Cerita Februari - Eps. 2 : "Februari dan Kampus Sorbonne"

Astaga, di tempat ini tujuh hari dari sekarang, Eric ingin mengatakan sesuatu padaku. Apakah itu? Apakah ia ingin memutuskan tali pertemanannya denganku karena ia malu dengan penampilan lebay ku waktu itu? Atau mungkin ia ingin menyatakan cinta padaku di bulan kasih sayang di kota cinta ini? Yang pasti, pilihan nomor dua itu selalu ku jadikan bayangan setiap kali aku mau pergi tidur. Pikiran itu selalu menghantuiku. Aku tidak tahu, aku memang mengaguminya, aku juga sering sekali memikirkannya ketika aku mandi, makan, bahkan mencuci piring.

Tapi apa mungkin ia memiliki perasaan yang sama denganku? Apakah ia mengagumiku juga? Ah, tidak mungkin. Tapi dari apa yang aku alami dengannya bisa jadi ia mengagumiku juga. Tapi tidak tahu lah, orang Eropa memang senang memuji orang lain sebagai bentuk apresiasi mereka terhadap orang lain. Sekarang yang harus ku lakukan adalah mempersiapkan diri untuk menemuinya minggu depan. Aku harap tidak ada kejadian yang buruk yang terjadi. Aku berharap ia masih mengingat wajah dan namaku.

Setelah melakukan serangkaian kegiatan yang membuat hati lebih tentram, Senin ini aku mulai bekerja lagi. Seperti biasa, aku harus menemani Ibu Mira keliling kota Prancis untuk menghadiri kunjungan-kunjungan di beberapa instansi. Misalnya Senin siang ini, aku dan kedua asisten pribadi Ibu Mira lainnya harus siap siaga menjaga beliau karena beliau sedang menerima undangan makan siang dengan Ibu Presiden Prancis, Valérie Trierweiler, sambil mendiskusikan soal acara amal yang akan diadakan dalam beberapa hari kedepan.

Mengingat acara amal itu, aku jadi teringat Eric. Ya ampun, pria itu baru saja membuat hatiku deg-degan lagi. Aku masih harus ke butik ibunya untuk mengambil gaun besok sore. Apakah aku akan bertemu dengan Eric? Tapi ia sudah membuat janji denganku Sabtu malam besok. Aku benar-benar bingung. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi besok sore.

Waktunya tiba, hatiku langsung cenat-cenut dibuatnya. Astaga! Perasaan ini semakin menjadi-jadi saja. Apa yang harus aku katakan jika aku bertemu dengannya? Aku sudah lama tidak melihat wajahnya yang tampan itu, jadi tentunya aku akan salah tingkah apabila harus berhadapan dengannya. Perlu kalian ketahui juga, orang Eropa selalu menatap kedua mata lawan bicaranya. Bisa dibilang menjadi sebuah keharusan, tapi lebih tepatnya memang sudah menjadi bagian dari kebudayaan mereka.

Astaga! Apa karena itu ia ingin memutuskan pertemananannya denganku? Karena seingatku setiap berbicara dengannya aku jarang sekali menatap kedua bola matanya yang cokelat itu? Tapi aku memang begitu. Tanyakan saja pada semua teman-temanku, bahkan Ibu Mira, si Istri Dubes itu, beliau sampai heran karena setiap kali aku berbincang dengannya pasti mataku jelalatan kemana-mana. Jadi, mau dengan laki-laki atau perempuan sama saja bagiku, aku belum memiliki keahlian tersendiri dalam menatap mata seseorang. Maka dari itu, aku tidak cocok menjadi presenter televisi atau mungkin guru SD yang pandai berkomunikasi dengan banyak orang.

Baiklah, sore ini kupersiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi apa itu yang namanya ‘butik orang tua Eric’. Aku memang akan bertemu dengan ibunya, tetapi siapa yang tahu bahwa aku akan bertemu anaknya atau tidak. Berjalan sendirian di Jalan Champs-Élysées seperti ini sering ku alami, terlebih jika Ibu Mira menyuruhku mendadak mengambil ini-itu ke toko-toko di sepanjang jalan ini. Tetapi entah mengapa sore ini sangat berbeda. Aku menjadi salah tingkah. Bahkan aku harus menabrak dua orang disepanjang jalan. Untung saja mereka tidak marah denganku, karena langsung saja ku katakan, “Excusez-moi, Madame/Mademoiselle, Monsieur” yang artinya “Maaf, maaf, dan maaf, aku tidak sengaja, aku sedang dalam masa-masa kritis menghadapi sebuah butik di ujung jalan ini”. Ya, hanya itulah yang bisa ku katakan ketika mengalami hal seperti itu di jalan karena mereka juga tidak akan mengenal siapa diriku.

Perasaan tidak enak memang aku rasakan sejak kemarin. Dan benar saja, hal yang tidak mengenakkan itu aku rasakan sekarang. Dua puluh langkah menuju butik Nyonya Annette, aku melihat dua orang sedang berjalan beriringan bersama keluar dari butik. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Astaga, lagi-lagi orang pacaran. Ya, mungkin memang bulan ini sedang banyak beredaran kata cinta dari banyak pasangan kekasih. Hari Valentine memang menyebalkan.

Aku mencoba melihat lebih jelas siapa dua orang tersebut dan ternyata… benar dugaanku! Itu Eric! Lalu siapa wanita yang ada di sebelahnya? Wanita itu berambut pirang panjang menjuntai dengan indah. Kulitnya kuning langsat berkilau bak emas. Ia juga tinggi, bahkan ia memiliki kaki yang jenjang dihiasi sepatu Lacroix keluaran terbaru. Astaga, siapa dia? Apa dia kekasihnya? Kekasih baru Eric? Mengapa ia tidak menceritakannya kepadaku?

Peristiwa ini membuatku cemburu kalang kabut bukan kepalang. Tapi mengapa aku begitu tersiksa dengan pandangan sepuluh detik tadi? Lalu mengapa pula aku terhanyut dalam suasana kecemburuan yang mendalam? Aku kan bukan siapa-siapanya Eric? Pacarnya bukan, temanpun baru kenal seumur wortel. Ya ampun, aku lebay sekali. Tetapi ku coba untuk tetap tenang.

Masuk ke butik Nyonya Annette, aku langsung bertemu dengan si empunya butik mewah ini. Ia ternyata sudah menungguku selama satu jam. Ya ampun, aku jadi merasa tidak enak. Hal seperti ini memang sering sekali aku lakukan. Tapi ya sudahlah, lupakan saja, aku yakin mereka akan memaklumi ku. Aku langsung saja mengambil gaun-gaun pesanan Ibu Mira yang sudah dipesan sejak satu bulan yang lalu. Betapa indahnya gaun-gaun mahal buatan butik internasional Avenue des Champs-Élysées nomor 23 ini. Mereka memang keren. Tidak salah mereka menghargai gaun ini dengan harga selangit karena melihat dari jauh saja memang sudah cantik dan anggun. Terlebih bahannya yang sangat halus dan lembut, pasti akan membuat nyaman bagi yang memakainya, meski berjam-jam lamanya.

Selesai sudah segala urusan di butik. Saatnya mengantar gaun-gaun ini ke rumah Ibu Mira. Tetapi tidak seperti berangkat tadi, di depan butik sudah tersedia mobil berwarna hitam metalik tahun 2010 berlambangkan empat lingkaran cincin dan itu artinya aku harus naik ke dalam mobil dinas Ibu Mira ini, aku tidak lagi berjalan kaki. Ya, kalian bayangkan saja, jika aku berjalan kaki dengan membawa tiga gaun berwarna-warni ini lalu naik metro apa yang akan terjadi? Pasti sulit aku dibuatnya.

Di dalam mobil, aku terdiam, justru terkesan sedih. Dengan spontan, Frank, supir pribadi Ibu Mira, bertanya padaku.

“Ada apa, gadis cantik? Kau terlihat lusuh sekali hari ini. Bukankah seharusnya kau senang menghadapi malam amal besok malam? Bukankah itu yang kau tunggu-tunggu?” tanya Frank.

“Tidak. Aku tidak apa-apa, Frank. Aku hanya sedang terhanyut dalam sebuah balada kecemburuan yang tidak bisa ditebak apa maknanya. Aku sedang tidak mood.” Jawabku dengan wajah sangat lesu.

“Ayolah. Jangan sesedih itu. Aku tahu kau kesal karena sebentar lagi hari Valentine. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Nanti kita habiskan waktu bersama di kedai pizza bekas tempat kerjamu itu. Bagaimana?” ajak Frank.

“Benarkah? Baiklah, aku setuju kalau begitu!” sedih dan hilang mood berubah menjadi semangat yang luar biasa. Perlu kalian ketahui, jika seseorang mengajakmu makan, apapun bentuknya, itu tandanya ia akan mentraktirmu. Itulah cara orang Prancis ketika mereka akan mengajak temannya makan diluar. Luar biasa!

Hari sudah berganti, bahkan cepat berubah dari siang ke malam. Dan malam ini, acara malam amal itu berlangsung. Banyak pejabat dan kalangan sosialita yang datang malam ini. Lihat saja, ada mantan Presiden Prancis periode lalu, Nicolas Sarcozy dan juga Istrinya, Carla Bruni. Ya ampun, mereka bahkan mengajak putri mereka, Giulia. Cantik sekali. Ngomong-ngomong soal acara malam ini, uang yang terkumpul akan digunakan untuk organisasi UNICEF yang diperuntukan untuk anak-anak yang membutuhkan yang berada di negara-negara francophone di benua Afrika.

Akhirnya, acara malam ini telah usai karena akhirnya juga aku bisa melepas sepatu berhak 10 cm ini. Lega sekali. Lalu, apa yang akan terjadi besok dan tanggal 16? Ya, besok itu tanggal 14 Februari dan di hari Valentine aku akan ditraktir Frank di kedai pizza tempat aku bekerja dulu. Dulu, ketika aku masih kuliah di Sorbonne, aku mencari uang tambahan di kedai pizza “Amore Mio” milik seorang warga negara Italia yang sudah lebih dari 10 tahun mendirikan rumah pizza itu.

€€€

Tanggal 14 Februari telah berlalu untuk hari ini, dan hari ini pula aku sangat kenyang ditraktir Frank dua loyang pizza ukuran besar yang masing-masing adalah Pizza Margherita yang hanya berisikan keju mozzarella dan Pizza Neptune yang ber-topping-kan ikan tuna, buah zaitun, dan irisan bawang putih. Wah, Frank memang baik sekali. Tetapi sayang, aku hanya berdua saja dengan dia, tadinya kami juga mau mengajak kedua asisten Ibu Mira lainnya, Mba Melisa dan Andrew, untuk makan bersama, tetapi berhubung hari ini adalah hari kasih sayang maka mereka sudah punya agenda pacaran tersendiri. Ya, mereka berdua jadian. Tidak lain akibat cinta lokasi yang disebabkan oleh frekuensi pertemuan di kantor yang terlalu tinggi, terlebih mereka memang asisten Ibu Mira yang paling sering menemani beliau.

Dan tak terasa hari lusa itu telah tiba. Hari ini tanggal 16 Februari. Jelas pula hatiku lebih deg-degan dibuatnya. Apa yang akan terjadi malam ini di Menara Eiffel? Semoga harapanku nomor dua tetap berjalan dengan mulus meski aku tidak boleh terlalu banyak berharap. Oke, aku siap menghadapi pria ganteng yang bernama Frédéric itu.

Aku sudah tiba di taman Le Champ des Mars di sebelah timur Menara Eiffel. Aku duduk di bangku taman tepat di depan menara. Pemandanganku tidak hanya pada megahnya menara milik Tuan Gustave Eiffel saja, tapi lautan manusia yang memenuhi taman disekitarnya juga. Meski malam Valentine sudah berlalu, tetapi alasan mengapa ada kerumunan orang disini karena masih ada festival kembang api di Menara Eiffel yang sudah berlangsung sejak 14 Februari lalu. Memang tidak seperti tahun sebelumnya, tapi apapun itu, ini sangat membantuku mengurangi rasa gugupku. Lalu, kemana si Eric? Jangan-jangan ia membatalkan semuanya?

“Sudah menunggu lama, ya?”…

Ada sebuah suara tepat di belakang telingaku.

Eric! Ya Tuhan! Ia datang! Apa yang harus aku lakukan?! Jangan buat aku salah tingkah!

“Hai. Akhirnya kau datang juga. Aku baru saja duduk. Ayo, sini duduk!” jawabku penuh keringat di dalam baju. Berusaha menyembunyikan keringat agar tidak keluar ke permukaan, terutama di bagian dahi.

“Selamat hari kasih sayang, teman!” ucap Eric seraya memberikan setangkai bunga daisy padaku. Ya ampun, mengapa ia tahu kalau aku suka bunga ini? Tapi tunggu! Teman?! Apa tadi ia bilang?!

“Maaf, aku bukan konsumen hari Valentine. Aku menerima kasih sayang setiap hari. Dari siapa saja. Mungkin termasuk darimu.” Oops, benar saja, aku salah tingkah.

“Aku tahu kau gugup. Aku juga tahu kalau kau sudah keringat dingin sejak tadi.” Tebak Eric bak seorang tukang sihir atau paranormal.

Lalu kami berdua terdiam. Dan Eric memulai sebuah percakapan lagi.

“Julie, boleh aku jujur padamu?” tanya Eric terlihat penuh kesiapan.

“Silahkan saja.” Jawabku kilat dengan perasaan campur aduk.

“Aku tidak bisa menunggu lama lagi. Saat pertama kita bertemu, aku rasa ada yang berbeda darimu. Kau itu beda dari yang lain. Kau juga teman Asiaku yang beda dari teman Asiaku yang lain. Kau periang, terbuka, suka menghibur orang. Kau juga pintar membuat orang tertawa. Ya, semua itu aku rasakan selama kita saling membalas pesan. Tapi aku rasa pertemuan pertama kita bukanlah di butik Ibuku. Aku tahu kalau kau memang salah satu Mahasiswi Sorbonne. Aku pernah melihatmu di kampus. Aku juga pernah melihatmu di sidang pemilihan ketua Asosiasi Mahasiswa Muslim Sorbonne, dan kau adalah salah satu perwakilan dari Asia Tenggara…”

“Ba-ba-bagaimana ka-kau bisa tahu?” tanyaku terbata-bata.

“Kau juga pernah mengantarkan pizza ke rumahku. Waktu itu adik kembarku yang pesan dua pizza ukuran besar, dan aku melihatmu di balik jas hujan dari ruang tamu rumahku. Aku juga pernah melihatmu di jalan ketika kau bersusah payah membawa pesanan pizza dengan sepedamu. Aku rasa kau wanita yang hebat. Mungkin kau tidak menyadarinya. Aku juga tidak menyadarinya, tetapi ketika aku bertemu denganmu di butik waktu itu, aku langsung teringat dirimu, dan hari demi hari aku mengenalmu, kau memang benar-benar wanita yang hebat. Aku mengagumimu.” Jelas Eric.

Mataku langsung terbelalak, jantungku serasa berdetak seratus kali lebih cepat, darahku mengalir lebih deras bahkan lebih deras dari air sungai Seine, dan kandung kemihku telah menampung banyak air yang harus segera diekresi.

“Kau berbeda dari yang lain. Aku juga tahu kalau kau itu pernah menang lomba menulis essay di kampus, lalu aku baca tulisanmu, dan aku rasa tulisanmu sangat hebat. Kau memang pantas mendapatkannya.” Lanjut Eric.

“Sudahlah, hentikan. Itu terlalu berlebihan.” Sahutku semakin malu.

Aku menatap kedua bola matanya yang indah itu, kami berdua saling menatap, dan betapa indahnya malam ini. Dengan mengambil napas panjang, Eric melanjutkan kata-katanya, dan sepertinya kata-kata berikut ini akan menjadi sejarah penting dalam hidupku.

“Julie… Aku rasa aku telah jatuh cinta padamu. Aku tahu, di agama kita hal itu tidak diperbolehkan, tapi aku sangat mengagumimu, aku ingin kita menjadi lebih dari ini. Aku ingin kita selalu bersama. Dan aku berniat meminangmu suatu hari nanti. Aku ingin serius denganmu. Julie, maukah kau menjadi kekasihku? Aku ingin kau menjadi yang terakhir. Aku sudah lelah mencari wanita yang aku rasa mereka sama saja, tidak ada bedanya. Maukah kau menjalani hubungan serius denganku?” tanya Eric sangat romantis.

“Apa? Kau ingin aku jadi pacarmu? Bukankah kau membenciku semenjak kejadian malam pameran itu? Kau tidak suka denganku karena aku terlihat berlebihan di depan teman-temanmu, kan? Lalu, kau sudah bosan menghadapi pesan dan telepon dariku, bukan? Lalu bukannya kau sudah punya pacar? Bukankah ia wanita yang berambut pirang itu? Ia pacarmu, ya kan?” tanyaku seperti polisi yang sedang menilang seorang pengendara motor yang menerobos lampu merah.

“Nancy. Ya ampun, itu Nancy. Kau lihat aku keluar dari butik, ya? Aku menemaninya keliling Avenue des Champs-Élysées di hari itu. Ia juga sudah lama tidak bertemu dengan ibuku, makanya aku temani ia ke butik. Lagipula, ia bukan siapa-siapa. Aku sudah bilang padamu, Nancy adalah partner kerjaku. Ia sangat baik. Aku bahkan sering curhat padanya tentang dirimu, dan ketika ia melihat fotomu di daftar alumni kampus Sorbonne, menurutnya kau memang hebat dan kau punya aura yang berbeda. Intinya, kau memang berbeda dari yang lain.” Jelas Eric.

Kami berdua diam sejenak. Seakan hanya ada suara-suara orang yang berlalu lalang di taman. Kemudian Eric bertanya padaku lagi, meyakinkannya bahwa aku akan menjawab apa yang ia harapkan.

“Jadi, kau mau tidak?” tanya Eric lagi.

Aku bingung. Benar apa yang ku pikirkan sejak kemarin. Kejadian ini akan terjadi padaku. Aku bingung, disatu sisi, aku sangat mengaguminya. Ia sosok yang ku maksud selama ini. Aku ingin serius dengannya. Tapi disisi lain, aku takut orang akan berkata lain padaku. Aku takut orang akan menghakimiku. Ya Tuhan, beri aku petunjuk.

“Eric… begini… emmm… aku tidak tahu bahwa kau akan mengatakan ini padaku. Tapi, aku rasa ini berlebihan. Dan aku tidak tahu apa yang terjadi dengan kita selanjutnya. Hmmm… sebenarnya…”. Belum selesai ku katakan kata-kataku, suara ledakan kembang api mulai terdengar sangat keras, dan semua orang sorak sorai bergembira. Suaraku kalah dengan ledakan dan keramaian orang-orang di taman ini.

BERSAMBUNG…

YS 6/5/2013

(Disunting 13 September 2020)

 



Comments

Popular posts from this blog

Kumpulan Cerita Bersambung : DOUBLE YU - SEASON 1 (karya Yulia Sutjahjono)

"Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan)" Part 2

Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan) Part 1