Cerita Februari - Eps. 3 : "Februari dan Kota Lille"

Sambil menghela napas panjang, dan menutup mata selama lima detik, akhirnya aku siap memberikan sebuah keputusan. Dengan rasa gugup luar biasa disertai angin di musim dingin yang menyebalkan ini, aku berkata-kata kembali.

“Eric. Terima kasih kau telah mencari tahu siapa diriku. Terima kasih kau telah menjadi pengagum rahasiaku. Tetapi, sayangnya… bodohnya aku, aku juga mengagumimu. Aku rasa kau juga berbeda dari yang lain. Kau mau terbuka dan mau mendengarkan orang lain, meski terkadang kau sering sibuk sendiri dengan urusan pekerjaanmu itu. Tapi kau memang hebat. Dan aku sangat mengagumimu.” Jelasku panjang lebar yang hampir membuat paru-paruku menciut menjadi 2 inci.

“Jadi…” tanya Eric penasaran.

“Aku juga tahu ini dosa. Tapi kalau kau memang mau serius… Ya, apa yang mau dikatakan lagi. Kau bisa membahas ini kepada kedua orang tuaku…”, hening sejenak dari segala perkataanku. Lalu aku siap melanjutkannya. “Jadi, kau boleh menjadi seseorang dalam hidupku.” Sambil tersenyum sumringah kepadanya.

Dan kejadian di bawah Menara Eiffel itu benar-benar menjadi sejarah terpenting dalam hidupku. Apa yang akan dipikirkan ayah dan ibuku di rumah ketika tahu anaknya menjalin sebuah hubungan khusus dengan seorang bule? Aku tidak tahu.

€€€

Setelahnya, aku nikmati waktuku untuk mengenal Eric lebih dekat lagi. Kami tidak berniat menamai hubungan ini sebagai ‘hubungan pacaran’, kami berniat untuk ke tahap lebih lanjut, tapi tentunya dengan restu kedua orang tua kami. Kalau soal restu, kami memang belum membicarakan ini lebih jauh, biarlah waktu yang akan memberikan sinyal-sinyal ke rumah orang tua kami masing-masing. Hingga nantinya aku siap dipinang oleh pria rupawan ini.

Aku memang sempat membayangkan bahwa aku akan bersuamikan orang Eropa, tapi itu hanya selingan biasa agar aku semangat belajar untuk mencapai mimpiku ke Eropa. Sebenarnya aku tidak ada niatan untuk menikahi seorang bule, tetapi kalau memang ia diciptakan untukku, mana mungkin aku menolak. Konteksnya memang bukan bule, tetapi Eric adalah pria yang ku maksud selama 26 tahun ini. Pintar, cerdas, tampan, rupawan, satu keyakinan denganku, dan high oriented, ia tidak mentahbiskan dirinya sebagai ‘ahli’, ia lebih memilih dikatakan sebagai informan tidak nampak di permukaan. Ia memang pandai namun tidak angkuh. Aku suka itu.

Lalu bagaimana selanjutnya? Banyak kegiatan yang kami lakukan bersama. Meski kami disibukkan dengan pekerjaan kami masing-masing, tetapi kami berusaha melakukan segala halnya berdua agar kami lebih saling mengenal satu sama lain. Ya meskipun semua hal dilakukan dalam waktu sekali-kali saja, seperti makan siang bersama, candle light dinner, tukar kado, sampai naik kapal mengelilingi sungai Seine, dan tentunya itu hanya kita berdua saja.

Untuk libur musim semi ini, aku diberi waktu liburan selama satu minggu, dan itu artinya inilah waktu yang tepat untuk menghabiskan waktu luang lebih memesona lagi bersama Eric, yang mana ku harap adalah calon suamiku. Aku pikir aku bakal menghabiskan waktu liburku ke luar kota, tapi ternyata Eric belum bisa bepergian keluar kota karena harus menyelesaikan proyek pameran selanjutnya. Sebagai penggantinya, ia membeli dua tiket nonton sepakbola di stadion Seine-Saint-Denis, Paris, untuk pertandingan antara Paris Saint-Germain kontra Montpellier. Eric memang sangat suka sepakbola, terutama pada klub yang memiliki nama panggilan“Les Rouge-et-Bleu” dan lagu kebangsaan “Fiers de Nos Couleurs” itu. Malah sewaktu kuliah S1 dulu, hampir setiap PSG –begitu singkatannya– bertanding, maka ia akan mengorbankan uang jajannya untuk membeli tiket nonton klub kota Paris itu. Kegilaannya pada sepakbola memang tidak dapat dielakkan lagi.

Dengan senang hati aku menemaninya. Awalnya memang agak malas, tetapi lama-kelamaan aku menikmatinya di tengah kerumunan ribuan orang ini. Dan ini adalah kali pertamanya aku menonton pertandingan sepakbola secara langsung. Sebelumnya mana pernah aku diajak menonton sebuah bola bergelinding yang bahkan kita tidak tahu kemana arah bola itu sebenarnya. Hanya saja yang cukup menyenangkan bagiku adalah terdapat beberapa pemain yang tampan dan rupawan, dan aku berhasil membuat Eric terbakar api cemburu bukan kepalang. Hahaha.

€€€

Selama liburan musim semi ini, aku merasa inilah waktu yang tepat untuk mengenal Eric dan keluarganya lebih dalam lagi. Seperti malam ini, aku harus memberanikan diriku untuk bertandang ke rumahnya. Ini gila sekali karena ini adalah pertama kalinya aku ke rumah Eric dan bertemu ayah tiri dan adik kembarnya. Ya, aku memang pernah ke rumahnya sewaktu mengantar pizza jaman dahulu. Tapi, ini jelas berbeda. Aku tidak akan segugup ini kalau hanya mengantar pizza. Apa yang harus aku katakan nanti? Aku bahkan tidak punya contekan kertas untuk persiapan cadangan kosakata apabila aku kehabisan gaya nanti.

Hari pertama di liburan musim semi ini aku habiskan di rumah Eric, kami makan malam bersama. Aku datang dengan membawa satu paket parsel buah-buahan sebagai buah tangan. Sampai di rumahnya, aku disambut kedua adik Eric yang masih berusia 8 tahun itu. Dua bocah kembar identik ini sangat senang sekali menerimaku ke rumahnya. Mereka sangat hangat sekali. Menu makan malam kami adalah makan khas timur tengah. Meski sudah bercerai, Ibu Annette tetap menyukainya dan masih sering memasak masakan timur tengah. Aku tidak tahu apa nama makanan ini, tetapi mereka terlihat tega untuk dibuang ke perut.

Kami pun berbincang-bincang. Awalnya aku mati kutu, aku keringat dingin, dan wajahku memucat. Tapi lama kelamaan, aku jadi lebih tenang karena mereka tidak menanyakan hal yang macam-macam kepadaku. Mereka hanya bertanya bagaimana rasanya tinggal sangat jauh dari negara asalku. Mereka juga bertanya tentang bagaimana kehidupan di Indonesia. Lalu apa pendapatku tentang islam di Prancis. Mereka memang keluarga yang hangat dan akrab, sepertinya aku mengangumi mereka juga. Selain anak sulungnya yang membuatku hampir hepatitis, aku juga dibuat kagum akan keluarga yang harmonis ini. Ayah tiri Eric, Pak Steven juga menceritakan tentang alasannya menjadi mualaf. Ia mengatakan bahwa menjadi muslim adalah hal yang membuat hati tenang dan sejahtera. Ia juga bercerita bahwa sesibuk apapun ia dan keluarganya, mereka akan berusaha untuk sholat berjamaah dan mengaji bersama. Karena dengan mengaji dan beribadah berjamaah, maka seluruh perasaan dan hawa negatif akan hilang menjauh, rumah pun lebih damai dan tenteram. Mungkin itu juga salah satu alasan mengapa Pak Steven memilih menjadi mualaf.  Masya Allah sekali.

Setelah mengobrol panjang lebar, lalu aku pamit pulang. Karena tidak tega membiarkan aku pulang sendirian dihampir tengah malam ini, maka Eric, calon suamiku, mengantarku pulang ke apartemen. Sepanjang jalan pulang, kami selalu berdiskusi tentang hal-hal yang kami sukai. Perlu kalian ketahui juga, meski ia lebih suka nonton bola atau main PS seperti kebiasaan pria-pria pada umunya, tetapi ia juga suka pergi ke bioskop. Kami sama-sama suka nonton film, terutama film-film Hollywood. Kami juga suka musik RnB atau Hip Hop. Tidak hanya membahas film atau musik saja, kami juga suka membahas isu-isu yang sedang marak di permukaan, misalnya kondisi ekonomi atau pendidikan di Prancis, dan sesekali ia menceritakan padaku tentang sistem pendidikan atau politik di Turki. Ia mengatakan bahwa ketika ia masih tinggal di Turki, ia pernah berdebat dengan gurunya hanya karena ia memiliki argumen sendiri tentang keadaan karut marut di negaranya pada saat itu. Ternyata ini adalah hal yang belum aku ketahui tentang Eric, bahwa ia pintar beragumen meski terkesan keras kepala.

Tibalah di depan apartemen. Kami hanya berpamitan di mobil saja, sudah tengah malam pula, ia tidak mungkin juga naik ke kamar apartemenku. Dan ada satu kalimat yang membuatku bimbang bukan kepalang. Ia berkata bahwa besok atau lusa ia akan menghubungi orang tuaku di Jakarta. Oh Tuhan! Apa yang akan ia katakan pada ayah dan ibuku? Mereka kan tidak bisa berbahasa Inggris, apalagi Prancis! Dengan berusaha tenang aku menjawab, “Sebaiknya aku saja yang mengatakan hubungan ini pada mereka. Tenang saja, aku akan berkata yang baik-baik tentang kita.”

€€€

Esok hari pun datang. Hari ini aku berusaha untuk menghubungi kedua orang tuaku di Indonesia. Aku menelepon mereka di siang hari dan itu artinya di Indonesia sekitar malam hari. Semoga mereka yang sedang bersantai di rumah tidak shock mendengar anaknya berniat menikah dengan seorang bule.

Akhirnya, aku berhasil menghubungi keluarga di rumah. Satu kalimat, dua kalimat, sampai tiga kalimat, aku belum mengarah pada persoalan hubungan seriusku dengan Eric. Tetapi seperti kebiasaan orang tua yang menanyakan nasib percintaan anaknya, akhirnya ibuku mengajukan pertanyaan yang sudah ku tebak sebelumnya, “Bagaimana? Apa kamu sudah mendapatkan seorang tambatan hati di negara orang? Ibu harap tidak terlalu serius dulu.”

Mata ku terbelalak, mulutku menganga lebar. Tapi kata-kata yang terakhir itu yang sempat membuatku pesimis.

“Begini, Bu. Justru itu yang mau Julie katakan ke Ibu dan keluarga di rumah. Hmm, Julie sudah punya…orang baru. Ya, Ibu tahu, Juno, mantanku. Ia adalah orang terakhir yang ku pacari, tapi dia terlalu kaku dan pendiam. Jelas aku tidak suka. Nah, sekarang ada orang baru. Alhamdulillah, dia islam. Keturunan Turki, tapi ibunya dan ayah tirinya orang Eropa yang mualaf.” Jelas ku panjang lebar.

Setelah satu setengah jam aku berbincang dengan keluargaku, walau lebih banyak dengan ibuku, aku hanya mendapat nasihat bahwa jangan terlalu terburu-buru dulu. Ibuku juga berkata bahwa jika aku memang benar mau serius, maka Ibu akan memikirkan itu dan membahasnya dalam-dalam bersama Ayah. Semoga Ibu punya pilihan lain yang bisa membuatku tenang dengan hasilnya nanti.

Hari demi hari, aku menunggu kabar dari Ibu. Mungkin Ayah dan Ibu benar-benar masih bingung dengan hubunganku dengan Eric ini. Sudah aku duga, Ibu pasti terheran-heran dengan kabar bahwa anaknya telah menjalin hubungan khusus dengan pria bule dan berniat menikah. Tapi disuatu malam, sepulang dari kantor, aku mendapat pesan dari Ibu, bahwa Ibu, Ayah, dan Kakak ku, Kak Aprilia berserta suaminya akan datang ke Paris minggu depan! Ya, ke Paris! Minggu depan! Astaga, mereka sangat cepat sekali mengambil keputusan! Apakah Ayah dan Ibu telah berubah pikiran? Apakah mereka tiba-tiba menjadi ingin memiliki menantu seorang bule? Atau ia kasihan padaku karena sudah setua ini belum menemukan pasangan hidup? Bagaimana ini? Lalu apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku persiapkan? Lalu apa yang akan mereka katakan kepada keluarga Eric? Apakah mereka benar-benar sudah sepakat untuk menikahkan kami?

Baiklah, aku akan berusaha tenang. Dan ketika ku katakan kabar ini pada Eric juga keluarganya, tanggapan mereka bukan kaget seperti yang ku bayangkan sebelumnya, justru mereka sangat senang, bahkan Ibunya akan mengambil cuti satu minggu demi menyambut keluargaku dari Indonesia.

€€€

Hari itu datang juga. Hari ini, adalah hari Senin, dan itu artinya hari ini keluargaku tiba dari Jakarta dan pesawat mereka telah mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Paris Charles De Gaulle. Aku sudah membicarakan rencana kedatangan keluargaku ini ke Ibu Mira, dan syukurlah, beliau memberikanku cuti sampai hari Jumat.

Aku sudah di bandara ini sejak hampir satu jam yang lalu. Dengan berbekal tulisan “Keluarga Prawijono (Jakarta Indonesia)” aku berdiri menunggu mereka dengan setia. Sampai pada akhirnya aku melihat keluargaku di ujung sana. Senang sekali menyambut mereka disini. Terlebih, sudah tiga tahun aku tidak bertemu mereka, rasanya lega masih bisa bertemu mereka. Langsung saja, ku ajak mereka ke apartemenku, tapi sebelumnya aku mengajak mereka berkeliling kota Paris terlebih dahulu dan mengenalkan beberapa tempat yang mungkin hanya mereka lihat di TV atau buku-buku pelajaran saja.

Tujuan mereka ke Paris bukan hanya sekadar bertemu denganku atau berjalan-jalan saja, tapi tujuan utama mereka adalah bertemu dengan keluarga calon suamiku. Dan seperti yang ku takutkan sebelumnya, orang tuaku tidak bisa berbahasa Inggris apalagi Prancis. Begitu juga kakak ku, Kak Aprilia, padahal ia pernah ku ajarkan bahasa planet itu dulu, tapi mungkin karena ia tidak pintar dalam kecerdasan linguistik, apa boleh buat, ia juga tidak berbahasa Inggris maupun Prancis. Pada akhirnya, aku yang menjadi penerjemah mereka.

Setelah mengobrol cukup lama, akhirnya kami menemukan titik temu daripada inti pertemuan dua keluarga ini. Intinya adalah bahwa aku dan Eric akan menikah tahun depan. Mengapa tidak tahun ini? Pertama, aku masih terikat kontrak dengan Kedutaan Besar sebagai Secret Server sampai bulan Oktober tahun ini. Kedua, Eric juga harus menyelesaikan persoalan perusahaannya di Lille dan Dijon. Ketiga, jika tidak ada halangan, Eric dan kedua partner kerjanya akan membuka cabang baru di Lyon dan Bordeaux, yang artinya ia lebih sering keluar kota untuk mengurusi pekerjaan-pekerjaannya itu. Dan yang terakhir, kami memang belum sepenuhnya siap, kami baru saja saling kenal selama dua bulan terakhir, kami juga berasal dari dua keluarga yang berbeda budaya, maka kami harus saling beradaptasi satu sama lain terlebih dahulu.

Kami memang ingin secepatnya melangsungkan pernikahan supaya tidak terjadi fitnah sana-sini. Tapi, mau bagaimana lagi, sesuai kontrak dengan Kedubes, bahwa seorang Secret Server atau istilah lainnya Bodyguard Kedutaan tidak boleh menikah sebelum menyelesaikan kontrak dengan Kantor Dubes. Contohnya Mba Melisa dan Andrew, mereka sudah bekerja sebagai Bodyguard sekaligus asisten selama dua tahun terakhir, dan selama satu tahun ini mereka berpacaran. Tadinya mereka akan merencanakan menikah tahun ini, tetapi karena sudah terikat kontrak dengan kantor, maka mereka juga menunda rencanaan pernikahan mereka. Aku lebih bersyukur karena aku hanya terikat kontrak selama satu tahun, sedangkan mereka, mereka terikat kontrak selama periode kepemimpinan Bapak Duta Besar selama lima tahun. Mereka harus bersabar, kontrak mereka tinggal tiga tahun lagi.

Setelah pertemuan dua keluarga beda budaya ini selesai, dan setelah mengajak semua keluargaku berkeliling kota Paris, mereka pun harus kembali ke Indonesia. Senang rasanya bertemu mereka satu minggu ini, meskipun aku ingin mereka disini lebih lama, tapi mau di apakan lagi, mereka juga harus meneruskan pekerjaan masing-masing di Jakarta, dan aku juga harus kembali bekerja Senin depan, jadi pertemuan singkat ini sangatlah berarti bagiku.

Hari berlalu semakin cepat, dan betapa bahagianya diriku bahwa aku dan Eric akan resmi melangsungkan pernikahan pada bulan Februari tahun depan. Bulan dimana kami resmi menjalin hubungan spesial. Bulan dimana semua pasangan yang dimabuk asmara saling memberikan empatinya satu sama lain. Dan bulan dimana Eric dan kedua adiknya berulang tahun. Kalau yang satu itu, jujur aku baru tahu beberapa bulan setelah aku mengenal mereka. Meskipun mereka saudara tiri, tetapi rasa sayang Eric kepada Diamonda dan Jewelery tidaklah berbeda dengan rasa sayangnya terhadap saudara kandung sendiri. Mungkin karena lahir di bulan yang sama, keterikatan dan rasa sayang antara satu sama lain terjalin dengan kuat. Maka aku berharap, jika aku menikahi Eric di bulan kasih sayang itu maka aku mendapat kebahagiaan yang serupa seperti bahagianya Eric dengan adik kembarnya.

€€€

Sudah memasuki musim panas, akhir pekan ini rencananya aku akan menyusul Eric yang sedang rapat kerja di Kota Lille. Selain mendapat jatah libur karena Ibu Dubes sedang tidak terlalu sibuk di luar kantor, aku juga sudah lama tidak bertemu calon suamiku itu. Seperti apa ya ia sekarang? Maklum, sudah satu bulan lebih aku tidak bertemu dengannya. Ia harus bolak-balik Paris – Lille atau Paris – Dijon, bahkan ke Lyon dan Bordeaux juga.

Dan sudah satu bulan ini pula, entah mengapa kelakuan Eric menjadi aneh. Ia jadi jarang mengabariku. Ia juga jarang menanyakan persiapan pernikahan kami. Ia jadi lebih cuek sekarang. Ada ada ini? Hmm, mungkin terlalu lelah dengan pekerjaannya, maka ia jadi lebih sensitif dan terkadang marah-marah tidak jelas denganku. Ya, semoga ini hanya perasaanku saja.

€€€

Hari Rabu kemarin aku genap berusia 27 tahun, tadinya aku akan merayakannya dengan Eric, tapi karena ia sedang ada di Lille, maka aku yang harus berinisiatif duluan. Seharusnya aku yang diberi kejutan olehnya, tetapi karena rasa rindu ini sudah tidak bisa dibendung lagi, maka aku nekat ke Lille Sabtu sore ini. Semoga ia senang aku datang.

Aku mengambil kereta TGV tujuan Brussel. Dan sampai di Lille, aku harus membelikan Eric sesuatu terlebih dahulu sebagai buah tangan. Eric suka sekali buah anggur. Mungkin karena ia suka buah itu maka ia akan membuka kantor cabang di Bordeaux yang terkenal dengan penghasil anggurnya itu. Jadi mungkin ia berharap dengan memiliki kantor di Bordeaux maka ia akan lebih sering makan anggur dengan harga lebih murah. Lalu, aku belikan satu parsel anggur, dan agar terlihat lebih cantik, aku membeli banyak warna, mulai dari anggur yang warnanya ungu, merah, sampai hijau. Semuanya lengkap. Ia pasti senang.

Tetapi tidak secantik parsel ini. Aku melihat ada pertunjukan ‘luar biasa’ terjadi persis di depan mataku. Ada apa ini? Ada apa dengan seseorang ini?


BERSAMBUNG…

YS 17/5/2013

(Disunting 1 Oktober 2020)



Comments

Popular posts from this blog

Kumpulan Cerita Bersambung : DOUBLE YU - SEASON 1 (karya Yulia Sutjahjono)

"Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan)" Part 2

Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan) Part 1