyak dengan Eugene begini. Sepertinya aku memang benar-benar jatuh cinta dengan Eugene. Awalnya memang sulit untuk menerima kondisi ini, apalagi aku masih trauma dengan kejadian Adam waktu itu. Rasanya takut kalau-kalau Eugene juga sama seperti Adam yang hanya menganggap aku mirip dengan gebetannya atau bahkan pacarnya. Eh tapi kan kemarin Eugene bilang kalau dia belum pernah pacaran lagi kecuali pas SMA dulu. Berarti sekarang dia jomblo dong? Hmm, benar-benar kesempatan yang baik.
Setelah lelah rapat, lelah bercanda, lelah makan, lelah nyeloteh, akhirnya kami berdelapan mengakhiri pertemuan minggu ini. Minggu yang indah memang, lebih tepatnya karena banyak hal yang aku lakukan bersama Eugene hari ini. Seperti biasa, kami jalan kaki bersama sampai stasiun subway terdekat, dan seperti biasa pula, Fikri, Farida, dan Eugene satu arah pulang dan seperti biasa juga keretanya sudah datang. Curang sekali sih kenapa setiap pulang selalu mereka duluan yang kereta datang, kenapa bukan Dhimas dan Chandra saja? Kan aku masih ingin berlama-lama dengan Eugene. Yaa, untungnya minggu depan kami akan bertemu lagi dalam agenda rapat yang sepertinya akan menjadi rutinitas sampingan kami dalam beberapa waktu mendatang. Bagus lah, aku jadi bisa bertemu Eugene lebih banyak.

🙆🙆🙆

Hari berganti, kembali menjalani rutinitas menjadi mahasiswa Tisch School of Art NYU. Cuaca juga hari ini cerah, membuatku bisa tersenyum bahagia, bersyukur, atas menikmati hari minimal dengan tidak mengeluh. Meskipun hari ini aku harus ke perpustakaan untuk mencari sumber data untuk bahan tugas akhir ku. Tiga jam lebih berada di dalam perpustakaan membuatku hampir stress, akhirnya aku putuskan untuk mendinginkan kepala dan otak dengan mencari minuman dingin di kantin.
Di kantin yang tidak jauh dari perpustakaan, aku memesan Caramel Chocolate Ice Blended. Setelah pesananku siap, aku berniat duduk di sudut kantin, tapi belum aku duduk, aku melihat pemuda berkaus putih dan celana jeans hitam duduk sambil menatap ke layar handphone. Aku kenal punggung itu. Ya, itu punggungnya Eugene. Aku mengenalinya aku kebiasaan kalau ngobrol dengan orang lain pasti aku tepuk pundak atau punggungnya. Dan tahu sendiri sejak kemarin aku sangat intensif ngobrol dengannya. Tanpa berpikir panjang, aku hampiri dia dan berkata “Nah loh lagi ngapain di kampus orang?”
“Yah, baru mau gua WhatsApp. Hehehe ketahuan yaa. Nggak surprise deh”, Eugene kaget seketika melihat ku mengetahui kedatangannya.
“Nggak ada yang bisa kasih surprise buat seorang Yureka. Pasti ketahuan duluan sama orangnya hahaha. Jadi, lagi ngapain lu disini?”, jawabku penuh percaya diri.
Sambil mempersilahkan ku duduk di sebrangnya, ia bercerita kalau hari ini sejak selesai perkuliahan 1 jam yang lalu, tadinya ia ingin langsung pulang, tapi katanya ia penasaran dengan kampusku tercinta, New York University, dan memang berniat menemuiku. Tapi karena batre handphone-nya habis dan belum menemukan colokan, akhirnya dia menepi ke kantin dan pesan ice cream. Eugene juga melanjutkan bahwa katanya ia memang sengaja mau mengajakku makan siang di luar.
Apa? Mengajakku makan diluar? Ini seperti dejavu yaa. Jangan seperti Adam ya Eugene, please, aku mohon!
“Belum makan kan? Yaudah yuk, cari makan di luar, pasti bosen deh makan di kantin sini mulu”, ungkap Eugene dengan senyum khasnya itu.
“Gue jarang juga makan di kantin sini”, jelasku sambil menyeruput Ice Blended yang bahkan belum sempat diminum.
“Trus?”, tanyanya penasaran.
“Bawa bekel terus doong. Hemat lah hemat”, jawabku sambil tertawa simpul penuh kebahagiaan.
Setelah Ice Blended nikmat itu lenyap ke dalam tenggorokan sampai ke perutku, aku dan Eugene segera meninggalkan kampus NYU menuju tempat makan siang hasil rekomendasi Eugene. Nah harusnya dulu Adam seperti ini, kalau mengajak tidak perlu direncanakan, langsung tancap gas. Tapi ngomong-ngomong Eugene berarti tipe orang yang tidak suka punya janjian sama orang alias kalau punya niatan langsung ia laksanakan. Beda denganku yang sangat terencana. Sebenarnya aku kurang tertarik dengan ajakan yang mendadak seperti ini. Iyaa untung saja siang ini aku tidak ada janji atau agenda lain selain ke perpustakaan, coba kalau hari ini aku ada janji dengan dosen atau ada perkuliahan, pasti aku tolak mentah-mentah ajakan Eugene. Kan sayang sekali kalau sampai menolak ajakan pria ganteng.
Siang ini Eugene berniat mengajakku ke restoran sushi Jepang yang cukup terkenal dekat Central Park. Tapi sayangnya sesampainya disana antriannya MasyaAllah panjang sekali! Tidak heran memang sedang jam makan siang. Melihat antrean seperti itu, Eugene langsung mengajakku mencari tempat lain. Dia bilang dia kurang suka dengan tempat yang terlalu ramai apalagi antreannya sampai panjang sampai memakan setengah jalan trotoar. Dia bilang kalau dia lebih suka bayar mahal tapi tempat makannya nyaman dan sepi ketimbang harus menjadi waiting list seperti ini. Wah, berarti meskipun dia bukan tipikal yang terencana tapi dia sangat tidak suka menunggu. Sebaliknya denganku, jadwalku terstruktur, tapi aku masih Okay kalau makan dengan antrean yang panjang atau waiting list demi makan enak apalagi yang murah. Hmm, sepertinya banyak perbedaan diantara kami. Tapi kan katanya pasangan itu cocok karena banyak perbedaan yang saling melengkapi. Duh, apalagi nih ini Yureka? Mulai lagi kan!
Setelah gagal makan sushi di Blue Ribbon, akhirnya kami beralih ke restoran bernama Blossom Du Jour Express. Restoran itu menyediakan makanan-makanan vegan yang tentunya aman bagi kami berdua yang tidak makan daging babi. Ya, agak susah memang cari makanan halal di New York. Ada sih, tapi kalau dicari di peta virtual, tempatnya saling berjauhan, jauh pula dari tempat kami berada saat ini, jadi boleh lah kalau kali ini makan makanan vegetarian. Di restoran vegan ini, aku pesan Smoky Avocado Wrap, sedangkan Eugene pesan Spicy Green Bowl. Smoky Avocado Wrap itu semacam kebab, isiannya pun ada tempe asap, selada, tomat, kacang hitam, dan tentunya ada alpukatnya. Kalau pesanan Eugene ada sayur kale, kol, kacang hitam, jagung, dan juga nasi kuning dan disajikan dengan saus pedas.
Setelah makan, rupanya Eugene belum selesai mengajakku jalan. Kemudian, ia mengajakku makan es krim. Namanya Emack & Bolio’s. Memang agak jauh sih dari tempat kami makan sebelumnya tapi karena ia yang mengajakku jadi aku ikut saja. Ia bilang kenapa ia mau ke tempat itu karena disana tersedia berbagai macam rasa ice cream yang bisa jadi pilihan, dan salah satunya mereka punya rasa favorit Eugene, yaitu Apple Cinnamon. Seleranya jarang kudengar. Aku tidak pernah menemukan laki-laki doyan kayu manis. Dan ngomong-ngomong soal kayu manis, aku cukup tidak tertarik dengan rempah-rempah satu itu. Baunya itu menyengat sekali, membuatku mual. Untung di toko es krim itu punya rasa coklat, jadi aku aman. Memang toko es krim mana yang tega tidak menyediakan rasa coklat yang nikmatnya bukan main itu? Kalau tidak, aku akan mengumpulkan massa dan melakukan demonstrasi.
“Jadi lu suka rasa kayu manis yaa?”, tanyaku pada Eugene sambil mengernyitkan dahi.
“Yap. Suka banget! Wanginya tuh… hmmm nenangin banget. Emang lu nggak suka kayu manis?”, jawabnya penuh gairah.
“Nggak. Gue nggak terlalu suka sama rempah-rempah gitu. Aneh aja di lidah”. Aku berhasil jujur, karena kalau dari awal berbohong, akan runyam kedepannya.
“Yah, sayang banget. Padahal enak banget loh. Emang lu sukanya rasa apa?”, tanyanya sambil mengambilkan selembar tisu untukku yang tetesan es krimnya mulai jatuh ke jari-jemariku.
“Rasa ingin memiliki… hahaha. Bercanda. Gue suka rasa coklat, nih makanya kenapa tadi gue langsung ambil ini karena ini tuh menggiurkan banget. Tuh kan bisa diliat, ini menggoda banget”, jawabku juga penuh gairah.
“Oh pantesan, Jamie Jamie tetangga lu itu sering ngasih lu coklat karena dia tahu lu suka coklat?”, Eugene baru tersadar akan sesuatu.
“Lah emang bukannya gue bilang begitu kemaren?”, tanyaku memastikan bahwa ia sudah paham mengapa Jamie suka sekali membuatkan ku seloyang pie coklat.
“Hmm iya yaa? Ah lupa. Tapi by the way, gue nggak suka coklat tuh.”, akunya sedikit malu-malu.
“Ih kenapa? Enak tahu. Everybody’s love chocolate”, tanyaku padanya sambil mengunyah ice cream cone ini.
“Hmm nggak tahu dari kecil gue benci banget sama coklat. Gue mau muntah gitu loh kalo nyium baunya”, jawabnya yang sepertinya kami berdua sama-sama kecewa karena selera kami berbeda.
“Ih padahal coklat itu… just like paradise”, responku sambil membuat gerakan mendanga ke arah angkasa.
“Ya, selera orang emang beda-beda sih yaa”, tambah Eugene.
“Iyaa bener banget. Meskipun lu suka banget kayu manis dan gue benci banget, sementara sebaliknya gue suka banget coklat dan elu nggak, semoga nggak bikin kita berantem ya kayak Kak Anna sama Dhimas kemaren”. Pernyataanku seketika membuat kami berdua tertawa. Kami benar-benar menikmati siang ini dengan penuh canda tawa. Apalagi aku yang terlewat bahagia, pertama dihampiri oleh pujaan hati tanpa disangka-sangka, pula diajak makan siang meskipun bayar bill masing-masing, makan es krim bersama, hingga tertawa bersama. Benar-benar hari Senin yang luar biasa.
Tidak sampai disitu, karena momen yang sedang dilakukan adalah makan, maka topik pembicaraan kami selanjutnya adalah seputar makanan. Yap, menceritakan makanan kesukaan masing-masing. Eugene bilang kalau sebenarnya ia tipe pemakan segalanya, ia suka semua jenis makanan. Tapi yang menurutnya terbaik sampai saat ini adalah ketoprak. Ya, tapi sayangnya hanya bisa ditemukan versi orisinilnya di Indonesia. Kalau makanan non-Indonesia, ia sangat suka tuna sandwich, pasta fusilli, dimsum, dan bakpao. Dari kecil ia juga sangat suka buah-buahan yang berawalan huruf ‘P’ seperti pisang, pepaya, peach, plum, prune, ya terkecuali melon yang kemudian menjadi outsider di antara daftar buah-buahan favoritnya tersebut. Tapi bukan kebetulan kan karena nama depannya berinisial ‘P’? Ya, katanya memang agak aneh tapi begitulah yang terjadi.
Selain buah, ia juga sangat suka makan-makanan yang manis, seperti aneka kue, roti isian, aneka macam permen, dan tidak lupa es krim. Ia menambahkan kalau ia dan es krim sudah menjadi sahabat setia sejak ia kecil. Tapi beruntungnya, meskipun ia makan makanan yang manis, giginya terlihat rapih, sehat, dan terawat. Bagus sekali, sampai kalau senyum atau tertawa yang memperlihatkan giginya, membuat hatiku berdecak kagum.
“Ya, jadi waktu bokap sakit stroke dulu, kata dokter salah satu penyebabnya karena junk food. Dan bokap sebelum itu katanya emang suka banget junk food atau makanan asin, berminyak, dan bersantan. Yaudah, jadinya kolesterolnya tinggi sampe akhirnya stroke deh. Nah dari situ, gue jadi il-fil sama junk food atau makan-makanan yang gurih”, ungkapnya soal masa lalu Papanya itu.
“Iyaa sih, lu nggak suka makan junk food yang artinya lu bisa terhindar dari kolesterol. Tapi yaa sama aja dong kalo lu suka makan yang manis-manis which is lu bakal kena diabetes kalo nggak dijaga”, balasku terdengar sangat perhatian.
“Uhhh, perhatian banget sih kalo gue kena diabet. Hmm, tapi lu bener juga sih. Gue udah sadar akan hal itu sebenernya. Tapi, gimana dong, gue udah jatuh hati banget sama es krim dan kawan-kawan dessert-nya”, respon yang awal membuat hatiku menang, dan respon keduanya terdengar membutuhkan nasehatku.
“Gampang. Selama lu masih mau makanan sehat, makan sayur, buah, olahraga, tidur cukup, minum air putih yang banyak, InsyaAllah sehat walafiat”, nada suara dari nasehat yang kubuat itu terdengar halus dan lembut. Yureka tidak seperti itu biasanya.
Good point. Thanks yaa. Eh gantian dong, sekarang lu yang cerita makanan favorit lu apa aja? Ya, sapa tahu ada favorite dish yang sama dan kapan-kapan kita cari restorannya bareng. Kan asik tuh”, balas Eugene kemudian menyenggol lenganku sambil mengangkat alisnya. Astaga, pemuda ini benar-benar membuatku mati gaya.
Sambil tertawa kecil dan senyum sumringah aku menjawab kalau makanan kesukaanku sebenarnya beragam. Itu semua karena terkadang aku latah ketika orang lain makan apa, aku jadi suka makanan itu, dan lain sebagainya. Tapi top list makanan favoritku adalah makanan laut terutama cumi-cumi, kwetiau goreng seafood, scrambled eggs, sushi, aneka pasta, acar ketimun, semangka, durian, dan tentu saja cokelat nikmatnya tak terkalahkan rasanya oleh apapun. Dan setelah dilihat-lihat, rupanya kami sama-sama suka pasta yang kemudian membuat kami menyusun rencana ketika acara Batik Day sudah selesai, kami berdua akan makan pasta dan hunting restoran Italia yang paling terkenal di kota New York. Hmm, jadi tidak sabar jalan berdua lagi dengannya.
Setelah cerita banyak, tidak lengkap rasanya kalau tidak foto berdua. Mumpung es krimnya belum habis, akhirnya kami berdua foto selfie yang kemudian mengunggahnya ke Instagram Story dan juga WhatsApp Story masing-masing. Aku membuat kutipan “Orang tuh jalan-jalan hari Sabtu-Minggu, ini kenapa hari Senin coba? Hahahaha”, sedangkan Eugene mengutip “Chocolate vs Cinnamon” dengan menambahkan emoji tertawa. Benar-benar dua manusia yang aneh. Sudah jalan-jalan tanpa rencana, makan siang ala vegan, beli es krim dengan pilihan rasa masing-masing. Tapi apapun itu, aku benar-benar bersyukur kalau semua itu setidaknya bukan hanya sekadar imajinasi atau mimpi belaka. Semoga ini semua juga bukan sekadar sesaat saja, atau kami berdua bukan hanya sekadar teman makan siang saja. Semoga saja bisa lebih dari itu.
Dalam lamunanku akan rasa syukurku, aku merasakan getaran. Bukan getaran dalam dada, tapi getaran pertanda pesan masuk. Ya, handphone ku selalu dalam mode getar, tidak pernah ada bunyi-bunyian kece seperti orang-orang di luar sana. Ah, rupanya ada WhatsApp.
Pesan itu ternyata dari Ibuku, yang berbunyi: “Itu lagi sama siapa, Kia?”
Dalam hati aku hanya bergurau: “Alamak! Kenapa juga aku unggah di WhatsApp? Kan Nyokap gue jadi tahu. Duh tahu gitu nggak gue upload, upload di Instagram atau Path doang lebih aman. Pasti abis ini Nyokap tanya macem-macem deh”
Belum sempat ku ketik untuk membalas, Ibuku menulis lagi dan berkata: “Itu temannya ya, dek? Siapa namanya? Orang Amerika atau mana? Mahasiswa asal China bukan?”
Nah kan benar Ibu mulai tanya-tanya.

((BERSAMBUNG))


  ↺↺ 


Episode 7 : “Batik Day”

Yureka. Agustus-Oktober 2018. New York. Masa Depan.
Tidak terasa, proses acara Batik Day 2018 sudah setengah jalan. Sudah satu bulan lebih kami disibukkan dengan rapat, rapat, dan rapat. Kami juga fokus pada divisi masing-masing, atau bahkan membantu divisi lain seperti mengurusi perizinan dan promosi.
Semakin lama, hubungan pertemanan kami berdelapan pun semakin dekat. Aku merasa pertemanan kami satu level lebih tinggi, yakni menjadi persahabatan. Lebih-lebih kami sudah seperti keluarga sendiri. Kami jadi makin tahu kesukaan dan ketidaksukaan masing-masing. Seperti Farida yang ternyata tidak bisa lepas dari slime berwarna kuning kesukaannya yang sejak setahun ini ia simpan sebagai hadiah dari pacarnya. Memberi hadiah kok slime? Pacarnya aneh sekali.
Atau Kak Anna yang bercerita panjang lebar mengapa ia tidak percaya pernikahan. Agak aneh sih orang Indonesia bisa punya pemikiran seperti orang Amerika yang tidak mau menikah. Alasannya sih karena hidup sendiri itu sangat nikmat, tidak ada yang perlu diributkan apabila ia membuat kesalahan. Kemudian, yang membuatnya tidak ingin menikah bahkan tidak percaya pernikahan adalah karena orang tuanya sering bertengkar dan kemudian terpaksa berpisah saat ia duduk di kelas 3 SMP. Tapi katanya ia juga agak trauma dengan laki-laki. Dulunya Kak Anna ini tergolong anak salah gaul. Sejak SMA ia memang sudah merokok tapi jauh sebelum sekarang ia benar-benar perokok berat. Ia juga pernah kecanduan alkohol waktu kuliah S1 dulu. Lebih parah lagi, ia pernah melakukan hubungan seks bebas dengan pacarnya saat itu yang bernama Leo. Pria yang sudah menjadi mantannya itupun juga sering ketahuan selingkuh dengan banyak teman perempuannya. 
Tapi setelah tiga tahun seperti itu, Kak Anna memutuskan untuk kembali ke jalan Tuhan dan benar-benar bertaubat. Ia dulu tidak pernah sama sekali pergi ke gereja, tapi salah satu sahabatnya yang sempat lost contact dengannya karena kuliah di Selandia Baru, mengajaknya untuk bertaubat. Lambat laun Kak Anna mulai ikut kebaktian, jadi rajin ke gereja, bahkan sering mengunjungi para biarawati dan banyak belajar dari mereka. Nah, dari situ, ia merasa ia menjadi pribadi yang lebih baik. Ia pun memberikan pernyataan “Itu mending yee gue nggak sampe hamil dan aborsi. Jadi gue bersyukur banget sama Tuhan karena sebelum masalah makin rumit, gue dibangunin dari situasi itu dan bener-bener ditunjukkin jalan taubat lewat sahabat gue itu. Dan dari situ gue jadi nggak pengen nikah dan pengen ngabdi aja hidup gue buat Tuhan”.
Bahkan cerita Gilang yang sedikit menyayat hati ketika ia bercerita soal bagaimana ia bisa terbang ke New York. Ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Waktu kuliah S1 dia anak Bidikmisi, itu loh beasiswa dari pemerintah buat yang berprestasi tapi kurang mampu. Kemudian dalam waktu tepat 4 tahun ia berhasil mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris dari Universitas Negeri Yogyakarta. Kemudian karena kegigihannya, ia juga berhasil jadi salah satu penerima beasiswa kece sekelas LPDP dan akhirnya sekarang ia disini, jadi mahasiswa S2 TESOL di kampus yang sama kayak gue.
Bagaimana dengan Eugene?
Ah, tidak ada habisnya membicarakan laki-laki ganteng itu. Aku sampai lupa apa saja yang kami bahas selama ini. Intinya semakin banyak informasi yang kudapat soal Eugene, seperti hobinya yang suka main game online, atau gambar sketsa rumah dan gedung. Ah, asyik sekali yaa punya gebetan anak Urban Planning. Eugene, Eugene, kamu benar-benar bisa kolaborasi dengan Ayahku kalau sudah lulus nanti. Sekalian memperkenalkan diri sebagai calon menantu juga boleh. Hmmm, Yureka hayoo jangan mulai.
Ya, kami makin dekat. Sesekali atau dua kali Eugene mampir ke apartemen untuk sekadar main dan ngobrol. Meskipun sering sekali Salima berdeham kalau Eugene kelamaan mampir.
Ngomong-ngomong soal Eugene nih, aku jadi teringat obrolan WhatsApp dengan Ibuku kala beliau menanggapi foto yang kuunggah ke Whatsapp Story beberapa waktu lalu. Ya, harusnya aku tidak perlu mengunggahnya karena Ibuku pakai WhatsApp juga, dan hampir tiap aku posting, beliau memberikan komentar. Ya, tidak salah sih namanya juga orang tua mau tahu kesibukan anaknya bagaimana. Tapi tidak dengan yang satu ini karena pasti akan ditanya macam-macam. Dan benar saja, kala itu Ibuku bertanya “Itu temannya ya, dek? Siapa namanya? Orang Amerika atau mana? Mahasiswa asal China bukan?”
Aku masih ingat bagaimana reaksiku menanggapi WA Ibu itu. Agak berkeringat sih, tapi semoga kala itu Eugene tidak ngeh dengan hal itu. Kemudian ku balas lah dengan kalimat: “Nggak kok Bu, itu temen panitia acara buatnya KJRI yang kemarin Kia kasih tahu itu. Bukan orang China bu, orang Indonesia juga kok, cuma keturunan Chinese sih. Namanya Eugene, dibacanya Yujin, namanya kayak bule yaa? Hehehe”.
Begitulah balasan WhatsApp ku ke Ibuku. Kemudian kutanyakan mengapa ia mengirim WhatsApp jam segini. Karena perbedaan waktu Jakarta-New York adalah 13 jam, jadi kalau di New York jam 2 siang, kira-kira di Jakarta jam 1 pagi. Beliau bilang baru mau tidur karena semalaman ada tamu datang. Tamunya hanya dari keluarga sendiri, yaitu Ayah dan Ibunya Dione dan Delila alias Om dan Tanteku. Mereka sudah terbiasa main ke rumah, karena selain rumah mereka dekat, tidak salah dong kalau sering mampir, namanya juga sanak saudara.
Tapi kupikir awalnya Ibuku hanya sekadar komentar, ternyata ia memberikan pernyataan yang membuatku mendadak bimbang. Beliau berkata “Oh yaa. Hati-hati yaa. Semoga sukses acaranya. Hati-hati juga pilih-pilih teman”.
Nah aku tahu nih kalau Ibuku sudah bilang “Pilih-pilih teman”, itu berarti “Pilih-pilih pacar” secara tersirat. Ya, aku tahu beliau pasti khawatir, tapi kenapa Ibu jadi begitu yaa? Memangnya aku tidak boleh dekat dengan Eugene? Haduh, jangan-jangan, ibuku tidak suka dengan Eugene? Yah, bagaimana mau dijadikan kekasih kalau orang tua saja dari awal begitu sudah tidak nyaman. Entah lah, lihat saja nanti.
Jujur aku sempat tidak bersemangat dan konsentrasiku pun tidak melulu penuh. Aku sering melamun hanya karena memikirkan kata-kata Ibuku tadi. Aku jadi punya feeling kalau Ibuku tidak suka dengan Eugene. Hmm, bukan tidak suka secara dalamnya, ya karena kan Ibuku belum tahu kepribadiannya Eugene bagaimana, baru tahu dari luarnya saja. Karena yang aku tahu, Ibuku memang sangat selektif apabila anaknya punya teman dekat. Mungkin karena dulu aku pernah dekat dengan laki-laki yang tidak percaya agama, atau bisa dibilang Agnostic, jadi Ibuku agak-agak trauma apabila aku dekat dengan laki-laki yang dilihat dari luarnya bukan seiman dengan keluarga kami. Ah, ya, Ibuku kan belum tahu kalau Eugene itu Muslim. Ya, aku paham sekarang mengapa beliau berkata demikian, karena pasti yang ada di benaknya pria Tiong Hoa itu pasti penganut Kristen, Katolik, bahkan Buddha dan lain sebagainya. Duh, Ibuku tidak pernah membaca sejarah Islam di Xinjiang China sih, jadi beliau tidak tahu pasti kalau di daratan China pun ada banyak penduduk Muslim disana. Ya, entah lah. Kapan-kapan saja aku beri tahu Ibuku soal yang satu itu. Intinya, meskipun aku terkena sindrom galau akut karena pengaruh kata-kata ibuku, aku harus tetap konsentrasi menghadapi Batik Day yang tinggal beberapa minggu lagi.

🎉🎉🎉

Bulan sudah masuk September, itu artinya acara Batik Day makin dekat sekitar 3 minggu lagi. Kami menjadwalkan acara ini selama satu pekan, yakni dari tanggal 1-7 Oktober 2018. Dua hari pertama kami jadwalkan untuk workshop dan seminar tertutup khusus untuk mahasiswa atau orang-orang yang berlatar belakang bidang desain. Hari ketiga untuk diskusi tertutup untuk diaspora Indonesia. Hari keempat forum diskusi umum tentang keberagaman batik yang didukung oleh Kementerian Pariwisata. Sedangkan tiga hari sisanya pameran batik dan peragaan busana.
Makin hari, makin melelahkan. Makin hari pula makin membuat emosi kami kurang terkontrol. Mungkin pengaruh kelelahan itu sendiri. Kami jadi sering tersulut amarah, contohnya ketika Dhimas dan Chandra bertengkar karena saling menyalahkan akan hilangnya salah satu alat pinjaman pertukangan milik tetangga Kak Anna yang mana mau tidak mau akan kami ganti nantinya. Ya, tahu sih hanya sekadar meteran dan bor atau apalah itu namanya. Secara uang sih memang mahal, tapi tanggungjawab lah yang lebih mahal. Kita bisa kehilangan uang, tapi kalau kehilangan kepercayaan dari orang lain itu jauh lebih sulit. Ibaratnya “Sudah pinjam, dihilangkan, trus nggak diganti gitu?”. Pasti orang yang meminjamkan akan malas meminjamkannya lagi. 
Selain kejadian hilangnya alat-alat yang kusebutkan tadi, ada masalah lain. Memang emosiku pun makin ikut tidak terkontrol, dan yang kemudian memunculkan masalah adalah rasa kecemburuan yang mulai muncul dalam diriku kepada Farida. Jadi begini, rapat minggu lalu, seperti biasa kami rapat di apartemen Kak Anna. Saat itu Farida tidak berniat menginap karena keesokan paginya ia sudah ada janji dengan temannya untuk pergi ke New Jersey. Karena malam sudah larut, yakni sekitar pukul 11 malam dan kami semua khawatir kalau ia pulang naik subway, akhirnya Eugene yang berinisiatif mencarikan taksi untuk Farida. Aku pun heran mengapa harus Eugene yang antar? Dia sengaja kah membuatku cemburu? Ya, memang waktu itu sepupunya yang satu tim dengannya, si Fikri, sedang tidak datang. Dhimas dan Gilang sedang rapat internal penting dengan Kak Anna. Jadi dengan segala hormat mereka tidak bisa diganggu. Kalau Chandra kakinya belum lama itu terkilir dan agak susah berjalan. Aku? Yah mana mungkin, aku juga kan perempuan, pasti riskan kalau mencarikan taksi untuk Farida. Akhirnya mau tidak mau Eugene lah yang menemaninya.
Selama Eugene mengantarkan Farida mencari taksi, aku ingat betul rasanya lama sekali mereka mendapat taksinya. Saking keponya, aku mengecek jam. Aku menghitung durasi waktu berapa menit atau jam mereka mencari taksi. Mereka mulai keluar apartemen sekitar pukul 23.12, kemudian Eugene baru balik ke apartemen pukul 23.40. Ya, seperti biasa memang lama mencari taksi di New York, tapi kira-kira apa yaa yang mereka perbincangkan selama kira-kira 30 menit itu?
Kekhawatiranku terjadi ketika satu minggu kemudian, kami berempat, aku, Eugene, Fikri, dan Farida sama-sama ke KJRI untuk menemui wakil divisi kebudayaan, yang juga sebagai penanggungjawab acara Batik Day ini. Selama perjalanan menuju KJRI, entah mengapa Eugene dekat sekali dengan Farida. Mereka bicara banyak, tapi apa sih yang mereka sebenarnya perbincangkan? Pada akhirnya aku hanya ngobrol dengan Fikri. Tapi selama bicara dengan Fikri aku sering tidak konsen, karena terganggu dengan pertunjukkan Eugene dan Farida bicara berdua seperti itu.
Lain halnya dengan Farida yang entah mengapa jadi dekat dengan Eugene. Sama halnya denganku yang agak aneh juga karena beberapa minggu terakhir Chandra jadi modus denganku. Dia jadi sering memberikanku coklat dan hal-hal lainnya. Jadi Chandra berubah menjadi Jamie begitu?
Jadi satu minggu setelah kejadian kecemburuan itu menimpaku, tiada hujan tiada angin, Chandra memberiku coklat. Bukan, hari itu bukan hari ulang tahunku, ulang tahunku sudah lewat awal Juli kemarin. Itu juga bukan hari ulang tahunnya yang dirayakan tiap bulan Februari. Jadi, katanya waktu itu restoran tempat ia praktik, memiliki banyak pasokan coklat susu, dan pemasoknya sengaja memberikan 2 kotak tambahan sebagai bonus. Hmm, baik sekali yaa. Akhirnya kami berdelapan masing-masing dapat 1 coklat. Tapi yang aneh adalah, entah mengapa, semoga ini hanya perasaanku saja, Chandra memberikan ku coklat dengan ukuran paling besar diantara yang lain. Diberi pita pula! What? Apa-apaan ini? Dan ada tulisan: “Terima kasih Yureka krim anti terkilir dan pijat gratisnya waktu itu”. Ah ya aku baru ingat waktu kakinya terkilir, aku yang bantu pijat kaki kirinya yang terkilir karena habis main bola kala itu. Aku memang tidak tahu banyak tentang bidang perpijatan, tapi aku tahu sedikit teknik yang diajarkan Ayahnya Dione yang bekas pelatih sepak takraw itu. Jadi, aku juga jadi tahu kalau kaki keseleo atau pegal-pegal itu harus dipijat bagian mana.
Tapi, kan bukan itu juga seharusnya yang menjadi alasan utama mengapa aku diberi coklat dengan ukuran besar, ya kan?
Tidak hanya coklat, aku pun baru menyadari, kalau selama rapat ini berlangsung, tiap kali Chandra yang beli makan, orang pertama yang ia hidangkan makanan tersebut adalah aku. Juga, waktu kami bosan beli makan diluar dan masak makanan sendiri, Chandra yang memaksaku untuk ikut membantunya memasak. Ya, memang sih aku bisa masak, cukup jago lah boleh dibilang, begitupun Kak Anna. Meskipun Farida katanya tidak bisa memasak, tapi masa harus aku yang jadi sasaran Chandra untuk menemaninya di dapur?
Duh, makin lama makin tidak nyaman. Belum lagi urusan dengan Jamie. Ah dia lagi. Dia sudah jarang sih membuatkanku pie coklat, katanya sibuk di tempat kerjanya dan pulang malam terus. Tapi tidak dengan tawarannya mengajakku jalan. Dia benar-benar tidak bosan mengajakku keluar meskipun hanya sekadar makan kacang rebus pinggir jalan. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Aku sebenarnya ingin sekali menerima ajakannya, tapi hati ini sekali bilang tidak yaa tetap tidak. Aku pun tidak bisa membohongi diriku sendiri. Pokoknya kalau hatiku bilang tidak yaa tetap tidak. Titik.

🎊🎊🎊

Satu minggu sebelum hari H, badan makin lelah, emosi makin tidak stabil, semuanya dibuat pusing. Seharusnya sih tidak. Kami berusaha sebisa mungkin tidak saling menyalahkan kala kami menemukan ketidaksempurnaan pada persiapan acara kami yang akan dilaksanakan satu pekan mendatang. Aku tahu, kami semua harus bekerja dan menghasilkan karya dan perfoma yang semaksimal dan sesempurna mungkin, tapi kan namanya juga manusia, tidak ada yang namanya sempurna. Tapi hal kesempurnaan dan ketidaksempurnaan menjadi momok bagi Kak Anna. Dia memang koordinator kami, ia punya tanggungjawab yang besar kepada KJRI untuk menyelesaikan semua ini dengan sebaik mungkin. Disamping itu memang Kak Anna tipikal orang yang perfectionist, jadi apa-apa harus teliti, tidak sembarangan ini dan itunya. Dari situlah aku baru tersadar mengapa beberapa kali ia bersilat lidah dengan Dhimas, seperti yang waktu itu, karena pada dasarnya Dhimas orangnya easy going, dan ia paling malas dengan orang yang menuntut ini dan itu. Sedangkan Kak Anna apapun harus dibuat sebagus dan sesempurna mungkin.
Tapi bagaimanapun, persiapan kami sejauh ini lumayan baik, sudah 90% matang. Agenda acara yang kami jadwalkan sudah pasti dan siap dilaksanakan. Yang belum hanya proses dekorasi. Ya, itu bagianku dan Eugene. Kami sempat kewalahan dengan realisasi dari desain panggung yang pernah Eugene buat. Aku agak kesal sih dengannya karena dekorasinya terlalu sederhana, sedangkan ia bilang itu sudah cukup baik. Setelah kutanyakan pada Kak Anna memang ada yang kurang. Kami pun sempat adu mulut soal itu. Ternyata aku ini seperti Kak Anna yaa yang perfectionist, tapi tidak seekstrem Kak Anna sih, aku masih bisa mewajarkan segala sesuatunya kok.
Aku juga sempat marah ke Eugene karena ternyata desain terakhir yang ia buat sesaat sebelum eksekusi itu berbeda dengan yang kami buat di awal-awal kami rapat. Yang membuat aku jadi naik pitam adalah karena ia tidak bilang padaku terlebih dahulu. Ia hanya berkata “Gue kan udah bilang Kak Anna, bukannya lu udah tahu?”. Yah, intinya seperti itulah. Kami bertengkar sesaat, tidak saling tegur sapa dalam beberapa hari. Aku masih kesal, dia pun sepertinya tidak tahu harus berbuat apa meskipun sudah minta maaf padaku.
Agak rugi sih diam-diaman dengan gebetan sendiri. Jujur, saat kami bertengkar, aku khawatir, khawatir karena takut itu semua merusak kesan-kesan Eugene terhadapku. Duh, memang kebiasaan sekali aku dari dulu selalu mementingkan outside dibandingkan inside impression kepada gebetanku. Agak berlebihan sih, tapi yang kulakukan memang semata-mata karena aku tidak mau hubunganku dengan orang yang kusukai jadi aneh dan kaku seperti pertama kali bertemu. Jadi, sebisa mungkin aku membuat kesan yang baik didepan Eugene.

⚡⚡⚡

Tiga hari menjelang hari yang dinanti. Bukan, bukan hari pernikahan ku dengan Eugene, jadian saja belum sudah melangkah pesat ke jenjang pernikahan. Astaga imajinasiku terlewat berlebihan. Bagaimanapun, aku sudah baikan dengan Eugene. Itu semua karena Kak Anna yang melerai kami berdua. Ia bilang “Udah dong kalian jangan diem-dieman, nggak enak nih udah mau Hari H, harus profesional dong kalian. Kalau masih marahan, nggak usah ikutan Batik Day deh”.
Ya, setengah dilerai, setengah diancam. Baiklah, akhirnya kami berdua memutuskan untuk berbaikan. Lagi-lagi aku yang mulai duluan dengan mengatakan “Yaudah lu gue maafin. Tapi pokoknya lain kali kalo ada apa-apa bilang dulu yaa, biar sama-sama enak” pada Eugene. Ia pun dengan ekspresi bersalahnya, merespon “Ya, sekali lagi maaf ya. Gue traktir es krim mau ya?”. Nah, jujur kalau yang itu aku jadi tidak bisa menahan tawaku. Langsung tersenyum lebar aku dibuatnya. Eh tapi boleh juga tawarannya, asal jangan ditraktir rasa kayu manis saja seperti rasa kesukaannya.

🎉🎉🎉

Akhirnya “Batik Day 2018” dilaksanakan. Semua sudah siap. Panggung, ruangan seminar, semua sudah siap 100%. Sesama panitia pun sudah tidak ada yang marah-marahan lagi. Selama acara berlangsung, kami semua kompak. Selama tujuh hari berturut-turut, kami bekerja sama, saling membantu, saling terbuka, saling berkata “maaf, tolong, dan terima kasih” kepada masing-masing panitia termasuk kepada panitia dari pihak KJRI.
Tapi selama acara berlangsung, Eugene jadi agak berbeda denganku. Dia jadi agak cuek denganku. Loh, kan aku sudah memaafkannya tiga hari yang lalu? Kenapa jadi acuh begitu kepadaku?
Aku pikir-pikir sejena dan meresapi apa yang terjadi. Pesan WhatsApp-nya tadi malam juga hanya di read. Ya, memang hanya kata-kata penyemangat “May the force be with you…” yang kuambil dari salah satu kutipan film Star Wars. Ditambah dengan “Jangan lemes sampe seminggu kedepan ya! Semangat Yujin!!!”.
Biasanya Eugene membalas, seperti waktu itu aku kirim kutipan-kutipan film Forrest Gump: “My Mama always said life is like a box of chocolates, you’ll never know what you’re gonna get”. Yah, meskipun waktu itu dia hanya membalas “Quotes dari mana tuh? Bahasnya coklat mulu ah si Yureka nih, yang lain dong”, tapi kan intinya dia masih membalas. Membahas soal kutipan film tersebut, sebenarnya agak heran dengannya karena ketika kusebutkan bahwa itu salah satu kutipan terkenal dari film yang dibintangi Tom Hanks itu, Eugene tidak tahu sama sekali. Dia bilang “Siapa tuh Tom Hanks?”. Astaga, masa aktor kelas internasional macam Tom Hanks saja ia tidak tahu? Tidak heran memang setelah ku tahu ia tidak suka nonton film. Yah sayang sekali padahal kalau ia juga hobi nonton film, aku bisa tukar informasi seputar film dengannya. Ternyata tidak suka ya? Ada-ada saja yaa. Pertama, ia tidak suka coklat, kedua ia tipikal yang mendadak, dan ketiga tidak suka film. 180 derajat terbalik denganku. Kalaupun kita tetap berbeda, aku masih berharap setidaknya kami berjodoh. Kan kami punya beberapa kesamaan.
Tunggu, tapi sepertinya sikap tidak pedulinya bukan hanya karena itu.
Atau jangan-jangan soal Chandra? Tapi masa karena Chandra waktu itu memberiku coklat yang ukurannya lebih besar dan ada kata pengantarnya, Eugene jadi berubah denganku?
Atau karena job-desc yang diberikan koordinator KJRI yang menempatkanku dan Chandra sebagai lini keamanan? Apa iyaa itu yang membuat Eugene jadi aneh?
Ya, memang selama acara aku mendapat bagian mengawal dan membantu mengamankan jalannya acara, khususnya di depan pintu ketika acara workshop dan seminar berlangsung. Dan untuk tiga hari berturut-turut aku bertugas dengan Chandra, jadi otomatis kami ngobrol disela-sela waktu. Sedangkan Eugene saat itu hanya bagian operator saja.
Apa itu yang membuatnya jadi acuh kepadaku?
Jadi Eugene cemburu dengan Chandra?

🎊🎊🎊

Setelah tujuh hari, “Batik Day 2018” pun selesai!
Lega, puas, bahagia, tapi sedih.
Lega karena persiapan yang kita lakukan jauh-jauh hari akhirnya selesai juga.
Puas karena hasil kerja keras kita semua membuahkan hasil. Peserta seminar dan pengunjung peragaan busananya saja sudah melebihi angka target. Ditambah performa para model yang kami undang langsung dari DNA Models Management yang cukup terkenal di New York itu sangat sesuai dengan konsep acara kami.
Bahagia juga karena kapan lagi bisa bekerjasama dengan orang-orang penting di KJRI dan tidak lupa bahagia punya teman-teman seperti Fikri, Farida, Gilang, Dhimas, Chandra, Eugene, dan satu-satunya “Ibu” kami, Kak Anna. Ditambah lagi bahagia karena kapan lagi bisa satu divisi dengan gebetan sendiri, setiap rapat bertemu, menjelang hari H apalagi. Kami bahkan bertemu dua minggu berturut-turut menjelang Batik Day tiba.
Tapi sedih. Pasti sedih karena aku tidak tahu apakah setelah Batik Day kami berdelapan masih bisa berkumpul intensif seperti ini lagi atau tidak. Mengingat kebanyakan dari kami sudah menempuh tahun kedua di universitas, jadi pasti tugas makin menumpuk, kegiatan di kampus makin menggila. Apalagi yang sudah mau menyusun tugas akhir sepertiku ini, rasanya sulit sekali meluangkan waktu untuk mereka kalau bukan karena demi kelulusan sekolah masterku nanti.
Apalagi soal Eugene. Aku sempat menitikkan air mata saat kami foto bersama. Selain karena sedih kami semua harus kembali ke rutinitas masing-masing, aku sedih karena aku tidak tahu apakah setelah ini hubunganku dengan Eugene tetap bisa seperti ini atau tidak. Apakah aku bisa makan siang bareng lagi atau tidak. Ya, selama rapat acara ini, aku dan Eugene jadi banyak mampir ke tempat-tempat makan yang murah-murah di New York, mulai dari makan makanan Vietnam lah, makanan Thailand lah, Western Food lah, sampai Fast Food, semua kami coba bersama.
Tentunya kami jadi makin banyak tukar informasi soal pribadi masing-masing, salah satunya aku jadi makin tahu apa yang suka dan tidak disukai Eugene, seperti ia sangat suka melihat gedung-gedung bertingkat, intinya ia ini tipe yang city person. Kalau boleh jujur, aku juga demikian. Maka dari itu ia memilih tinggal di New York karena ia tidak akan bosan melihat New York karena banyak gedung-gedung pencakar langit yang bisa ia pandangi setiap hari.
Kalau soal hal yang ia tidak sukai, sebenarnya bukan tidak suka, tapi lebih ke phobia. Jadi, Eugene ganteng itu ternyata Claustrophobia alias phobia terhadap ruangan sempit. Jadi aku mengerti saat Eugene bercerita kalau waktu ia kuliah di Hong Kong, ia punya apartemen sendiri, seperti studio lah kira-kira, besar dan luas. Itu semua karena yaa phobianya itu yang katanya kalau ia terlalu lama berada di ruangan sempit, ia akan tersugesti untuk sulit bernapas bahkan pingsan. Dan itu pula alasannya selama Batik Day berlangsung, kalau kami ada urusan dengan KJRI atau mengunjungi institusi tertentu, Eugene lebih memilih naik tangga ketimbang naik lift. Hmm, aneh sih tapi jadi sehat juga kalau begitu keadaannya.
Lupakan soal phobianya, aku ingin bercerita soal momentum menggetarkan hati yang terjadi di Chinatown persis seminggu sebelum Batik Day. Saat itu, entah mengapa kami banyak tukar informasi soal keluarga masing-masing. Seperti sudah sangat percaya diri kalau aku bisa jadian dengannya dan menikahinya suatu hari nanti. Tapi lagi-lagi aku membutuhkan tamparan yang keras untuk itu.
Tapi bukan hanya soal itu, ada lagi satu hal lain yang benar-benar membuatku bergetar di dalam dada. Masih di Chinatown, saat itu hari Minggu dan Chinatown di Mott Street atau lebih dikenal dengan Little Hong Kong yang saat itu sedang ramai turis wisatawan. Secara harafiah, benar-benar ramai! Orang bertaburan di jalan, desak-desakan. Pokoknya penuh sekali dan aku tidak suka itu. Karena secara pribadi, aku tidak terlalu suka keramaian, lebih tepatnya takut kalau-kalau kecopetan atau apapun. Melihatku begitu dan aku terdiam beberapa saat, itu mungkin yang membuat Eugene menjadi bertanya “Lu kenapa, Yur?”, dan kujawab dengan “Gue nggak suka kalau banyak orang gini. Insecure aja”. Dan mau tahu apa yang terjadi? Eugene menggenggam tangan kananku dengan tangan kirinya waktu itu! Tidak ada kata-kata keluar dari mulutnya, tapi aku bisa merasakan kalau dalam hatinya berkata “Don’t worry, you won’t be alone and lost”.
Ah, Indah sekali! Ya, itu kali pertamanya itu terjadi dalam hidupku ada laki-laki yang mau menggenggam tanganku dengan penuh kasih sayang. Hmmm bukan hidupku juga sih, lebih tepatnya kehidupan percintaanku. Kalau hanya digenggam saja, Ayahku dan Kakekku juga pernah memegang tanganku kalau mau menyebrang jalan saat masih kecil dulu. Intinya, aku bahkan tidak bisa berkata apa-apa kala itu, bahkan sampai detik ini. Ini rasanya seperti mimpi!
Ya, itulah sebabnya aku menitikkan air mata saat kami berdelapan berfoto bersama. Aku tidak tahu apakah atas nama Batik Day aku bisa seperti itu dengan Eugene atau tidak. Maksudku, bisa saja kalau bukan karena Batik Day, aku tidak bisa kenal Eugene lebih jauh, tidak tahu persamaan dan perbedaan yang ada pada kami berdua sampai sedekat ini. Aku terbawa emosi, aku sedih, aku takut kalau saja setelah acara ini berakhir, hubunganku dengan Eugene juga akan berakhir begitu saja, berakhir menjadi teman, berakhir hanya menjadi gebetan. Seperti itu saja terus! Dari dulu tidak pernah berhasil mencuri hati satu pria pun. Gebetan berakhir menjadi gebetan yang kemudian menjadi mantan gebetan ketika ku menemukan gebetan baru, dan begitu terus sampai kapan juga aku tidak tahu.
Aku mengerti, aku harus tetap sabar menanti. Tapi kalau ku boleh meminta pada Tuhan, dalam hati yang terdalam, bahwasanya Eugene adalah pilihan yang tepat. Ada banyak persamaan tapi ada banyak perbedaan di antara kami dan itu yang membuatku memiliki firasat bahwa “Aku sangat merasa nyaman seperti ini. Eugene bukan seperti teman panitia biasa, ia bisa lebih dari itu. Kami cocok kok kalau dilihat-lihat”.
Karena tidak tahan dengan perasaanku itu dan aku bingung harus mengekspresikannya kepada siapa, akhirnya Dione, sepupu yang gila Korea itu, akhirnya kujadikan tempat curhat. Habisnya siapa lagi yang mau diajak curhat soal gebetan? Keluargaku yang lain? Ah, udah nggak asik gara-gara kejadian tidak menyenangkan saat aku semester 7 dulu. Lagipula Ibuku kan sempat mempertanyakan soal Eugene dan pasti kalau aku mengaku kalau aku suka dengannya, pasti Ibu angkat bicara. Atau malah bisa-bisa Ibuku rela menyusulku ke New York demi menasehatiku secara empat mata soal bagaimana harus berteman dan dekat dengan lelaki dan atau lain sebagainya.
Ku curahkan lah isi hatiku pada Dione dan cerita semuanya. Bahwa betapa senang dan berbunga-bunganya aku saat ini. Terlebih soal pegangan tangan itu. Benar-benar impian menjadi nyata. Benar-benar bahagia meskipun hanya di respon “Lah jadi yang waktu kita video-callan itu? Itu gebetan baru lu? Yaelah ini gebetan lu yang ke berapa sih? Udah nggak bisa keitung? Lah emang yang bule itu udah nggak suka?” oleh Dione.
Ah sial, si Dione jadi nggak asik gini. Kalau saja dia juga tidak curhat soal gebetannya yang ia temui saat ia pergi ke Bali beberapa waktu lalu itu, aku tidak akan sabar menghadapi responnya yang sengit ini.
Ngomong-ngomong, Dione adalah satu-satunya orang yang paling overreacting saat pertama aku ke New York. Aku masih ingat betul kata-katanya sesaat sebelum aku berangkat, yang mungkin akan dikatakan wanita-wanita Indonesia lainnya yakni “Tolong bawakan aku satu bule untuk aku nikahi. Tinggi badan lelaki Indonesia tidak mendukung tinggi badanku, Kak. Please”. Tapi memang dari penyataannya dia seperti sudah desperate soal itu.
Ya, memang lucu sekali. Dione memang bekas atlet renang waktu ia kecil, makanya efeknya tinggi badannya jadi tidak normal alias melebihi batas normal tinggi badan perempuan Indonesia pada umumnya.
Tapi rasanya, kekhawatiran Dione jadi berkurang setelah ia berkenalan dengan pemuda asal Denmark yang bernama lengkap Arthur Frederik Holm. Katanya sih mereka sebaya, dan mereka bisa bertemu karena sama-sama menghadiri workshop waktu mereka pergi ke Bali belum lama ini. Lucunya adalah ternyata mereka sama-sama berasal dari kampus yang sama. Yang jelas kalau Arthur ini adalah mahasiswa asing yang kuliah di kampus Dione, dan Arthur ini adalah mahasiswa hasil pertukaran pelajar dari Roskilde University, Denmark. Kece sekali rupanya sepupu ini. Tidak jadi mencari Oppa-Oppa Korea saja?

🎉🎉🎉

Sesuai rencana, aku dan Eugene “merayakan” keberhasilan tim dekorasi dengan makan pasta di Vapiano Italian Restaurant di University Place Street 113 yang kebetulan tidak jauh dari kampusku di Jalan Broadway.
Tidak ada lilin sih, tapi makan malam ini cukup romantis. Kami pesan Spagetti Aglio E Olio, Fusili Scampi E Spinaci, Lasagna Al Forno, dan Risotto Ai Funghi. Sebagai hidangan penutup, kami pesan Tiramisu dan Panna Cotta. Ya, kami keluar uang banyak malam itu, tapi kami puas. Kami merasa kami layak mendapatkan makanan-makanan lezat itu. Selain karena selama persiapan Batik Day kami hampir tidak pernah keluar uang untuk beli makan yang disebabkan oleh hampir tiap rapat kami dibelikan makanan. Itupun yang menjadi salah satu faktor uang kami bisa hemat banyak. Selain itu juga karena aku dan Eugene sengaja menabung dan tidak jajan demi makan-makanan Italia seperti ini. Ah, rasanya nikmat sekali.
“Nggak nyesel kan kesini?”, tanya Eugene dengan tatapan perhatian.
“Iyaa. Hehehe. Padahal gue pengennya ke L’Artusi atau minimal Scarpetta lah”, jawabku sambil tersipu malu dan berusaha fokus dengan piring saji.
“Gila, itu sih makan disitu semalem doang udah hampir mirip kayak setengah uang sewa dormitory gue. Nggak deh makasih”, tatapan perhatian mendadak pudar setelah tahu aku banyak maunya.
“Nggak lah becanda. Tapi kapan-kapan bisa dong dinner lagi, tapi yang fine dining gitu. hmmm ketahuan yaa ngarep?”, sambil menjawab sambil mencuil coklat diatas Tiramisu dengan sendok teh perak itu.
“Yaa, why not? By the way, kamu waktu itu jadi dateng ke birthday party nya si Jamie? No offense, tapi aku cuma pengen tahu aja”. Sebentar, Eugene mendadak jadi ngomong “Aku-Kamu”? Waduh.
“Yaah, Jamie lagi dibahas. Untung udah selesai makan, kalo nggak gue muntah deh”, mendadak napsu makanku hilang.
“Yaah sorry deh. Bete yaa? Hmm, aku cuma pengen tahu aja dan masih penasaran, kenapa sih kamu sebegitu nggak sukanya sama dia? Dia kan cuma mau jadi temen aja. Nggak ada salahnya kan?”, balas Eugene sambil melahap Tiramisunya.
“Duh, Eugene. Gimana yaa… Lu nggak tahu aja keadaannya gimana”. Aku tidak berani menatap mata Eugene untuk membicarakan soal ini.
Dan percakapan pun berlanjut seperti berikut:
Eugene            : “Okay. We can talk about it later. Will that be okay?
Yureka             : “Yeah.
Eugene             : “Trus, gimana birthday party-nya dia waktu itu? Seru?”
Yureka         : “Yaa, seru. Jadi kenal temen baru. Kebanyakan sih temen-temennya dari restoran tempat dia kerja. Apa ya nama restorannya? Giano atau apa gitu. No-no-no lah pokoknya.”
Eugene          : “Tuh kan kamu jadi banyak kenalan baru. Siapa tahu ada yang bisa diajak diskusi bareng, soal film misalnya.”
Yureka            : “Iyaa juga sih. Yaa liat nanti deh. Dan sebenernya waktu itu, biasa lah ada after party gitu, aku diajak juga tapi aku nggak mau. Waktu itu bareng-bareng sih, tapi nggak ah. Lagian udah malem waktu itu.”
Eugene        : “Trus, kamu bilang nggak kalau next time aja kamu ikut hang out lagi? Gini Yur, bukannya aku ngatur yaa, tapi please, nggak ada salahnya kok mengiyakan ajakan dia. Sekali aja.”
Yureka            : “Iyaa sih sebenernya waktu itu aku udah, hmmm, yaa bisa dikatakan janji ke dia mau ke bioksop bareng, tapi abis Batik Day. Trus dia bilang, yaa nggak apa-apa yang penting bisa jalan bareng.”
Eugene             : “Bagus lah. Trus udah ke bioskopnya?”
Yureka              : “Belum.”
Eugene             : “Oh. Come on!”
Yureka              : “Yah, yaudah lah liat nanti aja. Males ah. Hmm, how about one more dessert?”
Eugene           : “You’re kidding me? Siapa takut! Okay, aku yang panggil waitress-nya. Excuse me, can we have more dessert?”
Waitress            : “Yes, what else do you want to order?
Eugene              : “We would have Chocolate Mouse, 2 Chocolate Mouse. That's all. Thank you
Yureka              : “Are you sure about that? Lu makan coklat? Katanya nggak suka”
Eugene          : “Sekali-kali lah makan coklat, nggak ada salahnya. Tapi nggak tahu deh nanti gue muntah atau enggak pas makan itu. Hahaha.”
Yureka              : “You must be like it. I bet it yes.”
Kami berdua tenggelam dalam tawa, tapi tidak lama tertawa kami terhenti. Bukan, aku yang mendadak berhenti tertawa tapi aku mendadak membeku karena tercengang melihat seseorang yang aku kenal betul siapa dia. Ya, orang yang baru saja aku dan Eugene bicarakan. Jamie! Ya, itu Jamie! Sedang apa dia disini?
“Yureka? Eugene? What are you doing here?”, tanya Jamie datang dari jauh yang masih menggunakan celemek putih dengan sablon “Vapiano” itu.
We have dinner… here… Anyway, what are you doing here too?”, tanyaku dengan bicara yang putus-putus seperti telepon susah sinyal.
I’m working. This is my workplace. Don’t you remember? In my birthday party? I said I work in Vapiano”, jelas Jamie panjang lebar.
Oh, I thought you work in Giano. Oh, men, I’m so sorry. It was misheard”, jawabku merasa bersalah.
Well, it doesn’t matter. So, are you both here just two of you?”, tanyanya agak heran.
Yeah. We are. Kind of special dinner, with the special person”, balas Eugene dengan cepat dan terlihat penuh percaya diri. Ada apa sih dengan orang ini?
What? You’re going together now?”, tanya Jamie keheranan.
No! Hmmm, I mean….”, responku agak berlebihan.
Hmmm. I have no idea, we have no idea. What do you think, Yureka?”, Eugene tetap stay cool, ia tidak tahu apa yang terjadi.
“Hmmm…”, hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
Wow. I’m sort of surprised. Because you said that you and Eugene don’t have any… what, special relationship, or something. Yeah, I think people changed their mind, right?”, ungkap Jamie.
What does it mean?” Eugene mulai bertanya-tanya. Nah kan, ia mulai tahu yang sebenarnya terjadi.
It does not have a meaning, Eugene”, aku benar-benar kehabisan kata-kata.
What, it does not mean anything? Wow, this is completely complicated”, balas Eugene mulai emosi.
No, it’s not complicated at all”, aku berusaha mendinginkan situasi ini. Agak heran juga kenapa Eugene jadi marah begitu.
Kemudian Jamie menyambar sesuatu, “And hey hey, by the way, you owe me a time to go to cinema together, right? And you said that you would go with me tonight, but unfortunately I can’t because I work this weekend, and you said that you have an appointment with your friends in campus. You said that, didn’t you?
Yeah, I did. But…”, aku benar-benar sudah kehabisan diksi bahasa Inggris. Rasanya kalau sudah begini ingin bertele-tele menggunakan bahasa Indonesia saja.
And you prefer to go with your… your somebody here. Please, Yureka. Don’t be lie to me”, Jamie membalas sambil menggelengkan kepalanya karena tidak percaya aku sudah membohonginya.
Are you making a lie, Yureka?”, tanya Eugene menyambar.
No, I’m not! I didn’t lie to you. Well, yeah I have an appointment with my friend, which is Eugene, and… yeah, I’m lying that I’m not going to campus, but here…”, Aku berusaha tenang dan menjelaskan semuanya.
Semuanya terdiam beberapa saat. Tidak ada yang berkata. Ini canggung sekali.
Tapi untungnya tidak seperti di film-film yang kalau ada momentum seperti ini ada gelas atau piring pecah. Tidak, tidak sama sekali. Akhirnya aku minta maaf pada Jamie, dan berjanji dan benar-benar berjanji minggu depan kami nonton dan makan bersama. Jamie memang marah karena kau bohong padanya, Yureka. Siapa sih yang suka dibohongi meskipun hanya bohong “Aku ke kampus padahal ke resto mahal sama gebetan”. Aku tahu aku mungkin itu menyakiti Jamie seperti itu, tapi aku benar-benar tidak bermaksud demikian.
Setelah situasi canggung itu, Jamie pun memaafkanku dan aku pun benar-benar akan mengajaknya nonton bareng sebagai pengganti ajakannya makan malam denganku.
Jamie sudah mencair, tidak dengan Eugene. Sesaat setelah membayar bill restoran, kami keluar restoran. Saat itu kami akan kembali ke apartemenku sebentar karena sebelum kami ke Vapiano, beberapa barang Eugene ditinggalkan disana karena agak berat kalau dibawa ke restoran. Lagipula, masa mau makan malam indah bawa barang banyak, kan tidak lucu. Eh tapi jadi tidak indah juga karena kejadian tadi.
Sepanjang perjalanan jalan kaki dari Vapiano ke apartemen, aku dan Eugene tidak bicara banyak. Aku tahu Eugene pasti marah denganku. Aku tahu itu.
Aku pun mencoba mengajaknya ngobrol seperti bertanya “Lagi ada acara apa yang bagus di kampus lu?”
“Nggak tahu, nggak pernah update”. Datar sekali jawabannya.
Aku jadi khawatir kalau Eugene benar-benar marah padaku. Habislah aku.
Aku paling benci saat aku dekat dengan laki-laki dan karena satu hal konyol kami jadi saling diam, bahkan saling marahan. Itu benar-benar tidak elegan.
Sepanjang perjalanan sampai ke apartemen, kami benar-benar saling diam. Aku hanya bisa menikmati lampu-lampu kota New York yang dihasilkan dari gedung-gedung pencakar langit yang indah dan simfonis. Ah, andai saja tidak ada kejadian tadi, pasti lebih indah lagi.
Sesampainya di apartemen, Eugene mengambil kembali barangnya. Saat akan pulang, Eugene menatapku dengan dalam, dan hanya berkata “Have a nice night. Bye”.
Itu bukan Eugene yang ku kenal tiga bulan ini.
Aku khawatir ia akan begitu seterusnya. Jangan, ku mohon, jangan.

((BERSAMBUNG))


  ↺↺


Episode 8 : “New York Memang Indah”

Eugene. Musim Gugur 2018. New York. Masa Depan.
Batik Day baru aja selesai, sekitar dua minggu lalu. Akhirnya kelar juga, bener-bener tiga bulan menyita waktu banget. Bukan gimana-gimana sih, tapi konsentrasi gue jadi terpecah belah; harus manage waktu buat kuliah, ketemu temen kuliah bahas tugas, ngerjain tugas individu juga apalagi, sama yang paling penting yaa itu tadi buat Batik Day. Tapi seneng sih ada pengalaman baru, ketemu orang baru yang mana gue kan susah banget buat kenalan sama orang. Intinya Batik Day membuka banyak peluang buat gue untuk dapet informasi baru, temen baru, yang nantinya mungkin akan saling bantu kalo masing-masing dari kita ada yang butuh bantuan.
Gue juga puas banget sama acaranya. Jujur sih nggak pernah liat acara sebegitu gedenya. Gue pernah ke event-event paling yaa seminar di kampus, pameran, sama festival gitu. Nah kalo Batik Day kemaren tuh bener-bener semua konsep ada disitu. Ada workshop-nya, seminar juga ada, forum diskusi, sampe fashion show. Pokoknya lengkap. Eh tapi ada satu sih yang rada mengecewakan, agenda kompetisi fotografi dengan tema “Me, New York, and Batik” nggak jadi diadain. Padahal bagus banget tuh kalo ada. Gue juga kalo jadi orang umum bakalan ikutan. Tapi karena satu dan lain hal akhirnya dibatalin. Kecewa sih tapi nggak apa-apa lah, maybe next time.
Dan yang bikin gue bangga sama acara ini karena yang ngadain Kantor Konsulat Jenderal Indonesia. Oh yaa, pengunjungnya juga lebih dari yang kita targetin loh. Pas acara fashion show plus exhibition-nya mencapai angka 300 pengunjung! Gokil banget kan? Peserta seminar aja hampir 50-70 orang, belom lagi diaspora Indonesia yang diundang juga hampir 100 orang yang dateng waktu itu. Pokoknya nggak nyesel jadi bagian dari Batik Day. Bener-bener pengalaman yang nggak akan gue lupakan.
Tapi dibalik enaknya Batik Day kemaren, ada nggak enaknya sih. Gue sebagai tim dekorasi pas hari H-nya malah banting setir jadi operator karena sebenernya kita kekurangan orang buat pembagian jobdesc hari H, jadinya gue di bagian operator, Fikri jadi sesi foto-foto, Farida bagian konsumsi, Gilang sama Dhimas bagian peralatan dan perlengkapan, Kak Anna jelas jadi seksi acara yang bantuin Ibu Mirna, dan sisanya bagian keamanan yaitu Yureka dan Chandra yang mana mereka jaga pintu ruangan seminar atau mobile pas sesi fashion show.
Sebenernya rada males juga sih kenapa Yureka sama Chandra ditaro di keamanan. Yureka kan satu divisi sama gue harusnya minimal dia ditaro di bagian dekorasi. Ya, tahu sih pra-acara dekorasi emang diperluin banget tapi ternyata pas hari H nya dekorasi jadi dipecah ke jobdesc yang bener-bener dibutuhin kayak operator atau keamanan. Tapi jadi males juga liat Chandra sebegitu deketnya sama Yureka selama acara berlangsung. Udah gitu beberapa waktu lalu Chandra ngasih coklat ke Yureka, Yureka dikasih coklat paling gede diantara yang lain, pake ada tulisannya pula. Nggak tahu deh tulisannya apaan, tapi kayaknya mereka jadi deket banget.
Enggak cuma itu, ada yang lebih ngeselin lagi yang bikin gue rada kecewa sama Yureka. Jadi seminggu setelah acara, gue sama Yureka jalan ke resto Italia namanya Vapiano, buat pesta makan pasta. Kita berdua sama-sama pecinta pasta jadi kita putuskan buat ‘merayakan’ keberhasilan Batik Day sebagai sesama divisi dekorasi buat makan pasta bareng. Kita pesen banyak banget waktu itu, mulai dari Spagetti Aglio E Olio, Lasagna, sampe dessertnya nambah dua kali. Tapi abis makan, ada momen kurang menyenangkan yang terjadi di restoran. Gue sama Yureka nggak sengaja ketemu Jamie, tetangga satu gedung apartemennya si Yureka. Katanya sih Jamie kerja di resto itu, padahal Yureka tahunya Jamie kerjanya di Giano, bukan Vapiano. Salah denger aja bisa jadi runyam yaa.
Jadi begini, pas kita ketemu Jamie, saling sapa, ternyata ada yang salah disitu. Jamie ceritanya udah ngajak Yureka jalan dari lama, dari sebelum Batik Day malah. Tapi nggak pernah di-iya-in sama Yureka. Nggak tahu tuh kenapa. Gue udah tanya alasannya tapi dia nggak pernah mau ngaku. Trus, pas gue bilang kalau kita emang semacam lagi nge-date gitu, Jamie mulai kesel sama Yureka soalnya Yureka bohong katanya kalau weekend itu dia mau nonton sama Jamie tapi Yureka bilang nggak bisa karena dia mau ketemu temen kampusnya. Nyatanya dia jalan sama gue. Yaa, jelas lah yaa siapa sih yang mau dibohongin begitu. Gue tahu Yureka nggak mau diajak jalan sama Jamie, tapi harusnya dia bilang jujur apa adanya dan nggak bikin kebohongan kayak gitu.
Untungnya amarah Jamie cuma sebentaran aja, soalnya abis itu Yureka janji besoknya atau minggu depan gitu gue lupa, pokoknya Yureka mau ngajak Jamie nonton ke bioskop bareng sebagai permintaan maaf. Jamie juga keliatannya udah maafin Yureka. Yaa, semoga pas mereka nonton bareng besok Yureka mau jujur soal kenapa selama ini dia nggak pernah setuju soal rencana mereka nge-date bareng. Gue juga masih bener-bener penasaran soal itu.
Balik dari Vapiano, gue ambil barang dulu ke apartemen Yureka. Tapi sepanjang perjalanan kita diem-dieman. Gue sih yang memutuskan untuk nggak ngomong dulu sama dia. Lagi males aja waktu itu. Tapi itu bener-bener nggak kayak biasanya. Semenjak ngurus acara Batik Day bareng, gue banyak ngobrol sama dia termasuk pas lagi otw dijalan. Tapi karena gue masih kecewa sama dia, akhirnya gue cuekin dia buat sementara waktu. Gue bener-bener nggak nyangka orang yang gue suka karena kepribadiannya yang menyenangkan itu bisa bohong ke orang lain, udah gitu yang dibohongin orang bule, yaa marah lah. Semua orang emang nggak mau dibohongin tapi menurut gue orang bule lebih nggak suka lagi. Mereka bener-bener nggak respect sama orang yang tukang bohong. Ibaratnya jadi kayak nggak punya harga diri aja. Itu sih yang gue amatin selama tinggal di US.

💘💘💘

Beberapa hari gue agak buat jarak sama Yureka. Gue butuh ruang dan waktu lebih buat berpikir. Bukan berpikir untuk nggak jadi suka sama Yureka, gue suka dia apa adanya kok, tapi masih nggak nyangka aja orang unik kayak dia bisa begitu. Ya, nggak salah juga sih soalnya dia juga manusia biasa yang bisa aja khilaf dan buat kesalahan. Tapi beneran deh gue harus cari tahu kenapa Yureka bisa begitu.
Hari Sabtu, 20 Oktober 2018, kita berdelapan kumpul lagi. Bukan buat rapat lagi, tapi buat evaluasi soal acara kemaren. Tapi tempatnya bukan di apartemen Kak Anna lagi, udah bosen banget kita rapat disana, meskipun waktu itu sempet dua kali kita rapat di luar sambil makan. Dan sambil evaluasi sebenernya sekalian pembubaran panitia jadinya kita putusin buat jalan-jalan dan makan-makan di luar.
Karena udah kehabisan ide mau makan dimana di sekitaran Manhattan atau Upper East Side, akhirnya kita berdelapan memutuskan untuk jalan-jalan ke Brooklyn. Trus kita makan dessert di The Chocolate Room yang katanya cukup terkenal di Brooklyn. Tapi sebelumnya kita makan siang dulu di Loving Hut, biasa lah vegan restaurant itu jadi matter banget buat kita mungkin terkecuali buat Chandra dan Kak Anna. Yaa, tahu sendiri lah kenapa. Nah abis dari Loving Hut baru kita ke The Chocolate Room buat makan dessert dan ngadain evaluasi. Wah itu tempatnya sih si Yureka banget, secara doi suka banget sama coklat soalnya.
Selama evaluasi gue masih nggak bicara sama Yureka alias masih jaga jarak. Biarin aja deh diem-dieman dulu, gue juga butuh waktu. Tapi dari diem-diemannya kita, kayaknya Kak Anna bisa merasakan apa yang terjadi meskipun nggak kita kasih tahu. Trus abis rapat evaluasi selesai, udah sekitar jam 5 sore lah kira-kira, akhirnya kita putusin buat balik ke Manhattan. Sepanjang perjalanan pake metro, Kak Anna ngajak gue ngobrol. Ngobrolnya kali ini agak serius, soal gimana gue sama Yureka.
“Lu kayaknya lagi diem-dieman ama Yureka. Kenapa lu pada berdua?”, tanya Kak Anna sambil berbisik.
“Nggak kenapa-kenapa”, jawab gue singkat.
“Nggak usah boong. Jujur aja. Atau main Truth or Dare lagi nih?”, Kak Anna mengancam dengan cara yang tidak asik.
“Eh jangan! Ogah amat gue. Hmm, gimana yaa? Jadi gini kak…”
Akhirnya gue ceritain semuanya ke Kak Anna. Kak Anna menyimak dengan serius setiap detil yang gue ceritain ke dia yang akhirnya memunculkan sebuah ‘light bulb’ dari otaknya dan sontak merespon “Ah itu gue tahu kayaknya alasannya dia apa?”. Gue juga sontak merespon “Hah? Apaan emang kak? Kasih tahu dong. Please, gue pengen tahu kenapa. Kayaknya ada yang kurang bener disitunya”.
“Harusnya sih lu tanya sendiri langsung ke orangnya, Jin. Tapi kalau emang keadaannya masih begini, oke deh gue cerita nih ke elu. Tapi janji yaa, abis ini lu baikan sama dia. Dan lu harus konfirmasi ini lagi ke dia, semoga gue nggak salah karena dia yang cerita langsung dan dia bilang gue nggak bisa cerita sama siapapun”, jelas Kak Anna panjang lebar.
“Iyaa yaudah buruan!”, gue bener-bener maksain Kak Anna buat cerita.
Sebelum gue mempersilahkan Kak Anna cerita, gue liat ke arah temen-temen yang lain dan memastikan ada jarak yang cukup buat gue sama Kak Anna mengungkap ceritanya Yureka. Situasi dirasa aman, Yureka, si objek yang lagi mau kita bicarakan lagi asyik cerita-cerita sama Chandra. Duh, gue sama dia lagi diem-dieman, dianya malah memanfaatkan keadaan sama Chandra gini. Tapi itu nggak penting, yang penting gue tahu dulu cerita di balik Yureka kenapa dia nggak mau jalan sama Jamie.
Kak Anna secara perlahan membeberkan. Waktu rapat minggu ke berapa gitu dia lupa, katanya dia nggak sengaja denger percakapan Yureka sama Ibunya lewat telepon. Katanya waktu itu lagi berantem soal orang yang lagi dideketin Yureka. Kak Anna sempat memperagakan kalimat yang sempat ia dengar, kira-kira seperti berikut; “Dulu Nabil udah aku jauhin, dan aku udah dengerin kata-kata Ibu kalo aku nggak boleh pacaran sama beda agama. Udah kok, ini cuma deket aja”. Gitu intinya. Percakapan sisanya Kak Anna nggak tahu lagi. Ah payah nih Ibu Pertiwi kalo dengerin setengah-setengah.
Abis itu, beberapa waktu kemudian Yureka yang curhat sendiri ke Kak Anna soal Jamie. Tapi nggak tahu juga itu ada hubungannya dengan pembicaraan dengan Ibunya di telepon atau bukan. Jadi begini, ternyata sebenernya Yureka punya masa lalu yang nggak enak sama orang yang tidak percaya agama atau Tuhan dan semacamnya. Waktu Yureka semester 7, dia deket sama satu juniornya di kampus. Mereka katanya udah sering jalan bareng, traveling bareng, sampe udah ngenalin ke keluarga masing-masing dan main ke rumah masing-masing juga. Katanya sih emang mereka nggak pacaran, nggak pernah jadian, tapi udah deket banget. Yureka bahkan nggak tahu harus menyebut hubungan itu apa. Dibilang temen juga udah lebih dari temen, dibilang sahabat juga bukan, dibilang pacar apalagi. Sama sekali nggak ada status yang jelas saat itu.
“Ya, lu tahu sendiri, Jin, cewek itu gampang baper. Diajak jalan dikit dikira disukain. Apalagi Yureka yang notabene nggak pernah pacaran, yaa punya hubungan kayak gitu sama mantan gebetannya, yaa tingkat kebaperannya lebih tinggi lah, udah sampe puncak malah. Kasian sih gue sama dia, soalnya dia digituin sama tuh cowok hampir 2 tahun! 2 tahun men, di PHP. Parah kan! Brengsek emang tuh cowoknya. Eh mantannya. Eh mantan gebetannya maksudnya.” Jelas Kak Anna sambil emosi.
Gue nggak respon apa-apa karena gue bener-bener speechless dengerin penjelasan Kak Anna itu. Gue jadi merasa bersalah. Tapi salah Yureka juga sih nggak mau ngasih tahu sendiri.
Kak Anna kemudian melanjutkan, “Trus dia bilang dia kenapa dia nggak mau bilang siapa-siapa soalnya dia takut kehilangan sosok teman. Tapi tahu nggak, katanya dia juga, dia sempet suka sama Jamie. Tapi cuma beberapa saat aja sebelum Yureka tahu kalau Jamie itu Atheis, apalagi dia bule dan Warganegara Asing. Dia bilang fix aja dia udah nggak suka sama Jamie, karena langsung keinget si mantan gebetannya yang bajingan itu.”
“Hmm jadi gitu ceritanya. Tapi mantannya, eh mantan gebetannya Atheis yang bener-bener Atheis, Kak?”, jawabku sambil mengangguk dan mengelus dagu.
“Bukan Atheis. Ada lagi satu lagi, yang pokoknya percaya Tuhan tapi nggak percaya agama. Apa yaa? Bentar deh gue cari di Google dulu. Penasaran gue juga”, ucap Kak Anna yang kemudian membuka hape-nya.
Ketika Kak Anna mencari tahu informasi itu di internet, gue sesekali melihat ke arah Yureka. Nggak nyangka, cewek secerewet dia, sepinter, seberbakat dia, punya masa lalu yang nggak ngenakin gitu. Andai dia mau jujur sama gue, pasti gue akan ngerti keadaan itu.
Sontak Kak Anna menemukan sesuatu dan berkata, “Agnostic! Ya, Agnostic bener. Pokoknya gitu deh. Katanya dulu tiap Yureka ngajak atau ngingetin sholat tuh cowok nolak mulu. Kalo bulan puasa sering sahur sama buka puasa bareng mereka, eh tapi Yureka sering nge-gap tuh cowok nggak puasa. Makanya kalo kata gua semenjak itu dia bener-bener cari cowok yang nggak cuma sama muslimnya aja, tapi mempraktekkan agama juga. Bagus tuh. Gua salut sama dia punya prinsip itu.”
Menanggapi cerita itu gue bener-bener salut sama Yureka. Pertama, dia nggak mau nikah sama bule karena terkait bahasa. Dia emang jago, fasih lah kalo boleh dibilang bahasa Inggrisnya, tapi dia pernah bilang ke gue kalo dia lebih memilih orang Indonesia karena kalo nonton lawak Indonesia biar bisa ketawa bareng, karena sense humornya orang Indonesia bagi dia tuh ngena banget. Jadi menurut gue emang nggak cuma sense-nya tapi bahasanya juga. Jadi intinya bisa menertawakan hal yang lucu bareng-bareng tapi dalam bahasa Ibunya sendiri. Kedua, dia nggak mau nikah sama orang yang tidak mempraktekkan agama. Istilahnya nggak mau punya pasangan yang Islam KTP doang.
Itu semua secara nggak langsung bener-bener menyadarkan gue. Terutama soal mempraktekkan agama itu sendiri. Mungkin selama ini gue sering ninggalin ibadah, tapi karena Yureka gue jadi tersadar untuk jadi muslim yang lebih baik lagi, yaa meskipun sebagai manusia juga pasti nantinya ada khilaf-khilaf dikit. Tapi kan berusaha jadi lebih baik itu nggak salah, ya kan?

💘💘💘

Yureka. Musim Gugur 2018. New York. Masa Depan.
Persis dua minggu pasca Batik Day dan persis satu minggu aku tidak saling sapa dengan Eugene karena kejadian tidak menyenangkan di restoran Vapiano Sabtu malam, 13 Oktober 2018 itu. Eugene jadi tahu kalau aku membohongi Jamie yang akhirnya membuat Eugene malas bicara denganku. Termasuk saat rapat evaluasi di Brooklyn hari ini. Ya, baru saja kami makan di Loving Hut, resto Vegan yang cukup terkenal di Brooklyn, plus menikmati lezatnya dessert dan minum kopi di The Chocolate Room. Aku yang meskipun pecinta coklat ini jadi hilang selera karena masih memikirkan Eugene. Ia benar-benar masih marah padaku. Dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah aku jujur kepada Eugene soal semuanya? Soal Jamie? Soal mengapa aku sering menolak ajakan Jamie jalan atau kencan?
Untungnya masih ada Chandra yang mau berbagi tawa denganku. Sepanjang perjalanan khususnya ketika kembali ke Manhattan, aku duduk bersebelahan dengan Chandra di metro dan kami saling melempar canda dan tertawa bersama. Eh tunggu, ini kenapa aku jadi begini sama Chandra? Duh, jangan dong, aku tidak ingin begitu saja melupakan Eugene yang tampan dan ideal itu. Bagaimanapun aku masih berhutang padanya soal semua keadaan canggung ini.

👏👏👏

Keesokan harinya, aku membayar hutangku pada Jamie. Bukan, bukan soal hutang uang atau barang, terlebih dia sering membuatkanku pie coklat. Bukan soal semua itu, melainkan hutang pergi ke bioskop bersamanya. Dan di Minggu malam yang cukup cerah, aku dan Jamie pergi ke Times Square dan nonton film terbarunya Benedict Cumberbatch di Times Square Theater.
Ternyata jalan-jalan bersama Jamie tidak semenyeramkan itu. Kami berbincang banyak hal layaknya teman, layaknya tetangga apartemen. Kami juga terkadang membahas soal fasilitas apartemen yang kurang memuaskan dan masih banyak lagi. Merasa semuanya lebih baik namun aku masih bersama perasaan ketidak-enakan ku, aku pun berkata “I’m so sorry if I being rude to you back then. I didn’t mean to you, Jamie
So, could you please tell me why you did it?
Ya, mungkin sudah saatnya aku jujur ke Jamie perihal masa laluku dengan Nabil, si bajingan itu, ah malas sebenarnya membahasnya. Benar-benar malas. Tapi semua sudah kuungkapkan pada Jamie. Dan memastikan bahwa selama ini memang ada salah paham dan sekarang Jamie sudah tahu semuanya. Aku lega karena aku tidak perlu berbohong lagi pada Jamie atau nantinya akan mempengaruhi hubunganku dengan Eugene. Ngomong-ngomong soal Eugene, ada satu kutipan Jamie yang ia lontarkan padaku soal Eugene. Dia bilang “You look so into to him, don’t you? If yes, don’t waste a time. Go ahead and make everything everlasting with him”.
Terdengar picisan tapi benar juga sih bule ini. Dan ada satu lagi nasehatnya, “If you fall in love with somebody, stop waiting. Go and catch it! And if divine belong to both of you, there will always a way to get closer each other”. Luar biasa! Aku sangat terkesima mendengar itu, bahkan dari mulut seseorang yang tidak percaya Tuhan seperti Jamie. Bagaimanapun itu, aku sangat mengapresiasi saran dan nasehatnya. Ku rasa Jamie cocok jadi motivator bukan koki di restoran Italia.

💘💘💘

Beberapa hari kemudian, masih tidak ada kabar soal Eugene. Pesan WhatsApp terakhir dengannya berupa broadcasting update informasi seputar PERMIAS NYC yang akan mengadakan acara kolaborasi dengan PERMIAS New Jersey. Pesan itu pun tidak digubris. Aku berharap ada harapan yang datang di antara aku dan Eugene. Aku benar-benar tidak suka keadaan dan situasi seperti ini.
Sabtu, 27 Oktober 2018, hujan datang sedari pagi. Aku sendirian di apartemen. Cassandra seperti biasa ke rumah tunangannya. Salima sedang ambil shift weekend di restoran tempat ia bekerja. Tidak banyak yang kulakukan. Hujan membuat syahdu tapi juga jadi dingin. Temperatur pun menurun hingga 11 derajat. Makin dingin, seperti diriku dengan Eugene, masih dingin dan makin dingin. Mungkin akan membeku.
*Tok Tok Tok Tok*
Tunggu ada yang mengetuk pintu? Perasaan aku tidak memesan delivery pizza, lalu siapa itu?
Ku dekati lubang kecil di pintu untuk mengintip siapa yang datang. Astaga ternyata itu Eugene! Mau apa dia datang kemari?
Tak berapa lama ku bukakan pintu. Kami masih diam, hanya saling menatap. Awalnya aku ingin acuh tapi Eugene kehujanan dan seluruh bajunya basah kuyup, termasuk sebuket bunga mawar pink yang ia bawa. Lalu ku suruh dia cepat-cepat masuk. Ngomong-ngomong, aku tidak suka mawar dan aku tidak suka warna pink, tapi siapa yang tidak senang gebetan datang disaat yang tak terduga seperti ini, pula membawakan bunga. Benar-benar romantis. Sambil berkata “Aku udah tahu semuanya. Aku minta maaf.”
“Tahu apa? Maaf apa?” tanyaku mulai kebingungan apa maksud yang ia katakan itu.
“Soal kamu, Jamie, Nabil. Semuanya”, jawabnya sambil menggigil kedinginan.
“Lu tahu dari siapa?”, tanyaku lagi
“Kak Anna”, jawabnya masih menggigil.
“Ah emang bener ngeselin deh Kak Anna nih.”
Eugene makin menggigil lalu ku ambilkan handuk untuknya mengeringkan bajunya, juga ku hidangkan secangir teh panas untuknya agar ia lebih merasa hangat.
Sambil mengeringkan rambutnya yang keren itu, ia menjelaskan “Jangan salahin dia, aku yang maksa dia buat cerita semuanya. Awalnya dia tahu kalo kita berdua diem-dieman, kita nggak saling sapa minggu lalu, itu yang membuat Kak Anna yang jadi bertanya-tanya. Pas aku cerita semua ke dia kenapa kita begitu, dia bilang dia punya cerita soal kamu dan Nabil. Awalnya dia nggak mau cerita karena kamu yang suruh dia jaga rahasia itu, tapi aku berhak tahu. Akhirnya aku paksa dia buat cerita dan sekarang aku udah tahu semua. Maafin aku yaa. Tapi kalo dari awal kamu mau cerita semuanya, pasti nggak akan ada kejadian ini.”
“Gue nggak marah sama elu. Beneran. Justru gue yang takut lu yang marah sama gue karena gue bohongin Jamie waktu itu”, jawabku memelas.
“Iyaa sempet marah soal itu tapi… intinya kalo emang kamu punya sesuatu yang perlu dikasih tahu ke orang, ngomong aja. Dan jangan bohongin orang lagi ya”, nasehat Eugene menyentuh.
Syukurlah, karena itu aku jadi berbaikan dengan Eugene. Bunga pemberian darinya pun aku pajang di kamarku menggunakan vas yang biasa kupakai untuk menaruh bunga daisy kesukaanku yang kala itu sedang tidak kubeli karena terlalu fokus dengan Batik Day beberapa minggu sebelumnya. Ternyata vas bunganya bisa terisi kembali, apalagi yang memberikan dari pemuda Tiong Hoa tampan pujaan hati. Sungguh kenikmatan yang hakiki.
Waktu sudah menunjukkan jam makan malam, berhubung Eugene mampir, sekalian saja aku buatkan masakan untuk makan malam kami berdua. Mumpung Cassandra dan Salima sedang tidak ada di rumah juga, jadi Eugene bisa berlama-lama tanpa perlu di deham-deham.
“Mau makan apa nih? Gue punya ayam, beras, telur juga ada, roti apalagi jangan ditanya”, tanyaku pada Eugene yang masih asyik meneguk teh panas yang sudah tidak terlalu panas lagi itu.
“Apa aja deh yang penting makan. Mulai laper hehehe”, jawabnya dengan ekspresi yang tumben sekali lucu.
“Masak ayam kremes aja kali yaa?”, tanyaku mengkonfirmasi.
“Eh itu kesukaan aku loh. Soalnya di Tebet ada tuh ayam kremes yang enak gitu. Boleh deh hehehe”, jawabnya penuh gairah seperti tidak makan ayam kremes dua abad.
Akhirnya kami berdua masak bersama. Tugas Eugene cukup mudah, dia hanya membantuku menanak nasi. Sedangkan aku mempersiapkan bumbu-bumbu untuk menggoreng ayam dan membuat kremesnya dari tepung terigu. Sambil masak pula sambil ngobrol-ngobrol. Seperti biasa, ada banyak topik pembahasan kalau sudah mengobrol dengan pemuda yang satu ini. Tapi kali ini obrolan makin seru, hmm mungkin karena kemarin saling diam selama berminggu-minggu. Mulai dari komentar soal acara Batik Day kemarin yang mana Eugene sangat puas dengan keseluruhan acara, kecuali satu hal, ia kecewa karena konsep perlombaan fotografi yang awalnya direncakan jadinya ditiadakan. Katanya, beberapa waktu belakangan ia sempat hobi fotografi. Maka, waktu ia tahu kalau akan ada perlombaan memotret kece itu, ia excited sekali. Sayang, tidak jadi makanya kecewa ia dibuatnya.
“Oh, jadi selama acara berlangsung muka lu kusut gara-gara itu”, tanyaku sambil memeriksa apakah bumbu rempah-rempahnya sudah merasuk kedalam ayam dengan baik atau belum.
“Eh… hmmm. Yaa, kind of….”, jawab Eugene yang secara mengejutkan jago juga masak, walau hanya masak nasi.
Kami terdiam sejenak, lalu Eugene memulai percakapan lagi.
“Sebenernya nggak gitu sih kenyataannya”, ia berhenti mengaduk-aduk nasi di panci, dan mengatakan sesuatu.
“Maksudnya?”, tanyaku penasaran.
“Aku boleh nanya sesuatu dulu nggak?”
“Apa tuh?”
“Kamu sama Chandra ada apa sih?”
“Chandra? Ada apa denganku dan dirinya? Nggak ada apa-apa? Ngarang deh”, jawabku sedikit tertawa.
“Serius nih. Kok dijawabnya pake ketawa, nggak lucu tau!”
“Nggak apa-apa. Gue cuma ngakak aja tiba-tiba lu nanya gitu”
“Tapi boleh tahu kenapa?”
“Nggak ada apa-apa. Beneran. Tapi nggak tahu yaa, gue juga jadi penasaran kenapa Chandra tiba-tiba begitu. Suka kali dia sama gue”
“Serius? Hmmm, maksudnya, yakin tuh dia suka sama kamu?”
“Kan kayaknya. Aneh soalnya, waktu itu dia ngasih coklat, gede banget, ada tulisan terima kasih atas pijatan yang kaki dia terkilir itu. Trus pas kita jadi keamanan, dia becanda mulu. Ngebully gitu, ngebully bercanda maksudnya.”
Eugene terdiam sesaat dan menampakkan ekspresi tidak senang.
“Ohh jadi bukan karena nggak ada lomba fotografinya. Tapi karena… hmmm Chandra. Ya, ya, ya paham gue sekarang”, tanyaku meledek.
“Hmmm. Uhm... Ah nggak tahu ah”, balasnya seperti anak kecil. Semakin dekat semakin lucu juga mahasiswa Urban Planning ini.
Topik percakapan tersebut berakhir dengan kecanggungan. Kami berdua hanya saling lempar senyuman. Tertawa kecil juga menghiasi dapur kala itu. Benar-benar malam yang indah. Terima kasih, Ya Tuhan!
Satu jam kemudian, masakan ayam kremes, nasi putih, dan sambel tomat plus lalapan daun selada dan timun, siap disantap! Tidak menyangka malam ini makan masakan yang super duper Indonesia. Padahal biasanya kalau malam aku hanya makan roti, acar ketimun, dan ikan tuna kalengan atau kadang hanya pakai keju saja. Mungkin karena ada orang spesial yang datang, maka makanan sesederhana itu pun juga bisa jadi sangat spesial.
Sambil menyantap makan malam, aku dan Eugene masih meneruskan Quality Time kami. Selain membahas kesan dan pesan seputar Batik Day, tidak sengaja kami membahas cerita cinta kami berdua. Ya, aku jadi mengaku semua dan cerita semuanya pada Eugene yang sesungguhnya masih penasaran soal Jamie dan Nabil itu. Ternyata selain pintar di bidangnya, serta tampan dan rupawan, rasa keponya bahkan melebihiku.
Sebenarnya malas juga harus menjelaskan secara runtut soal keduanya. Intinya aku jelaskan pada Eugene kalau yang diceritakan Kak Anna memang benar. Aku trauma berhubungan dengan orang yang tidak beragama atau percaya pada Tuhan, apapun itu intinya aku tidak cukup respect dengan orang yang tidak mau mengenal penciptanya. Semenjak selisih pendapat dengan Jamie soal keberadaan Tuhan dan praktik agama, yang mana waktu itu memang obrolannya sangat serius, aku langsung tidak tertarik sama sekali dengannya. Jujur, awalnya aku sedikit tertarik dengan Jamie. Siapa sih yang tidak suka dengan bule berambut pirang bermata biru seperti Jamie? Apalagi Jamie ini ganteng, ganteng ala Amerika, siapa yang tidak suka? Tapi mendadak hilang selera ketika yaa saat membahas agama itu. Ia pun mengaku sendiri kalau ia tidak pernah sama sekali mempraktikkan satu agama, walaupun sebenarnya katanya salah satu orang tuanya penganut Yahudi. Ringkasnya, dari kejadian itu, aku langsung teringat akan Nabil yang sudah menyakitiku beberapa tahun silam, tidak lama berselang dari kejadian dengan Adam. Semenjak itu aku punya prinsip untuk tidak lagi memiliki hubungan serius dengan pria yang tidak mempraktikkan agama, apalagi sampai tidak percaya akan Tuhan. Ya, kalau hanya sekadar berteman aku masih mau, tidak ada masalah sama sekali. Tapi kalau lebih dari itu, maaf, aku benar-benar tidak bisa.
“Berarti kamu bener-bener trauma ya?”, tanya Eugene penasaran sambil membantuku membawa piring-piring ke dalam wastafel karena aku segera akan mencucinya.
“Aku orangnya traumaan banget. Soal Nabil, soal Adam, apapun yang pernah bikin aku sakit hati, aku bener-bener muak”, jawabku sambil merapihkan sisa-sisa makanan ke dalam tong sampah. Tunggu, mengapa aku jadi mengulang lagi perbendaharaan kata menggunakan Aku-Kamu dengan Eugene seperti ini? Ngomong-ngomong, kalau orang Indonesia apalagi orang-orang yang berdomisili Jakarta sepertiku dan Eugene, kalau percakapan sudah memasuki penggunaan Aku-Kamu, itu tandanya ada sesuatu yang spesial di antara kami. Benarkah bahwa Eugene suka padaku? Duh, Yureka fokus! Hargai lawan bicaramu kalau ia sedang berbiacara.
Wait, Adam tuh siapa? Kayaknya kamu belum pernah cerita ya?”, tanya Eugene lagi.
“Iyaa kah? Hmmm pernah ah”, jawabku masih memikirkan perbendaharaan Aku-Kamu tadi.
“Nggak pernah”, balas Eugene dengan nada halus.
“Pernah… eh belum deng”. Ternyata aku belum pernah ceritakan soal Adam kepada Eugene. Mungkin ini saat yang tepat untuk mencerikatakan semuanya.
Sambil mencuci piring, aku ceritakan detil demi detilnya tentang Adam Wang kepada lelaki bernama lengkap Parama Eugene Oetomo ini. Hingga ketika aku sebut kata ‘Hong Kong’, ia sontak merespon “Oh! Jadi yang waktu kamu kaget pas aku bilang aku kuliah di The University of Hong Kong itu, gara-gara orang yang namanya Adam toh. Pantesan.”
Yaa, pada akhirnya Eugene tahu segalanya tentangku. Agak sungkan cerita ini semua padanya, tapi aku berharap ia akan tahu dan paham posisiku seperti apa.
Makanan sudah habis, semua peralatan makan dan memasak sudah dicuci bersih, dan malam sudah larut. Aku terpaksa menyuruh Eugene pulang karena takut kalau Salima sudah kembali dan ia masih disini, aku yang akan kena komplen nantinya.
“Makasih yaa ayam kremesnya”, ucap Eugene sambil menggunakan jaket milikku yang kupinjamkan padanya agar tidak kedinginan. Salahnya sendiri hari ini ia tidak membawa jaket. Harusnya ia tadi tidak kehujanan kalau ia mau melihat ramalan cuaca hari ini karena memang hari ini diperkirakan hujan sepanjang hari.
“Aneh sih, kata kamu, kamu nggak suka yang gurih-gurih atau asin, tapi kok ayam kremes jadi makanan idola gitu?”, tanyaku sambil mengencangkan kuncir rambutku.
“Kan aku bilangnya aku nggak suka junk food, bukan ayam kremes”
“Kan sama aja”
“Beda…”
“Sama…”
“Beda…”
“Yaudah sama. Oke. Terkecuali ayam kremes”, Eugene mengalah. Lagi-lagi ekspresi dan tingkah lakunya seperti anak kecil. Menggemaskan!
Kami terdiam sejenak lagi. Eugene menatap mataku sangat dalam. Tidak, tidak, jangan bilang ia mau menciumku seperti yang ada di film-film yang sering ku tonton itu! Aku hanya mengerutkan dahi, dan Eugene melihat jam tangannya dan berkata “O wow, udah jam 11 tenyata. Nggak kerasa yaa. Hmm kalau next time aku ajak jalan, nggak nolak kayak kamu nolak Jamie kan?”
 I have no idea. We’ll see…”, jawabku sambil menaruh tangan ke kantung celana jeans sedang ku pakai dan mengangkat kedua pundak yang melambangkan ketidakpastian apakah aku akan jalan dengan Eugene lagi atau tidak.
Nope. Itu jawaban yang selalu kamu kasih buat Jamie. Say something else, please
Okay, I will! Puas? Udah malem. Sana, keburu metronya jalan. Sana, hush hush”, usirku dengan nada bercanda pada Eugene.
Okay. Aku pulang yaa. Have a nice sleep. Bye”, Eugene melambaikan tangannya yang putih dan bersih itu.
You too, bye”, aku pun melambaikan tanganku yang tidak seberapa bagus ini.
Sampai turun tangga pun, Eugene masih melempar senyuman kepadaku. Astaga, senyumnya manis sekali! Kenapa tidak dari dulu saja begitu, Jin, saat pertama kita bertemu di seminar. Kalau dari dulu kamu tidak kikir senyum, aku kan bisa mendekatimu sedari lama.
Ku tutup pintu secara perlahan, kemudian bersandar di balik pintu dan menghela napas panjang. Ya Tuhan, inikah yang namanya jatuh cinta yang benar-benar jatuh cinta? Aku yakin, semua yang terjadi tadi atau kemarin-kemarin bukan hanya dari pihakku saja, melainkan Eugene juga demikian. Jadi benar atau tidak ia juga punya perasaan yang sama denganku? Aku tidak ingin berasumsi dengan jawaban ‘Ya’ segera, aku takut peristiwa dahulu terulang kembali. Jangan, Ya Tuhan, jangan! Ku mohon jangan terulang lagi! Rasanya ingin berakhir bahagia dengan Eugene saja.
Masih bersandar di belakang pintu, aku masih terdiam disana, berkali-kali aku mengucap syukur, dan air mataku tak sengaja menetes lewat kedua pipiku. Buru-buru aku menyekanya. Dan aku masih berdiam di balik pintu untuk beberapa saat.

💘💘💘

Eugene. Musim Gugur di Akhir Oktober 2018. Columbia University. Masa Depan.
Hari ini seperti biasa kayak hari-hari biasanya, ngampus ke kampus tercinta, lebih tepatnya di GSAPP alias Graduate School of Architecture, Planning, and Preservation. Gue udah jadi salah satu bagian dari kampus ini sejak satu tahun setengah belakangan. Mudah-mudahan tahun depan bisa lulus seperti yang diperkirakan.
Hari Selasa jadwalnya mata kuliah Community Development Planning. Selama dua jam perkuliahan, gue nggak konsentrasi sama sekali. Dan kalau mau tahu, dari kemaren gue kayak gini. Lebih tepatnya semenjak makan malam di apartemen Yureka Sabtu kemaren. Gue hilang fokus karena masih ingat dalam memori gue akan senyumnya Yureka yang manis itu. Apalagi kalau dia lagi ketawa, kayaknya lepas banget, happy person banget anaknya. Udah pinter, sering jadi speaker juga, jago masak lagi. Ya, Sabtu kemaren dia masakin gue ayam kremes. Beuh, ayam kremesnya enak banget loh! Wah, gue sampe ketagihan dan pengen minta bikinin lagi sama dia.
Setelah perkuliahan dengan Nyonya O’Neill-Hutson, gue nggak tahu lagi mau kemana. Kuliah cuma satu kalo tiap Senin sama Selasa. Berhubung gue laper, gue ke kantin dulu deh, siapa tahu ada inspirasi mau jalan kemana abis ini.
Di kantin, seperti biasa andalan gue tuna sandwich yang aman dan halal. Ditambah sebotol jus jeruk, gue lahap semua makanan itu. Tapi kok ada yang hilang yaa. Sepi gitu rasanya makan sendirian. Apa karena udah keseringan makan sama Yureka yaa? Ya, sih soalnya selama rapat-rapat Batik Day kemaren, apa-apa bareng Yureka terus. Ngedesain bareng, kemana-mana bareng, yang paling sering sih makan bareng. Sepi rasanya kalau sehari tanpa dia. Kayaknya gue beneran jatuh cinta sama dia. Bener kata Eyang gue yang mengambil pepatah jawa “Witing tresno jalaran soko kulino” yang artinya “Cinta tumbuh karena terbiasa”. Almarhumah Eyang Putri gue dulu pernah cerita kenapa beliau bisa menikah sama Eyang Kakung. Katanya dulu mereka itu teman satu komunitas gamelan bareng dan mereka sering banget ketemu apalagi kalau lagi latihan. Eh lama-lama mereka saling suka, trus beberapa tahun kemudian mereka married. Ah, keren banget!
Apa bener yaa yang pepatah itu terjadi sama gue sekarang? Gue jadi jatuh cinta sama Yureka karena udah keseringan bareng?
Atau gue beraniin diri aja buat nembak dia? Sebelum keduluan Jamie apalagi Chandra. Atau nanti malah suatu hari si mantan-mantannya dia yang namanya Adam sama Nabil itu datang lagi dan nembak Yureka. Ih, nggak deh. Nggak rela gue kalau Yureka yang lucu itu jatuh di tangan orang yang kurang ajar kayak mereka. Orang sebaik dia, sepinter, dan selucu dia layak kok dapet perhatian. Tapi gimana yaa ngomongnya? Gue lupa cara nembak cewek. Terakhir kan pas SMA. Trus waktu kuliah gue yang ditembak cewek tapi gue tolak, lagi-lagi problem-nya sama kayak Yureka ke Jamie, soal keyakinan. Ah nggak penting, yang penting sekarang gue harus beraniin diri buat ngomong jujur sama dia.

💘💘💘

Yureka. Musim Gugur di Akhir Oktober 2018. New York University. Masa Depan.
Pekan paling hectic. Dari minggu lalu tugas numpuk tidak ada tandingannya. Mulai dari tugas analisis cerita TV, tugas nulis script tingkat lanjutan, sampai tugas masterclass program TV anak-anak. Untung sedari awal aku menginginkan ini semua, jadi rasanya ini semua tidak cukup dewasa kalau dikeluhkan begitu saja. Sejauh ini aku sangat menikmatinya. Tapi aku jadi tidak punya banyak waktu untuk cuci baju, cuci piring, masak, dan rapih-rapih kamar. Akhirnya beberapa hari belakangan Cassandra yang mencucikan piring-piringku. Di satu sisi aku tidak enak dengannya, masa roommate kuminta untuk mencuci piringku. Tapi disisi lain, ia sangat membantu. Ia juga bilang “I know you’re busy. Don’t worry I’ll do it for you”. Benar-benar malaikat tanpa sayap.
Eh btw, besok kan Halloween, pasti ramai! Hei, Yureka kenapa kau jadi membicarakan pesta Halloween, harusnya kan membicarakan soal kegiatanmu hari ini. Jadi, setiap Selasa, waktunya mata kuliah Late Night Comedy Writing dan Advance TV: One Hour. Anehnya, mata kuliah penulisan skrip televisi berdurasi satu jam, kelasnya dibatalkan. Tumben sekali. Ya, ada untungnya sih, aku jadi bisa mengerjakan tugas lainnya, tapi kalau begini ilmunya jadi pending satu hari.
*telepon genggamku berdering*
Dalam hati ku bergumam, “Eugene? Ngapain telepon? Tumben.”
“Halo?”, ujarku mengangkat panggilan masuk dari Eugene.
Halo, Assalamualaikum Yureka, lagi dimana?
“Walaikumsalam, Jin. Lagi di kampus. Ada apa?”
Oh. Ada kuliah?
“Udah selesai sih. Sebenernya ada lagi 1 tapi the class is canceled. Yaudah jadi lagi nongkrong aja di kantin sambil nyicil ngerjain tugas. Kenapa?”
Kuliahnya apa tadi?
“Late Night Comedy Writing”
Wah komedi yaa. Pasti kamu paling jago di antara semua mahasiswa
“Kenapa bisa begitu?”
Yaa, kan selera humor kamu tinggi banget. Sering bikin orang ngakak
“Bisa aja. Lu lagi dimana?”
Kampus. Udah selesai kuliah juga barusan
“Okay. Trus…?”
Hmmm, kalo kuliahnya cancel berarti sore ini ada waktu dong?
Firasatku berkata Eugene akan mengajakku jalan. Aku bingung dan senang skornya imbang setengah-setengah. Lalu kalau Ya, harus aku iyakan atau tolak?
Tugas atau Eugene?
Tugas atau Eugene?
Duh, Tuhan apa yang akan terjadi?!
Seseorang di kampus Columbia Univeristy masih setia menunggu jawabanku.
Halo?
Lalu ku balas pertanyaannya dengan, “Iyaa. Ada waktu kok… hmmm kenapa emangnya?”. Bodoh, Yureka, kau mau lulus S2 tiga tahun yaa?!
Jalan-jalan yuk?
“Jalan-jalan kemana? Jalan kaki maksudnya?”
Nggak literally jalan kaki juga lah. Hmmm. Ke Staten Island mau gak? Liberty Statue gitu?
“Buset. Jauh aja. Biasanya juga lu ngajaknya ke… Central Park, Times Square, mentok-mentok Lower East Side liat Brooklyn Bridge.”
Ya, sekali-kali dong yang jauhan dikit.
“Tapi nggak punya duit nih buat naik ferry-nya”
Aku traktir!
“Dalam rangka apa?”
Ucapan terima kasih atas ayam kremesnya yang super lezat itu
“Ya ampun. Ayam kremes dibayar pake kapal ferry ke Liberty Statue gitu?”
Iyaa, mau nggak?
“Jangan malem-malem yaa. Aku harus ngerjain tugas soalnya”. Nah begitu lebih oke. Dengan begitu S2 mu hanya 2 tahun saja!
Yaa nggak lama kok. Yaudah aku jemput 1 jam lagi. Tunggu ya
“Okay. See you soon”
Oh My Goodness, lagi-lagi dia ngajak jalan dadakan! Antara bahagia tapi kesal juga. Kenapa harus semendadak ini.? Mau lihat Patung Liberty pula. Mau ngapain sih? Dimana-mana kesana itu kalau akhir pekan datang, bukan awal pekan begini.

💘💘💘

Tepat satu jam kemudian, Eugene datang. Dengan kaus putih dan jaket blue navy ditambah celana jeans biru gelap, ia membuatku terkesima. Tidak lupa kacamata kotaknya yang makin membuatnya tampak menggemaskan. Tapi sepertinya ada yang beda darinya. Apa yaa itu?
“Kamu potong rambut ya?”, tanyaku sambil melihat dan menyentuh rambutnya.
“Hehehe. Iyaa”, jawabnya sambil merapihkan rambut.
“Kapan?”, tanyaku lagi.
“Baru kemaren”, jawabnya sambil mengambil handphone di sakunya.
“Buang sial atau gimana?”, tanyaku lagi iseng.
“Udah panjang lah. Rambutku tuh panjangnya cepet banget bisa 2 minggu sekali potong rambut. Yaudah yuk, keburu sore nih. Entar ketinggalan ferry lagi. Departure terdekat satu jam dari sekarang soalnya”, jelasnya nampak panik takut kami ketinggalan ferry menuju The Statue of Liberty Island.
Sepanjang perjalanan dari kampusku menuju Battery Park, tempat kami nantinya naik kapal ferry, seperti biasa kami ngobrol-ngobrol. Kami membahas apa yang kami lakukan di kampus seharian. Aku juga menanyakan sesuatu kepada Eugene yang sampai sekarang membuatku penasaran. Agak malu sih untuk menanyakan ini, tapi kalau aku tidak dapat jawabannya, bisa-bisa aku tidak bisa menuju langkah lebih lanjut untuk lebih dekat dengannya. Aku bertanya pada Eugene tentang mengapa ia dan Farida sangat akrab saat mereka ngobrol beberapa waktu lalu, apalagi semenjak kejadian mencarikan taksi bersama. Menanggapi pertanyaanku tersebut, ia malah tertawa, tapi karena aku tidak sedang bercanda, maka aku paksa ia untuk menjawabnya dengan serius. Ini sama persis seperti waktu ia memintaku menjawab pertanyaan soal mengapa aku bisa dekat dengan Chandra.
Kemudian Eugene mengaku kalau saat itu, mereka membicarakan salah satu komik Jepang. Selain hobi main game, ternyata Eugene juga suka anime Jepang. Farida pun demikian, pacarnya Farida, Randy, juga begitu. Maka dari itu mereka jadi sangat akrab dan saling tukar informasi seputar dunia anime yang mana kata Eugene sudah lama ia tidak update informasi terbaru soal komik-komik Jepang. Eugene sampai berbalas pesan WhatsApp dengan Randy dan sampai sekarang pun masih asyik membicarakan hal-hal Jejepangan itu. Syukurlah, ku pikir ia suka pada Farida. Farida kan cantik, manis, kulitnya putih, bersinar, berhijab, dan anggun. Siapa pula pria yang tidak suka padanya
“Yaa kan dia punya pacar, yaa kali aku jadi selingkuhan. Gila aja”, akunya padaku sambil sesekali merapihkan rambutnya yang terkibas angin.
“Ya kirain. Orang kan bisa khilaf”, jawabku hanya datar. Masih kesal dengan kejadian Eugene bicara akrab dengan Farida.
“Kalo aku sih InsyaAllah setia kok orangnya. Beneran”
“Yakin?”
“Tanya aja yang lain, aku dulu kalo pacaran putus bukan karena selingkuh…”
“Trus? Karena apa?”
“Karena beda agama…”
Oh My Goodness, ternyata permasalahan kami sama! Sama persis! Dari cara ia menjawab, sepertinya ia juga trauma dengan yang namanya menjalin hubungan dengan seseorang yang beda keyakinan. Tanpa mengurangi rasa hormat ku padanya, ku korek sedikit informasi soal itu. Untungnya ia mau menjelaskan semuanya. Intinya dulu waktu SMP dan SMA, Eugene pernah menjalin hubungan dengan dua gadis yang berbeda agama dengannya. Waktu SMP ia jadian dengan pemeluk Katolik, dan saat SMA jadian dengan pemeluk agama Hindu. Jadi, dari semua pengalaman-pengalaman itu, Eugene tidak ingin lagi memiliki hubungan dengan yang tidak se-iman dengannya. Dia juga bilang “Ya, kalau temenan doang nggak apa-apa, tapi kalo lebih serius? No, thank you”. Itu sama persis seperti yang aku katakan tadi soal Jamie dan Nabil. Yaa, kira-kira seperti itu lah. Semoga sekarang Eugene mengerti perasaanku karena sesungguhnya permasalahan kami sama.
Akhirnya kapal ferry kami menuju The Statue of Liberty berangkat. Pemandangan sekitar benar-benar memanjakan mata kami. Angin laut pun mengibas rambut-rambut kami. Rambut selalu tidak rapih, tapi angin itu sangat menyejukkan. Lebih sejuk lagi karena ada Eugene disisiku saat ini. Kami tertawa bersama karena asyik bermain tebak-tebakan yang agaknya sudah sangat lawas tapi tetap saja membuat kami berdua terhibur. Kami juga menghabiskan roti Pretzel kami yang tadi kami beli dekat pelabuhan. Benar-benar indah sekali akhir bulan ini.
Sesampainya di Liberty Statue Island, kami foto bersama, atau saling mengambil gambar satu sama lain. Benar-benar lupa kalau aku masih punya banyak tugas. Benar-benar lupa kalau aku harusnya belajar lebih giat supaya lulus tepat waktu. Ah, tapi rasanya untuk hari ini saja aku ingin meluangkan waktu sejenak dan menikmati semua ini bersama Eugene karena semua ini tidak akan datang dua kali.
Sudah lelah berfoto-foto, selfie, lari-larian mengejar burung-burung dara yang datang, kami kelelahan dan memutuskan untuk rehat sejenak duduk di bangku taman berwana coklat dengan gagang perak yang persis menghadap ke pulau Ellis.
Kami hanya terdiam untuk beberapa saat. Meresapi angin pantai, melihat pemandangan sekitaran dengan penuh rasa syukur, sambil sekali menengok ke arah patung Liberty-nya. Kami berdua berkali-berkali menghela napas panjang tanda menikmati alam sekitar yang tak akan terlupakan.
Dalam diam yang cukup lama, akhirnya Eugene membuka percakapan baru. Akhirnya bukan aku yang mulai duluan. Terima kasih, Jin.
“Yureka….”
“Hmmm. Kenapa?”
“Kamu tahu nggak, apa yang aku obrolin sama Kak Anna di balkon waktu itu?”
Waduh. Aku kan pernah kepo soal ini. Apa aku pura-pura tidak tahu saja yaa supaya tidak terlihat keponya? Lalu aku hanya membalas “Di balkon yang mana? Kapan?”
“Yang satu malam pasca Truth or Dare itu”
“Ohh yang itu. Emang kalian ngobrolin apa?”
“Aku cerita sama Kak Anna soal kamu.”
“Soal aku? Kalian gibahin aku apaan emang? Wah bisa yaa, talking behind my back. Nggak bener nih.”
“Bukan, bukan jelek-jelekin kamu kok. Justru sebaliknya.”
“Trus apa dong?”
“Aku minta pendapat dia soal aku sama kamu itu gimana.”
“Gimana… gimana apanya?”, aku benar-benar tidak tahu arah pembicaraan ini kemana.
“Hmmm gimana yaa ngomongnya. Hmm, intinya… pertanyaan Kak Anna yang Truth itu ada benarnya”, akunya yang membuatku tetap tidak tahu apa maksudnya.
“Ada benarnya gimana? Nggak ngerti ah. Apaan sih, yang lengkap dong ngomongnya.”
“Jadi… waktu itu Kak Anna bilang, “Eugene, gue liat-liat lu tertarik sama Yureka. Kalo suka mah gebet aja, nggak apa-apa, Yureka jomblo tuh. Ajak jalan dulu lah tapi, saling mengakrabkan diri. Trus, kalo lu udah siap, lu bilang deh sama dia soal perasaan lu ke dia.”… Gitu…”, jelas Eugene sambil memperagakan ucapan Kak Anna saat pagi-pagi buta di balkon itu.
Aku membeku. Sepertinya aku tahu arah pembicaraan ini kemana. Momen ini telah kunantikan begitu lama. Oh Tuhan, tolong beri petunjuk kalau yang dikatakan Eugene barusan itu kenyataan bukan ilusiku belaka!
Dengan sedikit mengambil napas dalam dan menghembuskannya keluar secara perlahan, inhale-exhale, Eugene pun melanjutkan kata-katanya, “So, let me say this. From the first time I joined Batik Day and saw you at that time, actually not with the seminar back then, but from that moment, I was seeing how different you are. Humorist, brilliant, independent, talk-active, and… just different from the others. You have also that kind of… charisma. And it’s only you who have that in my eyes.
Am I?”, balasku masih membeku dengan bonus mata mulai berkaca-kaca.
Yeah… So, from that moment on, I think… I am… hmmm. Okay, let me finish my words… I think I’m falling in love with you, Yureka!”, Eugene terlihat gugup.
Tolong katakan Eugene akan mengatakan sesuatu yang telah kuharapkan begitu lama. Tolong!
Kami terdiam sejenak. Ku balas kalimat-kalimat pujiannya dengan senyum simpulku. Aku bahkan tidak tahu harus berkata apa. Kami hanya saling terdiam, saling lempar senyuman, dan hanya saling menatap. Seakan diamnya kami tersirat makna, seakan senyuman kami cukup menyimpulkan sebuah jawaban, dan tatapannya begitu memikat!
Beberapa detik kemudian Eugene berkata,
“Kamu mau nggak jadi pacar aku?”
Mataku terbelalak. Aku tidak percaya.
Okay, tenang Yureka, tenang. Jangan panik.
Ya, Tuhan, INI MIMPI BUKAN?!
Aku menunduk sesaat, seakan mencari sesuatu di bawah, padahal hanya pasir dan tanah dan buatan Semesta lainnya. Ketika ku angkat lagi kepalaku dan menatapnya lagi, Eugene seakan kebingungan. Tapi aku tidak ingin bicara.
Kami terdiam lagi, saling lempar senyuman lagi.
Kutarik napasku dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan. Yang ada dibenakku hanyalah, YA BENAR INI KENYATAAN BUKAN LAGI IMAJINASIKU!
Beratus-ratus detik kami berdua dalam diam, Eugene tidak tahan, dan kemudian berkata, “Ehmm please say something…”. Aku tidak merespon, hanya bergeming. Bukan aku tidak ingin berkata, tapi yang ku butuhkan hanyalah pemuda keturunan Tiong Hoa-Korea ini. Ya, aku sedang membutuhkannya. Ya, aku membutuhkannya sejak lama.
Tak ingin berkata-berkata bukan berarti tak ingin bicara. Aku mencoba berbicara dari hati ke hati padanya. Kedengarannya memang konyol. Tapi dengan ku raih tangan kirinya dan menyandarkan kepalaku ke pundaknya, semoga ia menerima sinyalku yang tersirat ini.
Matahari pun mulai tenggelam, senja mulai menyapa. Hari baik, hari yang cerah. Musim gugur yang indah. New York memang indah. Masih di bangku taman yang sama, kami masih tetap disitu untuk waktu yang lebih lama. Menikmati ciptaan Tuhan dengan penuh suka cita dan rasa syukur yang begitu mendalam, khususnya aku. Terima kasih, Tuhan!
Kemudian ku tengok waktu di jam tanganku dan tersadar waktu kami hanya tersisa empat puluh lima menit sampai ferry terakhir menuju Manhattan berangkat. Ah tak apalah empat puluh lima menit itu masih cukup lama. Nikmati saja dulu.
Aku pun memulai percakapan lagi agar tidak canggung. Selalu aku yang memulai, lagi dan lagi. Dulu, kini, hingga nanti.
“Sebenernya aku kasian loh sama kamu, di grup Whatsapp pada nulis nama kamu pake Y-U-J-I-N bukan ejaan aslinya yang E-U-G-E-N-E”, kepalaku masih tersandar di pundak Eugene.
“Hahaha. Santai aja lagi. Cuma di WhatsApp doang kok. Lah aku lebih kasian sama kamu”, Eugene meraih pandangannya padaku.
“Hah, kenapa?”
“Harusnya kalau dalam bahasa Yunani aslinya namanya kamu kan ejaannya E-U-R-E-K-A bukan pake ‘Y’ sama ‘U’ depannya.”
“Hahaha. Iyaa yaah. Nggak tahu tuh petugas catatan sipilnya ngantuk kali, salah nulis jadinya. Tapi kan unik, ya nggak?”
“Iyaa lucu. Eh tapi aku baru sadar, prefix nama kita ternyata samaan ya. Yu-Yu. Yureka-Yujin”
“Iyaa. Lucu yaa. Jodoh kali yaa kita.”

 BERSAMBUNG KE SEASON 2 –


Yuk langsung lanjut ke Season selanjutnya! 
------------------------------------------------------>>> DOUBLE YU SEASON 2

Comments


  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

"Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan)" Part 2

Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan) Part 1