Cerita Februari - Eps. 4 : "Februari dan Menara Eiffel"
“Sedang apa… kalian?” tanya ku dengan lemas dan
seluruh anggur di dalam parsel jatuh berceceran ke tanah tidak karuan.
“Julie? Mengapa kau disini? Mengapa tak mengabari aku?” jawab Eric gugup.
Ya, pada saat itu juga, aku yang berniat memberikan
kejutan untuk Eric di tempat kerjanya, tetapi sebaliknya, aku malah mendapat
kejutan yang menyakitkan dan terasa begitu pahit. Aku melihat Eric sedang
bercumbu dengan Nancy di ruang kerjanya. Ya, Nancy yang katanya hanya seorang
kolega biasa ternyata memiliki sesuatu dibaliknya. Aku tidak menyangka.
Di luar kantor, Eric mencoba menjelaskan semua yang
terjadi tadi kepadaku. Tetapi aku sudah terlanjur terluka dengan peristiwa
fenomenal itu. Alhasil, tanpa berpikir panjang, aku langsung kembali ke Paris.
Aku sangat tidak menyangka ini akan terjadi. Eric berselingkuh dengan teman
sekaligus sahabatnya sendiri. Kalian bayangkan saja, bagaimana perasaan kalian
jika melihat calon pasangan kalian sedang bercumbu mesra dengan orang lain yang
jelas-jelas kalian mengenal orang tersebut? Tentu hati ini begitu terluka. Aku
tidak menyangka semua ini akan terjadi.
Waktu pernikahanku kurang dari setahun tetapi aku
sudah menemukan hal yang tidak menyenangkan seperti ini. Ternyata benar, aku
terlalu buru-buru meyakinkan hatiku untuk Eric. Aku terlalu tergesa-gesa
mengambil keputusan untuk menikahi Eric dalam waktu dekat. Aku memang
mencintainya, ia juga mengagumiku, bahkan mungkin sekarang ia telah mencintaiku
sepenuh hati. Tetapi apa yang ia lakukan tadi membuatku yakin bahwa Eric pernah
memiliki rasa kepada Nancy, meski itu sedikit.
Aku terbanjiri air mataku sendiri selama perjalanan
pulang. Aku menangis sepanjang jalan. Masa bodoh dengan seisi penumpang di
gerbong ini. Untuk mengeluarkan semua ketidaknyamanan ini, aku menelepon Kak
April di Jakarta. Semoga setelahnya, perasaanku jauh lebih tenang. Dan aku benar-benar
tidak peduli dengan penumpang di kereta ini, toh mereka tidak akan ada yang
mengerti apa yang ku bicarakan dengan Kak April karena mereka tidak mengerti Bahasa
Indonesia.
Akhirnya, telepon tersambung dengan yang ada di rumah.
Seperti biasanya, akhir pekan seperti ini Kak April ada di rumah Ibu dan Ayah.
Ku katakan semua yang terjadi pada Kak April. Ku curahkan segala kekesalan dan
kesedihanku hari ini. Hingga pada akhirnya aku katakan bahwa aku rasanya ingin
membatalkan saja pernikahan ku dengan Eric. Awalnya Kak April kaget dan tidak
menyangka bahwa aku bisa mengatakan hal seperti itu.
Lalu, ku jelaskan semua yang terjadi satu persatu,
termasuk perasaanku yang sebenarnya kepada Eric. Intinya, aku memang ragu-ragu
menjalin hubungan ini dengan Eric. Kami terlalu dini memikirkan janji suci itu.
Kami juga terlalu pagi memikirkan ini-itu tentang masa depan kami untuk tinggal
dan hidup bersama. Aku memang bahagia, begitupun dengannya, kami sama-sama
saling jatuh cinta, kami saling memberikan rasa kasih sayang, perhatian, dan
dukungan. Tetapi semua itu lebih tepatnya bisa disebut sebagai saling mengagumi
satu sama lain. Aku mengaguminya, begitu pula dirinya. Kami mungkin hanya
saling kagum karena kelebihan kami masing-masing. Tapi sepertinya Eric juga
mengagumi Nancy yang tentunya lebih dariku. Aku memang tahu, Eric itu tipe
orang yang mudah kagum dengan orang lain, tapi sepertinya ia belum paham untuk
menempatkan hatinya pada seseorang sebagai cinta sejatinya.
Sepanjang perjalanan, air mataku tak hentinya mengalir
seraya berbicara dengan Kak April lewat telepon itu. Aku keluarkan segala
kegundahan yang ada, daripada aku menyesal tidak mengatakan yang sebenarnya kepada
mereka yang dijauh sana. Mereka pasti bisa merasakan apa yang ku alami
sekarang.
Di Paris, di apartemenku yang nyaman ini, aku melihat
malam yang dipenuhi oleh bintang-bintang bersinar. Begitu juga dengan sang
bulan, yang cahayanya menyilaukan mata. Aku berbinar-binar. Meski sedang dalam
kesedihan, aku berusaha untuk tetap kuat. Aku yakin cahaya bulan malam ini
membisikan hatiku agar aku tidak terlalu berduka atas apa yang kulihat tadi
siang. Begitupun cahaya bintang. Mereka berkata agar aku bersikap dewasa dulu
sebelum mengambil keputusan yang bisa dianggap gila ini. Ya, aku memang ingin
memutuskan untuk membatalkan pernikahanku dengan Eric. Yang ku perlukan saat
ini hanyalah ketenangan dan kesendirian. Meski sudah banyak SMS Eric yang masuk
dan pesan suara Eric di telepon, tapi aku hanya membalas, “Laisse-moi tranquille!” yang artinya “Biarkan aku sendiri dulu”.
Satu minggu, dua minggu, dan pada akhirnya minggu ke
tiga setelah peristiwa menyakitkan itu, aku baru siap menghadapi apa itu
manusia yang bernama Eric. Ia datang ke apartemenku dan ini pertama kalinya ia
mengunjungi tempat tinggalku. Ia nekat masuk karena ia sudah tidak tahan ingin
mengatakan hal yang sebenarnya terjadi kepadaku.
Ku biarkan ia masuk, dan di ruang tamu ini, dua puluh
menit pertama kami hanya terdiam. Pada akhirnya ia buka suara.
“Aku tahu kau masih marah denganku. Aku tahu itu
kesalahan besar. Aku ingin mengaku padamu tentang suatu hal. Tapi aku harap kau
mau memakluminya.” Ucap Eric yang terlihat sedikit gugup.
“Apa itu?” tanya ku datar.
“Julie… Aku minta maaf. Aku mencintaimu. Aku
mengagumimu. Kau berbeda dari yang lain. Tapi, yang kemarin itu… Aku sebenarnya
dipaksa Nancy untuk melakukan itu. Ia menyukaiku. Dan sebetulnya, aku sempat
menyukainya. Tetapi itu semua tidak mungkin. Kami berbeda jauh, dan seharusnya
aku tidak menyukainya. Ketika ia bilang bahwa ia mencintaiku, aku menolaknya.
Aku berharap ia tidak kecewa, tetapi justru sebaliknya. Ia menjadi lebih
terobsesi denganku. Ia menjadi lebih agresif. Ia selalu saja memaksaku untuk
menerima cintanya. Tetapi aku tidak bisa. Dan semakin hari ia semakin memaksaku.
Apalagi setelah ia tahu aku mengencanimu, ia menjadi jauh lebih sinikal dan
membabibuta. Soal kejadian di butik itu, ia sebenarnya sengaja agar kau melihat
kami jalan berdua. Dan yang di Lille kemarin, ia semakin memaksaku agar aku
memutuskanmu lalu menerima cintanya. Aku berusaha menolaknya dengan halus tapi
pada akhirnya aku tidak bisa lagi bersikap halus dan lembut. Dan ketika aku
bersikap kasar, ia malah menggodaku dan mencumbuku. Aku tidak tahu itu akan
terjadi. Maafkan aku, Julie.” Jelasnya panjang lebar sambil memohon-mohon
padaku.
Aku hanya terdiam beku. Aku tidak percaya akan apa
yang ia katakan. Dan ia meneruskan pengakuannya.
“Aku memang mengaguminya, tetapi apa yang terjadi
waktu itu hanya kecelakaan saja.” Lanjutnya.
“Kecelakaan? Kau menyukainya kan?! Dan kau
menikmatinya! Menikmati waktu luang berdua tanpaku, ya kan?!” amarahku tidak
dapat dibendung lagi. Dengan air mata yang keluar dengan derasnya aku
melanjutkan, “Ternyata benar. Sebaiknya kita tidak bersama. Kita hanya saling
mengagumi, dan aku tidak pantas untukmu. Sebaiknya kau pulang… dan pikirkan
kembali rencana pernikahan kita.”
Eric mengalah dan ia meninggalkan apartemenku.
€€€
Selama berbulan-bulan, hubungan kami berjalan tanpa
kepastian. Hingga masuk musim gugur, dan semua orang bertanya padaku apa yang
sebenarnya terjadi. Termasuk, Mba Melisa. Di kantor, ia bertanya padaku tentang
perkembangan hubunganku dengan Eric. Ia sudah tahu apa yang terjadi dan ia
berniat mengingatkanku agar tidak terlalu memikirkan segala kesedihan ini.
“Lalu, bagaimana ini? Kalian tetap ingin melanjutkan
pernikahan ini? Julie, jangan diam saja. Katakan sesuatu.” Tanya Mba Melisa
yang ikut sedih memikirkan keadaanku yang semakin hari semakin seperti tidak
memiliki harapan hidup. Tetapi aku hanya terdiam seraya menyeruput teh hijau
yang dibuatkannya.
“Dengar, ya. Aku rasa kalian harus membatalkan
semuanya. Kau juga bilang kalau kau ragu-ragu dengannya. Jadi sebaiknya, kau
batalkan saja. Selagi belum terlambat. Daripada kau menyesal nantinya.” Lanjut Mba
Melisa.
“Tapi, Mba, yang aku herankan adalah mengapa ia
menyatakan perasaannya padaku? Padahal ia masih mengagumi Nancy. Aku rasa ia
masih menyimpan rasa dengan si wanita rambut pirang itu. Lebih baik aku tidak
pernah datang ke butik itu dari awal. Lebih baik aku tidak mengenalnya sama
sekali!” Ungkapku kesal.
“Jangan berpikiran seperti itu. Ada banyak hal positif
sejak kau mengenalnya. Coba lihat dirimu yang sekarang. Semenjak kau
mengenalnya, kau jadi lebih semangat bekerja, kau jadi tidak bosan apabila kau
berjalan kaki ke Champs-Elysées sendirian.” Lanjut Mba Melisa dengan petuahnya.
Aku tetap terdiam dalam amarahku. Aku berpikir
kemudian. Aku tahu ini semua adalah kesalahan besar. Aku memang terlalu
mengharapkannya. Aku memang tidak pantas untuk seseorang bernama Frédéric itu.
Tiba-tiba, ada satu pesan masuk, dan benar, ada nama Frédéric disana.
“Julie. Lebih baik
kita perbincangankan masalah ini dengan kepala dingin dan layaknya orang dewasa.
Lebih baik kita bahas lagi soal rencana pernikahan kita. Temui aku di Menara
Eiffel, malam ini jam 8. (Aku masih mencintaimu).”
Itulah SMS Eric yang menyapa selulerku ditengah-tengah
perbincanganku dengan Mba Melisa. Dan dengan hati yang tegar, aku siap menemuinya
malam ini, meski semilir angin dingin akan menemani kami disana.
€€€
Langit berubah menjadi gelap, dan saat ini tepat pukul
8 malam. Di atas menara indah ini, aku bisa melihat keindahan Paris secara
utuh. Disini indah, meskipun suasana hatiku sedang tidak indah. Sudah sepuluh
menit Eric telah bersamaku diketinggian bermeter-meter ini, dan kami masih saling
terdiam untuk memulai sebuah percakapan. Dan aku gugup. Aku gugup karena
percakapan kami ini adalah percakapan yang serius.
Akhirnya kami saling terbuka. Kami sama-sama saling
jujur akan perasaan kami yang sebenarnya. Aku jujur padanya soal keraguanku
menerima dirinya yang sempat melanda di awal-awal kami memutuskan menikah,
lebih tepatnya sempat meragukan diriku apakah bisa menerima dirinya dan juga
sebaliknya. Eric pun mengatakan hal yang sebenarnya ia rasakan, bahwa dirinya
sama sekali tidak ragu denganku, hanya saja entah mengapa perhatian Nancy
melebihi apa yang kuberikan kepadanya. Sialnya, Nancy pun menanggapinya seakan
ia mengira Eric akhirnya jatuh cinta kepadanya. Sampai pada akhirnya segala
perasaan yang beku itu meledak dan cumbuan pun menjadi jalan terakhir yang
Nancy lakukan untuk meyakinkan Eric bahwa ia benar-benar ingin memilikinya.
Keterlaluan memang.
Kami terdiam lagi. Membeku. Tapi di dalam hati aku
sudah membiru. Eric pun memulai sepatah kalimat “Lalu kita mau bagaimana?”. Aku
tak bisa berkata. Namun selanjutnya perkataan Eric seakan menarikku bahkan
memaksaku untuk berkata sesuatu.
“Aku kecewa. Aku sedih. Tapi aku tidak bisa
melupakanmu, Eric. Kau yang pertama untukku, dan aku masih berharap kamu adalah
yang terakhir dan menjadi jawaban atas perjuanganku selama ini. Tapi aku tidak
bisa membohongi diriku untuk tidak membencimu saat ini…”, Ucapku akhirnya
membuka suara.
“Lalu?” tanya Eric lagi.
“Bagaimana kalau kita rehat sejenak dulu? Mungkin kita
terlalu lelah. Mungkin pernikahan ini terlalu buru-buru. Aku masih ingin kau
menjadi happy-ending-ku, tapi mungkin kita harus pikirkan kembali kapan
waktu yang tepat. Waktu dimana kita tidak diburu-buru dibuatnya.” Ucapku dengan
segala kekalutanku yang masih melanda.
“Aku setuju.” Jawab Eric singkat.
“Kamu boleh menerima perhatian Nancy, tapi aku yakin
kalau dia bukanlah seseorang untukmu, dia tidak akan lebih dekat denganmu
sampai kapanpun. Sedangkan aku, jika aku yang terbaik untukmu, pasti akan ada
waktu yang tepat untuk kita bertemu lagi”.
“Kau benar. Baiklah. Kita memang lebih baik rehat
sejenak dan jika waktu yang tepat itu tiba, kita akan kembali bersama.”
Perbincangan dingin itu ditutup dengan kelap-kelip
lampu Eiffel yang menyala setiap 1 jam sekali dan saat dimana kami
menyelesaikan percakapan kami adalah tepat pukul 21.00. Menara Eiffel mungkin memancarkan
sinarnya yang terang, tapi suasana hatiku saat itu dan mungkin juga Eric tidak terang
sama sekali. Rasanya tidak adil sekali, tapi apa daya mungkin ini cara terbaik
untuk sementara waktu. Ya, kami akan saling menjauh dulu, kami akan memberikan waktu
kepada kami masing-masing. Dan jika memang kami diciptakan untuk saling
bersama, Tuhan pasti akan mempertemukan kami kembali. Aku yakin itu.
1
tahun kemudian …
“Kamu nggak ada acara kan tanggal 14 besok? Julie…
Julie”
Suara Ibu Miranda membangunkanku dari lamunan siang
bolong.
“Hmmm, sejauh ini nggak ada, Bu.” Jawabku sesaat setelah
terbangun dari lamunanku.
“Ya sudah, nanti kamu saja yaa yang temani saya untuk
acara makan malam sama para istri Ambassador tanggal 14”. Ucap Ibu Mira sambil
membenahi riasannya.
“Baik, Bu” jawabku dengan sigap.
“Tapi bener tanggal 14 kamu nggak kemana-mana? Ada
kencan mungkin?” tanya Ibu Mira penasaran.
“Nggak ada kok, Bu. Hmmm, belum ada” jawabku sambil
menunduk karena entah malu atau memang aku sedang tidak mood untuk menjawab pertanyaan
semacam itu.
“Valentine sendirian aja nih rupanya. Sana cari pacar
lagi. Atau ajak Eric balikan saja. Saya rasa kamu sama dia memang cocok”. Tambah
Ibu Mira membuatku mendadak berkeringat mendengar nama Eric.
“Ah, Ibu. Jangan bikin saya jadi ngarep deh, Bu”
“Loh, memang kenapa kalau berharap untuk menjadi yang
terbaik untuk hidup kita. Ya, tho?”
“Iyaa sih, Bu.”
“Ya sudah, kalau tanggal 14 tidak ada agenda di luar,
boleh yaa bantu saya untuk mengatur makan malam dengan para istri
Ambassador tanggal 14.”
“Baik, Bu.”
Ya, aku masih bekerja sebagai asistennya Ibu Miranda Sumargono
di Kedutaan Besar Indonesia untuk Prancis. Mereka memutuskan memperpanjang
kontrakku menjadi 2 tahun yang mana akan berakhir di tahun depan. Lalu apa yang
terjadi selama 1 tahun belakangan?
Setelah ‘rehat’ dengan Eric, aku jadi lebih fokus
dengan pekerjaanku di Kedutaan. Aku juga sesekali melancong ke beberapa kota di
Prancis dan Belgia yang mana jarang sekali aku lakukan selama 4 tahun tinggal
di Paris. Aku juga sekarang hobi menanam tanaman dan menulis jurnal. Rasanya
menyenangkan sekali.
Minggu depan adalah hari kasih sayang yang mana
menjadi hari terburuk di tahun lalu. Aku berharap tidak ada kejadian semacam
itu lagi untuk tahun ini dan seterusnya. Meskipun menyenangkan punya hobi dan
kegiatan baru di sela-sela bekerja menjadi asisten Istri Duta Besar, tapi hampa
rasanya tidak ada seseorang yang bisa berbagi. Status ‘rehat’ dengan Eric pun
belum pulih. Ia sempat mengajakku makan malam di perayaan Natal tahun lalu dan
mengajakku pergi ke Bordeaux di musim panas lalu. Tapi ku tolak semua
ajakannya. Aku masih belum sanggup melihat wajahnya kembali. Aku masih takut ia
masih lebih ingin Nancy atau gadis lain dibandingkan diriku.
“Eh ya ampun, Julie. Saya lupa siang ini saya ada janji
untuk ketemu dengan yang jahit gaun saya untuk tanggal 14 besok.” Ucap Ibu Mira
lupa bahwa ia punya janji dengan penjahit.
“Bukannya itu besok, Bu?” tanyaku mengkonfirmasi
pernyataan Ibu Mira.
“Mereka minta dimajukan. Saya yang lupa bilang sama
kamu. Udah yuk, kita jalan kesana.”
“Baik, Bu.”
Ibu Mira mendadak memintaku ke desainer yang akan
membuatkannya gaun untuk acara tanggal 14 nanti. Setahuku beliau tidak membuat gaun
di butik milik ibunya Eric seperti biasanya karena disini tertera “Corizzi
Boutique” yang ada di Rue de Caire di Wilayah Arrondissement 2. Hmm, mungkin
beliau bosan dan ingin menggunakan jasa penjahit yang baru.
Sampai di butik, aku rasa hariku yang datar di hari
ini agaknya berubah sedikit mengejutkan. Ya, betapa mengejutkan karena sesampainya
di Corizzi Boutique ketika Ibu Mira menyapa Nyonya Lemetier sebagai desainer
yang ia dapuk menjahitkan gaun untuknya, ada seseorang yang memanggil “Miranda,
c’est toi?”. Ibu Mira sontak menjawab, “Oh là là, … ça fait long temps,
hein?”. Ya, di dalam hatiku pun sontak berkata “Oh là là, itu kan Annette!
Ibunya Eric!!!” Mataku pun terbelalak dan mulut menganga dibuatnya. Sedang apa
ibunya Eric disini?
Lalu aku menghampiri beliau. Ya, setelah ‘rehat’ dari
Eric, aku belum lagi berjumpa dengan ibunya, belum berani lebih tepatnya. Maka
dari itu, setiap kali Ibu Miranda memintaku menemaninya ke butik Musulman, aku selalu
berusaha mencari alasan agar tugas yang satu itu bisa aku limpahkan ke Mba
Melisa. Jadi, memang sudah selama itu aku belum bertemu dengan beliau lagi.
Tidak sampai disitu kejutan yang dihadirkan Tuhan, ada
kalimat “Voila, Maman, c’est ton ordre” yang diproduksi oleh suara yang
sangat kukenal. Ku memberanikan diri membalikkan badan untuk mengetahui apakah
pemilik suara itu adalah benar seseorang yang kukenal.
“Julie…”
“Salut… Eric”
Ya, itu Eric. Ya Tuhan, seakan aku belum sanggup.
Apakah ini waktu yang tepat?
Semenjak itu, aku bertemu Eric kembali, setelah 1
tahun tidak berjumpa. Kami bercengkrama dan saling menanyakan kabar. Percakapan
yang tercipta agaknya tidak berubah saat kami masih bersama dulu. Semuanya
mengalir begitu saja. Tapi, percakapan tersebut tidak membuat kesepakatan
apapun. Ya, kami baru saja bertemu, gencatan senjata pun belum dilakukan. Masih
terlalu dini.
Di tanggal 14 Februari malam, aku ikut Ibu Mira
menghadiri makan malam dengan para istri Duta Besar di sebuah restoran mewah yang
berada di Avenue de New York, tak jauh dari Jardin du Trocadéro. Berdasarkan
agenda, mereka akan mengadakan acara amal yang akan bekerja sama dengan
beberapa organisasi internasional.
Setelah acara selesai, aku tidak langsung pulang ke
rumah, melainkan mampir sejenak ke taman Trocadéro, taman yang persis menghadap
ke Menara Eiffel, guna mencari udara segar. Aku lalu membeli coklat panas di
sebuah kedai kecil untuk menemaniku duduk di salah satu bangku di taman
tersebut dan juga ditemani dengan satu kotak berisi daging panggang sisa makanan
acara makan malam Ibu Mira tadi.
Saat sedang asyik menikmati angin malam di musim
dingin kota Paris dan segelas kertas coklat panas, tak berapa lama, suara yang
kukenal berada di radius 2-3 meter dariku. Pemilik suara itu sedang berbicara
di telepon, terdengar seperti sedang membicarakan sebuah pekerjaan penting karena
dalam bahasa Inggris dan terdapat beberapa kalimat seperti “Sure” dan “We
will figure out when the New Yorkers colleagues comes”.
Lalu, saat si pemilik suara sedang melaju melewati bangku
taman yang sedang ku duduki, ia tidak sengaja membalikkan badannya dan matanya
tidak sengaja pula menatap mataku yang sedang melihat ke arah dirinya yang
masih berbicara di telepon. Ya, sudah kuduga, si pemilik suara itu adalah Eric.
“Hmmm, can I call you back? Okay, thanks” ucap
Eric menutup teleponnya.
Setelah menutup telepon, ia terdiam menatapku. Aku pun
yang sejak tadi terdiam, tetap terdiam meskipun dari dasar hati terdalam
rasanya otak ini ingin kuledakkan.
“Julie…”
Ya, Eric yang beberapa hari lalu tidak sengaja
kujumpai di butik Corizzi dan sekarang tidak sengaja kembali bertemu di Menara
Eiffel, menghampiri diriku. Kami bertemu kembali dan saling menanyakan kabar
dan ia bertanya sedang apa aku disini. Aku pun menjelaskan apa yang sedang ku
lakukan duduk di bangku taman sendirian. Ia juga mengaku bahwa dirinya sedang
ingin mencari udara segar sambil melihat Menara Eiffel selepas kerja seharian
di hari itu.
Pertemuan mengejutkan kedua itu terjadi dengan
percakapan sedikit lebih panjang dari yang pertama. Kami pun duduk berdua di
bangku taman itu sambil menatap ke arah langit dan juga ke arah Menara Eiffel.
Udara dingin pun semakin menusuk. Apalagi ada Eric disini.
Kami pun saling berbicara, membicarakan apa saja.
Termasuk rasa penasaranku apakah ia masih memilih Nancy atau tidak. Ia mengaku
bahwa ia tidak lagi menanggapi perhatian Nancy tidak lama setelah kami ‘rehat’.
Ia mengatakan bahwa Nancy telah bersama yang lain, seseorang yang Nancy temui
saat tim mereka berlibur bersama ke Spanyol. Sejak itu, ia sadar bahwa mungkin
ia mendapat balasan atas apa yang ia perbuat kepada diriku.
Ia juga mengaku tak lama semenjak kejadian Spanyol
itu, ia ingin menyelesaikan ‘rehat’ ku dengannya. Maka dari itu, saat musim
panas tahun lalu ia mengajakku bertemu, tapi ku tolak karena seperti yang ku
katakan, aku masih belum ingin bertemu dengan dirinya.
Eric pun bergantian menanyakan apa saja tentangku,
tentang kabarku selama setahun belakangan. Aku mengaku padanya bahwa setelah
kejadian di Menara Eiffel satu tahun yang lalu, aku sering melamun di tempat
kerja, tapi untungnya Ibu Mira selalu peduli dan sangat mengerti kondisiku saat
itu. Maka dari itu, Ibu Mira lebih sering mengajakku tugas ke luar kantor
supaya aku tidak sering melamun di siang bolong.
Aku juga mengaku pada Eric bahwa aku sempat berkenalan
dengan seorang pria Indonesia bernama Mottano yang sedang bertugas sekaligus liburan
ke Paris. Motta, begitu panggilannya, juga pernah secara terang-terangan mengajakku
ke jenjang hubungan yang lebih serius, tapi kejadian dengan Eric yang dahulu yang
terkesan buru-buru itu membuatku trauma, maka dengan jelas langsung ku tolak
ajakan dan tawarannya Motta.
Tapi bukan hanya soal itu, aku menolak Motta juga karena
aku masih ingin memberikan kesempatan kepada diriku sendiri untuk kembali ke
pelukan Eric. Entah mengapa aku masih merasa bahwa Eric bisa menjadi yang
terbaik untukku. Justru sejak aku berkenalan dan berteman dengan Motta,
keraguanku kepada Eric yang dahulu sempat hinggap seakan pudar begitu saja. Ketika
aku bersama Motta, aku justru merindukan sosok Eric. Dan ketika Motta mengajakku
perihal hubungan yang serius itu, hatiku langsung berkata tidak.
Maka dari itu, dengan bertemunya aku dengan Eric
seperti saat ini, aku rasa Tuhan mendengar gundahan hatiku. Dan kurasa pula ini
adalah waktu yang tepat untuk kami bertemu kembali. Sengaja atau tidak sengaja,
mau tidak mau, kesempatan itu memang datang lagi.
Satu minggu setelahnya, kami bertemu lagi. Kali ini
disengaja, lebih tepatnya diagendakan. Kami makan siang bersama di sebuah
restoran sushi dekat Kedutaan Besar Indonesia. Siang yang menyenangkan. Ya,
sangat menyenangkan karena akhirnya kami sepakat untuk berhenti dari ‘rehat’
yang kami lakukan setahun belakangan. Ya, gencatan senjata dilakukan. Ya, kami
kembali lagi. Tapi aku katakan padanya bahwa kali ini kami tidak akan
terburu-buru lagi. Kami harus benar-benar menikmati setiap detik dan menit kami
bersama sampai kami benar-benar siap untuk ke arah yang lebih matang.
2
tahun kemudian…
“Ibu Miranda tag aku? Apa yaa isinya?” tanyaku sesaat melihat
notifikasi Instagram yang muncul di layar ponsel pintarku.
Setelah ku buka, ternyata posting yang dibuat Ibu
Miranda di akun Instagram miliknya. Astaga, aku baru ingat kalau Ibu Miranda
baru punya Instagram setahun belakangan dan sejak itu beliau lebih gesit dalam
menebarkan informasi-informasi seputar Kedutaan Besar Republik Indonesia di
Paris dan juga kegiatan lainnya seputar Indonesia yang ada di Prancis.
Di posting tersebut, beliau memasang foto pernikahanku
dengan Eric yang mana disitu ada Ibu Miranda dan suaminya Bapak Duta Besar Rianto,
serta dua asisten Dubes lainnya. Yang membuatku terharu adalah kata-kata yang
ditulis Ibu Mira di kolom tulisan. Kata-katanya berisikan:
“Julie, sudah seperti anak sendiri. Kemana-mana
selalu menemani. Julie, baru saja merayakan hari bahagianya, bersama seseorang
yang ia cinta, seseorang yang dikirim Tuhan hanya untuknya. Julie, anakku,
selamat menempuh hidup baru dengan Eric, kekasih hatimu yang telah lama membuat
rasa cintamu candu. Aku berdoa semoga berkat Tuhan selalu menyertai, agar Tuhan
menghadirkan kalian anak-anak yang membanggakan bumi dan tanah air pertiwi,
bahagia kalian sehidup semati, cinta kasih yang abadi. Aamiin.”
Ku balas dengan komentar “Quel formidable! C’est
sucré! Terima kasih Ibu Miranda yang sudah seperti ibuku sendiri. Semoga
doa Ibu dikabulkan Tuhan Yang Maha Esa. Berkah dan sehat selalu untuk Ibu Mira dan
sekeluarga. Akan sangat merindukan momen-momen ikut Ibu kemanapun Ibu arisan
dan rapat. Hehehe. Tu me manques, Ibu Miranda!”
Ya, setelah menikah dengan Eric aku mengundurkan diri
dari jabatan asisten Duta Besar yang juga merangkap menjadi asisten Ibu Miranda
Sumargono. Bukan hanya perkara aku menikah saja tapi juga karena masa bakti
Bapak Rianto Sumargono dan Ibu Miranda di Kedutaan Besar Indonesia untuk
Prancis sudah selesai dan melanjutkan amanah negara untuk bertugas di
Argentina. Aku akan sangat merindukan hari-hariku bekerja bersama beliau.
Bagaimana denganku? Semenjak menikah dengan Eric, aku memutuskan untuk ikut kemanapun ia akan berkarir. Ia masih memegang bisnis di Paris, Lille, Dijon, Lyon, dan Bordeaux. Tapi kami memutuskan untuk merantau ke Amerika dan menetap di New York. Eric mendapat tawaran bekerja menjadi salah satu konsultan senior di perusahaan kliennya yang dulu pernah bekerja sama dengan perusahaannya. Eric setuju untuk menerima tawaran itu sambil menunggu proses pembukaan cabang perusahaannya di New York jika benar-benar memungkinkan. Sedangkan aku, aku memutuskan untuk bekerja dari rumah saja. Karena teknologi dan kebutuhan digital semakin tinggi, akhirnya aku memutuskan untuk menjadi kreator konten untuk beberapa platform digital sekaligus menjadi kontributor untuk beberapa kantor berita di New York.
Aku juga lega karena sesaat setelah aku berdamai dengan Eric dan menceritakannya kepada keluarga ku di Indonesia, mereka sangat menerima. Yaa tentu dengan syarat aku tidak boleh lagi terburu-buru seperti waktu dulu. Sempat pula aku bertengkar dengan Kak April ketika aku memutuskan untuk putus sementara dengan Eric. Dia kesal karena aku seharusnya memang tidak terburu-buru. Tapi Kak Aprilia berkata bahwa sekarang dia sangat lega melihat adiknya ini bisa terlepas dari rasa keraguan yang sempat hinggap saat itu dan pada akhirnya semua anggota keluargaku menghargai dan mendukung sepenuhnya atas keputusan ku untuk melanjutkan hubunganku dengan Eric. Dan kurasa 2 tahun menjadi waktu yang pas untuk aku dan Eric menata hati kembali untuk saling memberikan kepercayaan sepenuhnya dan menerima satu sama lain seutuhnya. Dan, aku bersyukur semuanya berjalan dengan baik.
Yaa, aku sangat bersyukur bahwa Tuhan telah menggariskan takdirku menjadi pendamping Eric. Yaa Eric, pria yang
selalu ku rindukan kehadirannya, pria yang berhasil membuat hatiku berkata
tidak kepada orang lain tapi justru kepadanya suara hati ini di arahkan. Eric,
pria yang aku cintai yang sempat membuat hati ini tidak yakin tapi aku rasa
ketidakyakinan itu bukan berasal dari Yang Maha Pencipta, tapi karena diriku
sendiri. Nyatanya, mau bagaimanapun, takdir Tuhan tetap menuliskan bahwa
hidupku akan end-up together bahagia selamanya dengan Eric. Terima
kasih, Tuhan. Semoga ini benar-benar untukku. Hmmm, jadi tak sabar menantikan
kehadiran Eric-Julie junior di tengah kebahagiaan kami. Semoga secepatnya. Amin.
SELESAI
YS 17/5/2013
(Disunting 23 November 2020)
Terima kasih sudah membaca cerita bersambung "CERITA FEBRUARI". Gimana seru kan? Hehehe. Yang penting bulan Februari yang katanya bulan penuh cinta ini ada yang bisa bikin kalian gregetan hahaha. Yuk, boleh banget kritik dan saran dari kalian seputar limited series ini. Atau mungkin kalian punya komentar apa gitu soal Julie dan Eric? Atau punya karakter favorit di cerbung ini? Yuk, ceritakan di kolom komentar di bawah :D
Cheers,
Yulia Sutjahjono
Comments
Post a Comment