DOUBLE YU SEASON 3 - Episode 4 : "Halo San Francisco!"
Double Yu – Season 3
Episode 4 : "Halo San Francisco!"
(Courtesy of Pinterest) |
Yureka. Jakarta
menuju San Francisco. Agustus 2021. Masa Depan.
Siapa bilang pindah negara itu mudah. No no no,
sangat amat super duper njelimet!
Meskipun sudah pernah tinggal di luar Indonesia
beberapa tahun lalu, tapi agaknya pindahan kali ini lebih rumit. Kalau di New
York dulu pure untuk studi dan durasi
waktunya juga sudah ditentukan, yaitu 2 tahun. Ya, tidak lain karena dulu aku
anak beasiswa makanya aku mau tidak mau harus pulang kandang setelah masa studi
selesai. Sedangkan pindahan ke San Francisco ini untuk menetap dalam jangka
waktu yang lama. Terlebih posisinya aku dan Eugene sudah legal menikah, jadi
pengurusan ijin tinggalnya juga jauh lebih banyak makan drama. Tapi berhubung
tinggal di luar negeri secara mandiri adalah cita-citaku sejak kecil, jadi
mengapa harus mengeluhkan hal-hal yang tidak seberapa ini. Bukan begitu?
Setelah kurang lebih 6 bulan berurusan dengan
imigrasi dan US Embassy, Alhamdulillah visa ku keluar dan sebentar lagi aku
resmi jadi imigran di negeri Paman Sam untuk yang kedua kalinya. Yihaaaa!
Tapi kalau mau tahu nih, Eugene sebenarnya sudah
berangkat duluan sejak bulan Juni lalu karena sebenarnya dia sudah resmi
diterima di salah satu kantor desain interior dan arsitektur di San Francisco
per 21 Juni 2021, jadi mau tidak mau sebelum tanggal itu dia harus sudah tiba
di SF. Selain itu, urusan visa Eugene juga jauh lebih mudah daripadaku karena tidak
lain urusan dengan imigrasi dan pervisaan itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh
perusahaan tempat Eugene bekerja yang baru, jadi secara teknis visa Eugene keluar
lebih cepat bahkan dia hanya menunggu 2-3 minggu untuk mendapatkannya. Ya,
istilahnya kan sudah ada yang menjamin, makanya dia bisa langsung punya visa
Amerika yang sudah sangat populer sulitnya itu dengan hanya satu kali jentikan
dua jari saja. Benar-benar magic!
Ngomong-ngomong, waktu Eugene menelponku dari
Singapore sesaat setelah aku menulis buku diary
itu, dia memang bilang kalau ada kantor agensi arsitektur dan interior design yang meng-interview dia. Kalau tidak salah nama
agensinya IA Interior Design Inc. atau sebut saja IA. Nah kantor IA ini punya mitra
dan itu adalah kampus Columbia University, almamaternya Eugene waktu sekolah
Master dulu. Beberapa dosen S2-nya Eugene ceritanya mengirimkan beberapa
mahasiswa untuk mengadakan mapping trip ke
kantor yang berbasis di San Francisco ini. Kalau dulu kan Eugene ke Lincoln,
Nebraska tuh, nah sedangkan junior-juniornya Eugene mapping ke San Francisco dan 2 tahun berturut-turut mapping di negara bagian California
termasuk berkunjung ke kantor IA. Saat kedua kalinya rombongan Columbia datang,
pihak IA me-‘lobi’ dosennya untuk dicarikan 2 alumni dengan kriteria tertentu
untuk dijadikan anggota baru kantor IA. Dari situ lah dosennya Eugene
merekomendasikan Eugene dan 1 orang alumni lainnya untuk dijadikan kandidat the next IA’s employee gitu. Aku
sebenarnya penasaran sepintar apa sih Eugene sampai direkomendasi dosennya
untuk dijadikan timnya IA. Tapi tidak diragukan sih kompetensi dan kinerja
Eugene di bidang Interior Design memang
sudah legit dan berskala
internasional. Bangga!
Dan setelah proses yang terbilang singkat, sekitar 3
minggu, tadaaaaa Alhamdulillah Eugene keterima dan resmi di hire oleh IA per Juni 2021. Sedangkan 1
alumni lainnya yang aku sebutkan tadi juga diterima tapi bedanya dia ditempatkan
di kantor New York, sedangkan Eugene dilokasikan di SF. Hmmm kalau saja Eugene
bisa dapat yang di NY pasti akan lebih amazing
lagi. Tapi tak apalah, SF juga tidak kalah keren pastinya. Toh, kalau kita
pindah ke NY lagi, malah kurang seru, kurang menantang. Kan pernah tinggal
disana juga selama 2 tahun. Bagaimana sih?
Meskipun Eugene harus meninggalkan kantor lamanya di
Singapura tapi dia bilang dia tidak menyesal. Hmmm sebenarnya menyesal sih
karena kontraknya harusnya sampai September kalau tidak salah, dan dia kena
penalti karena resign sebelum masa
kontrak selesai. Tapi Eugene bilang, kesempatan ke Amerika nggak akan datang
dua kali, jadi dia lebih memilih bayar denda untuk mengganti penaltinya
ketimbang nggak bisa terbang lagi ke Amerika.
Awalnya aku ingin stay di Jakarta sampai akhir tahun karena aku juga masih menikmati
pekerjaanku sebagai penulis skrip film di tanah kelahiranku ini. Tapi Eugene meyakinkanku
kalau justru inilah waktu yang tepat untukku mencari the golden ticket di Amerika sebagai filmmaker, khususnya menjadi screenwriter,
pekerjaan impian sekaligus bidang yang aku tekuni waktu kuliah S2 dulu. Lagipula
kalau Long Distance Marriage-nya
sampai ke Amerika, aku rasa aku juga tidak akan kuat. Ya, ampun dulu kan sudah
pernah LDR Jakarta-New York waktu pacaran dulu. Itu saja ada kaki tangan Kak
Anna yang membuat hubungan kami terselamatkan. Jadi, sepertinya aku bisa gila
kalau Long Distance lagi selama
belasan jam! Akhirnya, aku memutuskan untuk ikut Eugene ke San Francisco. Tapi yaa
tadi itu, aku tidak bisa langsung sampai SF di bulan Juni karena urusan visa
yang baru selesai di bulan Agustus. Mungkin ini yang dinamakan hidup itu adalah
perjuangan.
Yureka. CGK – HKG – SFO. 28 Agustus 2021. Masa Depan.
Sampai hari H aku berangkat ke San Francisco. Haaaaah,
tidak sabar ingin menginjakkan kaki lagi di tanah hotdog itu. Awalnya aku mau
berangkat sendirian ke San Francisco. Tapi karena Eugene tidak tega melihat
istrinya menggotong-gotong koper sendirian, dia berniat izin beberapa hari
untuk menjemputku ke Jakarta lalu langsung balik lagi ke San Francisco. Tapi
karena aku juga tidak tega kalau Eugene sampai harus bolak-balik seperti
setrikaan begitu, akhirnya kami ambil jalan tengahnya; bertemu di suatu kota di
sebuah negara yang menjadi tempat transit lalu pergi ke SF bersamaan.
Setelah melakukan riset dan tinjauan yang cukup
ketat, dipilihlah Hong Kong sebagai negara pertemuan kami. Padahal ada banyak
maskapai penerbangan yang bisa mengantar kami ke SF tapi karena memang sudah
jodoh yaa, jadi waktu penerbangan yang paling cocok yaa hanya lewat Hong Kong.
Tuhan Maha Tahu yaa kalau kota ini memang sudah jadi area jajahannya Eugene
waktu kuliah S1-nya dulu, jadi meskipun Hong Kong sudah berubah atau tidak sama
sekali, dia pasti akan hapal di luar kepala sudut-sudut kota ini, sekalipun
bandaranya! Hahaha.
Dipilihlah maskapai kepunyaan Hong Kong, Cathay
Pacific. Meskipun aku keukeuh Eugene tidak perlu izin, tapi nyatanya kolega dan
bosnya berbaik hati mengijinkannya cuti satu hari di hari Jumat tanggal 27 Agustus
2021. Kata Eugene, bosnya malah memaksa aku untuk tidak masuk dan menjemputku
hingga berhasil membawaku sampai ke San Francisco. Ya ampun, baik sekali
mereka.
Sesuai rencana, aku dan Eugene akan bertemu di Hong
Kong. Aku berangkat dari Jakarta juga di tanggal 28 Agustus di hari Sabtunya,
sedangkan Eugene berangkat dari San Francisco tanggal 27 karena akan sampai di
Hong Kong tanggal 28, supaya ketika landing
sama-sama di hari dan tanggal yang sama. Tapi kami tidak langsung ke SF
melainkan mampir sebentar di Hong Kong dan bermalam disana selama satu hari. Hmmm,
tidak sabar ingin bertemu jagung manis kembang gula bakpao kacang merahku
tercinta!
Sampai di Hong Kong, sekitar jam 3 sore, aku masih
harus menunggu Eugene yang posisinya saat itu masih di atas awan naik pesawat dengan
maskapai yang sama dari SF karena dia baru akan landing sekitar pukul 18.15
waktu Hong Kong. Karena tidak menahu soal Hong Kong dan juga isi bandaranya,
plus juga hanya menunggu Eugene sekitar 3-4 jam, akhirnya aku hanya menunggu di
sebuah kafe di dekat terminal kedatangan pesawat Eugene sambil menumpahkan
ide-ide baru ke dalam sebuah cerita. Lebih tepatnya cerita bersambung. Ya, di
perjalanan Jakarta ke Hong Kong tadi, aku menemukan ide baru untuk menulis
cerita bersambung yang akan aku unggah ke blog pribadiku dalam waktu dekat. Gara-gara
buku harian kemarin aku jadi punya ide untuk menumpahkan semuanya ke dalam
bentuk miniseries atau cerita bersambung. Belum puas rupanya Yureka ini. Eh
tapi siapa tahu responnya banyak dan ada production
house yang naksir mau membeli hak ciptanya dan dijadikan film atau web series di masa yang akan datang. Cuan
cuan! Hahaha.
Akhirnya setelah 4 jam menunggu sang belahan jiwa,
Parama Eugene Oetomo pun menampakkan batang hidungnya. Alhamdulillah dia landing dengan selamat. Dan
Alhamdulillah-nya juga akhirnya setelah beberapa bulan, aku bisa memeluknya
lagi. Bahkan momen pertama kami bertemu kembali dihiasi dengan kecupan mesra di
antara kami. Untung ini di Hong Kong. Meskipun masih di benua Asia tapi karena
kami sedang di bandara, jadi berciuman di depan umum aku rasa tidak masalah. Alasan
saja Yureka!
Tentu pertemuan dengan pasangan merupakan pertemuan
paling menakjubkan setelah sekian lama tidak saling menatap mata. Kami pun
menghabiskan waktu malam itu dengan makan malam di… di KFC. Tadinya kami mau
makan di tengah kota sambil check in
hotel tapi karena sudah keburu lapar plus sedikit menghemat juga, KFC pun kami
pilih untuk memecahkan solusi kelaparan kami. Yah, tidak apa juga kalau hanya
ayam KFC. Kalau makannya sama suami tercinta, apapun akan aku telan saking
nikmatnya. Ah, Yureka bisa saja.
Setelah makan, kami pun naik taksi menuju Best
Western Plus Hotel yang berada di daerah Sai Ying Pun. Hotel ini sengaja
dipilih Eugene karena berada di jalan yang sama dengan apartemennya waktu dia
tinggal disini tahun 2013-2017 silam. Katanya, kalau ada waktu mau mampir
sekalian ke rumah pemilik apartemennya yang juga tinggal di gedung yang sama.
Katanya mau silahturahim karena memang Eugene dan landlord-nya cukup akrab sedari dulu. Ah memang suami idaman; sudah
tampan, rupawan, kaya raya, dan baik hati plus masih punya niat bertemu dengan
pemilik apartemennya yang dulu. Semakin cinta aku padanya!
Yureka. Hong Kong,
Tiongkok. Akhir Agustus 2021. Masa Depan.
Kami memang hanya punya satu hari di Hong Kong, tapi
bagiku jalan-jalan singkat di kota yang terkenal dengan Victoria Peak-nya ini
merupakan suatu kehormatan tersendiri. Tidak lain karena wilayah ini punya sejarah
tersendiri buat sang suami. Ya jelas saja, siapa yang akan melupakan
pahit-manisnya hidup bersama Hong Kong selama 4 tahun lamanya. Jadi, aku sangat
mengerti saat Eugene hanya terdiam menatap langit Hong Kong beserta
gedung-gedung pencakar langitnya. Aku juga memahami bahwa ini memang kali
pertama Eugene menyambangi Hong Kong lagi setelah terakhir kesini tahun 2019, dua
tahun setelah ia lulus kuliah dari The University of Hong Kong.
Selain berhasil mampir dan bertemu pemilik apartemen
Eugene yang ternyata diketahui bernama David Cheung itu, aku dan Eugene
jalan-jalan ke beberapa tempat yang juga menjadi tempat bersejarah buat Eugene
seperti tempat makan favoritnya bersama teman-temannya, minimarket
langganannya, hingga dessert shop
yang sering dijadikan tempat nongkrongnya dan teman-teman kampusnya. Plus
kampus Eugene, Departemen Arsitektur The University of Hong Kong. Karena
tempatnya cukup luas, akhirnya Eugene hanya menunjukkan ku gedungnya secara
singkat saja tanpa masuk ke dalam gedung dan ruang kelasnya.
“Ah kapan-kapan bisa lah, Yang, kita kesini lagi.
Nanti kalau kesini lagi aku ajak kamu masuk ke dalem juga. Ini juga kan hari
Sabtu, mana buka kampusnya”, ucap Eugene sambil menoleh ke kanan ke kiri untuk
nostalgia.
“Iyaa juga sih. Eh, Yang, aku mau tanya dong. Kamu
dulu kuliah disini dibilang orang lokal nggak sama temen-temenmu? Secara wajahmu
oriental banget gini?” tanyaku sambil sesekali memotret gedung kampus itu
menggunakan kamera smartphone-ku.
“Justru mereka ngira aku mahasiswa asing dari Korea,
Yang. Ada malah yang bilang, ‘kamu orang Singapore ya?’. Gitu. Jadi kalau
disangka orang lokal malah jarang. Tapi efeknya adalah kalau aku beli apa gitu
dipinggir jalan, kayak jajan gitu misalnya, ya mereka langsung ngajak ngobrol
pake bahasa Canton. Ya, karena mukaku China gini.”
“Tapi kan bukan karena wajah kamu oriental, tapi
karena kamu tinggal disini juga, jadi otomatis kita juga harusnya bisa bahasa
lokal kan? Dimana-mana kan gitu. Waktu aku exchange
di Malaysia juga gitu. Aku dulu keliatan banget orang asing karena nggak pake
hijab, tapi dimana-mana diajak ngomong pake Bahasa Melayu. Yaa, karena mereka
nggak mau tahu, kamu orang asing atau nggak, kalau kamu lagi disana, yaa kamu
udah dianggap jadi orang lokal yang fasih bahasa mereka.”
“Bener juga sih. Tapi kenapa kalau di Indonesia,
orang asing, terutama bule-bule, orang Indonesianya yang malah langsung ngomong
pake bahasa Inggris yaa? Even cuma
ngomong ‘hey sir how are you?’ Gimana
coba itu?”
“Kalau menurutku, harusnya tetep orang Indonesia
yang let the bule try to speak Bahasa
Indonesia. Tapi mungkin selama ini orang Indonesia memang excited kalau ngeliat bule, jadi
akhirnya orang Indonesianya yang excited
juga to try to speak like the bule do.
Ada sisi positifnya juga sih, kita jadi terpicu buat mencoba berbahasa asing,
mumpung ada orang bule. Tapi sisi negatifnya, kita yang jadi pengen ikutan ke
barat dan nggak mempertahankan bahasa sendiri. I mean, explicitly we kinda don’t want to keep and preserve our own
language. Itu yang membuat Indonesia gampang terjajah dalam tanda kutip
maksudnya akhirnya sangat banyak westernisasi yang ada di Indonesia. Alih
berdalih pakai merk luar negeri biar keren, padahal menurutku nggak sama sekali”,
panjang lebarku sambil masih memotret pemandangan sekitar.
“Wow. I have
no regret to marry you then. Impressive”, puji Eugene dengan senyumannya
yang membuatku kelepek-kelepek.
“Jangan gitu ah. Jadi, malu”, balasku tersipu malu
tapi pipiku tidak merona menjadi merah jambu karena warna kulitku yang memang
gelap.
“Eh serius. Tapi kamu bener banget, Yang. People in our country try to be… you know…
keren, but they don’t actually know what
an exact meaning of being cool. Bagiku, ada banyak hal sederhana yang bisa
kita lakuin. Misalnya… kalau di Indonesia ya, misalnya jangan egois sama
pejalan kaki atau minimal menghargai pengguna jalan yang lain lah. Kalau kita
udah bisa kayak gitu, I think that exactly
the cool means”
“Curhat yaa pak waktu di Jakarta kayak gitu? Hahaha.
But yeah, I agree. That’s one of a very
simple examples that we need to do”
Perjalanan di Hong Kong malah menyisakan kenangan
manis dengan memperbincangkan kehidupan dengan Eugene. Itu yang membuat
momen-momen di Hong Kong begitu sempurna. Tapi sayang waktu kami di kota ini
tidak banyak karena esok adalah hari dimana seluruh tantangan dan babak baru
akan dimulai! Yeaahhh, kami siap untuk San Francisco!
Eugene. SFO. 29
Agustus 2021. Masa Depan.
Setelah kurang lebih 12 jam menempuh perjalanan
udara, akhirnya gue dan Yureka sampai di bandar udara San Francisco International
Airport atau singkatannya SFO. Lucunya, kita yang berangkat dari Hong Kong
tanggal 29 Agustus malam, sampai di San Francisco juga masih tanggal 29 Agustus,
bahkan waktu masih menunjukkan sore hari. Begitulah efeknya kalau bumi itu
bulat dan Hong Kong dengan San Francisco berbeda hingga 15 jam zona waktu. Meskipun
capek dan agak jetlag, tapi gue lega banget karena Yureka resmi jadi warga SF
dan setelah sekian lama kita LDR-an, akhirnya kita resmi tinggal barengan. Hahaha.
Dari bandara, kita langsung ke rumah yang berada di
Broderick Street di wilayah Pacific Heights. Selama perjalanan dari bandara ke
rumah, gue nggak lihat muka capek di sisi Yureka. Sumpah, ini anak aneh banget.
Di pesawat juga katanya nggak terlalu banyak tidur. Tapi udah sampe pun dia
nggak keliatan lelah atau gimana. Mukanya happy gitu pula. Hahaha. Mungkin
dia emang beneran excited nginjekin tanah Paman Sam ini lagi. Syukur lah kalau
dia senang.
Yureka. San Francisco,
negara bagian California. Masa Depan.
Semua fenomena jetlag dan kelelahan akibat
penerbangan dan jalan-jalan singkat di Hong Kong kemarin langsung terhapuskan
begitu saja dengan kebahagiaan karena bisa menginjakkan kaki di tanah Amerika
ini lagi. Meskipun angin SF tidak santai, tapi aku suka dengan suasana kotanya
yang sangat friendly itu. Bukan
berniat membandingkan, tapi aku semacam gegar budaya alias culture shock dengan suasana kota San Francisco yang terkesan lebih
lay back dibanding orang-orang di New
York yang semuanya sangat rush dan
individualis. Ya, tipikal kota besar memang begitu. Apapun itu, sepertinya aku
akan jatuh cinta dengan kota ini.
Untuk memulihkan kondisi yang lelah, aku memutuskan
untuk berdiam diri di apartemen selama 3 hari. Sambil menyicil unpacking barang-barangku yang kubawa
dari Jakarta, aku juga melakukan hal-hal lain seperti merapihkan rumah, mendekor
ulang sedikit ruangan yang disesuaikan dengan barang-barang yang aku bawa, memasak,
mencuci baju, dan tidak lupa menulis. Tapi kali ini aku sedang tidak mood menulis di laptop. Entah mengapa
aku sedang mood untuk menulis sesuatu
di buku harianku.
Aku pun membuka kembali tulisanku yang belum lama
ini aku tulis. Itu, yang 27 gebetan itu. Aku baca-baca kembali isinya, dan
ternyata masih ada unek-unek yang ingin aku tuang ke dalam buku ini. Untungnya
waktu menunjukkan pukul 2 siang dan Eugene baru akan pulang sekitar jam 6 sore,
jadi seharusnya sangat aman untuk menulis sisa-sisa bahasan dari topik di buku
harian ini. Ya, masih mengenai Jamie. Aku rasa terakhir aku menulis bagiannya,
aku belum merasa puas. Maksudnya, masih ada cerita yang sebenarnya selama ini
aku pendam, berkaitan dengan rasa sukaku pada Jamie zaman dahulu.
$$$
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk keluar rumah.
Ya, tidak baik juga berlama-lama di dalam rumah. Aku akhirnya iseng pergi
jalan-jalan ke luar rumah. Hitung-hitung mengenal area di sekitar rumah baru.
Di sekitaran gedung apartemenku, ada banyak fasilitas yang tersedia di wilayah
ini, seperti perpustakaan umum, taman, rumah sakit, bioskop, minimarket, hingga
beragam restoran dan kafe termasuk restoran Asia. Mantap sekali, bukan? Ya,
jadi sejauh ini aku cukup suka dengan areanya.
Masih penasaran, aku melanjutkan langkahku. Kalau
sebelumnya aku keliling ke arah Presidio Avenue, kali ini aku menuju arah Geary
Boulevard karena aku mau makan siang di restoran Korea bernama Zazang yang
berada di jalan tersebut. Dan kali ini, aku menemukan sesuatu yang membuatku
takjub dan setengah tidak percaya.
Jadi, aku sempat pulang untuk sholat dzuhur
sekaligus istirahat sejenak karena ya tahu sendiri San Francisco itu banyak
tanjakannya, jadi wajar kalau aku belum terbiasa dan mudah kelelahan. Setelah
itu aku berniat pergi ke restoran Korea Zazang dari rumahku yang berada di Jalan
Broderick. Kalau menurut Google Maps, aku hanya lurus terus saja ke menuju
Geary Boulevard selama 9 menit lalu belok kiri.
Baru melewati satu blok dari rumahku di Broderick
Street, aku melihat ada sekawanan orang sedang berfoto-foto di depan sebuah
rumah bernomor 1709 di jalan yang sama. Tadinya kupikir “Ah paling ada tindak kejahatan
yang baru saja terjadi. Namanya juga Amerika. Bukan hal yang mengejutkan kalau
ada tindak kriminal meskipun di siang bolong. Toh dulu di New York aku juga pernah
melihat suasana seperti itu, di siang bolong juga. Eh tapi kok pada foto-foto selfie sih mereka? Nggak mungkin dong
orang mau swafoto di lokasi TKP kejahatan kayak gitu?”.
Karena penasaran, aku pun menghampiri kerumunan
orang-orang tersebut. Tapi anehnya di depan rumah itu terpasang pagar yang
dilapisi kain berwarna hijau dan ada di kertas yang di-print bertuliskan “Please
keep the volume way down (You know, act the way you would like fans to act
outside your house 24/7)”. Aku pun tidak mengerti tempat apa ini. Padahal
hanya sebuah rumah biasa. Lalu aku iseng tanya ke seorang bapak-bapak yang baru
saja selesai memotret anak perempuannya.
“Excuse me,
why is everyone taking pictures here?”, tanyaku pada seorang bapak-bapak
berusia sekitar 50 berperawakan agak gempal memakai kemeja kotak-kotak biru
putih dan memakai topi berlogo dan bertuliskan “NASCAR”.
“Don’t you
know this place, young lady? This house is a legend!”, jawab bapak-bapak
itu sambil sesekali memotret rumah itu dan juga memotret putrinya.
“And…”
responku semakin penasaran.
“Legend.
Everyone wants to visit this house…”, lanjutnya masih memegang handphone-nya dan memotret kembali
putrinya.
“Because…”
balasku dengan ritme semakin lambat seakan masih tidak tahu tempat apa itu.
“Come on. You
never watch the series? Even the newest one that aired in 2 years ago?”,
tanya si bapak tua meyakinkanku.
Aku berusaha mengingat-ingat dan mencari tahu sebenarnya
rumah ini punya siapa dan mengapa si bapak itu keukeuh mengatakan bahwa rumah
ini adalah legenda yang sayang kalau dilupakan.
Bapak tua pun menambahkan informasinya, “When you watch television and you’re in San
Francisco, then…”
Tiga detik kemudian aku membelalakan mataku sambil
berkata, “Full House! And the Fuller
House, the latest one! Oh my God! FULL HOUSE! Wow!”
“Yeah!”
“Wow!”
“Yeah!”
“Wow!”
“Yeah! You got
it eventually, young lady!” seru si bapak tua menanggapi reaksi histeriaku.
“I know, I did!
Unbelievable! You know, Michelle, DJ, Stephanie, Danny, Uncle Jo, Uncle Jesse… Also…
Oh! Jackson, Max, Tommy, Ramona, Kimberlina… and… Oh my favorite one, Fernando
Hernandez-Guerrero-Fernandez-Guerrero. Yeah! Wow!”, ucapku masih histeria.
“Yeah!”
“Wow! I mean,
seriously? This is the house? I still can’t believe it!”
“Yeah, this is
the house. Well, at least that what Google said. Hahaha. So, you’ve watched the
series, haven’t you?”
“Oh sure! I’ve
watched all of the episodes. Both. The 80s and the 2016”, jawabku masih
terpana dengan rumah Full House itu.
“That’s great!
So did us. Oh, you want me to take you some pictures?”
“Oh… No. It’s
fine. It’s totally fine. I live in the neighbourhood. I can take many pictures anytime I want next time. Don’t worry. Hahaha”
“Then, could
you please take me some?”
“Oh sure!
Absolutely!”
Kejadian itu malah berakhir dengan aku yang memfoto
si bapak ini. Tidak apa, hitung-hitung membantu keluarga turis ini melengkapi
kebahagian mereka di hari yang cerah itu. Aku juga malah jadi ngobrol-ngobrol
dengan bapak yang diketahui bernama Steve ini. Steve dan istrinya juga dua
putrinya datang dari Naperville, Illinois ke California untuk liburan selama
beberapa hari. Kebetulan putri sulungnya sedang kuliah di University of
California Berkeley. Bukan, bukan yang tadi dia foto. Itu putri bungsunya,
Victoria atau akrabnya disapa Vicky. Kalau yang di Berkeley namanya Kelly, dan
satu lagi yang juga ikut mereka saat ini bernama Hillary.
Karena UC Berkeley masih satu state alias negara bagian dengan SF, Steve, istrinya, dan dua
putrinya yang ia ajak saat itu, memutuskan untuk mampir ke San Francisco dan
rumah Full House ini lah yang menjadi incaran Steve selama ini karena ia
mengaku ia adalah fans garis keras serial TV 80an itu. Dia juga mengaku kalau dia
belum pernah ke San Francisco sebelumnya. Jadi mumpung sudah di daratan
California, inilah saat yang tepat untuk mewujudkan keinginan sederhananya sejak
dulu yaitu melihat rumah Full House yang uniknya menjadi history landmark Kota San Francisco. Luar biasa!
Berkat rumah ini, aku malah jadi bertukar alamat
email dan facebook dengan Steve dan juga istrinya, Katherine. Mereka bilang,
kalau aku ke Illinois, misalnya ke Chicago yang paling dekat dengan Naperville,
jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi mereka. Ah, baik sekali keluarga ini. Luv!
Setelah bercengkrama hangat dengan keluarga Steve
sekitar 40 menit, aku baru sadar kalau sebenarnya aku itu mau ke restoran korea
untuk makan siang. Tapi karena saking senangnya menemukan rumah Full House dan
juga malah asyik ngobrol dengan keluarga Naperville tadi, aku jadi tidak lapar.
Hahaha. Yureka memang aneh. Tapi niatku ke restoran tetap aku lakukan. Ya
iyalah, meskipun lupa kalau tadinya lapar, tapi untuk urusan perut tetap harus
dipenuhi. Begitulah hidup.
$$$
Malamnya, ketika Eugene baru sampai rumah, aku
langsung lari ke arahnya dan memeluknya dengan erat.
“Heh, kenapa ini orang? Aku bau loh, Yang, belom
mandi. Nggak enak ah kalo dipeluk-peluk gini”, tanya Eugene keheranan.
“I don’t care”,
jawabku masih memeluk erat sang suami.
“So? What
happens?” tanya Eugene kembali masih keheranan.
“Thank you so
much!” jawabku dengan wajah berseri dan melepas pelukan erat itu tapi kedua
tangan masih berkalung ke belakang leher Eugene.
“For what?”
“For renting
this house. And let us live here by now and maybe forever”
“Because…”
“Don’t you
know something in the neighbourhood?”
“What? What? I
don’t get it, Honey”
“Sayang, rumah ini itu ada di jalan yang sama sama
rumahnya Full House!”
“Full House? Apaan tuh?”
“Ih masa nggak tahu sih? Yang serial tv itu loh”
“Oh aku tahu. Eh tapi kan itu di Korea. Aku pernah
nonton juga loh sama Mama. Eh tapi kan itu di Korea. Bukan di SF”
“Bukan Full House yang ituuuu, Eugine-a! Itu mah
Rain sama Song Hye Kyo yang main. Aku juga tahu kalau yang itu. Yang Full House
Amerika, Sayang. Kamu gimana sih?”
“Coba tunjukin di google kayak apa”
“Nih…”
Langsung ku raih handphone Eugene yang kebetulan
sedang ia pegang saat itu dan mengetik kata “Full House” di Google dengan cepat.
Aku bahkan putar juga opening theme-nya
supaya Eugene ingat.
Ternyata jawaban Eugene hanya, “Aku nggak tahu.
Nggak pernah nonton”
“Hah. Payah. Nggak asik ah”
“Eh beneran aku nggak tahu. Kan kamu tahu aku nggak
suka film, apalagi Hollywood punya. Mana apal aku, Yang.”
“Ini lagian bukan film, Sayang. Ini serial televisi.
Series gitu yang ber-season-season”
“Yah, apalagi itu itu, Sayang. Mana aku ngerti. Sorry ya”
“I know. It
ain’t your world. But, it’s okay. I understand. But still, thank you”
“You’re
welcome. Tapi emang beneran satu jalan Broderick Street sama rumahnya?”
“Iyaa beneran. Besok deh pas weekend kita sambil
jalan-jalan keluar, nanti aku tunjukin rumahnya.”
“Oke”
“Btw,
kenapa sih kamu ambil rumah yang ini? Katanya waktu itu sempet susah cari
apartemen atau rumah disini yaa?”
“Mau aku ceritain? Sambil makan tapi. Laper soalnya.
Yuk!”
“Boleh. Yuk!”
Dengan lauk sup ayam dan bakwan jagung, kami berdua
makan sambil bercerita panjang lebar termasuk Eugene yang menceritakan proses
mendapatkan rumah ini. Ternyata apartemen yang kami tinggali ini adalah
apartemen yang dulunya ditinggali oleh salah satu kolega Eugene di kantor.
Namanya Adrien. Waktu tahu dia mau dipindahlokasikan di cabang Eropa, Adrien
sempat menyayangkan kalau apartemennya ditinggal begitu saja karena dia keburu
sudah bayar 3 bulan. Jadi, menyewa rumah atau apartemen di Amerika juga wajar
kalau menyewanya 3 bulan sekali, tidak hanya sebulan sekali saja. Kebetulan
Adrien lebih suka menyewa rumah yang bayarnya 3 bulan sekali bahkan lebih dari
itu. Katanya kalau sebulan sekali dia suka lupa. Nah karena saat dia mau
dipindahkan, masih ada 2 bulan tersisa, akhirnya ia memberi tahu ke semua
koleganya termasuk bosnya siapa tahu ada teman atau keluarga yang butuh tempat
tinggal sementara di SF. Dan dari situlah Eugene diberitahu oleh bosnya kalau
Adrien masih punya kontrak 2 bulan dengan landlord-nya.
Karena sudah keburu nyaman di apartemen ini dan
malas cari yang baru, Eugene pun melanjutkan sewanya dan hingga sekarang aku
dan Eugene tinggal disini. Aku juga sepakat dengan Eugene kalau kedepannya kami
bakalan tinggal disini. Pokoknya selama Eugene dikontrak kerja di SF, kami akan
stay disini dan berusaha untuk tidak
mencari rumah baru. Karena masih berdua dan belum ada anggota keluarga baru, jadi
kami merasa rumah ini cocok untuk pasangan yang sedang menata kehidupan baru
sebagai perantau. Selain harga yang terjangkau, akses ke kantor Eugene pun hanya
memakan waktu 10 menit saja naik mobil. Terlebih lagi, rumah ini sangat amat
dekat dengan rumah Full House tadi. Jadi, nikmat Tuhan mana lagi yang kau
dustakan, Yureka?
Yureka. November
2021. San Francisco dan tanjakan-tanjakannya. Masa Depan.
Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, satu bulan terlewati,
dua bulan juga sudah berhasil dilalui, hingga resmi tiga bulan sudah aku
tinggal di San Francisco. Sudah masuk musim dingin, angin di San Francisco
makin tidak santai. Jangan ditanya lagi SF yang dekat dengan pantai ini
anginnya seperti apa. Tapi aku sudah mulai terbiasa dengan suasana dan
lingkungan di kota ini, termasuk dengan tanjakan-tanjakannya yang secara
langsung membuatku semakin langsing. Terima kasih, SF!
Suatu waktu, aku ditinggal sendirian di rumah karena
Eugene tugas ke kantor cabang di New York selama 1 minggu. Ya, ini business trip pertamanya dia sejauh ini.
Keren sekali baru beberapa bulan dipekerjakan di kantor interior design itu, ia sudah bisa business trip. Ke New York pula. Semakin cinta dan bangga aku
padanya! Tapi aku yakin dia tidak akan menemui masalah selama tugas disana. Ya
iyalah, dia kan pernah tinggal di New York selama 2 tahun. Sudut-sudut New York
harusnya dia sudah hapal di luar kepala semua. Toh, gedung-gedung dan
jalanannya tidak akan pindah kemana-mana.
Karena tidak ingin bete sendirian hanya berdiam diri
di rumah, aku selalu menyempatkan diri ke luar rumah, entah itu ke supermarket,
makan di luar, ke bioskop, atau sekadar baca buku di perpustakaan dan juga
jalan-jalan ke taman. Kebetulan Eugene tidak membawa mobilnya. Oh ya, kalau di
SF sebenarnya bisa saja aku naik angkutan umum. Ya, seperti yang diketahui
kalau di SF punya tram. Tapi Eugene bilang kalau di California akan sangat
mudah kemana-mana kalau punya mobil. Bukan sombong juga yaa, tapi juga karena
banyak tanjakan jadi sepertinya tidak terlalu nyaman kalau kemana-mana harus
melulu jalan kaki dan naik tram. Oh, bumiku tercinta maafkan aku karena
keluarga kecilku menyumbang emisi gas baru untuk udaramu!
Suatu hari, aku iseng ingin mencuci baju di coin laundry di sekitaran area Pacific
Heights. Kebetulan ada satu bernama Cow Hollow di Pierce Street. Sekitar jam 10
pagi aku pergi ke Cow Hollow dengan mengendarai mobil berwarna biru ini bermerk
Fiat ini. Hmmm, agak kaku memang menyetir di sebelah kiri. Tenang, aku sudah
mengantungi SIM Internasional. Aku pun sudah beberapa kali berlatih membawa
mobil di sebelah kiri waktu di New York dulu. Tentunya Eugene yang memaksaku
supaya aku bisa mengemudi mobil sendiri. Katanya aku harus mandiri kalau memang
kemana-mana mau naik mobil selama di SF. Tapi karena baru tiga bulan juga
pindah ke negara yang jalanannya terbalik dengan di Indonesia ini, yaa wajar
lah kalau kagok. Terlebih SF banyak tanjakan, jadi gugupku berkali-kali lipat
menjadi tak terhingga.
Bersyukur aku sampai di Cow Hollow dengan selamat.
Tidak menabrak apapun. Alhamdulillah. Ya, meskipun sepanjang perjalanan kagok
sejadi-jadinya, tapi semuanya aman.
Sambil menunggu cucian di cuci di mesin yang bisa
muat hingga 10kg ini, aku membunuh waktu dengan membaca majalah atau sesekali
mengakses Instagram dan bersua dengan teman-teman di Indonesia meskipun hanya
lewat Insta Story-nya, termasuk ada
mantan kolega yang meng-update
kegiatannya makan gado-gado 12 jam lalu. Haduh, aku jadi ingin makan gado-gado
siang ini.
Waktu hampir menunjukkan pukul 12 siang. Setelah
mengetahui cucianku sudah kering, aku langsung mengemasnya kembali ke tas. Eh
tapi tasnya bukan yang aku pakai waktu membawa mereka saat masih dalam keadaan
kotor. Waktu masih kotor tadi aku taruh di dalam kardus. Hahaha. Sedangkan yang
sudah bersih dan wangi ini aku masukan ke tas plastik besar kepunyaan IKEA.
Tahu dong yang mana? Ya, pokoknya yang itu.
Karena waktu juga sudah menunjukkan jam makan siang,
aku pun memutuskan untuk makan di luar saja karena kalau pulang dulu lalu masak
sepertinya tidak cukup waktunya. Sudah keburu kelaparan nanti. Aku dari awal ke
coin laundry juga sudah punya rencana
untuk makan di luar. Tapi mau makan apa yaa? Hmmm sepertinya makan burger enak.
Aha, aku punya ide! Bagaimana kalau pergi ke In-N-Out saja? Ya ya ya. Wajib
hukumnya kalau ke SF mencicipi hamburger dari restoran ini. Semua warga
California siapa yang tidak tahu.
Saat keluar coin
laundry dan menuju ke mobil, ada seseorang yang memanggil namaku,
“Yureka, is
that you?!”
Siapa itu? Apakah itu hantu? Ih serem. Oh, pasti
bukan. Ini kan masih siang. Tunggu. Aku harus mencari sumber suara itu. Tapi tunggu,
meskipun sudah tiga bulan tinggal di SF, aku kan belum banyak punya teman
disini. Kecuali beberapa kolega Eugene dan juga beberapa tetangga rumah. Dan
suara yang kudengar ini, aku mengenali suara ini. Namun yang aku ingat, suara
ini bukan suara orang-orang yang aku kenal di SF. Lalu siapa si pemilik suara
ini?
Lima detik kemudian, aku menemukan sumber suara
tersebut. Lalu sontak berkata,
“Jamie? Oh my
God! Jamie?!”
Ya, Jamie, si mantan gebetan nomor 25 yang baru saja
aku tulis namanya di dalam buku harianku belum lama ini. Oh Tuhan, mengapa ini
terjadi? Apakah ini karma?
[BERSAMBUNG]
Lanjut Episode 5 --> Double Yu S3E5
Comments
Post a Comment