DOUBLE YU SEASON 3 - Episode 2 : "Kampus dan Buku Harian Yureka"
Double Yu – Season 3
Episode 2 : "Kampus dan Buku Harian
Yureka"
Yureka. Pertengahan Februari 2021. Jakarta. Masa
Depan.
Pasca menikah dengan Eugene, ya semuanya tidak
berubah. Tapi semenjak ada kejadian tidak menyenangkan di Incheon pekan lalu,
aku jadi agak canggung dengan keluarga besar Eugene, Keluarga Kang. Seakan aku
tidak akan pernah siap untuk bertemu mereka lagi di kemudian hari. Tapi ya
sudah lah, lupakan sejenak kejadian kemarin. Hitung-hitung belajar menghadapi
orang Korea yang memang ternyata seperti itu. Yang seperti itu yang bagaimana?
Aku tidak bermaksud bersikap rasis terhadap budaya
lain, apalagi konteksnya ini adalah keluarga besar suamiku. Hmm, tunggu,
lidahku masih kaku kalau menggunakan kata ganti “suami” untuk memanggil Eugene.
Ya, supaya tidak canggung, aku akan tetap pakai nama dia saja. Ya, sepertinya begitu
lebih oke di lidah ini. Kembali ke cerita tidak menyenangkanku di Incheon
baru-baru ini. Ya, jadi beberapa hari setelah resepsi pernikahanku dengan
Eugene di Jakarta tanggal 30 Januari lalu, kami juga sempat merayakan resepsi di
Bali, di kampung halamannya Eugene. Acaranya memang dibuat private karena yang diundang hanya rekan-rekan bisnis Mama dan
Papanya Eugene disana yang tidak sempat diundang di Jakarta.
Begitu juga dengan teman-teman sekolah Eugene yang
masih tinggal di Bali. Ya, mereka juga diundang, khususnya teman-teman SMP-nya.
Waktu sekolah dulu, terutama waktu Eugene SMP, hubungannya dengan teman-teman
SMP-nya sangat amat dekat dan akrab, bahkan hingga sekarang. Tidak sepertiku
yang teman SMP saja hanya bisa dihitung dengan jari. Maklum aku dulunya sempat
menjadi homegirl. Hahaha. Eh tapi
bukan berarti teman SMA-nya tidak diundang yaa. Diundang kok, kebanyakan teman
sekelas dan teman satu klub basketnya. Termasuk mantannya, Novi. Ya, mantannya
Eugene datang waktu itu. Ya, sejujurnya aku tidak mengalami halusinasi seperti
ingin mencekik mantannya Eugene atau sebaliknya di acara pernikahan kami itu.
Jadi, yaa nggak kenapa-kenapa juga. Kalau sampai kejadian, pasti hal itu sudah
masuk ke dalam daftar pengalaman tidak menyenangkan pribadiku ke dalam memoriku
sendiri yang mungkin tidak akan bisa dilupakan seumur hidup. Jadi beruntungnya seluruh
rangkaian acaranya berjalan lancar dan menyenangkan.
Setelah resepsi di Bali, kami sekeluarga, mulai dari
Eugene, Mama, Papa, Genji, bahkan guru privat bahasa Koreaku, Kak Tasya, semuanya
bertandang ke Incheon, Korea Selatan yang tidak lain dan tidak bukan adalah
kampung halaman Mamanya Eugene. Oh yaa, pengasuhnya Genji dan supir pribadi
Papa tidak ikut karena katanya takut tidak bisa makan makanan Korea selama di
Incheon. Kalau tidak salah mereka pernah ikut Eugene sekeluarga berlibur ke
Korea Selatan, ke Jeju Island, Busan, Incheon, dan termasuk Seoul beberapa tahun
lalu. Katanya mereka semacam kapok karena tidak cocok dengan makanan Korea.
Menurut pengalaman, mereka ujung-ujungnya makan KFC atau McDonald’s, sangking
tidak doyan dan lahap kalau makan makanan Korea. Hahaha. Bagaimana ini?
Kembali soal pergi ke Incheon, awalnya aku dan
Eugene memang berniat honeymoon meski
sampai detik ini aku dan Eugene belum berbulan madu secara ‘official’ tapi daripada bingung, Eugene dan keluarganya punya ide
untuk mengajakku ke Incheon dengan tujuan supaya aku bisa lebih mengenal
keluarga besar Mamanya. Ya, walaupun juga sebagian besar keluarga Incheon sudah
datang ke resepsi yang di Jakarta tapi ada juga yang tidak datang. Jadi yang
sudah datang jadi dua kali datang. Yah namanya juga orang kaya, bebas
menghamburkan uangnya, apalagi untuk anggota keluarga tercinta, berapa pun Won
yang keluar sepertinya tidak akan bermasalah.
Awal-awal berkenalan dengan anggota keluarganya yang
belum aku kenal, yaa baik-baik saja, seperti normalnya orang berkenalan. Tapi
ada satu hal yang sedikit membuatku tidak nyaman, yaitu beberapa sepupu Eugene
yang sepertinya tidak menerima kehadiranku sebagai anggota baru di Keluarga
Kang. Aku sempat bingung ekspresi apa yang harus aku tunjukan. Fake smile? Tidak mungkin, karena sudah
keburu aku kecewa. Marah? Tidak juga. Masa hanya karena hal sepele seperti itu
aku jadi merajuk. Sedih sampe tersedu-sedu? Ih lebay. Akhirnya yang bisa aku
lakukan malam itu adalah izin pergi tidur ke Eugene dengan alasan aku terlalu
lelah karena perjalanan udara yang panjang di hari itu.
Tapi mungkin naluri seorang partner selalu kuat.
Eugene pun tidak lama menghampiriku ke kamar tidur di lantai 2 rumah Kakek Kang
Dong Wook dan Nenek Meiyin Wang itu. Eugene bertanya apa semuanya baik-baik
saja. Awalnya aku tidak ingin berkata apapun ke Eugene, tapi akhirnya aku jujur
tentang apa yang aku rasakan malam itu. Dan ternyata dugaanku benar.
“Kamu kok bisa tahu kalau sepupu-sepupu aku
ngomongin kamu? Kan kamu…”, tanya Eugene di kamar.
“Aku apa? Nggak bisa bahasa Korea? Ya aku tahu sih
aku belom dapet nilai TOPIK sampe sempurna, tapi masa nggak bisa liat dari
bahasa tubuh mereka, Jin. Mereka nggak suka kan sama aku?”, jawabku ketus.
“Hmmm to be
honest… and I am sorry to say this. But anything happens, you’re my wife, and I
should protect you whatever it takes…”
“So?”
“Yap. Mereka ngomongin kamu tadi. Mereka bilang aku
nggak bisa pilih pasangan sampe aku harus pilih yang nggak bisa dandan dan lain
sebagainya…”
“Tuh kan bener”, sahutku kecewa sambil melipatkan
kedua tangan.
“Tapi, Sayang jangan sedih dulu. Aku tadi langsung
ngomong kok sama mereka dan aku marah juga sama mereka”, lanjut Eugene.
“Kamu bilang apa emangnya?”
“Yaa aku bilang aja aku kecewa mereka judge kamu kayak gitu. Aku juga bilang
kalau aku nerima kamu apa adanya and I
don’t care of what they say. I really don’t. Trus, aku juga bilang ke
mereka kalau mereka nggak seharusnya bersikap kayak gitu ke kamu, and that’s not what family do. Meskipun
mereka nggak suka sama kamu sekalipun, harusnya sebagai keluarga, mereka bisa
nerima kamu apa adanya. Ya kan?”
“Ohh so sweet
deh kamu. Thank you ya, Sayang”
“Yes, honey.
All my pleasure. Dan aku juga bilang
ke mereka, silahkan aja mereka nggak suka sama kamu karena masih ada anggota
keluarga lain yang support kamu dan
kita”
“Oh my God. I’m
so relieved to hear that. And surely I will never regret to marry you. Thank
you, Sayang”
Percakapan itu berakhir peluk-pelukan. Hmm untung
sudah sah, aku tidak perlu lagi merasa berdosa setiap kali memeluk Eugene
seperti ini. Hahaha. Tentunya aku lega, karena hari itu aku lalui dengan sebuah
pelajaran baru, bahwasanya menikahi seseorang memang harus siap menerima siapa
keluarga besarnya. Dan sekalipun ada salah satu atau banyak anggota keluarganya
yang tidak menyukai kita, ya acuhkan saja. Eh, tapi tetap harus menjaga
komunikasi dan silahturahim supaya berkah. Tunggu, ini pernyataan atau ceramah
kajian? Ya, intinya seperti itu.
$$$
Baiklah, hidup harus berlanjut. Meskipun berlanjut,
tetap saja ada rintangan yang nyata di depan mata. Jadi, setelah menikah dengan
Eugene, aku belum bisa tinggal bersamanya selama beberapa bulan kedepan. Ini
terkait kerjaan Eugene di Singapura yang masih terikat kontrak sampai pertengahan
tahun 2021 ini. Entah akan diperpanjang atau tidak, semuanya belum tahu pasti.
Awalnya aku berniat menyusul Eugene dan pindah ke Singapura,
tapi berhubung aku masih menikmati pekerjaanku yang sekarang, jadi aku tetap stay di Jakarta. Ya, memang pekerjaanku
dua tahun terakhir setelah lulus dari New York University, sering bergonta-ganti
pekerjaan. Ini bukan hanya ada masalah atau bagaimana, melainkan kesempatan
yang lebih baik yang datang untukku untuk memperbaiki kualitas diriku dan juga nasib
karirku di masa depan.
Selain pernah bekerja di majalah anak-anak yang
kemudian merasa tidak betah, aku pindah bekerja ke museum dan itu pun berkat
bantuan sahabatku, Nina. Dan setelah itu kesempatan menjadi tim produksi film
pun datang kepadaku. Ya, akhirnya ilmu yang aku asah di New York dulu
setidaknya sedang terpakai sekarang ini. Saat ini aku sedang mendapat project sekaligus direkrut menjadi tim
produksi di salah satu rumah produksi di bilangan Jakarta Pusat. Entah ini akan
permanen atau tidak, tapi yang pasti aku sedang menikmati semua prosesnya.
Eugene pun setuju aku menerima tawaran ini. Dia bahkan yang lebih excited waktu mendengar aku mendapat
kesempatan ini. Katanya hitung-hitung menambah jam terbangku menjadi penulis
plus bisa menambah poin di CV-ku. Hehehe. Bisa saja si suami. Duh, tunggu,
masih ngilu kalau mengistilahkan Eugene dengan kata “suami”. Maaf yaa, namanya
juga pengantin baru. Hehehe.
Masih bicara soal bekerja menjadi penulis skenario
film, kesempatan itu datang padaku saat aku ikut seminar sinematografi di salah
satu perguruan tinggi swasta di Jakarta Barat. Dari situlah aku tidak sengaja
ngobrol-ngobrol dengan salah satu Art Director dari rumah produksi tempat aku
bekerja sekarang. Yaa, tidak ada yang menyangka kan kalau kesempatan emas itu
memang akan selalu ada. Dan ketika ada di depan mata, jangan pernah
disia-siakan!
Bicara soal seminar di perguruan tinggi, gara-gara
seminar itu juga aku bertemu dengan seorang almamater kampus S1-ku. Kebetulan
kami duduk bersebelahan waktu itu. Namanya Malika. Ia baru semester 2 di
jurusan yang sama seperti aku kuliah dulu, jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Paramadina. Perawakannya baik dan tutur katanya lembut. Tidak seperti aku yang
banyak cakap dan kadang masih suka berkata sumpah serapah. Kalah jauh dengan
Malika pokoknya. Hahaha.
Dari percakapan dengan Malika itulah aku juga jadi
punya kesempatan datang ke kampus lagi setelah beberapa tahun tidak bertandang
kesana. Tuh coba kalau aku tidak bertemu dengannya, mungkin sampai tahun 2050
aku tidak akan menyempatkan diri waktu main-main ke kampus almamater tercinta. Nah,
dari kedatanganku ke kampus itu lah aku diberi kesempatan menjadi pembicara
seminar yang diadakan oleh BEM Fakultasku. Seminarnya bertajuk “Indonesian Goes International, Why Not?”.
Ya, intinya aku diminta berbagi cerita dan pengalamanku kuliah S2 di New York
dan juga pengalamanku magang di komunitas teater lokal. Selain menceritakan
pengalaman dan memberikan informasi kuliah di Amerika, tentunya aku juga
memberikan motivasi kepada mahasiswa-mahasiswa untuk semangat mengejar
mimpi-mimpi mereka, apalagi untuk mereka yang sangat ngebet kuliah di luar
negeri sepertiku dahulu. Hehehe.
Seminarnya diadakan di hari Rabu 14 April 2021. Aku pikir
akan diadakan di akhir pekan, tapi menurut pengalaman anak-anak BEM katanya
kalau weekend banyak yang tidak
datang. Hmmm, padahal di zamanku kuliah dulu, justru weekend banyak mahasiswa yang datang menghadiri seminar. Ternyata
zaman sudah berubah yaa. Lahir tahun berapa aku ini? Apapun itu, aku tetap
senang bisa menjadi salah satu narasumber seminar itu. Walaupun harus ijin
kerja juga, tapi untungnya teman-teman satu tim dan kolega lainnya tidak
keberatan soal itu.
Seminarnya cukup seru karena tidak hanya aku dan
beberapa narasumber lainnya yang memberikan materi selama seminar berlangsung,
tapi ada juga ice-breaking yang
berhubungan dengan dunia internasional, misalnya panitia mengadakan kuis
kecil-kecilan yang pertanyaannya berhubungan dengan informasi kebudayaan yang
ada di dunia, atau lomba lipsync
menggunakan lagu-lagu dari berbagai bahasa asing. Asyik pokoknya.
Sangking serunya, 2 jam berlalu begitu saja tanpa
ada permisi-permisi. Benar-benar pengalaman pertama yang tak terlupakan! Selesai
memberikan materi di seminar, aku ngobrol-ngobrol santai dengan dosen yang
datang saat itu. Ditengah percakapan, ada Malika dan ketua panitia seminar,
Paula, yang juga ikut nimbrung. Setelah ngobrol santai, dosen-dosen pamit
pulang, begitu juga denganku. Namun saat aku ijin keluar ruang seminar, aku
tidak sengaja berkata “Haus deh. Pengen minum. Temenin yuk ke kantin!”. Apaan
sih Yureka sok akrab gitu ngajak dedek-dedek mahasiswa ke kantin. Tapi
untungnya ditanggapi Malika dengan positif dan menjawab “Iyaa Kak Yureka. Sama
nih. Pengen yang seger-seger. Yaudah yuk kak aku anter”.
Di kantin, tidak hanya aku dan Malika, ada juga
panitia lainnya yang ikut ke kantin. Kalau Paula akan menyusul karena dia harus
bantu beberapa panitia merapihkan ruangan dan mengurus hal lainnya. Ketua
panitia yang bertanggung jawab. Mantap!
Selama di kantin, tidak hanya makan dan minum saja,
aku dan mahasiswa lainnya juga jadi berbincang banyak hal. Termasuk kekepoan Wendy,
salah satu teman panitia yang bertanya padaku, “Kak Yureka kok nggak pernah
nge-vlog lagi sih sama Kak Eugene?”
Wah ternyata mereka bertanya hal yang random yang
tidak kepikiran di kepalaku. Hahaha. Yap, aku memang punya Youtube Channel dan
pernah membuat vlog bersama Eugene waktu kuliah di New York dulu. Tapi karena
keburu sibuk dengan urusan kampus masing-masing dan juga sama-sama menyusun tugas
akhir, akhirnya Youtube Channel-ku jadi terbengkalai.
“Ya ampun random amat nanyanya. Hehehe. Lagian
tahu-tahuan aja lagi aku punya Youtube Channel. Hahaha”, jawabku hampir
tersedak saat sedang minum es Fanta merah.
“Iyaa kak, waktu itu Bu Erin yang ngasih tahu.
Katanya Bu Erin temenan sama kakak di Facebook dan tahu itu gara-gara kakak
share ke Facebook kakak”, jawab Wendy.
“Eh iyaa juga sih. Hehehe. Channel Double Yu yaa.
Aku malah lupa punya channel itu. Untung kamu ngingetin. Hahaha.”, jawabku
santai tapi dalam hati berteriak seakan aku sudah menjadi selebriti di depan
dedek-dedek mahasiswa ini.
“Kenapa nggak dilanjutin, Kak?”, tanya Wendy lagi.
“Ya gitu lah. Dulu udah keburu sibuk sama tugas
akhir. Itu pun bikin vlog gara-gara tugas kampus kan. Eh sebenernya tugas
kuliahnya bikin film karena kan aku dulu jurusan nulis dan tugasnya tuh kerja
sama sama anak produksi perfilman. Akhirnya yaa filmnya di upload ke Youtube Channel, trus berlanjut waktu ngerjain project sama anak-anak Indonesia yang
ada disana. Nama acaranya Batik Day. Yaa, isinya tentang kegiatan event itu. Trus pas jadian sama Eugene
bikin juga deh. Karena aku sama dia lumayan sering jalan-jalan bareng, jadi iseng
aja diabadikan dalam bentuk video-video vlog gitu. Nama Channel-ku pun aku
ganti jadi DoubleYu. Jadi sekarang milik berdua gitu. Hehehe”, jawabku panjang lebar dan tetap
berteriak di dalam hati bahwa aku merasa mereka starstruck hanya karena vlogku itu.
“Aku suka banget tuh kak waktu vlog ke China Town,
kayaknya seru gitu”, sambung Malika.
“Iyaa iyaa gue juga nonton apalagi yang waktu mau
makan apa gitu tapi nggak jadi karena Kak Eugene udah keburu liat ‘eh Pork itu,
Yang. Nggak Jadi’. Hahaha. Ya kan kalau nggak salah gitu, Kak?”, tanya Uchi.
“Iyaa yaa, inget tuh. Dari jauh kita berdua liat.
Jadi itu kayak barbeque gitu, nggak
tahu namanya apa, tapi ngeliatnya enak gitu. Trus untung Eugene notice kalau itu Pork bukan Chicken atau
Beef gitu. Hahaha”, jawabku sambil tetap menyeruput es Fanta merahku.
“Iyaa Kak Yureka bikin lagi dong. Asik tahu liatnya
sama Kak Eugene”, lanjut Chintya.
“Iyaa InsyaAllah yaa nanti bikin lagi. Kasih ide
dong bikin konten apa. Hehehe”, jawabku jadi tersipu.
“Btw, Kak Eugene gimana kabarnya kak?”, tanya Malika
naif.
“Yehh elu, kayak kenal orangnya aja?”, protes Uchi
“Yaa emang kenapa? Kan udah pernah nonton vlog-nya,
anggap aja kenal. Hehehe”, jawab Malika membela diri.
“Hahaha. Santai aja kali. Hmmm, kabar baik dia.
Alhamdulillah. Baru aja dia WA. Katanya lagi makan siang tapi sendirian soalnya
lagi ketemu klien sendirian soalnya”, jawabku sambil membuka handphone sedikit.
“Dia emang kerja dimana sih kak?”, tanya Malika jadi
kepo.
Dari pertanyaan Malika itulah, akhirnya rasa
penasaran mereka tentang aku dan Eugene menjadi pertanyaan-pertanyaan yang
beranak pinang. Yaa sebagai kakak alumni yang baik yang juga ingin lebih dekat
dengan juniornya, aku jawab saja satu persatu. Mulai dari cerita tentang
pekerjaan Eugene yang sebagai interior
designer yang sekarang bekerja di Singapura, sampai latar belakang
pendidikan kami masing-masing, serta bagaimana kami berdua bertemu sampai
jadian dan akhirnya memutuskan untuk menikah.
“Ihh so sweet
banget sih Kak Eugene. Ada nggak yaa yang kayak gitu lagi? Satuuuuu aja buat
aku. Yang mukanya juga Korea-Korean gitu juga”, ucap Malika berkomentar.
“Ohhh jadi Malika dari tadi nanya karena itu. Iyaa
kak maklum si Malika emang fans berat KPop. BTS atau apa gitu demenannya”, bela
Uchi.
“Nggak pa-pa kali. Santai aja. Aku juga dulu lumayan
suka Korea tapi sempet nggak suka, eh malah dikasihnya yang Korea juga
ujung-ujungnya. Hehehe”, jawabku terpersona melihat ekspresi mereka yang juga
terkesima mendengar ceritaku tadi.
“Tapi kak kalau boleh tahu nih, apa sih yang membuat
Kak Yureka bisa suka sama Kak Eugene? Dan sebaliknya. Apa yang membuat kalian
saling jatuh cinta dan menerima satu sama lain?”, tanya Uchi yang membuat
percakapan berlanjut.
“Waduh pertanyaannyaaa. Hahaha. Berat banget Ya
Allah. Berasa seminar lagi nih dikasih pertanyaan lagi”, jawabku sambil tertawa
terbahak kurang cantik.
“Gapapa kak, itung-itung kasih kita tips cara
memilih pasangan yang oke”, ungkap Wendy.
“Kalau jodoh mah nggak kemana. Entar juga dateng
sendiri. Hahaha. Intinya sih aku sama Eugene emang udah dari sananya cocok kali
yaa. Mau gimana pun, mau secara cover
itu beda jauh, maksudnya dia kan ganteng ala Oppa-Oppa Korea gitu kan,
sedangkan aku, I have tropical skin which is itu jomplang banget, tapi kalau
secara personality udah saling klik,
udah saling memahami satu sama lain, jadi yaa nggak ada masalah sih. Nah
tinggal tugas kita aja sama pasangan gimana maintain-nya
sampai seterusnya”, jawabku panjang lebar.
“Trus soal kenapa Kak Yureka bisa suka sama Kak
Eugene itu apa? Dan yang kulihat di vlog Kak Yureka yang kalau nggak salah
jalan-jalan ke Kanada yaa, nah itu, kayaknya keliatan so in love banget sama Kak Eugene”, lanjut Malika.
“Hmmm berat sih sebenernya pertanyaannya. Tapi untuk
kalian yaa gapapa deh aku jawab. Hehehe. Okay, kalau soal apa yang bikin aku
suka sama Eugene, selain dia itu ganteng kayak aktor Korea yang udah pasti
bikin cewek kelepek-kelepek, dia itu nggak melihat aku dari luarnya aku, tapi dia
bener-bener nerima aku dari dalamnya juga. Itu yang membuat aku jadi…. Yaa gitu
deh…”
“Ohh so sweet!”,
ucap Malika dan Wendy spontan.
“Trus juga karena ada banyak persamaan diantara kita
yang bikin kita makin klik. Perbedaan juga ada kok tapi so far aku sama Eugene bisa atur semuanya sih. Selain udah saling
komitmen, kita juga saling paham apa yang disukain dan yang nggak disukain.
Kalo soal aku yang so in love sama
dia, hmmm sebenernya ada masa lalu yang bikin aku bersyukur aku bisa end-up sama dia…” jawabku sempat
terbata-bata.
“Hah apa tuh kak kalau boleh tahu?”, tanya Malika
lagi.
“Duh maaf yaa Kak, Malika kepo banget nih. Udah lah,
Lik, terlalu jauh pertanyaan lu”, sahut Uchi memotong pembicaraan.
“Nggak pa-pa kok. Itung-itung aku sharing pengalaman
juga ke kalian. Ya gitu deh. Pokoknya aku pernah ngalamin sebuah kegagalan yang
bikin aku bersyukur banget bisa sama Eugene sekarang. Tapi bukan kegagalan yang
misalnya aku udah jadian sama siapa trus udah rencana ini-itu trus gagal. Nggak
sih, Alhamdulillah nggak sampe kesitu. Tapi aku sering banget ngalamin yang
namanya… unrequited love”, jawabku
mendadak melankolis.
“Ya ampun. Sorry banget Kak Yureka. Aku jadi nggak
enak kepo-kepo kakak”, komentar Malika merasa tidak enak.
“Santai aja. Ini juga bisa jadi pembelajaran buat
kalian sih kedepannya. Kalian kan masih muda nih, masih panjang perjalanan
menggapai ‘True Love’-nya, jadi aku
saranin kalian kalau suka sama seseorang mending diem-diem aja deh. Kita sebagai
perempuan nggak bisa apa-apa. Maju duluan salah, nggak maju juga akan ada
penyesalan. Tapi kalau kalian mau fight
for it, aku dukung kok! Yeaay!”, lanjutku tetiba bersemangat.
“Tadi Kak Yureka sempet bilang, Kak Yureka sama Kak
Eugene dicomblangin. Berarti yang suka duluan siapa kak? Trus kok bisa si… Kak
Anna itu bisa jadi mak comblangnya Kak Eugene sama Kak Yureka?”, tanya Wendy
melanjutkan percakapan.
“Mungkin Kak Anna tuh intuisinya kuat banget yaa.
Hahaha. Tapi katanya Eugene sering curhat ke Kak Anna soal rasa tertariknya dia
ke aku. Trus pas suatu hari aku nggak sengaja curhat ke Anna juga soal rasa
sukaku ke Eugene, yaudah nggak lama setelah itu Kak Anna langsung auto nyomblangin kita”, jawabku kembali
tersenyum.
“Tapi keren banget bisa jadian dan langgeng sampe
akhirnya bisa nikah. Salut deh kak!”, jawab Malika mengacungkan dua jempol.
“Berarti itu namanya udah jodoh, Lik. Tuh, Lik.
Kalau Whatsapp lu nggak dibales Kevin nggak usah auto galau. Sabar aja”, ucap
Uchi.
“Ih kok Kevin sih”, protes Malika tersipu malu.
Percakapan tentang aku dan Eugene itu tetap berlanjut
hingga satu jam kemudian. Meskipun pertanyaan dari adik-adik mahasiswa masih
seputar kisah percintaanku dengan Eugene tapi aku senang dan justru tidak
menyangka bahwa aku akan bercerita seputar pengalaman percintaanku yang tidak
seberapa ini. Aku juga berharap mereka bisa belajar dari apa yang aku alami
itu.
$$$
Gara-gara menceritakan pengalaman percintaanku di
depan adik-adik junior gemas, sorenya saat pulang ke rumah, aku jadi mendadak in blue. Tidak bisa dipungkiri, meskipun
masa-masa itu sudah berlalu, tapi itu semacam menjadi momen napak tilasku ke
memori yang ada di masa laluku. Entah waktu masa-masa naksir dengan teman SMP,
SMA, bahkan cerita tentang seseorang yang pernah ada di hati selama kuliah S1
dulu. Duh, memori macam apa ini?
Karena merasa memori itu aneh ketika diingat
kembali, akhirnya aku memutuskan untuk memaksa diriku lepas dari suasana biru
itu dengan mencoba menelpon Eugene. Siapa tahu dia sudah selesai kerja dan aku
bisa sayang-sayangan sejenak meskipun hanya dari jauh.
Tapi ketika di telpon, Eugene tidak menjawab.
Padahal sudah kucoba 3 kali, ternyata tidak diangkat. Yaa, mungkin dia masih
bertemu kliennya. Ya sudah lah, namanya juga kerja, mau diancam pakai bom nuklir
juga tidak akan ngaruh.
Malam harinya, setelah masak dan makan malam yang
tidak lain adalah untuk diriku sendiri, aku kembali ke kamar dan membuka
laptop. Siapa tahu ada ide untuk membuat tulisan baru. Untungnya sih sejauh ini
deadline-ku merevisi naskah yang akan
dipakai syuting bulan depan sudah selesai aku kerjakan, jadi menulis kali ini free alias bebas dari embel-embel ‘tugas
dari PH’.
Ku coba mengetik satu kata, dua kata, dan
seterusnya. Tapi hanya stagnan di paragraf pertama. Tidak mood. Ku tengok ke arah kanan dan kiri ku. Melihat seisi ruangan
kamar. Mungkin ada yang bisa aku jadikan inspirasi. Seperti kap lampu misalnya.
Ah, kap lampu ini memang cantik dibeli di toko mabel Swedia itu. Tapi masa
aku mau bikin cerita horror yang berawal dari kap lampu. Kurang elegan.
Menengok ke kanan dan ke kiri malah membuatku tidak
sengaja melihat ke arah satu buku catatan atau notebook berwarna biru laut dengan corak abu-abu yang berdiri rapih
sejajar dengan banyak buku-buku milikku dan Eugene di rak buku dekat meja dan
kursi yang aku duduki sekarang ini. Karena penasaran, ku ambil lah buku catatan
berukuran A5 dan bertuliskan “KJRI New York” dan “Seminar Sumpah Pemuda 2017”
itu. Ah yaaaa, aku baru ingat aku punya buku catatan ini. Buku ini aku dapat
dari seminar waktu di New York dulu. Dan yaaaa, seminar itu lah yang sebenarnya
menjadi tempat aku melihat batang hidung Eugene untuk pertama kalinya.
Setelah dibuka isi buku catatan itu, yaa seperti
biasa coretan-coretan tulisan ku entah isinya tentang informasi seminar atau
tulisan semacam puisi yang aku tulis iseng kalau tiba-tiba kedapatan ide
menulis puisi. Tapi memang sepertinya sudah menjadi kebiasaanku kalau punya
buku catatan gratisan atau sekalipun aku beli, pasti semangat mencorat-coretnya
hanya sebentar, hanya di awal. Maklum lah perempuan, baru dapat dari seminar,
eh trus beli lagi dengan berdalih “Aww cute
sekali!”. Lalu kalau ada yang lebih lucu dan lebih multifunction dari yang sebelumnya, pasti langsung pakai yang baru,
entah itu beli atau lagi-lagi dapat dari seminar atau ikut talk show. Dasar,
Yureka. Dan kalau dilihat-lihat juga isi notebook
seminar ini cukup tebal sedangkan aku baru pakai beberapa halaman saja.
Karena merasa sayang-sayang kalau dibiarkan begitu
saja apalagi dibuang, aku memutuskan untuk menggunakannya kembali. Tapi bingung
mau aku gunakan untuk apa buku ini. Untuk menulis agenda? Sudah ada di gadget-ku.
Menulis ide-ide naskah baru juga sudah ada di notebook lainnya.
“Buat apaan yaa? Diary? Hmmm. Kayak bocah. Eh tapi yaaaa,
bisa aja sih buat buku harian gitu. Kan nggak pernah tuh gue nulis harian lagi
semenjak punya smartphone. Lumayan
lah bisa ngeluarin uneg-uneg gue. Eh tapi jangan sampe ketahuan Eugene deh.
Harus disimpan baik-baik nih buku.” Gumamku kepada buku catatan tersebut.
Ya, akhirnya buku catatan itu aku alih fungsikan
sebagai buku harianku di mana lembaran-lembaran yang sudah pernah aku
corat-coret sebelumnya aku sobek semua dan ku buang. Agak sayang sih catatan
waktu seminar dulu aku buang juga, tapi semua harus dilakukan dari awal. Start from the bottom yeaaahhh!
Karena masih agak in blue pasca berbagi cerita cintaku kepada adik-adik mahasiswa
yang menggemaskan, aku akhirnya punya ide untuk menulis sebuah tulisan yang aku
tidak menyangka bahwa aku akan menulis ini. Tulisan itu adalah tulisan nama-nama
pria yang pernah aku taksir dari zaman sekolah hingga kuliah sampai akhirnya
berakhir di Eugene. Ya, konyol memang. Entah apa motivasiku menulis ini, tapi
demi membuang atmosfer-atmosfer kebiruanku tadi siang, aku rela menulis ini
semua. Siapa tahu dengan mengingat-mengingat mereka sebentar, aku jadi bisa
kembali belajar tentang suatu hal dan lebih bisa memaafkan mereka plus berdamai
dengan diriku sendiri atas apa yang terjadi di masa laluku.
Tulisan pertama buku harian ini ku beri judul : “The
27 (Ex-) Crushes” atau istilah gaulnya “27 (Mantan) Cem-Ceman”. Duh
alay sekali Yureka ini. Ah tapi padanan kata yang tepat memang seperti itu.
Baiklah, aku pakai istilah “mantan gebetan” saja lah yaa. Dalam tulisan ini,
aku akan menuliskan 27 nama-nama orang-orang yang pernah aku taksir, baik
sebentar atau dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Baik yang ‘berakhir’
baik-baik maupun yang acuh hingga sekarang tidak pernah berkomunikasi lagi.
Baiklah, ini dia. Mereka adalah :
1.
…..
[BERSAMBUNG]
Comments
Post a Comment