DOUBLE YU SEASON 3 - Episode 5 : "Gara-Gara Double J"
Double Yu – Season 3
Episode 5 : “Gara-Gara Double J”
(Courtesy of Pinterest) |
Yureka.
Menjelang akhir tahun 2021. San Francisco. Masa Depan.
Butuh lima detik bagiku untuk bisa mengenali suara
itu. Suara dari seorang pria lokal usia kisaran 30an yang memanggil namaku saat
aku hendak berjalan menuju mobilku untuk menaruh baju bersih hasil mencuci
bersih di coin laundry tadi. Ku
balikkan badanku ke arah berlawanan. Berputar secara perlahan seakan tidak
ingin tebakanku benar. Sepanjang memutar badan ke sumber suara, aku masih
berharap tebakanku salah. Tapi sebaliknya. Ya, bagaimana tebakanku tidak benar kalau
pemilik suara itu adalah Jamie, tetangga apartemen sewaktu di New York dulu.
“Jamie? Oh my
God! Jamie? Really? Is that you?”, jawabku histeris
“Yeah. Yureka!
Oh Lord, is really you!”, sahut Jamie langsung memeluk.
Kami pun berpelukan sebagai tanda melepas rindu.
Jangan khawatir, di negara barat memang begini cara menyapa seseorang apalagi
orang itu sudah sangat kita kenal. Ya, pasti tidak kaget lah kalau sering
menonton film barat. Apapun itu, jauh di lubuk hatiku, aku bergetar seiringan
dengan membeku dan kelunya lidah ini untuk mengeluarkan kata-kata baru demi
membuat percakapan yang berkelanjutan dengan pria occidental ini.
[klik disini untuk baca episode 4-nya]
[klik disini untuk baca episode 4-nya]
Jujur, aku merasa aku belum siap bertemu dia lagi.
Hey, siapa juga yang sudah siap bertemu seseorang yang telah lama kita kenal
yang saat bertemu sedang membawa keranjang cucian. Tapi aku rasa bukan hanya
itu. Oh Tuhan, jangan katakan karena belum lama ini aku menulis nama Jamie di
buku harianku dan Kau mengirimnya ke San Francisco agar dapat bertemu denganku?
Terlebih saat itu aku tidak banyak menulis apapun tentang dirinya. Meskipun
beberapa hari setelahnya aku selesaikan apa yang masih mengganjal di lubuk hati
ini akan kekagumanku padanya di zaman itu, tapi rasanya pertemuan ini masih
sangat aneh untuk dialami. Kecambah tahu bulat! Ini jelas bukan romantis, tapi
ini jelas bukan hal yang aneh juga. Ah masa bodoh!
Bukan Yureka namanya kalau tidak bisa mencairkan
suasana. Jadi setelah berpelukan dengan Jamie, aku memutuskan untuk membuka
percakapan baru yang mana sambil berusaha agar dapat menghindari
percakapan-percakapan yang bisa menghanyutkanku. Ya, hati manusia siapa yang
tahu.
“Wow. It’s
been forever, right? How are you?”, tanyaku basa-basi.
“Great. I’m
super great. How you’re doing?”, jawab Jamie dan bertanya kembali mengenai
kabarku.
“I am doing
great too. Wow. How come? How come we meet here? What are you doing here?”
“Well, I’m
spending my Christmas holiday here. For couple weeks.”
“Why San
Francisco?”
“You don’t
remember? My brother lives here.”
“Yeah, right!
Your brother. Oh Dear God, I almost forgot! Yeah. That time when you met my
boyfriend and said that you were going to see your brother. And it’s San
Francisco”
“Speaking of
boyfriend. Is he still… that one? Uhm, Eugene?”
“Yeah. Still
the same person. But different status”, jawabku sambil memamerkan jari
manisku yang dihiasi cincin kawinku.
“You’re
engaged?! Cool!”
“Come on”
“You… you’re
married then?”
“As you can
guess. The second one.”
“Really? Oh my
God, congratulation! I am so happy for you!”
“Thank you”,
dan Jamie memelukku lagi. Oh Tuhan, kuatkan aku!
Karena cuaca kala itu agak mendung dan berangin, aku
mengajak Jamie ikut makan ke In-N-Out. Selain supaya tidak akan kehujanan atau
kena angin SF yang kencang, karena saat itu aku sudah tidak bisa lagi menahan
lapar yang mendera ini.
Di mobil pun kami membuka sesi percakapan lagi. Kali
ini ia bertanya mengapa aku bisa sampai ke San Francisco. Aku pun menjawab
kalau aku sekarang tinggal disini untuk jangka waktu yang cukup lama karena
memutuskan untuk ikut Eugene yang sudah diterima bekerja disini. Mau tahu apa
reaksinya Jamie? Dia bilang, “That’s
cool! Now you’re here, I also very often to go to SF cause my brother lives
here. So, I could come to San Francisco anytime I want.”
Sambil tertawa, aku hanya merespon, “Hahaha. Exactly. That’s pretty good idea.”
Jujur, itu tertawa tergetir yang pernah aku buat.
Aku bahkan tidak tahu apakah aku harus senang atau berduka. Apapun itu, aku
harus kuat. Semoga ini tidak menandakan pertanda apapun. Percayalah, Yureka,
tidak akan terjadi apa-apa.
Sepanjang sisa perjalanan ke In-N-Out, aku dan Jamie
hanya membicarakan hal-hal seputar kabar kami dan apa saja yang telah kami
lakukan selama kami tidak bertemu. Masih sama seperti dulu, Jamie masih bekerja
di restoran Italia bernama Vapiano. Tapi bedanya, selain jadi koki dan
kadang-kadang jadi waitress, dia
sekarang juga punya posisi yang menarik, yaitu jadi manajer operasional untuk
urusan supply bahan makanan. Ini berkat
dedikasinya yang sudah hampir 10 tahun bekerja di restoran Vapiano. Memang sih
General Manager-nya itu kebetulan anggota keluarganya sendiri, tapi terlepas
dari itu Jamie memang pekerja yang rajin dan ulet. Makanya, dia layak mendapat reward itu.
Jujur aku sangat mengapreasi kerja keras Jamie itu.
Mungkin karena aku cukup tahu milestones-nya
Jamie, jadi aku sangat salut dengan apa yang telah ia raih sekarang. Jadi
begini, jadi kalau mau tahu, zaman dahulu kala, dulu sekali, Jamie ini seorang
pecandu alkohol dan merokok marijuana saat masih duduk di bangku SMP. Dia
bahkan pernah dikeluarkan dari sekolah sewaktu SMP karena ketahuan membawa dan
menghisap marijuana ke sekolah. Ngomong-ngomong marijuana itu ganja ya. Jadi,
pasti tahu lah mengapa bisa dikeluarkan dari sekolah.
Setelah dikeluarkan, bukannya jera, dia malah
bertingkah lebih kriminal. Dia dan beberapa temannya menjual marijuana ke
beberapa orang di kotanya. Oh ya, Jamie ini bukan asli orang New York, tapi
lahir dan besar di Detroit. Kemudian ia merantau ke New York untuk mencari
kehidupan baru yang lebih baik.
Meneruskan cerita soal dirinya yang menjadi pelaku
kriminal di masa lalu, Jamie pernah mengaku kalau ia awalnya hanya iseng
menjual marijuana karena ia dan teman-teman se-gank-nya ingin ke Las Vegas dan
untuk main kasino disana. Benar-benar bandel. Belum laku jualannya, ia dan
teman-temannya sudah keburu tertangkap polisi dan ya pasti sudah tahu ending-nya. Dia di penjara selama
beberapa bulan di penjara anak-anak di Detroit. Impian ke Las Vegas pupus, masa
depannya pun ikut terancam.
Ia pernah bilang kalau ia melakukan ini semua karena
ia memang bandel dan rebellious.
Kalau dilihat dari kondisi keluarganya, ia bukan anak yang broken-home atau korban kekerasan orang tuanya. Ia melakukan itu
karena lingkungan yang membuat dia seperti itu. Ditambah keinginan ayahnya
untuk masuk militer yang tidak pernah ia wujudkan. Bukan karena tidak ingin
menghargai keinginan dan harapan orang tuanya, melainkan ia hanya ingin menjadi
seorang koki profesional seperti cita-citanya yang sederhana yang ia genggam
sejak ia kecil.
Meskipun ibunya Jamie adalah seorang karyawati di
toko roti di Detroit, tapi bagi ayahnya Jamie, laki-laki menjadi koki itu tidak
manly, tidak maskulin. Jadi, akan
lebih baik kalau ia tidak masuk ke bidang kuliner. Aku sempat heran sih memang
ada yaa orang barat yang berpikiran demikian. Kan mereka tinggal di negara
maju, kenapa bisa begitu? Tapi memang tidak heran karena ayahnya Jamie sendiri
memiliki ambisi kuat untuk memasukkan anak-anaknya ke bidang militer karena
kakeknya Jamie (ayah kandung bapaknya Jamie) adalah seorang veteran militer Amerika
yang pernah turun ke medan perang Vietnam di tahun 1965. Ayahnya Jamie tidak
bisa meneruskan karir ayahnya itu karena ayahnya didiagnosis penyakit tertentu.
Hmm, Jamie tidak bisa menyebutkan detail tapi intinya ayahnya itu punya
penyakit tertentu yang tidak bisa membuatnya masuk sekolah militer. Oh ya,
kalau tidak salah ayahnya Jamie juga punya kelainan buta warna. Jadi, tentu
pupus lah harapannya untuk menjadi militer seperti kakeknya Jamie.
Dari situ, ayahnya Jamie secara tidak langsung
memprospek dirinya masuk militer sejak dini. Memang sudah dasarnya pembangkang
dan bandel, Jamie pun punya cara tersendiri untuk tidak mengiyakan keinginan ayahnya,
salah satunya dengan melakukan kenakalan-kenakalan di sekolah. Awalnya iseng,
tapi lama-lama kenakalan itu malah jadi kebiasaan dan berdampak buruk untuk
Jamie. Ditambah, lingkungan sekolah dan rumahnya juga banyak pemuda-pemuda yang
bandel-bandel juga. Semakin fix saja
lah Jamie jadi anak bandel. Aku ingat betul pernyataannya di New York dulu yang
berkata begini kalau dalam bahasa Indonesia “Saking tidak inginnya aku masuk
militer, aku yang awalnya mencoba untuk membuat bad record di mata ayahku, malah jadi orang yang punya criminal record, bahkan untuk diriku
sendiri. Dan aku harus menanggung semuanya sekarang.”
Ya, Jamie sudah taubat. Setelah keluar dari penjara,
dia memutuskan untuk homeschooling
sampai lulus SMA. Dia memang masih bisa mendapat ijazah SMA karena ikut ujian
kesetaraan, tapi agak sulit baginya untuk meneruskan studi ke level yang lebih
tinggi, entah itu Community College yang setara D3 ataupun University dengan
gelar sarjana. Maka dari itu, setelah mendapat ijazah kesetaraan, dia memutuskan
untuk merantau ke banyak tempat, seperti ke Chicago, Milwaukee, Pittsburgh,
Philadelphia, hingga akhirnya bertahan di New York selama kurang lebih 10 tahun
kalau dihitung hingga saat ini.
Banyak pekerjaan yang dia coba demi bisa bertahan
hidup, mulai dari bekerja jadi tukang potong kayu, tukang kebun yang
bersih-bersih taman kota, janitor alias tukang bersih-bersih dan penjaga di
sekolah-sekolah publik, hingga pelayan restoran termasuk di Vapiano itu. Tapi
dia juga akhirnya bisa jadi koki karena diberi kepercayaan oleh GM restoran itu
untuk mencoba hal baru. Sangking senangnya dia mendapat kesempatan itu, Jamie
sampai rela setiap pagi bolak-balik Manhattan-New Jersey naik mobil untuk ambil
kursus memasak selama 6 bulan. Hasil ketekunan itu lah dia diangkat jadi
asisten koki di Vapiano. Ya ampun kalau bicara soal Vapiano, aku masih ingat
betul kejadian di restoran waktu itu. Restoran tempat aku dan Eugene bertengkar
karena aku berbohong padanya. Restoran yang kupikir namanya Giano, dan kupikir
Jamie bekerja di Giano bukan Vapiano. Baiklah, lupakan itu.
Aku memang menyadari aku dulu menyangkal bahwa aku
menyukainya bukan hanya karena dia bule, tapi juga cerita yang tadi. Cerita
tentang rekam jejaknya di masa lalu yang dihiasi dengan tindak kriminal itu.
Meskipun demikian, aku masih berempati dengan apa yang terjadi dengan Jamie
tapi juga mengapresiasi usahanya untuk berubah. Dia pun membuktikan kalau
dirinya sudah berubah total dan bertanggung jawab untuk hidupnya sendiri.
Bahkan dia sampai berhasil mencapai prestasi yang baginya malah tidak layak untuk
mendapatkannya.
“Hey, don’t
worry. You deserve it. You deserve to all efforts you’ve striving for. That’s
why we call it a reward. Whoever you are in the past, we, the people in the
now, we don’t give a fuck. So, get over it and be a new version of yourself for
now and forever ahead.” Hanya itu kata-kata yang bisa aku lontarkan pada
Jamie sesaat setelah sampai di depan kedai In-N-Out. Aku harap ini hanya
motivasi belaka. Jika ini dapat dipahami.
“Thank you,
Yureka. Gosshh, you never changed!”
“Hahaha. I am
changed. To be better, I hope. Alright. We’re here. In-n-out, which I never
tried forever.”
“Boo!”
“Come one.
They don’t have any in New York”
“I know. Come
on, let’s go inside”
Oh ya, In-N-Out adalah restoran cepat saji dengan
menu andalan burgernya. Restoran ini sangat terkenal di Amerika dan sudah
menjadi budaya tersendiri. Aku jujur tidak pernah mencicipinya karena franchise ini hanya tersebar di beberapa
negara bagian saja seperti Arizona, Nevada, Oregon, Texas, Utah, Colorado,
termasuk di ‘tanah kelahirannya’ di California. Jadi semacam wajib hukumnya
kalau berkunjung ke-7 state tersebut dan
mampir ke In-N-Out untuk mencicipi si “Double-Double” yang menjadi signature menu-nya.
Sambil mencicipi Combo Menu dari Double-Double milik
In-N-Out, percakapan dengan Jamie semakin asyik. Aku percaya percakapan yang
seru ini karena aku telah memaafkan diriku sendiri atas ketidaknyamananku pada
Jamie waktu di New York dulu. Jujur, meskipun dulu aku sering ngobrol dengan
Jamie, tapi kami tidak pernah seakrab ini. Mungkin efek lama tidak bersua juga jadi
ada saja hal yang bisa dibahas. Dan aku masih berharap aku tidak melakukan hal
berisiko lainnya. Mengingat aku yang pernah naksir dia. Ingat Yureka, kamu
sudah menikah dengan pria idamanmu. Jaga hatimu.
“What would
you thinking when you see or eat a burger?”, tanya Jamie.
“A movie
called ‘Harold & Kummar’”, jawabku penuh burger di mulutku.
“I agree!”,
sahut Jamie sambil melakukan hi-five
denganku.
“Right? Like…
who doesn’t know that movie? I mean, a signature scene was only when they were
eating a ton of burger, all by themselves.”
“And
seriously, I was craving burger after I saw that movie”
“Yeah, right?”
“Anyway, you
always relate anything to a movie. Oh, I was wrong. You’re changed, but except
that one”
“Sorryyy. But
that what I came up with. Don’t blame me. That’s why I came to New York City
that time. Study film in screenwriting program.”
“Alright”
“And also… You
know what? When you called my name in front of the coin laundry, it also
reminded to a movie too. But I don’t know if you know the film or not”
“Tell me then”
“It was Ben
Stiller and Malin Akerman. It’s ‘The Heartbreak Kid’. It’s not that popular I
guess, but as you know, I am a goddess of romantic comedy film”
“Hahaha, I
agree. Well, I don’t know the movie. Maybe I know, but I think I never seen the
movie before”
“It’s about a
guy who try to cheat on his wife because he met a girl in the… I don’t really
remember where it was, but he keeps making an untruth story both to his wife
and to the girl. So, he’s obviously in trouble.”
“Hmm, playing
affair in a relationship is still happening in the neighborhood”
“I don’t agree
but it’s true, still. I mean, who would cheating on their partner if they have
already taken a vow and promise to each other to be together forever? That’s
literally a trouble. I will try to not cheating on Eugene. He’s perfect and I
don’t want to do that”, ucapku lantang dan meyakinkan.
“You really
love your boyfriend? Hmmm, sorry, I mean now, he’s your husband”
“Hahaha. It’s
okay. Yeah, I do. Eugene is so great. He’s a very great man I couldn’t ever
leave off. Oh come on. What kind of conversation is this? Changing subject,
please!”
“Uhmm.
Speaking of movie, how about we go to cinema and watch a movie?”
“When? Like
today?”
“Anytime. I will
stay here after Christmas anyway. I will spend New Year’s Eve in the big apple”
“What a
traditional guy you are! Celebrating New Year’s Eve in New York. I mean, you
must find somebody to kiss you with the ball drop, won’t you?”
“You gotcha”
“I knew it”
“So, yes or
no?”
“Hmmm…”
“Come on.
Don’t say no or make another lie again like what you did in New York. We are
all new and changed and trying to keep being good friends. Aren’t we?”,
ujar Jamie meyakinkanku untuk tetap menjadi teman walau ku sudah ada yang punya
saat ini.
“Yeah, I know.
Hmmm. Alright! I can do that. How about tomorrow?”
“Tomorrow’s
perfect”
$$$
Sesampainya di rumah, aku sempat bersandar sesaat di
pintu depan. Tidak lain memikirkan apa yang aku lakukan hari ini. Memang tidak
ada apa-apa sih, tapi rasa khawatirku semakin menguat dan menuju puncak.
Bagaimana kalau terjadi sesuatu denganku dan Jamie. Duh, amit-amit! Ayolah
Yureka, kamu sudah bersuami dan Jamie hanyalah mantan tetangga biasa. Meskipun
kamu pernah menyimpan rasa kepada Jamie hanya sesaat, tapi anggap saja rasa itu
hanyalah yogurt yang disimpan di kulkas yang masa kadaluarsanya tidak lama jadi
mau tidak mau kamu harus menghabiskannya atau buang saja supaya lenyap.
$$$
Eugene. Menjelang
Natal 2021. New York. Masa Depan.
Astaga. Gue baru aja ciuman sama Jessica! Shit!
Masih ingat Jessica? Itu loh, asisten dosen gue yang
orang Indonesia yang sempet tinggal di apartemen Yureka gantiin Salima yang
pindah ke Boston. Btw, gue lagi di NY
lagi nih. Gue ada kerjaan disini selama 1 minggu. So pasti gue excited
karena ini business trip pertama gue
semenjak kerja di IA Interior and Architecture SF. Beberapa waktu lalu kita ada
deal dengan salah satu klien yang
berbasis di NY. Jadilah, gue dan 3 kolega lainnya terbang ke NY buat project meeting sama klien.
Excitement ini melebur jadi sebuah masalah yang luar biasa
ketika ketemu Jessica. Entah yaa gue pernah cerita atau belum tapi dulu gue
pernah ada affair sama Jessica. Hmm
sebenernya nggak sengaja gue selingkuh sama Jessica waktu lagi LDR sama Yureka
New York-Jakarta waktu jaman pacaran dulu. Waktu kejadian itu gue yang lagi
super-duper depresi gara-gara kerjaan. Momen chaos itu malah dimanfaatin sama Jessica buat deketin gue. Ya,
Jessica emang pernah ngaku kalau dia sempet naksir tapi berhubung waktu itu gue
udah sama Yureka dari lama, yaa nggak mungkin juga lah. Intinya Jessica ngajak
gue ke pub buat have fun.
Have fun sih have fun,
tapi ujung-ujungnya gue drunk dan
nggak control sampe akhirnya gue cipokan sama Jessica dan pokoknya nggak sadar
gue udah di apartemennya dia. Mending banget kalo ditaro di ruang tamu, gue
dibopong sama Jessica dan ditaro di kamarnya! Amsyong emang tuh orang!
Untungnya sih gue nggak di apa-apain. Maksudnya, kita berdua waktu itu nggak
sampai ada adegan ranjangnya segala. Tapi yang gue inget gue emang ciuman
berkali-kali gitu sama Jessica. Pokoknya hari itu adalah hari terburuk gue! Dan
hari buruk itupun terulang kembali. Tapi kali ini nggak pake mabok-mabokan. Ya
iyalah, belajar dari pengalaman juga kali.
Eh tapi gimana ceritanya gue bisa ketemu lagi sama
Jessica?
Jadi ceritanya, gue emang sengaja mau main ke
almamater kampus, Columbia University, buat ketemu beberapa dosen yang masih
ngajar disana. Alhamdulillah hampir semua dosen yang pernah ngajarin gue
termasuk thesis advisor alias dosen
pembimbing tesis gue masih ada disitu. Ya gitu biasa lah, say hi, silahturahim sama orang-orang yang berjasa di hidup gue pas
di Columbia dulu. Seneng banget bisa ketemu beliau lagi. Oh yaa namanya Ruth.
Nah di pertengahan obrolan gue sama Ruth, tiba-tiba Ruth bilang gini “Hey, kamu
masih ingat Jessica? Yang orang Indonesia itu? Dia sekarang udah diangkat jadi
dosen tetap loh. Saya sering ketemu dia kalau ada curriculum meeting atau occasion
lainnya. Kamu nggak mau ketemu dia juga?”
Karena Ruth pasti nggak tahu ada sejarah nggak
menyenangkan antara gue sama Jessica, yaa gue jawabnya dengan ramah dan bilang
“Oh yaa? Wah keren banget. Yaa boleh juga. Tapi aku akan lihat dulu jadwalku. Mungkin
kalau terlalu padat, aku akan hanya say
hi aja lewat whatsapp. Aku masih punya nomornya kok”. Yaa, intinya
basa-basi supaya gue nggak bakal ketemu dia.
Tapi setelah dipikir-pikir kok gue jahat juga yaa
kalau nggak sampe ketemu Jessica. Toh, gue udah maafin kesalahan gue dan
kesalahan dia kok. Meskipun emang berat, tapi gue nggak mau putus silaturahmi
sama orang lain. Apalagi yaa dia juga orang Indonesia, sodara sendiri lah
istilahnya. Awalnya emang agak berat buat ngabarin. Tapi nggak ada salahnya juga
kok. Siapa tahu dia udah punya cowok, jadi gue aman juga lah.
Setelah itu gue Whatsapp Jessica dan bilang gue lagi
ada di NY selama beberapa hari. Intinya gue bilang kalau bisa ketemu, gue
pengen silahturahmi. Tapi di dalam hati gue berdoa semoga nggak bakal
kenapa-kenapa kalau gue ketemu Jessica lagi. Ya Allah, Eugene murni niat ketemu
Jessica buat silahturahim, bukan buat yang lain. Kuatkan iman Eugene, Ya Allah!
Singkat cerita, dua hari setelah itu kita ketemuan.
Soalnya posisi hari Sabtu dan dia available
di hari dan tanggal itu. Awalnya cuma mau ketemu, eh malah akhirnya gue jadi
nemenin dia belanja keperluan natal di Macy’s. Wah emang tuh tempat surga
banget buat pernak-pernik Christmas. Nggak berubah yaa ternyata. Hahaha. Yaa
meskipun gue nggak ngerayain natal, tapi masuk ke tokonya buat liat-liat plus
nemenin orang belanja nggak masalah kan?
Sepanjang nemenin Jessica belanja, tentu ada banyak
topik perbincangan diantara gue sama Jessica. Mulai dari kabar NY beberapa
tahun terakhir gimana, Columbia sistemnya kayak apa sekarang, dan masih banyak
lagi. Setelah diliat-liat, ternyata Jessica lebih kalem sekarang. Agresifnya
dia agak berkurang dibanding yang dulu. Yaa, semakin tua emang harusnya semakin
bijak dan dewasa, ya kan?
Setelah dari Macy’s, gue sama Jessica mampir ngopi
di salah satu kafe deket-deket situ. Sekalian lah menghangatkan diri dari
dinginnya musim dingin New York yang waktu itu sekitar 10 derajat. Setelah
sekitar 1 jam ngafe, gue mutusin buat balik ke Airbnb gue. Ternyata Airbnb gue searah
ke arah apartemennya Jessica. Eh btw, Jessica udah pindah apartemen, udah nggak
di tempat Cassandra lagi. Tapi kata Jessica si Cassey masih disitu. Tapi
denger-denger dia mau pindah juga karena bentar lagi mau married sama pacarnya. Akhirnya nikah juga tuh anak. Lama amat
pacarannya sumpah. Ada kali 10 tahun. Yaa namanya juga orang bule. Hahaha.
Jessica pindah juga bukan tanpa sebab. Dia mau cari
yang lebih deket ke Columbia biar enak kalau berangkat kerjanya. Akhirnya dia
dapet di Harlem. Hmm, tahu deh banyak apartemen murah disitu. Ketahuan banget
cengli nih anak. Hahaha. Anyway,
bangga juga sih karena di apartemen yang baru dia tinggalin setahun belakangan itu,
ternyata dia tinggal sendiri alias nggak sharing
room lagi. Hmmm berarti dia udah afford
buat nyewa apartemen sendiri. Keren lah pokoknya.
Nah karena searah sama lokasi Airbnb gue di Sugar
Hill, akhirnya gue mutusin buat nganter Jessica ke apartemennya. Kasian juga soalnya
belanjaannya banyak banget. Yaa gapapa lah niat gue juga cuma nganter doang kok.
Tapi kayaknya gue emang nyesel nganter dia ke
apartemen. Soalnya pas di dalem kamar apartemennya dan sesekali bantuin dia
beresin box-box Christmas decoration-nya,
gue merasa si Jessica ‘take it for
granted’ lagi nih. Eh bener. Pas lagi pasang lampu di pohon natal, Jessica pelan-pelan
deketin gue, physically. Gue mencoba
buat menghindar tapi entah magic
darimana gue nggak bisa gerak sama sekali. Inchi demi inchi dia bergerak ke
arah gue. Daaann… akhirnya Jessica mencium gue yang kedua kalinya! Astagfirulloh
Ya Allah maafin Eugene! I sware it wasn’t
my will, at all!
Tapi begonya juga, pas Jessica nyium bibir gue, gue
nggak bisa bergerak dan malah menyambut baik ciuman itu. Oh shit! Jujur, gue nggak ngerasa apa-apa. Yaa lu tahu lah maksud
gue. Gue udah punya istri dan ciuman istri gue lebih ‘ngena’ dibanding orang
lain. Tapi gue cuma heran kenapa gue nggak bisa gerak dan atau mencpba menghindar
pas Jessica manfaatin kesempatan itu? I was
really stupid!
“Sorry, Jin. Sorry banget”
Gue cuma bisa terdiam dan membeku. Begonya lagi
malah tatap-tatapan.
“Gue cuma pengen tahu gue masih ada rasa atau nggak
sama elu. Sorry banget. Gue tahu lu udah married.
But, I still have big wonder, how does it
feel. It feels the same like we used to did that time.”, ucap Jessica penuh
penyesalan.
“Maksudnya lu masih ada rasa sama gue gitu, Jes?”
“Hmmm, iyaa, Jin. Gue coba buat move on dengan cari cowok lain, tapi… jujur gue agak broken-hearted gitu pas tadi siang lu
cerita lu udah married sama Yureka. But because you’re here, and I just wanna
figure out is the feeling still there or not? Well, little bit actually”
Daripada nggak sanggup, gue akhirnya pamit pulang ke
Jessica. Mau diterusin atau nggak curhatannya itu yang penting sekarang gue
nggak mau memperkeruh suasana hatinya. Entar kayak dulu lagi. Ada yang kalut,
eh trus dimanfaatin dsb dsb. Duh jangan deh. Beneran. Pasti gue bakal jauh
lebih nyesel.
“Hmmm Jes, I
think I should probably be going now. If you need a person to talk to, you can
call me, but later when you’re already feeling okay. And, for these whole things,
I’m sorry I couldn’t. I couldn’t do anything more, Jes. Hmm, gue balik dulu
ya. Yang sabar, Jes”
Empat puluh detik kemudian, gue keluar dari
apartemennya Jessica yang ada di lantai 5 itu. Tinggi juga dia dapet
apartemennya. Mana lift-nya lagi nggak bisa dipake pula, akhirnya gue turun
lewat tangga dengan keadaan gue yang tiba-tiba mual pengen muntah.
Dan bener dong, di luar gedung apartemen, gue muntah
sejadi-jadinya. Gue nggak tahu ini efek dicium Jessica atau gimana tapi gue
bener-bener mual banget. Dan entah darimana sepanjang perjalanan ke stasiun,
gue meneteskan air mata. Yee, jangan salah emang cowok nggak boleh nangis?
Boleh lah. Natural kok.
Ya, gue nangis karena ngerasa gue udah bener-bener
jadi cowok yang nggak guna dan buaya banget buat Yureka. Gue udah broke my promise to keep our love in a faith.
Sorry, Sayang. Sumpah ini bakalan jadi kejadian terakhir dan nggak akan pernah
keulang lagi. Tapi tunggu, gue nggak mungkin ngasih tahu istri gue sekarang
kan? Pasti dia langsung pingsan atau semacamnya. Secara dia sendirian di rumah.
Gue nggak mau ganggu mood-nya. Biarin
gue keep ini dulu sampe gue pulang ke
SF.
$$$
Yureka. San
Francisco. Hari yang hujan. Masa Depan.
Untung ada Jamie yang mau mampir ke rumah. Jadi hitung-hitung
aku tidak sendirian dan kesepian di rumah. Kemarin setelah nonton, Jamie bilang
mood-nya dia sedang bagus untuk masak. Akhirnya dia ada ide untuk masak kue di
rumahku. Kalau dulu dia keranjingan memberikan pie coklat ke apartemenku yang
dia peruntukkan buat Cassandra tapi malah tetap aku yang makan, sekarang
keahliannya bertambah, dia jadi bisa bikin brownies sendiri. Easy homemade recipe katanya.
“Hey wait, you
don’t put ash on it, do you?”
“Uhm excuse
me? It doesn’t mean I have had smoked marijuana, then I put some of them into
this amazing brownies dough. Of course not. Or maybe little bit”
“Noooo.
Please. Hahaha”
“Joking,
Yureka”
Kami pun tertawa bersama ditengah aroma coklat dari
adonan brownies yang sudah cukup menggiurkan itu.
Setelah adonan selesai, Jamie menaruhnya di dalam
oven dan katanya membutuhkan 20 menit sampai matang. Sambil menunggu matang,
aku dan Jamie malah sing along together
dengan cara bertukar playlist di
Spotify. Ternyata anak ini juga suka musik R&B sepertiku. Keren.
Kecanggungan yang aku khawatirkan sirna semua. Fix, kami akan jadi teman baik selamanya. Maafkan aku yang pernah
menghindarimu yaa, Jamie. Aku janji aku akan jadi teman yang baik untukmu.
Setelah matang, browniesnya dipotong-potong dan diletakkan
di atas piring khas Christmas. Meskipun tidak merayakan Christmas tapi karena
di Amerika ini sudah jadi tradisi tersendiri, jadi tidak ada salahnya aku beli
beberapa perabotan yang bernuansaa Christmas. Kebetulan baru aku beli beberapa
hari lalu, tepatnya sebelum bertemu Jamie di coin laundry waktu itu.
Menikmati brownies hangat ditambah dengan teh melati
yang aku bawa dari Indonesia, memang tidak pernah salah. Sungguh nikmat!
Apalagi di luar kebetulan sedang hujan. Menambah nikmatnya suasana. Hmmm, tapi
suasana berubah pilu setelah aku melakukan sebuah kesalahan dan dosa besar yang
tidak pernah aku lakukan bahkan aku bayangkan sebelumnya.
Ketika playlist
musik sedang memainkan lagu “I Remember” milik penyanyi cantik dan bertalenta
Kelly Rowland, suasana berubah agak lebih…. Apa yaa menyebutnya? Romantis?
Bukan, bukan itu. Yaa pokoknya tiba-tiba vibe jadi berubah lebih chill dan relax. Meskipun lagunya upbeat,
tapi ritme musiknya tergolong halus dan slow.
Jadi, memang cocok untuk menemani kita disaat hari hujan plus melengkapi moment
makan brownies seperti ini.
Kemudian entah dari mana ceritanya, Jamie yang
memang sejak awal duduk di sebelahku –kebetulan kami duduk di sofa ruang tamu-
tiba-tiba bergeser ke arah ku dan semakin dekat. Aku mencoba menghindarinya
tapi tidak bisa. Oh Tuhan tolong aku!
Benar saja, kekhawatiranku terjadi. Aku yang awalnya
tidak bisa bergerak kemana-mana malah memanfaatkan kesempatan itu. Tidak lama
kemudian, aku dan Jamie berciuman! OH
NOOOOO! Tapi bukan Jamie yang duluan menciumku. Ya, aku yang lebih dulu
menciumnya. I just fucked up my life!
Shit!
“I am so
terribly sorry!”, ungkapku menyesal.
“Wait. You
married… but why?”, tanya Jamie kebingungan.
“I…. if you
wanna know. I actually…. I have had ever crushed on you… that time. But it was
just short and I always denied my feelings for you. So…”
“So… why you
kissed me?”
“I just want
to know how it feels. That time, back then, I was wondering how does it feel
being kissed by somebody. I haven’t met Eugene so when I knew that you were
kinda approaching me, I actually wait for the chance. You know… you are the
western guy whatsoever. And I kinda hoped that you could kiss me or somewhat.
But I realize that it was wrong. And this is all wrong too! So, I am so much
sorry, Jamie. I really apologize”
Jamie hanya terdiam dan sempat menundukkan kepalanya
dalam durasi yang cukup lama. Sambil menggaruk kepalanya dengan kedua telapak
tangannya, dia masih terdiam. Tapi beberapa saat kemudian, dia mengatakan
sesuatu bahwasanya dia sangat mengerti perasaanku yang kala itu mengagumiku,
sekaligus menerima permintaan maafku. Tapi dia sangat mengerti bahwa aku sudah
bersama Eugene, jadi Jamie berharap aku bisa melanjutkan hidupku tanpa merasa
bersalah atau penasaran lagi dengan semua urusan hatiku kepadanya. Beruntungnya
Jamie masih mau berteman baik denganku. Hanya saja aku yang jadi tidak ingin
bertemu dia lagi. Bukan karena takut tidak bisa move on, tapi aku malu telah berbuat hal itu kepadanya.
Sebelum Jamie pergi meninggalkan apartemen, aku
katakan padanya bahwa kami harus ‘take a
break’ sejenak supaya kejadian ini bisa melebur dengan sendirinya dimakan
waktu. Ketika kami akan bertemu lagi, kami sepakat untuk tidak membahas hal itu
lagi. Jamie menyetujuinya. Lalu ia pergi kembali ke rumah kakaknya untuk
merayakan Natal yang sebentar lagi akan datang.
$$$
Katakan atau tidak ya ke Eugene?
Kalau aku tidak mengakui kejadian kemarin, aku akan
setengah mati penasaran. Tapi kalau aku jujur kepadanya, bisa jadi pernikahanku
diambang perceraian. Jadi, harus jujur atau tidak?
Baiklah aku harus jujur ke Eugene. Aku tidak ingin
hidup dibawah bayang-bayang dosaku sendiri. Meskipun risikonya cukup besar.
Lalu aku buka smartphone-ku
dan berniat menelpon Eugene kala itu juga.
Tapi tidak diangkat. Kemana yaa Eugene? Ini kan
sudah malam. Tapi baru jam 10, masa sudah tidur. Duh jangan-jangan dia bisa
merasakan apa yang telah terjadi disini.
Hmmm, sepertinya aku harus mengurungkan niatku untuk
mengatakan kejadian tadi kepada Eugene via telepon. Aku tidak mau seperti Carrie
yang mengaku kepada Big kalau ia telah mencium Aidan ketika mereka bertemu di Abu
Dhabi. Ya, kejadian ini sama persis seperti film Sex and The City the Movie 2.
Carrie pernah ada history dengan
Aidan dan ketika bertemu Aidan lagi di Abu Dhabi, mereka tidak sengaja saling
berciuman. Lalu Carrie ingin jujur kepada Big karena tidak ingin menyimpan
semua itu yang ujung-ujungnya akan menjadi beban baginya. Akhirnya malam itu
juga, Carrie menelpon Big dan mengatakan semuanya. Reaksi Big menjadi tidak beraturan.
Dibalik sosok Big yang kuat, dia tetiba menjadi rapuh ketika mendapati bahwa
istrinya telah berciuman dengan orang lain, terlebih adalah mantan pacarnya
sendiri. Terlebih istrinya sendiri yang menceritakan itu semua.
Oke, aku tidak akan menelpon Eugene sekarang tapi
aku harus tetap memberi tahu Eugene tentang kejadian tadi ketika Eugene pulang
nanti.
$$$
Beberapa hari kemudian, si Tuan Suami pulang dari
perjalanan bisnisnya di New York. Setelah menjemputnya di Bandara SFO, kami
langsung pulang ke rumah karena aku sudah menyiapkan makan malam untuk kami
berdua. Aku masa bebek goreng kesukannya. Ampun yaa harga bebek mahal sekali di
Amerika. Tapi demi bisa melancarkan strategiku untuk membuat pengakuan
kepadanya, aku rela uang belanja dari Eugene kuhabiskan untuk makan malam kali
ini. Ya, besok bisa minta lagi. Yang penting aku buat mood Eugene bagus dulu.
Appetizer dengan salad
dressing selesai, main course
bebek goreng juga sudah pindah ke perut, waktunya dessert. Aku membuat yogurt dengan campuran buah-buahan segar
seperti peach, stroberi, dan blueberry. Yes, Eugene suka sekali dengan ketiga
buah ini. Jadi aku harap ini adalah menu spesial yang termaksimal untuknya
untuk bisa punya mood bagus agar siap lahir batin menerima kabar mencengangkan
dariku.
“Sayang… I
wanna say something”, ujarku membuka percakapan baru.
“What is that?
Is that something surprising?”, tanya Eugene membuatku makin gugup.
“Hmmm
technically.”
“Kamu kenapa keringetan gitu? Ada apa sayang? Uang
belanja kurang?”
“For that,
that was my mistake belanjain bahan-bahan buat makan bebek kita malam ini.
Hehehe. Anyway, I want to make a
confession. I hope you’re okay with this.”
“Kok jadi serem gini, Yang. Kenapa sih?”
“Please don’t
be mad. Well, be mad, but don’t do other things like, separate with me or
something”
“Sayang, what
happens? What happened?”
“… I kissed
someone…”
Eugene terdiam tapi reaksinya tidak menunjukkan
reaksi yang aku khawatirkan. Beberapa detik kemudian dia menjawab,
“I kissed
somebody too…”
“Huh? With
who?”
“Jessica…”
“Oh Dear Lord…
Holy moly”
“I know,
Honey. I can explain it”
“No, it’s…
it’s fine. I mean… We’re even then. Hahaha. Right?”
“Hey, you
haven’t yet mentioned the name. Who was that? Who did kiss you?”
“Jamie…”
Pengakuan telah dilontarkan. Kami berdua pun saling
menceritakan semua kronologinya sampai sangat rinci. Meskipun lega, tapi aku
tetap menaruh rasa cemburuku pada Jessica. Begitu juga dengan Eugene, dia
menaruh rasa cemburu kepada Jamie. Tapi kami sepakat bahwa kami saling
memaafkan dan berusaha akan melupakan semua kejadian ini. Ya, aku bersyukur
masalah ini bisa teratasi dengan baik, meskipun meninggalkan kenangan buruk di
kemudian hari. Dan untuk menghilangkan efek-efek amarahnya, aku dan Eugene
melakukan sesuatu seperti yang ada di film-film Hollywood pada umumnya. Aku dan
Eugene melakukan… Ehmm, we have a make-up
sex. Untuk menyembuhkan luka kami masing-masing, agar kami harmonis
kembali.
“Gara-gara Jamie sama Jessica nih kita ended-up-nya kayak begini”, ucap Eugene
mengelus rambutku dengan penuh kelembutan
“Thank you for
understanding and being understandable, Baby”, responku sambil menatap
matanya yang minimalis itu.
“No problem. Hey
wait. Listen, The Double Yu had fun tonight cause of the Double J.”
“That’s good
rhyme. Hahaha”
“Eh, Sayang. Kamu sadar nggak sih apa yang kurang
dari kita selama ini semenjak nikah?”
“Apaan emang?”
“Kita kan belom honeymoon”
“Emang yang waktu ke Korea itu, nggak masuk itungan,
Sayang?”
“Yaah itu mah namanya arisan keluarga. Nggak masukan
itungan lah.”
“Yang ke Hong Kong belom lama ini?”
“Itu aku jemput kamu kali. Please deh Yureka”
“Trus jadi kamu maunya honeymoon kemana?”
“Ke Eropa yuk. Kan mumpung lebih deket jaraknya”
“Good idea.
Tapi kamu yang bayar yaa. Aku belom dapet proyekan nih”
“Ah, soal duit kita bisa cari dan insyaAllah ada
pasti rejekinya. Tapi, on one condition”
“Apa tuh?”
“Uang belanja kamu aku potong. Dan jangan beli bebek
dulu selama dua bulan kedepan”
Tertawa membahana menyelimuti kamar tidur kami.
Aku lega. Meskipun aku dan Eugene sama-sama telah
melakukan dosa besar, tapi kami masih memberikan kesempatan masing-masing untuk
saling memaafkan. Dan lucunya kami malah punya ide gara-gara kejadian dengan
Double J itu.
“Eh tunggu, Sayang. Kalau ke Eropa, enaknya kemana
nih?”
“The one and
only… Italy!”
[BERSAMBUNG]
Lanjut Episode 6 --> Double Yu S3E6
Comments
Post a Comment