Cerita Februari - Eps. 1 : "Februari dan Les Champs-Élysées"
Namanya bagus, “The Moslem Space Boutique” atau versi
Prancisnya “La Boutique de L’Espace Musulman”. Butik ini menjual
pakaian-pakaian muslim, dan kalian mau tahu? Butik ini adalah butik pakaian
muslim yang paling terkenal di Avenue des Champs-Élysées. Hari ini aku menemani
bos ku, Ibu Mira Sumargono untuk memesan gaun malam yang akan beliau kenakan pada
acara malam amal yang diadakan oleh pemerintah Prancis bulan depan. Ibu Mira
adalah istri dari Duta Besar Indonesia untuk Prancis, Bapak Rianto Sumargono,
dan aku adalah asisten pribadi beliau yang mana hari ini genap enam bulan aku
memegang amanah ini. Rasanya senang sekali karena setiap hari aku menemaninya
kemanapun beliau pergi, seperti menghadiri undangan pertemuan dari Walikota
atau Duta Besar negara lain sambil makan siang atau makan malam bersama. Bahkan
aku pernah menginap di hotel bintang 5 sekelas La Réserve Paris Hotel and Spa.
Comme le paradis!
Sementara Ibu Mira sibuk membicarakan gaun malamnya
dengan sang desainer, aku sibuk mengelilingi butik ini. Tapi Ibu Mira juga
menyuruhku memilih gaun yang kusuka, maka dari itu aku berkeliling untuk mencari
baju yang cocok untukku. Ketika aku melihat sebuah gaun berwarna biru tua, aku
langsung menjamahnya, tapi ada seseorang yang sedang berdiri di sebelahnya.
Ternyata seorang pria. Dan betapa sok kenalnya ia, ia langsung memperkenalkan
dirinya kepadaku.
“Halo, aku Eric. Kau Julie, bukan? Asisten pribadi Ibu
Miranda Sumargono?”, sapa pria tinggi berkulit putih dan berambut hitam itu. Ia
sangat tampan, seperti pangeran yang ku lihat di film-film romantis. Ternyata
ia adalah anak dari pemilik butik ini, Madame Annette Gracia Giraudoux
Smithson, warganegara Prancis yang pernah menikah dengan orang Turki yang
sekarang menjadi seorang mualaf, lalu sekarang ia adalah pemilik butik muslim
di Paris dan menikahi seseorang berkebangsaan Skotlandia dan memiliki 3 orang
anak, dan salah satunya adalah si tampan Eric.
Sambil memilih-milih baju yang pas, aku dengan senang
hati berbincang-bincang dengan pria tinggi besar, berhidung mancung, menawan,
dan baik hati ini. Ia tidak seperti orang Prancis pada umumnya, yang sebagian
besar berperawakan cuek. Ia justru seperti seorang Asia. Ya, ternyata ia lahir
dan besar di Istanbul, Turki. Ia pindah ke Prancis 16 tahun yang lalu bersama
ibunya. Dan yang lebih keren lagi, sejak lahir ia adalah seorang muslim! Aku
sangat bersyukur pada Tuhan karena akhirnya aku memiliki kenalan warga lokal
yang sama muslimnya. Hahaha. Saking asyiknya berbincang-bincang, aku sampai
lupa memilih baju yang akan kukenakan bulan depan. Alhasil, perbincangan
dilanjutkan suatu waktu. Tapi seperti apa yang kubayangkan sebelumnya, seperti
yang kulihat di banyak film, bahwa ia memberikanku nomor telponnya.
€€€
Baru saja aku membaringkan tubuhku ke atas sofa yang
sangat empuk di apartemen sederhanaku ini. Terletak di Zona 3 Paris di wilayah
Malakoff jalan Rue Jean Bleuzen nomor 90 lantai 5 ini, aku tinggal sendiri
sejak tiga tahun lalu saat mendapat beasiswa dari Pemerintah Prancis. Sering
sekali aku homesick dan rindu tanah air, tapi berkat kesibukanku bekerja
dan menjadi bagian dari Kedutaan Besar Indonesia di Prancis, aku tidak lagi
merasa kesepian. Meski hari ini dipenuhi oleh jalan-jalan yang hampir saja
mematahkan tulang belulangku, tapi aku sangat menikmatinya karena hari ini
bayangan si tampan tadi masih setia hinggap di otakku. Tidak berapa lama, pesan
baru masuk ke selularku. Dan benar apa yang baru saja aku pikirkan, itu SMS
dari Eric! Akhirnya, sisa malamku ku habiskan untuk saling membalas SMS dengan
Eric, pria rupawan yang ku temui di butik di Avenue des Champs-Élysées tadi.
Malam yang menyenangkan.
Terbawa mimpi, wajahnya yang ganteng itu sampai
terbawa mimpi tadi malam. Ku buka mataku pagi ini dan tetap saja bayangan
wajahnya masih terngiang dipikiranku. Aku heran, mengapa kejadian ini mirip
sekali yang ada di film-film? Entah aku membayangkannya terlalu jauh atau
memang itu cara orang Eropa apabila mendekati wanita. Semoga pilihan jatuh di
nomor dua.
Hari demi hari, aku makin disibukkan dengan jadwal Bu
Mira yang makin padat. Ia banyak mendapatkan undangan, entah itu dari
pemerintah Prancis, atau instansi-instansi lainnya. Dan yang aku tahu, Ibu Mira
itu memang keren sekali. Tapi untungnya hari ini aku sedang tidak menemani
beliau keluar kantor, hari ini aku kebagian menjaga telepon pribadi dari
kantornya sedangkan beliau ditemani oleh asisten satu dan dua karena ia harus
mewakili suaminya untuk menemui Presiden Prancis, Monsieur François Hollande.
Entah apa yang akan mereka diskusikan, aku tidak ingin tahu juga. Biarkan saja,
itu urusan negara. Dan aku sangat nyaman di kantorku ini. Terletak di jantung
kota Paris, bertembokkan cat putih gading, dihiasi dengan banyak
tanaman-tanaman khas Indonesia, dan tentunya suara-suara berbahasa Indonesia
tidak asing disini karena ini adalah kantor kedutaan besar Indonesia.
Lalu ruanganku, hmmm, sulit dibayangkan, ruanganku
juga seperti yang pernah kulihati di sebuah film action. Dihiasi komputer canggih bergambarkan apel yang seperti
sudah dimakan setengah bagian, lalu beberapa file dan dokumen-dokumen
penting juga secangkir pulpen dan teman-temannya. Dengan pemandangan kota Paris
dari balik jendela, aku menghela napas beberapa kali. Kota ini memang sibuk
tapi kota ini sangat keren, semua orang ingin kesini.
Tiba-tiba suara panggilan masuk berdering. Eric! Sudah
lama sekali ia tidak mengirimku pesan. Seketika aku jawab panggilannya.
“Hai, apa kabar? Sudah lama sekali kau tidak memberiku
kabar? Apa kau hilang ditelan bumi?” begitulah awal perbincanganku siang ini dengan
Eric. Ia semakin hari semakin hangat saja denganku. Dan betapa terkejutnya aku,
siang ini ia akan mengajakku makan siang di luar! Ia mentraktirku di sebuah
café di depan butik Ibunya di Avenue des Champs-Élysées itu. Tentu saja aku
sangat senang karena aku bukan orang yang munafik. Siapa yang akan menolak
penawaran makan siang gratis dengan pria Prancis yang tampan dan bersahaja
seperti Eric?
Tepat pukul 12.00 siang aku tiba di restoran yang
telah ia janjikan, L’Alsace. Ternyata ia datang lebih dulu. Memang, orang Eropa
memang sangat suka menghargai waktu. Aku merasa berhutang padanya. Siang itu
kami sama-sama memesan foie gras dan
teman makannya, baguette. Kami juga
memesan crème brulée sebagai hidangan penutupnya. Ia juga bercerita tentang
asal muasal makanan ini. Meski ia keturunan Asia, tapi cita rasa Eropanya
melebihi orang Eropa itu sendiri.
Ternyata Eric mengajakku makan siang diluar karena ia
ingin menyampaikan sesuatu. Ia mengundangku ke sebuah pameran seni bangunan di
kampus Sorbonne Sabtu ini. Ya ampun, ternyata kami satu almamater. Menurut
pengakuannya, ia adalah lulusan Teknik Arsitektur Université Paris de Sorbonne,
universitas tertua di Prancis itu. Perlu diketahui, di Paris, selain menjadi
asisten pribadi seorang istri Duta Besar, aku juga pernah mengenyam pendidikan
Master di bidang sastra di kampus Sorbonne dan baru saja lulus setahun yang
lalu. Semua kebetulan ini membuatku tersenyum-senyum sendirian. Terlebih lagi,
Eric juga telah lulus S2 di Sorbonne jurusan desain interior, dan sekarang
mengajar di Université Paris de Nanterre yang letaknya sekitar 45 menit dari
pusat kota Paris. Ia bekerja sebagai project officer di sebuah
perusahaan di Paris bersama dua orang temannya, Nancy dan Jacques.
Perusahaannya bahkan sudah terkenal hingga ke kota Lille dan Dijon. Ia
benar-benar pria tampan yang keren dan sangat berprestasi. Sepertinya aku mulai
mengaguminya. Tapi ngomong-ngomong soal pameran seni tadi, mengapa ia tidak
mengajak pacarnya? Mengapa harus aku? Aku mulai penasaran.
Siang itu adalah acara makan siangku yang paling
berkesan yang pernah ada karena kami berdua saling bercerita, saling kenal satu
sama lain, saling terbuka. Banyak sekali informasi yang kudapatkan tentang
dirinya. Meski baru mengenalku, tapi ia mau jujur soal kehidupan pribadinya.
Termasuk perceraian orang tuanya dan itu sebabnya ia berada di Paris sekarang.
Ia bercerita bahwa ia terlahir dengan nama lengkap
Frédéric Demir Bahadir yang lahir dari pasangan seorang muslim Turki bernama
Burhannudin Osman Bahadir, dan seorang katolik Prancis yang kemudian menjadi
islam setelahnya, Annette Gracia Giraudoux. Orang tuanya bercerai ketika ia
berusia 10 tahun, dan sejak itu pula ia harus pindah ke Paris karena ia ikut
Ibunya dan meninggalkan Ayahnya yang saat itu masih tinggal di Istanbul.
Sebelum pindah ke Paris, Eric harus menerima kenyataan pahit bahwa ia harus
putus sekolah selama satu tahun karena ia harus menemani ibunya bekerja, dan
sebelum pindah ke Paris ia sempat tinggal di rumah neneknya di Milan, Italia,
karena Ibunya juga memiliki darah keturunan Italia. Jadi, mau tidak mau,
sementara waktu ia tinggal dengan neneknya. Setelah bekerja serabutan di Milan,
akhirnya Ibunya mendapatkan pekerjaan di sebuah rumah wine di Bordeaux, negara
bagian Aquitane, di Barat Daya Prancis.
Setelah enam bulan tinggal di Bordeaux, akhirnya ia
bisa mendapatkan kehidupan yang layak kembali di kota Paris. Di tahun yang
sama, ibunya bertemu dengan seorang pengusaha mualaf asal Skotlandia, Steven
Rhys Smithson yang juga tinggal di Paris. Tidak lama setelah itu Ibunya
menikahi Ayah tirinya itu. Dan sekarang mereka hidup di Paris dengan dua adik
kembarnya, Diamonda dan Jewelery atau masing-masing akrab disapa Monda dan
Jiwy.
Setelah mendengar semua ceritanya itu, aku jadi
membayangkan betapa hebatnya hidup Eric, meski hidupnya sangat susah pada
awalnya. Dan bayangkan, ia pernah berkali-kali pindah dari satu negara ke
negara lain, pasti sangat berat di momen-momen itu karena tidak mudah
beradaptasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Maka dari itu, mungkin karena
ia sering berpindah-pindah, ia menjadi sosok yang cepat akrab dengan orang lain
bahkan yang baru ia kenal. Semua ini berjalan dengan menyenangkan. Mengenal
Eric seperti membaca peta dunia, ia tahu banyak hal, padahal usia kita tidak
jauh berbeda, tetapi pengalamannya seperti seseorang yang jauh lebih tua dari
usia kami.
Setelah perbincangan eksklusif antara aku dan Eric
siang itu, entah mengapa hari demi hari Eric selalu mengabarkanku tentang
keadaannya dan perkembangan acaranya, bahkan aku tidak menanyakan satu hal pun
padanya. Ada apa ini? Jangan-jangan ia mulai menyukaiku? Aduh, jangan bodoh,
Julie! Kau ini baru mengenalnya dan kau harus sedikit bersabar.
€€€
Akhirnya hari Sabtu pun tiba. Malam ini, aku sudah
janji akan datang ke pameran itu, tapi aku malu apabila aku harus bertemu
dengannya. Pasti aku gugup dan salah tingkah. Ya, aku memang sering salah
tingkah di depan pria yang aku kagumi. Aku tidak tahu nasibku malam ini akan
bagaimana. Semoga aku tidak berbuat yang aneh-aneh.
Aku datang dengan busana dan make up terbaikku.
Meski gaun yang aku kenakan ini bukan dari butik Ibunya Eric, tapi gaun ini
sama bagusnya dengan pakaian yang ada di butik-butik di sepanjang jalan
Champs-Élysées. Ya, gaun muslim ini ku beli di Tanah Abang, tepat sebelum aku
berangkat ke Paris tiga tahun yang lalu. Oke, aku masuk ke studio pameran Eric.
Luar biasa! Keren sekali. Tapi sudah hampir setengah jam aku disini, aku belum
lihat batang hidung Eric sejak tadi. Dimana dia? Jujur, aku rindu padanya karena
terakhir kita bertemu hanya makan siang waktu itu saja. Dan sudah keliling
berpuluh-puluh kali di dalam ruangan ini, tapi aku belum menemukan Eric.
Mungkin ia benar-benar sibuk. Tapi tunggu dulu… itu dia Eric! Ia menghampiriku!
Ya ampun, ia tampan sekali malam ini! Aku keringat dingin dibuatnya. Apa yang
akan ia katakan, ya? Semoga aku tidak salah tingkah.
“Hai, kau datang? Kau cantik sekali dengan gaun itu.”
Puji Eric hampir membuatku pingsan.
“Terima kasih. Aku mencarimu sejak tadi. Tapi
sepertinya kau…” belum ku selesaikan kalimat keduaku untuknya, ia dipanggil
temannya karena ada rekan wartawan yang akan mewawancarainya terkait pameran
seni malam ini. Ya ampun, bodohnya aku mengapa aku baru tahu kalau ia adalah
manajer promosi sekaligus konseptor acaranya? Tapi walau begitu ia memang sudah
keren tanpa harus mengatakan bahwa acara ini adalah miliknya.
Bagaimanpun juga, sepertinya seluruh tenagaku untuk
berdandan cantik dan tampil maksimal malam ini sia-sia, ia bahkan tidak
berbincang panjang lebar denganku. Mungkin ia malu punya teman baru dari Asia
sepertiku yang menyelinap masuk ke pameran megahnya ini. Ku putuskan untuk
menyudahi segala tampilan yang menyebalkan di malam buruk ini.
Malam ini benar-benar buruk. Aku pikir aku bakal
banyak mengobrol dengan Eric, tapi ia bahkan tidak menegurku. Aku rasa
bayanganku akan dirinya yang menyukaiku sangat mustahil. Orang Eropa keturunan
Asia itu telah membuatku terlalu percaya diri dan hampir kalang kabut. Lalu apa
tujuannya mengajakku makan siang waktu itu? Lalu apa pula tujuannya
mengundangku di pamerannya yang hampir membuat kakiku lecet berdarah ini? Aku
telah salah menilainya. Orang Eropa memang baik, makanya mereka mau merogoh
kocek mereka untuk mentraktir seseorang agar mereka cepat akrab dengan kawan baru
mereka. Hmm, jadi begitu ya?
Satu hari, dua hari, tiga hari, bahkan sudah tiga
minggu aku tidak berjumpa dengan Eric. Ia memang sempat menelponku, tapi itu
masalah baju yang ku pesan di butik Ibunya bulan lalu. Lalu setelah itu, ia
hanya mengirim pesan singkat saja. Tidak sebanyak dulu. Ada apa dengannya?
Apakah ia sudah memiliki kekasih baru? Atau mungkin kekasihnya itu sangat
cantik dan lebih ramah dibanding aku? Tapi mengapa ia tidak memperkenalkannya
padaku? Ia yang tampan berubah menjadi pria yang angkuh dan tidak peduli dengan
teman Asianya ini lagi. Ini membuatku carut marut.
Oh ya, bulan ini adalah bulan penuh kasih sayang. Ya,
bulan Februari, bulan dimana hari Valentine tiba. Awal bulan ini, semua toko
dan sepanjang jalan di kota Paris banyak terpajang hiasan berlambang hati dan
semuanya serba merah jambu. Kota ini memang kota penuh cinta, tidak salah
ribuan tiket pesawat habis terjual karena banyak sekali pasangan yang akan
menghabiskan hari Valentine mereka di kota ini.
Aku tidak tahu nasib percintaanku sama seperti
pasangan-pasangan yang sedang bahagia itu atau tidak. Mereka berlomba-lomba
memamerkan kemesraan mereka di kota ini di hari Valentine nanti. Terakhir aku
memiliki kekasih ketika aku kuliah di Jakarta dulu, ia sangat menyebalkan. Namanya
Juno. Ia mantan ketigaku, setelah dua orang sebelumnya juga yang membuatku
geram bukan kepalang. Sudahlah, masa lalu hanyalah masa lalu. Saat ini aku
tidak tahu aku harus berbagi kasih sayang kepada siapa. Kecuali Ibu Mira dan
kedua asistennya yang jika kalian mau tahu juga, kedua asisten beliau tersebut
juga sepasang kekasih. Mereka saling jatuh cinta karena cinta lokasi. Kedekatan
mereka di kantor membuat mereka menjadi sepasang kekasih di mabuk asmara satu
tahun belakangan.
Karena bosan, ku putuskan untuk berjalan-jalan
keliling pusat kota Paris seharian ini. Kebetulan sekali Ibu Mira memberikanku
waktu libur karena biasanya sering sekali beliau mendadak memintaku menemaninya
ke tempat A sampai Z di akhir pekan. Jadi daripada suntuk, lebih baik ku kecohkan
saja pikiranku dengan menikmati hari Sabtu yang cerah ini. Beruntung memang
kalau matahari bersinar cerah di tengah-tengah musim dingin seperti saat ini.
Aku pun memutuskan untuk berjalan kaki ditambah berkendara menggunakan moda
transportasi bus mulai dari L’Arc de Triomphe, Museum Louvre, Katredal
Notre-Dame, hingga almamater kampusku, Université Paris de Sorbonne, hingga
akhirnya aku mengakhiri perjalanan sore ini di Menara Eiffel. Aku berdiri
termenung melihat keindahan kota Paris dari kabin lantai 2 menara ini. Indah
sekali.
Tapi ketika sedang asyik melihat langit senja dari
atas menara megah ini, ada pesan masuk. Eric! Ya ampun, apa yang ia lakukan?
Menghubungiku lagi? Bukankah ia sudah bosan berteman denganku? Lalu mau apa
dia? Terakhir kali ia mengajakku jalan minggu lalu, tapi ku tolak karena urusan
pekerjaan. Apa isi pesan itu?
“Julie, aku minta
maaf jika beberapa minggu ini aku tidak menghubungimu. Andai kau tahu bahwa aku
harus mengurusi perusahaanku yang hampir bangkrut di Lille sepanjang minggu
ini. Aku juga minta maaf di studio pameran waktu itu, maaf aku mengabaikanmu.
Tapi ada satu hal yang harus ku katakan. Ini tentang diriku dan tentang dirimu.
Aku sudah tidak bisa lagi… Hmm, bagaimana kalau kau menemuiku tanggal 16
Februari jam 7 malam di taman menara Eiffel?
Ya Tuhan? Apa yang akan terjadi? Jangan buat aku
terlalu percaya diri, Ya Tuhan. Aku gugup!
BERSAMBUNG...
YS 20/4/2013
(Disunting
7 Juli 2020)
Comments
Post a Comment