DOUBLE YU SEASON 3 - Episode 4 : "Halo San Francisco!"


Double Yu – Season 3
Episode 4 : "Halo San Francisco!"

(Courtesy of Pinterest)

Yureka. Jakarta menuju San Francisco. Agustus 2021. Masa Depan.
Siapa bilang pindah negara itu mudah. No no no, sangat amat super duper njelimet!
Meskipun sudah pernah tinggal di luar Indonesia beberapa tahun lalu, tapi agaknya pindahan kali ini lebih rumit. Kalau di New York dulu pure untuk studi dan durasi waktunya juga sudah ditentukan, yaitu 2 tahun. Ya, tidak lain karena dulu aku anak beasiswa makanya aku mau tidak mau harus pulang kandang setelah masa studi selesai. Sedangkan pindahan ke San Francisco ini untuk menetap dalam jangka waktu yang lama. Terlebih posisinya aku dan Eugene sudah legal menikah, jadi pengurusan ijin tinggalnya juga jauh lebih banyak makan drama. Tapi berhubung tinggal di luar negeri secara mandiri adalah cita-citaku sejak kecil, jadi mengapa harus mengeluhkan hal-hal yang tidak seberapa ini. Bukan begitu?
Setelah kurang lebih 6 bulan berurusan dengan imigrasi dan US Embassy, Alhamdulillah visa ku keluar dan sebentar lagi aku resmi jadi imigran di negeri Paman Sam untuk yang kedua kalinya. Yihaaaa!
Tapi kalau mau tahu nih, Eugene sebenarnya sudah berangkat duluan sejak bulan Juni lalu karena sebenarnya dia sudah resmi diterima di salah satu kantor desain interior dan arsitektur di San Francisco per 21 Juni 2021, jadi mau tidak mau sebelum tanggal itu dia harus sudah tiba di SF. Selain itu, urusan visa Eugene juga jauh lebih mudah daripadaku karena tidak lain urusan dengan imigrasi dan pervisaan itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan tempat Eugene bekerja yang baru, jadi secara teknis visa Eugene keluar lebih cepat bahkan dia hanya menunggu 2-3 minggu untuk mendapatkannya. Ya, istilahnya kan sudah ada yang menjamin, makanya dia bisa langsung punya visa Amerika yang sudah sangat populer sulitnya itu dengan hanya satu kali jentikan dua jari saja. Benar-benar magic!
Ngomong-ngomong, waktu Eugene menelponku dari Singapore sesaat setelah aku menulis buku diary itu, dia memang bilang kalau ada kantor agensi arsitektur dan interior design yang meng-interview dia. Kalau tidak salah nama agensinya IA Interior Design Inc. atau sebut saja IA. Nah kantor IA ini punya mitra dan itu adalah kampus Columbia University, almamaternya Eugene waktu sekolah Master dulu. Beberapa dosen S2-nya Eugene ceritanya mengirimkan beberapa mahasiswa untuk mengadakan mapping trip ke kantor yang berbasis di San Francisco ini. Kalau dulu kan Eugene ke Lincoln, Nebraska tuh, nah sedangkan junior-juniornya Eugene mapping ke San Francisco dan 2 tahun berturut-turut mapping di negara bagian California termasuk berkunjung ke kantor IA. Saat kedua kalinya rombongan Columbia datang, pihak IA me-‘lobi’ dosennya untuk dicarikan 2 alumni dengan kriteria tertentu untuk dijadikan anggota baru kantor IA. Dari situ lah dosennya Eugene merekomendasikan Eugene dan 1 orang alumni lainnya untuk dijadikan kandidat the next IA’s employee gitu. Aku sebenarnya penasaran sepintar apa sih Eugene sampai direkomendasi dosennya untuk dijadikan timnya IA. Tapi tidak diragukan sih kompetensi dan kinerja Eugene di bidang Interior Design memang sudah legit dan berskala internasional. Bangga!
Dan setelah proses yang terbilang singkat, sekitar 3 minggu, tadaaaaa Alhamdulillah Eugene keterima dan resmi di hire oleh IA per Juni 2021. Sedangkan 1 alumni lainnya yang aku sebutkan tadi juga diterima tapi bedanya dia ditempatkan di kantor New York, sedangkan Eugene dilokasikan di SF. Hmmm kalau saja Eugene bisa dapat yang di NY pasti akan lebih amazing lagi. Tapi tak apalah, SF juga tidak kalah keren pastinya. Toh, kalau kita pindah ke NY lagi, malah kurang seru, kurang menantang. Kan pernah tinggal disana juga selama 2 tahun. Bagaimana sih?
Meskipun Eugene harus meninggalkan kantor lamanya di Singapura tapi dia bilang dia tidak menyesal. Hmmm sebenarnya menyesal sih karena kontraknya harusnya sampai September kalau tidak salah, dan dia kena penalti karena resign sebelum masa kontrak selesai. Tapi Eugene bilang, kesempatan ke Amerika nggak akan datang dua kali, jadi dia lebih memilih bayar denda untuk mengganti penaltinya ketimbang nggak bisa terbang lagi ke Amerika.
Awalnya aku ingin stay di Jakarta sampai akhir tahun karena aku juga masih menikmati pekerjaanku sebagai penulis skrip film di tanah kelahiranku ini. Tapi Eugene meyakinkanku kalau justru inilah waktu yang tepat untukku mencari the golden ticket di Amerika sebagai filmmaker, khususnya menjadi screenwriter, pekerjaan impian sekaligus bidang yang aku tekuni waktu kuliah S2 dulu. Lagipula kalau Long Distance Marriage-nya sampai ke Amerika, aku rasa aku juga tidak akan kuat. Ya, ampun dulu kan sudah pernah LDR Jakarta-New York waktu pacaran dulu. Itu saja ada kaki tangan Kak Anna yang membuat hubungan kami terselamatkan. Jadi, sepertinya aku bisa gila kalau Long Distance lagi selama belasan jam! Akhirnya, aku memutuskan untuk ikut Eugene ke San Francisco. Tapi yaa tadi itu, aku tidak bisa langsung sampai SF di bulan Juni karena urusan visa yang baru selesai di bulan Agustus. Mungkin ini yang dinamakan hidup itu adalah perjuangan.


Yureka. CGK – HKG – SFO. 28 Agustus 2021. Masa Depan.
Sampai hari H aku berangkat ke San Francisco. Haaaaah, tidak sabar ingin menginjakkan kaki lagi di tanah hotdog itu. Awalnya aku mau berangkat sendirian ke San Francisco. Tapi karena Eugene tidak tega melihat istrinya menggotong-gotong koper sendirian, dia berniat izin beberapa hari untuk menjemputku ke Jakarta lalu langsung balik lagi ke San Francisco. Tapi karena aku juga tidak tega kalau Eugene sampai harus bolak-balik seperti setrikaan begitu, akhirnya kami ambil jalan tengahnya; bertemu di suatu kota di sebuah negara yang menjadi tempat transit lalu pergi ke SF bersamaan.
Setelah melakukan riset dan tinjauan yang cukup ketat, dipilihlah Hong Kong sebagai negara pertemuan kami. Padahal ada banyak maskapai penerbangan yang bisa mengantar kami ke SF tapi karena memang sudah jodoh yaa, jadi waktu penerbangan yang paling cocok yaa hanya lewat Hong Kong. Tuhan Maha Tahu yaa kalau kota ini memang sudah jadi area jajahannya Eugene waktu kuliah S1-nya dulu, jadi meskipun Hong Kong sudah berubah atau tidak sama sekali, dia pasti akan hapal di luar kepala sudut-sudut kota ini, sekalipun bandaranya! Hahaha.
Dipilihlah maskapai kepunyaan Hong Kong, Cathay Pacific. Meskipun aku keukeuh Eugene tidak perlu izin, tapi nyatanya kolega dan bosnya berbaik hati mengijinkannya cuti satu hari di hari Jumat tanggal 27 Agustus 2021. Kata Eugene, bosnya malah memaksa aku untuk tidak masuk dan menjemputku hingga berhasil membawaku sampai ke San Francisco. Ya ampun, baik sekali mereka.
Sesuai rencana, aku dan Eugene akan bertemu di Hong Kong. Aku berangkat dari Jakarta juga di tanggal 28 Agustus di hari Sabtunya, sedangkan Eugene berangkat dari San Francisco tanggal 27 karena akan sampai di Hong Kong tanggal 28, supaya ketika landing sama-sama di hari dan tanggal yang sama. Tapi kami tidak langsung ke SF melainkan mampir sebentar di Hong Kong dan bermalam disana selama satu hari. Hmmm, tidak sabar ingin bertemu jagung manis kembang gula bakpao kacang merahku tercinta!
Sampai di Hong Kong, sekitar jam 3 sore, aku masih harus menunggu Eugene yang posisinya saat itu masih di atas awan naik pesawat dengan maskapai yang sama dari SF karena dia baru akan landing sekitar pukul 18.15 waktu Hong Kong. Karena tidak menahu soal Hong Kong dan juga isi bandaranya, plus juga hanya menunggu Eugene sekitar 3-4 jam, akhirnya aku hanya menunggu di sebuah kafe di dekat terminal kedatangan pesawat Eugene sambil menumpahkan ide-ide baru ke dalam sebuah cerita. Lebih tepatnya cerita bersambung. Ya, di perjalanan Jakarta ke Hong Kong tadi, aku menemukan ide baru untuk menulis cerita bersambung yang akan aku unggah ke blog pribadiku dalam waktu dekat. Gara-gara buku harian kemarin aku jadi punya ide untuk menumpahkan semuanya ke dalam bentuk miniseries atau cerita bersambung. Belum puas rupanya Yureka ini. Eh tapi siapa tahu responnya banyak dan ada production house yang naksir mau membeli hak ciptanya dan dijadikan film atau web series di masa yang akan datang. Cuan cuan! Hahaha.
Akhirnya setelah 4 jam menunggu sang belahan jiwa, Parama Eugene Oetomo pun menampakkan batang hidungnya. Alhamdulillah dia landing dengan selamat. Dan Alhamdulillah-nya juga akhirnya setelah beberapa bulan, aku bisa memeluknya lagi. Bahkan momen pertama kami bertemu kembali dihiasi dengan kecupan mesra di antara kami. Untung ini di Hong Kong. Meskipun masih di benua Asia tapi karena kami sedang di bandara, jadi berciuman di depan umum aku rasa tidak masalah. Alasan saja Yureka!
Tentu pertemuan dengan pasangan merupakan pertemuan paling menakjubkan setelah sekian lama tidak saling menatap mata. Kami pun menghabiskan waktu malam itu dengan makan malam di… di KFC. Tadinya kami mau makan di tengah kota sambil check in hotel tapi karena sudah keburu lapar plus sedikit menghemat juga, KFC pun kami pilih untuk memecahkan solusi kelaparan kami. Yah, tidak apa juga kalau hanya ayam KFC. Kalau makannya sama suami tercinta, apapun akan aku telan saking nikmatnya. Ah, Yureka bisa saja.
Setelah makan, kami pun naik taksi menuju Best Western Plus Hotel yang berada di daerah Sai Ying Pun. Hotel ini sengaja dipilih Eugene karena berada di jalan yang sama dengan apartemennya waktu dia tinggal disini tahun 2013-2017 silam. Katanya, kalau ada waktu mau mampir sekalian ke rumah pemilik apartemennya yang juga tinggal di gedung yang sama. Katanya mau silahturahim karena memang Eugene dan landlord-nya cukup akrab sedari dulu. Ah memang suami idaman; sudah tampan, rupawan, kaya raya, dan baik hati plus masih punya niat bertemu dengan pemilik apartemennya yang dulu. Semakin cinta aku padanya!


Yureka. Hong Kong, Tiongkok. Akhir Agustus 2021. Masa Depan.
Kami memang hanya punya satu hari di Hong Kong, tapi bagiku jalan-jalan singkat di kota yang terkenal dengan Victoria Peak-nya ini merupakan suatu kehormatan tersendiri. Tidak lain karena wilayah ini punya sejarah tersendiri buat sang suami. Ya jelas saja, siapa yang akan melupakan pahit-manisnya hidup bersama Hong Kong selama 4 tahun lamanya. Jadi, aku sangat mengerti saat Eugene hanya terdiam menatap langit Hong Kong beserta gedung-gedung pencakar langitnya. Aku juga memahami bahwa ini memang kali pertama Eugene menyambangi Hong Kong lagi setelah terakhir kesini tahun 2019, dua tahun setelah ia lulus kuliah dari The University of Hong Kong.
Selain berhasil mampir dan bertemu pemilik apartemen Eugene yang ternyata diketahui bernama David Cheung itu, aku dan Eugene jalan-jalan ke beberapa tempat yang juga menjadi tempat bersejarah buat Eugene seperti tempat makan favoritnya bersama teman-temannya, minimarket langganannya, hingga dessert shop yang sering dijadikan tempat nongkrongnya dan teman-teman kampusnya. Plus kampus Eugene, Departemen Arsitektur The University of Hong Kong. Karena tempatnya cukup luas, akhirnya Eugene hanya menunjukkan ku gedungnya secara singkat saja tanpa masuk ke dalam gedung dan ruang kelasnya.
“Ah kapan-kapan bisa lah, Yang, kita kesini lagi. Nanti kalau kesini lagi aku ajak kamu masuk ke dalem juga. Ini juga kan hari Sabtu, mana buka kampusnya”, ucap Eugene sambil menoleh ke kanan ke kiri untuk nostalgia.
“Iyaa juga sih. Eh, Yang, aku mau tanya dong. Kamu dulu kuliah disini dibilang orang lokal nggak sama temen-temenmu? Secara wajahmu oriental banget gini?” tanyaku sambil sesekali memotret gedung kampus itu menggunakan kamera smartphone-ku.
“Justru mereka ngira aku mahasiswa asing dari Korea, Yang. Ada malah yang bilang, ‘kamu orang Singapore ya?’. Gitu. Jadi kalau disangka orang lokal malah jarang. Tapi efeknya adalah kalau aku beli apa gitu dipinggir jalan, kayak jajan gitu misalnya, ya mereka langsung ngajak ngobrol pake bahasa Canton. Ya, karena mukaku China gini.”
“Tapi kan bukan karena wajah kamu oriental, tapi karena kamu tinggal disini juga, jadi otomatis kita juga harusnya bisa bahasa lokal kan? Dimana-mana kan gitu. Waktu aku exchange di Malaysia juga gitu. Aku dulu keliatan banget orang asing karena nggak pake hijab, tapi dimana-mana diajak ngomong pake Bahasa Melayu. Yaa, karena mereka nggak mau tahu, kamu orang asing atau nggak, kalau kamu lagi disana, yaa kamu udah dianggap jadi orang lokal yang fasih bahasa mereka.”
“Bener juga sih. Tapi kenapa kalau di Indonesia, orang asing, terutama bule-bule, orang Indonesianya yang malah langsung ngomong pake bahasa Inggris yaa? Even cuma ngomong ‘hey sir how are you?’ Gimana coba itu?”
“Kalau menurutku, harusnya tetep orang Indonesia yang let the bule try to speak Bahasa Indonesia. Tapi mungkin selama ini orang Indonesia memang excited kalau ngeliat bule, jadi akhirnya orang Indonesianya yang excited juga to try to speak like the bule do. Ada sisi positifnya juga sih, kita jadi terpicu buat mencoba berbahasa asing, mumpung ada orang bule. Tapi sisi negatifnya, kita yang jadi pengen ikutan ke barat dan nggak mempertahankan bahasa sendiri. I mean, explicitly we kinda don’t want to keep and preserve our own language. Itu yang membuat Indonesia gampang terjajah dalam tanda kutip maksudnya akhirnya sangat banyak westernisasi yang ada di Indonesia. Alih berdalih pakai merk luar negeri biar keren, padahal menurutku nggak sama sekali”, panjang lebarku sambil masih memotret pemandangan sekitar.
Wow. I have no regret to marry you then. Impressive”, puji Eugene dengan senyumannya yang membuatku kelepek-kelepek.
“Jangan gitu ah. Jadi, malu”, balasku tersipu malu tapi pipiku tidak merona menjadi merah jambu karena warna kulitku yang memang gelap.
“Eh serius. Tapi kamu bener banget, Yang. People in our country try to be… you know… keren, but they don’t actually know what an exact meaning of being cool. Bagiku, ada banyak hal sederhana yang bisa kita lakuin. Misalnya… kalau di Indonesia ya, misalnya jangan egois sama pejalan kaki atau minimal menghargai pengguna jalan yang lain lah. Kalau kita udah bisa kayak gitu, I think that exactly the cool means
“Curhat yaa pak waktu di Jakarta kayak gitu? Hahaha. But yeah, I agree. That’s one of a very simple examples that we need to do
Perjalanan di Hong Kong malah menyisakan kenangan manis dengan memperbincangkan kehidupan dengan Eugene. Itu yang membuat momen-momen di Hong Kong begitu sempurna. Tapi sayang waktu kami di kota ini tidak banyak karena esok adalah hari dimana seluruh tantangan dan babak baru akan dimulai! Yeaahhh, kami siap untuk San Francisco!


Eugene. SFO. 29 Agustus 2021. Masa Depan.
Setelah kurang lebih 12 jam menempuh perjalanan udara, akhirnya gue dan Yureka sampai di bandar udara San Francisco International Airport atau singkatannya SFO. Lucunya, kita yang berangkat dari Hong Kong tanggal 29 Agustus malam, sampai di San Francisco juga masih tanggal 29 Agustus, bahkan waktu masih menunjukkan sore hari. Begitulah efeknya kalau bumi itu bulat dan Hong Kong dengan San Francisco berbeda hingga 15 jam zona waktu. Meskipun capek dan agak jetlag, tapi gue lega banget karena Yureka resmi jadi warga SF dan setelah sekian lama kita LDR-an, akhirnya kita resmi tinggal barengan. Hahaha.
Dari bandara, kita langsung ke rumah yang berada di Broderick Street di wilayah Pacific Heights. Selama perjalanan dari bandara ke rumah, gue nggak lihat muka capek di sisi Yureka. Sumpah, ini anak aneh banget. Di pesawat juga katanya nggak terlalu banyak tidur. Tapi udah sampe pun dia nggak keliatan lelah atau gimana. Mukanya happy gitu pula. Hahaha. Mungkin dia emang beneran excited nginjekin tanah Paman Sam ini lagi. Syukur lah kalau dia senang. 

  
Yureka. San Francisco, negara bagian California. Masa Depan.
Semua fenomena jetlag dan kelelahan akibat penerbangan dan jalan-jalan singkat di Hong Kong kemarin langsung terhapuskan begitu saja dengan kebahagiaan karena bisa menginjakkan kaki di tanah Amerika ini lagi. Meskipun angin SF tidak santai, tapi aku suka dengan suasana kotanya yang sangat friendly itu. Bukan berniat membandingkan, tapi aku semacam gegar budaya alias culture shock dengan suasana kota San Francisco yang terkesan lebih lay back dibanding orang-orang di New York yang semuanya sangat rush dan individualis. Ya, tipikal kota besar memang begitu. Apapun itu, sepertinya aku akan jatuh cinta dengan kota ini.
Untuk memulihkan kondisi yang lelah, aku memutuskan untuk berdiam diri di apartemen selama 3 hari. Sambil menyicil unpacking barang-barangku yang kubawa dari Jakarta, aku juga melakukan hal-hal lain seperti merapihkan rumah, mendekor ulang sedikit ruangan yang disesuaikan dengan barang-barang yang aku bawa, memasak, mencuci baju, dan tidak lupa menulis. Tapi kali ini aku sedang tidak mood menulis di laptop. Entah mengapa aku sedang mood untuk menulis sesuatu di buku harianku.
Aku pun membuka kembali tulisanku yang belum lama ini aku tulis. Itu, yang 27 gebetan itu. Aku baca-baca kembali isinya, dan ternyata masih ada unek-unek yang ingin aku tuang ke dalam buku ini. Untungnya waktu menunjukkan pukul 2 siang dan Eugene baru akan pulang sekitar jam 6 sore, jadi seharusnya sangat aman untuk menulis sisa-sisa bahasan dari topik di buku harian ini. Ya, masih mengenai Jamie. Aku rasa terakhir aku menulis bagiannya, aku belum merasa puas. Maksudnya, masih ada cerita yang sebenarnya selama ini aku pendam, berkaitan dengan rasa sukaku pada Jamie zaman dahulu.
$$$

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk keluar rumah. Ya, tidak baik juga berlama-lama di dalam rumah. Aku akhirnya iseng pergi jalan-jalan ke luar rumah. Hitung-hitung mengenal area di sekitar rumah baru. Di sekitaran gedung apartemenku, ada banyak fasilitas yang tersedia di wilayah ini, seperti perpustakaan umum, taman, rumah sakit, bioskop, minimarket, hingga beragam restoran dan kafe termasuk restoran Asia. Mantap sekali, bukan? Ya, jadi sejauh ini aku cukup suka dengan areanya.
Masih penasaran, aku melanjutkan langkahku. Kalau sebelumnya aku keliling ke arah Presidio Avenue, kali ini aku menuju arah Geary Boulevard karena aku mau makan siang di restoran Korea bernama Zazang yang berada di jalan tersebut. Dan kali ini, aku menemukan sesuatu yang membuatku takjub dan setengah tidak percaya.
Jadi, aku sempat pulang untuk sholat dzuhur sekaligus istirahat sejenak karena ya tahu sendiri San Francisco itu banyak tanjakannya, jadi wajar kalau aku belum terbiasa dan mudah kelelahan. Setelah itu aku berniat pergi ke restoran Korea Zazang dari rumahku yang berada di Jalan Broderick. Kalau menurut Google Maps, aku hanya lurus terus saja ke menuju Geary Boulevard selama 9 menit lalu belok kiri.
Baru melewati satu blok dari rumahku di Broderick Street, aku melihat ada sekawanan orang sedang berfoto-foto di depan sebuah rumah bernomor 1709 di jalan yang sama. Tadinya kupikir “Ah paling ada tindak kejahatan yang baru saja terjadi. Namanya juga Amerika. Bukan hal yang mengejutkan kalau ada tindak kriminal meskipun di siang bolong. Toh dulu di New York aku juga pernah melihat suasana seperti itu, di siang bolong juga. Eh tapi kok pada foto-foto selfie sih mereka? Nggak mungkin dong orang mau swafoto di lokasi TKP kejahatan kayak gitu?”.
Karena penasaran, aku pun menghampiri kerumunan orang-orang tersebut. Tapi anehnya di depan rumah itu terpasang pagar yang dilapisi kain berwarna hijau dan ada di kertas yang di-print bertuliskan “Please keep the volume way down (You know, act the way you would like fans to act outside your house 24/7)”. Aku pun tidak mengerti tempat apa ini. Padahal hanya sebuah rumah biasa. Lalu aku iseng tanya ke seorang bapak-bapak yang baru saja selesai memotret anak perempuannya.
Excuse me, why is everyone taking pictures here?”, tanyaku pada seorang bapak-bapak berusia sekitar 50 berperawakan agak gempal memakai kemeja kotak-kotak biru putih dan memakai topi berlogo dan bertuliskan “NASCAR”.
Don’t you know this place, young lady? This house is a legend!”, jawab bapak-bapak itu sambil sesekali memotret rumah itu dan juga memotret putrinya.
And…” responku semakin penasaran.
Legend. Everyone wants to visit this house…”, lanjutnya masih memegang handphone-nya dan memotret kembali putrinya.
Because…” balasku dengan ritme semakin lambat seakan masih tidak tahu tempat apa itu.
Come on. You never watch the series? Even the newest one that aired in 2 years ago?”, tanya si bapak tua meyakinkanku.
Aku berusaha mengingat-ingat dan mencari tahu sebenarnya rumah ini punya siapa dan mengapa si bapak itu keukeuh mengatakan bahwa rumah ini adalah legenda yang sayang kalau dilupakan.
Bapak tua pun menambahkan informasinya, “When you watch television and you’re in San Francisco, then…
Tiga detik kemudian aku membelalakan mataku sambil berkata, “Full House! And the Fuller House, the latest one! Oh my God! FULL HOUSE! Wow!
Yeah!
Wow!
Yeah!
Wow!
Yeah! You got it eventually, young lady!” seru si bapak tua menanggapi reaksi histeriaku.
I know, I did! Unbelievable! You know, Michelle, DJ, Stephanie, Danny, Uncle Jo, Uncle Jesse… Also… Oh! Jackson, Max, Tommy, Ramona, Kimberlina… and… Oh my favorite one, Fernando Hernandez-Guerrero-Fernandez-Guerrero. Yeah! Wow!”, ucapku masih histeria.
Yeah!
Wow! I mean, seriously? This is the house? I still can’t believe it!
Yeah, this is the house. Well, at least that what Google said. Hahaha. So, you’ve watched the series, haven’t you?
Oh sure! I’ve watched all of the episodes. Both. The 80s and the 2016”, jawabku masih terpana dengan rumah Full House itu.
That’s great! So did us. Oh, you want me to take you some pictures?
Oh… No. It’s fine. It’s totally fine. I live in the neighbourhood. I can take many pictures anytime I want next time. Don’t worry. Hahaha
Then, could you please take me some?
Oh sure! Absolutely!
Kejadian itu malah berakhir dengan aku yang memfoto si bapak ini. Tidak apa, hitung-hitung membantu keluarga turis ini melengkapi kebahagian mereka di hari yang cerah itu. Aku juga malah jadi ngobrol-ngobrol dengan bapak yang diketahui bernama Steve ini. Steve dan istrinya juga dua putrinya datang dari Naperville, Illinois ke California untuk liburan selama beberapa hari. Kebetulan putri sulungnya sedang kuliah di University of California Berkeley. Bukan, bukan yang tadi dia foto. Itu putri bungsunya, Victoria atau akrabnya disapa Vicky. Kalau yang di Berkeley namanya Kelly, dan satu lagi yang juga ikut mereka saat ini bernama Hillary.
Karena UC Berkeley masih satu state alias negara bagian dengan SF, Steve, istrinya, dan dua putrinya yang ia ajak saat itu, memutuskan untuk mampir ke San Francisco dan rumah Full House ini lah yang menjadi incaran Steve selama ini karena ia mengaku ia adalah fans garis keras serial TV 80an itu. Dia juga mengaku kalau dia belum pernah ke San Francisco sebelumnya. Jadi mumpung sudah di daratan California, inilah saat yang tepat untuk mewujudkan keinginan sederhananya sejak dulu yaitu melihat rumah Full House yang uniknya menjadi history landmark Kota San Francisco. Luar biasa!
Berkat rumah ini, aku malah jadi bertukar alamat email dan facebook dengan Steve dan juga istrinya, Katherine. Mereka bilang, kalau aku ke Illinois, misalnya ke Chicago yang paling dekat dengan Naperville, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi mereka. Ah, baik sekali keluarga ini. Luv!
Setelah bercengkrama hangat dengan keluarga Steve sekitar 40 menit, aku baru sadar kalau sebenarnya aku itu mau ke restoran korea untuk makan siang. Tapi karena saking senangnya menemukan rumah Full House dan juga malah asyik ngobrol dengan keluarga Naperville tadi, aku jadi tidak lapar. Hahaha. Yureka memang aneh. Tapi niatku ke restoran tetap aku lakukan. Ya iyalah, meskipun lupa kalau tadinya lapar, tapi untuk urusan perut tetap harus dipenuhi. Begitulah hidup.

$$$

Malamnya, ketika Eugene baru sampai rumah, aku langsung lari ke arahnya dan memeluknya dengan erat.
“Heh, kenapa ini orang? Aku bau loh, Yang, belom mandi. Nggak enak ah kalo dipeluk-peluk gini”, tanya Eugene keheranan.
I don’t care”, jawabku masih memeluk erat sang suami.
So? What happens?” tanya Eugene kembali masih keheranan.
Thank you so much!” jawabku dengan wajah berseri dan melepas pelukan erat itu tapi kedua tangan masih berkalung ke belakang leher Eugene.
For what?
For renting this house. And let us live here by now and maybe forever
Because…
Don’t you know something in the neighbourhood?
What? What? I don’t get it, Honey
“Sayang, rumah ini itu ada di jalan yang sama sama rumahnya Full House!”
“Full House? Apaan tuh?”
“Ih masa nggak tahu sih? Yang serial tv itu loh”
“Oh aku tahu. Eh tapi kan itu di Korea. Aku pernah nonton juga loh sama Mama. Eh tapi kan itu di Korea. Bukan di SF”
“Bukan Full House yang ituuuu, Eugine-a! Itu mah Rain sama Song Hye Kyo yang main. Aku juga tahu kalau yang itu. Yang Full House Amerika, Sayang. Kamu gimana sih?”
“Coba tunjukin di google kayak apa”
“Nih…”
Langsung ku raih handphone Eugene yang kebetulan sedang ia pegang saat itu dan mengetik kata “Full House” di Google dengan cepat. Aku bahkan putar juga opening theme-nya supaya Eugene ingat.
Ternyata jawaban Eugene hanya, “Aku nggak tahu. Nggak pernah nonton”
“Hah. Payah. Nggak asik ah”
“Eh beneran aku nggak tahu. Kan kamu tahu aku nggak suka film, apalagi Hollywood punya. Mana apal aku, Yang.”
“Ini lagian bukan film, Sayang. Ini serial televisi. Series gitu yang ber-season-season
“Yah, apalagi itu itu, Sayang. Mana aku ngerti. Sorry ya”
I know. It ain’t your world. But, it’s okay. I understand. But still, thank you
You’re welcome. Tapi emang beneran satu jalan Broderick Street sama rumahnya?”
“Iyaa beneran. Besok deh pas weekend kita sambil jalan-jalan keluar, nanti aku tunjukin rumahnya.”
“Oke”
Btw, kenapa sih kamu ambil rumah yang ini? Katanya waktu itu sempet susah cari apartemen atau rumah disini yaa?”
“Mau aku ceritain? Sambil makan tapi. Laper soalnya. Yuk!”
“Boleh. Yuk!”
Dengan lauk sup ayam dan bakwan jagung, kami berdua makan sambil bercerita panjang lebar termasuk Eugene yang menceritakan proses mendapatkan rumah ini. Ternyata apartemen yang kami tinggali ini adalah apartemen yang dulunya ditinggali oleh salah satu kolega Eugene di kantor. Namanya Adrien. Waktu tahu dia mau dipindahlokasikan di cabang Eropa, Adrien sempat menyayangkan kalau apartemennya ditinggal begitu saja karena dia keburu sudah bayar 3 bulan. Jadi, menyewa rumah atau apartemen di Amerika juga wajar kalau menyewanya 3 bulan sekali, tidak hanya sebulan sekali saja. Kebetulan Adrien lebih suka menyewa rumah yang bayarnya 3 bulan sekali bahkan lebih dari itu. Katanya kalau sebulan sekali dia suka lupa. Nah karena saat dia mau dipindahkan, masih ada 2 bulan tersisa, akhirnya ia memberi tahu ke semua koleganya termasuk bosnya siapa tahu ada teman atau keluarga yang butuh tempat tinggal sementara di SF. Dan dari situlah Eugene diberitahu oleh bosnya kalau Adrien masih punya kontrak 2 bulan dengan landlord-nya.
Karena sudah keburu nyaman di apartemen ini dan malas cari yang baru, Eugene pun melanjutkan sewanya dan hingga sekarang aku dan Eugene tinggal disini. Aku juga sepakat dengan Eugene kalau kedepannya kami bakalan tinggal disini. Pokoknya selama Eugene dikontrak kerja di SF, kami akan stay disini dan berusaha untuk tidak mencari rumah baru. Karena masih berdua dan belum ada anggota keluarga baru, jadi kami merasa rumah ini cocok untuk pasangan yang sedang menata kehidupan baru sebagai perantau. Selain harga yang terjangkau, akses ke kantor Eugene pun hanya memakan waktu 10 menit saja naik mobil. Terlebih lagi, rumah ini sangat amat dekat dengan rumah Full House tadi. Jadi, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan, Yureka?


Yureka. November 2021. San Francisco dan tanjakan-tanjakannya. Masa Depan.
Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, satu bulan terlewati, dua bulan juga sudah berhasil dilalui, hingga resmi tiga bulan sudah aku tinggal di San Francisco. Sudah masuk musim dingin, angin di San Francisco makin tidak santai. Jangan ditanya lagi SF yang dekat dengan pantai ini anginnya seperti apa. Tapi aku sudah mulai terbiasa dengan suasana dan lingkungan di kota ini, termasuk dengan tanjakan-tanjakannya yang secara langsung membuatku semakin langsing. Terima kasih, SF!
Suatu waktu, aku ditinggal sendirian di rumah karena Eugene tugas ke kantor cabang di New York selama 1 minggu. Ya, ini business trip pertamanya dia sejauh ini. Keren sekali baru beberapa bulan dipekerjakan di kantor interior design itu, ia sudah bisa business trip. Ke New York pula. Semakin cinta dan bangga aku padanya! Tapi aku yakin dia tidak akan menemui masalah selama tugas disana. Ya iyalah, dia kan pernah tinggal di New York selama 2 tahun. Sudut-sudut New York harusnya dia sudah hapal di luar kepala semua. Toh, gedung-gedung dan jalanannya tidak akan pindah kemana-mana.
Karena tidak ingin bete sendirian hanya berdiam diri di rumah, aku selalu menyempatkan diri ke luar rumah, entah itu ke supermarket, makan di luar, ke bioskop, atau sekadar baca buku di perpustakaan dan juga jalan-jalan ke taman. Kebetulan Eugene tidak membawa mobilnya. Oh ya, kalau di SF sebenarnya bisa saja aku naik angkutan umum. Ya, seperti yang diketahui kalau di SF punya tram. Tapi Eugene bilang kalau di California akan sangat mudah kemana-mana kalau punya mobil. Bukan sombong juga yaa, tapi juga karena banyak tanjakan jadi sepertinya tidak terlalu nyaman kalau kemana-mana harus melulu jalan kaki dan naik tram. Oh, bumiku tercinta maafkan aku karena keluarga kecilku menyumbang emisi gas baru untuk udaramu!
Suatu hari, aku iseng ingin mencuci baju di coin laundry di sekitaran area Pacific Heights. Kebetulan ada satu bernama Cow Hollow di Pierce Street. Sekitar jam 10 pagi aku pergi ke Cow Hollow dengan mengendarai mobil berwarna biru ini bermerk Fiat ini. Hmmm, agak kaku memang menyetir di sebelah kiri. Tenang, aku sudah mengantungi SIM Internasional. Aku pun sudah beberapa kali berlatih membawa mobil di sebelah kiri waktu di New York dulu. Tentunya Eugene yang memaksaku supaya aku bisa mengemudi mobil sendiri. Katanya aku harus mandiri kalau memang kemana-mana mau naik mobil selama di SF. Tapi karena baru tiga bulan juga pindah ke negara yang jalanannya terbalik dengan di Indonesia ini, yaa wajar lah kalau kagok. Terlebih SF banyak tanjakan, jadi gugupku berkali-kali lipat menjadi tak terhingga.
Bersyukur aku sampai di Cow Hollow dengan selamat. Tidak menabrak apapun. Alhamdulillah. Ya, meskipun sepanjang perjalanan kagok sejadi-jadinya, tapi semuanya aman.  
Sambil menunggu cucian di cuci di mesin yang bisa muat hingga 10kg ini, aku membunuh waktu dengan membaca majalah atau sesekali mengakses Instagram dan bersua dengan teman-teman di Indonesia meskipun hanya lewat Insta Story-nya, termasuk ada mantan kolega yang meng-update kegiatannya makan gado-gado 12 jam lalu. Haduh, aku jadi ingin makan gado-gado siang ini.
Waktu hampir menunjukkan pukul 12 siang. Setelah mengetahui cucianku sudah kering, aku langsung mengemasnya kembali ke tas. Eh tapi tasnya bukan yang aku pakai waktu membawa mereka saat masih dalam keadaan kotor. Waktu masih kotor tadi aku taruh di dalam kardus. Hahaha. Sedangkan yang sudah bersih dan wangi ini aku masukan ke tas plastik besar kepunyaan IKEA. Tahu dong yang mana? Ya, pokoknya yang itu.
Karena waktu juga sudah menunjukkan jam makan siang, aku pun memutuskan untuk makan di luar saja karena kalau pulang dulu lalu masak sepertinya tidak cukup waktunya. Sudah keburu kelaparan nanti. Aku dari awal ke coin laundry juga sudah punya rencana untuk makan di luar. Tapi mau makan apa yaa? Hmmm sepertinya makan burger enak. Aha, aku punya ide! Bagaimana kalau pergi ke In-N-Out saja? Ya ya ya. Wajib hukumnya kalau ke SF mencicipi hamburger dari restoran ini. Semua warga California siapa yang tidak tahu.
Saat keluar coin laundry dan menuju ke mobil, ada seseorang yang memanggil namaku,
Yureka, is that you?!
Siapa itu? Apakah itu hantu? Ih serem. Oh, pasti bukan. Ini kan masih siang. Tunggu. Aku harus mencari sumber suara itu. Tapi tunggu, meskipun sudah tiga bulan tinggal di SF, aku kan belum banyak punya teman disini. Kecuali beberapa kolega Eugene dan juga beberapa tetangga rumah. Dan suara yang kudengar ini, aku mengenali suara ini. Namun yang aku ingat, suara ini bukan suara orang-orang yang aku kenal di SF. Lalu siapa si pemilik suara ini?
Lima detik kemudian, aku menemukan sumber suara tersebut. Lalu sontak berkata,
Jamie? Oh my God! Jamie?!
Ya, Jamie, si mantan gebetan nomor 25 yang baru saja aku tulis namanya di dalam buku harianku belum lama ini. Oh Tuhan, mengapa ini terjadi? Apakah ini karma?

[BERSAMBUNG]


Lanjut Episode 5 --> Double Yu S3E5

Comments

Popular posts from this blog

Kumpulan Cerita Bersambung : DOUBLE YU - SEASON 1 (karya Yulia Sutjahjono)

"Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan)" Part 2

Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan) Part 1