Kumpulan Cerita Bersambung : DOUBLE YU - SEASON 2 (karya Yulia Sutjahjono)


DOUBLE YU 
(SEASON 2)

karya Yulia Sutjahjono


Untuk yang belum baca Season 1, silahkan klik link ini :)

=====================================================================

Episode 1 : Patung Liberty Jadi Saksi


Yureka. New York. 3.08 PM. November 2018. Masa Depan.

Guys, gue telat
Singkat, padat, jelas. Hanya tiga kata itu yang bisa aku ketik ketika profesorku berbicara 10 menit lebih lama dari waktu yang diperkirakan. Ya, sore ini pukul 4 aku ada janji dengan teman-teman Batik Day. Kata Kak Anna ada yang ingin ia sampaikan. Katanya juga penting. Entah apa itu. Yang jelas aku geregetan dengan dosen mata kuliah analisis skrip film satu ini. Masih muda, tampan, dan berwibawa. Namun sayang kalau sudah bercerita, durasinya mengalahkan serial Game of Thrones.
Ngomong-ngomong, kalian masih ingat Batik Day, kan? Itu loh acara seminar dan fashion show yang diadain KJRI dan dengan bantuan 8 mahasiswa tanpa dosa asal Indonesia yang masing-masing sedang mengais gelar S1 atau S2 di New York. Ya, meskipun acaranya sudah usai sejak lama, tapi kami masih saling menyapa, saling mengunjungi, saling bercanda, bahkan grup Whatsapp “Batik Day 2018” belum kami hapus, belum ada juga yang “left group”. Masih sama, orang-orangnya masih sama, masih sama-sama gila, masih sama-sama bercanda receh. Ah, dasar orang Indonesia. Tapi tetap saja aku cinta mereka!
“Duh lama deh nih dosen. Untung lu ganteng, Pak, kalo nggak… hmmm. Telat beneran deh ini gue ketemu anak-anak. Duh…”, gerutuku sambil menghentakkan kaki dengan perlahan namun ternyata membuat teman sebelahku menyadarinya. Mungkin ia terganggu dengan suara kaki ku itu.
Yureka, what happens? Is everything okay?” Saut Melissa, teman sekelas yang sedang duduk persis di sebelahku.
I am so late. I have an appointment with my friends. It’s really important”, jawabku masih sambil menghentakkan kaki.
You can just say to him and ask some permission. Besides, the time is actually up couple minutes ago”, saran Melisa yang menurutku tidak membuahkan sebuah solusi.
I know but, you know this person. Don’t you remember when a guy, hmmm, who’s his name again? Whatever. He asked a permission to just go to toilet for a minute, and he said “don’t you realize I speak something important here?” and everybody just starred at him. It was so awkward.”, jelasku panjang lebar.
Yeah I remember that”, akhirnya Melissa tersadar.
Empat puluh menit kemudian, diskusi akhirnya usai. Aku benar-benar sudah terlambat. Dan benar saja, harusnya aku bisa sampai di Café R dalam 10-15 menit tapi karena tadi, aku mungkin bisa terlambat 10 sampai 15 menit. Ya, aku tahu aku janjian dengan orang Indonesia yang bisa saja mereka hanya merespon “Yaelah santai”. Tapi sejak tinggal di New York aku jadi merasa tidak enak kalau terlambat bahkan hanya 2 menit.
Untuk menuju Café R, aku harus naik metro. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, hanya berselang 4 stasiun saja. Tapi tetap saja, gugup dan tergesa-gesa memang selalu menjadi hal yang paling aku benci. Untuk membuatku merasa nyaman ditengah tergesa-gesanya diriku saat itu, di dalam metro, ku sempatkan untuk membuka handphone ku untuk mengecek Whatsapp dan lain sebagainya. Ternyata chat ku yang kukirim di grup tadi tiba-tiba menjadi hot issue. Sudah ada lebih dari 10 pesan yang berisikan respon ‘jahat’ anak-anak Batik Day. Pesan-pesan tersebut seperti berikut :
Dhimas            : Astagfirullohalazim, Eugene, anak orang lu apain bisa telat begitu. Masya Allah.
Chandra          : Baru pacaran 3 minggu loh padahal.
Kak Anna        : Salah nyomblangin kalo begini caranya mah
Dhimas            : Jadi kejadiannya sebelum Batik Day, Jin? Atau gimana?
Eugene            : HEEEEHHH. Itu maksudnya Yureka dia telat datengnya ke café. Yaelaaaah.
Farida             : Nggak nyangka Kak Eugene wkwkwk
Fikri                : Nggak nyangka Kak Eugene (2)
Dhimas            : Gimana @Yureka BC? Emang lu pada nggak pake pengaman? Wkwkwk.
Chandra          : Ampuni mereka Ya Tuhan
Kak Anna        : Ampuni mereka Ya Tuhan (2)
Eugene           : Ya ya terserah
Kak Anna        : Buruan wooiiii buruaaann @Yureka BC!!! Caffe latte gue mau abis nihh!!!

Sial! Hanya karena mengirim “Guys gue telat”, ternyata membuahkan gosip miring. Membuat orang gaduh. Pertemanan pecah. Dasar manusia. Ya, berarti aku salah ngomong kalau begitu. Harusnya aku bisa menambahkan kata keterangan atau apalah. Sambil tertawa kecil yang mana membuat seorang nenek tua yang duduk di sebelahku menatap aneh. Cuek saja, tidak kenal ini. Kalau kenal dengan neneknya tetanggaku, mungkin aku akan diam. Sudahlah. Aku balas pesan-pesan tersebut dengan:
Yureka             : WOIIIII. ASTAGFIRULLOH! MAKSUDNYA GUE TERLAMBAT NYAMPE CAFÉ NYAAAAA. ASTAGAAAAA.
                          @Kak Anna  Bentar kak baru mau turun stasiun. Jalan nih.
Kak Anna        : Lu harus tanggung jawab jin @Eugene
Eugene            : Sabar yaa sayang @Yureka. Btw hati-hati, Yang.
                          Bodo amat deh @Kak Anna wkwkwkw
Yureka             : 3 menit 3 menit!!!

Sesampainya di Café R, mereka bertujuh sudah sampai disana dan perbincangan belum dimulai karena sebagai mantan koordinator, Kak Anna harus menyampaikan ini lengkap dan detail sampai semuanya lengkap datang.
Sorry guys. Sorry banget. Kak Anna, sorry” sambil bernapas-napas terengah-engah, aku memasang tampang wajah paling melas supaya mereka memaafkan dan memaklumi keterlambatanku.
“Nggak jaman sebelum Batik Day, nggak pas udahan Batik Day. Lu emang yang paling telat. Hmmm. Untung nih tempat buka 24 jam, jadi lu telat pun, kita nggak keburu dikasih bill sama pelayannya”, Kak Anna menjawab dengan nada senewen sambil melipat kedua tangannya.
“Ya sorry. Tadi dosen gue… ah pokoknya gitu deh”, jawabku dengan penuh belas kasihan namun sepertinya sia-sia.
“Ya Kak Yure, dimaafin kok. Santai”, jawab Farida dengan lemah lembut sambil menyeruput cangkir Cappucino-nya.
“Okay okay. Ini udah lengkap kan semua? So, gue langsung aja yaa. Nggak pake lama-lama nih”, Kak Anna mulai seketika sesaat setelah aku datang.
Aku pun yang bahkan belum meletakkan tasku atau menaruh bokongku ke atas kursi, Kak Anna sudah siap menyampaikan maksud dan tujuannya mengumpulkan kami berdelapan di sore itu. Sambil tersenyum ke arah Eugene yang duduk di pojok, aku menaruh jaket dan tas ku di kursi kosong tepat di sebelah Kak Anna duduk yang mana Kak Anna duduk di tengah. Aku dan Eugene hanya saling lempar senyum dari kejauhan. Ya, meskipun kami sudah resmi berpacaran, tapi untuk urusan pekerjaan, kami harus tetap bersikap profesional. Meskipun ini juga bukan rapat formal seperti saat Batik Day dulu, tapi aku dan Eugene sangat menghargai ikatan antar sesama panitia. Jadi, kami memilih untuk tidak terlalu memamerkan kemesraan sekalipun di depan mereka. Meskipun kadang kalau kami kumpul-kumpul aku dan Eugene yaa dengan khilaf pamer kemesraan di depan mereka, entah sengaja ataupun tidak sengaja. Konyol.
Saat aku duduk, Kak Anna mulai dengan penjelasannya. Tanpa sempat aku memesan minuman, hanya menghela napas panjang, aku mendengarkan apa yang sedang disampaikan Kak Anna. Dengan nada suara yang nge-bass seperti ciri khasnya, juga wibawanya yang sangat luar biasa seperti ibu Menteri Perikanan, ia menyampaikan sebuah pesan yang katanya ia dapat dari kantor KJRI New York. Katanya sih ada pesan yang harus disampaikan kepada kami berdelapan. Ternyata, tanpa dinyana, tanpa diduga-duga, pesan itu merupakan kabar baik. Jadi, ada dua hal yang Kak Anna jelaskan pada kami.
Pertama, yakni tentang ucapan terima kasih yang beribu-ribu kalinya disampaikan oleh KJRI untuk kami berdelapan. Acaranya memang sudah jauh berlalu, mungkin kalau dihitung-hitung sudah hampir dua bulan yang lalu. Tapi rasa terima kasih KJRI kepada kami masih belum berhenti. Sebagai panitia, aku rasa itu tidak masalah. Aku pribadi menerima penerimaan terima kasih tersebut dengan senang hati juga. Memang dengan sukarela kami membantu supaya acara KJRI tersebut bisa berjalan sesuai yang diharapkan.
Hal kedua adalah ternyata yang jauh lebih menyenangkan.
“Nah yang kedua nih. Kabar gembira bagi kita semua. Hasek. Siap-siap ya”, ucap Kak Anna bikin penasaran.
“Apaan Kak emang?”, tanya Farida dengan wajah tanpa dosa dan penasaran.
Kak Anna hanya membalas dengan senyuman dan tidak bersuara selama lima detik. Benar-benar bikin penasaran ibu satu ini. Masa Ibu Menteri Perikanan bikin penasaran. Mana ada?
“Cepetan!” protes Dhimas dengan suara serak-serak basahnya karena memang suaranya begitu. Ahh, aku paling rindu dengan suara Dhimas. Akhirnya kami bisa bertemu lagi.
“Sabar dong, Dhimas. Ahelah. Oke, mulai ya. Ini gue sambil bacain emailnya dari KJRI. Resmi nih, jangan salah”. Nah Kak Anna makin bikin penasaran. Sial.
“Apaan apaan, buruan gue penasaran!”. Sekarang aku yang nyolot.
“Santai dong, Yur. Udah telat, maksa lagi. Ya, ini gue bacain nih. Sekarang. Ya, sekarang”, balas Kak Anna sewot. Namun kemudian ia membacakan isi email yang ia maksud.
Lalu dibacanya isi email itu oleh Kak Anna dengan penuh kebanggaan, “Kepada yang terhormat tim panitia mahasiswa acara Batik Day 2018. Dengan ini kami sampaikan bahwa sebagai bentuk rasa terimakasih kami kepada kalian berdelapan, yang mana sudah bekerja keras selama persiapan dan acara Batik Day 2018 berlangsung, maka kami memutuskan untuk memberikan sedikit hadiah atas kerja keras kalian. Hadiah ini kami harap sebagai bentuk apresiasi kami atas hasil jerih payah kalian selama membantu kami mengadakan acara Batik Day 2018. Tanpa kalian maka acara Batik Day 2018 tidak akan terlaksana dengan baik sekaligus bisa mendapatkan respon yang positif. Hadiah ini memang bukan berupa uang atau barang, namun kami harap ini menjadi suatu kenang-kenangan yang berharga untuk kalian berdelapan. Dengan ini kami menyatakan bahwa Saudara/i Arianna, Dhimas, Yureka, Gilang, Fikri, Eugene, Chandra, dan Farida serta beberapa perwakilan KJRI New York akan diundang makan malam oleh KBRI Ottawa pada tanggal 12 Februari 2019 mendatang. Makan malam ini sesungguhnya merupakan acara yang diperuntukkan untuk merayakan pelantikan Duta Besar Indonesia untuk Kanada yang baru, yang akan dilaksanakan Januari mendatang. Makan malam tersebut juga akan dihadiri oleh seluruh pengurus PPI Ottawa serta beberapa perwakilan PPI Kanada dan akan menjadi bentuk pertemuan bagi dua cabang region PPI yaitu PPI di Amerika di Kanada, sehingga pertemuan ini diharapkan mampu memperkenalkan satu sama lain dan menjadi satu bentuk pertemanan yang baik antara kedua PPI. Lebih lanjut, segala bentuk akomodasi, transportasi, dan visa khusus Kanada akan ditanggung oleh KJRI New York. Namun, biaya yang lain-lain diharapkan ditanggung oleh panitia masing-masing. Terima kasih. Selamat beraktivitas. Salam, Wakil Konsulat Jenderal, Bapak Winarno Hadi Pranoto, New York, 26 November 2018.”
What? Kanada???”, sontak Chandra keras.
“Ini serius kak? Kita mah apa atuh? Kenapa cuma gegara ngurus acara aja bisa sampe ke Kanada segala?”, tanya Fikri yang entah mengapa bernada konyol.
“Heh, bersyukur lah. Mau nggak lu ke Kanada?”, balas Kak Anna sewot.
“Ya, mau lah, Kak. Siapa yang nolak juga”, balas Fikri mengalah tapi masih terbesit wajah penasaran mengapa hadiahnya harus banget ke Kanada.
Setelah pengumuman tersebut, semua jelas menjadi overreacted. Ya, wajar lah namanya juga hadiahnya keluar negeri. Siapa yang tega menolak kesempatan emas itu? Hampir semua pengunjung café itu mendadak menyorotkan pandangan mereka kepada kami berdelapan karena terlalu ramai.
“Gila itu sih negara impian gue, Kak! Anjrit. Aaaakk makasih KJRI”, jawabku sambil tepuk tangan dengan tanpa sadar.
“Tapi ya juga sih, kok bisa sih?” tanya Eugene.
“Kalau menurut gue sih emang basic-nya mereka ada makan malam di KBRI Ottawa, trus kayak sekalian gitu. Jadinya kan kita bisa kenalan sama anak PPI juga. Ya nggak sih?”, jawab Kak Anna semampunya.
“Ya, gue agak gimana sih, soalnya kita aja nggak semuanya anak Permias beneran, lah ini cuma berdelapan, eh bisa ke Kanada”, jawab Chandra beropini.
“Tapi yaudah lah, mungkin ini emang udah rejeki kita, Chan. Nikmatin aja, ya toh?”, jawab Gilang tetap dengan logat Yogyakartanya.
Semua masih ramai. Semua bahagia. Kami pun saling berpelukan sebagai rasa syukur dan bahagia kami. Aku dan Eugene? Hmm, agak canggung sih saat memeluknya, meskipun aku sudah tahu rasanya dipeluk oleh koko tampan seperti Eugene, tapi mungkin karena baru tiga minggu berpacaran dan belum terbiasa ‘go public’ di depan teman-teman Batik Day, jadi tetap saja ada rasa canggung.
Sekitar dua jam kemudian, setelah bercengkrama ria, kami harus pulang ke rumah masing-masing. Ya, karena besok bukan akhir pekan, dan besok pula semua teman-teman Batik Day harus kuliah. Rasanya memang tidak ingin meninggalkan mereka semua, terlebih Eugene. Ah, laki-laki ini memang selalu membuatku ingin selalu berada didekatnya. Yah, maklum, namanya juga sama pacar sendiri. Hehehe. Aku bersyukur karena saat ini bisa memandangnya setiap hari tanpa harus ketahuan oleh enam Mahasiswa Indonesia yang tidak berdosa itu. Aku pun sekarang bebas kalau mau memandang foto profil Whatsapp Eugene yang sedang memakai kacamata hitam dan bergaya di depan patung Liberty kapan saja dan dimana saja. Dasar, tampan!
Oh ya, bicara soal Patung Liberty, aku jadi teringat tiga minggu lalu aku dan Eugene saling melempar senyum, melempar canda, dan saling mengakui sesuatu yang berasal dari isi hati kami. Ya, Patung Liberty menjadi saksi. Saksi bisu antara dua manusia yang saling malu-malu kuda nil untuk saling menyatakan perasaan satu sama lain. Tapi untungnya lelaki keren ini mau duluan untuk mengakui isi hatinya. Pria hebat!
Lalu sehari setelahnya, semua teman-teman Batik Day 2018 ramai dan ribut membicarakan jadiannya diriku dengan Eugene. Itu semua karena foto profil Whatsapp kami berdua masing-masing berlatar belakang Patung Liberty. Bedanya Eugene bergaya sok keren walau memang aslinya keren, dan menggunakan kacamata hitam. Entah untuk menghindari terik matahari atau bersembunyi dari orang-orang bahwa matanya yang segaris itu. Sedangkan aku bergaya mengantungi kedua tanganku ke saku jaket sambil menghadap belakang dan menoleh ke arah kamera dan senyum riang.
Sebenarnya bukan hanya dari foto profil itu saja yang kemudian membuat semua orang gempar, namun juga aku dan Eugene sama-sama posting foto kami berdua sedang selfie namun hanya memerlihatkan setengah wajah saja dari hidung ke atas dan sisanya pemandangan patung Liberty ke akun Instagram dan Whatsapp Story kami masing-masing.
Dengan foto yang sama aku membuat keterangan:
When Liberty becomes a witness
Sedangkan Eugene membuat caption dengan dua emoji yang berbeda, yakni patung Liberty dan tanda hati dengan panah ditengahnya.
Semua orang yang tidak tahu, seperti teman-temanku di Indonesia, hanya memberi Like saja di Instagram. Lumayan lah, dengan foto yang aku posting itu, aku bisa mengantungi sekitar 80an Likes dari teman-teman yang mem-follow-ku. Sedangkan semua anak-anak Batik Day 2018 langsung gempar dengan memberi komentar beragam. Kira-kira seperti ini:
@chndrstwn Fix cinta lokasi
@addhimaspw suiitt suiiiittttt eaaa eaaaa
@gilang_prasetyo Selamat ya guys. Jangan lupa undangannya. Loh piye iki. Cepete.
@fakumaladew demi apa cinta lokasi kak @chndrstwn? Aciyeeeeee. PJ PJ!
@ariannabukangrande puji Tuhan nggak sia2 gue jadi makcomblang. Fix gua ceburin lu berdua ke kolem ikan Central Park wkwkwkwk
@fikri555 asik peje dong kak

Nah lihat kan? Hanya mereka berenam yang bikin keributan di kolom komentar fotoku. Tidak ada komentar lain selain dari mereka. Memang sakit jiwa. Bagaimanapun aku senang karena meskipun mereka hanya bercanda dengan komentar-komentar konyol itu, atau bisa dibilang hanya reaksi wajar, namun pada intinya mereka masih mempedulikan diriku dan Eugene, itu tandanya mereka sayang pada kami. Wow.
Lupakan sejenak keributan yang dibuat teman-temanku tiga minggu lalu. Ngomong-ngomong setelah rapat tadi, aku pulang diantar Eugene. Bukan karena kami masih ingin berduaan, tapi Eugene mau mengambil charger handphone-nya yang tertinggal di kamar ku minggu lalu. Ah, dasar pelupa. Untung katanya ia punya cadangan jadi tidak terlalu bermasalah baginya. Tapi tertinggalnya charger di rumahku membawa dampak positif, yakni yaa yang tadi kusebutkan itu, kami jadi punya injury time untuk bertemu. Ah macam sepakbola saja ada injury time segala, Yureka.
Kalau dulu, untuk memulai sebuah percakapan di antara kami berdua rasanya sangat sulit, malu-malu lumba-lumba, lidah susah digerakkan, padahal ngomong yaa tinggal ngomong. Tapi namanya dengan gebetan pasti memang rasanya susah sekali. Tapi kali ini sudah tidak lagi. Yaa, meskipun kadang masih suka begitu, tapi intinya sih malu-malunya sudah berkurang 30%. Lumayan.
“Kamu seneng nggak dengernya?”, tanya Eugene.
“Denger apa?”, tanyaku bodoh atau pura-pura tidak tahu. Beda tipis.
“Yang tadi dibilang Kak Anna, loh. Ke Kanada itu”, perjelas Eugene. Lelaki ini memang super sabar.
“Ohhh. Hahahah. Maap, Yang, nggak connect, laper. Hahaha. Ya, seneng banget lah. Soalnya dulu aku pernah kepikiran buat kuliah disana. Tapi katanya dingin banget di Kanada jadi nggak jadi deh”, jawabku sambil malu-malu rusa betina.
“Tapi akhirnya tahu juga kan kalau New York juga nggak kalah dingin”, jawabnya penuh kharisma.
“Iyaa. Lebih parah malah kayaknya. Hahaha”, jawabku masih tersipu malu. Pipi merona walau tanpa blush on.
Btw, tadi kenapa telat?”, tanya Eugene soal mengapa aku datang terlambat.
“Oh yang itu. Biasa, dosennya kebanyakan ngomong. Udah sering malang melintang di TV jadi public speakingnya kelewat bagus. Dan sama dia nggak bisa nyelonong boy pergi meninggalkan ruang kelas.” Jawabku panjang lebar sambil mencari kesempatan menggandeng tangan Eugene dengan alasan untuk menghangatkan tangan, padahal, ya, memang mencari kesempatan saja.
“Dosen yang kamu bilang ngelarang Mahasiswa ke kamar mandi itu?”, tanya Eugene penasaran.
“Iyaa. Ih kamu inget aja”, jawabku dengan posisi tangan kiriku yang berhasil disambut baik oleh tangan kanan Eugene.
“Dingin ya? Hmm, inget lah. Kamu kan ceritainnya waktu itu passionate sambil kesel gitu, jadi aku inget deh”, jawab Eugene sambil mengelus-elus punggung ku guna menghangatkan tubuhku yang memang agak kedinginan. 
“Dasar”, sambil menepuk pundaknya yang akhir-akhir ini aku tersadar lengannya tambah keras. Mungkin dia sering ke gym. Tapi nggak juga ah. Atau mungkin terlalu banyak mengangkut-angkut barang. Hmmm, setauku dia kerja part time setelah Batik Day usai hanya jadi tukang gambar sketsa saja di sebuah kantor agen casting. Dimana letak kerja kerasnya hingga menghasilkan otot besi?
Obrolan pun masih berlanjut sampai kami hampir sampai di depan apartemenku. Aku masih satu rumah dengan dua roomates ku Cassandra dan Salima. Hanya saja Salima minggu lalu baru akan memutuskan untuk pindah. Bukan karena Eugene terlalu sering ke apartemen atau tunangan Cassandra yang juga jadi sering ke apartemen kami akhir-akhir ini. Tapi aku memang tidak tahu pastinya mengapa Salima pindah. Tapi ketika ditanya, ia akan pindah ke Boston, ke rumah saudaranya. Ya, dia memang punya anggota keluarga yang tinggal disana dan katanya di Boston nanti ia akan mendapat pekerjaan tetap sebagai guru bahasa Arab di salah satu sekolah bahasa asing disana.
Disatu sisi aku senang ia akhirnya telah mendapat pekerjaan yang layak di Amerika Serikat karena selama di New York, ia seperti luntang lantung, hanya mendapat pekerjaan kasar seperti menjadi pelayan restoran, kasir supermarket, dan bahkan ia pernah jadi tukang angkut sampah. Rasanya senang ketika mendapat kabar bahwa ia akan bekerja di tempat yang seharusnya ia berada. Ya, Salima memang berasal dari Libya, tapi jauh sebelum ia ke Amerika Serikat ia pernah mendapat gelar sarjana ketika ia kuliah di Mesir. Ia juga pernah tinggal di Maroko dan Tunisia bahkan di benua Eropa seperti Jerman dan Belanda. Pokoknya, dibalik pribadi yang tertutup dan patuh dengan peraturan personalnya, ia sosok yang cerdas dan mandiri. Di sisi lain, aku dan Cassandra pasti akan sedih karena bayar sewa kami masing-masing akan naik. Hmmm, bukan bukan, bukan perkara itu. Tapi kami akan merindukan sosok yang suka ceplas ceplos kalau bicara. Maksudnya Salima ini kalau ia tidak suka dengan sesuatu ia langsung bicara pada kami berdua. Artinya ia sangat menjunjung tinggi kejujuran dan keterbukaan.
Meskipun ia melarang laki-laki masuk ke rumah kami, tapi sebenarnya ada sosok dewasa nan keibuan yang diriku dan Cassandra temukan di dalam dirinya. Ah, pokoknya Salima akan selalu kami rindukan. Kami akan rindu omelannya saat pacarku dan tunangan Cassandra mampir ke rumah terlalu lama. Atau kami lupa menaruh piring kotor ke dalam wastafel. Ah, intinya Salima tidak akan terganti.
Saat ku beri tahu hal itu pada Eugene, ku lihat ada sedikit ekspresi puas nan menggembirakan yang ia tampakkan padaku.
“Kenapa? Seneng kalau dia pindah trus kamu bisa sering-sering ke apartemen, gitu? Hmm awas yaa. I watch you, loh”, jawabku serius.
“Nggak kok. Tapi yaa gimana yaa, Yang, abisnya kadang suka risih juga kenapa sih harus se-strict itu kalau punya peraturan. Kita kan di New York, apapun harus bisa toleransi. Yaa, di Indonesia nggak kayak gini sih, nah makanya karena kita nggak di Indonesia jadi harusnya lebih luwes”, jelas Eugene panjang lebar dan ku tak pernah mendengar ocehan Eugene seperti ini sebelumnya. Ternyata kalau sudah jadian kelihatan sekali yaa aslinya.
“Ya, yang terpenting sih saling respect sama rules masing-masing, Yang. Kamu mau nggak kalau peraturan mu disengutin sama 3 roomates mu itu?”, lemparku masih serius.
“Ya nggak lah”,
“Nah makanya”
Saat akan membuka pintu rumah, ada Jamie Harold Whitley yang menuruni anak tangga dari apartemennya di lantai 4 dan entah akan pergi kemana ia.
Dalam hatiku hanya “Duh dia lagi”. Ya, kami memang sudah saling minta maaf dan sudah seperti teman pada umumnya. Tapi entah mengapa saat ia tahu kalau aku dan Eugene sudah jadian, ia tetap mendekatiku. Entah ini hanya perasaanku saja atau bagaimana. Memang tidak seperti dulu sih, yang sampai tiap akhir pekan membuatkan ku pai coklat atau memberiku sebatang coklat susu, tapi tetap saja kan risih aku dibuatnya. Tapi berhubung kami ini bertetangga yaa jadi sudah aku anggap seperti keluarga sendiri.
Yureka?”, sapa Jamie.
Hey, you. My neighbor. How’s everything going?” jawabku kepada Jamie sambil tidak terasa masih memegang tangan Eugene.
Great. Everything’s fine. I heard Salima will move soon?”, tanya Jamie.
Yeah. She is in her final decision. I’m so sad, Cassandra too. But, we can’t do anything. We hope that it’s gonna be very good for her.” jawabku masih mengandeng tangan Eugene.
I hope so. Hey, Eugene. How are you?”, sapa Jamie kepada pacar gantengku.
Good. How are you?”, jawab Eugene yang akhirnya melepas gandenganku untuk berjabat tangan dengan Jamie.
It’s getting colder outside. New York. You know”, jawab Jamie basa-basi soal cuaca. Ah, tipikal orang bule ya begitu, tiap bertemu pasti membahas cuaca.
Ofcourse.” Jawab Eugene singkat.
Where you’re going, anyway?” tanyaku pada Jamie.
I’ll meet some friends at a bar. Just chill and catch up. It’s been more than a week no seeing them.” Jawab Jamie.
You look pretty busier lately, aren’t you?”, tanyaku lagi.
Yap, I must have an extra hours last week. I filled up several days off, so, better to do extra hour and… the days off. It was crazy but no problem.” Jawab Jamie panjang lebar.
So, you’re having a trip or something?”, tanyaku lagi. Begitu terus, tanya terus sampai imlek.
Technically not, but I would say I have to see my brother in San Francisco next week. It’s his birthday. Both my parents will come too. So, why not to join and have kind of a week off to go there”, jawab Jamie terdengar masuk akal. Ya, iyalah. Kan mau kumpul keluarga, tidak masuk akal dari mananya, Yureka?
Ah, great. Have fun, then. Well, have a nice night”, jawabku menutup perbincangan.
You too guys. Bye.” Jawab Jamie kemudian mendekati Eugene lalu pergi.
Ya, saat Jamie melewati Eugene, ia seperti membisikkan sesuatu pada Eugene. Entah apa yang ia katakan, aku tidak mendengar sama sekali.
Eugene hanya menggeleng kepala tanpa menjawab satu kata pun dari Jamie. Ekspresinya juga sedikit agak marah.
Jadi, apa sebenarnya yang diucapkan Jamie pada Eugene tadi?

- BERSAMBUNG -


=====================================================================

Episode 2 : Oriental vs Occidental




Yureka. Menuju Puncak Musim Dingin 2018. New York. Masa Depan.
Papasan dengan Jamie di anak tangga apartemen memang bukan kali pertamanya. Apalagi bersama Eugene. Hampir sering aku bertemu dia di tangga seperti ini. Hidup memang benar seperti cuplikan film. Eh, atau cuplikan dalam film yang memang seperti kehidupan sehari-hari? Apalah itu, yang jelas aku penasaran apa yang baru saja dikatakan Jamie pada Eugene sampai ekspresi Eugene begitu dangkal dan terkesan marah.
Bye” singkat Jamie lalu pergi meninggalkan apartemen.
Bye. Bodo amat”, jawab Eugene sambil menggerutu.
Ketika ingin menapakkan kaki ke anak tangga lainnya, aku makin penasaran dengan Eugene dan langsung menanyakannya.
“Kenapa sih, Yang? Kok muka kamu langsung berubah gitu? Jamie?”, tanyaku penasaran mengapa pacar kesayangan tiba-tiba jadi naik pitam.
“Yaa tahu sih kita di US, tapi nggak gitu juga lah”, jawabnya kesal.
Aku sebenarnya tidak enak menanyakan ini. Ini rasanya canggung bin aneh. Tapi bagaimana, aku masih penasaran. Walau sebenarnya aku tahu kira-kira pertanyaan apa yang habis dilontarkan si bule Amrik itu.
Setelah masuk ke dalam apartemen, lampu pelataran tidak menyala, tapi ada cahaya yang bersinar dibalik pintu kamar Cassandra dan Salima. Hmm berarti mereka ada di rumah. Ya, memang seperti itu, ruangan kalau tidak dipakai meskipun hanya pelataran rumah saja, harus dimatikan. Ingat, hemat energi!
Tapi ngomong-ngomong soal Cassandra dan Salima, seperti biasa aku harus memberitahu mereka kalau Eugene mampir ke apartemen. Terutama kepada Salima. Sesuai kesepakatan, kalau masing-masing dari kami, terutama aku dan Cassandra, terlebih semenjak aku jadian dengan Eugene, aku harus memberitahu Salima kalau para laki-laki datang, supaya Salima diberitahu agar kalau ia keluar kamar bisa memakai jilbabnya meskipun hanya ke dapur atau ke kamar mandi. Yaa, mungkin untuk sebagian perempuan berjilbab lainnya tidak masalah kalau mereka melepas jilbab di rumah dan kedatangan tamu laki-laki, tapi bagi sebagian besar perempuan berjilbab lainnya, keputusan ini memang harus dihargai, siapapun orangnya. Jadi, sebagai sesama muslim dan teman sekaligus roommate, aku harus menghargai keputusannya tersebut. Dan mungkin kalau aku jadi dia, aku juga akan melakukan hal yang sama, mungkin memang karena risih kalau memperlihatkan rambut dan anggota tubuh lainnya kepada laki-laki yang bukan muhrimnya.
Ku ketuk pintu kamar Salima. Dibalik pintu Salima hanya menyapa “Yes, who is that?
It’s me, Yureka. I just want to let you know that Eugene is coming by to take his phone charger. I hope you don’t mind” jelasku pada Salima.
Yeah, that’s fine. Thank you for telling me. But, please tell him to stay at your room and not to come to bathroom in 30 minutes. Cause I wanna shower in 10 minutes”, pintanya padaku.
Okay. Never mind. Enjoy showering”, jawabku lalu pergi ke kamarku.
Sambil tertawa kecil, aku dan Eugene hanya pandang-pandangan saja. Aku bingung, Eugene menertawakan percakapan ku dan Salima yang hanya dari balik pintu, atau isi kalimat Salima yang memang terdengar sangat konservatif, atau lainnya? Tapi setidaknya dengan tertawa kecil itu, cemberut yang dia alami dikarenakan oleh Jamie langsung hilang. Syukurlah.
Sampai di kamarku, aku langsung menyalakan pemanas ruangan. Ya, sudah pergantian musim dingin dan tahu sendiri lah apa yang diharapkan masyarakat saat berada di negara 4 musim dan sedang musim dingin. Hanya pemanas ruangan yang menjadi jawabannya.
Sambil menaruh tas dan merapihkan sedikit meja belajar ku, Eugene dengan polos berkomentar “Tumben kamarnya rapih? Biasanya gelas bekas minum coklat, serbet buat lap bibir kamu kalau habis makan, sama vitamin kamu berserakan diatas meja. Sekarang pada kemana?”
Ku balas dengan nada kesal tapi gemas, “Berisik deh. Yaa, ku rapiin tadi pagi sebelum ngampus. Vitamin ada di rak situ, maksudnya ku kembaliin ke tempatnya. Trus, serbet-serbet makan aku cuci.”
“Oh jadi vitaminnya emang tempat aslinya disitu? Kok aku nggak pernah tahu yaa? Apa sangking keseringan aku liatnya diatas meja belajar kamu?”
“Udah deh. Berlebihan komennya”, sambil melempar charger ponselnya dari kejauhan yang ternyata secara sengaja atau tidak sengaja ada diatas laci meja dekat kasur.
“Bercanda, Yang. Gitu doang marah. Eh apa nih?”, Eugene menemukan sesuatu diatas lantai.
“Ohh itu, liflet “Long Island Comic Con 2019”. Si Cassandra yang ngasih. Tahu tuh katanya nawarin aja kalau aku mau kesitu”, jawabku sambil masih sedikit membalas pesan Whatsapp yang masuk.
“Lah emang kamu suka komik-komik gitu, Yang? Nggak kan?” tanya Eugene lagi.
“Iyaa. Nggak terlalu suka. Tapi si Cassandra mungkin punya lebih. Katanya sih adeknya yang cowok mau kesitu. Sekalian liburan natal tahun baru gitu di New York” jawabku.
“Adeknya? Orang Meksiko juga?”
“Ya iyalah, Yang, masa orang Zimbabwe.”
“Ya kali aja. Dia punya stepbrother atau apa gitu.”
“Nggak. Adek kandungnya kok. Masih 18 tahun apa yaa kalo nggak salah. Pokoknya mau dateng kesini dan liburan di New York selama sebulan atau gimana gitu. dan bakal nginep disini.”
“Nginep disini? Lah si Salima gimana?”
“Kan dia mau pindah.”
“Lah iya pindahnya kapan emang?”
“Lah emang belom aku kasih tahu? Minggu depan atau minggu depannya lagi gitu aku lupa.”
“Oh. Ya ya.”
Kami terdiam sesaat. Sambil mengecek ponsel masing-masing. Lalu kemudian aku berniat menanyakan apa yang masih penasaran dalam benakku. Soal pertanyaan Jamie di tangga tadi. Bukan Yureka namanya kalau tidak berani. Nekad, aku tanyakan pada Eugene beberapa detik setelahnya.
“Sayang, kamu belom jawab pertanyaan aku yang tadi. Kenapa gara-gara Jamie?”, tanyaku lagi masih penasaran.
“Ah elah, Yang. Nggak usah dibahas lah udah. Males.” Eugene membalas tapi sudah malas.
“Beneran aku penasaran”
“Bener? Jangan nyesel yaa. Dan jangan marah. Dan harap maklum bagi pria bule itu”
“Ya, janji. Ayo cepetan cerita!”
Dengan tarikan napas kemudian mengeluarkan dengan cepat, Eugene bercerita kalau yang Jamie bisikkan ke Eugene tadi adalah ide konyol Jamie yang kalau ia jadi dirinya, ia akan melakukan hal-hal menyenangkan dengan pacar di kamar berduaan, ya apalagi kalau bukan berhubungan badan. Eugene hanya berkomentar kalau seandainya kami berdua adalah orang lokal, kami mungkin saja akan melakukan hal yang Jamie katakan tersebut. Tapi aku dan Eugene tetap manusia biasa, yang berasal dari budaya ketimuran, terlebih kami memiliki agama dan dalam agama kami dilarang melakukan hal semacam itu. Kami berdua pun juga tidak ada sama sekali memiliki pikiran demikian.
Ah, meskipun ganteng, kalau sudah bule macam Jamie, tetap saja pikirannya pornografi. Kesal.
Sesuai yang diceritakan Eugene, kalimat-kalimat Jamie tersebut adalah “If I were you, I’ll fuck her right now until next morning.
Mendengarnya saja aku jijik menjadi-jadi. Untung aku sering menolak ajakan kencan Jamie yang dulu sering sekali ia tawarkan. Karena aku sudah menebak, kalau saja aku bilang “Ya” pasti hal-hal negatif akan terjadi padaku dan si manusia occidental itu. Tuhan Maha Penyelamat hamba-Nya.
“Yaudah lah, masukin kuping kiri keluar kuping kanan aja, Yang. Emang orang gila aja dia. Masa bodo deh sekarang” responku santai.
“Ya, aku maklumin kok. Namanya juga orang bule. Apa sih pikirannya kalau bukan sex, minum bir, joget-joget ampe pagi? Ya, kan?” jawab Eugene masih agak kesal.
“Yap. Eh mau minum nggak? Kalo mau, aku ambilin. Kan kata Salima, kamu nggak boleh keluar kamar sampe 30 menit kedepan”
“Aduh, ribet yaa. Ya, ya paham. Ya boleh deh, haus juga btw”
Perlahan ku buka pintu kamar dan keluar menuju dapur untuk mengambilkan Eugene air minum. Selama mengambil gelas dari laci kitchen set bagian atas, dan menuangkan air dari keran, lagi-lagi fokus ku terdistraksi oleh wajah Eugene. Aku tidak tahu sampai kapan aku memikirkan ini. Bahkan kami sudah resmi berpacaran, aku sudah menjawab kata YA saat Eugene menyatakan cintanya padaku di Patung Liberty di Musim Gugur Akhir Oktober lalu yang mana pertanyaanya adalah “Yureka, mau nggak jadi pacar aku?”. Sumpah, itu adalah masa-masa paling gugup sepanjang sejarah hidup seorang Yureka Bhanuresmi Cendekia. Aku bisa bilang, momen itu merupakan momen paling gugup yang pernah ada, lebih gugup daripada mengerjakan tugas mendekati deadline dari Profesor.
Setiap membayangkan Eugene di isi kepala, saat itu pula aku bersyukur pada Tuhan. Ya Tuhan, akhirnya aku tidak sendirian lagi. Akhirnya ada yang benar-benar jatuh hati padaku. Akhirnya ketika aku suka dengan seseorang, dia berbalik suka padaku, tidak hanya aku sendirian yang berusaha. Hmm, ini terdengar terlalu puitis, Yureka. Tapi apalah, memang begitu kenyataanya. Aku rasa aku tidak akan pernah berhenti bersyukur. Semua aspek dalam hidup ini tentunya aku syukuri, apapun itu, tapi satu hal ini, tentang Eugene, aku amat sangat menyukurinya. Terima kasih Ya Tuhan.
Setelah selesai membawakan segelas air putih, ditambah beberapa buah coklat marzipan yang ku ambil dari sebuah mangkuk besar di dapur karena sebentar lagi hari Natal maka akan sangat banyak coklat dimana-mana, aku kembali ke kamar. Dengan agak sedikit kesusahan ketika membuka pintu, akhirnya aku sampai di kamar dengan selamat. Selamat karena air di gelas tidak tumpah, bungkusan-bungkusan coklat pun tidak jatuh berguguran layaknya dedaunan di musim gugur. Sambil menaruh gelas dan coklat-coklat itu ke atas meja, ku curi pandanganku kepada Eugene yang sedang serius membaca sesuatu di telpon genggamnya.
“Serius amat Koh bacanya. Baca berita?”, tanyaku penasaran. Ah, penasaran terus Yureka.
“Bukan. Ini Mamaku ngirim Broadcast Message di Whatsapp, tapi ada huruf Mandarinnya. Aku sambil inget-inget aja”, jawabnya sambil menatap layar gadgetnya.
“Eh iya yaa, kamu bisa bahasa Mandarin ya. Eh sambil diminum air trus sama dimakan coklatnya”, tanyaku lagi. Tanya saja terus.
“Makasih, Sayang. Iya. Alhamdulillah bisa.” Untung Eugene menjawabnya dengan sabar.
“Fasih?”
“Lumayan”, pandangannya masih tertuju ke layar handphone-nya
“Skala 1 sampai 10?”
“Hmmm, 8.5”
“Wow. Eh tapi bisa bahasa Korea juga kan? Eh. Ya iyalah. Kamu tergolong native malah, ya kan?”
“Huum.”
“Kalau bahasa Koreanya, skala 1-10?”
“6”
“6? Lah kok? Cuma 6, Yang?”
“Iya, aku nggak bisa baca tulis huruf Hangul, Sayang. Hehehe”
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena nggak diajarin”
“Kenapa nggak diajarin?”
“Ya.. ya nggak aja. Nggak tahu ya, kayaknya Mama emang nggak mau aku terlalu fasih Korea. Ya, aku tahu dikit huruf Hangul tapi nggak bisa baca tulisnya gimana.”
“Keturunan Korea yang aneh. Hahaha. Bercanda, Yang. Tapi kan kamu pernah tinggal di Korea, kok nggak diajarin? Lagian Kakek-Nenek kamu asli Korea”
“Nenek ku bukan. Nenekku…”
“Oyaa lupa, orang Guangzhou, China. Tapi kenapa demikian?”
“Nggak tahu yaa. Kayaknya aku emang lebih deket ke Pho-Pho dari pada Harabeoji. Somehow, jadinya lebih fasih bahasa Mandarinku. Dan waktu kuliah di Hong Kong, bahasa Mandarinnya aku paksain bisa karena meskipun pake bahasa Canton disana, tapi banyak juga orang Hongkong yang bisa bahasa Mandarin. Baik lisan maupun tulisan, jadi 3-4 tahun aku disana yaa aku latih terus. Jadinya lebih fasih bahasa Mandarin. Maksudnya, tulisannya aku bisa lumayan baca, secara lisan juga aku bisa ngomong. Tapi kalau Korea, cuma ngomong aja”
“Menarik ya. Ku pikir kamu bisa baca tulis, lalala nya gitu.”
“Ya, sama aja, Yang, kan kamu bisa bahasa Jawa sama Sunda, tapi kamu bisa nggak nulis huruf Hanacarakanya?”
“Nggak.”
“Kenapa?”
“Ya, nggak pernah diajarin”
“Nah! Kayak gitu maksudku. Sama aja kan?”
“Iyaa juga yaa. Hehehe. Ih iyaa baru sadar. Etapi masa beneran nggak bisa baca Hangul? Nanti kalau kita suatu hari liburan bareng ke Korea, nggak bisa baca Hangul, nanti kalau mau makan di restoran, kebalik lagi mana restoran mana tempat laundry
“Ya, kan ada sepupu-sepupu aku. Tanya aja ke mereka”
“Kalau kita berdua kesana, itu namanya bukan kencan, Yang, tapi digangguin. Dinyamukin kalau ada sepupu-sepupu kamu.”
Kami berdua hanya berbalas tertawa. dan kemudian percakapan masih berlanjut.
“Tapi beneran nggak bisa sama sekali?”
“Hmmmm. Berapa huruf ya? 5 atau 6 huruf gitu”
“Demi apa?”
“Demi Allah, Sayang! Nggak boong. MashaAllah!”
“Aku aja bisa. Dikit sih. Hahahaha”
“Serius?”
“Iyaa nih kebanyakan nonton il bak iil. Jadi, tahu dikit-dikit”
“2 Days 1 Night? Yang ada Cha Taehyun nya?”
“Iyaa. Tahu juga yaa. Ya, tahu lah, Yureka, emaknya kan orang Korea. Gimana sih, Yureka ini”
“Iyaa, itu Mama ku suka ngakak sendirian kalo nonton itu. Beberapa waktu lalu sepupu ku, si Eun Ha, juga cerita katanya pas banget aku nelpon dia, dia lagi nonton itu. Ketawa ampe nangis gitu katanya”
Dan percakapan pun berlanjut semakin seru hanya karena membahas sebuah program televisi Korea Selatan itu. Ternyata pacaran itu memang gunanya mencari tahu lebih banyak tentang pasangan, yaa. Ya ampun, baru sadar aku. Kemana saja kamu selama ini, Yureka. Tapi, tidak apa, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Dan ternyata seru juga punya pacar yang punya darah keturunan China-Koreanya. Kadang membahas Indonesia, kadang bisa membahas China, bisa lanjut membahas Korea, asal jangan keterusan sampai ke Mongolia atau Rusia saja.
Saking asyiknya ngobrol, tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11.23 malam. Wow. Sudah hampir tengah malam. Aku terpaksa mengusir Eugene karena tidak baik kalau bermalam disini. Ya, sebenarnya sih santai saja. Tapi karena Salima masih tinggal disini dan aku harus tetap menghargai prinsipnya, maka mau tidak mau harus mengucapkan “See you soon, Eugene” kepada pacar Oriental ku ini.
Sambil memakai jaket cukup tebal berwarna hitam, dan sepatu kets bermerk yang mana merk nya bergambarkan ceklis, serta sesekali merapihkan rambutnya, aku masih ngobrol-ngobrol dengan Eugene dibalik pintu sebelum ia pergi. Kemudian ada Cassandra yang menghampiri kami dan mengatakan sesuatu.
Hey, guys. Hey, Eugene! How are you?”, Cassandra menghampiri kami dan bercipika-cipiki dengan Eugene. Untung ini di Amerika, kalau bukan, pasti aku sudah cemburu membabi buta dengan Cassandra.
Good. Thank you. How are you?”, basa-basi penuh sopan santunku kepada teman apartemenku ini.
I’m doing well thank you. So, Yureka. I need to tell you that, hmm… something about Salima”, Cassandra mengecilkan volume suaranya.
Yes. What is it about?”, tanyaku pada Cassey, nama panggilannya.
No. I mean. When she moves out next week, I haven’t got yet any new roomates or something. And of course, we need to find it soon, otherwise, you and I will pay the rent more expensive.”, jelas Cassey.
I don’t want that happens
Lanjut Cassey, “See? Yeah, I mean. But we will get one, won’t we? But, before we got the new one, I would like to use Salima’s room to my brother, Dominico. I’ve told you he will coming to New York on December 15th, right?
Yeah, you’ve told me, but I forgot the date when your brother will come
Yeah, the date. It’s just, recently decided by him. And he also already booked the flight and he’s coming here on that date. And he will also stay here for 1 month. Yeah, I know, it’s very long time, but he needs place to stay. And the most possible for him, is, stay here. With us. Do you mind with that?”
No, I don’t mind. It’s totally fine for me. And, I can’t wait for your brother's presence. I mean, be a tourguide for him
Please do. I’m kidding
No, Seriously. If he needs some guidance during his vacation in New York, I would like to help him
Okay. Nice. Very nice of you. I hope you don’t mind, Eugene
Oh, of course, not
Yeah, Eugene probably also can help and join me and Dominico. Will you, Honey?
Yeah, why not?
Okay. Then. Thank you very much guys, I really appreciate it. I will let you know again when he gets ready to heading for New York from Mexico. Again, thank you for both of you
Anytime, Cassandra”, jawab Eugene dengan senyum ramahnya namun tetiba agak cemberut.
Okay, so have a nice night, you guys. I should go to sleep right now”, ucap Cassandra menutup percakapan di pelataran apartemen kami.
Alright. Have a nice sleep, Cassey”, balasku mengucap selamat tidur untuk Cassandra.
You too. Good night guys
Night, Cassandra
Sambil mengantarkan Eugene ke depan pintu apartemen, kami berpisah sementara disitu. Kok, sesedih ini? Padahal kami bisa bertemu kapan saja sesuka hati kami. Toh, sama-sama masih di New York.
“Makasih ya, Sayang”
Hanya dibalas senyum dan “hmm” oleh Eugene.
“Jangan cemburu dong”
“Sama siapa?”
“Adeknya Cassandra”
“Yaelah. Ngapain juga”
“Bener?”
“Iyaa… hmmm. Tapi selama dia tinggal disini, jangan sering-sering main ke kamarnya loh”
“Itu namanya cemburu”
“Iyaa aku cemburu. Pokoknya, take care ya”
“Oke.”
Sambil mengucapkan “Selamat malam dan semoga mimpi indah”, Eugene turun ke bawah menuju lantai 1 dan keluar gedung apartemen sampai akhirnya dari kejauhan aku hanya bisa melihat sekilas rambut dan kacamatanya. Tapi seterusnya masih bisa mendengar suara hentakan kakinya dan lama-lama terdengar pintu terbuka dan tertutup dan itu berarti Eugene sudah keluar dari gedung apartemen ini. Kok jadi sedih ya? Tapi semoga ia selamat sampai dormitorinya.

💕💕💕

Keesokan paginya, suatu Minggu, sekitar pukul 8.45, aku sudah siap dengan pakaian olahragaku, aku sudah siap untuk jogging di Central Park. Hmm, sudah lama sekali tidak lari disitu. Terakhir jogging hanya memanfaatkan taman sekitaran kampus saja. Semoga jogging ku kali sanggup aku lewati, ya minimal 5km lah, meskipun telah lama mengetahui kenyataan bahwa Central Park itu kalau dibangun rumah susun, bisa muat beribu-ribu kepala keluarga. Asli, gede banget tamannya!
Sudah diluar gedung apartemen dan akan memasang earphone ke telinga kanan, lalu tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang.
Hey, girl! Good morning!
Huh. Lagi-lagi orang ini. Seperti kecoak yaa dia, muncul terus. Ya, siapa lagi kalau bukan tetangga occidental, Jamie Whitley. Lama-lama kalau aku keluar rumah ku bawa obat semprot anti kecoa yang sudah lama tidak dipakai dan hanya berdiam di dalam laci kamar mandi apartemenku, kemudian ku semprotkan ke wajah bule Amerika ini, supaya dia pergi.
Hey. Good morning!” balasku dengan nada malas.
Where are you heading to?” tanya Jamie sebaliknya dengan penuh semangat.
Just running. In Central Park
Really? Wow. That sounds.,, impossible…
Nah, nah. Sudah muncul tiba-tiba seperti serangga, sekarang mau mengata-ngataiku. Sial memang bule ini. Huh, untung dia ganteng, kalau tidak sudah aku tenggelamkan ke lautan Atlantik, biar dimakan ikan salmon baru tahu rasa dia.
I beg your pardon? It’s just a park. It’s not Tour de France
Moreover, it’s going to be Winter soon, getting colder, and freezing. And… No, I’m joking, Yureka.
Dalam hati ku ingin berkata “Bodo amat! Gue nggak peduli!”
Ha ha ha. Yeah, funny enough
Entah mengapa percakapan kami kemudian berhenti selama beberapa detik. Mungkin dia tidak berniat melanjutkan topik ini karena terakhir ku berkomentar, ku pasang tampang paling datar yang pernah kutunjukkan padanya. Ternyata masih kok, seorang Yureka tidak tertarik pada cowok bule satu ini. Syukurlah kalau begitu.
And you? Where will you going in this early morning?” tanyaku bergantian kepo.
I’m going for laundry
Ah yeah. I can see that” sambil melihat ke sekantong besar berisi baju, dan itu baju kotornya Jamie. Tapi aku tidak peduli. Kemudian ku lanjutnya percakapan dan bermaksud memberikan sinyal “Sudah yaa ngobrolnya. Sampai nanti”
Well, I should probably be there before midday. Have a nice laundry time
Thanks. Have a nice running too! Be warm with your beautiful sweat. See you around!
Ku balas hanya dengan tertawa kecil namun terpaksa, dan membelalakkan mata selebar mungkin, kemudian memasang satu pasang earphone lainnya ke sebelah telinga kiri dan menjawab perkataan Jamie dengan perlahan “Whatever!
Hmm, sudah lama tidak lari pagi. Perkuliahan pascasarjana ini ternyata menyita waktuku sangat banyak, sampai hobi lari ku tertunda sangat lama. Hmm, terakhir kapan yaa lari pagi atau lari sore? Sepertinya sesaat setelah Batik Day kemarin. Kapan ya itu? Bulan Oktober. Ya ampun ternyata sudah lebih dari 2 bulan aku tidak olahraga. Keterlaluan sekali kamu Yureka.
Sesampainya di Central Park, aku langsung pasang aplikasi di telpon genggamku untuk memasang jarak dan waktu tempuh selama aku lari. Memutar lagu-lagu favorit dan melihat pemandangan New York melalui taman besar ini, adalah kombinasi yang sempurna untuk menghilangkan rasa jenuh dan stress dalam hidup ini. Kedengarannya memang picisan, tapi memang benar kok. Aku selalu merasa bersyukur ketika aku mendengarkan lagu yang membuat hati tentram, kemudian melihat ke sekeliling, itu membuatku ingat akan semua hal yang harusnya tidak perlu dikeluhkan. Justru harus menjadi sebuah hal yang harus disyukuri, apapun itu, baik soal studi, keluarga, teman-teman, dan bahkan pacar. Ah, kalau sudah membicarakan tentang kekasih hati, memang tidak ada habisnya. Oh, Eugene, kurang dari 12 jam saja ku sudah rindu padamu. Dia sedang apa yaa?
Setelah 48 menit lari untuk jarak 4 kilometer, kemudian kuputuskan untuk mengakhiri acara lari pagi ini. Tuh kan, memang benar ternyata sudah lama tidak lari membuat tubuhnya tidak mampu berlari lebih jauh atau lebih lama. Jangan ditiru lah kalau seperti ini. Ingat ya, olahraga bukan hanya soal membuat tubuh langsing atau singset, lebih dari itu. Ya, yang ku bilang tadi, olahraga adalah cara untuk mengalihkan kita dari hal-hal negatif, mengalihkan kita dari permasalahan hidup yang sedang dihadapi, yang terpenting juga olahraga membuat tubuh kita bugar dan merasa sehat. Kan seperti kata pepatah “Mens sana in corpore sano”, “Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat”. Sebentar, kok pembicaraanku ini seperti sedang memberikan perkuliahan 2 unit ya. Apa-apaan ini?
Baiklah, selesai semua acara lari pagi di Shumann Running Track, mengoceh tentang mata kuliah kehidupan, juga melepas penat di hari Minggu yang cerahnya tidak seberapa ini. Sebelum kembali ke apartemen, aku memutuskan untuk duduk sebentar di bangku yang menghadap langsung ke danau Jacqueline Kennedy Onnasis Reservoir. Ketika duduk-duduk santai, tidak lama ada telpon masuk. Ternyata dari seseorang bernama lengkap Parama Eugene Oetomo. Ya, pacarku.
“Ya, selamat pagi, ada yang bisa saya bantu Bapak Rama Oetomo?”, mulaiku lewat percakapan di telpon dengan Eugene yang sengaja kupanggil nya dengan nama Rama karena katanya waktu SMA, teman-teman dan guru-gurunya memanggilnya dengan Rama yang diambil dari nama depannya, Parama. Tidak ada alasan khusus sih katanya karena memang ia juga sengaja tidak memberitahu kepada semua teman-teman SMA-nya bahwa panggilan sebenarnya adalah Eugene bukan Rama. Katanya agar terdengar lebih merakyat menggunakan nama Rama.
“Selamat pagi, Bu. Saya pesan ayam geprek 1 ya”
“Anda salah sambung bapak”
Kami berdua hanya tertawa. Tertawanya saja terdengar ganteng, bagaimana aslinya.
“Lagi apa, Yang?” tanya Eugene terdengar masih mengantuk.
“Abis lari di CP”
“Wuih. Rajinnya. CP nya bukan mall yang di Jakarta itu kan?”
“Bukan. Eh suaranya kedengeran baru bangun tidur. Baru bangunkah?”
“Iya. Aku mendadak ngelembur tahu, Yang, semalem itu. Ya, nggak sampe pagi banget sih, cuma sampe jam 2 apa setengah 3 gitu yang abis dari apartemen mu. Gegaranya aku baru baca email dari dosen, dan email nya itu dari hari Jumat.”
“Oyaa? Emang email-nya apaan, Yang”
Sambil berjalan perlahan meninggalkan Central Park menuju apartemen, aku mendengar keterangan Eugene seputar email dari dosennya itu. Kedengarannya sih serius, meskipun sambil bercerita sesekali Eugene menyelanya dengan menguap dan terdengar menggaruk-garuk rambut. Bahwasanya, awal Januari nanti, dia akan mengikuti “Mapping Day” yang akan diadakan di Lincoln, Nebraska selama 10 hari. Jadi, Mapping Day ini semacam acara studi wisata yang umumnya dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa jurusan geografi, demografi, arsitektur, dan termasuk perencanaan tata kota alias Urban Planning seperti jurusan kuliah S2 Eugene.
“Yah. Kok mendadak sih, Yang. Kayaknya kamu nggak pernah bilang”
“Ih pernah kok. Waktu itu aku bilang kalo bakalan ada Mapping Day
“Ya, tapi nggak bilang kalo Januari. Awal lagi”
“Nah, iya aku nggak tahu kalo tanggalnya. Ini bener-bener baru dikasih tahu dosennya, Yang. Trus, yaudah akhirnya semalem aku langsung lembur ngisi formnya dan lain-lainnya”
Mendengar penjelasannya, entah mengapa jiwa yang sudah kuat dan raga yang bugar akibat lari pagi, tiba-tiba luntur dan hilang semangat. Seperti apa jadinya kalau 10 hari aku berpisah dengan Eugene. Aku kan masih ingin melihat mata sipitnya, masih ingin mampir ke dormitorinya untuk sekadar main meskipun hanya di ruang tamu saja untuk bermalam minggu dengannya.
“Halo? Sayang? Kok diem?”
“Nggak pa-pa”
“Sedih ya? Yah, jangan sedih dong. Kan 10 hari doang. Nanti juga balik. Nanti pas balik kita makan ice cream coklat deh. Yah?”
“Nggak mau. Maunya kamu, bukan es krim”
“Iya tahu. Yah, terus gimana dong?”
“Yaudah. Aku nggak sedih kok. Tenang aja. Berangkat aja. Becanda kok. Aku nggak selabil itu. Hahaha. ”, padahal hatiku sebenarnya labil dan sedih. Sakit seperti ditusuk-tusuk pakai tusukan sate.
“Aku main ke apartemen deh hari ini. Biar mood kamu balik”
“Ya ampun, Jin. Aku nggak sebocah itu kali. Santai aja”
“Bohong. Aku tahu meskipun kamu bilang nggak pa-pa, tapi sebenernya kamu kenapa-kenapa kan?”
Gila. Rupanya ia tahu isi hati dan kepalaku. Darimana ia bisa menebak itu? Padahal kan memang harusnya aku bersikap dewasa dalam kondisi apapun. Tapi memang benar sih, aku sedih. Tidak tahu apakah aku akan serindu itu pada Eugene selama dia ke Nebraska nanti. Rasanya langsung ingin memutar lagu-lagu melankolis seperti “Writing on The Wall”-nya Sam Smith jaman dahulu, agar suasana tambah terharu biru.
Obrolan kami lewat telpon masih berlangsung sampai aku sampai ke apartemen. Gila benar pacar satu ini. Sudah kaya atau bagaimana? Pulsanya unlimited atau bagaimana sehingga bisa menelpon ku selama lebih dari 30 menit. Tidak hanya membicarakan rencananya yang akan ke Nebraska itu, kami juga membahas apa yang mau kami lakukan ketika libur Natal nanti. Yang pasti hanya tetap tinggal di New York dan tidak kemana-mana. Ya, mau kemana juga, kalau liburan keluar kota pasti biayanya mahal. Sudah dapat beasiswa untuk kuliah S2 dan dapat sewa apartemen murah saja sudah beruntung, jangan ditambah dengan beban biaya liburan lah. Liburan paling hanya ke sekitaran New Jersey atau ke D.C saja. Oh ya, lagi pula kan bulan Februari kami akan ke Kanada selama 5 hari. Jadi, simpan semangat liburannya untuk bulan Februari nanti.

💕💕💕

Sampai di apartemen, baru saja hilang sedihku karena dihibur oleh Eugene, eh mood langsung turun lagi sejak pertama kali yang dilihat saat buka pintu sesosok mahkluk berjenis kelamin laki-laki bernama Jamie Whitley. Ya, Tuhan, kenapa dia lagi sih?! Kali ini ia datang bukan untuk memberiku pai coklat atau coklat bar seperti sebelum-sebelumnya, tapi karena Salima yang mengundangnya ke rumah dan apakah Jamie bisa membantu kami mengangkat barang-barang Salima ke truk pengangkut guna pindah rumah minggu depan.
Jadi, begitu rupanya. Eh, ngomong-ngomong soal bantu-bantu pindahannya Salima, aku baru ingat kalau aku harus memberi tahu Eugene juga kalau ia juga dimintai tolong oleh Salima untuk ikut membantunya mengangkat barang. Aku paham sih, Salima pasti memerlukan tenaga laki-laki untuk mengangkat barang yang berat, tapi tidak tahu mengapa yang dimintai tolong hanya Jamie dan Eugene. Kalau Jamie sih mungkin karena tetangga yang hampir selalu mampir ke rumah, apapun kondisi dan alasannya, pasti kecoak itu datang ke apartemen. Tapi kalau Eugene? Ya, masa karena dia pacarku makanya Salima minta tolong. Tapi tidak apalah, mungkin karena laki-laki yang sering main ke rumah itu Eugene.

💕💕💕

Satu minggu kemudian, hari pindahan Salima pun tiba. Selama seminggu belakangan rumah memang agak berantakan karena harus memilah-milah barang-barang antaranya milikku, milik Cassandra dan Salima. Aku, Cassandra, Eugene, dan Jamie, termasuk Salima, pun sibuk membawa satu persatu kardus-kardus berisikan barang-barang milik Salima dari apartemen kami di lantai 3 ke truk pengangkut yang sudah siap di depan gedung apartemen. Rasanya ingin bunuh diri saja kalau begini. Bukan apa-apa, tapi membawa kardus-kardus tidak berdosa itu dari lantai 3 ke lantai dasar dengan hanya menggunakan anak tangga saja, rasanya badai Katharina akan datang dua kali dalam setahun. Mengapa apartemen ini tidak punya lift?!
Aku sempat rehat sejenak dan beinisiatif menyediakan minum untuk kami berlima.
Guys, you could take a break for sec. I already served water and some snacks here, if you wish.
Thanks, Yureka! Very nice of you!”, jawab Cassandra.
Sambil minum segelas air putih dan berdiri dekat pintu dapur, aku sempat melihat Eugene asyik ngobrol dengan Jamie. Eh, kenapa mereka bisa tiba-tiba sedekat itu? Apa Eugene tidak il-fil dengan Jamie setelah kuceritakan semua kegondokan ku pada Jamie? Aku juga sempat melihat mereka saling membantu saat membawa kardus besar dan membawanya ke lantai dasar. Saat mengangkat kardus besar itu, mereka juga saling ngobrol. Aku tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan, tapi kelihatannya seru.
Ironis memang, antara senang atau sedih melihat fenomena itu. Aku yang sudah dipacari Eugene selama hampir 2 bulan dan selalu dibuat kesemsem dengannya, menghadapi seorang tetangga orang lokal yang menyebalkannya minta ampun. Tapi aku pun sebenarnya bingung kepada diriku sendiri mengapa aku tidak setertarik itu kepada Jamie. Maksudku, bisa saja kan dari dulu, saat pertama kali bertetangga dengannya, aku bisa jadian dengan Jamie bukan Eugene. Ya, memang sih aku punya alasan kuat bahwasanya Jamie seorang Atheis dan aku punya pengalaman buruk dengan seseorang yang Agnostik, yaitu mantan gebetanku sendiri, eh bukan, mantan Friendzone-ku sendiri. Na’as.
Jadi, aku masih perang batin melihat keakraban Eugene dengan Jamie yang mendadak ini. Tapi kalau diliat-liat lucu juga sih. Yang satu rambut hitam mata sipit oriental, yang satu lagi hidung mancung rambut pirang occidental.
Setelah 4 jam mengangkut barang-barang Salima ke dalam truk, akhirnya semuanya selesai. Ternyata banyak juga barang-barangnya. Aku sampai tidak menyadari bahwa Salima ini suka mengoleksi majalah fashion seperti “Elle”, “Marie Claire”, “InStyle”, “Harper Bazaar”, dan the one and the only-nya Amerika “Vogue”. Wah, kemana saja aku selama ini. Tapi memang benar sih, meskipun Salima berkerudung, tapi aku selalu melihat dirinya memakai pakaian yang tetap menutup auratnya namun masih bisa mementingkan estetika dalam berbusana agar terlihat fashionable.
Time to sayGoodbyeto Salima. Selain truk pengangkut barang-barang Salima sudah siap berangkat ke Boston, taksi yang akan membawa Salima ke bandara JFK juga sudah datang. Ya, Salima memang tidak akan ikut truk itu karena ia lebih memilih mempercayakan barang-barangnya kepada supir truk antar kota, dan memilih juga dirinya untuk nyaman naik pesawat yang hanya memakan waktu sekitar 1 jam itu. Mudah-mudahan kami semua bisa bertemu kembali dengannya, entah dalam kesempatan apa, dimana, dan kapan. Yang pasti aku senang pernah menjadi roommate nya selama kurang lebih setahun belakangan. Ya, meskipun prinsip dan peraturannya ketat, tapi aku tetap menyayanginya.
Aku dan Cassandra saling berpelukan erat. Aku sempat menitikkan air mata karena terharu dengan momen ini.
Good luck in the new place”, ucapku pada Salima sambil mengusap air mata di dekat mata kanan ku.
I wish you good luck, Salima. We’ll miss you”, saut Cassandra.
I’m gonna miss you too, girls. I’m gonna write you a postcard from Boston. And good luck for everybody.”, balas Salima menguatkan.
Yeah, good luck, Salima…”, ujar Jamie.
Saat mengatakan itu, tubuh Jamie mengarah ke arah Salima dan berniat ingin memeluknya, tapi Salima buru-buru membuka kedua telapak tangannya dan memblokir niatan Jamie untuk memeluknya sambil berkata “Hmm, excuse me. Anyway, thank you for your helps, Jamie, Eugene
No problem for me. Good luck, Salima”, respon Eugene.
Good bye, guys. Assalamualaikum!”, ucap salam Salima kepada kami semua.
Walaikumsalam”, dibalas oleh kami semua yang mana membuatku terpana karena bisa-bisanya Jamie yang anti agama tahu cara membalas ucapan itu yang mana tercengang ku dibuatnya. Kalau Cassandra memang tidak heran karena aku dan Salima pernah mengajari Cassandra cara membalas salam dengan bahasa Arab, dan juga pernah mengajarinya cara berdoa sebelum makan. Ah, Salima belum pindah saja aku sudah rindu kebersamaan kami bertiga.
Hah, she’s gone. Well, one left, but another one will coming”, ucap Cassandra.
Yeah, you’re right. Your brother will be coming to New York”, balasku.
Who’s his name, by the way?” tanya Eugene.
Dominico”, balas Cassandra.
Nice name”, saut Jamie.
Thanks.” Balas Cassandra.
Well, that’s nice actually. I have a new bro in the house. And I’ll bring him to a club for whole month”, ujar Jamie terdengar konyol meskipun hanya lelucon semata.
Whatever you say, Jamie.”, jawab Cassandra agak terganggu.
Yeah. Burrito from Mexico! Woohooo!”, ujar Jamie lagi sambil berseru.
Dan kami semua kecuali Jamie, diam tak bergeming, memandang ke arah Jamie dengan aneh.


- BERSAMBUNG -


=====================================================================

Episode 3 : Burrito dari Mexico



Yureka. Natal 2018 dan Tahun Baru 2019. New York. Masa depan.
Waktu begitu cepat berlalu. Tiba-tiba sudah musim dingin. Ya, sudah dimulai sejak bulan November, tapi salju sudah mulai turun ke kota New York. Favoritku! Meski dingin, harus siap siaga untuk menyalakan penghangat ruangan tiap sore tiba dan siap siaga pula mematikannya dikala pagi hari terkhusus ketika akan meninggalkan apartemen, tapi meski demikian indahnya salju tidak ada duanya. Tidak hanya salju yang menjadi latar belakangnya, tetapi juga ada banyak hal yang terjadi dalam hidupku belakangan ini. Akan aku ceritakan setelah ini. Aku akan berusaha pula untuk membeberkannya satu persatu, kalau aku tidak lelah untuk mengingatnya.
Jadi, setelah Salima, si gadis Libya dengan ribuan peraturan namun baik hati itu pindah ke Boston, ada banyak cerita yang terjadi. Salah satunya adalah kedatangan Dominico, adik kandung Cassandra yang tinggal di Meksiko yang sedang berlibur selama satu bulan di New York. Sudah kaya atau bagaimana yaa? Liburan kok satu bulan? Ya, terserah, asal uang untuk berliburnya bukan dari hasil korupsi. Itu yang terpenting.
Pokoknya, selama satu bulan, sekitar pertengahan Desember 2018 hingga akhir Januari 2019, Dominico Rodriguez datang dan berlibur di New York, dan juga menginap di apartemen ku dan Cassandra selama satu bulan penuh itu juga. Hitung-hitung menggantikan Salima dan menunggu sampai roommate lainnya datang, lebih tepatnya pada awal Februari mendatang.
Beberapa hari sebelum Dominico datang, Cassandra sudah meminta bantuanku untuk menjemput Dominico di bandara sekaligus menjadi tourguide-nya selama tiga hari pertama kedatangannya di New York. Cassandra memberikan imbalan dengan memberikan ku uang 200 dollar untuk modal naik taksi, plus stok makanan seperti roti, susu, telur, dan keju selama satu bulan penuh. Ya, padahal aku sangat ikhlas membantunya untuk menjadi tourguide adiknya selama ia di New York. Toh, sekalian aku bisa jalan-jalan menyusuri kota New York yang mungkin aku belum pernah kesana sebelumnya.
Awalnya aku meminta Eugene menemaniku menjemput Dominico ketika dia mendarat di bandara di pertengahan Desember tersebut, namun aku baru ingat kalau ia sudah janji dengan teman-teman kampusnya untuk bermain basket di sebuah lapangan dekat dormitorinya. Aku juga menawarkan pada Eugene apakah ia mau menemaniku juga mengantar Dominico jalan-jalan keliling kota, jawabannya juga tidak. Saat itu tidak hanya harus mengurus Mapping Day-nya yang akan dilaksanakan selama 10 hari mulai dari tanggal 7-16 Januari mendatang, namun juga mulai sibuk menyiapkan tesisnya yang sebenarnya tenggat waktunya sudah hampir mendekati akhir. Bicara soal tesis, rencananya ke Nebraska bukan hanya untuk tugas Mapping Day saja, namun juga sebenarnya ada kaitannya dengan tesisnya yang akan disidangkan akhir Maret mendatang. Maka dari itu, ketika aku tahu semua kesibukannya memang bukan ilusi semata, jadi sebagai pacar yang baik, aku harus memakluminya dan hanya bisa mendukung yang terbaik untuk Eugene.
Meskipun Eugene tengah disibukkan dengan urusan perkuliahannya, kami tetap saling berkomunikasi. Ya, meskipun kadang kesal juga kalau ia cukup lama membalasnya, atau tidak mengangkat telponku saat aku sedang membutuhkannya. Tapi, ya kembali lagi, aku hanya bisa memakluminya dan tidak mencoba menjadi kekanak-kanakan dikarenakan hal tersebut.
Tapi untungnya ada Dominico. Maksudku, aku membiarkan Eugene menyelesaikan apa yang harus diselesaikan, sementara aku juga sibuk menjadi tourguide-nya Dominico. Selama beberapa hari, sesaat setelah Dominico mendarat dengan selamat di bandara John F. Kennedy, aku menemani remaja berusia 18 tahun ini untuk melakukan banyak hal di tempat-tempat kece di kota New York, seperti jalan-jalan plus main salju di Central Park; melihat pohon Natal yang super duper besar di Rockefeller Center; melihat salah satu gedung paling tinggi di New York, Empire State Building, foto-foto di Brooklyn Bridge, mengunjungi National September 11 Memorial and Museum dan Museum of Modern Art, makan-makanan Asia di China Town, main-main ke Theater District sekaligus memperkenalkan tempat praktekku juga kampusku Tisch School of Art by New York University, dan tidak ketinggalan Times Square.
Tidak hanya mengajaknya jalan-jalan, saat malam Natal juga kami menghabiskan waktu bersama di apartemen. Eugene dan tunangannya Cassandra, José juga datang. Kami masak makanan dari negara kami masing-masing. Aku dan Eugene memasak Nasi Goreng yang entah mengapa menjadi kesukaan Cassandra kalau kami masak makanan itu bersama. Kami juga membuat Kolak Pisang yang selain sebagai hidangan penutup juga sebagai makanan penghangat dari udara dinginnya New York kala itu.
Kalau José, lain lagi. Berhubung ia adalah anak campuran Amerika-Meksiko-Honduras, maka ia memilih menjadi representatif dari Honduras, negara asal Ayahnya dan juga negara tempat ia tinggal saat ia berusia 5 hingga 8 tahun. José menyajikan makanan khas dari Honduras bernama “Olla Soup”. Jujur, aku tidak tahu sama sekali dengan negara itu, kecuali David Archuleta yang menjadi salah satu penyanyi Amerika favoritku sejak lama yang juga berdarah campuran Honduras. Hmm, mungkin aku terlalu banyak mendengarkan lagu-lagunya, sehingga aku jadi ada kesempatan untuk menyicipi salah satu makanan khas dari Honduras. Lucu, ya?
Lain lagi dengan Duo Meksiko, Cassandra dan Dominico Rodriguez, mereka menghidangkan tiga menu sekaligus, yakni Guacamole, Tinga de Pollo, dan Burrito. Wah, makanan Meksiko favoritku ternyata juga ada! Tapi kata Cassandra, sebenarnya Burrito bukan makanan otentik dari Meksiko, melainkan lebih kepada campuran dan atau sudah diadopsi oleh budaya Amerika yang mana dibuat oleh orang-orang Texas. Hmm, yaa seperti layaknya Fajitas yang juga campuran antara Meksiko dan Amerika Serikat. Cassandra membuatnya karena ia lebih mahir membuat Burrito dibandingkan temannya, Taco, yang sebenarnya isiannya hampir mirip satu sama lain. Ya, pokoknya ia bilang tidak harus otentik dari Meksiko, karena ia sejujurnya juga lebih suka Burrito dibanding Taco. Mungkin karena sudah terlalu lama tinggal di Amerika, jadi lidahnya juga agaknya sedikit berubah. Ya, apapun itu, aku tetap bersyukur Cassandra mau membuatkan semua makanan itu untuk kami.
Malam Natal berjalan dengan penuh ketenangan dan kedamaian. Ya, seperti yang pernah kalian liat di film-film, minum coklat bersama, ngobrol-ngobrol, atau menonton film yang dilatarbelakangi oleh salju diluar dan pohon Natal di dalam rumah. Yang ada di film itu memang benar adanya, kecuali menyalakan perapian dan pohon Natal di ruang keluarga, ya karena kami hanya tinggal di apartemen berbagi, tidak ada ruang keluarga yang asli apalagi tempat perapian. Tapi menghabiskan malam tersebut dengan orang-orang tercinta buatku sudah lebih dari cukup. Ya, meskipun aku dan Eugene tidak benar-benar merayakannya, tapi bagi kami, anggap saja itu waktu yang tepat untuk kumpul bersama. Ah, rasanya kalau diingat-ingat, momen itu seperti sedang bersama keluarga. Aku tidak akan pernah melupakan hal itu sampai kapanpun.
Meskipun aku tidak punya libur Natal dan Tahun Baru yang ‘official’, dikarenakan aku harus tetap mengerjakan karya tulisan sebagai syarat kelulusan S2 ku ini, tapi aku tetap menikmatinya dengan berjalan-jalan dengan Dominico. Ya, sayangnya Eugene masih tidak bisa diajak jalan-jalan karena kalau ia menunda mengerjakan tesisnya, maka semuanya akan terbengkalai dan tidak akan selesai tepat waktu. Jadi, aku biarkan saja ia fokus dengan tesisnya.
Tapi aku agaknya sanksi melakukan semua itu dengan Dominico. Maksudnya, intensitas bertemunya diriku dengan Dominico lebih sering dibandingkan dengan Eugene, dan itulah yang memunculkan sesuatu setelahnya. Ya, sesuatu itu tidak lain tidak bukan adalah sebuah masalah.
Eugene yang awalnya sangat mempercayakan padaku kalau tidak akan terjadi apa-apa di antara aku dan Dominico, pada akhirnya ia yang cemburu buta dengan Dominico. Padahal aku yang sudah bilang kepadanya kalau harusnya ia ikut sesekali denganku dan Dominico agar aku juga tidak terlalu merasa bersalah. Akupun serba salah dibuatnya, aku sudah punya pacar, tapi aku harus menemani anak remaja ingusan seperti Dominico yang tidak tahu apa-apa tentang New York dan seisinya, meskipun aku juga tidak tahu banyak. Tiap sudut kota New York terlalu besar untuk diingat hanya dalam kedipan mata saja. Percayalah. Intinya pacarku tidak mau diajak jalan-jalan dengan alasan urusan perkuliahan yang tidak bisa ditunda. Lalu ketika pacarku cemburu karena anak ingusan itu, lalu siapa yang salah?
Hingga suatu hari aku benar-benar kesal dengan Eugene dan aku tidak mau membalas Whatsapp-nya untuk sementara waktu. Dan yang aku lihat, hal ini yang dimanfaatkan Dominico. Bukan aku sok tahu, atau sok terbawa perasaan, tapi sepertinya memang sesaat setelah aku menjemputnya di bandara waktu itu, Dominico sepertinya ada rasa denganku. Bukan aku sok kepedean, tapi awalnya aku dan Dominico biasa saja, kami ngobrol seperti layaknya teman. Tapi semua berubah setelah perayaan Natal. Ia jadi gugup kalau berbicara denganku. Ia mengedipkan mata lebih banyak dari biasanya.
Tapi jangan salah, aku tidak sama sekali berniat selingkuh dari Eugene. Aku hanya ingin mempergunakan waktuku sendiri dengan baik. Aku pun sudah membiarkan Eugene mempergunakan waktu sendirinya dengan baik. Tapi yang tadi ku bilang, Dominico memanfaatkan dengan hal itu menjadi sebuah kesempatan emas. Seperti, Dominico jadi sering mengirim pesan Whatsapp kalau aku sedang ke kampus. Contohnya seperti menanyakan keadaan ku di kampus (kalau aku ke kampus), memberikan semangat, dan masih banyak lagi. Oh, atau saat kami berbincang-bincang seputar latar belakang keluarganya Cassandra dan Dominico yang sebenarnya. Kira-kira percakapannya sebagai berikut :
Yureka            : “Wait… wait… So, you guys are the descent from Spanish, French, Russian, Italian and Mexican
Cassandra        : “You got it!
Yureka            : “Wow. I never heard that one family has a lot of ancestors like that before. It sounds so complicated.
Dominico        : “Don’t be confused, please” (tertawa kecil). (ternyata kalau tertawa manis juga).
Yureka          : “Hey, wait. That’s why. I was wondering why Dominico has fair skin, not like you, Cassey. I’m sorry, no offense, but I was just wondering about that. And that’s maybe because of the multi-races ancestors that you’ve told to me before
Dominico        : “Yap. As you can see, I am different with my own sister. Or maybe I am not her brother
Cassandra        : “No, you are my brother
(semua tertawa)
Yureka            : “So, it means that you are all…. Mix?
Dominico        : “Yeap. I would say yes. But, I mean, if I am marrying a person like you, an Asian girl, and having kids, my kids must be more mix. If you know what I mean
(Jujur saat Dominico mengatakan ini, aku tiba-tiba gugup dan lidahku bergetar tapi tidak bisa digerakkan. Aku berusaha agar tidak terlalu terbawa perasaan, tapi sialnya aku mulai terbawa perasaan. Yureka, stop! Kau ini sudah punya kekasih!)
Dominico        : “By the way, do you have also ancestors from another part of the world?
Yureka            : “Nope. I am 100% Indonesian. I mean, I don’t know, maybe I do have, but so far, no clues.
Cassandra      : “But Eugene has some, right? So, when you guys got married and having children, your kids must be mixed
Yureka            : “Yeah, you’re right. Wow, Cassey, I never realized that one, actually
Dominico        : “What is his ancestor?
Yureka         : “His mother is actually from South Korea, but his grandparents are also mix. His grandfather is Korean, and his grandmother is Chinese. Like really Chinese, the China Mainland, not Hongkong, or Macau, even Taiwan. So, yeah. And his father is Indonesian. So, he is 50% Indonesian, 25% Korean, and the rest is Chinese.
            Jujur, percakapan itu sangat menyenangkan. Tapi jujur juga, aku jadi agak merasakan aneh saat Dominico berkata demikian, “Jika aku menikah dengan orang sepertimu yaitu dari Asia dan memiliki anak, maka anak-anak itulah akansangat sangat campuran”. Astaga, Tuhan, kenapa orang seperti diriku sangat gampang sekali terbawa perasaan? Yureka, ingat Eugene, Yureka, ingat itu!
Aku pun mencoba tenang dan seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi aku menjadi takut jikalau sesuatu terjadi padaku dan Dominico. Bukan sesuatu yang sangat buruk, tapi hanya sesuatu yang bisa mengancam kelangsungan hubunganku dengan Eugene. 
Jadi, suatu hari, saat Dominico tahu kalau Eugene berangkat ke Lincoln, Nebraska untuk 10 hari, ia mengajakku ke bioskop dan menonton film bersama. Oh ya, ngomong-ngomong, aku sudah baikan dengan Eugene saat malam tahun baru. Dengan kalimat-kalimat yang seperti di film-film seperti “I know I was stupid to do that to you, Honey, but, I’m promised to you to not be jealous to anyone again. Because I trust you”. Hmm, sok romantis, tapi memang romantis sih, bagaimana dong? Lalu aku dan Eugene menghabiskan malam pergantian tahun bersama dan sudah tentunya melihat “Ball Drop” di Times Square. Tapi setelah itu ada hal yang tidak disangka. Disanalah adegan seperti di film-film juga terjadi, Eugene mencium ku! Oh Tuhan, ampuni kami atas apa yang kami lakukan! Tapi bagaimana lagi, jujur, aku sangat senang dengan momen itu. Aku tidak akan melupakannya.
Kembali soal ajakan Dominico ke bioskop, ya karena aku tahu itu hanya ajakan normal seseorang, jadi aku iyakan tawarannya tersebut. Akhirnya kami memilih untuk menonton “Mary Poppins Returns”. Semua berjalan dengan normal. Tidak ada yang aneh. Tidak ada yang janggal. Sampai hal yang tidak terduga pun terjadi. Tidak hanya Eugene yang mencium bibirku, Dominico juga! Apa-apaan ini! Oh Tuhan, apa yang terjadi pada hidupku?!
Hal itu memang tidak langsung diketahui oleh Eugene, tapi bodohnya Dominico yang memberitahukan kejadian itu kepada Eugene langsung! Oh bodohnya anak itu!
Tepat sehari setelah Eugene kembali dari Nebraska, Dominico menghampiri Eugene ke kampusnya. Astaga, aku tidak bisa membayangkan, Columbia University kedapatan fenomena tidak mengenakkan yang dibuat oleh dua manusia tampan itu. Ya, ya, aku akui Dominico sangat tampan. Jangan salahkan aku, aku hanya manusia biasa yang juga bisa menilai seseorang secara subjektif. Apapun itu, lupakan. Intinya, saat itu aku juga berada ditengah-tengah mereka. Entah aku menjadi saksi, korban, atau justru tersangka dalam kasus ini.
Tapi yang aku tahu, raut wajah Eugene berubah drastis. Ia yang masih disibukkan dengan tesisnya, terlebih masih kelelahan dari Mapping Day-nya 10 hari kemarin, pastinya dipenuhi amarah yang tiada duanya. Aku pun saat itu hanya terdiam, membeku, kaku, dan apalah yang membuatku tidak bisa berkata apa-apa.
I am sorry, dude. I didn’t mean to do that. I really apologize. Listen, I need to do this because tomorrow I should go back to Mexico and I don’t want to have something left behind especially with you. So, I told the truth. Would you mind to forgive me? Please”, ungkap Dominico yang saat itu benar-benar sangat menyesalinya.
Eugene terdiam namun membalas “Son, let me tell you this. Next time, if you wanna fuck a girl, please make sure that she doesn’t have any man unless her father and brother. Then you can do whatever you want…
Dominico hanya terdiam.
Tapi Eugene melanjutkan ini, “Don’t worry, I forgive you. But, let me give this for you…
Dominico yang tadinya tertunduk kepalanya kemudian menengadah sambil bertanya “What?…
Belum selesai dengan kata-katanya, Eugene tidak segan-segan melemparkan bogem mentah ke arah wajah Dominico dan alhasil hidung Dominico mengeluarkan darah. Ya, tidak banyak, tapi kalau dibandingkan mimisan sih sama kuantitasnya. Oh, tidak, itu memang benar-benar berdarah!
And don’t call me dude, again. Forever! Good day!”. Eugene mengakhiri percakapan dengan bogem mentah itu lalu pergi.
Aku mencoba membantu Dominico dan memastikan apakah hidungnya benar-benar parah atau tidak. Belum selesai aku niat baikku menolong Dominico, Eugene lanjut mengatakan “Ayo, Yang, kamu mau ikut aku atau si kampret ini?”
“Sayang, kamu bikin dia berdarah, ya emang nggak boleh aku bantuin dia dulu. Kamu gimana sih?”
“Ah! Terserah!”
Eugene pergi. Aku masih bersama Dominico. Aku bahkan yang membantunya untuk menghentikan darahnya. Untung saat SMP dulu, aku sempat menjadi anggota PMR, jadi tahu sedikit tentang bagaimana mengatasi mimisan. Ya, ini memang bukan mimisan tapi yaa anggap saja penanganannya sama.
Di apartemen, aku menceritakan semuanya kepada Cassandra. Aku pikir Cassandra akan memarahiku dan atau adik kesayangannya. Tapi ia sangat objektif. Ia sabar, dan memberi nasehat terbaik untuk adiknya. Mereka sempat berbicara dengan bahasa Spanyol yang aku tidak tahu sama sekali kecuali unos, dos, dan tres yang kupelajari dari Dora The Explorer sewaktu aku SD dulu. Tapi sepertinya nasehat itu sangat mendalam. Tapi setelahnya Cassandra dan Dominico saling berpelukan. Cassandra juga meminta Dominico untuk meminta maaf kepadaku. Sambil memelukku, Dominico dengan menyesal meminta maaf, dan dengan berbesar hati, aku memaafkannya dan berpesan kepadanya agar ia tidak lagi mengulangi hal yang sama kepadaku ataupun kepada perempuan lainnya. Semoga ia benar-benar mengambil pelajaran dari kejadian itu.
Tanggal 18 Januari 2019, Dominico harus kembali ke Mexico City. Selain memang sudah satu bulan ia habiskan liburannya di New York, ia juga harus mengurus pendaftaran universitas yang akan dimulai musim semi nanti. Lagipula ia juga sudah booking tiket untuk pulang, yaa mau tidak mau yaa ia harus pulang. Bagaimana sih?
Tapi di bandara JFK, saat aku dan Cassandra mengantarnya, kami semua baik-baik saja. Kami pun sempat saling melempar candaan selama perjalanan dari apartemen menuju bandara. Aku harap kami benar-benar sudah melupakaan kejadian tidak menyenangkan itu.
Salam perpisahan ditujukan kepada Dominico yang tidak terasa satu bulan kami habiskan waktu bersama. Tidak hanya jalan-jalan keliling kota New York, tapi juga menonton Netflix bersama, makan bersama, belajar bahasa Spanyol darinya, bahkan kami sempat bersih-bersih rumah bersama karena ia sempat mengadakan pesta dadakan dengan meninggalkan puluhan kaleng dan botol bir di apartemen, itu yang akan aku rindukan dari Dominico. Apalagi dengan kepolosannya. Ya, seperti layaknya anak usia 18 tahun. Semoga akan ada banyak pengalaman yang ia dapatkan di masa yang akan datang. Aku juga berharap bisa bertemu ia lagi suatu hari. Tetap sebagai teman, atau kakak dadakan untuknya. Tapi mungkin juga karena aku tidak punya adik, jadi aku memang merasa satu bulan ini Dominico sudah kuanggap seperti adikku sendiri.
Thank you for everything, Yureka”, ujar Dominico sebelum masuk untuk boarding.
Never mind. It’s been my pleasure, though. Well, I hope to see you again in Mexico... with your sister’s money cause I have no money for the flight and accommodation and everything”, balasku sambil melempar candaan.
Excuse me”, sambar Cassandra kesal namun kemudian tertawa kecil.
Dan benar, kami bertiga pun tertawa.
Dominico pun berpamitan dengan kakaknya. Ya, mereka lagi-lagi menggunakan bahasa Spanyol. Aku sama sekali tidak mengerti. Sesi pelajaran yang diberikan Dominico waktu itu sama sekali tidak membantu.
Tapi entah mengapa aku senang dua kakak beradik ini telah menghabiskan waktu bersama dengan cukup di kota terbesar di dunia ini. Aku bisa membayangkan betapa sulitnya menahan rindu dengan saudara kandung sendiri yang hampir tidak pernah bertemu tiap tahunnya kecuali saat Natal atau libur musim panas saja.
Dominico kemudian sudah masuk ke boarding gate. Semoga ia selamat sampai di Mexico City.
Aku dan Cassandra pun harus kembali ke tanah Manhattan. Tapi sebelum kami benar-benar kembali ke apartemen, kami menyempatkan untuk berjalan-jalan sesaat di daerah Times Square dan juga mampir ke Bloomingdale’s. Ada yang harus dibeli kata Cassandra. Dan memang berhujung belanja disitu. Hmm, aku tidak terlalu suka masuk ke toko pakaian sebenarnya, tapi aku sangat jarang menghabiskan waktu berdua dengan roommate kesayanganku ini, jadi tidak ada salahnya menemaninya belanja, toh tidak ada ruginya juga.
Aku membiarkan Cassey memilih-milih dan berkeliling di Bloomingdale’s sepuasnya, sementara aku juga sambil melihat-lihat isi toko tersebut. Jujur, aku belum pernah masuk ke Bloomingdale’s, yang kata orang lumayan prestisius di New York.
Saat sedang melihat-lihat di area aksesoris, aku melihat sepasang laki-laki dan perempuan. Aku rasa mereka warga lokal. Bukan apa-apa, yang membuatku menghentikan langkahku lebih jauh lagi di toko itu, aku melihat yang laki-laki berwajah oriental, sedangkan yang perempuan berperawakan Asia Tenggara, semacam Thailand atau mungkin Malaysia. Ya, aku tentunya teringat dengan Eugene. Sejak kemarin, aku belum menghubunginya lagi. Aku takut untuk memulai percakapan setelah kejadian dengan Dominico, terlebih kejadian berdarah, hidung berdarah kemarin.
Aku tahu aku rindu, tapi sepertinya memang lebih baik tidak bicara dulu. Aku memberikan ruang dan waktu untuk menjernihkan pikiran masing-masing. Aku juga tahu Eugene pasti masih sibuk dengan urusan tesisnya. Jadi, lebih baik benar-benar tidak berkomunikasi dulu. Minimal sampai besok.
Malamnya, di kamar, aku sedang menyicil karya tulisan skenario film sebagai tugas akhirku untuk mendapatkan gelar MFA dari kampus NYU tercinta. Tapi entah mengapa sering sekali pikiranku terdistraksi dengan bayang-bayang Eugene.
“Ya Allah, aku kangen Eugene…”
Ku raih smartphone ku, lalu berniat membuka Whatsapp, dan berusaha mengetik sesuatu ke chatroom Eugene. Tapi ku tahan. Sesekali aku melihat keluar jendela. Diluar masih dingin, salju juga masih ada menutupi jalanan kota New York.
Aku mengetik “Hello georgous, are you free tomorrow? Let’s meet! I miss you”.
Belum sempat aku menekan tanda amplop terkirim di layar, aku melihat ke arah atas layar dan disitu ada keterangan “typing…”. Berarti Eugene juga sedang mengetik sesuatu dan akan mengatakan sesuatu kepadaku.
Oh My God, apa yang akan ia katakan padaku?
Apakah Eugene akan mengajakku bertemu karena kami sama-sama sudah menahan rindu?
Atau justru sebaliknya?
Apakah ia akan memintaku untuk putus?

- BERSAMBUNG -

===================================================================== 

Episode 4 : Waktunya Kanada



Eugene. Januari 2019. New York. Masa Depan.
“Sayang, kamu di apartemen, kan? Bukain pintu dong. Kedinginan nih…”
Ya, buru-buru gue ngetik itu ke Yureka. Karena gue ada di depan gedung apartemennya. Bodohnya, gue nggak bawa sarung tangan. Karena buru-buru dari dormitori gue yang deket kampus Columbia University ke apartemen Yureka di daerah Broadway dan membutuhkan waktu kurang lebih 40 menit naik metro plus jalan kaki dan lain sebagainya. Nggak ada alasan khusus sih kenapa tiba-tiba kepikiran buat ke apartemen Yureka. Tapi karena kita baru aja berantem yang ala-ala gitu, jadi yaa nggak ada salahnya kalau ketemuan langsung, biar lebih clear, lebih enak ngomongnya.
Eh, btw, gue udah jadian loh sama Yureka. Lebih tepatnya sejak 30 Oktober 2018 lalu. Hmmm udah hampir 3 bulan sih, dan yaa masih asyik-asyik aja. Kecuali kejadian yang baru-baru ini terjadi. Dominico, adik kandung dari roommate-nya Yureka, si Cassandra, eh gimana tuh. Yaa, pokoknya gitu. Cerita singkat, Dominico lagi liburan di New York selama satu bulan dan menginap di apartemen mereka karena roommate mereka terdahulu udah pindah ke Boston dan selama roommate yang baru belum pindah, alhasil diisi sama Dominico.
Berawal dari jemput dia di bandara, Yureka jadi deket banget sama Dominico. Yaa, jujur sih gue cemburu sama Dominico, tapi ya gue berusaha biasa aja soalnya yaa masa cuma karena bantuin roommate-nya untuk jemput adiknya di bandara aja masa harus gue larang-larang. Gue nggak seposesif itu juga lah.
Pokoknya semua awalnya berjalan dengan baik. Mereka juga jalan-jalan bareng. Sedangkan gue membiarkan mereka begitu karena di saat yang bersamaan gue harus ngurus kegiatan Mapping Day gue yang emang gue butuhin buat keperluan penyusunan tesis gue. Mapping Day itu semacam outing class, yang diperluin untuk memenuhi kredit perkuliahan dan juga untuk keperluan pembuatan maket sebagai model dari hasil karya tesis mahasiswa jurusan Urban Planning kayak gue. Dan Mapping Day-nya itu sendiri di Lincoln, Nebraska selama sepuluh hari.
Trus, baru aja gue pulang dari Mapping Day, tiba-tiba Dominico ngajak ketemuan. Oh yaa, sebelumnya gue udah pernah ketemu dia sih, makan-makan bareng pas perayaan malam Natal di apartemen mereka. Pas ketemu, waktu itu di kampus, di pelataran depan ruang kelas yang biasa gue pake buat mata kuliah Urban Design Studio. Disitu Dominico cerita panjang lebar dan yang mengejutkan karena Dominico ngaku kalau dia abis cium cewek gue sesaat setelah mereka nonton dari bioskop. Ya, gue kesel lah, jelas. Kesel dan marah sama dua-duanya. Dominico, karena jelas-jelas dia tahu kalau Yureka itu cewek gue. Yureka, udah tahu dia udah punya pacar, kenapa nggak dia hindar. Dia juga nggak menghargai kepercayaan yang gue kasih buat dia supaya dia nggak ngapa-ngapain sama orang lain, khususnya sama Dominico.
Tapi, yaudah lah, udah kejadian juga. Gue nggak bisa ngapa-ngapain juga. Mau diulang adegannya kayak gimana juga nggak bakal bisa. Gue berusaha nenangin diri karena jujur gue orangnya kalau udah marah sama orang bener-bener marah sejadi-jadinya. Dua-duanya juga udah minta maaf sama gue. Dan Dominico juga ngaku kalau dia suka sama cewek gue. Ya, nggak bisa dong, kecuali kalo emang Yureka suka juga sama Dominico tapi posisinya Yureka masih sjomblo, mungkin bisa. Tapi kan, hello! Yureka cewek gue! Gila aja kali! Yureka juga sukanya sama gue, meskipun Dominico cakep ganteng ala-ala Latinos, tapi gue yakin hati Yureka cuma buat gue. Duh sorry lebay.
Okelah, intinya kayak gitu. Tapi pas mereka minta maaf, gue pun dengan berbesar hati memaafkan mereka. Tapi entah setan dari mana, gue tiba-tiba nonjok Dominico dengan keras. Tepat di hidungnya dan berdarah. Nggak tahu sih parah apa enggak, soalnya abis mukul dia, gue langsung pergi. Gue udah bodo amat.
Nah, malam ini gue tahu kalau Dominico baru aja balik ke Meksiko, negara asalnya. Berarti kan Yureka dan Cassandra ada dirumah setelah capek nganterin Dominico. Dan gue yakin jam segini, hmm jam 11 malem, Yureka ada di kamar dan belum tidur. Karena kalau nggak nulis, yaa main laptop. Yaudah lah gue suruh dia cepet-cepet bukain pintu.
Tiga detik kemudian dia bales “Hah? Oke bentar”. Dan nggak berapa lama, pintu utama dibuka dan gue pastinya langsung buru-buru masuk ke dalem karena gila emang diluar dingin banget.
Sampai di depan pintu apartemennya, gue ketuk tiga kali, dan nggak berapa lama, ada sosok wanita penuh kharisma bernama lengkap Yureka Bhanuresmi Cendekia yang berdiri tepat di depan gue. Cantik banget sih cewek gue! Padahal mukanya lagi capek banget tuh gue tahu, tapi pasti dia seneng pas tahu gue kesini. Dan ya, pas dia tahu di balik pintu ada gue, dia langsung senyum lebar banget. Dan masih kedinginan, bibir masih bergetar karena menggigil, gue membuka tangan gue pertanda gue minta dipeluk. Ya, nggak sopan yaa minta peluk, tapi gimana ya, gue udah kangen berat sama Yureka, plus gue kedinginan, jadi emang butuh yang namanya pelukan.
Yureka pun menyambut baik petunjuk gue dan langsung menghampiri gue. Lalu, kami pun berpelukan. Gue peluk erat dia, dan gue usap kepalanya. Bukan berarti apa-apa, itu cuma ekspresi gue karena gue sayang banget sama dia, kangen, dan gue mencoba mentransfer feeling kalau gue emang udah maafin dia dan anggap aja kemaren itu cuma badai-badai dikit, tapi kita udah berhasil melewatinya.
Akhirnya malam itu kami habiskan untuk ngobrol, banyak hal, mulai dari utara ke selatan, ke barat trus ke timur. Mungkin efek udah lama nggak ngobrol bareng, jadi ada aja yang dibahas. Sampe nggak berasa kalau waktu udah menunjukkan pukul 2 pagi! Ini nggak mungkin kan kalo gue balik ke Columbia University. Akhirnya gue memutuskan untuk menginap di apartemennya Yureka, tapi nggak di kamarnya Yureka juga yaa. Meskipun kami tinggal di Amerika Serikat, negara yang super duper bebas (menurut gue), tapi karena kami berdua orang Indonesia dan masih menjunjung tinggi budaya ketimuran, jadi alangkah baiknya kalau gue pake ruangan lain. Dan dikarenakan kamar bekas Dominico sejauh ini masih kosong, akhirnya gue memutuskan untuk tidur disana. Kalaupun suatu hari udah ada roommate yang baru yang bakal ngisi ruangan itu, dan gue suatu saat juga terpaksa menginap, gue rela tidur di tempat lain, contohnya di sofa merah di dapurnya apartemen mereka.


💙💙💙


Yureka. Februari 2019. Menuju Ottawa, Kanada. Masa Depan.
Aku sudah berbaikan dengan Eugene beberapa waktu lalu. Lebih tepatnya tepat setelah aku dan Cassandra mengantarkan Dominico ke bandara JFK karena Dominico saat itu harus kembali ke Mexico City dan juga karena waktu liburannya sudah habis. Di hari yang sama Dominico pulang ke Meksiko, malamnya Eugene datang. Tanpa banyak kata, Eugene mempersilahkanku memeluk dirinya dengan penuh kebahagiaan. Kami berpelukan, saling meminta maaf, dan memulai semuanya dari awal.
Saat ini, aku dan Eugene sudah kembali seperti biasa. Saling memberi pujian, saling rindu satu sama lain walau hanya 24 jam tidak bertemu, dan saling malu-malu angsa kalau bertemu dan juga menghabiskan waktu bersama. Aku tidak tahu pasti apakah cara kami ini benar-benar yang dinamakan pacaran. Ya, secara aku belum pernah ‘officially’ punya kekasih sebelumnya. Jadi bagiku, meskipun sudah bulan ketiga bersama, tetap saja masih aneh, masih canggung, masih belajar bagaimana mengatur waktu sendiri dan bersama. Apapun itu, aku yakin semua orang punya caranya masing-masing.
Sudah lah, lupakan saja kejadian kemarin. Sekarang aku dan teman-teman Batik Day harus fokus dengan kegiatan kami selanjutnya, yaitu PERGI KE KANADA!!!! Aku benar-benar masih tidak menyangka kalau aku akan menginjakkan kakiku kesana. Masalahnya, sejak duduk di bangku perkuliahan S1 dulu, aku sangat ingin pergi ke Kanada. Hmm, sebenarnya lebih ingin pergi ke Amerika terlebih dulu, tapi Kanada merupakan salah satu negara impian juga. Alasannya? Kenapa yaa? Aku juga lupa persisnya bagaimana. Hahahaha.
Oh, aku ingat, karena Tanteku. Ibunya Dee, si sepupuku yang gila Korea itu. Masih ingat? Jadi, Tanteku pernah kerja di Toronto, Kanada, selama beberapa tahun. Dan kami juga pernah saling mengirimkan kartu pos beberapa kali. Aku juga sering dikirimi foto-foto dengan latar belakang suasana Kanada yang asri, menenangkan, dan asyik lah begitu pokoknya. Kalau beliau pulang ke Indonesia juga sering sekali membelikanku coklat atau oleh-oleh khas Kanada. Maka dari itu, rasanya sangat beruntung kalau aku bisa mengikuti jejak Tanteku tersebut. Ya, meskipun kesana hanya jalan-jalan saja.
Hari ini, aku, Kak Anna, Chandra, Gilang, Dhimas, Farida, Fikri, dan tentunya my oriental boyfriend, Eugene, kami semua sudah berkumpul di bandara JFK untuk bertandang ke bandara Ottawa/Mcdonald-Cartier International Airport dengan menggunakan maskapai Air Canada. Tidak hanya kami berdelapan, tapi ada juga beberapa perwakilan pengurus Permias dan tentunya staff dari KJRI New York yang juga ikut ke Kanada. Ya, iyalah, kan mereka yang bayar semua akomodasi kami selama di Kanada. Kalau mereka tidak ikut, kami akan berakhir menjadi gelandangan seumur hidup di Kanada. Kan, tidak lucu.
Selama kurang lebih 1.5 jam perjalanan udara, kami sangat nyaman duduk di kursi ekonomi, walaupun semua staff KJRI duduk di bangku bisnis. Ya, iyalah, kan mereka pegawai negara Republik Indonesia, kami hanya segelintir mahasiswa yang baru mau akan menikmati kesuksesan, jadi wajar kalau sistem kelas diaplikasikan dalam konteks ini. Lagipula kalau kami iri hati pada mereka, mungkin nanti kami akan diturunkan dari ketinggian 3000 kaki. Jangan! Amit-amit!
Anyway, Alhamdulillah, sampai juga di Ottawa, ibukota negara berbahasa nasional ganda, Kanada. Jadi, ibukota Kanada itu Ottawa yaa, kawan-kawan, bukan Toronto. Dan ibukota Amerika Serikat itu Washington D.C, bukan New York. Apalagi, Australia, ibukotanya Canberra, bukan Sidney. Catat!
Sesampainya di bandara, sudah ada minibus yang menjemput kami untuk dibawa ke kantor KBRI Ottawa untuk dijamu dan ya anggap saja Welcoming Ceremony lah. Disana kami tentu bertemu dengan Duta Besar Indonesia untuk Kanada, dan Konsulat Jenderal Indonesia untuk New York juga sudah datang terlebih dahulu yang katanya sudah sampai di Ottawa satu hari sebelum kami datang.
Dalam acara penyambutan staff KJRI New York dan total sepuluh mahasiswa tidak berdosa ini, tidak terlalu formal dan besar, hanya minum teh dan makan kudapan. Kami juga diperkenalkan dengan perwakilan PPI Kanada cabang Ottawa. Kami pun saling berkenalan dan saling bertanya seputar Permias New York seperti apa dan sebaliknya bagaimana apa saja kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh PPI Ottawa.
Saat aku sedang asyik berkenalan seorang Mahasiswi Pascasarjana yang dulunya pernah kuliah S1 di New York, bernama Wulan, tiba-tiba ada seseorang mendekatiku dan seolah ia sudah pernah kenal denganku sebelumnya.
“Yureka, ya?”, tanya seorang laki-laki berperawakan tinggi besar, kepala botak, agak kekar seperti atlet basket, tapi ketiaknya tidak basket.
“Ya?”, jawabku terdiam dan heran.
“Lu beneran Yureka anak 34, kan?”, tanya ia lagi.
“Iya bener. Oh, My God! Arya, ya? Eh gila, apa kabar lu?!”, aku langsung terkejut dibuatnya. Setengah berteriak dan beberapa orang langsung menyorotkan pandangan mereka ke arahku.
Jadi, saat SMA dulu, aku pernah ikut les bahasa Inggris di salah satu pusat kursus bahasa Inggris di Jakarta Selatan. Dan laki-laki yang menghampiriku tadi bernama Arya dan ia merupakan salah satu teman sekelasku di kursus bahasa Inggris kala itu. Aku dan Arya dulu sering sekali main bersama, kalau sedang jam istirahat kelas, kami suka pergi keluar lalu jajan bareng. Bahkan sering duduk sebelahan untuk belajar bersama. Wah, rasanya tidak menyangka aku bisa bertemu lagi dengan dirinya disini. Karena aku sudah lost contact dengan dirinya semenjak lulus dari tempat kursus itu. Kami hanya bertegur sapa lewat media sosial, seperti Facebook saja, itupun sangat jarang, karena waktu kuliah dulu, aku termasuk yang jarang buka Facebook karena disibukkan dengan jadwal perkuliahan yang dulu super duper padat.
Berdasarkan keterangan Arya, ia bilang saat lulus SMA, dia pindah ke Bandung karena kuliah di ITB. Kalau itu, aku sudah tahu dari keterangan yang ia berikan di Facebook. Tapi masalah ia ke Kanada, aku yang tidak tahu sama sekali. Katanya, ia meneruskan S2 di Ottawa di Universitas Carleton jurusan Manajemen Inovasi Teknologi. Dan kemudian, voilaaa, ia disini, lalu bernostalgia denganku disini.
“Gila, loh dunia sempit banget ya? Ya, gak sih? Gila sumpah. Parah banget!”, ungkapku masih penuh kehebohan.
“Ya, makanya pas lu-lu pada dateng tuh, gue kayak dejavu gitu liat lu. Kayak siapa? Kayak pernah liat. Eh anjir beneran itu ternyata elu”, jawab Arya.
Saat aku asyik bernostalgia dengan Arya, dari kejauhan aku melihat Eugene sedang mengobrol dengan beberapa pegawai KBRI Ottawa. Syukurlah, ia sangat menikmati momen ini. Tapi, aku takut kalau ia cemburu atau bagaimana. Secara, Eugene memang orangnya sangat pencemburu.
Tidak lama, Eugene menghampiri diriku yang masih ngobrol-ngobrol asyik dengan Arya.
Hey. Everything is okay?”, tanyaku bernada manja.
Yeah, sure. hmm…”, jawab Eugene yang terlihat agak capek.
“Ah, ya! Sayang, ini Arya, temen les aku waktu SMA dulu. Dan Arya, ini Eugene, pacar gue. Hehehe”. Aku memperkenalkan keduanya.
“Ohh, halo. Gue Arya”, jawab Arya.
“Eugene.”, Eugene pun berjabat tangan dengan Arya.
“Ya ya. Wih udah beranjak dewasa yaa, udah punya pacar”. Arya meledek.
“Ya, Alhamdulillah. Lu pasti juga dong. Nggak mungkin anak segaul elu nggak punya pacar. Gila sih”, jawabku bercanda.
“Ada kok. Di Indo tapi”, terang Arya sambil mengantungi tangannya kedalam saku.
“Yaah, korban LDR. Kasian. Sabar ya”, jawabku sambil membalas meledeknya.
Kemudian kami masih ngobrol-ngobrol, Eugene pun ikut serta dalam percakapanku dengan Arya. Kalau kulihat, Eugene terlihat agak cemas. Raut wajahnya masih tersirat sebagai ekspresi yang ditunjukkan saat ia cemburu dengan Dominico. Apakah mungkin Eugene cemburu dengan Arya? Hey, tapi kan tadi Arya bilang ia sudah punya kekasih. Bagaimana ini. Mungkin memang Eugene sedang lelah. Maklum, baru sampai dari perjalanan jauh. Semoga saja memang karena ia kelelahan, bukan dugaanku yang macam-macam ini.

💚💚💚

Di hari berikutnya, kegiatannya masih di kantor KBRI Ottawa. Isi kegiatannya adalah talk show dan juga hiburan yang telah dirancang oleh tim PPI Ottawa. Isi hiburannya ada musik akustik, tari-tarian daerah, tari-tarian modern juga ada, dan juga karaoke bersama. Tidak lupa, ada sesi makan-makan juga.
Lalu di hari berikutnya, nah ini yang paling ditunggu-tunggu. Kami pergi ke AIR TERJUN NIAGARA!!!! Bukan ke Kanada namanya kalau tidak ke tempat satu ini. Setelah sampai disana, aku benar-benar dibuat tercengang oleh salah satu ciptaan Tuhan yang paling menawan itu. Melihatnya langsung membuat lidahku bergetar, mataku kedutan, dan kupingku bergema. Hmm, mungkin ada yang sedang membicarakanku. Ah, tidak penting. Pokoknya aku benar-benar sangat bahagia. Terlebih ada Eugene sebagai pelangkapnya. Ya, istilahnya kalau ke Niagara Falls itu satu porsi pecel lele, Eugene adalah lalapannya. Sempurna!
Kami pun tidak lupa foto-foto disana. Untuk catatan, kami saat itu masih foto-foto dari kejauhan karena setelah itu kami bisa naik ke salah satu kapal lalu bisa mendekati air terjun lebih dekat. Setelah sesi foto bersama semua tim, aku juga meminta Farida untuk mengambil fotoku berdua dengan Eugene. Ya, hanya kami berdua. Hah, rasanya seperti sedang foto pre-wedding. Cukup, Yureka, hentikan! Belum waktunya!
“Satu, dua, tiga…. Lagi kak. Satu, dua, tiga…”, ucap Farida.
“Eaaa foto pre-wed, foto pre-wed. Mantap bos!”, Dhimas melempar candaanya.
“Bungkus, Jin! Bungkussss!”, Chandra ikut-ikutan.
Dan semua orang pun men-ciyee-ciyee-kan kami. Apalah ini. Aku jadi malu dibuatnya. Tapi aku dan Eugene tidak peduli.
Setelah selesai foto-foto riang gembira, aku sempat bersandar sendirian dan hanya memandangi air terjun yang membelah antara dua negara Kanada dan Amerika Serikat ini. Teman-teman masih sibuk foto-foto dan bersena gurau, tapi aku tidak apa-apa, ingin sendiri dulu. Menikmati ciptaan Tuhan yang luar biasa, bukti bahwa Tuhan sayang pada umatNya. Ya, air terjun loh. Padahal sebenarnya hanya air sungai yang jatuh kebawah karena ada tebing-tebing yang mana dari tempat lebih tinggi, ke tempat lebih rendah, lalu air itu jatuh, lalu bruuzzzzz, turun kebawah dan air-airnya yaa terjun begitu. Tapi mengapa bisa seindah itu, ya? Aku juga heran. Luar biasa. Tepuk tangan!
Setelah puas seharian jalan-jalan ke Niagara Falls, kami kembali ke Ottawa karena esok hari agenda kami jalan-jalan keliling kota Ottawa.

💘💘💘

Di akhir pekannya, waktunya jalan-jalan kota Ottawa. Tapi jalan-jalan kali ini, peserta jalan-jalan hanya khusus untuk mahasiswa-mahasiswi dari Batik Day dan para perwakilan Permias New York, serta beberapa perwakilan dari PPI Ottawa. Sedangkan bapak-bapak dan ibu-ibu KJRI harus kembali ke tanah rantau alias harus pulang ke New York karena ya mereka pegawai negara, tidak baik kalau berlama-lama. Nggak deng, maksudnya yaa mereka harus kembali bertugas di New York. Begitupun dengan bapak-bapak dan ibu-ibu dari KBRI Ottawa, tidak ikut karena harus tetap bertugas di kantor kedutaan besar Indonesia untuk Kanada. Jadi, kegiatan ini memang fokus untuk para mahasiswa saja. Ah, terima kasih KJRI New York dan KBRI Ottawa!
Ngomong-ngomong soal tempat-tempat yang kami kunjungi selama city tour di Ottawa, di antaranya adalah Ottawa City Hall, Centre Block, Parliament Hill, Peace Tower, National War Memorial, Confederation Square, Centennial Flame, ByWard Market, Notre-Dame Catholic Basilica dan tidak ketinggalan teman-teman PPI mengajak kami wisata kampus ke University of Ottawa.
Sayangnya, kalau jalan-jalan di musim salju, matahari lebih cepat terbenam. Jadi, ketika matahari masih ada di ufuk timur dan sampai barat sebelum tenggelam, kami fokus pada tempat-tempat turistik yang jaraknya berdekatan. Ketika mengunjungi University of Ottawa pun kami lakukan pada pagi hari, malahan wisata kampus merupakan tempat pertama yang kami kunjungi dalam agenda jalan-jalan kota kali ini. Barulah sisanya kami menjelajahi tempat-tempat turistik lainnya. Dan saat matahari sudah tenggelam, sekitar jam 5 sore, kami baru sempat mengunjungi ByWard Market. Hmm, sebenarnya lebih bagus pada pagi hari, karena itu pasar dan kami bisa menjelajahi isi pasarnya. Tapi ketika malam hari, meskipun masih ada beberapa toko yang masih buka, tapi pasar itu tetap terlihat cantik dan anggun meskipun matahari sudah tenggelam. Dan terakhir adalah melihat kemegahan gereja katholik Basilica Notre-Dame. Sekilas namanya mirip seperti yang ada di Paris, tapi tentunya berbeda. Hmm, aku tidak tahu persis bedanya apa, yang jelas meskipun aku belum pernah pergi ke Paris, tapi aku yakin keduanya sama-sama punya daya tarik tersendiri bagi turis yang datang mengunjungi.
Setelah lelah seharian berjalan-jalan dan munculah rasa lapar dan dahaga, maka pada pukul 19, kami semua makan malam di salah satu restoran sushi Jepang bernama “Genji Japanese Restaurant”. Ketika pertama kali mengetahui bahwa kami semua akan makan di restoran itu, sontak aku langsung memberitahu Eugene dan berkata “Lah, adek kamu, Jin, dibawa-bawa”. Dan ia hanya merespon “Hahaha. Iyaa nih, adekku ngapain dia disini”. Lalu aku berkata lagi “Jangan-jangan diam-diam Genji buka usaha disini, Yang, hahahaha. Tanpa sepengetahuan abangnya”. Dan Eugene hanya menjawab “Hahaha, iyaa nih adik kurang sopan”.
Tapi aku merasa ada yang aneh dengan Eugene saat kami saling membicarakan hal tersebut. Apa ya yang beda? Sepertinya ia agak sedikit cuek. Hmm, tapi aku memang sudah merasa ia agak cuek belakangan ini. Terutama selama kami berlibur di Kanada ini. Ada banyak kemungkinan mengapa ia bisa demikian. Pertama, mungkin ia masih cemburu dengan Arya. Secara, selama kami jalan-jalan Arya ada disitu, karena dibilang ia adalah panitia acara kegiatan ini. Kedua, kami memang seperti itu kalau didepan banyak orang. Harus bersikap profesional dan tidak mengumbar banyak kemesraan. Biarkan kemesraan ini jangalah cepat berlalu. Terlebih ini merupakan acara kenegaraan, mana mungkin kami dengan tega gelendotan satu sama lain, kan tidak etis. Ketiga, yaa, memang lebih bagus berjauhan dulu dengan alasan profesional. Supaya tidak dikira perangko dengan lem nasi yang kemana-mana nempel terus, tidak mau copot.
Tapi jarak yang berjauhan yang kami lakukan ini juga sangat aneh menurutku karena selama kami berada di Kanada, aku melihat Eugene lebih asyik ngobrol dengan Kak Anna dan Farida. Ya, kalau Kak Anna kan kalian tahu sendiri, ialah mak comblang di antara aku dan Eugene. Tapi Farida? Mengapa Eugene jadi dekat begitu dengannya? Perasaan dulu-dulu tidak pernah. Aku juga melihat mereka tertawa terbahak-bahak bersama. Ya, aku sih tetap positive thinking, namanya juga dengan teman satu grup sendiri, tidak ada salahnya kan? Sementara itu aku hanya bisa membalas dengan hal yang cukup setimpal, aku sesekali ngobrol dengan Arya dan kali ini aku lebih banyak ngobrol dengan Gilang. Karena kami dari satu almamater yang sama, New York University, kami sedang asyik plus gemas membahas seputar tesis, acara wisuda, dan lain sebagainya seputar kampus NYU. Ya, karena sebentar lagi kami sudah akan menjadi alumninya, jadi tidak ada salahnya kalau bertukar pikiran tentang suatu hal yang sama-sama kami ketahui dan kami alami sendiri, khususnya menjadi mahasiswa NYU.
Lalu sebenarnya ada apa dengan Eugene dan Farida?
Aku tahu, mereka tidak akan selingkuh. Ya, ampun, Farida sudah punya pacar, pacarnya di Indonesia. Dan ya meskipun mereka LDR, tapi tetap saja yang namanya punya pacar yaa harusnya tahu diri.
Tapi aku masih benar-benar ingin tahu mengapa Farida dan Eugene bisa ngobrol sedekat itu? Padahal yang aku tahu, Eugene jarang sekali ngobrol dengan Farida sebelumnya. Ya, pernah, tapi jarang, jarang sekali. Malah Farida lebih sering ngobrol dengan Fikri yang mana sepupunya sendiri dan Gilang yang menurutku karakteristiknya sesuai dengan Farida sehingga jadi bisa cocok kalau sedang mengobrol.
Sebaiknya aku tanyakan pada Eugene saat setelah makan malam atau tidak ya?
Atau besok pagi saja?
Atau tunggu kami kembali ke New York? Supaya tidak menganggu jalannya acara. Kan tidak enak kalau ribut-ribut soal hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan jalan-jalan Kanada kali ini?
Ya, Tuhan, aku harus bagaimana?
Saat perjalanan pulang ke penginapan, aku berubah pikiran, aku mendekati Eugene dan berusaha mencari celah agar aku bisa menanyakan kegundahanku soal dirinya dan Farida.
“Ehm, Sayang, boleh tanya nggak?”, tanyaku pada Eugene agak ragu.
“Tanya apa?”, balas Eugene masih cuek.
“Hmm, kamu tuh…”, tanyaku lagi masih ragu.
Baru aku mau melontarkan pertanyaan kepada si kekasih Oriental, tiba-tiba ada telpon masuk.
“Telpon dari siapa nih?”, tanyaku pada diriku sendiri.
“Kode negara mana tuh, Yang, +60?”, tanya Eugene penasaran karena tidak sengaja melihat nomor asing itu muncul ke layar smartphone-ku.
“Hmmm, nggak tau deh. Ah, ini kode Malaysia nih? Ya, aku inget!”, jawabku setengah histeris.
Lanjutku, “Tapi siapa ya, Yang? Angkat nggak nih? Aku jadi takut. Jangan-jangan supporter badminton Malaysia yang lagi ekspansi dan mengancam warga negara Indonesia”
Lalu telpon itu mati. Ya, terlalu banyak berdebat tidak penting dengan Eugene barusan.
Kemudian, empat detik kemudian, telpon dengan kode +60 itu berdering lagi.
“Eh dia nelpon lagi, Yang. Harus gimana dong?”. Aku diambang kepanikan.
“Yaudah angkat aja. Siapa tahu temen kamu pas kamu di Malaysia itu”. Sementara Eugene menenangkan.
“Iyaa sih. Hmm, yaudah aku angkat dulu yaa. Halo?”, jawabku lalu mengangkat panggilan masuk itu.
Dari kejauhan, aku mengenal suara yang ada di telpon saat bilang “Yureka! It’s me!
“Oh My God!”, jawabku histeris sambil melipat bibir dan juga mengigit jariku.
“Kenapa Yang?”, tanya Eugene jadi penasaran.
Mataku terbelalak. Tidak bisa berkata-kata selama beberapa detik. Aku tahu persis siapa seseorang dibalik suara di telpon ini.
“Siapa sih, Yang?”, tanya Eugene lagi dan makin penasaran.
Ketumbar cabai bubuk! Berakhirlah sudah kalau Eugene tahu siapa ini.
Aduh, bagaimana ini?
- BERSAMBUNG -


=====================================================================


Episode 5 : Kembalinya Adam Wang



Yureka. New York Fashion Week. Februari 2019. New York. Masa Depan.
Yureka! It’s me!”
Suara itu agaknya familiar.
Oh My God!”, teriakku.
“Kenapa, Yang?”, tanya Eugene dengan wajah penuh penasaran.
“Bentar ya, Yang. Ini temen lamaku. Ehm… bentar”, sambil menutup bagian bawah smartphone ku dan mencoba agar orang yang sedang menelponku tidak mendengarnya.
Kemudian aku menjauh dari Eugene sesaat supaya ia tidak terlalu mendengar percakapanku dengan orang yang ada di telpon ini.
Hmm, Adam?”, tanyaku dengan suara cemas.
Yeah, exactly! It’s me! How are you?
Ya, itu Adam. Adam Wang, yang pernah aku taksir waktu aku ke Malaysia dulu. Kenapa bisa ia punya nomor telponku dan menelponku seperti saat ini?
I am fine, thank you. How are you?”, responku masih dengan suara cemasku.
I am good. Well, I am sorry to surprise you like this now. But I got your American number from your Facebook. I am sorry. So, then I realize to just contact you, because now I am in New York!”, jawab Adam dari kejauhan.
You what? New York?!”, tanyaku dengan setengah nada teriak.
Yeah. What a chance, right? Well, my girlfriend needs a company during New York Fashion Week. So, I just arrived New York City three days ago and I am going to stay here until in the end of the month.” Ujar Adam.
Wow. That’s great. But, I am sorry, now I am having vacation with some friends, also my boyfriend in Canada. But I am coming back to the city by tomorrow afternoon. So, maybe we can meet somewhere this weekend”, jawabku mencoba tidak panik.
Sounds great!”, jawab Adam.
Okay, let me get back to you later soon, okay?
Okay. Have fun in Canada! See you soon
Bye. See you soon
Aku menghela napas panjang.
Kemudian Eugene dengan raut wajah penuh tanda tanya, mendekatiku dan bertanya “Jadi, siapa itu tadi di telpon?”
“Kamu pernah aku ceritain soal Adam Wang, yang orang Malaysia tapi tinggal di Hong Kong kan?”, jawabku sambil berusaha seolah semuanya baik-baik saja. Aku takut Eugene akan marah atau apalah.
“Ah, ya. Aku inget. Adam Wang. Yang…. Yaa, itu lah pokoknya. Trus?”, tanya Eugene lagi.
“Hmm Nggak apa-apa. Dia cuma telpon aja. Soalnya dia lagi di New York. Lagi ngapain gitu. Aku kurang jelas dengernya. Nggak apa-apa kan? Maksudnya kalau aku ketemuan sama dia. Trus, yaa, reunian gitu…”, jawabku mencoba tetap tenang meskipun agak khawatir.
“Ya, nggak papa lah. Malah bagus kan kamu ketemu temen lama. Dan dia tinggal di Hong Kong. Pasti bisa bahasa Cantonese. Ya, aku juga bisa kenalan juga, sambil ngelatih lagi bahasa Cantonese ku yang hampir punah”. Jawaban Eugene sangat santai.
“Kamu nggak marah gitu? Cemburu atau….”
“Ya, aku akuin, aku emang orangnya cemburuan, tapi kalo sama Adam Wang, yang setau aku dia nolak kamu karena dia udah punya pacar, yaa ngapain aku marah. Ya, kan?”
Kemudian Eugene merangkulku. Pertanda, kami baik-baik saja. Aku pikir, akan habis nyawaku kalau ia tahu akan bertemu dengan Adam Wang, si tampan dari Malaysia yang dulu aku kagumi keberadannya.
Di satu sisi, aku merasa aman karena di saat yang tak terduga ini, ada Eugene yang akan jadi tameng hatiku. Ya, bukan apa-apa, agar kalau ketemu Adam, hatiku tidak gemetaran lagi seperti saat di Penang dulu. Tapi di sisi lain, aku juga cemas. Mengingat kejadian tidak mengenakkan dengan Dominico yang masih ingat dalam ingatan. Ya, maklum lah, baru pertama kali punya pengalaman di dunia percintaan seperti ini. Jadi, wajar kalau cemas, tapi senang, campur aduk seperti bubur Cianjur plus kerupuk dan bawang gorengnya.


💚💚💚


Yureka. Akhir pekan pertengahan bulan Februari 2019. New York. Masa Depan.
Akhirnya kami kembali ke tanah rantau. Jalan-jalan gratisnya mau tidak mau harus berakhir. Semoga suatu hari, bapak-bapak dan ibu-ibu KJRI yang terhormat, bisa traktir kami jalan-jalan lagi. Yang lebih jauh misalnya ke Alaska atau ke Hawaii. Kayaknya seru tuh.
Bagaimanapun, Kanada merupakan pengalaman yang tidak bisa dilupakan begitu saja sampai kapanpun. Sudah gratis, bersama orang-orang terhormat, ditambah dengan orang-orang tersayang, senasib sepenanggungan. Wah, tidak bisa disebutkan lagi dengan kata-kata. Lidah ini bergetar jika mengingat-ingat momen bersama mereka. Ya, ampun apa aku sedang PMS? Kenapa jadi galau begini.
Tapi memang benar. Aku merasa, hubungan pertemanan, bahkan persahabatan dengan anak-anak Batik Day semakin erat saat kami di Kanada. Banyak kejadian-kejadian menggelikan yang kami buat, dan entah itu di pagi hari seperti Chandra yang hanya pakai kolor pendek saat sarapan di penginapan, padahal saat itu, bapak-bapak dan ibu-ibu perwakilan KJRI juga sedang duduk dan menikmati sarapan pagi bersama kita. Demi apapun, itu membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Atau pada siang hari setelah berkunjung ke air terjun Niagara, dan akan makan siang, entah dari mana asalnya Gilang menghilang. Bukan tertinggal atau bahkan hanyut bersama air deras Niagara, melainkan tertidur pulas di dalam bus dan saat dibangunkan ia berkata ia akan menyusul. Ternyata, ia benar-benar tertidur di bis sampai kami selesai makan siang, dan tidak ada satupun yang menyadarinya, yang akhirnya ia dibelikan dua burger dan satu kentang goreng ukuran besar serta Pepsi besar yang kami beli di McDonald’s sebagai permintaan maaf kami karena telah melupakannya. Disaat itu pula, aku dan ketujuh teman Batik Day lainnya, saling menyalahkan, sedangkan Gilang yang sebagai korban diam saja dan tidak berkomentar apa-apa, malah asyik dengan burgernya.
Ya, kira-kira begitu. Tertawa bersama teman-teman yang paling disayang memang tidak pernah cukup, selalu ingin terus-menerus tertawa bersama mereka. Seperti ada zat aditifnya.
Bagaimana dengan Eugene?
Ya, kami baik-baik saja.
Atau bagaimana dengan Adam Wang yang katanya sedang ada di New York?
Ya, aku sudah buat janji dengan dirinya untuk bertemu.
Karena aku baru kembali dari Kanada pada di Hari Sabtunya, dan New York Fashion Week juga berakhir di tanggal yang sama, jadi bisa dibilang ini kesempatan yang cukup bagus. Maksudnya, kalau NYFW-nya sudah selesai dan ia akan tetap di New York hingga akhir bulan, berarti aku bisa bertemu dengannya dan juga dengan pacarnya, yang mana aku juga bisa mengenalkan Eugene kepada mereka.
Aku dan Adam sepakat untuk bertemu sehari setelah aku pulang dari Kanada. Ia bilang ia tidak ada jadwal dengan pacarnya karena pacarnya ada interview atau apalah aku tidak terlalu paham. Jadi, Adam akan datang sendirian. Aku juga awalnya ingin mengajak Eugene dan memperkenalkannya dengan Adam, namun namanya juga sibuk dengan tesis, jadi aku tidak bisa memaksanya. Katanya, ia baru bisa bertemu mereka di hari yang sama tapi pada siang atau sore harinya. Dan memang hanya hari Minggu itu adalah waktu yang paling tepat untuk bertemu karena itu hari libur dan setelahnya mungkin Adam dan pacarnya akan jalan-jalan keliling New York dan aku pun harus kembali ke kampus untuk mengurus tugas akhir.

💚💚💚

Hari Minggu, 17 Februari 2019, aku sempat shock dibuat oleh Adam. Karena ia bilang ia memintaku bertemu dengannya di café di hotel tempat ia menginap. Dan mau tahu ia menginap dimana? THE PLAZA HOTEL, SODARA SEBANGSA DAN SETANAH AIR!!!!
Seberapa prestis hotel itu? Coba kalian cek sendiri di Google, berapa harga menginap per malamnya? Itu cukup untuk membayar uang makan ku selama satu bulan. Benar-benar gila. Hey, jangan senang dulu, siapa tahu hotelnya karena ia dapat dari sponsor. Hey, bisa jadi kan? Hahaha. Tapi aku memang tidak heran karena bapaknya kan seorang pengusaha kaya raya di Hong Kong, jadi tidak heran kalau ia mampu menyewa kamar hotel sekelas The Plaza. Untung aku tidak jadi jadian dengannya, kalau ya, bisa-bisa aku dipenuhi rasa khawatir karena tidak bisa menyamai levelnya.
Pukul 11 pagi menuju siang, kami sepakat untuk melakukan Brunch di café bernama The Plaza Food Hall. Karena aku tahu aku akan makan di tempat mahal, maka aku tahu diri, aku tidak belagu, aku hanya pesan satu donat dan secangkir teh mint panas. Ya, sebenarnya aku sudah makan satu pisang dan satu bagel sebelum berangkat kesini. Ya, karena itu tadi, aku tahu aku tidak akan mampu membeli yang lain. Kalau mengandalkan konsep “pasti Adam yang bayar”, rasanya tidak mungkin.
Sebelum bertemu Adam yang untuk pertama kalinya sejak hampir 6 tahun yang lalu bertemu, jujur aku merasa sangat gugup. Aku tidak tahu bagaimana rupanya setelah 6 tahun tidak bertemu. Apakah masih setampan dahulu? Atau semakin berkurang? Atau justru semakin ganteng? Oh, Tuhan, tolong hamba!
Aku tahu aku akan sanggup melihat wajah tampannya lagi, no matter I have already a boyfriend or not, namanya juga pernah suka, kalau iman ku lemah, pasti aku akan terbawa suasana nostalgia. Kalau benar-benar lemah, siapa tahu aku jadi suka lagi dengannya. Hati mana ada yang tahu? Tapi semoga tidak!
Dengan baju paling rapih menurut versi Yureka, dan ditutupi mantel tebal berwarna merah, sepatu aku ganti dengan flatshoes, karena masa ke hotel bintang lima pakai sepatu kets, aku tidak ingin mempermalukan diriku sendiri. Di depan café, sudah berdiri pria setinggi 180an cm, mengenakan kaus polo berwarna kuning, celana pendek, kacamata, sedang menunduk ke layar smartphone-nya. Ya, itu Adam Wang! Adam Wang telah kembali ke permukaan! Ya, Tuhan kuatkan imanku. Astaga, ia sangat tampan!
Saat aku melangkahkan kaki lebih maju, dan seakan Adam tahu aku sudah berada di dekatnya, dan kemudian dua mantan mahasiswa pertukaran pelajar Indonesia-Malaysia akhirnya bertemu lagi.
Oh My God, Yureka! It’s you?!”, sapa Adam terlebih dahulu.
Hi. Adam”, jawabku sambil tersipu malu. Berusaha untuk tetap biasa saja.
Can we hug?”, pinta Adam
Sure”,
Kemudian kami berpelukan. Oh Tuhan, jangan beri tahu Eugene aku memeluk pria tampan selain dirinya.
How are you?”, tanya Adam.
Cold outside. But I am fine, thank you. And you? How’s going?”, responku untuk basa-basi.
Everything is perfect. Come on in. I set up our table for us.”. Adam mempersilahkanku masuk ke dalam café terlebih dahulu.
Pertama kali bertemu Adam Wang kembali, rasanya sangat aneh. Terlebih kami bertemu di tempat nun jauh dari negara asal kami masing-masing. Rasanya benar-benar aneh. Benar kata pepatah “Dunia seperti daun kelor”. Kalau ini bukan daun kelor, tapi daun ketumbar, sepet, pahit.
Dalam pertemuan reunian itu, kami tentu cerita banyak hal, menceritakan apa saja yang telah dilakukan 6 tahun belakangan ini. Aku beberkan, kalau setelah kembali dari Malaysia, aku meneruskan kuliah hingga berhasil mendapatkan gelar S.I.Kom dari kampus Universitas Paramadina, kemudian satu tahun kemudian aku berhasil mendapatkan beasiswa S2 dan kuliah jurusan Dramatic Writing di New York University.
Kalau Adam Wang? Jangan ditanya. Setelah lulus dari KDU College University Penang Malaysia, ia tidak langsung melanjutkan sekolah Master, melainkan meneruskan bisnis orang tuanya dan kembali ke Hong Kong dua tahun belakangan. Ia baru akan meneruskan kuliah S2-nya di Amerika Serikat juga tahun ini.
Tunggu!
Apa?
Amerika Serikat?
Aku tidak salah dengar?
Kalau Adam akan meneruskan kuliah di Amerika, dan terlebih itu New York, bisa-bisa kami bisa bertemu tiap hari?
Hentikan kepanikan mu, Yureka!

Kemudian disusul dengan pernyataan Adam : “But, I think it’s not New York. Maybe California. When I am officially marry Tiara. And we may move to LA and be settled down there. Oh anyway, we’re just enganged last month.

Apa?
Tunangan?
Mau menikah?
Aku tidak salah dengar lagi?

Jujur, aku senang mendengarnya. Tapi berhubung aku pernah ada rasa dengannya beberapa saat, sampai aku berani ‘bunuh diri’ dan kehilangan pertemanan dengannya. Tapi untung aku masih kuat dan tegar. Tidak tahu lagi ingin berkata apa kepadanya selain “I congrats you with your engagement with Tiara. I hope all the best for you both. And I am so happy to hear that!
Ditengah perbincangan, tiba-tiba objek pembicaraan datang menghampiri meja kami. Ya, itu Tiara. Si model cantik berdarah Indonesia blasteran Inggris-Malaysia itu kulihat semakin cantik daripada terakhir kali kami bertemu, hmmm, berapa tahun yang lalu ya, yaa pokoknya sudah lama sekali. Tapi tidak heran, dia kan memang model. Badannya harus bagus, tentu makannya diatur, olahraga juga pasti demikian. Lah kalau diriku? Dengan berat tubuh yang masih sekitaran 70kg, heem sebenernya sudah turun 2kg minggu lalu, tapi intinya apa yang mau diharapkan kalau aku masih memaksa ingin menjadi pacarnya Adam Wang? Kalau membandingkan diriku dengan Tiara, dari dulu sudah jelas, sekarang pun makin jelas, bahwa ia adalah cupcake cantik yang dijual sangat mahal di toko kue nomor satu di New York City seperti Magnolia Bakery. Aku? Aku hanya biji wijen dari roti burger yang dijual sangat murah di pinggiran Bronx. Menyedihkan.
Selama berbincang-bincang dengan Tiara, aku berusaha untuk percaya diri menjadi diriku sendiri. Jangan mentang-mentang aku sedang duduk barengan dengan si super model, aku yang calon Master in Dramatic Writing ini, menjadi tidak berharga. Aku juga manusia, punya hak asasi manusia, apalagi aku perempuan. Tunggu, ini terdengar seperti pidato yang ada di televisi itu. Apalah itu. Tapi, jangan menyerah, Yureka, tetap percaya bahwa dirimu tidak kalah cantik dari Tiara, tidak cantik di luar, tapi harus cantik di dalam. Tapi ngomong-ngomong kalau Adam masih pacaran dengan Tiara sampai mereka sudah bertunangan, berarti pacaranya awet juga, ya. Bisa tidak ya, aku begitu juga dengan Eugene? Apa bisa aku minta tips dari mereka?
Oke, jadi, apa yang aku perbincangkan dengan Tiara?
Berhubung dia fasih berbahasa Indonesia, jadi ya dengan mudah kami berkomunikasi. Kami banyak membicarakan tentang bagaimana pekerjaannya sebagai model sejauh ini. Lebih tepatnya aku yang penasaran. Dari dulu aku ingin sekali menanyakan hal-hal seputar modeling kepada dirinya. Heh, bukan, aku bukan ingin jadi model sepertinya, aku hanya penasaran saja. Terlebih, aku kuliah S2 yang masih ada hubungannya dengan dunia hiburan. Aku juga sempat belajar tentang casting dan modeling, dan kawan-kawannya, maka aku ingin tahu dari sudut pandang Tiara yang pernah mengenyam pendidikan modeling di London, Inggris itu.
Tiara berkata “Kerja jadi model ada senang dan susahnya”
Aku dalam hati menjawab “Yaelah! Jawaban mainstream. Semua pekerjaan juga begitu, Mbak!”
Tiara berkata lagi “Tapi memang harus dijalanin dengan profesional”
Aku dalam hati menjawab lagi “Haduh. Gue juga penulis kalau ngantuk tapi dikejar deadline juga pasti harus profesional. Jawabannya nggak seru!”
Tapi secara lisan aku menjawab “Oh gitu”
Namun Tiara menjelaskan “Tapi aku bener-bener seneng banget tahun ini bisa jadi bagian dari New York Fashion Week. Siapa sih yang nggak mau, ya kan? Jadi, aku bangga banget sih. Alhamdulillah”.
Aku hanya membalas dengan senyuman. Meskipun agak dengki sedikit kepadanya, tapi dari caranya menyampaikan keterangan barusan, itu memang terlihat sangat jujur. Dia terlihat sangat bangga sekali.
Tiara menambahkan “Yah, karena kalau diingat jaman dulu, aku berjuang banget buat bisa ikut event ini. Apalagi waktu sekolah modeling dulu. Rasanya berat. Apa-apa diatur, dan lain sebagainya. Eh, ternyata, pas udah terjun langsung lebih parah. Tapi tetep dibawa fun kok. Jadi, no problem buat aku. I am enjoying all of the process
Tiara yang cerita, aku yang haus. Aku kemudian meneguk sisa teh mint yang aku punya.
Lalu kami masih meneruskan perbincangan, sedangkan Adam tiba-tiba harus mengangkat sebuah telpon. Tidak tahu dari siapa. Tidak mau tahu juga.
Tiara juga bercerita bahwa ia sangat beruntung punya pacar seperti Adam Wang.
“Perhatian, baik, supportive, ngertiin aku banget, dan ganteng. Ya gak?”, terang Tiara.
Aku hanya tertawa…. TERBAHAK-BAHAK! TAPI ITU PURA-PURA!
Ia tidak tahu saja aku pernah ada rasa dengan pacarnya. Kalau ia tahu, habis aku.
Dan aku menjawab “Ya, kamu beruntung banget. Adam itu super duper baik. Aku jadi inget waktu di Penang dulu. Aku diajak jalan-jalan keliling kota karena aku nggak ikut city tour sama grup ku dulu. Eh, karena dia ketua panitianya, akhirnya dia deh yang nganterin. Bener-bener baik, profesional, dan tanggung jawab”
“Ya, kamu benar. Dia yang bela-belain dateng ke New York buat liat aku di catwalk. Padahal sempet ada masalah soal visanya. Tapi Alhamdulillah lancar. Kalau niatnya baik, Allah pasti kasih jalannya, ya?”
Kemudian kami sempat terdiam beberapa saat.
Dua puluh lima detik kemudian, Tiara membuka suara lagi. Kali ini agak sensitif. Soal aku dan Adam Wang. Hah, memang ada apa dengan ku dan Adam?
Heh, tunggu? Jangan-jangan ia mau membahas kalau aku pernah menyatakan perasaan pada pacarnya. Tapi kan itu sudah lama sekali. Toh, sekarang aku sudah punya pacar.
“Yureka. Aku mau nanya sesuatu, boleh?”
Tuh, kan firasatku benar.
Tanganku sambil basah karena keringat karena terbawa gugup, hanya menjawab “Ya, boleh. Kenapa, Ra?”
“Adam bilang, kamu pernah nembak dia ya?”
Nah! Benar kan?
“Hmmm….”. Aku tidak tahu harus berkata apa. Sumpah!
“Udah nggak apa-apa, jujur aja. Aku cuma pengen tahu aja kok”. Tiara berusaha tenang dan sepertinya dia akan terbuka dengan apapun jawaban yang akan aku berikan.
“Hmm. Bener nih kamu nggak bakal kenapa-kenapa sama aku?”
“Yureka, justru dengan kamu jujur, aku jadi lega. Karena aku sama Adam akan menikah bulan September tahun ini. Dan aku selalu penasaran dengan cerita itu. Maksudnya, sampe kamu berani nembak dia kala itu. Ya, nggak apa-apa sih. Just want to know, what exactly happened between you and him in that time. Supaya aku lega dan perjalananku menuju pernikahan lebih lancar, nggak ada lagi rasa penasaran yang mungkin nantinya bikin hubungan kami jadi nggak baik”
“Berarti Adam yang cerita ke kamu kalau aku pernah nembak dia dulu?”, tanyaku gugup.
“Ya. Kira-kira beberapa bulan lalu. Dan entah kenapa aku jadi penasaran aja kenapa kamu bisa suka sama dia…. Ya, maksudnya siapa sih yang nggak suka sama dia, cuma kok bisa kamu berani nembak dia”
Tiara benar. Saatnya aku bercerita jujur ke Tiara. Aku tahu pasti Adam pernah ceritakan ini kepadanya. Tapi tidak heran kalau ia ingin tahu dari narasumbernya langsung. Ya, maklum lah, wanita kan apa-apa selalu dibawa perasaan. Kalau urusan belum selesai, masih mengganjal, maka tidak akan nyaman ke depannya.
Akhirnya aku ceritakan semuanya pada Tiara. Runtut, mulai dari bagaimana bisa aku suka dengan Adam Wang, sampai benar-benar terbawa perasaan, sampai aku mengira Adam suka padaku, padahal tidak. Sama sekali tidak!
Aku juga bercerita bahwa aku dulu sering sekali berada di bawah angan-anganku sendiri. Tiap kali aku mengagumi seseorang, pasti muncul awan-awan imajinasi yang membuat diriku terhanyut dalam bayang-bayang ilusi bahwa seseorang yang kukagumi itu menjadi milikku. Kenyataannya berbanding terbalik.
Selain itu, aku juga jujur kepada Tiara bahwa semua kejadian ini, antara aku, Adam, dan juga Tiara, merupakan sesuatu yang ironis. Bagaimana maksudnya? Ya, aku pikir Adam tidak suka denganku karena mungkin memang sudah ada orang lain, atau banyak perbedaan di antara kami, atau mungkin ia tidak suka dengan orang Indonesia. Alasan yang tidak masuk akal memang, tapi hanya itu yang ada di benakku kala itu.
“Adam nggak suka aku, karena aku nggak sekelas kamu. Tapi kenapa ujung-ujungnya dia pacaran sama orang Indonesia? Yang mukanya mirip-mirip kayak aku. Kenapa nggak aku aja?”
Tiara tidak bisa berkata-kata.
Aku pun melanjutkan “Itu sakit loh buat aku yang menaruh harapan ke dia. Ya, seharusnya emang nggak usah taro harapan itu ke siapapun, tapi apa yang bisa dilakukan cewek usia 19-20 yang jomblo nggak pernah pacaran dan sekalinya ada cowok yang dateng, ganteng dan baik hati yang dikira mau jadi pacarnya, ternyata enggak? Apa itu nggak sakit menurut kamu? Aku tahu aku bukan model. Bukan dari keluarga terpandang juga. Dan aku tahu diri. Tahu banget. Tapi, kalau diingat-ingat lagi, itu semua bener-bener ironis, Ra. And it hurted me, it did.
Tiara hanya menjawab “Hmm, Yureka. Maaf, aku nggak tahu aku harus bilang apa. Aku nggak tahu apakah itu salah atau benar. Maaf ya, jadi throwing back semuanya.”
Aku yang mulai emosi, kembali berkata “Dan kamu tahu, di dalam kamus hidup aku, kalau aku dibuat kecewa sama seseorang, yang dalam konteks ini adalah Adam, pacar kamu, hmm tunangan kamu maksudnya, aku nggak akan pernah mau lagi ketemu sama dia. Ya, emang nggak baik sih, memutus hubungan silaturahim dengan seseorang, tapi buat aku, kalau aku ketemu mantan gebetan lagi, semua sakit hati itu akan muncul lagi. Memori-memori yang dulu pernah ada mau nggak mau jadi keinget lagi. Dan aku nggak suka itu. Eh malah, tiba-tiba Adam yang telpon aku buat ngajak ketemuan. Mumpung di New York. Aku sebenernya nggak mau, Ra. Itu berat buat aku. Berat buat nerima dia lagi hadir di dalam hidup aku. Ya, meskipun kita nggak pernah ada apa-apa. Tapi kalau boleh jujur lagi, aku sakit banget waktu aku ketemuan sama Adam di Jakarta tapi ternyata waktu itu dia bawa kamu, dan ngenalin ke aku kalau kamu pacarnya. Bener-bener sakit sih buat aku. Tapi yaudah lah. Kayaknya kalian emang jodoh. Aku juga sekarang udah punya pacar. Ya, aku ikhlas sih sekarang.”
Tiara benar-benar membisu selama mendengarkan aku berbicara. Tapi ia juga buka suara. Bukan menanggapinya dengan negatif, melainkan sebaliknya, “Maaf ya, kalau bikin kamu sakit. Tapi mengapresiasi kejujuran kamu barusan, dan juga kejujuran kamu ke Adam kala itu. Nggak pernah ngeliat ada cewek yang kuat kayak kamu, Yureka. Aku benar-benar salut banget sama kamu. Doain kami ya, semoga kami bahagia. Aku juga doain kamu bahagia selalu. Dan dikelilingin sama orang-orang yang selalu sayang sama kamu”
Basi! Madingnya udah siap terbit!
Kira-kira begitu istilahnya menanggapi pernyataan Tiara.
Aku tidak bermaksud tidak menghargai apa yang dikatakannya barusan, tapi aku yang sudah terlanjur sakit hati, harus pura-pura kuat dengan pernyataanya tadi. Hello?
Tapi aku berusaha tenang, dan memaafkan semua kejadian pahit itu dengan berkata kepada Tiara, “Makasih, ya, Ra. Aku doain semoga kamu bahagia selalu sama Adam”.
Kami berdua hanya saling lempar senyum. Air mataku sempat berlinang. Lalu, kami berpelukan. Cukup erat. Mungkin tanda bahwa kami saling memaafkan. Tapi dari sisiku, pelukan erat itu adalah sinyal bahwa aku ingin Tiara terus menjaga Adam dan mencintai Adam seperti ia mencintainya. Aku tidak ingin pria sebaik Adam disakiti oleh siapapun, dengan cara apapun. Maka, aku menaruh harapan bahwa mereka memang ditakdirkan untuk bersama. Biarlah aku bersama Eugene, pria yang tidak kalah ganteng dari Adam. Hey, memang Adam Wang saja yang ganteng di dunia ini. Halooooo, pacarku jauh lebih tampan, tahu tidak?!
“Ngomong-ngomong, boleh kenal pacar kamu? Mungkin kita bisa ketemuan berempat? Orang mana kalau boleh tahu?”, tanya Tiara.
“Hmm boleh. Bisa, bisa. Nanti aku telpon deh. Orang Indonesia kok. Tapi oriental. Persis kayak Adam. Hehehe”, jawabku sudah bisa diajak bercanda.
Tiba-tiba ada panggilan telpon masuk di smartphone-ku.
“Eugene?”, seruku. “Kebetulan. Panjang umur nih diomongin. Bentar aku angkat dulu ya”
Ternyata Eugene menelpon dan minta ketemuan. Karena memang hari ini kami sudah janjian mau ke supermarket bareng untuk masak-masak di acara Farewell Party-nya Farida malam ini di apartemen Kak Anna. Dan saat aku bertemu dengan Eugene nanti, aku bisa memperkenalkannya dengan Adam, mantan gebetanku, dan Tiara, calon mantan pacar alias calon istrinya mantan gebetanku. Siapa tahu kami bisa double date, bukan begitu?
Akhirnya rencana reunian dengan Adam malah tergantikan dengan sesi curhatku dengan Tiara. Setelah selesai, kami meninggalkan café hotel yang super duper mahal itu dan menuju Columbus Circle, sesuai dengan janjiku dengan Eugene. Dan mau tahu, bill-ku dibayar semua oleh Tiara. Ya, tahu sih uangnya banyak. Tahu, gitu kan aku tidak hanya pesan donat dan teh saja.
Dua puluh menit kemudian, Eugene datang. Aku perkenalkan lah Eugene sebagai pacarku kepada Adam dan Tiara. Kami mengobrol banyak, mulai dari basa-basi busuk, seperti tanya asal kami, kuliah kami disini, dan lain sebagainya. Tapi tidak hanya itu, aku dan Eugene malah bertanya-tanya seputar persiapan pernikahan mereka yang akan dilangsungkan dalam kurun waktu tujuh bulan kedepan. Aku tidak tahu, apakah pertanyaan-pernyataan yang dilayangkan oleh Eugene adalah kode bahwa ia benar mau serius denganku sampai ingin menikahiku. Aduh, aku baru saja menyelesaikan urusanku soal Adam dan Tiara, jangan kamu tambahi beban perasaanku, Parama Eugene Oetomo!
Saking asyik mengobrol, kami berempat malah jadi belanja bareng di supermarket Whole Food Market. Dan lebih konyol lagi, setelah belanja, kami makan siang bersama. Kami sepakat untuk makan di sebuah restoran Turki bernama “Aba” yang jaraknya hanya satu blok dari Columbus ke arah selatan Columbus Circle. Selama makan siang pun, kami banyak berbincang-bincang. Kalau kali ini, Eugene bertanya seputar bagaimana Adam melamar Tiara. Ya, Eugene memang begitu orangnya. Pendiam, tapi kalau sudah penasaran terhadap suatu hal, ia akan menumpahkan seluruh rasa penasarannya menjadi banyak pertanyaan yang harus dijawab, agar tidak ada lagi rasa penasaran yang terbayang-bayang dalam pikirannya.
Tapi pertanyaan Eugene menarik juga. Aku juga penasaran bagaimana Adam melamar Tiara. Katanya, Adam melamar Tiara saat mereka merayakan tanggal jadian mereka, entah yang keberapa, aku tidak peduli, di Kuala Lumpur, Malaysia. Katanya mereka sedang makan malam di salah satu restoran yang menghadap langsung ke Menara Kembar Petronas, dan tepat pukul 19 malam, pada tanggal 29 Januari 2019 Adam Wang melamar Tiara. Oh, tidak! Itu manis sekali! Aku jealous! Aku jadi membayangkan kalau Eugene suatu hari melamarku. Berhenti, Yureka!
Selain membicarakan tentang pertunangan juga persiapan pernikahan mereka, Eugene juga sempat berbicara bahasa Canton dengan Adam Wang. Ya, benar! Aku jadi teringat saat pertama kali Eugene memberitahu padaku kalau ia pernah kuliah di Hong Kong, dan sontak membuatku terkejut karena acap kali aku mendengar kata “Hong Kong”, bayanganku langsung teringat akan sosok Adam Wang. Aku tidak menyangka, bahwa pria yang dulu aku kagumi, sekarang malah bisa bertemu dengan pria yang saat ini sedang ada dalam genggaman. Lucu, ya?
Setelah makan selesai, kami berempat sempat berfoto bersama. Karena saat makan, aku dan Tiara saling bertukar informasi media sosial masing-masing, salah satunya Instagram. Kemudian, dengan foto yang diambil oleh seorang pelayan restoran tersebut, diunggah Tiara kedalam Instagramnya. Dengan keterangan “The unpredictable double date”, ia memberi tag namaku (@yurekabc) dan Eugene (@peo95), juga tentunya pacarnya tersayang, Adam (@wangadam11).
Aku juga tidak mau kalah. Aku juga mengunggah foto tersebut dengan keterangan “Four people in one double-date. Happy weekend”.
Setelah selesai makan, tentunya kami sudah membayar tagihan makannya, dan tenang saja, aku dan Eugene bayar sendiri-sendiri. Tidak mau merepotkan Adam untuk membayari kami. Meskipun mereka juga tidak ada niatan membayari kami, tapi kami sadar diri terlebih dahulu. Dan kemudian, salam perpisahan. Aku tidak tahu apakah sampai akhir februari aku bisa bertemu dengan mereka lagi, karena Adam bilang, ia akan kembali ke Hong Kong pada tanggal 26 Februari mendatang. Mengingat begitu banyak jadwal yang harus aku penuhi, terutama urusan masa depanku di kampus. Ada banyak deadline yang harus aku selesaikan. Jadi, aku tidak bisa janji pada apakah kami bisa bertemu mereka lagi di New York dalam beberapa waktu kedepan. Apapun itu, aku hanya bisa memberi mereka selamat sekali lagi bahwa mereka sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah. By the way, mereka mengundangku ke acara pernikahan mereka yang akan di gelar di Bandung, Kuala Lumpur, dan Hong Kong. Semoga, di salah satu kota itu, aku dan Eugene bisa hadir. Ya, hitung-hitung makan gratis.
Kembalinya Adam Wang yang awalnya membuatku khawatir karena takut bayangan kejadian masa lalu kembali ke permukaan, nyatanya tidak demikian. Aku yang juga khawatir akan kembali jatuh hati padanya, pun juga tidak terjadi. Mungkin memang karena aku sudah ada Eugene, dan Adam juga Tiara sudah resmi bertunangan, jadi apa yang harus dikhawatirkan? Justru dengan kembalinya Adam Wang, semua praduga tidak lagi mengambang. Semua sudah jelas. Semua sudah sama-sama berbahagia. Semoga urusan pernikahan mereka dimudahkan hingga hari H tiba. Semoga Eugene segera melamarku. Duh, mulai lagi, Yureka! Usia pacaran kalian masih berusia tomat ceri muda. Santai saja dulu.
Belanja sudah, makan juga sudah. Sesuai janjiku dengan anak-anak Batik Day, setelah makan, kami langsung menuju ke apartemen Kak Anna, ya markas kami pertama dan satu-satunya. Karena kami akan merayakan Farewell Party untuk Farida yang minggu depan akan kembali ke Indonesia. Tidak terasa sudah sekitar tujuh atau delapan bulan ia bergabung dengan kami. Tapi, mau tidak mau program exchange-nya harus berakhir. Justru ia malah extend tinggal di New York karena acara ke Kanada kemarin. Atau ia yang tidak tega meninggalkan kami semua di New York. Hahaha. Pede sekali.
Sepanjang jalan menuju apartemen Kak Anna, aku yang agak sibuk membalas komentar dan DM yang masuk, sempat melihat Eugene sibuk membalas pesan dengan Farida. Ya, ampun, ada apa lagi ini? Buat apa dibalas? Kan sebentar lagi juga ketemu.
Hmm, bukan aku cemburu, tapi aku sudah mencium aroma perselingkuhan antara terdakwa Eugene dan tersangka Farida. Aku sudah melihat sejak kemarin kami jalan-jalan di Kanada. Aku melihat Farida yang ingin selalu nempel dengan Eugene. Memang parfum Eugene sebegitu wanginya sehingga ia ingin nempel terus seperti perangko?
Aku harus mencari tahu ini secepatnya.

- BERSAMBUNG -


=====================================================================

Episode 6 : Cinta Segi Banyak



Angelique Arianna Inolatan. Februari dan Maret 2019. New York. Masa Depan.
Hari ini, ada kumpul-kumpul sama anak-anak kesayangan, tidak lain tidak bukan, anak-anak Batik Day, mahasiswa tanpa dosa kalau kata Yureka, padahal jelas-jelas manusia banyak dosa yakan? Hahaha. Dan seperti biasa, kumpulnya di apartemen gue, dimana lagi yang bisa dibuat rusuh sama mereka, yaa mungkin mereka sengaja karena gue tinggal sendirian dan mereka rata-rata sharing apartment atau di asrama, jadi emang lebih enak kalau kumpul di apartemen gue. Tapi ya dengan senang hati gue menerima mereka tiap mereka dateng ke rumah. Hitung-hitung biar gue nggak kesepian juga.
Sering juga tiap weekend, salah satu atau dua dari mereka numpang nginep di gue karena bosen dan gabut di rumah mereka masing-masing. Yang paling sering nginep itu si Chandra sama Dhimas. Meskipun gue sama Dhimas sebenernya sering adu pendapat, tapi entah kenapa dia justru yang sering dateng. Sering juga curhat soal cewek yang dia taksir di kampus atau di tempat dia kerja part-time, di salah satu bar di Upper East Side. Kalau Chandra jangan ditanya, dia sering kesini karena numpang makan. Tapi bagusnya dia jadi yang sering masakin gue, jadi bahan-bahannya gue yang beli, dia yang masak. Ya, namanya juga mahasiswa sekolah masak, udah jadi kesehariannya berurusan sama dapur.
Dan kali ini, semua anak-anak Batik Day kumpul. Kita mau ngadain “Farewell Party” buat Farida yang dalam beberapa hari akan pulang ke Indonesia. Ya, soalnya dia disini cuma anak exchange dari kampusnya, dan nggak kerasa udah 1 tahun dia disini. Tadinya dia programnya cuma 6 bulan di Pace University, tapi karena satu dan lain hal, dia extend alias perpanjang jadi satu tahun. Kalau boleh kepedean sih, jangan-jangan Farida extend karena terlalu betah di New York karena ada gue lagi. Hahaha. Ya kali deh, Na.
Sekitar pukul 3 sore, gue liat dari jendela dapur apartemen, Eugene sama Yureka udah ada di depan gedung apartemen, tapi mereka kayak lagi ngobrolin sesuatu. Setengah marah-marah. Lah kenapa tuh mereka? Nggak berapa lama, mereka mencet bel rumah, dan gue persilahkan masuk.
Gue mencoba buat tanya apakah mereka baik-baik aja. Mereka cuma bilang “Baik-baik aja kok. Kenapa emang kak?”. Yah, malah balik nanya. Tapi yaudah lah, mungkin nanti-nanti aja gue tanyanya.
Acara farewell-nya sih nggak formal, santai-santai gitu aja. Yang penting semua kumpul dan makan-makan kita malam ini. Tapi ketika Eugene dan Yureka dateng, udah ada Gilang sama Dhimas. Chandra masih di jalan dan begitupun dengan duo sepupu Fikri dan Farida.

💛💛💛

Farida Kumala Dewi. Apartemen Kak Anna. Februari 2019. New York. Masa Depan.
Nggak kerasa udah satu tahun gue jadi mahasiswa exchange di New York. Siapa sih yang nggak pengen ke salah satu kota terbesar di dunia? Alhamdulillah banget gue bisa dapet kesempatan itu. Gue banyak dapet pengalaman yang nggak bisa diganti apapun, contohnya perkuliahan di Pace University yang super duper kece, ditambah temen-temen yang juga super duper baik, terutama temen-temen Batik Day. Waktu itu nggak nyangka aja bakal dipilih Kak Anna buat jadi tim acara Batik Day. Nggak tahu yaa gegara apa. Tapi kayaknya gue pernah satu acara bareng juga sama Kak Anna, dan Kak Anna bilang untuk acara Batik Day dia butuh tenaga perempuan secara kebanyakan dari kami adalah laki-laki. Jadilah, gue waktu itu ada dibagian publikasi bareng sepupu gue, Fikri.
Oh ya, banyak yang bilang juga gue bisa ke Amerika karena sepupu gue. Fikri, udah 2 tahun tinggal di New York dan lagi studi teknik industri di Columbia University. Tapi gue tinggal di New York bukan semata-mata karena dia. Tapi emang gue dapet kesempatan buat jadi salah satu perwakilan kampus gue di Indonesia untuk jadi ikut pertukaran pelajar di Amerika, dan emang Allah udah rencanain ini semuanya kalau gue bisa ke Amerika dan terlebih di satu kota yang sama kayak si Fikri.
Tinggal di Amerika emang berat banget. Gue bukan pertama kalinya sih ke luar Indonesia. Dulu gue pernah ikut exchange juga waktu gue SMA ke Jepang, dan pernah liburan bareng Nyokap-Bokap gue ke Australia dan Selandia Baru, dan kebetulan emang ada sanak family juga disana. Tapi yang bikin berat tinggal disini adalah karena perbedaan waktu antara Amerika dan Indonesia cukup jauh, yaitu 12 jam lamanya. Kebayang kan kalau mau telpon orang tua di Indonesia harus jam berapa?
Ngomongin soal perbedaan waktu, gue juga harus bisa mengatur waktu buat tetep komunikasi sama cowok gue di Indonesia. Dia senior gue di kampus dan tahun ini rencananya akan melangsungkan sidang skripsi, jadi dengan kepulangan gue ke Indonesia adalah waktu yang tepat buat bisa liat langsung momen bahagianya dan juga wisudanya juga akan berlangsung bulan Juli depan.
Jadi gimana rasanya LDR? Berat! Berat banget! Cuma orang gila yang bisa ngelakuin pacaran LDR. Capek. Saat gue butuh dia, dia disono jauh banget. Kalau lagi pengen manja-manja juga nggak bisa langsung. Harus sabar, cuma bisa lewat telpon atau Facetime aja. Susah! Pokoknya kalau salah satu dari kalian juga pernah atau lagi ngelakuin LDR, sabar aja ya, be strong. Pasti kalian bisa!
Tapi jujur nih, selama gue di New York, ada satu atau dua momen emang gue pengen manja-manjaan sama cowok. Ya, kasarnya selingkuh. Jujur, ada kepikiran buat kayak gitu. Bukan karena gue udah nggak pengen sama cowok gue lagi, Vito, tapi emang lagi pengen ada yang merhatiin gue di tempat dan jam yang sama. Ngerti kan maksud gue?
 Dan jujur selama satu tahun di New York, ya, ada sih satu cowok yang gue merasa dia bisa manjain gue, kayak sebagai kakak sendiri. Gue nggak bermaksud selingkuh kok, beneran. Tapi yang gue bilang tadi, gue lagi butuh seseorang yang bisa dengerin curhatan gue kalau lagi galau atau apalah. Cowok itu ada di antara kita berdelapan, para anggota Batik Day. Udah baik, pinter, ganteng, dan hobi kita sama, sama-sama ngomongin Jejepangan, cuma bedanya kakak yang satu ini nggak se-freak gue sih. Atau kadang kita ngomongin serial drama Korea bareng, secara Nyokapnya dia orang Korea, dan dia sendiri juga sesekali nonton drama Korea.
Ya, bisa tebak sendiri lah siapa. Ya ya, gue sempet naksir Kak Eugene. Ya, gue tahu sekarang dia jadian sama Kak Yureka, dan gue nggak mau merusak hubungan mereka, karena yang gue liat mereka emang serasi banget, cocok satu sama lain. Tapi gimana dong, sebenernya sebelum mereka deket, gue udah deket duluan sama Kak Eugene, tapi ya nggak mungkin kan karena waktu itu juga gue masih punya pacar, sampe sekarang juga masih.
Kenapa ya gue bisa sesuka itu sama Kak Eugene? Bukan cuma soal tampang aja, yah, semua orang juga tahu kalau mukanya yang Korea banget itu siapa yang nggak naksir? Apalagi ditengah maraknya kepopularitasan drama dan idol-idol Korea, siapa yang nggak mau jadi pacarnya Kak Eugene? Tapi mungkin karena tiap kali kita ketemu dia bahas hal yang sama, jadi yaa nyambung aja, dan entah kenapa jadi nyaman. Parah banget sih emang, gue mengkhianati Kak Yureka, tapi gue sebenernya dari dulu masih nggak percaya kalau Kak Eugene jadiannya sama Kak Yureka. Pasti banyak banget yang nyinyirin Kak Yureka, dan gue juga yakin banyak banget cewek-cewek di luar sana yang patah hati karena Kak Eugene udah double gitu sama Kak Yureka. Tapi nih ya, kalau boleh jahat sih, emang mereka cocok ya? Kalau boleh kepedean sih, kayaknya masih cantikan gue daripada Kak Yureka. Tapi yaudah lah namanya juga suka, mau segimanapun luarnya, kalau udah demen ya demen aja.
Anyway, gue sama temen-temen Batik Day mau ngadain farewell party buat gue. Gila, so sweet banget ya mereka, gue jadi terharu. Yang pasti ada seneng dan sedihnya. Gue seneng gue bakalan balik ke Indo dan ketemu sama keluarga, temen-temen, plus Vito, sumpah gue udah kangen berat sama mereka! Tapi sedih karena bakalan nggak ada lagi kumpul-kumpul nggak jelas di rumah Kak Anna, ketawa-ketiwi bareng sampe pagi, dan makan makanan Indonesia bareng. Ya, jujur gue juga bakalan kangen ngobrol bareng sama Kak Eugene, yang udah baik banget sama gue. Dia juga sering banget nolong gue kalau gue butuh bantuan. Tapi apapun itu, gue tetep pengen Kak Eugene dan Kak Yureka tetep bareng-bareng terus. Semoga mereka langgeng.

💜💜💜

Chandra Setiawan. Apartemen Kak Anna. Farewell Party buat Farida. 2019. New York.
Udah akhir pekan lagi nih, gila cepet banget. Minggu ini gue sama temen-temen Batik Day mau ngadain “Farewell Party” buat Farida yang dalam beberapa hari mau balik ke Indonesia karena exchange-year-nya udah selesai. Bakal sedih sih dia pulang karena nggak ada lagi cewek bawel yang sering ceramahin gue kalau gue naro sepatu nggak bener di rumah Kak Anna, atau segala omongan gue yang suka jorok dan porno di depan temen-temen yang lain. Hahahah. Ya maafin deh, padahal kan cuma buat have fun aja.
By the way, ini adalah kumpul-kumpul lengkap lagi setelah terakhir minggu lalu kita semua bareng-bareng pergi ke Ottawa, Kanada selama beberapa hari. Tapi ini kayaknya baru kumpul lagi di rumah Kak Anna setelah beberapa minggu nggak ketemu. Waktu malam tahun baru sih, kita berdelapan nggak kumpul bareng karena kita punya rencana masing-masing. Kak Anna waktu itu ke D.C buat ngerayain tahun baru bareng temen-temen kampusnya disana. Dhimas juga ada New Year’s Eve Party bareng temen-temen sejurusannya karena katanya sengaja ikut soalnya ada cewek yang dia taksir. Hah, basi! Nah kalau Eugene sama Yureka pergi liat Ball Drop di Times Square. Gue yakin mereka pasti cipokan disitu. Kan katanya membawa keberuntungan kalau ciuman di Times Square pas malam tahun baru. Tahu deh, beneran apa nggak mitosnya. Sedangkan gue sama Gilang, Fikri, Farida yang nggak diajak sama siapa-siapa, cuma pergi ke Rockefeller Center buat liat kembang api. Trus nggak lama balik ke apartemen gue karena nggak kuat tahan dingin, dan sisanya nonton Kartun Jepang plus main PS. Meskipun pas tahun baru kemarin kita nggak lengkap kumpulnya berdelapan, tapi gue masih bersyukur kok gue masih bisa ngelewatin momen-momen bareng orang-orang yang terdekat, malah terlalu dekat. Hahahaha.
Tapi jujur, gue sempet kesel sih karena gue nggak bisa bareng-bareng sama Yureka. Gue sebel sebenernya mau ngakuin ini. Kenapa? Karena sebenernya gue udah lama naksir sama Yureka dari pas Batik Day berlangsung. Dari pas awal-awal rapat bareng, gue merasa kalau Yureka itu anaknya care banget sama semua orang, termasuk sama gue. Kalau nggak salah, waktu sebelum Batik Day, entah pas rapat ke berapa, waktu itu gue sakit, demam kalau nggak salah, dan Yureka yang dengan sukarela bantuin gue dan ngerawat gue sampe demam gue turun. Ih, baik banget sumpah. Gue suka tuh sama cewek yang keibuan kayak gitu. Ya, semua cewek juga bisa kayak gitu, tapi kalau Yureka tuh gue litanya beda aja.
Gue nggak tahu waktu itu Yureka ngelakuin itu karena apa? Kalau semata-mata karena suka kan nggak mungkin juga. Ya, gue tahu dia ngelakuin itu karena care sama gue, karena gue sakit, dan karena gue butuh pertolongan. Tapi jujur, dari situ gue jadi suka sama dia. Ya, nggak suka-suka amat sih, cuma seneng aja kalau tiap kali kita ketemu. Gue juga udah punya gebetan, bule, orang lokal, temen satu magang di restoran, tapi kan yaa karena dia bule jadi gue juga harus hati-hati deketinnya. Makanya kalau ke Yureka kan, istilahnya dia orang Indonesia, gue tahu gimana caranya pendekatan sama orang Indonesia, gimana caranya gombal atau apalah, plus gimana reaksinya. Gue ibaratnya udah tahu resikonya karena dia sama gue sama-sama orang Indonesia, jadi lebih gampang. Ya, lu pada paham lah maksud gue.
Tapi pas gue tahu dia malah deketnya sama Eugene, yah sempet kecewa sih, tapi mau gimana lagi, kayaknya mereka udah jodoh banget. Gue tiap liat mereka berdua, gue merasa mereka udah cocok banget. Terlebih gue juga sama Yureka nggak bisa lebih dari temen, karena perbedaan keyakinan. Yureka sama Eugene yang satu agama, jadi mau nggak dicocokin, kalau mereka sama-sama saling suka dan terlebih soal kepercayaan, ya pasti bakalan jadi cocok. Ya, semoga mereka emang jodoh dari Tuhan.

💚💚💚

Angelique Arianna Inolatan. Apartemennya sendiri. Farewell Party buat Farida. 2019. New York. Masa Depan.
Satu jam pertama perayaan farewell party-nya Farida berjalan normal. Kita masak bareng, nyiapin makanan dan minuman yang akan dikonsumsi. Semua bekerja. Duh, jadi inget Batik Day kan. Intinya, kita emang kayak gitu, kalau udah kumpul jadi kompak banget, saling bantu satu sama lain. Tapi pas masak-masak, ada yang janggal. Nggak persis kayak biasanya. Gue liat dari kejauhan Eugene sama Yureka nggak saling ngobrol satu sama lain. Ya, katanya kalau lagi kumpul nggak mau memamerkan kemesraan di depan publik. Tapi selama kumpul-kumpul, mereka bener-bener nggak ngobrol sama sekali. Malah saling berjauhan. Malahan, si Yureka jadi asyik ngobrol sama Chandra sama Gilang. Si Eugene malah ngobrol bareng sama Farida dan nyiapin meja buat makan bareng. Sedangkan gue sama Dhimas masih sibuk nyiapin lauk-pauk buat kita makan. Trus si Fikri juga sibuk nyiapin nasi yang bakal jadi makanan utama kita. As always, orang Indonesia nggak bisa lepas dari yang namanya nasi.
Sekitar pukul 19.30, makanan udah siap disantap. Ya, kemudian kita semua makan bareng. Ketawa-ketiwi bareng. Ngobrolin apa aja yang entah kenapa emang ada aja yang diobrolin. Sesekali nostalgia ke zaman Batik Day, terlebih waktu games biji semangka, yang Yureka dapet pertanyaan paling apes sedunia tapi ujung-ujungnya itu yang membuat dia jadian sama Eugene, dengan sedikit bantuan gue juga sih sebagai mak comblangnya. Hahaha. Atau ngobrolin momen-momen waktu di Kanada. Saling ngirim foto-foto entah dari HP-nya Yureka lah, dari HP gue lah, di kameranya Fikri lah, dan pokoknya kumpul-kumpul ini jadi momen buat saling kirim foto ke grup Whatsapp.
Tapi gue bener-bener masih merasa ada yang janggal. Kenapa ya? Hawanya lagi nggak bagus. Masa karena mau pergantian musim dingin ke musim semi, sih? Nggak ada hubungannya. Terutama soal Yureka dan Eugene, mereka duduknya aja misah. Jadi di ruang tamu gue, ada satu sofa besar warna coklat krem, beludru loh, nyaman banget pokoknya. Ah, nggak penting. Trus, ada dua kursi dan satu bantal gede yang bisa didudukin, dan karpet, plus meja ukuran kecil buat taro makanan. Di sofa bisa muat empat orang, dan di sofa itu ada Chandra, Yureka, Gilang, sama Fikri. Di dua kursi ada Eugene dan Farida. Sedangkan di bantal gede dan di karpet ada gue dan Dhimas. Ya, kita ngobrol-ngobrol sambil makan. Tapi nggak bisa kalau kayak gini, gue khawatir soal duo Double Yu itu. Gue khawatir soal hubungan mereka, gue takut ada apa-apa. Masalahnya gue tahu banget kenapa mereka bisa jadian, gue yang bikin mereka jadi deket, jadi ada semacam hutang budi kalau hubungan mereka renggang.
Hingga kemudian memunculkan sebuah ide, gue akan bikin games. Games nya pun sama kayak waktu dulu, yang waktu Yureka suruh pilih antara lima cowok itu. Yap, kita main “Truth or Dare” lagi.
Dulu sebenernya gue sengaja ngasih pertanyaan ke Yureka, dari lima pria (Eugene, Chandra, Dhimas, Fikri, dan Gilang), mana yang dia pilih buat nerusin keturunan. Dulu sih pertanyaannya agak bercanda, tapi soal milih satu di antara lima gue nggak bercanda. Dulu gue pengen tahu Yureka milih siapa dan tanpa kasih alasannya. Dan gue juga ngasih pertanyaan yang sama ke Eugene dan objeknya diganti tapi gue minta dia kasih alasannya.
Kenapa gue dulu ngelakuin itu semua? Karena sebenernya gue udah bisa liat dari gelagatnya Yureka kalau dia naksir Eugene. Dan sebelum dia ngasih jawaban atas pertanyaan gue itu, gue bener-bener berharap dia bakalan jawab “Eugene”. Plus, gue pengen tahu reaksinya Eugene gimana, karena jauh sebelum ada games itu, dan semenjak gue satuin mereka di divisi dekorasi pas Batik Day, gue juga ngeliat gerak-gerik Eugene yang udah kayak ulet bulu, and that means dia naksir sama Yureka. Makanya, gue waktu itu ngarep banget kalau dengan pertanyaan itu akan mendekatkan keduanya. Dan setelah Yureka jawab kalau dia lebih memilih Eugene, dan Eugene pun jawab dia milih Yureka, sumpah gue super duper lega! Ya, gue udah tahu sih sebenernya jawabannya apa. Ada kaitannya apa nggak, gue yakin emang Yureka demennya sama Eugene. Dan dari reaksi yang diperlihatkan Eugene, dia juga kayaknya emang naksir Yureka.
Nah sekarang gue juga akan bikin games yang hampir sama. Maksudnya, gue akan memberikan pertanyaan yang nanti ujung-ujungnya bongkar semua rahasia yang ada di antara kami. Gue nggak bermaksud jahat. Gue cuma mau ketika sepuluh tahun dari sekarang, nggak ada lagi salah paham dan atau lain sebagainya di antara kita berdelapan. Terlebih Farida mau balik ke Indonesia, gue pengen tahu apakah ada sesuatu yang pengen dia ceritain ke kita yang selama ini kita nggak tahu.
Dan permainan pun berlangsung sehingga menghasilkan percakapan berikut :

Arianna       : Pokoknya Truth or Dare ini, gue minta kalau truth yaa bener-bener truth. Gini sih sebenernya guys, gue pengen tahu sesuatu yang kita semua belom pada tahu.
Farida              : Maksudnya gimana, Kak?
Yureka         : Kalau truth semua berarti bukan Truth or Dare dong. Ya, kenanya jadi ajang “Jujur-jujuran terjujur 2019”
Arianna           : Oke oke. Jadi gini. Ini gue jujur aja nih. To the point ke kalian. Kita kan udah lama pada kenal, tapi gue rasa di antara kita belom kenal-kenal amat.
Gilang             : Heh?
Arianna           : Gue belom selesai, Mas Ahmad Gilang Prasetyo…
Gilang             : Oh oke. Maap.
Arianna        : Jadi, gue bikin games ini adalah momen dimana kita saling cerita, soal apa aja yang menyangkut kita berdelapan.
Chandra          : Gue masih nggak ngerti lu ngomong apaan, Kak.
Dhimas            : Kayaknya gue tahu. Lu mau kita cerita rahasia kita semua?
Arianna           : Hmmm. Kasarnya gitu sih. Hehehe.
Chandra          : Yah, kalo rahasia dibongkar ya jadi nggak rahasia dong kak.
Arianna           : Maksud gue… gini loh guys. Oke gini, jujur nih. Farida besok kamis balik ke Indo, gue cuma pengen sesuatu yang belum terucap dari dia soal kita, gue mau dia cerita sekarang. Apa aja. Contohnya mungkin si A kesel banget sama si B, karena si B terlalu bacotnya orangnya. Or whatever in between lah.
Yureka            : Gue paham maksud lu kak.
Arianna           : See? Akhirnya ada juga yang ngerti.
Eugene            : Gue? Cukup paham sih sejauh ini.
Gilang             : Aku hayo aja lah kalau gitu.
Arianna          : Tapi kalau kalian nggak mau cerita detailnya, yaa nggak apa-apa, gue nggak maksa juga. Jadi, senyamannya kalian aja.
Yureka            : Gue berharap sih ini bukan ajang mojokin seseorang. Cuma mau cerita-cerita aja kan?
Arianna           : Huum. Gimana?
(Semua)           : (terdiam)
Arianna           : Ya, kalau nggak ada yang sreg yaudah nggak usah main.
Farida              : Yaudah yaudah main aja, main, hayok!
Arianna           : Eit, kalo terpaksa gue nggak mau ya. Ikhlas nggak nih kalian?
(Semua)           : ya, ya, ya.
Dhimas            : Yok main-main.
Yureka             : We'll try! 
Arianna         : Tunggu, tunggu. Ni gue disclaimer lagi yaa. Ini cuma buat momen dimana kita yang sebelumnya nggak pernah tahu, jadi tahu. Siapa tahu kita masing-masing punya rahasia yang bener-bener dihindarin dari masing-masing. Gue nggak mau persahabatan kita, persaudaraan kita hancur gara-gara masih mendem rahasia ini sampe tua. Ya, gue tahu sih, abis rahasia itu diceritain pasti saling canggung satu sama lain. Tapi itu normal kok. Kalo menurut gue lebih bagus diceritain sekarang aja daripada nggak pernah sama sekali.
Chandra          : Serem euy.
Yureka            : Ngeri.
Arianna           : Setuju?
(Semua)           : Oke
Arianna           : Well, karena gue yang punya ide permainan ini, berarti gue yang mulai.

            Semua bersiap-siap. Posisi duduk pun jadi agak berubah. Yang tadinya di sofa jadi diatas karpet, yang di kursi jadi pindah ke sofa, dan lain sebagainya. Menit pertama semua diam tanpa kata. Bener-bener awkward. Tapi, yaudah lah, mau gimana lagi. Gue harus tetep ngelakuin ini.
Arianna           : Oke, gue pakai botol ini buat ngarahin siapa objek yang akan gue bahas. Misalnya, kalau ujungnya kena ke… hmm Chandra, berarti gue akan ceritain sesuatu yang Chandra nggak tahu, atau selama ini gue pendem-pendem ke dia. Apapun. Oke? Paham ya. Gue mulai ini.
((Botol coca-cola yang tadi siang gue beli dan isinya udah kosong pun gue pake untuk dijadikan alat permainan ini. Destinasi pertama jatuh pada Fikri. Nah, kalau dia gue nggak punya rahasia, paling cuma kesel kalau tiap kumpul dia yang paling pasif. Anti gue sama orang pasif.))
Fikri                 : Waduh. Gue!
Arianna          : Nah, Fikri. Hmmm. Apa ya? Cuma ada satu uneg-uneg yang selama ini gue pendem dan gue pengen banget lu tahu ini.
Fikri                 : Waduh apaan tuh?
Arianna         : Fikri Harizki, student of Industrial Engineering and Operational Research of Columbia University yang terhormat, kalau jadi orang tuh yang aktif kenapa. Jangan diem aja. Speak up men! Lu udah mending waktu gue suruh di divisi publikasi, lu udah mending mau ngomong ke strangers. Dulu-dulu ya, pas gue kenal lu pertama kali, astaga kayak anak kecil baru belajar ngomong tahu nggak. Dieeeemmm aja. Orang udah mancing-mancing buat ngobrol, cuma “Hehehe iyaa, hehehe iya”. Gitu doang. Apaan tuh? Heh, lu tuh anak Columbia, ngaca. Yang aktif gitu loh fik. Elah.
Fikri                 : Ya kak, ya kak. Maap. Makasih masukannya, btw.
Arianna         : Udah itu doang. Sekarang giliran lu, Fik. Entar lu kenanya ke siapa, nah dia dapet giliran berikutnya.
Fikri                 : Oke. (Memutar botol). Wuih, Kak Gilang. Mantap nih.
Gilang             : Piye? Kamu mau ngomong apa?
Fikri              : Jadi, sebenernya aku pernah ngambil shower gel-nya Kak Gilang sampe setengah gara-garanya, waktu aku nginep di dormitory Kakak, baju aku ketumpahan coklat panas, dan baju itu mau aku pake besoknya. Pokoknya intinya pengen cuci lah, eh trus pas ke kamar mandi, aku liat keranjang tulisannya “G- Indo”, dan aku tahu itu pasti punya Kak Gilang, karena nggak mungkin keranjang alat mandi orang bule ada pepsodent-nya, jadi akhirnya aku pake sabun itu sampe hampir habis. Dan aku nggak bilang sama Kak Gilang.
Gilang             : Oh, ya ampun, selaw aja kali. Kayak kalo kamu pake langsung kiamat. Santai aja. Eh tapi btw kenapa kamu nggak bilang sama aku?
Fikri                 : Ya, malu kak.
Farida              : Dia emang kayak gitu kak. Saking pemalunya.
Gilang             : Owalah, gitu. Ya, lain kali ngomong ya.
Arianna           : Kan, apa gue bilang, Fik. Speak up!
Fikri                 : Ya, ya. Hehehe.
Arianna           : Ayo, Lang. Giliran lu.
Gilang             : Waduh kena siapa ya? (memutar botol). Wah, kok ke Kak Anna. Apa ya? Hmmm, oh aku tahu. Aku pernah ngilangin gelas plastiknya Kak Anna waktu kita piknik ke taman pas rapat Batik Day. Aku waktu itu mau pipis, cari toilet darurat dan bodohnya aku masih pegang gelas plastiknya ke toilet, dan bodohnya lagi aku lupa dan meninggalkan gelas itu di dalam toitlet.
Arianna           : Hmm gelas IKEA ya? Pantesan, berkurang. Hahaha. Ah santai lah. Bisa beli lagi.
Yureka           : Eh tunggu, berarti abis ini, Kak Anna jalan dua kali dong. Abis ini pas dia muter botol, trus kena ke siapa gitu, trus dia musti ngomong lagi?
Arianna           : Ya, iyaa. Ya, nggak apa-apa, berarti gue harus ngomong lagi kan. Tapi kalo ada yang pengen diomongin, ya diomongin aja. Kalau enggak ya di skip.
Yureka            : Oh gitu.
Arianna           : Oke. (Memutar botol).
Farida              : Wah Kak Dhimas.
Arianna           : Waduh. Tepat sasaran ini mah namanya.
Dhimas            : Tepat sasaran?
Arianna         : Okay, guys. It sounds very exaggerating and surprised but I need to confess this one…
(Semua)           : (terdiam dan kebingungan).
Arianna         : Gue cuma mau bilang, kalo sebenernya… jangan pada kaget ya. Gue sempet naksir sama lu, Dhim.
Dhimas            : Waduh.
(Semua)           : Uuuuuu.
Chandra          : Eh ternyata ya Kak Anna.
Dhimas            : Kok bisa, Kak?
Arianna           : Ya, kita emang nggak cocok sih, karena kita sering debat kan. Dan emang somehow ribut mulu. Terlebih gue emang pribadi yang rada-rada feminis, jadi yaa nggak terlalu mikirin cowok banget. Tapi, ya gue tetep perempuan. Dan gue normal, gue nggak lesbian. Jadi karena kita sering ketemu, jadi ya gue naksirnya sama elu deh.
(Semua)           : Ciyeeeee. Duh duh.
Yureka            : Nggak nyangka gue. Ini bukan mimpi kan?
Arianna           : Tapi gue nggak gimana-gimana sama lu, Dhim. Gue kan tahu juga siapa cewek yang lagi lu taksir. Plus, lu sangat amat playboy. Dan gue nggak cemburu. Ya, cuma emang demen aja. Terlebih gue nggak percaya pernikahan dan nggak komitmen, jadi kalau gue suka sama orang ya cuma suka aja, nggak lebih.
Eugene            : Yakin Kak nggak lebih? Nanti nyesel loh.
Yureka            : Sayang… pssstt.
Arianna           : Nggak. That’s what I want to confess. That’s all.
(Semua)           : (Terdiam)
Dhimas            : (Mukanya memerah)
Farida             : Huum gue boleh ngakuin sesuatu juga nggak? Hmm, karena Kak Anna tadi bahas soal siapa demen siapa, gue juga mau ngaku sesuatu. (Bicara pelan).
(Semua)           : (Siap-siap mendengarkan)
Farida              : Eh jangan serius-serius dong. Jadi parno nih.
Chandra          : Iya, iyaa selaw. Selaw.
Farida          : Jadi, rahasia terbesar yang selama ini gue pendem yang terjadi di antara kita berdelapan, adalah… maybe this is too obvious. And maybe some of you already got this.
(Semua)           : (terdiam dan terheran)
Farida             : I was in crushed to Kak Eugene… sebelum Kak Eugene sama Kak Yureka jadian, gue sebenernya udah suka duluan sama Kak Eugene.
Eugene            : (Mukanya keheranan)
Yureka            : (Menunjukkan ekpresi kesal dan acuh). I knew it.
Farida            : Maaf ya, Kak Yure. Ya, aku cuma naksir aja kok. Karena aku sama Kak Eugene sering bahas jejepangan bareng, jadi kebawa deh sampe kayak naksir gitu.
Yureka            : Tapi kan lu udah punya cowok, Far? (Nada marah)
Farida             : Ya, tahu. Tapi LDR itu nggak segampang membalikkan telapak tangan, Kak. Dan aku nggak berniat selingkuh dari cowok aku, tapi kenyataannya ada seseorang yang bikin aku nyaman dan bisa manjain aku. Dan itu Kak Eugene.
Eugene             : Emang kapan gue manjain elu, Far?
Farida            : Ya, secara tersirat. Tiap kali aku Whatsapp Kakak, Kakak selalu bales dan aku tahu Kak Eugene taking care aku banget. Itu yang bikin aku naksir Kak Eugene waktu itu. Tapi setelah aku tahu Kak Eugene jadian sama Kak Yureka, ya aku mundur perlahan. Aku mencoba untuk hilangin perasaan itu. Tapi nggak bisa. Karena aku masih disini, masih ketemu Kakak. Jadi…
(Semua)           : (Terdiam). (Momen canggung pun terjadi)
Chandra       : Hmmm, sekarang boleh giliran gue nggak? Nggak usah muter botol gapapa. Kelamaan. Biar cepet. Udah terlanjur juga si Farida bikin pengakuan.
Arianna           : Go ahead, Chan.
Chandra          : Gue juga mau ngaku. Jauh sebelum Batik Day, gue juga naksir sama Yureka.
Eugene           : Nah, udah ketebak kan. (Nada kesal).
Chandra      : Karena Yureka juga care banget sama gue. Apalagi kalau gue curhat tiap kali gue kangen sama adek kembar gue, dia pasti selalu mau dengerin gue cerita. Dan disitu gue nyaman banget. Tapi semenjak gue tahu Eugene deketin Yureka, dan gue sama Yureka juga nggak mungkin bisa jadian kan, karena kita beda, jadi ya gue cuma suka aja dalam hati. Dan gue sebenernya berterimakasih sama Kak Anna. Karena dia yang udah ngasih ide buat bikin games ini. Gue tahu ini awkward, tapi gue nggak tahu kalau gue pendem terus jadinya bakal gimana.
Yureka            : Makasih, Chan, udah mau ngaku. Tapi, sorry.
Chandra          : Iya, santai. Gue tahu kok. Gue cuma mau bilang aja.
Arianna           : Ayo siapa lagi yang mau ngaku? Mumpung masih sore nih.
Gilang             : Aku! Aku!
Arianna           : Silahkan.
Gilang         : Kalau Eugene dan Yureka saling suka, tapi Farida suka sama Eugene dan Chandra naksir sama Yureka. Kalau aku, aku sebenernya pernah naksir kamu, Far.
Farida              : Gue?
Gilang            : Iya. Kamu inget waktu tim publikasi mau bikin video buat media promosi, aku yang dengan suka rela mau ikut bantuin syuting. Itu sebenernya sambil menyelam minum es kelapa muda. Gara-gara masuk tim Batik Day, day by day, aku jadi tertarik sama kamu. Tapi setelah kepo Instagram kamu, aku nggak jadi. Ya, karena kamu sudah punya kekasih. Tapi aku berharap kamu nggak putus sama Vito, Far, kasian, dia udah nungguin kamu setahun, loh. Kalo pas balik, kamu minta putus, rasanya nggak adil. Cuma gara-gara kamu lebih suka sama Eugene atau suka sama yang lain. Whatever. Tapi pesan aku, jangan kamu putusin pacar kamu, Far. Percaya deh sama aku.
Farida              : Gitu ya.
Gilang          : Iya. Tapi tenang kok, aku udah punya gebetan baru. Anak Permias juga. Doain ya, semoga bisa jadian.
Arianna           : Eh siapa tuh? Kasih tahu dong. Jangan-jangan gue kenal nih.
Gilang             : Aduh. Jangan ah. Kak Anna kenal soalnya.
Arianna           : Lah iya, makanya gue pengen tahu. Nanti gue comblangin.
Gilang             : Ada lah. Nanti aku kasih tahu.
Arianna           : Nggak, Lang. Sekarang. Cepet! Jangan-jangan Bella ya? Yang anak NYU itu?
Gilang             : Hiii, kok Kak Anna bisa tahu, tho? Dukun opo piye Kak Anna iki?
Arianna           : Kalau soal percintaan, gue dewinya.
Yureka            : Bella anak S2 Museum Studies itu? Itu kan pernah satu seminar sama gue, pas jaman dulu gue ketemu Eugene.
Chandra          : Eaaaaa
Fikri                : Ciyeee.
Dhimas       : Yang Yureka baru sadar kalau Eugene adalah teman satu kelompoknya pas udah dipasangin di divisi dekorasi, bukan?
Yureka            : Diem, ah.
Dhimas           : Tapi bener kan?
Yureka           : Iya iya. Btw dia baik loh orangnya. Kayaknya cocok deh sama elu, Lang. Udah, besok langsung ajak kemana gitu, makan bareng, ke bioskop kalo perlu, trus tembak deh.
Gilang             : Aku nggak seberani kamu, e,Yur. Yang bener aja dong.
Arianna           : Oke. Siapa lagi hayo yang belom dapet giliran?
Chandra          : Double Yu? Yureka dan Eugene? Mau membuka suara? Atau Dhimas? Mau mengaku sesuatu?
Eugene        : Jangan-jangan Dhimas juga memendam rasa dengan Kakak Angelique Arianna Inolatan nih.
Fikri                 : Uuuuuuu
Gilang             : Wah, fenomena terbesar 2019 nih kalau beneran.
Arianna           : So… Mau ngomong apa lu?
Dhimas         : Ya, kan gue sering curhat soal cewek-cewek yang gue taksir nih, Kak. Sampai akhirnya beberapa ada yang berhasil jadian sama gue, meskipun ujung-ujungnya gue putusin… sampai pada suatu hari gue nembak si bule asal Prancis, Jacqueline, cuma dia satu-satunya yang gue gebet dan nolak gue…
Yureka            : Gue nggak nyangka seorang Dhimas, anak gaul, bisa ditolak. Sabar ya.
Dhimas        : Ya, bukan rejeki juga. Intinya, entah kenapa pas gue ditolak Jacqueline, gue bener-bener patah hati banget dan curhat semua ke Kak Anna.
Farida              : Jangan-jangan udah takdir Tuhan kalau Kak Dhimas dan Kak Anna….
Arianna           : Tunggu, tunggu. Dhimas belom selesai. Ayo terusin.
Dhimas            : Dan somehow, pas curhat soal Jacqueline itu, lu yang paling bisa nenangin gue. Dan ya, jujur sih…. Gue jadinya ada rasa dikit sama elu, Kak. Hehehe.
Farida              : Nah, kan, beneran!
Gilang             : Fenomena terwah 2019 telah diumumkan, sodara sodara!
Fikri                 : Uwuuuuuww!
Yureka            : Aw aw
(Semua)           : (Bersorak sorai).
Chandra          : Ini sih kejadiannya sama kayak waktu Yureka kena Truth waktu itu ya.
Fikri                 : Makanya, Kak Anna, kalau bikin games jangan terlalu niat. Kena karmanya kan.
Arianna           : Ya ya ya. Sorry. Eh btw, Duo Yu, Double Yu, ada yang mau disampein nggak? Cuma kalian berdua yang tersisa nih belum menyatakan sesuatu.
Eugene        : Apa dong? Nggak ada lah. Lah kan gue udah menyatakan perasaan pada Yureka tercinta           
Gilang             : Eaaaakkk
Dhimas            : Kawin kawin… abis lulus dari Columbia kawin!
(Semua)           : (Bersorak sorai)
Yureka            : Tapi gue mau ngomong sesuatu. Gue berterima kasih banget buat Farida yang udah mau jujur ke kita semua. Karena jujur, tadinya kalo ini games nggak ada, gue yang bakal nanya langsung ke elu, sebenernya ada apa yang terjadi antara elu sama pacar gue. Tapi karena lu udah ngaku duluan, dan menurut gue udah clear semua. Jadi, jangan sampe diulang lagi ya. Please.
Farida              : Ya, Kak. Makasih, udah nggak marah sama gue.
Yureka            : Siapa bilang. Gue marah lagi sama lu tadi pas lu ngomong. Sebel banget gue beneran.
Farida              : Sekarang? Masih?
Yureka            : (Menggelengkan kepala). Nggak kok. Hehehe.
(Farida dan Yureka berpelukan sebagai tanda saling memafkan).
(Semua)           : Uuuuu so sweeetttt.
Arianna       : Tunggu tunggu. Ada yang belom baikan juga. Eugene, Chandra, ada yang ingin disampaikan? Atau mau pake ruangan gue buat adu jotos.
Eugene          : Cukup adeknya roommate-nya Yureka aja yang gue hantam Kak, Chandra nggak usah.
Chandra          : Syukurlah. Terima kasih Tuhan.
Eugene            : Tapi gue masih kesel sama elu sih, Chan. Dikit. Dikit doang.
Chandra          : Sorry ya, bro. Gue nggak berniat gitu ke cewek lu. Dan mungkin ini saatnya gue cari gebetan baru. Maafin ya.
Eugene            : Yok, santai. Yaudah sana cari gebetan.
(Chandra dan Eugene juga berpelukan sebagai tanda saling memaafkan).
Gilang             : Eaaa rekonsiliasi.
Fikri                 : Gencatan senjata, Kak.
Gilang             : Yah, sama aja.
Yureka            : Eh, bentar. Urusan Kak Anna sama Dhimas belom kelar. Gimana tuh?
Arianna           : Aduh. Dibahas lagi.
(Semua)           : Ciyeeeeeeee.
Arianna           : Gini ya. Gue jujur nih ke elu ya, Dhim. Lu kan tahu, semua disini juga tahu kalo gue nggak percaya pernikahan, dan nggak mau komitmen, dan terlebih ya emang nggak mau punya pacar aja…
Chandra          : Emang siapa yang nikahin elu, Kak. Pede banget, ih.
Arianna           : Berisik. Belom selesai gue ngomongnya.
Chandra          : Oh ya, maap.
Arianna           : Kalo semisalnya kalian jodohin gue sama Dhimas, ya nggak masalah. Tapi gue harus tanya dulu ke Dhimas, lu siap nggak kalo kita cuma pacaran aja, nggak bisa lebih jauh. Karena gue emang nggak mau nikah.
(Semua)           : (Terdiam).
Arianna           : Terlebih kita juga beda keyakinan. Jadi, takutnya elu gimana-gimana.
Dhimas            : Yah, gue sih bukan orang yang relijius amat, Kak. Sholat juga bolong-bolong.
Arianna           : Tapi gue juga nggak nyuruh lu pindah agama juga.
Dhimas            : Nggak. Maksud gue, ya kalo kita mau jalanin semua dulu, ya, jalanin aja. Nggak harus liat agama kita apa. No offense, ya guys. Tapi dari perspektif gue pribadi, gue bisa jalan sama cewek mana aja, asal dia baik dan berbudi pekerti luhur. Itu sih.
Chandra          : Gaya lu ngomongnya.
Farida              : Iya, setuju. Masalah nanti gimana nya, kan itu soal nanti Kak. Bisa dipikirin lagi.
Dhimas            : Ya, gitu maksud gue.
Arianna         : Sebenernya jauh sebelum gue naksir Dhimas, gue udah deket sama banyak cowok. Ya, sebagian besar dari kalian juga udah tahu. Dan hampir semua cowok yang gue ajak jalan ya karena gue emang butuh temen jalan aja. Nggak lebih. Banyak dari cowok-cowok itu yang tahu ketika gue nggak mau komitmen, mereka banyak yang ilfil, minta putus di tengah jalan. Ya gue nggak marah, orang itu juga udah jadi resikonya. Dan soal Dhimas. Hmmm, jujur sih. Gue awalnya biasa aja.
Chandra          : Boong. Pasti dari awal, bukan akhir-akhir ini. Tahu gue, Kak.
Arianna           : Nggak, beneran. Ya, kalo karena cool nya sih, yaa dari awal sih.
Chandra          : Nah, kan.
Arianna         : Dan seiring dengan berjalannya waktu, kita sering Whatsappan, dan gue merasa ada sesuatu aja yang beda dari Dhimas. (Senyum lebar)
Dhimas            : (Berbalas senyum)
Arianna           : Dan ya, yang gue bilang tadi, gue suka sama elu, Dhim.
(Semua)           : Ciyeeeeeee
Eugene            : Nambah lagi pasangan baru.
Chandra          : Kira-kira dinamain apa nih? Eugene-Yureka kan Double Yu. Anna-Dhimas apa dong?
Fikri                 : Adim? Nggak enak.
Gilang             : Masan? Anmas. Duh jelek, ik.
Yureka            : The AD. Wuiz.
Chandra          : Nggak, nggak.
Gilang             : Totally not.
Arianna          : Suka-suka kalian deh. Eh bentar. Fikri? Elu nggak mau ada yang diakuin gitu? pernah suka sama siapa? Di antara kita. Misalnya, Gilang.
Fikri                 : Astagfirulloh, gue straight Kak. Gue nggak gay.
Arianna           : Puji Tuhan. Syukurlah.
Farida              : Tenang kak, dia masih setia sama ceweknya.
Arianna           : Lu masih sama Tabita?
Fikri                 : Masih lah. Alhamdulillah.
Yureka            : Jelas lah, Tabita cantik luar dalem, mana mau dilepas. Tapi, pertahankan, Fik.
Fikri                 : Yoi. Kakak juga. Kak Eugene?
Eugene             : Ya, kenapa?
Fikri                 : Baju merah jangan sampai lolos.
Eugene             : Hah, baju merah?
Fikri                 : Ini Kak Yure pake sweater merah.
Eugene             : Oh ya. Sip. Makasih.
Yureka            : Hii, kok elu ngeh aja sih, Fik. Hahaha.

Percakapan selama kurang lebih 2 jam itu pun akhirnya berakhir. Gue lega, akhirnya nggak ada yang gontok-gontokan lagi. Sempet awkward, tapi karena gue tahu kita semua udah pada gede, jadi nggak mungkin ada yang sampe dendam satu sama lain. Justru,  dengan obrolan dan games ini, semua jadi terbuka satu sama lain, rahasia yang nggak boleh dipendam memang harus disampaikan, biar pas kita udah pada tua nggak ada salah paham lagi. Dan gue bersyukur kekhawatiran gue sama pasangan Double Yu udah berkurang jauh pake banget. Semenjak obrolan tadi, Yureka sama Eugene jadi ngobrol bareng. Bahkan jadi pamer kemesraan. Tapi mereka masih ngobrol sama yang lain, contohnya Eugene masih bercanda-canda sama Farida dan Chandra tanpa kecanggungan lagi. Pokoknya semua berjalan dengan lancar. Kami masih berdelapan, dan kami masih sama-sama anak Batik Day yang tidak berdosa tapi berdosa (yaah namanya juga manusia) yang kecemplung di kota raksasa.
Kami masih bersaudara, kami masih jadi sahabat. Terlebih, sekarang ada satu yang jadi lebih akrab. Hahahaha. Awkward nih. Ya, setelah games itu, gue dan Dhimas jadi intens ngobrolnya. Bercanda bareng, meskipun canggung. Padahal cuma niat mau balikin pasangan yang lagi renggang, eh malah gue yang dapet pasangan. Mungkin ini rejeki dari Tuhan.
Meskipun hasilnya gue jadian sama Dhimas, Yureka sama Eugene makin nempel, Farida akan tetep sama Vito, Fikri sama Tabita, Gilang yang masih berjuang dapetin Bella, dan Chandra yang nggak tahu sama siapa; ternyata terbongkar kalau dulunya Chandra yang pernah suka sama Yureka, Yureka dulunya emang udah suka Eugene, Eugene pun demikian naksir sama Yureka sampe curhat ke gue pagi-pagi di balkon, dan Eugene malah didemenin sama Farida, malah Farida yang didemenin sama Gilang, dan Dhimas yang ternyata selama ini naksir gue, untung gue naksir balik ke Dhimas, karena kalau gue naksirnya ke Chandra atau Gilang, hmmm nggak deh, bukan tipe gue, sorry, boys. Hahaha.
Ternyata, di antara persahabatan kita selama ini, ada rahasia yang kita nggak pernah tahu. Unik sih, ini kayaknya udah bukan zamannya cinta segi tiga atau segi-segi yang lain. Bersyukurnya cinta segi banyak ini nggak membuat tali persahabatan kita renggang apalagi sampe mau bikin rusak hubungan cinta beberapa pihak yang udah ada. Justru dari sini, karena udah saling jujur satu sama lain, yaa akhirnya makin dekat dan erat. Dan gue seneng kita masih utuh berdelapan, kecuali Farida yang bentar lagi balik ke Indonesia, tapi sejauh apapun kami berada, kami masih akan berdelapan, masih berstatus "dulunya anggota Batik Day", tapi semoga nggak ada istilah mantan teman di antara kita, ya. Semoga sampe tua nanti, sampe udah pada punya anak dan cucu, cerita ini masih seru untuk didengarkan ataupun diceritakan. 

- BERSAMBUNG -



=====================================================================

Episode 7 : “Sushi Satu Meja”



Yureka. Musim Semi 2019. New York. Masa Depan.
Waktu cepat berlalu. Masih dingin. Menggigil. Padahal sudah mau masuk musim semi. Tapi beberapa tahun belakangan memang seperti ini, tidak teratur. Mungkin efek pemanasan global. Menyeramkan. Tapi aku akan selalu rindu musim dingin. Saljunya. Cantik. Tidak pernah lihat sebelumnya dalam sejarah hidup sebagai seorang Yureka Bhanuresmi Cendekia yang lahir dan dibesarkan di Cinere dengan segala drama ibukota dan ketek-bengeknya, lalu tahu-tahu di usia 24 tahun terbang ke negara adi daya sekelas Amerika Serikat, terlebih diizinkan Tuhan hidup merantau di kota raksasa seperti New York.
Bukan hanya musim dingin yang akan segera berakhir, tanpa dirasa, studi pascasarjanaku juga sebentar lagi akan segera berakhir. Sebelum tanggal 5 April, aku harus sudah mengumpulkan tugas akhirku. Karena aku studi di jurusan kepenulisan drama, maka yang aku lakukan adalah membuat sebuah karya atau tulisan. Ya, iyalah, masa membuat penelitian tentang tanaman kaktus. Tidak ada hubungannya sama sekali. Aku serahkan pada yang profesional. Siapa tahu kaktus suatu hari nanti bisa direbus dan dijadikan camilan sehat. Siapa tahu.
Setelah kejadian jujur-jujuran di apartemen Kak Anna beberapa waktu lalu, dan prasangkaku pada Farida juga akhirnya terbongkar, dan ternyata Chandra pernah suka padaku, ah ya dan juga kembalinya Adam Wang yang menggemparkan seluruh jiwa dan raga, setelah semua itu selesai, semua berjalan normal. Sejauh ini tidak ada hal-hal yang “ada-ada saja” yang terjadi dalam hidupku. Hidup bukan soal leha-leha, aku juga punya masalah baru, tapi aku sudah cukup bodo amat soal itu. Soal roommate baru yang datang beberapa hari setelah peristiwa “Double Date” antara dua pasangan, Aku-Eugene dan Adam-Tiara. Roommate tersebut adalah seorang asisten dosen Eugene di kampusnya, bernama Jessica. Kebetulannya Jessica ini juga orang Indonesia.
Bagaimana bisa ada roommate baru orang Indonesia?
Jadi, setelah Salima pindah ke Boston sebelum Natal tahun lalu, lalu Dominico, adiknya Cassandra yang menggantikannya selama satu bulan, lalu awalnya ada satu calon penghuni yang akan tinggal di apartemenku terhitung bulan februari, tapi entah ada masalah apa, ia tidak jadi menempati kamar kosong tersebut. Hingga suatu hari, Jessica, mencari apartemen berbagi, berapapun harga sewanya dan dimanapun lokasinya, ia akan ambil, karena ia terpaksa harus pindah, lebih tepatnya diusir oleh manajer apartemennya yang lama karena ia juga ada masalah dengan roommate-nya terdahulu. Intinya Jessica butuh apartemen secepatnya. Lalu, saat Eugene ke kampus dan entah bagaimana Eugene tidak pernah memperhatikan kalau Jessica itu orang Indonesia, dan mereka berkenalan di perpustakaan kampus, lalu ngobrol-ngobrol dan Jessica cerita dan lalu Eugene menyarankan agar Jessica berbagi apartemen denganku dan Cassandra. Tanpa berpikir panjang, beberapa hari kemudian Jessica secara resmi menjadi roommate-ku dan Cassandra. Sejauh ini semuanya aman, karena aku tidak perlu repot belepotan menggunakan bahasa Inggris kalau mau menjelaskan sesuatu kepada Jessica tentang apa saja yang ada di apartemen, jadi semuanya berjalan dengan lancar.
Tapi ada satu hal sih yang membuatku cemas, selalu cemas. Amit-amit, kalau-kalau Jessica jadi kesemsem dengan Eugene. Secara Jessica itu juga keturunan Chinese, dan dia jomblo! Bisa saja kan kalau khilaf, tidak memperdulikan apakah Eugene punya pacar atau tidak, dia bisa mengambil Eugene dari genggamanku. Tapi Eugene sudah memperingatkan ini kepadaku agar aku tidak perlu khawatir, ia akan baik-baik saja dan berusaha tidak akan terpikat pada kecantikan Jessica yang memang cantik itu. Ya, semoga saja tidak akan terjadi apa-apa di antara mereka. Semoga.
Ngomong-ngomong soal Eugene, bagaimana hubunganku sejauh ini dengan dirinya?
Ya, yang ku bilang tadi, meskipun ada kasus kejujuran soal Farida naksir Eugene, dan atau Chandra naksir diriku, tapi setelahnya kami saling maaf-maafan, seperti lebaran. Semua kembali dari nol. Aku dan Eugene pun kembali seperti biasa, seperti pasangan pada umumnya, saling membalas pesan, saling telpon dan menanyakan hal-hal yang kadang-kadang tidak penting, atau jalan bareng tiap malam minggu, ribut-ribut kecil, dan lain sebagainya. Tapi memang akhir-akhir ini aku hanya bertemu Eugene satu minggu sekali, kalau tidak di hari Sabtu, ya Minggu, karena kami hanya punya waktu di akhir pekan, mengingat Eugene makin sibuk dengan tesisnya, dan aku juga harus menyusun tugas akhir sebelum deadline tiba. Meskipun jarang bertemu, tapi dari kesibukan kami, aku jadi belajar menghargai privasi masing-masing. Jadi tahu juga bagaimana rasanya kangen, yang lama tidak jumpa lalu satu minggu kemudian bertemu lagi, malu-malu lumba-lumba lagi, dan saat bertemu rasanya dunia hanya milik berdua.
Suatu hari, di akhir Maret lalu, tepatnya di hari ulang tahun Eugene yang ke 24, di tanggal 20 Maret 2019, kami yang sudah hampir 2 minggu tidak bertemu, aku membuat kejutan untuknya, dengan tiba-tiba menghampirinya ke asrama dan membawa kue serta hadiah untuknya. Anak-anak Batik Day juga ikut serta kala itu, kecuali Farida yang memang sudah kembali ke Indonesia. Jujur, saat itu adalah hari terbaik yang pernah ada dalam hidupku. Bayangkan saja, terakhir bertemu tanggal 3 Maret dan kala itu kami hanya nonton ke bioskop bersama, lalu setelahnya kami benar-benar disibukkan dengan tugas akhir masing-masing. Ternyata begitu ya rasanya menahan rindu, hingga mendalam, lalu ketika bertemu rasanya matahari seperti bersinar begitu terang, burung-burung bernyanyi dengan syahdu, dan… hey tunggu, sejak kapan burung bisa bernyanyi. Maksudnya berkicau. Ya, kira-kira begitu.
Dan ternyata kejutanku untuk Eugene dibalas olehnya yang mana satu hari setelah hari ulang tahunnya dan juga satu hari setelah hari pertama musim semi, Eugene yang tiba-tiba mengirim Whatsapp “Sayang, aku lagi di Washington Square loh. Nanti ketemuan ya”. Dalam hati aku hanya bertanya “Ngapain si beruang kutub ke kampus gue?”. Ngomong-ngomong panggilan kesayangan kami berdua adalah “Beruang Kutub” dan “Beruang Madu”. Hehehe. Alay ya. Ah tidak apalah. Dari pada “Ayah-Bunda”. Iyuuuh, menjijikan. Hahaha. Tapi aku tidak bermaksud apapun untuk pasangan yang punya panggilan kesayangan itu. 
Oh, ya sampai mana tadi? Jadi, tadinya aku mau mengabaikannya karena di hari itu aku benar-benar sibuk di kampus, tapi karena aku tahu kami jarang bertemu, akhirnya aku mengalah, aku menghampirinya di Washington Square Park, taman kota yang sangat dekat dengan kampus NYU, untuk menemuinya.
Aku tahu Eugene memang suka yang dadakan, tidak seperti aku yang sangat terencana, dan aku sebenarnya tidak suka hal-hal yang mendadak seperti ini, tapi mau bagaimana lagi, aku menghargai Eugene yang sudah jauh-jauh dari Columbia University untuk menghampiriku ke NYU. Mau tahu apa yang terjadi? Hari itu aku sebenarnya baru saja menyelesaikan bimbinganku ke salah satu dosen yang sedang bertugas di Comedy Cellar, sebuah tempat untuk menonton pertunjukan komedi, karena tugas akhir ku menyangkut soal teater bergenre komedi, jadi selesai bimbingan di Comedy Cellar, aku langsung buru-buru ke Washington Square Park untuk menemui Eugene yang sepertinya ia sudah menunggu cukup lama disana.
Mau tahu apa yang dilakukan Eugene disana?
Saat aku menghampiri dirinya yang sedang duduk di pinggiran air mancur, ia bersembunyi di balik sebuket bunga irish, bunga kesukaanku, sambil berkata “Happy first day of Spring, Sayang!”
OH MY GOD! Itu adalah hal paling romantis yang pernah dilakukan Eugene kepadaku selama kami pacaran! Aku tidak tahu kalau Eugene seromantis ini. Ya, aku tahu sih dia memang romantis, seperti membuatkanku masakan China saat kami malam mingguan dan dalam keadaan kantong kering. Jangan salah, itu juga romantis, loh. Aku harus menghargai usahanya.
Tapi soal ia memberikanku bunga, hmmm memang bukan yang pertama kalinya. Ini yang kedua kalau tidak salah. Yang pertama saat kami lari sore bersama di Central Park, dan saat kami saling menghilang, ternyata tiba-tiba ketika kami bertemu di titik kumpul yang telah ditentukan, Eugene memberikanku sebatang bunga mawar dan tidak berkata-kata apapun, hanya bilang “Ini buat kamu”. Tapi apapun itu, itu adalah hal yang sangat amat manis yang pernah aku dapatkan.
Oh, itu bukan yang kedua, melainkan yang ketiga, dan yang kedua adalah saat kami janjian makan sushi bersama di Bronx. Kala itu adalah ajang ‘gencatan senjata’ kami karena kami bertengkar hebat setelah kasus Dominico waktu itu. Dan di restoran bernama “Dishari” itu, saat kami menunggu pesanan datang, tiba-tiba Eugene mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan memberikan sesuatu itu kepadaku sambil berkata “Tadaaaa. Untuk Beruang Madu paling cerewet di dunia”. Air mataku sempat berlinang dan pecah, tapi aku tahan, karena malu saat itu banyak customer, jadi aku tahan saja. Tapi aku benar-benar bersyukur aku punya pacar sebaik, seperhatian, dan seromantis Eugene. Semoga hal ini tidak berlangsung saat kami pacaran saja, aku ingin seperti ini sampai ke arah yang lebih serius.
Bicara soal hubungan yang serius, aku dan Eugene telah membicarakan ini beberapa kali. Kami sepakat untuk tidak memikirkan hal itu terlalu dalam, takut konsentrasi kami soal tesis dan tugas akhir pecah karena tekanan itu. Tapi namanya juga menjalani hubungan, pasti mau tidak mau, serius atau tidak serius, pasti ada momen di mana kami memperkenalkan pacar ke orang tua masing-masing. Dan ini yang sangat membuatku gugup bukan kepalang.
Suatu hari, saat jadian baru jalan dua bulan, Eugene memperkenalkanku pada Papa-Mamanya, juga adik kesayangannya, Genji. Oh ya, termasuk pengasuh Genji dan supir pribadi keluarganya, Suster Eli dan Om Yayan. Sesaat setelah jadian, Eugene memberitahukan hal itu pada orang tuanya, namun sayangnya Mama dan Adiknya kurang menanggapi hal itu dengan suka cita. Tapi untungnya Papa dan supir pribadinya kebalikannya, mereka cukup mendukung hubungan kami berdua. Hingga akhirnya, tiap kali Eugene mau curhat, ia harus cerita pada Papa atau dengan supir pribadi Papanya dengan tanpa sepengetahuan Mamanya. Aku tidak bisa bilang kami pacaran diam-diam dari sisi Eugene, karena kadang kalau Eugene sedang Facetime dengan Mamanya, dan tiap kali ada aku disampingnya, aku mencoba berkomunikasi dengan Mamanya, berusaha sebaik mungkin memberikan ‘chemistry’ antara aku dan Mamanya. Namun ya, namanya juga kurang suka, hmm belum maksudnya, semoga, aku dan Mamanya hanya ngobrol biasa, tidak terlalu akrab dan tidak lebih dari itu.
Begitu juga dari sisiku. Sesaat setelah aku jadian dengan Eugene tanggal 30 Oktober 2018 lalu, aku mencoba menceritakan pada Ayah dan Ibuku. Kalau Ayah, datar saja menanggapinya. Pesannya hanya satu “Ya, pokoknya jangan macam-macam disana”. Kalau Ibu, sering sekali bertanya ini-itu soal Eugene, bahkan sebelum aku jadian dengan Eugene. Ya, namanya juga orang tua, tahu kalau anaknya sedang merantau lalu dapat pacar, pasti tingkat kecemasannya naik drastis.
Tapi tiap kali aku menceritakan tentang Eugene, Ibuku pasti langsung mengalihkan topik pembicaraan. Apa mungkin karena Eugene itu Chinese? Dan Ibuku sebenarnya kurang suka dengan orang-orang keturunan Tiong Hoa. Dari dulu ia sangat kurang welcome dengan orang-orang Tiong Hoa. Entah kenapa demikian. Ya, namanya juga preferensi orang berbeda-beda, tapi setahuku Ibu memang tidak suka dengan kalangan orang-orang Tiong Hoa.
Tapi kadang aku jadi berpikir, apakah dengan jadiannya aku dengan Eugene adalah sebuah karma? Mengingat Ibuku sangat tidak suka Chinese. Atau ini sebuah cobaan? Apapun itu, aku harus tetap berusaha meyakinkan kalau aku memang menyayangi Eugene apa adanya. Dan aku berharap cepat atau lambat, orang tua kami masing-masing menyetujui hubungan kami agar kami bisa melanjutkannya ke jenjang yang lebih serius.

💛💛💛


Eugene. Musim Semi 2019. Menjelang kelulusan Columbia University. New York.
Wah, nggak kerasa, studi S2 gue udah mau kelar. Capek banget sih ngurusin tesis yang super duper njelimet ini. Di dalam tesis gue, gue bahas rencana tata ruang kota Denpasar, kampung halaman gue, yang mana gue mencoba untuk menggabungkan konsep tradisional dan modern dalam desainnya. Butuh banyak waktu buat riset sampe Mapping segala di Lincoln, Nebraska, beberapa waktu lalu, dan pastinya riset kota raksasa New York juga untuk ambil sampel konsep modernnya.
Ternyata sekolah itu bener-bener susah. Kalau gue nggak bisa jadi orang sukses bakalan keterluan banget. Makanya, gue berusaha semaksimal mungkin buat lulus tepat waktu supaya gue bisa bayar jasa orang tua gue yang udah capek-capek kerja keras demi biayain kuliah gue di Columbia University. FYI, gue bukan anak beasiswa. Jadi, S2 Urban Planning gue di Columbia University sepenuhnya dibayarin sama Bokap-Nyokap gue, dengan sedikit bantuan kerja part-time gue di beberapa tempat kayak jadi asisten tukang gambar sketsa kantor agen casting, jadi tukang cuci piring di sebuah restoran di hotel mewah, dan jadi kasir di sebuah toko buku. Tapi bisa dibilang 90% biaya kuliah gue ditanggung sama orang tua gue.
Ngomong-ngomong soal Bokap-Nyokap, mereka mau dateng ke acara wisudaan gue loh bulan Mei nanti. Hmm, terakhir kapan sih gue ketemu mereka? Ya, ampun udah satu tahun ternyata. Tadinya gue mau balik ke Indonesia pas Summer tahun lalu, tapi karena budget gue limit gara-gara dipake buat beli hape baru karena hape lama rusak dan gue nggak enak mintanya ke bonyok gue, plus waktu itu gue ngerjain Batik Day, jadi, alhasil nggak jadi balik kampung deh.
Dan kalau nanti Bokap-Nyokap gue bakal kesini, berarti itu tandanya untuk pertama kalinya Yureka bisa ketemuan sama mereka. Asyik! Bakalan seru nih. Gue yang pasti bakal seneng banget akhirnya gue bisa ngenalin langsung pacar tercinta ke orang tua gue tercinta, plus adik gue beserta pengasuhnya, sama Suster Eli, dan supir gue, Om Yayan, yang juga akan ikut. Jadi nggak sabar!
Setelah proses panjang menyusun tesis, dengan segala daya dan upaya serta penuh kasih sayang, akhirnya gue berhasil mendapatkan gelar Master of Science in Urban Planning, atau disingkat M.Sc.UP, pada tanggal 8 April 2019. Tinggal nunggu Commencement Day aja nih alias hari wisuda.
Eh si pacar juga udah resmi lulus loh. Ya, meskipun dia nggak bikin tesis kayak gue, tapi dia udah ngumpulin karya tulisan, yaitu bikin satu skrip full-time teater bergenre komedi, dan satu skrip untuk film berdurasi panjang bertemakan drama-romance. Ah, gue nggak tahu banyak soal perkuliahannya dia, apalagi tentang perfilman, tapi gue yakin dia pasti banyak belajar dari perkuliahannya selama dua tahun terakhir dan gue juga yakin dia bakalan bisa jadi penulis profesional setelah ini.
Jadi, gue sama Yureka sama-sama udah lulus S2 nih, Alhamdulillah, kalau gue dapet gelar M.Sc.UP awal April, nah kalau Yureka, satu minggu setelah gue, tanggal 17 April 2019 dan berhasil dapet gelar MFA atau kepanjangannya Master of Fine Arts. Tapi sebelnya nih, sebel banget, tanggal wisuda NYU sama Columbia University tuh barengan! Sama-sama tanggal 16 Mei. Kan kesel nanti kalau abis diwisuda, nggak bisa foto-foto pake baju wisuda bareng. Hmm, kesel. Tapi masih bisa foto-foto pake baju wisuda masing-masing ala-ala gitu sih sehari atau dua hari setelahnya, yang penting ada kenang-kenangan dari hari wisuda kami.
Eh, temen-temen Batik Day juga udah pada lulus loh. Dhimas juga udah berhasil dapet Bachelor of Arts di bidang Ekonomi dan Bisnis, dan Gilang juga udah resmi menyabet gelar M.A dari NYU dari jurusan TESOL (Teaching English to Speakers of Other Languages). Keren! Kalau Chandra, karena sekolahnya sekolah masak dan nggak ada gelar, jadi dia yaa nggak ada gelar aja, tapi dia bakalan resmi lulus bulan Juni nanti. Kalau Kak Anna juga karena kampusnya swasta, jadi beda hari wisudanya sama kayak kita. Dan kayaknya hari wisudanya juga bulan Juni atau Juli. Cuma gue lupa gelar apa yang didapet Kak Anna, karena dia belajarnya fashion dan gue nggak tahu pasti gelar apa untuk sekolah fashion kayak Kak Anna. Nah, kalau Fikri, dia masih harus berjuang melawan semua tantangan perkuliahan di New York, karena dia masih semester 6 dan musim panas ini dia bakalan magang dan di semester depan dia baru bisa lulus dari jurusan teknik industri Columbia University yang juga emang njelimet banget.

🎓🎓🎓


Yureka. Commencement Day of NYU. Bulan Mei 2019. New York. Masa Depan.
Waaah, akhirnya, Alhamdulillah, aku bisa resmi lulus dari New York University. Yang masih jadi bahanku untuk bersyukur adalah karena aku tidak perlu susah payah membuat penelitian untuk menyusun tesis seperti teman-teman di Batik Day, dan juga si pacar, Eugene. Aku tahu sekali bagaimana proses Eugene menyusun tesis, ia juga sempat sakit karena lupa makan karena terlalu sibuk dengan tesisnya. Tapi semoga dengan kelulusan dari Columbia membayar semua perjuangan dan pengorbanan itu. Tapi sayangnya, hari kelulusan NYU dan Columbia University bersamaan, yakni sama-sama tanggal 16 Mei 2019. Kenapa sih NYU sama Columbia jahat banget? Tidak bisa begitu menggantinya menjadi selang satu hari saja, kan aku ingin diberi bunga yang harum atau boneka beruang dari kekasih tercinta. NYU dan Columbia ini bermusuhan atau bagaimana? Ah, yasudahlah, nanti aku bisa foto-foto ala-ala dengan mengenakan baju wisuda kampus masing-masing sebagai tanda bahwa kami semua, para mahasiswa perantauan telah berhasil lulus dari kampus masing-masing.
Dan di tanggal 16 Mei, Yankee Stadium dibanjiri oleh seluruh wisudawan NYU Class of 2019 yang mengenakan jubah wisuda berwarna ungu dengan bet bergambar obor sebagai lambang kampus NYU. Aku yang meskipun duduk di paling pojok, masih bisa merasakan suasana haru dan penuh bahagia di Yankee Stadium tersebut. Beberapa kali air mataku berjatuhan saking terharunya. Masih tidak percaya kalau aku berhasil mendapatkan gelar Master of Fine Art dari kampus sekece NYU. Orang tua ku pasti bangga, meskipun mereka tidak bisa datang ke New York untuk menyaksikan diriku di wisuda, tapi dengan bantuan teknologi canggih, sesaat setelah aku diwisuda, aku video call dengan mereka dan mereka pun tidak bisa menutupi rasa bahagia mereka karena mengetahui anak bungsunya telah berhasil lulus S2. Aku jadi tidak sabar ingin pulang ke Indonesia dan menceritakan semua pengalamanku pada mereka.
Setelah rasa bahagia, haru, dan semua-muanya tumpah saat hari wisuda, sebenarnya ada cerita yang agak sedih beberapa hari sebelum Commencement Day itu dilangsungkan.
Jadi, karena hari wisuda NYU dan Columbia University sama, yang mana si pacar juga telah berhasil lulus dari Graduate School of Architecture, Planning, and Preservation Columbia University, jadi pasti ada anggota keluarga Eugene yang datang untuk merayakan hari kelulusannya tersebut. Ya, benar, orang tuanya Eugene datang ke New York, beserta adiknya plus pengasuh adiknya juga supir pribadi Papanya.
Jauh sebelum mereka datang, Eugene sangat ingin sekali memperkenalkanku kepada kedua orang tuanya. Bukan aku tidak ingin bertemu mereka, aku sangat ingin mengetahui bagaimana sosok orang tua si pacar. Tidak berharap banyak, apalagi sampai terlalu percaya diri dengan mengistilahkan “Huah, aku akan bertemu dengan calon mertua”. No, no! Tidak sama sekali. Aku tahu diri. Aku juga tidak terlalu membiasakan diri memiliki pola pikir seperti itu. Tapi tetap berusaha agar hubunganku dengan Eugene langgeng sampai ke jenjang yang serius. Dan siapa tahu orang tua Eugene suka denganku dan menyetujui hubunganku dengan anak sulungnya. Ya, tahu sendiri, Mamanya Eugene agaknya kurang suka denganku. Maka dari itu, dengan pertemuan pertama ini merupakan titik penentuan apakah aku bisa meluluhkan hati Mamanya yang bernama asli Kang Mi-sook tersebut.
Tanggal 10 Mei-nya, seluruh rombongan keluar Oetomo dengan selamat mendarat di bandara John F. Kennedy dengan menggunakan maskapai Korean Air. Katanya mereka mampir dulu ke Incheon, kampung halaman Mamanya Eugene, selama tiga hari untuk menjenguk salah satu anggota keluarga mereka yang baru saja melahirkan bayi kembar dan juga untuk mengunjungi sanak famili yang lain selama tiga hari. Walaupun libur Natal lalu mereka sekeluarga juga berlibur ke Incheon-Seoul dan Busan.
Mendengar hal itu, aku jadi makin tahu seberapa tajir keluarganya Eugene. Sekali lagi, aku menyukai Eugene bukan karena hartanya. Sebelum dan setelah jadian pun, aku benar-benar tidak tahu kalau keluarga Eugene punya bisnis yang cukup sukses. Dan dengan mengetahui kalau mereka ke New York sekeluarga, ditambah dua asisten keluarga mereka yang juga ikut ke New York, plus mereka mampir dulu ke Incheon, bayangkan sudah berapa ribu dollar mereka keluarkan untuk itu semua kalau bukan karena orang tajir? Orang tuaku saja tidak bisa menyaksikan wisuda anaknya karena sayang-sayang uangnya kalau hanya untuk ke New York saja. Lebih baik ditabung dan dipakai untuk yang lain. Katanya sih orang tuaku mau pergi haji, jadi akan lebih baik jalau uangnya disimpan untuk keperluan haji mereka.
Baiklah, kembali soal topik pertemuan pertamaku dengan keluarga besar Oetomo. Dan pada tanggal 12 Mei-nya, yaitu hari Minggu, Eugene sudah memperingatiku kalau tanggal itu aku harus mengosongkan jadwal, melainkan untuk bertemu dengan keluarganya.
Suatu pagi, sekitar pukul 10.30, aku sudah siap untuk bertemu dengan orang tua pacarku untuk yang pertama kalinya. Meskipun rasa gugup melandaku sedari semalam sebelumnya, aku tetap ingin tampil maksimal di depan orang tua Eugene nanti. Dengan mengenakan kemeja garis-garis berwarna tosca dan celana jeans hitam, sepatu kets yang sedikit lebih girlie yakni hadiah kelulusan dari Eugene, dan tas ketek yang jarang aku pakai, siap tidak siap, aku harus siap bertemu dengan seluruh anggota keluarga Oetomo untuk yang pertama kalinya. Saat bercermin, aku memang merasa agak sedikit minder, karena gaya berpakaianku ini memang bukan gaya Yureka yang sangat ‘Yureka’, tapi demi first impression, aku ikhlas melakukan ini semua.
Pukul 11-nya, Eugene datang menjemputku. Ya, ampun, tuh kan so sweet sekali anak ini. Padahal seharusnya orang tuanya yang diutamakan, tapi mengapa masih mau menjemputku ke apartemen?
“Udah siap?”
“Kok aku nervous ya? Nanti kalau Mama kamu beneran nggak suka sama aku gimana?”
“Udah, tenang aja. Pasti mereka bakalan suka sama kamu. Btw, blush on nya bagus. Cantik. Udah, pokoknya jangan khawatir. No worries. Fighting!”, ujar Eugene sambil mengusap rambutku.
“Oh, how sweet of you. Hmmm. Bentar, Sayang. Ini aku harus belajar bahasa Korea dulu nggak?”
“Hahaha. She speaks Bahasa Indonesia kok, Sayang. English as well, and pretty well
“Kalau Papa kamu, aku harus pake bahasa Bali? Ke supir kamu gitu?”
They are all Indonesian, Baby. Udah deh, nggak usah lebay gitu. Kayak mau ketemu Kim Jong Un aja. Yuk, nanti telat sampe kesananya”
Sepanjang perjalanan, aku mencoba menghilangkan kegugupanku dengan mencoba melalukan percakapannya dengan Eugene. Tapi sayangnya dia hanya sibuk membalas Whatsapp ucapan “Selamat ya Eugene udah kelar tesisnya” dan blablabla yang lain. 
“Eh kamu belom ngasih tahu tempat nginep Papa-Mamamu selama di New York dimana”
“Ah nanti juga kamu tahu. Nggak penting. Yang penting kan kamu ketemu sama mereka. Be ready!”
Sepanjang jalan menggunakan kereta, Eugene juga sibuk membalas Whatsapp Mamanya dan juga lain-lainnya, yang aku tidak tahu siapa. Aku juga sibuk membuka feed Instagram demi mengalihkan perhatianku pada kegugupan ku sendiri.
Sesampainya di stasiun tujuan kami, di 5th Avenue Station, kami masih harus berjalan kaki. Tapi tunggu, jalur ini dejavu. Seperti saat waktu mau bertemu Adam Wang yang waktu itu menginap di The Plaza. Oh Tuhan, jangan-jangan Papa Mamanya Eugene juga menginap di The Plaza! Katakan bukan, tolong!
Kemudian kami jalan menyusuri West 59th Street. Ow ow, ada dua kemungkinan hotel tempat keluarganya Eugene menginap, karena ketika kami sedang menunggu lampu hijau pejalan kaki menyala, aku bisa melihat ada dua hotel mewah tepat di sebrang kami, yakni The Plaza Hotel dan The Sherry Netherland. Kalau kami menyebrangi 5th Avenue, berarti fix The Sherry Netherland itu hotel tempat keluarga Oetomo menginap, kalau menyusuri Central Park South bisa jadi The Plaza atau deretan hotel lainnya. Aku benar-benar berharap bukan di The Plaza, entah mengapa. Kalian bisa tahu apa yang aku maksud.
Aku dan Eugene kemudian menyusuri West 59th Street. Lalu The Plaza Hotel berlalu setelah kami lewati. Fyuh, syukurlah! Bukan The Plaza berarti. Lalu apa? Mungkin di The Park Lane, kan katanya agak murah sedikit. Masuk akal lah. Beberapa meter kemudian, The Park Lane Hotel terlampaui. Bukan juga! Aduh! Jadi hotel yang mana? Dalam hati aku hanya bergusar, “Eugene kenapa kamu tidak bilang kepadaku dimana persis tempat keluargamu menginap? Kamu ini sengaja atau bagaimana?”
 Tunggu, jangan-jangan The Ritz Carlton. Karena sepanjang Jalan Central Park South ada segerombolah hotel-hotel mewah yang aku pasti baru sanggup menyewa satu kamarnya kalau aku sudah sukses jadi penulis di Hollywood. Harga sewa kamarnya bisa bikin pusing kepala. Dalam beberapa kaki kami juga melewati The Ritz Carlton dan tidak ada tanda-tanda Eugene mengajak masuk. Dia masih sibuk dengan smartphone-nya yang kemudian malah mengangkat telepon dari seseorang. Aku yang sedang tidak dipedulikan selama beberapa saat oleh Eugene, masih sibuk menghitung jumlah kemungkinan dimana tempat keluarganya Eugene menginap. Aku tahu ini tidak penting, tapi ini menyangkut masa depanku juga!
Aku masih berusaha berharap kalau keluarganya tidak menginap di hotel berbintang karena kalau benar demikian, mau taruh dimana mukaku? Aku hanya mahasiswa kelas tengah yang mungkin tidak bisa menyamai level Eugene dan keluarganya. Tapi siap tidak siap, aku harus siap menerima semua keadaannya. Karena terlalu sibuk berharap dan sibuk dengan memikirkan daftar kemungkinan hotel-hotel di sepanjang Central Park South, tidak terasa kami sudah sampai disana, tapi aku tidak menyadarinya.
“Sayang mau kemana? Kelewatan”
Siap-siap aku harus mengangkat kepalaku lebih tinggi guna melihat plang nama hotel yang dimaksud Eugene.
Bismillahirromanirrohim…”, kataku
Dan tulisan “JW Marriott Essex House” ada di hadapanku.
Aku terdiam. Membeku. Mematung.
“Sayang, ngapain? Ayo!”, sahut Eugene.
“Be…bentar sayang… ehm… tali sepatu aku lepas. Bentar ya”, jawabku pada Eugene sebenarnya berbohong demi mengalihkan perasaan kagetku.
“Aku tunggu di hall ya, mereka udah disana soalnya.”
“Oke.”
Dengan suara perlahan dan setengah teriak “OH MY GOD! Bukan The Plaza sih, tapi JW Marriott kan sama mahalnya. Shit! Gue macarin anak orang kaya. Haduh gimana nih. Gue udah cukup rapih belom? Kalau belom, mau dibawa kemana hubungan gue sama Eugene, coba. Oke, tenang Yureka. Tenang. Semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Santai. Huft. Inhale, exhale. Okay, I am ready!”
Lalu aku masuk ke hotel bintang lima sekelas JW Marriott Essex House New York yang satu malamnya kalian harus membayar paling murah 469 US Dollar. Empat ratus enam puluh sembilan US Dollar, teman-teman! Itu uang dari mana coba kalau bukan orang kaya? Uang itu hampir sama dengan uang sewa apartemen bulananku. Yang lebih parah lagi, Papa-Mamanya tidak hanya pesan satu kamar. Katanya Papa Mama dan adiknya pesan 1 family room yang mana jelas lebih mahal dari kamar standar, sedangkan supir dan pengasuh adiknya dipesankan dua kamar terpisah untuk masing-masing. Oh Tuhan, aku tidak sanggup kalau diminta mengkalkulasi berapa dollar yang dikeluarkan keluarga ini hanya untuk menginap di hotel. Belum makan, selama di New York, belum lain-lainnya. Oh Tuhan, aku benar-benar memacari anak orang kaya!
Di dekat meja resepsionis, dari kejauhan aku melihat lima orang berdiri persis di sebelah elevator. Dengan membaca doa-doa yang aku mampu, aku berusaha tetap tersenyum, dan berusaha semaksimal mungkin agar tetap terlihat tenang, tetap berwibawa, dan tapi tetap menjadi pacar Eugene yang apa adanya, tidak kemudian tiba-tiba aku menenteng tas Louis Vuitton sewaan. Eh jangan salah, di New York banyak yang begitu, ada banyak orang tidak rela keluar uang buat beli brand yang asli tapi tega menghabiskan uang mereka untuk menyewa brand-brand mahal tersebut. Sudah gila.
“Semua, ini Yureka. Orang spesialnya Eugene selain kalian”, ujar Eugene sambil memperkenalkanku pada semua anggota keluarga Oetomo.
Ah so sweet deh kamu. Halo, aku Yureka”, jawabku semaksimal mungkin penuh kesopan-santunan.
“So, sayang, ini Papaku...”, lanjut Eugene
“Halo, Om”, jawabku sambil bersalaman dengan Om Geni.
“Halo Yureka. Salam kenal ya”, jawab Om Geni penuh keramahtamahan.
“Ini Mamaku…”, lanjut Eugene memperkenalkanku pada Mama tercintanya.
“Halo, Tante”, jawabku sambil juga bersalaman dengan Tante Mia.
“Halo”, Tante Mia hanya menjawab seadanya.
“Trus ini Suster Eli, pengasuhnya Genji, dan itu Om Yayan, supirnya Papa. Ya, supir keluargaku juga sih”, dan terakhir Eugene memperkenalkan ku pada Suster Eli dan Om Yayan.
“Halo suster, salam kenal. Halo om”, aku pun juga bersalaman dengan Suster Eli dan Om Yayan.
“Halo mba Yureka”, keduanya menyapaku dan berbalik bersalaman denganku.
 “Hmm, Genji mana?”, tanya Eugene mencari adik kesayangannya.
“Ah tuh dia. Dek, sini, ada yang mau kenalan”, sahut Om Geni sambil memanggil Genji dari kejauhan.
“Ini siapa, Pa?”, tanya Genji terheran.
“Ini pacarnya Hyung”, jawab Papanya Eugene.
“Halo. Genji ya?”, sapaku pada Genji.
“Halo juga”. Untungnya Adiknya masih mau tersenyum padaku. Syukurlah.
Kemudian terjadilah percakapan basa-basi busuk antara aku dan calon keluargaku, ehm maksudku keluarganya Eugene. Sambil on the way ke salah satu restoran Jepang yang sudah direservasi Eugene, dan selama di jalan itulah aku dan keluarga Eugene saling mengobrol dan bertanya seputar informasi dasar masing-masing. Ya, standar lah, mereka tanya asalku dari mana di Indonesia, latar belakang pendidikanku saat di Indonesia apa, kuliahnya bagaimana di New York, enak atau tidak, suka tidak dengan kota raksasa ini, tinggalnya di New York dimana, tinggalnya di Indonesia dimana, keluargaku di Indonesia bagaimana, baik-baik saja atau tidak… tunggu. Kami kan baru pertama kali bertemu, kok Papanya Eugene, Om Geni, sudah bertanya keluargaku? Apakah ini salah satu dari banyak pertanda kalau suatu saat aku benar-benar bisa menjadi bagian dari keluarga Oetomo? Ah, Yureka, berhenti! Jangan mulai!
Lima belas menit kemudian, kami sampai di restoran “Ginza”, restoran sushi yang aku tidak pernah dengar. Ya, bagaimana tidak, ada ratusan bahkan ribuan restoran sushi di New York, Saudara Saudara! Tapi untung bukan di Blue Ribbon yang kala itu antrean sangat panjang dan aku dan Eugene tidak jadi makan disana karena aku sendiri tidak ingin menunggu. Semenjak itu, Eugene selalu booking terlebih dahulu agar aku tidak cepat turun mood dan selera makan sushi tetap ada.
Kami pun masuk ke dalam restoran dan duduk di meja nomor 27 dimana meja yang sebenarnya untuk empat orang digabung menjadi tujuh kursi untuk tujuh orang. Lalu kami melihat menu-menu, pilih-pilih menu apa yang akan kami makan siang ini, dan minum juga karena kalau tidak minum nanti seret.
“Pesen aja yang banyak. Aku yang bayarin. Hmmm Papa maksudnya. Loan money ku udah lunas tapi itu aku lunasinnya pake uangnya Dhimas. Tapi pokoknya pesen aja apa yang kamu mau”, ujar Eugene sambil berbisik padaku.
Aku hanya senyum dan tertawa kecil.
Sambil melihat-lihat isi menu, aku sempat mendengar Eugene berkata sesuatu kepada Mamanya dengan menggunakan bahasa Korea. Jujur, aku penasaran tentang apa yang mereka barusan bicarakan. Tapi jangan membiasakan menguping, apalagi ingin tahu artinya, tidak baik. Tapi aku benar-benar penasaran karena setelah Eugene berkata sesuatu dengan bahasa anggota Super Junior itu, Mamanya menunjukkan raut wajah yang asam, tiba-tiba agak emosi dan sambil melihat isi restoran. Jangan-jangan Tante Mia tidak suka dengan restoran ini. Apa benar begitu?
“Mianhae Eomma”, kata Eugene sambil merengut dan meminta maaf kepada Mamanya. Ya, salah satu bahasa Korea yang ku tahu hanyalah “Mianhae” yang artinya “Maaf”.
“Gwaenchanh-a, Yujina. Geuleona da-eum-e deo na-eun geos-eul chaj-ayahabnida.”, panjang lebar Tante Mia yang aku sepertinya harus membuka google translate terlebih dahulu.
“Ye”, jawab Eugene singkat.
Yaudah dia kan nggak sengaja Ma. Besok kita bisa cari yang lebih bagus, ya”, sahut Om Geni menenangkan suasana.
Aku ingin bertanya tapi nanti dianggap tidak sopan. Lagipula aku tidak tahu artinya. Nanti paling Eugene akan cerita kepadaku.
Sambil menunggu makanan yang kami pesan, aku sempat ngobrol-ngobrol dengan Suster Eli, pengasuh adiknya Eugene, yang kebetulan duduk bersebelahan denganku. Meskipun Suster Eli hanya pengasuh, tapi aku tidak ingin membedakan dia denganku apalagi dengan keluarga Eugene. Aku berusaha memposisikan diriku sesederhana mungkin. Bukan membangun pencitraan, tetapi aku tidak ingin ia terpojokan dengan statusku dan profilku yang lain. Jadi, hanya ingin paling netral senetral yang bisa aku lakukan. Ya, aku menanyakan kepada Suster Eli bagaimana kesan-kesannya bekerja dengan keluarganya Eugene, kegiatan apa yang dilakukan sehari-hari dalam membantu mengasuh Genji, dan kegiatan apa yang biasanya dilakukan kalau sedang tidak bekerja. Awalnya aku pikir Suster Eli sama persisnya dengan Tante Mia, agak angkuh dan cuek, tapi Suster Eli ternyata tidak seperti itu, ia sangat terbuka, tidak malu-malu kalau bertemu orang baru, dan justru sangat menghibur.
Kira-kira sepuluh menit kemudian, makanan yang kami pesan datang. Aku tidak ingat betul apa yang aku pesan, yang penting ada berpuluh-puluh sushi dan sashimi terhidang diatas meja kami. Tapi aku juga memesan Nabeyaki Udon. Pertama-tama aku makan dua buah sushi terlebih dahulu, juga satu tempura, kemudian aku menyantap Udon. Aku benar-benar tidak sabar menyantapnya karena kira-kira semenjak selesai mengumpulkan karya tugas akhir, aku tidak ada waktu untuk pergi makan Udon, sendiri atau dengan Eugene, jadi akhirnya “pucuk dicinta ulam pun tiba”.
“Hmm Yureka…”, sambar Tante Mia.
Saat, Tante Mia memanggil namaku, kegugupanku yang tadi sempat memudar, kini kembali ke permukaan. Kira-kira Tante Mia akan berkata apa ya kepadaku? Sesuatu yang buruk kah? Atau sebaliknya, beliau ingin memulai percakapan denganku berhubung kami duduk saling berhadapan. Aku menyahut panggilan Tante Mia dengan memasang wajah senetral mungkin, tidak gugup, tidak terlalu senang, atau sebaliknya.
“Ya, Tante”
“Hmm, kalau makan mie atau udon atau ramen dan kawan-kawannya, jangan sampe putus. Harus satu sruput, biar tetap membawa keberuntungan”, jelas Tante Mia dengan aksen Korea-nya yang masih sedikit kental.
Apa ku bilang! Sebuah kritikan menyelekit baru saja dilontarkan ibu kandung dari pacarku sendiri. Dari urutan duduk kami mulai dari sebelah kiriku, Eugene, Om Yayan, Genji, Om Geni, Tante Mia, dan Suster Eli, semua sempat terdiam beberapa detik. Sumpah, itu adalah 20 detik paling memalukan yang pernah aku ada dalam hidupku.
Dan aku baru ingat, kalau keluarga China atau Korea atau semacamnya lah, mereka percaya kalau memakan mie dalam satu napas akan membawa keberuntungan. Stupid Yureka, kenapa kamu baru ingat sekarang?!
“Ah tidak apa-apa. Dia belum biasa aja, Ma. Nanti lama-lama biasa kok, ya, Yureka”, bela Om Geni.
“Iyaa om. Makasih Tante masukannya”, jelasku minta maaf tapi bingung mau ditaruh dimana mukaku ini.
Makan sushi satu meja dengan keluarga Eugene memang benar-benar sulit, bagaimana nanti kalau makan malam atau makan-makan lainnya kalau aku dan Eugene benar bisa berkeluarga di masa depan?
Makan siang dengan keluarga Oetomo selesai, kemudian Mama dan Papa Eugene hanya berdua, pergi ke Ellis Island dan Staten Island yang mana rombongan lainnya akan kesana esok hari. Sedangkan sisanya, Suster Eli, Om Yayan, Genji, Eugene, dan aku, kami berkeliling Manhattan dan ke Rockefeller Center dan sekitarnya. Kami berbincang bersama, saling melempar candaan bersama, benar-benar menyenangkan.
Tapi memang aku masih terganggu dengan kritikan Tante Mia. Duh, jangan dipikirin, Yureka, anggap aja itu kentut, bau tapi pasti berlalu.
Melihat raut wajahku masih sendu, Eugene mulai menumpahkan perhatiannya padaku.
“Udah, Mamaku emang gitu. Tukang kritik orang”, ujar Eugene menenangkan.
“Mau dibawa kemana mukaku, Yang? Kesan pertama aja nggak bagus gitu. Gimana mau jadi menantunya dia besok”, jawabku sambil cemberut.
“Kamu yang aku pacarin, kamu yang InsyaAllah aku halalin, kamu yang nanti jadi pendamping aku, bukan orang tua aku, mereka juga pelengkap aja, kayak… bawang goreng sama kacang goreng di bubur Cianjur”, jelas Eugene sambil menghiburku dengan candaan recehnya.
Aku yang awalnya tidak bisa tertawa, tiba-tiba tertawa kecil yang lepas.
“Believe me, my mom is the number one of giving critics to other people. Because she is perfectionist one. Kamu mau tahu tadi dia ngomong apa ke aku pake bahasa Korea pas kita di restoran tadi?”, ucap Eugene.
Yang mana?”, tanyaku agak sedikit lupa.
“Yang Papa bilang nggak apa-apa itu”, jelas Eugene.
“Oh itu. Trus emang apa?”
“Mama protes, tempat makannya nggak proper. Kurang suka dia sama tempatnya, sempit lah apa segala macem. Ya, ku bilang aja di Blue Ribbon nggak bisa bikin reservasi, di Maya udah penuh, akhirnya yang terdekat yaa ke Ginza, ke yang tadi. Dan dia agak surprise karena tempatnya sempit. Dan yaa gitu… that is my mom. Welcome to my family’s world”
“Oh gitu”
“Senyum dong. Ayo, jangan cemberut. Harus kayak Yureka yang biasa aku kenal, yang full of cherish”
Dan Eugene berhasil membuatku tertawa.
Malamnya, aku dan rombongan kecuali orang tua Eugene, pukul 20 sudah sampai lagi ke JW Marriott Essex House. Sedangkan orang tua Eugene baru kembali dari Ellis Island satu jam setelahnya. Btw, mereka tidak jadi ke Staten karena waktunya tidak cukup, dan justru mereka malah bisa kesana bersama-sama dengan rombongan, Eugene juga termasuk, aku tidak. Ya, tidak apa-apa lah, aku baru sebatas teman spesial, belum lebih. Santai saja.
“Om, Tante, semuanya, makasih ya hari ini. Khususnya sushi-nya”, ujarku berpamitan.
“Sama-sama ya, Yureka, kami yang makasih kamu mau sempatin datang”, balas Om Geni yang sangat ramah itu.
“Ya, sama-sama Yureka”, balas juga dari Tante Mia. Duh, dia mau ngobrol denganku. Padahal tadi aku dipermalukan habis-habisan olehnya.
“Yaudah kalau gitu saya pamit ya, Om, Tante, Genji, Suster, Om Yayan. Sampai ketemu tanggal…”, lanjutku.
“17? Setelah wisudaan. Ya, Kan? Kita kan mau makan-makan lagi”, sahut Eugene.
“Oh iya. Bener. Lupa. Oke deh kalau gitu. Selamat malam semua. Mari”, pamitku pada keluarga Oetomo dan bergegas keluar Hotel.
“Eugene anter Yureka dulu ya”.
Eugene pun mengantarkan ku sampai di stasiun. Astaga anak ini kebaikannya keterlaluan. Bisa saja kan aku hanya diantar sampai depan pintu hotel. Buat apa dia susah payah antar aku sampai ke stasiun, masih kangen atau bagaimana?
Sampai di stasiun, aku berpamitan dengan Eugene. Kami akan bertemu lagi masih agak lama, sehari setelah hari wisuda nanti. Aku hanya ingin bilang terima kasih padanya karena hari ini ia sangat sabar memperkenalkanku pada keluarganya untuk yang pertama kalinya.
“Sayang, aku makasih banyak yaa sama semuaaaa yang terjadi hari ini. Kamu bener-bener support aku banget. Di traktir pula”, ujarku panjang lebar sambil menggengam tangannya.
“Selaw lah. Kayak kita pertama kali kenal aja. Santai pokonya”
“Yaudah sana balik lagi ke hotel. Lagian ngapain sih sampe kesini segala nganternya. Jauh tahu”, protesku sambil masih memegang tangannya.
“Yaelah kesitu doang. Lebay deh kamu”, jawab Eugene sambil mengusap tanganku.
“Yaudah. Sampai ketemu tanggal 17 ya. Have a good time with your family!”, ujarku lagi.
Thank you. Eh tunggu…”, lanjut Eugene.
“Apa?”
Baru saja aku lepas genggaman tanganku pada Eugene, dan berpamitan dengannya, ternyata kecupan dipipi menyambar dari bibir Eugene yang lembut itu. Oh Tuhan! Aku minta maaf!
Aku hanya tersipu malu sambil mengusap pipiku yang baru saja dikecup pria tampan selevel Eugene itu. Oh, Tuhan! Maafkan kami!
Takut ‘serangan’ yang lain datang, aku buru-buru masuk ke dalam stasiun dan mengejar keretaku pulang ke arah NYU.
Meskipun hati senang baru saja dikecup oleh sang kekasih, tapi sebenarnya ada sisi dimana aku masih memikirkan kejadian memalukan tadi siang. Sepanjang jalan pulang, aku sempat menitikkan air mataku. Alasan pertama karena sejak pertama berkenalan dengan Tante Mia, wajahnya tidak seramah yang aku harapkan. Kedua, beliau mempermalukan ku dihadapan anggota keluarga Eugene yang lain karena kebodohanku sendiri. Ketiga, saat pamit pun tidak ada basa basi layaknya antara ibu sang pacar kepada pacarnya si anak sulung seperti; “Eh iya Yureka, makasih banyak loh, kapan-kapan kita hang out lagi, seru ya tadi”. TIDAK ADA SAMA SEKALI!
Ya, Tuhan, apakah ini yang dinamakan tantangan dalam sebuah hubungan?
Tapi, Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
Apa aku harus memutuskan hubunganku dengan Eugene hanya karena Mamanya tidak ramah kepadaku?
Kalau diteruskan pun, bagaimana caranya aku meluluhkan hati Mamanya agar menyukaiku?
Aku mencintai Eugene, Ya Tuhan…

- BERSAMBUNG -


=====================================================================

Episode 8 : “12 Jam”



Yureka. Setelah wisuda NYU 2019. New York. Masa Depan.
Setelah drama terkait ketidakramahan serta ketidaksukaan Mama Eugene terhadapku, akhirnya Eugene yang turun tangan. Aku mengatakan semuanya kepada Eugene lewat telepon di malam yang sama setelah aku dan keluarganya Eugene makan sushi di satu meja yang sama tersebut. Eugene pun juga sebenarnya tidak enak dengan kejadian itu. Akhirnya dengan penuh keberanian, Eugene bicara empat mata dengan Mamanya di lobi hotel pagi harinya. Katanya, Eugene sempat dimarahin habis-habisan karena pagi-pagi Eugene sudah membuat mood Mamanya jelek. Tapi, Eugene sudah tidak peduli, dia tetap berusaha meyakinkan Mamanya kalau aku tidak seburuk yang beliau lihat kemarin.
Jadi kira-kira percakapan mereka yang menggunakan bahasa Korea sebagai berikut. Tentu saja ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Katanya Eugene kira-kira begini :
Mamanya Eugene       : Mama bukan tidak suka dengan gadis itu, tapi lihat dong kelakuannya kemarin? Tertawa terbahak-bahak seperti itu. Tidak sopan. Makan mie saja tidak tahu aturannya.
Eugene                       : Ya ampun, Mama, kultur dia kan beda sama kita. Eh, kultur Mama maksudnya. Papa juga sering kan protes ke Mama kalau Papa bikin kesalahan yang nggak sesuai sama kultur asli Mama. Tapi Papa nggak ngelakuin itu sebaliknya.
Mamanya Eugene       : Kamu jangan membandingkan Mama sama yang lain ya, itu beda, Yujin-a.
Eugene                     : Ma, mama tuh udah lebih dari 25 tahun tinggal di Indonesia, masa nggak bisa bedain mana Korea mana Indonesia? Oke gini deh, jujur sama Yujin, Mama nggak suka kan sama Yureka?
Mamanya Eugene       : Buat apa kamu tanya itu? Emang penting? Oh, kamu mau nikahin dia besok? Bener-bener besok?
Eugene                         : Ya, jawab aja dulu, Mama suka atau nggak sama dia.
Mamanya Eugene       : (terdiam)
Eugene                     : Ma, Yujin tahu Mama maunya yang kayak gimana. Kayak Michiko kan? Tapi nggak bisa, Ma. Kayak Janice? Jelas juga nggak bisa. Atau kayak anaknya temen Mama, si Jian. Dari dulu Eugene selalu nge-stuck sama perempuan yang nggak seiman sama Eugene, Mama juga dulu gitu kan sebelum mualaf dan nikah sama Papa? Kenapa Mama jadi mau Eugene sama yang satu ras sama Mama kalau Eugene cintanya sama yang beda ras? Apa bedanya sama rasnya Papa? Oke, Eugene plek kayak Mama, dan tapi Genji plek kayak Papa, jawir banget. Apa salah kalau suatu hari Eugene mau punya keluarga yang kayak gitu juga?
Mamanya Eugene       : (masih terdiam)
Eugene                       : Oke, kalau Mama emang maunya Eugene nggak sama Yureka, Eugene putusin dia sekarang
Mamanya Eugene       : Eh tunggu, Yujin-a. Bukan begitu…
Eugene                   : Kenapa? Fix mama nggak suka sama dia. Ya, kan? Ya, daripada Eugene jadi anak durhaka, nggak mau dengerin kata Mama, mendingan Eugene putusin sekarang.
Mamanya Eugene  : Bukan begitu. Yureka memang tidak punya banyak informasi tentang kebudayaan kita, kulturnya Mama, tapi dia cukup pintar kok waktu membahas apa itu yang waktu kita makan di sushi? Ya, pokoknya. Mama akui dia pintar, seperti yang kamu mau selama ini. Dia juga independent, seperti yang kamu mau, plus dia seiman dengan keluarga kita…
Eugene                   : Trus, kurangnya apa? dimana? Yujin tahu dia nggak secantik Michiko atau Janice atau semanis Novi, tapi Eugene bener-bener nggak liat itu, Ma. Nggak sama sekali.
Mamanya             : Kamu mau tahu? Mama takut Mama belum siap melepas kamu. Mama sebenernya sedih, Yujin-a. Kamu sudah lulus S2, apalagi sudah punya pacar, dan kamu selalu curhat ke Mama kalau kamu sayang sekali dengan Yureka, jadi Mama takut kalau kamu menikah dengan dia dan benar-benar hidup sama dia, Mama akan cepat kehilangan kamu.
Eugene                          : Ya, ampun Ma. Nggak bakal. Eugene akan tetep jadi anak sulungnya Mama yang ngalah pake bahasa Korea tiap kita ngobrol padahal sebenernya lebih nggak capek kalo pake bahasa Indonesia. Yang selalu nemenin Mama nonton “Il-bak Il” sama “Happy Together”. Eugene juga nggak ujug-ujug nikah sama Yureka besok pagi kali mah. Masih ada waktu, Ma. Mama tenang aja, ya.

Demikian lah sekiranya percakapan antara Eugene dan Tante Mia. Hmm, terdengar sangat dramatis ya. Apa semua orang Korea begitu? Seperti yang ada di K-drama? Apapun itu, aku lega karena meskipun Eugene dan Mamanya sudah saling bicara, setidaknya Mamanya tidak cemberut lagi kalau namaku muncul ke permukaan. Tapi aku tidak bisa senang dulu, aku masih harus berjuang membuat yakin keluarganya terutama Mamanya kalau aku ini “The one and only for their eldest son. Be his soulmate
---

Pasca wisuda, keluarganya Eugene kembali ke Indonesia dan meneruskan kegiatan mereka di tanah air tercinta. Sedangkan aku dan Eugene masih menetap di New York, sebenarnya Eugene yang akan menetap lebih lama sedikit dariku. Aku sangat membenci jika mengatakan ini, tapi kenyataannya adalah aku yang harus pulang ke Indonesia duluan. Ya, aku! Kalian tahu apa artinya? Aku dan Eugene akan saling berjauhan, kami akan melakukan LDR. Aku kena karma sepertinya karena dulu meremehkan hubungan LDR antara Farida dan Vito, sehingga ia jadi baper dengan Eugene selama beberapa saat. Dan akhirnya LDR itu datang juga dalam hidupku.
Aku tidak pernah melakukan LDR sebelumnya. Ya ampun bagaimana tidak, aku baru punya hubungan spesial saja di New York, di usia 25 tahun seperti ini. Semoga aku kuat menghadapinya nanti.
Mengapa bisa aku yang pulang ke Indonesia terlebih dahulu sedangkan Eugene tinggal lebih lama di Amerika? Pertama, karena aku telah diterima bekerja di salah satu rumah produksi di Jakarta setelah iseng-iseng mengirim ide cerita untuk FTV di salah satu stasiun televisi swasta di Jakarta dan juga diterima menjadi penulis buku anak-anak di salah satu perusahaan buku anak-anak lokal yang juga berlokasi di Jakarta. Kedua, karena aku anak beasiswa dari pemerintah Indonesia, jadi memang aku harus pulang sesaat setelah wisuda karena aku harus memberikan kontribusi kepada negeriku tercinta.
Ya, meskipun belum mendapat kesempatan berkarir di Amerika terlebih Hollywood, aku justru senang mendapat pekerjaan di Indonesia, hitung-hitung batu loncatan. Toh, suatu hari aku bisa kembali lagi ke Amerika atau bisa ke negara lainnya untuk berkarir menjadi penulis, pada dasarnya memang menulis bisa dimana saja, bukan? Ketiga, Eugene juga sudah mendapatkan pekerjaan di New York. Ia mendapat kontrak enam bulan bekerja menjadi asisten dosen dan asisten lab di Columbia University. Ya, almamaternya sendiri. Yah, meskipun kami akan menjalani hubungan jarak jauh, tapi aku tetap bangga Eugene bisa mendapatkan pekerjaan itu. Siapa yang tidak bangga, ya kan?
Sebelum kembali ke Indonesia, rasanya tidak lengkap kalau tidak mengadakan Farewell Party bersama anak-anak Batik Day. Meskipun tanpa Farida, tapi Farewell Celebration itu harus tetap ada. Tanggal 1 Juni 2019, aku, Chandra, Gilang, Fikri, si pacar kesayangan, dan duo pasangan baru Kak Anna dan Dhimas, berkumpul. Ya, ya seperti biasa di apartemen Kak Anna. Dimana lagi? Untungnya di malam Farewell Party ini, tidak ada lagi permainan “Truth or Dare” atau ajang jujur-jujuran antara sesama mantan pengurus acara Batik Day. Kami malam itu memutuskan untuk menonton film bersama. Film horror yang dipilih Dhimas. Katanya sengaja supaya ia bisa dipeluk oleh Kak Anna kalau setannya keluar. Kalau itu sih memang murni keinginan Dhimas yang ingin dipeluk Kak Anna. Dasar laki-laki.
Setelah filmnya selesai, dan harapan Dhimas terkabul karena akhirnya Kak Anna memeluk pacar barunya itu dengan sangat erat karena Kak Anna sebenarnya memang penakut apalagi kalau nonton film horror. Hmm, ya, Dhimas, ketahuan sekarang kenapa kamu mau macarin Kak Anna. Kemudian, masih di malam yang sama, di malam perpisahan, kami bertujuh sempat terdiam beberapa detik, seakan tidak tahu harus berkata apa, tapi seakan kami tahu kalau ini merupakan malam kumpul-kumpul terakhir di New York sebelum aku dan Gilang yang akan kembali ke Indonesia. Meskipun nanti Batik Day masih ada Kak Anna, Dhimas, Chandra, Fikri, dan Eugene, akan tetap menjadi gank kece anak-anak Indonesia, namun setelah sepi ditinggal Farida, grup ini akan benar-benar sepi tanpa aku dan Gilang. Ah, aku jadi malu.
Guys, please say something”, ujar Dhimas.
“Gue mau ngomong sesuatu!”, jawabku.
“Silahkan Yur”, respon kak Anna.
“Gue mau bilang makasih banyak banget sama kalian udah jadi bagian dari hidup gue di New York selama kurang lebih satu tahun belakangan. Ini kedengarannya emang rada sok puitis sih, tapi beneran. Sumpah kalau nggak ada kalian, gue bisa jadi bete sejadi-jadinya di New York. Temen-temen gue di kampus sih seru-seru, tapi banyak juga yang kayak eek. Trus gue nggak berhasil masuk Permias karena sebenernya emang pengen cari temen orang Indonesia biar nggak kesepian di New York…”
Semuanya terdiam dan aku juga terdiam sesaat kemudian kembali melanjutkan
“… sebenernya gue masuk Permias ada alasannya sih”
“Maksud lu?”, tanya Chandra yang sepertinya paling penasaran.
“Gue daftar Permias waktu itu supaya bisa kumpul sama anak-anak Indonesia, dan… cari pacar…” terangku lalu sempat gugup. Aku tidak tahu apakah aku harus mengatakan ini sekarang. Tapi mumpung ini merupakan momen yang tepat, aku akan menceritakan yang sebenarnya.
Tapi semua terdiam. Lalu aku melanjutkan, “Eh nggak usah cerita deh. Eh… ehmmm”
“Eh nggak papa, Kak Yure. Kita malah nggak pernah tahu. Ayo dong cerita. Kan ini malam perpisahan, malamnya jujur-jujuran, kayak waktu itu”, seru Fikri.
“Ya… jadi… Jadi, jauh sebelum gue ke New York, gue selalu minta sama Allah supaya gue dikasih pacar selama gue sekolah di New York. Gue udah capek sendirian terus, gue pengen selama gue kuliah disini gue ada temennya, biar gue kemana-mana, keliling New York nggak sendirian. New York ternyata keras banget. Dan gue juga minta sama Allah kalau gue pengen punya pacar orang Indonesia aja. Semua temen-temen gue pas tahu gue mau berangkat kesini mereka pada bilang <<Yureka jangan lupa bawa bule yaa. Nanti nikah sama bule aja biar anak-anaknya lucu-lucu>>. Jujur ya, gue nggak mau. Itulah alasannya segimana si Jamie deketin gue, gue tetep bilang nggak. Gue cuma mau selamanya jadi orang Indonesia. Suami gue kelak orang Indonesia, anak-anak gue pun yaa orang Indonesia. Dan, Allah denger doa-doa gue selama ini. Dan sekarang… ada Eugene….”
Semua sorak sorai berkata “Ciyeeee”
Eugene hanya tersenyum lebar dan tetap mendengarkan ceritaku.
“Daaaaan, itu semua berkat Batik Day, berkat Kak Anna. Kalau gue nggak kenal lu waktu itu di KBRI Washington, gue nggak akan pernah kenal kalian semua, dan gue nggak akan pernah juga ada jadi bagian Batik Day, dan nggak bakal pernah ketemu Eugene. So, guys, thank you banget. Thank you juga ya kalian yang udahh ciyeee-ciyee-in gue sama Eugene selama ini. It was really humiliating me, apalagi yang pas waktu di Kanada. Dan gue nggak tahu gimana rasanya jauh dari kalian. Pasti bakal kangen banget. Guys, kita bakalan terpisah 12 jam, guys! 12 jam! Lebay ah. Yaa, pokoknya gue tetep sayang kalian meskipun jarak memisahkan kita nanti”
“To twiiiit”, ujar Chandra sok imut.
“Gue juga sayang sama elu Yur! Peluk peluk!”, ucap Kak Anna.
Akhirnya kami semua berpelukan, mirip seperti dunia Teletubbies yang berpelukan di taman ditemani dengan kelinci-kelinci gemuk penuh kesejahteraan.
Sela beberapa detik setelah berpelukan, Kak Anna juga menyampaikan sesuatu.
“Gue juga mau ngomong. Gue bahagia banget kenal sama kalian”, ujar Kak Anna.
“Bahagia kenal kita atau bahagia akhirnya jadian sama Dhimas, Kak?”, tanya Fikri penuh semangat.
“Fik, tumben?”, protes Kak Anna.
“Kan Kak Anna yang bilang gue nggak boleh diem-diem, musti speak up. Gimana sih?”, protes Fikri sebaliknya.
“Ah tahu nih ibu pertiwi”, respon Eugene.
“Ya ya oke. Pokoknya gue seneng banget bisa mempersatukan kita semua di Batik Day. Sorry yaa, kalau gue marah-marah ke kalian, bossy ke kalian, itu bukan mau gue, gue cuma mau yang terbaik buat kita waktu itu. Dan gue seneng karena meskipun acaranya udah kelar, tapi kita masih tetep kumpul kayak gini, malah makin hari makin lengket kayak lemper…”
“Enak tuh lemper. Hayo bikin yok!”, celetuk Gilang
“Eh diam kau! Gua belom selesai berbicara”, protes lagi Kak Anna tetapi pada Chandra.
“Yo Maap, Kak”, respon Gilang cuma cengengesan.
“Intinya, gue seneng banget kita yang awalnya nggak saling kenal, yaa kenal tapi cuma sebatas kenal aja, trus jadi panitia bareng, trus jadi satu grup paling rusuh, trus bisa jadi sahabat bahkan udah kayak keluarga sendiri kayaknya. I love you full lah pokoknya!”
Dan kami berpelukan lagi. Masih sama seperti Teletubbies yang berpelukan di padang rumput dengan kelinci-kelinci makmur.
Dan malam itu berlalu. Pesta perpisahan sudah selesai. Aku harus meneruskan acara packing-packing di apartemen, Eugene ikut karena membantuku memuat semua barang-barangku yang akan dibawa ke Indonesia. Gilang juga harus packing karena kebetulan kami pulang dengan pesawat yang sama. Wah keren yaa? Ya, tidak heran karena kami beli tiketnya memang bersamaan, alasannya karena supaya saling bantu mengangkat barang kalau sudah sampai di Jakarta nanti, atau nama lainnya, tidak ingin repot. Chandra dan Fikri juga ikut Gilang packing atau mungkin melenceng menjadi main PES bersama. Terserah. Sedangkan Dhimas tetap tinggal di apartemen Kak Anna. Apapun alasannya, aku tidak ingin tahu menahu soal urusan mereka berdua. Mereka, kami semua sudah dewasa, apapun yang akan dilakukan setelah ini, itu bukan tanggung jawab kami bersama.
“Hayoooo, kan ketahuan kalian mau ngapa-ngapain”, celetukku saat mau berpamitan.
“Sssttt. Gue mau bersihin toiletnya Kak Anna”, jawab Dhimas.
“Bersihin toilet atau buang sesuatu ke toilet?”, celetuk Chandra.
“Chandra mulai nih!”, Kak Anna marah.
“Tahu nih, Chan. Udah udah”, lerai Eugene. Si pacar baik hati.
“Udah iyaa udah anak orang jangan diganggu”, ujar Gilang masih dengan aksen Jawanya.
“Eh tapi…”
“Bye Kak Anna, Dhimas, bye!”, semua berpamitan
Have fun, Kak!” celetuk iseng Chandra.
“Sampai ketemu di bandara yaa”, ujarku

---

Senin, Awal Juni 2019, semua anggota Batik Day yang tersisa sudah berkumpul di Bandara John F. Kennedy. Ya, aku dan Gilang akan kembali ke Indonesia, pulang ke tanah air yang selama 2 tahun ini tidak aku singgahi. Ya, dua tahun adalah waktu yang paling lama yang aku rasakan jauh dari rumah. Sebenarnya bisa saja aku pulang ke Indonesia saat lebaran atau libur semester, tapi tiket pesawat New York-Jakarta dirasa terlalu berlebihan, lebih baik disimpan dan ditabung untuk keperluan yang lain. Untungnya Ayah dan Ibuku benar-benar ikhlas kalau anaknya merantau tanpa pulang kampung sama sekali selama dua tahun, alasannya “Ya, supaya fokus belajar”. Ah, bangga sekali punya orang tua seperti mereka.
Ngomong-ngomong orang tua, setelah drama aku mempermalukan diriku didepan orang tua Eugene, kalau kalian mau tahu, sebenarnya Eugene juga pernah dipermalukan oleh kedua orang tuaku. Ya, jadi bisa aku bilang kalau kejadian saat di restoran sushi itu bukan hal yang istimewa diantara hubunganku dengan Eugene. Lebih parahnya, hal-hal seperti itu tidak hanya dari orang tua kami saja, melainkan orang lain.
Contoh paling dekat, Jessica, si penghuni baru alias roommate baruku dan Cassandra. Waktu Eugene mampir kerumah untuk menghabiskan malam minggu bersama menonton Netflix, malam itu juga Jessica ada dirumah. Ketika Eugene akan mengambil minum di dapur, ia berpapasan dengan Jessica. Dan entah dari mana asalnya, Eugene memberi tahuku kalau Jessica secara tidak langsung memandang sebelah mata hubunganku dengan Eugene. Katanya “Kok lu bisa sih jadian sama dia? Lu Chinese kan? Biasanya Chinese sama Chinese juga. Mending sama gue”. Mendengar kesaksian Eugene tersebut, aku langsung sontak menjawab “Kepala udang! Cumi-cumi saus padang! Emang dipikir dia siapa?! Isshhh! Ih sumpah yaa aku bener-bener nyesel nerima dia jadi roommate baru!”
Kemudian Eugene hanya bisa meredamkan emosiku sambil berkata “Udah lah sayang, dia cuma bercanda kali. Nggak usah diambil hati. Aku maklumin juga sih dia ngomong kayak gitu. Ya, if you know what I mean?
What? Because she is Chinese too? Like you? Itu mah udah rasis tingkat internasional namanya, Jin”
Intinya, saat itu aku benar-benar emosi.
Oke, kembali soal reaksi orang tuaku pada hubungan spesialku dengan Eugene. Suatu hari saat aku Video Call dengan Ayah dan Ibuku beserta Kakakku, Ibuku berkata “Eugene itu Chinese ya, Kia? Dia beneran Muslim? Atau Mualaf?”
Semua kritikan Ibuku tersampaikan dengan jelas. Sialnya, saat Video Call aku menggunakan mode loudspeaker, dan lebih pahitnya lagi, Eugene sedang ada di sebelahku sedang main smartphone-nya. Ya, disitulah keluargaku mempermalukan Eugene. Dan saat kejadian makan sushi satu meja itu, akupun dipermalukan orang keluarga Eugene. Entah harus senang atau sedih, tapi kami sama-sama impas!
Dari kejadian itulah, aku mulai pesimis soal hubunganku dengan Eugene, apakah bisa dilanjutkan atau tidak. Aku yang sedari awal sangat bahagia ketika tahu Eugene juga suka padaku sampai akhirnya kami resmi berpacaran, tiba-tiba langsung hilang asa saat Ibuku berkata demikian. Kalau orang tua berkata lain, aku mau apa? Mereka yang sudah membesarkanku, membiayaiku sekolah sampai akhirnya aku bisa lulus S2, dan semua fasilitas yang diberikan, tidak ada harganya ketika aku menjadi anak durhaka, dan aku tidak mau menjadi anak durhaka!
Tapi Eugene selalu bilang, kalau kami harus tetap mempertahankan hubungan ini sampai kapanpun, sampai benar-benar berhasil ke jenjang yang paling serius yang pernah ada, yaitu menikah. Hmm, aku merinding sih mendengar kata “menikah”, sepertinya itu hal yang benar-benar paling serius kalau aku benar-benar melakukannya.
Maskapai Delta Air, tujuan London Heathrow akan boarding dalam waktu 30 menit lagi, daripada telat, akhirnya kami memutuskan untuk berpamitan. Ah, aku benci perpisahan! Semua orang pasti demikian.
Aku dan Gilang berpamitan kepada semua anggota Batik Day. Hah, sedih sekali. Ini momen paling menyedihkan yang pernah ada dalam hidupku. Satu persatu aku memeluk teman-teman Batik Day, mulai dari Kak Anna, Dhimas, Chandra, Fikri, dan Eugene, si pacar yang akan berjauhan denganku dalam beberapa waktu. Dan kepada Eugene lah aku memeluknya paling erat, paling lama.
Take care. Makan tepat waktu. Sholat. Main basket tetep lanjut biar nggak buncit perutnya. Kerja yang serius. Jangan nakal, jangan nakal, dan jangan nakal. Oh, hati-hati sama Jessica. Kalau nggak….”, ujarku kritis.
“Apa?”, tanya Eugene mengejek.
“Aku susul kamu ke New York”, jawabku sambil mencubit hidung Eugene.
“Susul aja. Malah bagus dong”, jawab Eugene yang hampir mengigit jariku yang habis mencubit hidungnya.
“Ih, nyebelin!”
Kami berdua tertawa. Dan sempat melepas pelukan tapi lalu berpelukan lagi.
“Aku nggak tahu kalau nggak ada kamu jadinya gimana, Yang”, terangku pada Eugene.
“Bisa kok. Yaelah cuma enam bulan kan. Pasti bisa”, respon Eugene menenangkan.
Kemudian pelukan Eugene semakin erat, erat, dan makin erat. Pelukan yang erat itu sampai membuatku menitikkan air mata cukup deras dan buru-buru aku menghapusnya. Ketika melepas pelukan itu, ternyata Eugene juga selesai mengelap air matanya. Oh, Tuhan, manis sekali dia! Baru pertama kali aku melihatnya menangis seperti itu. Apakah ini bukti kalau dia benar-benar menyanyangiku? Kalau iyaa, luar biasa!
“Ih udah, nggak usah nangis. Eugene ku, beruang kutubku. Smile!”, ucapku bernada manja.
Eugene hanya membalas nada manjaku dengan tertawa.
Dan semua kesedihan yang tumpah ruah itu harus dihentikan karena aku dan Gilang harus segera boarding karena kalau tidak habislah kami berdua.
Sampai masuk ke security check-in gate, aku dan Gilang masih melihat Kak Anna, Dhimas, Chandra, Fikri, dan Eugene. Kami masih saling melambaikan tangan dan kemudian tidak bisa melihat karena ya kami sudah ada di dalam gate boarding. Bagaimana sih?
“Bismillah. Semoga lancar sampai Jakarta”, ucapku pada Gilang yang mendapat kursi 33-D dan 33-E.
“Aamiin. Sedih ya, ninggalin New York”, jawab Gilang.
“Banget, Lang. Pahit-manis, asam-garam, bau ketek, bau kaki, semua udah dirasain di New York. Nggak ada yang kelewatan.”
“Bener banget. Yahh, mudah-mudah ilmu kita selama kuliah di New York nggak sia-sia yaa, Yur. Dan mudah-mudah kita bakalan bisa balik lagi kesana”
“Aamiin. Good luck for us!”
Saat pesawat kami lepas landas, aku hanya berceletuk sambil melihat ke luar jendela “Good bye, New York”, dan Gilang pun ikut berkata “Bye bye New York. See you again! I’m gonna miss you

---

Eugene. Juni 2019. Apartemen baru. New York. Masa Depan.
Mungkin ini hari yang paling sedih sedunia versi gue. Baru aja gue anter Gilang sama Yureka ke bandara bareng semua anak-anak Batik Day. Kita semua jelas sedih banget. Ya, gimana nggak, temen seperjuangan yang paling naif dan semenyenangkan macem Gilang udah balik duluan ke Indonesia. Ditambah si pacar yang juga ikutan pulang. Dia terpaksa balik karena udah dapet tawaran kerja dari salah satu rumah produksi dan bakalan bikin FTV di Jakarta. Ya, siapa sih yang nggak bangga punya pacar brilian kayak dia? Tapi disisi lain sedih banget karena kita bakalan LDR selama kurang lebih enam bulan kedepan. Gue juga Alhamdulillah udah dapet kerjaan sementara di New York. Ya, itung-itung buat batu loncatan lah. Gue kerja jadi asisten dosen di almamater jurusan gue sendiri tapi untuk tingkat S1.
Kebetulan ada juga orang Indonesia yang jadi tim gue sebagai asisten dosen di Columbia, namanya Jessica. Dia juga yang gantiin posisi Salima, mantan teman sekamar Yureka dan Cassandra yang udah pindah beberapa bulan lalu. Dan semenjak Yureka resmi pindah, kamarnya kosong dan tadinya gue mau nempatin kamar itu. Tapi nggak jadi. Dengan alasan, gue lebih suka satu roomie sama cowok dibanding campur sama cewek-cewek. Dan itu gue bohong. Ya, jujur itu gue sengaja bikin alasan itu. Kenapa sengaja? Ya, karena gue menghindar dari Jessica. Jujur, gue nggak terlalu suka sama dia. Orangnya arogan, sering show off, dan manja. Euhh! Gue paling anti sama cewek manja! Ya, sebenernya nggak apa-apa sih, namanya juga cewek, tapi kalau yang udah keterlaluan gue bener-bener sebel banget.
Nih, contohnya waktu acara inisiasi tim pendidik baru di Columbia, si Jessica suruh ngangkat LCD ke dalam ruangan karena LCD yang udah di install di ruangan tempat acara itu diadain entah kenapa ada kesalahan teknis, jadi gue dan tim baru diminta secara sukarela ambil alat-alat pendukung buat presentasi. Dan kalian tahu gimana reaksi si Jessica? “Emang nggak ada yang lain apa yang bawain? Males deh. Kan berat, itu pasti banyak debunya. Ish”.
What the hell are you thinking about, Lady?
Cuma LCD doang bukan gerobak bakso, kenapa harus sejijik itu sih?
Ah, yaudah lah lupain aja soal si Jessica. Sekarang pahitnya adalah gue hampir tiap hari bakalan liat mukanya di kampus. Ya Allah, kuatin gue!
Tapi menurut kabar angin, si Jessica ini naksir gue? No, bukan maksud gue ambil kesempatan selama gue LDR sama Yureka, tapi justru gue yang takut Jessica yang ngambil kesempatan ini buat deketin gue. Gue sih nggak tahu persis dimana letak signal dia suka sama gue. Justru gue harus cari tahu apa dia bener-bener naksir sama gue atau nggak. Gue akan cari informasinya lebih lanjut.
Oh ya, btw soal apartemen baru. Jadi, dulu selama kuliah, gue tinggal di asrama mahasiswa deket Columbia namanya John Jay Hall. Isinya ya mahasiswa semua karena harga sewanya jelas lebih murah plus deket dari kampus. Btw, dulu sebenernya gue bukan tinggal di John Jay Hall tapi di East Campus dan dulu bentuknya apartemen duplex buat sendiri maksimal dua orang. Tapi gue sempet bermasalah sama roommate gue. Gue nggak akan sebutin namanya dan biodata lainnya, pokoknya orangnya ini jorok banget. Duh pokoknya nggak banget deh. Bener-bener nggak rapih dan nggak disiplin. Akhirnya di bulan ketiga gue pindah ke John Jay Hall dan dapet kamar private. Ini jelas lebih baik dari sekamar berdua sama orang paling jorok di dunia. Ya, sebenernya semua tergantung orangnya gimana sih, cuma di konteks kayak gini, gue nggak bisa tinggal bareng sama orang lain.
Nah, itulah kekurangan kalau tinggal di asrama, lu harus berbagi kamar mandi dan toilet dan dapur. Dan untuk menerapkan hal ini, gue agak bermasalah. Gue emang orangnya jijikan banget. Sebenernya gue nggak bisa sharing bathroom bareng orang lain kecuali keluarga sendiri. Jadi, sempet rada gimana gitu. Tapi enaknya biaya sewanya agak murah dibanding lu nyewa apartemen sendiri atau sharing kayak Yureka. Well, sebenernya sama aja sih, malah Yureka bayar sewanya agak murah sedikit dari gue. Di John Jay Hall, gue musti bayar 8.400an dollar buat satu tahun masa tinggal, dan kalau dibagi 12 jadinya 700 dollar per bulan. Sedangkan Yureka, dia satu apartemen dengan tiga kamar tidur dan all-furnished, dia cuma bayar 500an dollar per bulan. Sebenernya harusnya bayar 800an per bulan karena harga sewanya sendiri 2500 dollar per bulan tapi apartemennya itu sebenernya disewa atas nama Cassandra dan terlebih kamarnya Cassandra yang paling luas diantara yang lain, plus dia install sendiri kamar mandi pribadi di kamarnya, jadi Cassandra dengan senang hati bayarin 300 dollar buat nutupin kekurangan itu. Gila emang beruntung banget jadi Yureka dan Salima yang pernah tinggal disitu sama dia.
Tapi kalian mau tahu apa yang terjadi setelah Yureka pindah? Cassandra memberlakukan sistem sharing uang sewanya dengan bener-bener pas dibagi buat 3 orang. Jadi, semenjak Jessica pindah kesana, dia bayar full 800 dollar. Gue nggak tahu harus seneng atau gimana, tapi kata Cassandra karena Jessica udah kerja, bukan mahasiswa dan pas dia wawancara Jessica dia kurang suka sama tata kramanya yang angkuh dan arogan, jadi dia dengan tega ngasih harga 800 buat Jessica. See? Bukan Cuma gue yang ngerasain kalau Jessica itu arogan. Ya, semoga dia nggak kenapa-kenapa sama Cassandra, karena gue tahu banget Cassey itu orangnya baik banget, jangan sampe dapet kejadian yang aneh-aneh kalau Jessica tinggal disitu.

---

Yureka. Juli-September 2019. Jakarta. Long Distance RelationshipMasa Depan.
Sudah hampir satu bulan setelah kepulanganku kembali ke Jakarta. Rasanya tentu senang sekali bisa kumpul kembali dengan keluarga dan teman-teman serta sahabat tercinta. Dua tahun benar-benar lama ya? Dulu ketika sebelum aku berangkat, aku sempat berkata “Ya, hanya dua tahun”. Hanya? Apa kau bilang Yureka? “Hanya”? Kau ini sudah gila? Dua tahun berarti kau harus melewati dua kali lebaran, dua kali lebaran haji, dua kali ulang tahunmu sendiri, dan berpuluh-puluh kali melihat bulan purnama di langit.
Dan pulang ke Indonesia merupakan hal yang tentunya dinanti-nanti. Tidak hanya keluarga, teman, dan sahabat, tapi makanannya pun juga sudah ikut menanti. Ah, bakso. Sate! Mie ayam! Nasi goreng tek-tek! Es dawet! Nasi uduk tidak ketinggalan! Aku sangat rindu membuat gemuk badanku di pagi hari dengan 240 kalori masuk kedalam tubuh. Hmm, dosa yang paling indah yang pernah kubuat dalam hidupku. Kini telah kembali!
Bagaimana dengan pekerjaanku?
Ya, Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar. Ternyata membuat FTV memang benar-benar melelahkan. Semua kru dan pemain harus berusaha semaksimal mungkin dalam kondisi yang ‘kejar tayang’, meskipun ini hanya FTV bukan sinetron. Tapi ternyata sistem kerjanya juga ikutan seperti jam tayang sinetron. Tapi tidak apa, aku benar-benar menikmatinya. Ini sudah menjadi keinginanku sejak lama, bukan? Dan sekarang aku berada dalam mimpi itu. Ya, bermimpilah, maka mimpi itu akan menjadi bagian dari hidupmu suatu hari nanti.
Bagaimana dengan teman-teman dan keluarga di Indonesia sejauh ini?
Semua baik-baik saja. Aku jadi sering meluangkan waktuku untuk bertemu teman-teman yang sudah lama tak kujumpai. Dan juga mengikhlaskan weekend-ku untuk bertemu dengan sanak saudara. Terutama si Dione, sepupu yang paling resek dan kece yang selalu aku rindukan keberadaannya. Suatu hari di bulan Agustus, sesaat setelah merayakan ulang tahun Dione bersama kakaknya dan kakak-kakakku, aku secara ekslusif, berbincang-bincang bersama Dione seputar dunia percintaan kami. Jujur saja, aku lebih nyaman saat menceritakan isi curahan hatiku pada Dione ketimbang kepada Kakak-Kakakku dan atau Delila, kakaknya Dione. Dan menghasilkan percakapan sebagai berikut :
Yureka            : Jadi, gimana elu sama si bule Denmark itu? Siapa namanya? Arthur?
Dione              : Lah elu bukannya udah tahu? Gue nggak ada apa-apa lagi sama dia.
Yureka            : Lah masa? Bukannya lu udah jadian? Gimana sih?
Dione              : Ya, sempet jalan bareng, tapi abis itu gue yang nembak dia duluan. Trus…
Yureka            : Trus? Diterima? Hmm jangan bilang ditolak?
Dione             : Dia nggak jawab iya atau nggak. Dia cuma bilang “Aku belum siap punya pasangan”. Terlebih dia ada di Indonesia, katanya susah gitu.
Yureka            : Ah, I see. Gue tahu. Udah nggak usah diterusin lagi ceritanya. Udah, jangan sedih. Lu bisa cari bule lain kok. Jamie mau?
Dione              : Ih, yang sok ganteng tetangga apartemen lu itu? Nggak deh. Makasih, Kak.
Yureka            : Iyaa. Oh, atau lu udah pindah haluan ke Oppa-Oppa Korea? Kayak personilnya BTS gitu?
Dione          : Nggak. Gue suka idol, tapi tipe gue tetep bule. Hahaha. Eh btw gimana lu sama Eugene? Masih kan?
Yureka            : Masih dong. Tapi susah ya ternyata LDR.
Dione              : Ye, siapa bilang gampang. Pasti susah lah. Udah gitu, berapa jam bedanya?
Yureka            : Dua belas Jam. Lama banget. Gue udah nangkring di lokasi syuting, eh dia baru mau tidur. Aneh pokoknya LDR Indonesia-Amerika tuh.

Di mobil, perjalanan menuju rumah, hal yang dinanti-nanti pun tiba. Eugene menelponku! Ya, saat itu di Jakarta hampir pukul 10 malam, dan di New York masih pukul 10 pagi. Saat Eugene menelponku, katanya ia sedang menunggu kelas yang akan mulai pukul 10.45. Ya, mungkin diantara kalian sudah ada yang tahu bagaimana rasanya. Senang, tapi sedih karena kami hanya bertemu via suara. Rasanya dada sesak menahan rindu. Berat sekali.
Suatu hari di bulan September 2019, aku benar-benar butuh Eugene disampingku. Aku mendapat hal yang paling buruk yang pernah terjadi dalam karir menulisku. Suatu waktu, aku mengirim semua deadline-ku pada kantor majalah anak-anak tempat aku bekerja selain di rumah produksi yang aku sebut sebelumnya. Ya, aku punya dua pekerjaan memang. Dan ketika aku sudah mengirim semua karyaku sesuai permintaan pimpinan redaksi, dia membatalkan dua dari lima karya yang telah kubuat, dan malah memasukan karya penulis lain ke dalam kolom edisi terbaru. Persetan! Siapa sih penulis itu? Sombong sekali mau menggeser karyaku?! Ya, aku tahu aku kan baru tiga bulan kerja disana, dan mungkin si penulis ini sudah senior. Tapi kan tetap saja aku kesal! Ditambah, si bos pimpinan redaksi tidak memberikan alasan yang jelas mengapa dia membatalkan dua karyaku tersebut. Padahal dua karya itu adalah karya-karya yang paling aku suka, mulai dari ide ceritanya, karakter, dan alur ceritanya. Aku pun membuatnya dengan sangat hati-hati karena memang cerita anak harus menggunakan bahasa yang paling sederhana sesederhana dan semenarik mungkin. Belum lagi butuh berhari-hari untuk merampungkannya. Dan sekarang itu harus dicoret dari daftar edisi bulan ini?! Keterlaluan! Anak kambing!
Saat tahu pimpinan redaksi membatalkan karyaku untuk diterbitkan, aku yang sangat emosi langsung menelpon Eugene untuk sekadar meminta empatinya dan meminta sarannya apa yang sebaiknya harus aku lakukan. Saat itu, aku pulang menggunakan kereta dari kantor redaksi di daerah Jakarta Barat pukul 9 malam, aku berusaha menelpon Eugene. Berarti di New York sekitar pukul 9 pagi. Ah, masih pagi, pasti dia sudah bangun tapi belum berangkat mengajar. Tapi sialnya, telponku tidak diangkat. Sudah aku coba sebanyak 12 kali menelponnya dan tidak juga diangkat. Aku chat pun, belum di baca olehnya. Emosiku sudah benar-benar diujung kepala, panas! Kenapa sih semua orang sama saja?! Tidak ada yang mau peduli padaku? Tidak ada yang mempedulikan kalau aku butuh semacam kata-kata “Everything will be okay, Yureka”, bahkan tidak ada dari pacar sendiri.
Sampai dirumah, aku benar-benar masih kesal. Akhirnya aku tumpahkan semuanya pada Ibuku. Dan ya jawabannya memang sudah ketahuan, hanya bilang “Yaudah nggak apa-apa, ceritanya bisa disimpan untuk di taro di blog kamu. Malah bagus kan?”. Ya, memang ada benarnya juga. Tapi karya itu sudah seperti anakku sendiri yang sudah kutulis dengan sepenuh hati dan cinta, tapi ketika bosku sendiri tidak menghargainya, jelas aku sakit hati.
Saat sudah mau tidur, sekitar pukul 12 malam, Eugene baru membalas Whatsapp dan menelponku balik karena di New York sudah jam makan siang, jadi mungkin dia baru ada waktu untuk membalas pesanku dan juga menelponku.
“Walaikumsalam! Apa? Mau nanya “Kamu baik aja-aja sekarang, Sayang?” Udah telat tahu!”, jawabku langsung marah-marah.
“Ya ampun, Sayang sabar dulu dong. Aku tadi nggak bisa angkat telpon karena di lab. Kan kamu tahu gimana kalau di lab. Lagian aku udah bilang kan kemarin kalau minggu ini bakalan banyak ke lab sama outing, jadi bisa aja aku slow respond”, jawab Eugene penuh kesabaran.
“Ya, aku tahu, Sayang, tapi aku tuh bener-bener emosi banget dan aku butuh kamu buat dengerin cerita aku!”
“Ya maaf. Tunggu deh, kok kamu jadi gini sih? Ini bukan Yureka yang aku kenal loh”, ujar Eugene berbalik emosi.
“Kok kamu jadi nyalahin aku sih? Aku tuh cuma kangen sama kamu. Kangen sama kamu yang biasanya nenangin aku kalau lagi bad day gini”
Eugene terdiam.
“Aku tahu ini lebay banget kedengerannya, tapi, kamu tahu aku nggak pernah kayak gitu dulu-dulu. Dan setelah ada kamu, aku bisa lebih calm down tiap kali aku punya masalah karena selama kita masih di New York, kamu pasti ada disitu, kalau aku lagi bad day banget. Sekarang? Nelpon kamu aja susahnya minta ampun.”
“Nah, itu lagi yang dibahas! Aku udah bilang, nggak usah usik lagi masa lalu kamu. Terakhir kamu curhat kamu ketemu mantan… mantan friendzone kamu di café deket kantor kamu dan kamu langsung mewek-mewek jadi keinget masa lalu. Oh, sama Adam Wang juga! Kamu dateng ke pernikahan mereka minggu lalu dan kamu curhat panjang lebar dan cerita lagi soal yang di Penang itu ke aku. Sayang, aku bukannya nggak mau dengerin curhatan kamu, tapi cukup sekali aja dong kamu ceritanya. Moving forward, not step backward, kenapa sih?”
“Hello, kok kamu jadi marahin aku. What’s wrong with you, Parama Eugene Oetomo? Hah?”
“Ya, aku cuma nggak mau kamu jadi inget lagi sama masa lalu kamu. Sekarang cuma ada kita, aku sama kamu. Yureka sama Eugene. That’s it. Kalo kamu emang ada uneg-uneg, yaudah cerita aja nggak usah mengharap orang lain bakalan selalu ada di posisi kamu. Semua ada baiknya kok. Please, you’re just whining about your stuffs
What? I am whining? No. This is not whining, ya, I am telling you. I just….
“Apa?...”
Tiba-tiba ditengah pertengkaran hebat itu, ada suara yang sepertinya sangat familiar.
“Eugene, aku balik duluan yaa ke lab. Nanti selesai kelas, jangan lupa jam 5 sambil dinner bareng”
“Okay”, jawab Eugene terdengar.
“Siapa itu? kayaknya aku kenal suaranya. Oh My God, don’t say that is Jessica. Kamu ngapain bareng sama dia? Dinner? What?”, tanyaku masih emosi.
“Ya ampun. Cuma dinner doang sambil ngomongin kerjaan, gitu doang dipermasalahin kenapa sih? Kamu bener-bener yaa, mulai jadi childish gini. Gini ya, Yureka, kamu yang bilang sendiri aku yang paling cemburuan, sekarang kebalik, kamu yang cemburuan! Udah aku harus balik ke lab lagi. Nanti aku telpon lagi. Assalamualaikum!”
Eugene menutup telpon.
“Eugene! Halo! Eugene!”. Aku masih emosi.
Dan aku baru saja merusak hidupku sendiri. Pekerjaan kacau, bertengkar hebat dengan pacar, apa lagi?
Aku benar-benar butuh seseorang yang bisa menenangkanku, untuk sejenak saja, lima menit saja. Dipeluk, dimanja, diperhatikan. Ya, Tuhan, kenapa ini berat sekali? Mungkin aku terlalu lelah, aku butuh tidur. Ya, besok aku harus kembali bangun dengan kondisi yang segar bugar, karena besok harus syuting lagi. Semangat, Yureka. Kamu pasti bisa melewati ini semua.
---
Keesokan paginya, aku bangun dengan kondisi yang lebih baik, tidurku semalam pun sangat nyenyak, dan terpenting adalah aku mulai melupakan kejadian semalam. Tapi tidak jadi, mood-ku pagi-pagi rusak kembali karena satu informasi baru yang ku dapatkan dari Kak Anna. Ada delapan notifikasi dari satu chat. Dan setelah ku intip, itu Whatsapp dari Kak Anna yang kalau diintip ada kata-kata “Pokoknya I am with you, Yur”. Aku yang sedang menyantap lontong isi oncom sambil menunggu kereta ke arah Tanah Abang, langsung kaget sekaligus lemas melihat isi Whatsapp Kak Anna tersebut. Kira-kira berbunyi :

“Semalem gue ke apartemen lu
Ngukur badannya Cassandra buat bikin baju Dinner Rehearsalnya bulan depan.
Trus pas udah dibawah pas nunggu taksi, gue lihat ada Eugene masuk ke apartemen lu
Baru balik dari mana gue gatau.
Tapi ada Jessica juga disitu
Eugene seemed so drunk in that moment
Dan dia ciuman sama Jessica!
Gue awalnya nggak percaya
Tapi gue yakin itu Eugene
Gue akan cari tahu lebih lanjut. Lu tenang aja
Pokoknya I am with you, Yur”

Ya, Tuhan, ada apa ini? Apa lagi ini?
Aku baru saja terkena badai dari tempat kerjaku, dan sekarang Eugene?
Katakan apa ini Ya Tuhan?!
Beri tahu kalau ini mimpi bukan yang sungguhan…

- BERSAMBUNG -

=====================================================================

Episode 9 : “The Proposal: Salah Satu Hari Terbahagia”




Yureka. Pancaroba 2019. Jakarta, Indonesia. Masa Depan.

“…Gue akan cari tahu lebih lanjut. Lu tenang aja
Pokoknya I am with you, Yur”
Begitulah kiranya pesan Whatsapp dari Kak Anna yang dikirim kepadaku. Aku langsung lemah tak berdaya. Petir menyambar begitu kuat dan menusuk tulang belakangku. Ngilu. Apa yang terjadi ini Ya Tuhan? Aku baru saja mendapat hal tidak menyenangkan yang terjadi di tempat kerjaku dan sekarang Eugene?
Sepanjang perjalanan menuju kantor, aku benar-benar lemas. Tidak bisa berpikir apapun. Hanya air mata yang tumpah dari bendungannya. Tapi berusaha agar tidak ada yang mengetahui itu. Aku tahan. Bahkan sampai di rumah pun aku menyembunyikan apa yang tengah terjadi pada diriku. Karena baru makan lontong isi oncom, aku masih lapar. Dan kebetulan di meja masih ada lauk kering tempe basah dan sambal plus kerupuk di dalam kaleng. Nasi pun masih tersedia di rice cooker. Kemudian ketika aku sedang mengambil piring di lemari kaca, ibu menegurku, “Eh udah pulang”. Kemudian berakhir dengan percakapan anatara aku dan ibu.
Kami ngobrol layaknya Ibu dan Anak. Kalau soal pekerjaan, aku tidak bisa menutupi rasa kekecewaanku terhadap bosku. Tapi kalau soal Eugene, aku bungkam. Aku tidak ingin ketika aku tidak sengaja membahas hubunganku dengan Eugene, nanti berhujung dengan pernyataan Ibu yang sekiranya seperti “Tuh kan apa Ibu bilang. Orang-orang model kayak Eugene China gitu pasti bandel. Suka mabuk lalalalala”. Tidak mungkin. Aku bisa muak. Jadi sebagai orang dewasa yang baik, aku harus berusaha untuk menyelesaikan masalah ini sendiri dan berusaha agar orang tuaku hanya tahu bahwa anaknya mempunyai hubungan yang baik-baik saja dengan kekasihnya.
Makan malam selesai, aku mandi dan siap-siap pergi tidur. Sebelum tidur, aku sempat mengecek smartphone-ku dan sekadar melihat-lihat isi Instagram story teman-teman sebagai penghibur diriku. Bukan berhasil menenangkan diri sendiri, aku tidak sengaja membuka galeri di smartphone-ku dan tapi kemudian sengaja membuka folder “Double Yu” yang berisi foto-fotoku dan Eugene sewaktu di New York dulu. Bodoh. Kan aku jadi ingat Eugene lagi. Aku memang belum tahu apa yang sebenarnya terjadi dengannya dan apakah memang ada sesuatu yang terjadi antara dirinya dan Jessica. Tapi semenjak tahu kalau ia mulai cuek denganku, aku jadi malas berurusan dengan Eugene untuk sementara waktu.
Tapi namanya juga dengan orang yang kita sayang, semarah apapun kita padanya, pasti ada rasa rindu ingin melihat wajahnya. Terlebih masih dalam rangka LDR. Dan LDR memang sulit bukan kepalang. Sudah LDR, 12 jam pula. Memuakkan.
---
Satu minggu berlalu. Aku sempat ada masalah dengan tempatku bekerja. Dan mau tahu apa yang terjadi? Aku resign alias keluar dari pekerjaan itu. Aku sengaja keluar karena sebelum aku mendadak memutuskan resign, sudah ada pekerjaan baru menantiku. Ya, namanya rejeki tidak ada yang tahu. Jadi, aku memang punya dua pekerjaan yaitu bekerja di redaksi majalah anak-anak dan menjadi penulis lepas di salah satu rumah produksi yang menggarap FTV. Dan aku resmi keluar dari redaksi majalah anak-anak tersebut dan terganti dengan menjadi salah satu karyawan divisi promosi dan publikasi di salah satu galeri seni di Jakarta. Galeri ini baru buka tahun lalu, dan untuk mempromosikan galeri ini memang butuh beberapa orang lagi. Aku memang tidak tahu sama sekali soal seni murni. Meskipun aku suka dengan seni, apalagi aku memang lulusan S2 dari sekolah seni di New York, tapi setidaknya aku masih tahu dunia publikasi, terlebih aku dulunya memang bergelar S.Ikom dari Universitas Paramadina. Jadi, tidak kaget-kaget amat lah.
Aku mengetahui pekerjaan ini juga dari teman kuliah S1 ku dulu yang bisa dibilang sahabat ku sendiri yang bernama Nina. Nina ini kebetulan juga bekerja di galeri seni tersebut dan ia lah yang membantuku untuk bisa menjadi karyawan di galeri seni itu. Terimakasih, Nina.
Di hari pertama bekerja, semuanya baik-baik saja. Sebagai awalan, aku hanya diminta mengecek website galeri tersebut dan juga membalas email yang masuk. Dan sejauh ini tidak banyak email yang masuk, jadi ya bisa dibilang pekerjaanku masih dibilang oke.
Saat makan siang, aku dan Nina pergi keluar galeri dan mencari makan. Saat makan siang kami pun berbincang-bincang seperti berikut :
Yureka            : Duh pokoknya gue makasih banyak banget nih sama lu, Nin.
Nina                : Halah. Gue cuma disuruh cari orang yang bisa pegang publikasi, dan gue tahu lu bisa handle itu, dan kebetulan elu juga lagi ada masalah di kantor lama, jadi kenapa enggak.
Yureka            : Mati satu tumbuh seribu, ya?
Nina                : Nah. Eh tapi makasih juga nih Mie Ayam nya.
Yureka            : Sama-sama. Anggap aja rasa terimakasih gue ke elu.
Nina                : Kalau yang ini mati satu tumbuh seribu juga?
Yureka            : Bukan. Tapi ayamnya emang udah mati trus diolah jadi Mie Ayam
(tertawa)
Nina                : Eh btw lu masih sama Eugene?
Yureka            : Masih.
Nina                : Kenape muka lu? Ada masalah sama dia?
Yureka            : Yah, namanya juga lagi LDR. 12 jam pula. Jadi yaa gitu….
Nina            : Udah cerita aja sama gue. Yaelah. Kayak gue ama siape aje. Dulu noh waktu sama Nabil, lu juga….
Yureka            : Eh nggak usah bawa-bawa nama tuh orang ya. Tolong.
Nina            : Iyaa, sorry. Yaa, pokoknya kalo lu butuh temen curhat, udah jangan malu-malu lah, santai. Emang kenapa lu sama Eugene?
Yureka            : Gue udah dua minggu nggak contact Eugene, Nin.
Nina                : Buset. Lama amat. Berantem apa gimana?
Yureka         : Awalnya gue berantem gara-gara gue ngeluh sama kerjaan gue yang dulu itu. Trus somehow kita ribut hebat. Trus gue denger dari temen gue kalo dia… selingkuh…
Nina                : Astagfirulloh… yah. Kok bisa? Tunggu. Lu udah cari tahu gimana-gimananya?
Yureka         : Temen gue yang cari tahu. Dan katanya emang bener dia pernah ciuman sama roommate gue di apartemen dulu.
Nina                : Yang orang Mexico itu?
Yureka            : Bukan. Ada yang baru yang baru masuk beberapa minggu sebelum gue balik ke Indo. Orang Indonesia juga kebetulan dan… Chinese. Dan yang bikin gue khawatir itu karena dia Chinese. Dan yaa lu tahu lah, kalo Chinese sama Chinese yaa bisa aja…
Nina                : Eh tunggu. Jangan suudzon dulu. Seinget gue yang pernah lu Whatsapp ke gue kan karena Eugene suka sama lu dan akhirnya kalian jadian kan karena lu berdua sama-sama seiman, sama-sama muslimnya. Dan Eugene sendiri yang bilang kata lu kalo dia emang cari pasangan yang semuslim juga, iya kan?
Yureka            : (Aku hanya mengangguk)
Nina        : Dengerin gue, nih Re. Sebuta-butanya cowok dibikin sama cewek cantik, kalau kelakuannya nggak cantik, dia bakalan tetep balik ke yang hatinya cantik. Gue tahu sih banyak cowok-cowok yang cuma cari kecantikan luarnya cewek, tapi dari semua cerita-cerita lu dan gue pernah ngobrol sekali lewat video call waktu itu sama lu sama dia juga pas lu masih di NY, gue rasa Eugene orangnya beda. Dia yaa emang beda aja. Dan menurut gue dia emang nerima lu apa adanya. Dan buktinya dia duluan kan yang nembak lu. Selama lu PDKT ama dia lu juga bilang lu nggak usaha-usaha amat, dia yang datengin lu terus. Ya kan? Nah berarti emang dia yang suka sama lu dan dia konsisten kalo dia emang mau jadi the one and only-nya elu.
Yureka        : Oh My God, Nin. Lu tuh selalu bikin gue tenang, kenapa sih? Sebel tahu. (aku tersenyum lebar kembali). Makasih ya.
Nina                : Sama-sama. Tapi btw dia udah berusaha hubungin elu, atau emang kalian lagi nggak sama sekali contact-contact-an?
Yureka            : Dari minggu lalu dia nelpon tapi nggak gue angkat. Dia chat gak gue bales, cuma gue read aja. Eh gue bales sih, cuma bilang “Lagi sibuk interview di tempat kerja baru. Sorry”. Gitu.
Nina           : Ayolah. Dia pasti mau bilang sesuatu ke elu. Dan kalo dia ngomong jujur ke elu misalnya emang dia beneran ada apa-apa sama siapa yang roommate lu?
Yureka            : Namanya Jessica btw.
Nina           : Ya Jessica… pokoknya lu harus janji sama gue, jangan putus sama Eugene. Karena sebenernya gue punya feeling lu bakal berjodoh sama Eugene.
Yureka            : Serius?
Nina               : Yap. Gue tahu semua cerita cinta lu semenjak kuliah dulu. Dan gue beneran empati sih sama lu. Makanya gue seneng ketika lu akhirnya bisa nemuin Eugene, gue yang sebenernya pengen bilang terimakasih ke dia karena dia udah milih elu. I know you well, Yur.
Yureka            : Ah so sweet deh. Thank youuuu banget!

Malamnya, sepulang kerja, aku mendapatkan voice note dari Eugene. Aku tidak berharap apapun dari VN itu. Entah itu pengakuannya dia sendiri, atau apapun, aku tidak peduli. Yang penting, aku tetap ingin melanjutkan hubunganku dengan Eugene. Titik.
Ku putar VN itu dan suara Eugene terdengar. Ah, aku rindu suara itu.
“Assalamualaikum, Sayang. Kamu apa kabar? Angkat telpon aku ya. Please. Atau telpon balik. Aku tahu kamu sibuk sama kerjaan baru kamu, tapi please aku mau ngomong sebentar aja. Hmmm. Aku tahu kok kalo kamu tahu sesuatu dari Kak Anna…”
Wait, Kak Anna? Jangan-jangan…
Aku langsung melanjutkan VN itu yang sempat aku pause beberapa saat.
“Pasti kamu udah tahu kalo aku ciuman sama Jessica di suatu malam. Dan Kak Anna nyamperin aku besokannya. Tapi tanpa memberi tahu kamu. Kata Kak Anna, dia yang mau tahu duluan karena dia semacam ada rasa mewakili kamu kalau ada apa-apa sama aku disini. Dan bukan berarti kamu nggak dikasih tahu, Kak Anna cuma nggak mau kerjaan kamu terganggu karena dia juga tahu kamu abis resign dan sibuk di tempat yang baru. Dan tadinya aku mau ngasih tahu ini besok-besok, tapi aku udah nggak bisa nahan lebih lama lagi… Hmmm. Ya, aku ciuman sama Jessica. But it didn’t mean anything, Sayang, I swear! Waktu itu aku lagi ada problem di kampus. Maket aku hancur karena aku taro di kardus gitu dan gatau, somehow ada yang ngerusakin, dan mungkin yang ngerusakin itu nggak sengaja dan nggak tahu kalo di dalemnya ada maket buat bahan ngajar aku. Dan kala itu Jessica yang bantuin aku buat bikin lagi dalam satu malam. Aku sempet stress berat, tapi aku nggak bilang kamu karena takut kamu khawatir. And then she brought me to a bar and we drunk. Maaf ya sayang aku pernah bilang ke kamu kalo aku nggak mau minum bir atau alkohol lagi tapi somehow I needed it. So, aku minum, dan nggak kerasa bikin aku drunk dan Jessica bawa aku pulang dan kata Jessica aku drunk parah banget sampe di jalan juga aku kayak orang gila, dan aku pun nggak sengaja nyium dia di jalan. Ya, you know, drunk people. Dan Jessica juga ngaku dia ngambil kesempatan dan kesempitan kala itu. Dia juga balas cium aku, like very hard. But I didn’t feel anything cause I was too drunk…”
Jeda lima detik. Aku tidak mendengar apa-apa tapi VN nya masih ada sekitar lima menit lagi. Ternyata aku mendengar Eugene menangis dibalik VN itu. Kemudian suara Eugene di VN berlanjut,
“… Aku minta maaf sayang. Maaf, banget! I swear it didn’t happen anything. Like… you know… no. Big no. Aku nggak ngapa-ngapain sama dia. Beneran. We just kissed and that’s it. Nggak pernah ada dalam otak aku buat having affair sama cewek lain. Nggak ada, Yang. Sumpah! So, please call me. I do really apologize…. And believe me I’m telling you, that I still love you…”
Air mataku tumpah setumpah-tumpahnya. Aku menangis sejadi-jadinya. Ya, kalimat terakhir yang makin membuat tangisanku bertambah mengharu biru. Aku benar-benar tidak pernah mendengar Eugene semenyesal itu. Aku yakin dia benar-benar menyesal. Mumpung di Indonesia belum terlalu larut, dan di Amerika juga tidak terlalu pagi, aku memutuskan untuk menelponnya.
Setelah panggilan pertama, Eugene tidak mengangkat. Mungkin masih tidur. Panggilan kedua juga. Karena tidak sabar aku balas dengan VN juga.
“Hi Eugene. Thank you for your messages. That’s so touchy I guessed. I was upset, I really was. But… I knew you never had a thought to do that kind of thing. So, I forgive you, Sayang. And I still love you too…”
Semoga tujuh belas detik itu bisa membuat Eugene tenang sekarang.

---

Eugene. Musim Gugur 2019. Kampus Columbia University. New York. Masa Depan.
            Setelah kejadian gue mabuk parah dan hampir selingkuh sama Jessica, untungnya gue udah baikan sama Yureka. Gue sampe harus berkali-kali telpon dia, entah Video Call atau Voice Call di Whatsapp, Skype, sampai telpon normal pake data roaming, udah gue lakuin semua. Dan pas gue desperate, gue emang udah pasrah sih, nggak tahu Yureka mau maafin gue apa nggak. Yang jelas gue emang bener-bener nyesel ngelakuin itu dibelakang dia. Tapi sejujurnya gue emang masih sayang sama dia. Dan kepengen hubungan ini berlanjut sampai jenjang yang lebih serius.
Ngomong-ngomong soal serius, tadi pagi sebelum gue berangkat ke kampus buat ngisi kelas, gue nyempetin waktu buat nelpon sang kekasih tercinta kita masih ada jarak 12 jam, dan entah kenapa ada salah satu topik pembicaraan yang mengarah ke topik pernikahan. Maka terjadilah percakapan berikut ini:
Eugene          : Eh, Sayang, kamu belum cerita gimana waktu ke kondangan si Adam Wang sama Tiara waktu itu.
Yureka            : Ya, nggak gimana-gimana. Cuma liat akad, trus sah, trus lanjut ke acara resepsi, trus makan-makan, trus foto-foto, upload sana sini. Udah. Ya kayak kondangan normal aja.
Eugene            : Yakin nggak baper?
Yureka            : Yaelah. Please deh.
Eugene            : Ya kan aku cuma tanya. Siapa tahu.
Yureka            : Ya, sejujurnya sih waktu liat dia ngucap ijal qobul, sempet bergetar gitu.
Eugene            : Maksudnya?
Yureka         : Ya, kan aku pernah suka sama dia. Pernah jalan-jalan sama dia. Makan Tong Shui bareng di George Town, keliling Penang, ketemu sama dia berminggu-minggu. Mana ganteng pula kan anaknya. Ya, normal lah kalau cewek biasa kayak aku naksir sama dia…
Eugene            : (Gue terdiam. Kayaknya Yureka sengaja bikin gue cemburu)
Yureka            : But it was on the past kok. Ada di masa lalu. Hahaha…
Eugene            : Tapi sekarang?
Yureka          : Ya sama elu lah. Gimana sih. Cemburu ya? Ya, intinya, meskipun Adam Wang menjadi salah satu barisan mantan gebetan aku, yang berakhir na’as, tapi berakhir bahagia sama kamu, jadi aku ikhlas banget liatnya. Malah lega gitu waktu menyaksikan langsung kalau Adam Wang resmi jadi suaminya Tiara.
Eugene            : Syukur deh. Alhamdulillah. Eh, Sayang ngomong-ngomong soal kondangan, aku kok pengen cepet-cepet tinggal berdua sama kamu ya.
Yureka            : What? Maksudnya?
Eugene            : Ya, kita tinggal berdua. Biar kalo ada masalah, nggak usah gini, capek reconnecting terus kalau kamu nggak ada sinyal atau apalah. Capek ternyata LDR. Nikah aja yuk!
Yureka            : (terdiam)
Eugene            : Halo? Sayang? Aku nggak becanda loh ini. Sayang?
Yureka            : (tertawa kecil). Ini serius? Apa coba ulang?
Eugene         : Ya, intinya kita harus mulai mikirin, hubungan ini mau dibawa kemana. Kita nggak bisa kan gini terus. Ya karena agama kita, kultur kita, yaa kita nggak boleh terus-terusan sepuluh tahun gini terus. Ya nggak sih? Ya, kecuali kita orang Amerika, bebas, bisa tinggal bareng, tanpa mikirin biaya nikah, bikin anak sebanyak-banyaknya sesuai dengan keinginan, atau apalah.
Yureka            : (Tertawa kecil) Ya, kamu bener. Kita udah pernah bahas ini sebelumnya. Dan ya, kita harus memikirkan gimana caranya supaya kita tetep bareng tapi ya harus ikutin aturan yang ada. Isn’t it?
Eugene            : That’s right.
Yureka         : (menghela napas) Kamu pulang dulu ke Indonesia, nanti kita bahas. Gimana? Dan kalau kamu emang serius, yaa ke rumah ku dong, bawa orang tua kamu.
Eugene            : Berani. Siapa takut?
Yureka            : Tapi…. Apa kita nggak terlalu muda yaa buat ngomongin ini. Aku masih 26. Kamu 24. Kok kayaknya dalam mindset aku, umur kita tuh terlalu muda buat ambil keputusan kayak gini.
Eugene            : Ya, kita nggak ke penghulu besok juga kali, Yang. Kita masih ada waktu kok santai aja.
Yureka            : Yeah, you’re right.
Eugene            : Okay. Changing subject! Eh mau tahu sesuatu nggak?
Yureka            : Apa?
Eugene         : Aku, InsyaAllah, kalau jadi, aku bakalan di kontrak sama salah satu perusahaan interior design di…
Yureka            : Dimana? Jakarta?
Eugene            : Sayangnya masih diluar Indonesia tuh.
Yureka            : Yah. Kamu…
Eugene            : Tapi deket kok dari Indonesia. Deket banget. Kamu bisa kesana kapanpun yang kamu mau. Tanpa pake visa pula.
Yureka            : Yah luar negeri lagi. Tapi kalau tanpa visa berarti masih daerah MEA ya?
Eugene            : Coba tebak dimana?
Yureka         : Timor Leste kayaknya nggak mungkin. Malaysia? Ih nanti ketemu Adam Wang ah nggak mau.
Eugene            : Ya ampun masa nyerah. Singapore, Sayang.
Yureka            : Hah serius, Yang? Beneran?
Eugene           : Iyaa. Tapi InsyaAllah, ya. Aku belum bisa janji. Aku masih tahap berkas-berkas gitu. Ya kontraknya 1 tahun sih. Setidaknya meskipun lebih lama dari kontrak kerja ku yang sekarang, tapi kan kita bisa agak deketan dikit dibanding ini. Capek LDR 12 jam tahu.
Yureka        : Yaudah, aku akan selalu doain kamu semoga kamu bisa terpilih jadi interior designernya Singapore punya.
Eugene            : Aamiin.
Yureka          : Eh, Yang, udahan ya. Aku ngantuk. Kamu selamat kerja ya. Jangan lupa sholat. Makan, makan buah dan sayur dan olahraga.
Eugene            : Sip. Thank you, my Honey Bear. Sleep well, yah. Bye. Assalamualaikum.
Yureka            : Walaikumsalam.
            Ya gitu deh, percakapan gue sama Yureka. Dan entah mengapa, setelah gue tutup telepon dan masih santai di kantin sambil menyerutut segelas kopi sebelum masuk kelas, gue semakin berpikir untuk tetap ingin melangkahkan hubungan kami ke jenjang yang bener-bener serius. Gue tahu gue masih muda, tapi kalau emang Yureka jodoh gue, ya kenapa nggak. Ya kan?


…Sepuluh bulan kemudian

Yureka. Juni-Juli 2020. Jakarta dan Singapore. Masa Depan.
            Banyak hal yang telah terjadi dalam kurun waktu sepuluh bulan ini. Aku semakin menikmati pekerjaanku di galeri seni di bilangan Jakarta Pusat ini, masih sering menulis untuk ide-ide cerita FTV yang juga masih menjadi side job-ku, dan hubunganku dengan Eugene juga semakin lama semakin menyenangkan.
            Bicara soal hubunganku dengan Eugene, aku jadi teringat beberapa waktu lalu dan dalam beberapa kali kesempatan, aku dan Eugene membicarakan hubungan kami yang akan dibawa ke jenjang yang lebih serius. Jujur, aku masih takut membicarakan ini. Di satu sisi aku masih ingin berkarir, terlebih keinginan ku untuk berkarir di ranah internasional belum tercapai, tapi di sisi lain, aku sudah berpacaran hampir 2 tahun dengan Eugene. Tidak terasa. Tapi memang kalau dipikir-pikir, sudah waktunya juga memikirkan hal itu. Ya, mau bagaimana lagi. Tinggal aku dan Eugene yang menentukan apakah kami benar-benar siap atau tidak. Dan soal kapannya pun semua ada ditangan kita, dan juga campur tangan dari Yang Maha Kuasa.
            Soal restu kedua orang tua. Alhamdulillah-nya usahaku dan Eugene untuk saling mengenal keluarga lumayan berhasil. Berangsur-angsur, aku diterima baik oleh Tante Mia, Mamanya Eugene, yang pertama kali mempermalukan didepan semua anggota keluarga Oetomo karena aku makan mie udon terputus tidak seperti orang Korea yang makan mie atau ramen atau sejenisnya langsung dalam satu tarikan napas. Ya, namanya juga tidak tahu dan tidak terbiasa. Tapi kala itu aku rasa Mamanya Eugene sangat ilfil denganku. Tapi dengan segala daya dan upaya, aku berusaha melakukan pendekatan persuasif dengan beliau, juga Papanya serta Adiknya Eugene, Genji. Kalau Papanya untungnya tidak ada masalah, aku malah merasa sangat diterima oleh Papanya. Om Geni benar-benar pribadi yang ramah dan baik hati yang pernah aku kenal.
            Suatu hari Om Geni berkunjung ke Jakarta karena sedang ada bisnis dengan rekannya, tapi tanpa mengajak Tante Mia dan Genji. Dan malah Om Geni menyempatkan diri bertemu denganku ditengah kesibukannya dengan bisnisnya tersebut. Kala itu, Om Geni menginap di rumahnya di Tebet, ya keluarga Oetomo memang punya rumah di bilangan Tebet, dan sebelum pulang ke Tebet, ia mengajakku makan malam di salah satu restoran sushi di salah satu Mall dekat Bundaran HI, dan Om Geni yang mentraktirku! Alhamdulillah. Aku berbincang banyak disana dengan Om Geni dan awalnya aku tidak ingin mencurahkan isi hatiku pada Om Geni tentang anak sulungnya. Tapi ternyata Om Geni sendiri yang memancingku untuk bercerita.
            Intinya, aku memang sayang dengan Eugene. Aku dan Eugene sudah mulai membicarakan hubungan kami menjadi hubungan yang serius. Dan aku berkata juga pada Om Geni kalau Eugene itu memang cinta pertamaku dan mudah-mudahan cinta terakhirku. Ya, memang terdengar sok puitis, tapi ya memang kenyataannya begitu. Tapi ada satu hal yang masih mengganjal, karena latar belakang keluarga mereka sangat jauh dari kelas keluargaku. Aku dan keluargaku hanya berasal dari kalangan kelas menengah, sedangkan Eugene dan keluarga berasal dari keluarga kelas atas.
            “Ya, jadi itu Om, yang sampai saat ini masih membuat saya berpikir ulang, apakah anak Om benar-benar soulmate saya atau bukan”, ujarku pada Om Geni.
            Om Geni sempat terdiam. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh beliau saat itu. Tapi sesaat kemudian, Om Geni mengeluarkan kata-kata, “Kamu tahu tidak, Yureka? Sebenernya Om nggak boleh bilang ini ke kamu. Ini dari Eugene. Tapi Om sangat berempati dengan semua cerita kamu tadi. Dan kamu mau tahu? Eugene yang bilang sendiri ke Om kalau dia benar-benar suka sama kamu. Sayang malah. Om tahu semua mantannya dia. Mulai dari yang beda agama, oh sering kalau beda agama, karena Eugene kan dulu tak sekolahkan di sekolah untuk orang-orang Chinese waktu di Bali dulu. Ya, dan kebanyakan anak-anaknya Non-Muslim semua. Yo, ndelalahnya, kebetulannya, ada yang suka sama dia, trus dia kan dulu belom paham mana yang boleh ditemenin, mana yang boleh dipacarin. Ya, akhirnya mereka pacaran. Dan ketahuan sama orang tua mantan pacarnya itu….”
            Aku memotong pembicaraan Om Geni sesaat, “Kayaknya saya pernah diceritain om yang ini sama Eugene. Itu pacarnya pertamanya Eugene kan om? Namanya… Janice kalau nggak salah”
            “Ya, betul sekali. Nah, setelah itu putus. Trus lama dia tidak punya pacar, karena terlalu sibuk sama sekolahnya. Mamanya yang mendisiplinkan dia sampe sebegitunya sebenernya. Tapi Eugene memang anaknya sangat rajin dan tanggung jawab. Sampai dia berhasil masuk SMA Negeri favorit di Denpasar. Nah trus dia pacaran lagi. Tapi sama beda agama juga. Yang waktu SMA sama yang beragama Hindu. Ya karena di Bali toh, banyak orang Hindu…”
            “Ya, betul Om. Ya, bukan salah mereka yaa om, Namanya juga yaa kita minoritas disana. Jadi, ya gitu. Saya paham kok.”
            “Ya betul. Nah, trus lebih parah waktu di Hongkong. Nggak pacaran. Sama sekali. Tapi adaaaa aja yang deketin. Tapi ya gitu, sama Non-Muslim terus. Bule pernah, orang Ceko. Yang orang lokal Hongkong pernah. Trus kan Eugene pernah exchange di Jepang selama satu semester, dan sama orang Jepang yang namanya Michiko juga pernah deket. Tapi karena Eugene tahu kalau dia pacarin mereka ujung-ujungnya putus karna beda agama, ya mending cari sekalian sampai yang benar-benar pas. Ya tho?”
            “Ya Om”
            “Nah, jadi om menyimpulkan, ya memang bukan salah Eugene dia punya wajah China banget, oriental punya, karena memang dia ada darah China-Korea itu. Tapi ya namanya hidup ya tantangannya gitu. Om juga dulu sama Mamanya, wuisss yaa kayak kalian persis. Tapi karena yaa…. sama-sama suka, ya diperjuangkan. Dan yang nggak setuju kan nggak semua, tho? Siapa? Paling Mamanya Eugene masih setengah-setengah lah sama kamu. Dan kamu tadi cerita Mamamu juga kurang sreg sama Eugene karena dia Chinese. Padahal kalo saya ngomong langsung sama Mamamu sebenernya Om marah loh…”
            “Marah kenapa Om?”
            “Lah wong itu anak saya, dikatain Chino Chino yaa saya marah lah. Saya bapaknya. Dan yang tadi saya bilang, dia nggak salah punya wajah oriental karena Mamanya asli dari negeri Ginseng. Ya tho? Jadi Eugene pernah bilang sekali sama saya, gini, <<Pah, aku kena kutuk atau gimana ya? Kok aku selalu terjebak dengan wanita-wanita tidak seiman denganku. Karena wajahku begini?>> Ya Om bilang aja. Ya jangan gitu. Itu mukamu begitu ya Gusti Allah yang paringi. Harus bersyukur dikasih sehat selamat sama Allah. Ya, mungkin kamu harusnya bikin mereka jadi mualaf mungkin. Yaa nggak tahu ya kita. Tapi dia memang sudah geram begitu, marah begitu. Trus dia bilang sama Om <<Yaudah aku di New York nanti belajar aja yang rajin, biar cewek-cewek tahu aku ini siapa>> Gitu. Nah makanya dia terlalu fokus, sampai dia lupa cari pacar. Sampai akhirnya ketemu kamu. Tapi kalau nggak salah kalian sebenernya sudah pernah ketemu ya sebelumnya?”
            “Sudah Om. Sebenernya pertama kenal Eugene itu waktu ikut seminar. Kami satu kelompok. Tapi saya nggak suka sama Eugene waktu itu karena dia sombong, sombong banget Om…”
            “Ya mungkin itu dia kebawa serius belajar makanya terkesan jutek. Jadi dia, anu, apa namanya, bikin benteng sama cewek-cewek gitu. Tapi kan akhirnya kalian jadian. Dan Om ikut senang”
            “Makasih Om. Doain aja kita tetap langgeng.”
            “Jadi, pesan Om, pokoknya kalian berusaha dulu, kalian jangan buru-buru. Pikirkan baik-baik. Kalian masih punya banyak waktu. Nanti untuk pendekatan personal dengan Mamanya Eugene, Om yakin Mia akan menyetujui hubungan kalian. Karena Om yakin kalian memang ya cocok. Jodoh lah pokonya”
            “Aamiin. Bisa aja, Om. Makasih banyak ya, Om.”
Setelah bertemu dengan Om Geni, aku jadi semakin yakin kalau Eugene memang seseorang yang dikirim Tuhan untuk hidupku. Aku tidak tahu apakah ini benar-benar kenyataan atau hanya mimpiku saja. Bayangkan saja, siapa yang pernah menyangka aku bisa disukai oleh laki-laki tampan berwajah oriental yang baik hati dan cerdas seperti Eugene? Belum lagi ternyata dia ini anak orang kaya, yang kalau menginap di hotel sekelas JW Marriott Essex House New York saja mereka mampu. Meskipun aku tidak sama kelasnya dengan keluarga Eugene tapi dengan prestasi yang aku punya, itu yang bisa aku andalkan untuk menyamai kelas keluarga Eugene. Apapun itu aku yakin seorang Yureka dan Eugene memang berjodoh.
---

Satu bulan kemudian, aku akan segera berusia 27 tahun. Ya, jangan ditanya itu tua atau tidak, tapi apapun itu, aku bersyukur sudah banyak pencapaian yang aku dapatkan menjelang usiaku ke 27 ini. Dan untuk merayakannya, aku berencana pergi liburan ke Singapore menyusul Eugene yang sekarang kerja disana. Oya, ngomong-ngomong, selepas masa kontrak Eugene menjadi dosen tamu di Bernard College atau sekolah Arsitektur di Columbia University, ia diterima sebagai salah satu dari jajaran interior designer muda Asia Tenggara bersama dengan interior designer muda lainnya dan dikontrak selama satu tahun bekerja. Sungguh membanggakan!
Dan akupun mengambil jatah cutiku selama lima hari untuk liburan ke Singapore mulai dari tanggal 27 sampai tanggal 31 Juli. Hmm, sebenarnya ulang tahunku sudah lewat, tapi berhubung aku baru bisa mengambil cuti di tanggal tersebut dan Eugene juga mengambil cuti di salah satu tanggal tersebut akhirnya kami setuju untuk liburan bersama meskipun nantinya ada hari dimana Eugene harus tetap bekerja sedangkan aku bisa berjalan-jalan sendiri keliling Singapore. Untung Singapore itu negara kecil, jadi kalau nyasar, tinggal lihat arah laut saja dan jauhi arah laut kemudian kembali ke daerah perkotaan. Keren, ya?
Sampai di Singapore, di bandara Changi Airport, ada Eugene yang sudah siap menjemputku sedari tadi. Aku bisa melihatnya dari kejauhan. Dengan mengenakan celana bahan hitam, kemeja panjang berwarna krem, dan rompi coklat muda, plus tidak ketinggalan dengan kacamatanya yang katanya baru ia beli beberapa minggu lalu, aku akhirnya bertemu dengan kekasih hati yang sudah sepuluh bulan tidak bertemu. Karena tahu itu si Eugene tampan, aku pun sontak langsung memeluknya dan menciumnya! Oh Tuhan maafkan kami!
“Aku nggak salah orang kan?”, ujarku pada Eugene.
“Ya, nggak lah?”, jawab Eugene dengan wajah yang berseri-seri.
“Ya kan yang muka kamu disini banyak”
“Oyaa ya”
Well. I should investigate you. Who’s your name, Sir?
Hmmm Hendrick
What is your nationality?
Singaporean. No. Hong Kong. No. Taiwanese.
“Kenapa tadi bisa bahasa Indonesia?”
“Karena saya orang Indonesia. Tada”
Dan kami pun tertawa bersama. Melepas rindu yang terlalu besar hinggap di hidup kami di sepuluh bulan terakhir. Senang bisa melihat wajah tampannya lagi. Terimakasih Ya Tuhan!
Eugene oh Eugene. Aku benar-benar masih tidak menyangka kalau akhirnya kita bisa bertemu lagi. Aku pun memeluknya lagi dan yang ini semakin erat, sebagai tanda aku masih tidak menyangka bahwa kami bisa melepas rasa rindu kami seakan membayar hutang-hutang akan LDR kami. Terimakasih hubungan jarak jauh, Anda membantu kami mengingatkan akan nikmatnya bertemu melepas rindu yang mendebu-debu. Luar biasa!

---

Eugene. Tanggal-Tanggal Gajian Orang Swasta, Juli 2020. Singapore. Masa Depan.
Gue lagi ada kerjaan di Singapore. Kebetulan kontrak gue di Columbia University jadi dosen tamu udah abis, dan Alhamdulillah dapet kerjaan baru di Singapore. Ya, setidaknya gue bisa lebih deket lah jarak LDR nya sama Yureka, cuma beda 1 jam aja. Dan di akhir Juli ini Yureka mau dateng ke Singapore! Buat ngerayain ultahnya dia yang ke 27, dan sekaligus gue akan melakukan sesuatu yang bakalan paling historical yang pernah ada di hidup gue. Yap, gue bakal melamar Yureka!
Nggak banyak sih persiapan gue. Gue juga nanti cuma bakal candle light dinner di restoran gitu deket Fullerton Square, dan nanti bakalan nayangin sesuatu dan bakal kasih cincin ke dia. Cincinnya juga nggak yang mahal-mahal amat kok, karena gue tahu Yureka itu orangnya sederhana banget jadi gue bakal nge-treat dia seperti yaa apa adanya dia, dan nggak bakal maksa meskipun bisa aja gue beliin dia yang rada mahal dan agak kece dikit. But, anyway, that’s not my point, yang penting rencana ngelamar gue berhasil dan Yureka bakalan nerima lamaran gue. Doain ya!
Tepat pukul 19.00 gue dan Yureka udah sampe di salah satu restoran bernama The Lighthouse. Itu salah satu restoran candle light dinner terkece di Singapore. Gue juga udah observasi dan reservasi sebelumnya dan pokoknya banyak review yang bilang kalau tempat ini emang cocok buat kencan sama pasangan.
Karena gue udah pesen set dinner menu, jadi kita tinggal nunggu aja pelayan dateng dan kasih makanan kita. Tapi jangan khawatir, restoran ini restoran Italia dan tentunya kita berdua pasti bakalan nikmatin banget makanannya karena kami berdua emang sama-sama doyan makanan Italia.
Makan appetizer, masih oke. Suasana aman dan tenteram. Meskipun gue udah grogi dari sejak jemput Yureka di hotel di hari pertama kedatangannya dari Jakarta. Tapi gue harus tetap berusaha tenang dan nggak keliatan kalau gue mau melakukan sesuatu yang spesial malam ini. Menu entrée, gue mulai gelisah, gue lupa gue harus mengeluarkan rencana melamar gue pas abis main course atau pas dessert. Tapi nggak apa-apa, yang penting malam ini gue bisa ngelamar Yureka. Lebih cepat lebih baik.
Pas makan main course, nah ini saat yang tepat. Gue baru inget kalo Yureka paling nggak suka diganggu pas lagi makan. Karena yang mau gue lakukan berikut ini adalah gue akan kasih unjuk sebuah video di Hape dan Yureka emang paling anti pegang Hape pas makan.
“Sayang, udah masuk whatsapp aku?”, tanya gue ke Yureka sambil masih menikmati Spagetti Bolognese.
“Aku nggak tahu. Aku dari tadi nggak pegang hape lah, Sayang. Kita juga dari tadi ngobrol kan. Kenapa sih emangnya?”, tanya Yureka balik dan agak sedikit sensi.
“Nggak apa-apa, sih”, jawab gue.
“Emang itu apaan?”, tanya Yureka lagi
“Ada video gitu, bagus banget. Kamu harus nonton”
“Dari youtube. Ya nanti aku liat, ya”
Masih makan main course, tapi Yureka nggak peduli sama apa yang barusan gue tawarin. Ya, gue udah tahu sih bakalan begitu jawabnya. Tapi gue harus tetep maksa dia buat liat video itu segera.
Kemudian menu dessert-nya dateng. Semoga kali ini berhasil.
“Lihat sekarang aja, Yang, kan udah selesai main course-nya”, paksa gue kali ini harus berhasil.
“Ya ya, oke oke. Emang apaan sih? Penting banget? Bentar ya…”
Gue melirik sedikit dan Yureka berhasil mengambil handphone-nya dari tasnya. Lalu mulai ngecek isi Whatsapp dari gue. Dan… dia berhasil masuk ke link video yang gue kirim tersebut. Dan dia lagi nonton, sedangkan gue sibuk makan Tiramissu gue sambil masih nervous tapi sambil nyiapin sesuatu yang bakalan jadi peran utama malam ini, cincin tunangan dan sebuket bunga. Kalau bunga nanti bakalan ada pelayan yang dateng nganterin ke meja kita.

---

Yureka. Periode Orang Swasta Pada Gajian, Juli 2020. The Lighthouse Restaurant & Rooftop Bar. Singapore. Masa Depan.
Kenapa lagi ini si Eugene?
Aku sedang sangat menikmati makan malamku sambil ditemani lampu kota Singapore yang nggak kalah indahnya dari Jakarta, dia memaksaku untuk membuka suatu link video di Youtube dari chat Whatsapp-nya. Aku tidak berpikir apa-apa, ya, paling saja hanya video-video dari tempat kerjanya atau apalah.
Tapi yang terjadi adalah, di dalam video itu ada Kak Anna dan anak-anak Batik Day. Ya, ampun! Sedang apa mereka di dalam Youtube? Hey, keluar kalian!
Didalam video tersebut ternyata merupakan video testimonial dari anak-anak Batik Day. Seperti berikut isi penggalan kalimat mereka :
 “Eugene+Yureka di mata kalian?”
Gilang             : Dari awal aku udah menyangka kalau keduanya saling menyukai. Tapi waktu itu Yureka kelihatannya masih malu-malu gitu. Dan Eugene pun demikian. Tapi pada akhirnya jadian, tho? Hehehe.
Farida              : Yah, jujur aku dulu gimana gitu liatnya. Soalnya ya kalian tahu aku pernah naksir Kak Eugene, etapi yaa nggak mungkin lah gue juga udah punya cowok yekan, jadi gue mengikhlaskan Kak Eugene buat Kak Yure. Kak Eugene sama Kak Yure menurut gue emang pasangan yang serasi. Kayaknya kompak gitu diliatnya. Semoga langgeng yaa kalian.
Fikri                 : The most romantic couple I’ve ever seen in this earth. That’s it.
Chandra          : Yah, gue nggak tahu musti bilang apa. Nggak, nggak, maksudnya, Yureka kan udah gue anggep sohib gue banget, Eugene pun demikian, tapi yaa dengan kenyataan kalian saling mengasihi, gue rasa kalian bener-bener bisa jadi jodoh gitu. Makanya nggak salah kalau anak-anak Batik Day nyebut kalian pasangan Double Yu. Eugene-Yureka. Aseeeekk.
Dhimas            : Gue udah nebak sih dari awal, kalau ada chemistry yang kuat diantara Yureka sama Eugene. Dan dari dulu kita temenan, kalian nggak bisa bikin lingkaran pertemanan anak Batik Day jadi rusak padahal udah resmi jadian. Jadi, gue salut banget. Kalian tetep bisa menjalani kisah romantis tanpa merusak keprofesionalitasan kerja dan persahabatan kita di Batik Day. Mantap!
Farida              : Makanya, kak Eugene buruan dong nikahin Kak Yureka. Biar anak-anak Batik Day jadi Bridesmaid sama Best Man buat kalian. Biar ke kondangan bareng. Hehehe.
Kak Anna        : Gue sebagai penanggungjawab atas hubungan mereka alias gue mak comblangnya, gue cuma bisa ikut seneng kalo… gimana ya. Jadi emang gue udah sering banget nyomblangin orang, ya ada yang berhasil ada juga sih yang nggak. Nah karena dari awal gue ngeliat Eugene itu kayaknya dia emang udah demen sama Yureka duluan, akhirnya gue pancing Eugene buat cerita ini itu dan gue persuasi, dan awalnya dia males buat ngomong tapi akhirnya dia mau ngutarain ke gue kalau dia emang ada rasa sama Yureka, dan…. Yureka pun secara tidak sengaja curhat ke gue kalau dia juga suka sama Eugene. Jadi intinya gue ini jembatan antara keduanya. Dan menurut gue juga emang ini udah jalan Tuhan buat mempertemukan mereka lewat gue, dan gue bangga dan seneeeenggg banget tentunya, apalagi bisa liat kalian jadian bahkan awet sampai sejauh ini. Meskipun didera berbagai macam badai dan fenomena LDR. Pokonya Tuhan berkati jalan kalian, kalian diberi kemudahan untuk menyempurnakan perjalanan cinta kalian, dan pokoknya Good luck! I love you guys! Muach!
            To Yureka…
Eugene          : Yureka Bhanuresmi Cendekia. Wanita yang menyadarkan gue bahwa nggak selamanya gue boleh berkutat dengan buku dan kampus, tapi ada manusia ciptaan Allah yang harus dikasihi dan disayangi dan berbagi rasa dan berbagi kebahagiaan tentunya. Intinya, karena kamu, aku jadi lebih down to earth, aku lebih bisa ngilangin rasa maluku didepan orang lain, dan yang terpenting aku belajar banyak dari kamu, belajar berkomunikasi dengan orang banyak dan juga belajar untuk tetap optimis menghadapi segala kenyataan dalam hidup. Aku nggak tahu langkah apa yang harus aku ambil setelah ini, tapi aku tetap akan (tersenyum lebar), sayang kamu, mencintai kamu, menerima kamu apa adanya, dan aku selalu berharap kamu ngelakuin itu juga ke aku….
Tiba-tiba videonya terputus. Entah memang hanya itu atau bagaimana. Yang jelas selama menonton videonya aku berkaca-kaca bahkan air mataku mulai tumpah ruah tepat ketika testimonial dari Kak Anna. Dan saat sibuk menghapus air mataku, didepanku, Eugene sudah menengadahkan tangannya ke arah ku dengan sebuah kotak diatas telapaknya, lalu membuka isi kotak yang ternyata sesuai dugaanku itu adalah sebuah cincin, dan kemudian berkata,
“Makasih ya Sayang, udah nyempetin nonton video tadi. So, actually this is my proposal….” Ungkap Eugene dengan masih dengan sekotak cincin ditelapak tangannya.
Eugene berdeham dan melanjutkan perkataannya, “Yureka Bhanuresmi Cendekia, kamu mau nggak menikahiku? Jadi istriku, jadi Ibunya anak-anak aku. Dan tinggal bareng secara halal sama aku. Kamu mau?”
Aku lemas tak berdaya. Bibirku bergetar. Ini seperti yang aku rasakan ketika 30 Oktober 2018 silam Eugene memintaku menjadi pacarnya. Tapi ini rasanya lebih bergetar lagi.
Aku belum menjawab karena aku belum sanggup berkata-kata. Tapi di depanku, Eugene, masih dengan kotak berisi cincin, entah itu jenis perhiasan apa aku tidak peduli, dan ternyata Eugene juga sudah menyembunyikan sebuket bunga dibelakang punggungnya. Kemudian bertanya lagi sambil mengeluarkan buket bunga itu,
Will you marry me?
Aku belum bisa menjawab. Lidahku makin membeku. Air mataku tetap mengucur dengan indahnya. Rasanya campur aduk. Aku menghela napas. Menghapus air mataku yang masih bertumpahan ke pipi.
Tapi tunggu dulu…
Apakah aku siap dengan semua ini?

- BERSAMBUNG -


=====================================================================


Episode 10 : “The Double Yu”



Yureka. Malam Lamaran. 2020. Singapore. Masa Depan.
Lidahku membeku. Mataku terbelalak. Telingaku berdenging. Nyeri. Semua terjadi tepat saat Eugene mengatakan “Will you marry me?
Ya Tuhan ini apa?
Aku bermimpi atau apa?
Aku pikir semua ini hanya terjadi di film-film drama yang aku sering tonton saja.
Ini sungguhan kan?

Holy moly. Ehmmm. Sebelum aku kasih jawaban ke kamu, kamu taro dulu deh mending cincin sama bunganya”. Akhirnya telah terjadi satu kalimat lengkap dengan anak kalimatnya yang baru saja keluar dari bibirku yang tadinya kelu tidak bisa digerakkan.
“Loh kenapa, Sayang?” respon Eugene keheranan.
I thank to you that you’ve done this… but… you should know something…”, lanjutku membuat Eugene agak panik. Aku bisa melihat itu dari reaksinya. Mungkin ia mengira aku akan menolak lamaran. Belum tahu saja.
Dan keheningan terjadi selama lima detik.
Eugene… Thank you for coming to my life. Mungkin kamu udah tahu ini tapi, intinya aku dulu sempet desperate banget kalau aku nggak pernah ketemu a person called <<a boyfriend>>. However, you came. You did. Ribuan kali dalam penolakan. Ribuan kali kegagalan. Tapi bener memang, kalau mau sukses, harus gagal dulu berkali-kali. But then, it’s gonna be worthed. Dan aku harap, that something worthed is you…
Ku lihat Eugene hanya tersenyum. Air mataku sudah tumpah.
Adam Wang? No hope. Padahal udah kepedean setengah mati. Nabil? Aku udah ikhlas dua tahun tanpa kepastian. Atau cowok-cowok lain yang menjauh dari aku tanpa sebab. I know I am not beautiful as other girls. I am not skinny. I am not glamorous. Itu kata Andrea Sachs di The Devil Wears Prada sih…”
Ku lihat Eugene hanya melempar tawa kecilnya. Tapi air mataku makin tumpah.
Everyone said I should put make up on. I should lose some weights. But somehow, I don’t care. I do always believe that somebody will accept me as the way I am. And I think that somebody is you…
Ku lihat Eugene masih tetap mendengarku dengan baik dengan hiasan senyum istimewa di wajahnya.
So… Parama Eugene Oetomo. I will. I will marry you for the rest of my life
Really?” Eugene terkejut. Padahal jawabannya diiyakan, tapi mengapa tetap terkejut. Aneh ya.
Yes”, jawabku memastikan.
You accept my proposal?
Of course
Oh My God!
Aku langsung menghapus air mataku dan Eugene menyematkan cincin yang sempat ia letakkan di atas meja kami ke jari manisku dan kemudian memelukku dengan erat.
Everybody, we’re engaged! Engaged!” teriak Eugene pada seisi restoran.
Astaga. Aku malu sebenarnya. Tapi seluruh pengunjung restoran bertepuk tangan dan menyoraki kami. Aku bahkan mati rasa. Tidak tahu karena terlalu tidak percaya karena ini bukan seperti sungguhan.
----

Beberapa hari setelah malam lamaran di Singapore, aku kembali ke Jakarta. Eugene tetap stay di Singapore. Tapi satu bulan kemudian, Eugene membawa keluarganya dari Bali ke rumahku dan menemui orang tuaku. Ya, meskipun kami sudah bertunangan ala ala film-film romance, tapi sebagai orang Indonesia dengan beragam kulturnya, kami juga melalukan upacara pertunangan yang benar-benar official. Dengan menggunakan batik bermotif keraton bernuansa putih-coklat serta celana panjang hitam, juga sepatu pantofel yang sepertinya mahal harganya, Eugene resmi melamarku. Aku yang kala itu menggunakan kebaya berwarna hitam dengan sedikit sentuhan warna gold dan rok batik bermotif Pring Sedapur, tidak bisa melepaskan senyuman dari bibirku di hari itu. Lamaran saja sudah membuat bahagia bukan main, apalagi saat menikah nanti. Dan saat prosesi lamaran itu, aku masih sering menyadarkan diriku bahwa semua ini benar-benar kenyataan, bukan lagi khalayan belaka. Aku benar-benar bersyukur. Aku bisa sampai di tahap ini. Terimakasih Ya Tuhan!
Dengan kesepakatan bersama antara pihak keluarga Eugene dan keluargaku, dipilihlah tanggal di akhir Januari 2021 sebagai hari pernikahan kami nanti. Terkesan sangat cepat dan mendadak memang, mengingat jarak antara prosesi lamaran dengan menikah nanti hanya 5 bulan saja. Awalnya Ibu dan Ayahku tidak setuju karena terlalu dekat waktunya, tapi Papa dan Mamanya Eugene akan menjamin kalau lima bulan adalah waktu yang cukup untuk mempersiapkan semuanya. Alasannya karena lebih baik dilangsungkan sebelum perayaan hari raya Imlek. Alasan kedua karena Eugene setelah satu tahun kontrak akan memperpanjang kontrak kerjanya di Singapore dengan mengambil cuti sabbatical selama tiga bulan diantaranya. Lagipula memang lebih cepat lebih baik kan?
Suatu malam saat aku dan Eugene sedang rapat membahas acara pernikahan kami, aku sempat curhat ke Eugene soal kegugupanku yang akan mengalami semua proses ini, khususnya akan menikahi lelaki keturunan Tionghoa campuran negeri Ginseng seperti dirinya.
“Jadi, bridesmaid kamu fix ya, Nina, Ine, Kak Anna, sama Farida. Dan aku fix yaa, bestman ku, Kevin, Ha-joon, Gilang, sama Dhimas”, terang Eugene sambil melihat ke arah catatannya.
“Sip. Kevin itu sahabat kamu waktu kuliah di Hongkong kan?”, tanyaku penasaran.
“Yap”
“Kalo Ha-joon adeknya Eunha?”
That’s right.
“Eh bukannya kamu juga punya sahabat waktu di Jepang dulu? Yang keturunan Jepang-Rusia itu?” tanyaku lagi sudah seperti anak SD
“Si Akiyoshi? Iyaa dia sahabatku juga”
“Mau diundang juga?”
“Iya harusnya sih tapi aku terakhir chat dia, dia udah stay di Rusia udah lama. Jadi nggak tahu bisa dateng kesini apa nggak. Ikutan militer gitu katanya”
Tiba-tiba Eugene mendapat pesan Whatsapp dari Mamanya dan berkata kepadaku, “Oh ya, aku sampe lupa bilang ke kamu, Yang”
“Apa?”
“Mama udah booking guru les bahasa Korea buat kamu”. Keterangan Eugene membuatku hampir tersedak teh hijau tanpa gula yang agak panas saat meneguknya.
 “Apa? Les bahasa Korea?”
“Iyaa. Ah aku juga lupa banget mau bilang ke kamu, Sayang. Jadi, pas Wedding besok, semua anggota keluarga Kang, alias keluarga intinya Mamaku akan dateng ke Jakarta. Dan Mama juga ngasih ide buat ngadain upacara resepsi di Incheon juga. Jadi dua kali Wedding kita. Ehm nope, tiga jadinya. Jakarta, Bali, sama Incheon. Jadi, akan lebih baik kalau kamu juga belajar bahasa Korea, nyicil-nyicil dari sekarang. Kan masih banyak waktu”, jelas Eugene panjang lebar.
Aku terdiam terpaku. Angin Taifun! Rasa gugup makin mencuat karena aku diminta mempelajari bahasa Lee Minho itu. Aku nonton drama Korea saja tidak pernah. Ya, pernah sih, satu dua kali, tapi aku bukan penggemar KPop garis keras yang biasanya sudah fasih bahasa Korea diluar kepala.
“Sayang? Are you alright? Ehm, tenang kok Mamaku yang cover semuanya”. Eugene membangunkan aku dari lamunanku.
“Bukan soal itu, Sayang. Tapi. Emm. Sorry. Aku cuma surprise aja. Aku beneran bakalan belajar bahasa Korea?”, tanyaku lebih memastikan.
“Ya mau kan? Tenang aja. Guru les ini pasti cocok sama kamu. Soalnya dia udah jadi guru privat langganan orang-orang Korea yang ada di Jakarta. Mama juga udah kenal banget sama orang ini. Dan kalau kamu udah siap, kamu bisa mulai lesnya minggu ini. Atau minggu depan. Ya?”
“Hmm. Oke. Aku pasti bisa”, aku hanya meringis dan meneguk sisa teh panasku yang sudah tidak terlalu panas langsung ke dalam tenggorokanku.
Keesokan harinya, setelah pulang kerja, Eugene mendadak memintaku untuk menemani dirinya dan calon Mama Mertuaku ke salah satu toko retail perabotan rumah tangga terbesar di daerah Tangerang. Tidak ada alasan khusus atau acara khusus, tapi katanya hanya ingin kesana saja, siapa tahu ada yang bisa dibeli untuk menambahi koleksi barang dirumah. Setahuku rumahnya Eugene kan di Bali. Eh lupa, dia juga punya yang di Tebet. Ya, mungkin untuk rumah yang di Tebet.
Ngomong-ngomong, ini yang masih tidak aku suka dengan Eugene, acara dadakan yang sangat ia sukai yang sepertinya tidak akan pernah hilang dari daftar kebiasaan buruknya. Kalau hanya aku dan Eugene saja yang berjalan-jalan berdua, aku tidak masalah, meskipun bau kecut sepulang kerja, Eugene pasti bakalan cuek. Nah ini, ia mengajak serta Ibu tercintanya dan aku khawatir bau kecut sepulang kerjaku menempel indah dan kecium hingga ke hidung beliau. Maka, sebelum bertemu sang calon Mertua tercinta, aku langsung membersihkan diri semaksimal dengan wangi-wangian yang paling semerbak seperti cologne gel yang aku simpan di dalam tasku.
Sesampainya di toko retail besar itu, aku bertemu Mamanya Eugene. Kami pun berbincang sedikit. Ya, sepertinya Mamanya Eugene masih butuh penyesuaian denganku. Ia belum mau bicara banyak denganku. Tapi pertanyaan besar, kenapa kalau ia masih tidak suka denganku, mengapa ia mau dan rela menghabiskan uangnya untuk membiayai ku les Bahasa Korea? Berarti kan ia sudah mulai menerima ku sebagai calon menantunya. Atau ia hanya terpaksa?
Sambil melihat-lihat isi toko retail, kebetulan posisi berjalan kami adalah Eugene dan Mamanya di depan, sedangkan aku dibelakang mereka. Serasa seperti majikan dan pembantu kalau seperti itu.
Sepanjang berjalan mengitari toko retail yang besarnya hampir seperti stadion bola itu, aku mendengar Eugene dan Mamanya berbincang menggunakan bahasa Korea. Jangankan menguping, mendengar satu kata saja aku tidak mengerti. Tapi aku jadi berpikir, yang mana  membuatku jadi kurang percaya diri alias minder untuk menikahi anak sulung Tante Mia, dan menimbulkan pertanyaan, apakah aku cocok jika aku akan menjadi salah satu anggota keluarga Oetomo? Warna kulit, jelas berbeda. Mereka putih seperti bihun rebus. Aku? Sawo yang matang saja masih lebih bagus dari kulitku. Yang lebih membuatku minder, adalah ketika sekelilingku juga sama Chinesenya dengan Eugene dan Mamanya. Ya, Jakarta Raya memang makin kesini makin banyak punya warga yang oriental seperti keluarganya Eugene. Nah kan aku jadi makin seperti pembantu dan dua Ibu-Anak itu seperti majikanku. Ya Tuhan, ada apa dengan hidupku? Mau Kau apakan nasibku Ya Tuhan? Tolong!
“Yureka, nanti kamu bantu Tante cari tanaman dan pot yang bagus yaa?”, celetuk Tante Mia.
Sesaat aku membeku. Tidak salah dengarkah aku? Baru saja Mamanya Eugene mengajakku berbicara?
“Ehmm… Ya, Tante. Nanti aku bantuin”, jawabku sambil tidak bisa menahan senyum.
Sebelum ke bagian tanaman, kami bertiga melewati bagian perabotan dalam rumah seperti lampu-lampu, hiasan ruang tamu, dan juga kasur beserta kawan-kawannya. Melihat perabotan seperti ini aku jadi tidak sabar ingin menikahi Eugene. Pasti menyenangkan kalau nanti beli perabotan rumah tangga baru bersamanya. Memilih-memilih barang-barang unik, mungkin sedikit bertengkar karena mungkin selera kami agak berbeda, terlebih Eugene kan seorang interior designer, pasti seleranya lebih tinggi dariku.
“Aku ada telpon. Sebentar ya”, ujar Eugene mengangkat telpon entah dari siapa.
“Pasti itu dari tempat kerjanya. Orang Singapore tidak bisa menghargai hari libur atau bagaimana? Sudah tahu Eugene ijin cuti beberapa minggu tapi masih juga ditelpon”. Tante Mia emosi.
“Mungkin telpon urgent atau penting, Tante”, jawabku netral.
“Ah coba lihat ini. Lucu ya?”, tanya Tante Mia menunjuk ke arah bantal berwarna merah.
“Iyaa bagus, Tante. Tante suka warna merah, ya?”, tanyaku basa-basi menggali informasi dan mencoba mencairkan suasana.
“Ya, saya suka sekali warna merah. Warna ungu juga sih.”
“Sama dong tante. Saya juga suka warna merah. Tapi kalau ungu nggak sih. By the way, ini cocok kalau dipake untuk ruang tamu. Kalopun sofa tante dirumah warnanya lain, kayak warna crème atau warna muda lainnya, nah ini masih masuk tante. Soalnya ada corak-coraknyanya dan warna merahnya nggak terlalu merah banget. Jadi cocok. Elegan.”
“Boleh juga.”
Duh, apa aku terlalu banyak bicara? Ekspresi Tante Mia begitu aneh setelah ku beri komentar tentang bantal berwarna merah itu. Jadi, Yureka, sebaiknya tutup mulut mu sekarang!
Di bagian tanaman, aku dan Tante mulai mencari yang beliau butuhkan. Kali ini aku akan berusaha untuk tidak mengeluarkan satu kata demi menjaga reputasiku.
“Kalau ruang tamu yang minimalis, kira-kira ini cocok tidak ya? Ini sih mau Tante taruh di ruang tamu rumah di Tebet. Dan ruang tamunya nggak terlalu besar.”
Ku ingin bicara tapi aku takut Tante Mia akan ilfil lagi denganku. Tapi mulutku gatal ingin berkata sesuatu. Duh, serba salah sekali. Apa yang harus aku lakukan?
“Yureka?” Tante Mia membangunkan ku dari keraguanku.
“Hmmm. Oh maaf, Tante. Kalau ruang tamunya kecil… bisa pake yang tinggi kayak gini, Tante. Yang daunnya tinggi”, jawabku singkat, padat dan jelas.
“Kenapa?”
“Saya bukan interior designer kayak Eugene sih, Tante. Tapi kayaknya kalau pake yang daunnya tinggi, ruang tamu yang ukurannya minimalis bisa kelihatan lebih keisi. Dan harus pake pot yang ramping kayak… sebentar… nah ini. Ini cocok kayaknya, Tante. Jadi nggak makan tempat juga ruang tamunya. Dan ini kan tinggi keatas, jadi pokoknya keliatan lebih full gitu, Tante. Walaupun ukurannya kurang besar.”
“Selera kamu bagus juga. Oke, Tante ambil yang ini.”
Apa? Seleraku bagus? Jujur tadi itu hanya mengarang. Maksudnya untuk memilih tanaman tentu aku pikir dengan akal logika, tapi alasan yang minimalis dan kawan-kawannya itu, aku hanya mengarang bebas. Tapi melihat Tante Mia sedikit tersenyum dengan pilihanku tadi, aku jadi lega. Entah mengapa rasa minder yang menghantuiku beberapa jam lalu, terkikis sedikit demi sedikit dengan kecerdasan yang ku miliki. Ternyata nikmat ya jadi orang pintar. Indonesia tidak akan menyesal telah memberangkatkanku ke Amerika dua tahun lalu. Terimakasih, Indonesia!
Ditengah-tengah perbincangan dengan Tante Mia, lagu “May It Be” milik Enya diputar cukup keras oleh manajemen toko retail rumah tangga itu. Lagu itu kan sangat jarang orang tahu. Kupikir toko retail sekelas dunia macam ini akan memutarkan lagu-lagu hits semacam Adele atau genre musik disko milik David Guetta.
“Ih lagu favorit gue”, sontakku tanpa sadar.
“Kamu tahu Enya?” tanya Tante Mia penasaran.
“Lumayan tahu, Tante. Lagu-lagunya Enya bikin lullaby gitu”
“Kamu tahu darimana? Kan nggak banyak orang tahu?”
“Gara-gara apa yaa. Oh, gara-gara saya terinspirasi dari tugas saya waktu kuliah S1 dulu, Tante. Jadi lagi bahas politik di negara-negara Eropa dan salah satunya bahas negara Irlandia. Dan saya jadi kepingin liburan kesana suatu hari nanti. Trus saya searching-searching penyanyi yang terkenal di Irlandia. Ternyata Enya salah satunya. Dan ternyata lagu-lagunya enak-enak semua”
“Oyaa? Kamu suka lagu dia yang mana lagi?”
Storm In Africa
“Wah itu sejuk sekali”
“Kalau Tante? Suka yang mana?”
“Tante lebih suka yang… Book of Days
“Wah itu saya juga suka”
Tidak kusangka, mencuri hati seorang Kang Mi-sook Ajumma ternyata hanya dengan membahas lagu-lagu yang disukainya. Kalau begini aku jadi optimis untuk tetap bisa berjodoh dengan anaknya yang tampan itu. Aku jadi tersenyum-senyum sendiri. Aku bahagia!
----
Menjadi calon istri seorang anak keturunan Chinese-Korea-Indonesia memanglah tidak mudah. Aku memang sudah berhasil mencuri hatinya Tante Mia minggu lalu. Tapi tidak sampai disitu. Minggu ini adalah minggu pertama aku les bahasa Korea secara privat. Gurunya sendiri sudah di’booking’ oleh Tante Mia karena katanya guru ini adalah langganan guru bahasa Indonesia orang Korea yang bekerja di Indonesia khususnya di kota Jakarta. Dan setelah aku kulik, rupanya guru yang berjenis kelamin perempuan ini memang sudah cukup terkenal di kalangan Instagram. Dan rupanya sudah lama pula aku mem-follow akunnya. Aku juga lupa mengapa aku follow dia di Instagram. Lalu, alasan apa aku follow dia di Instagram sejak lama? Dan untuk apa pula? Apa jangan-jangan ini adalah petunjuk sebagai sebuah takdir yang telah digariskan Tuhan kepada aku dan Eugene?
Masih membahas soal les bahasa Koreaku. Belajar bahasa Korea memang membuat sakit kepala sebelah. Padahal kalau aku nonton reality show Korea kedengarannya tidak sesulit itu. Tapi rupanya itu memang sulit. Belum lagi aku juga harus belajar huruf Hangul. Untungnya tidak serumit huruf Mandarin dan untungnya aku tidak diminta Tante Mia belajar bahasa Mandarin juga. Eh tunggu, siapa tahu benar. Neneknya Eugene alias Popo kan orang China. Jangan-jangan setelah sesi les bahasa Korea ini selesai, aku harus belajar bahasa Mandarin untuk menyetarakan diri dengan keluarganya yang campuran itu. Oh tidak!
Sepulang les bahasa Korea yang dilakukan di salah satu kafe di suatu gedung perkantoran, aku bertemu dengan tunangan tercinta. Kami bertemu untuk membahas tamu-tamu yang akan kami undang, serta membahas detail pernikahan lainnya yang belum sempat dibahas. Mumpung Eugene masih dapat cuti dan baru kembali ke Singapore minggu depan.
“Gimana tadi lesnya?”, tanya Eugene yang saat itu menggunakan kaos putih lengan pendek dan celana pendek berwarna coklat muda.
“Curang”, jawabku cemberut sambil menyeruput es Green Tea Latte.
“Ih curang apanya?”
“Kamu yang anak mix korea, aku yang belajar huruf Hangul. Kan kamu nggak bisa baca huruf Hangul, yakan? Huh!”
“Alhamdulillah. Aku terbebas dari paksaan Mama. Soalnya dari dulu emang nggak diajarin huruf Hangul, dan baru disuruh akhir-akhir ini. Ya, aku nggak mau lah. Buat apa juga?”
“Iyaa jadinya aku yang belajar. Curang kan namanya”
“Nggak apa-apa lah. Hitung-hitung nambah ilmu. Eh daripada kamu suruh belajar bahasa Mandarin juga hayo”
“Ehh enggak deh makasih. Cukup bahasa Korea aja ya, Sayang. Yang lainnya, waiting list aja.”
“Ayo, let’s talk about our wedding
Oooh, our wedding
“Untuk jumlah tamu undangan, setelah aku hitung, dari aku, aku punya… 900an undangan”
“Ih banyak amat. Katanya nggak sampe segitu. Lagian temen kamu paling berapa sih? Nggak banyak kan?”, aku mulai sensi dengan yang dikatakan Eugene.
“Ya, you know Mama sama Papa rekan bisnisnya ada berapa. Temen-temenku sih Cuma… ehmm berapa nih. Yaa nggak ada 100 malah. Tapi sisanya sodara-sodara sama rekan bisnis Papa-Mama semua. Kalau kamu emang berapa?”
“Aku cuma 600an gitu. Itu all include saudara, kerabat Ibu-Ayah, sama temen-temenku. Udah.”
Then, what are you freaking for? Cuma 1500 orang. That doesn’t matter, right?
What? Eugene, are you insane? Can we afford a wedding with 1500 guests? Belum lagi barusan kita bakalan ngadain resepsi juga di Bali sama di Korea juga. Are you really sure kalau kita sanggup bayar semua ini?”
Ah for that. Huum. I have actually news for you, from my mom. Do you want to listen to this carefully?
Okay. Go ahead
I don’t know how to explain but she said that because I am the eldest son, and I am the first one who get married, so she can afford for whole these. So…
Hold hold hold… She? What? She? Your mom? Afford this? Our wedding? Eugene, I don’t understand…” emosiku makin bertambah. Untungnya Eugene bisa menenangkan.
Listen, Honey. Dia bilang, dia punya banyak rekan bisnis dan dia nggak mau ngecewain mereka dengan cuma wedding yang gitu-gitu aja. So, dia memutuskan, well both Papa too. That they will treat our wedding. Katanya anggap aja itu hadiah buat kita. Mama juga bilang, dia pengen nyenengin aku karena aku udah mau jadi anaknya yang paling baik, nurut, disiplin, dan rajin versi dia. Dengan segala kesuksesan yang sejauh ini aku dapet, well I am not that succesfull yet, but she consider that I am that one. So, she is so proud of me actually. Dan soal fix-nya resepsi di Korea, nggak semua anggota keluargaku bakal dateng dari Korea ke Jakarta besok Januari, cuma sebagian aja, jadi akan lebih indah kalau kita ngadain juga disana. Kalau yang di Bali kan emang lebih privat aja, ya kan? Jadi, sebagai hadiah buat kita, Mama-Papa will treat us, treat our wedding expenses. 80% of it
Emosiku mereda. Meskipun masih mengganjal.
Just relax. Okay?” kata-kata Eugene benar-benar sangat menenangkanku dan memenangkanku dari emosiku sendiri.
Okay, meskipun perjanjian awal 50-50, tapi… Yes, I’ll take it. Tapi aku nggak bisa gitu aja dong. I need to do something for her. Ya, kan?”, tanyaku memastikan.
“Just be a good daughter-in-law for her. And make your Korean lesson good as well. Pasti dia akan senang”. Jelas Eugene sambil mengangkat wajahku dan menyampingkan rambutku ke telingaku.
Yap, Eugene lagi-lagi berhasil membuatku tenang dan juga tersenyum.
“Tapi, Sayang… Apa kata orang nanti kalau misal mereka tahu semua ini dibayarin sama Mama-Papa kamu? Nanti mereka kira aku cewek materialistis lagi”, ujarku lagi masih emosi bernada menyalahkan.
“Ya nggak usah dengerin kata orang. Simple kan? Sayang, kita tuh pernah tinggal di Amerika 2 tahun, nggak pernah ada budaya kepoin biaya nikahan orang kan? Emang kamu tanya sama Cassandra berapa biaya tunangan sama nikahnya waktu itu? Nggak kan?”, respon Eugene yang memang selalu menenangkan.
“Yaa sih. Dia malah lebih mewah lagi. Anak businessman Meksiko sih. Yaa, nggak heran. Thank you yaa, Sayang”, jawabku menghela napas dan mulai tenang juga lega
Say thank you-nya sama Papa-Mamaku lah. Jangan ke aku. Aku juga bilang makasih kok sama mereka. I don’t have that much money, Sayang. Pegawai kontrak kayak aku bayar uang apartemen bulanan aja masih Alhamdulillah”, lanjut Eugene sambil mencubit hidungku.
Aku hanya bisa membalas dengan senyuman.
“Makan yuk. Laper!”, ujar Eugene sambil merapihkan sampah-sampah diatas meja yang siap dibuang ke tempat sampah.
“Yuk! Aku yang traktir! Please! Kan kamu udah traktir wedding kita. Gantian. Yaa, aku cuma sanggup bayarin kamu makan sih. Tapi kamu boleh pilih makan apa aja yang kamu mau”, seruku padanya.
“Bener yaa? Yaudah. Aku lagi kepengen kwetiau goreng yang ada di belakang situ”, ujar Eugene sambil menunjuk ke arah kaki lima persis di belakang gedung perkantoran ini.
“Yakin? Nggak mau sushi kayak biasanya? Atau Italian Restaurant gitu?”, tanyaku
Nope. Mending uangnya disimpen, ditabung buat biaya honey moon kita. Nah kalau yang itu nggak dibayarin sama Papa-Mama soalnya”, balas Eugene diakhiri tertawa.
“Oke. Yuk. Kwetiau goreng. Gaja!”. Aku menarik tangannya dan keluar dari kafe tersebut.
Ternyata tarikan tanganku dengan meraih tangan Eugene dibalas baik dengannya dan menjadi sebuah genggaman tangan yang sangat erat. Menuju ke kaki lima tersebut, aku pun melanjutkan percakapan dengannya.
“Sayang, can I ask you some questions?”, tanyaku pada Eugene agak malu.
Sure”, jawabnya masih menggenggam tanganku.
How rich are you? I mean your parents?
What?
Sorry, Eugene. But I need to know about this. Soon or late, you are a part of my family and I am being a part of your family as well. So, I need some other information about your family. And I swear I won’t tell anybody about this. Cause I love you from who you are, not your wealth, I mean your parents’ wealth. Because I knew that you bought your iPhone from Columbia Student Loan Money. And I knew how much money did you have in New York. You so broke, didn’t you?
Eugene hanya tertawa kecil.
Setelah itu Eugene menceritakan rahasia terbesar dalam hidupnya yang tidak pernah diceritakan kepadaku; tentang kekayaan orang tuanya. Untuk orang yang masih punya rasa kemanusiaan dan akal budi yang baik, maka pasti tidak akan pernah menceritakan seberapa kaya mereka. Tapi karena sebentar lagi aku akan menikahi Eugene, maka akan sangat lebih baik kalau aku tahu semua bisnis yang dimiliki keluarganya supaya aku bisa mengira-mengira uang yang mereka peroleh untuk membiayai pernikahanku dengan Eugene pada akhir Januari mendatang.
Dengan seksama aku mendengarkan cerita Eugene. Secara singkat, keluarga Eugene punya beberapa bisnis yang dimiliki sejak kurang lebih 20 tahun terakhir. Mulai dari toko obat milik Kakeknya yang tetap berdiri hingga saat ini yang terletak di daerah Glodok, Jakarta Barat. Juga usaha yang sangat menjadi matapencaharian utama bagi keluarga Oetomo yaitu bisnis rental mobil di Bali yang sudah ada lima cabang jumlahnya. Belum lagi toko bahan bangunan alias material di beberapa tempat di Jakarta, Bogor, dan Surabaya. Atau toko listrik yang sejak Eugene SMP sudah ada dan masih dipertahankan sampai saat ini. Dan dulu katanya Mama Eugene punya toko souvenir tapi sudah dipindahtangankan ke pihak lain karena terlalu sibuk mengurus usaha lainnya yaitu sebuah hostel backpacker di Bali. Nah, sudah kuduga hostel lah yang menjadi pasokan utama dimana mereka mendapat uang sangat banyak. Dan katanya akan membuat cabang di Yogyakarta. Dilanjut Eugene bahwa Papanya juga investasi di beberapa sektor seperti properti dan saham. Belum sampai disitu, keluarga Tante Mia alias Mamanya Eugene juga ternyata punya bisnis keluarga yaitu klinik operasi plastik yang cukup profesional dan terkenal di Korea. Oh ya, belum lagi usaha klinik obat-obatan herbal di beberapa kota di Korea dan di China juga miliki keluarga besar Kang. Benar-benar mengerikan punya calon keluarga yang setajir mereka. Semoga aku sanggup menghadapi ini semua.
“Aku fix deh kayak Rachel Chu di Crazy Rich Asians”, kataku sambil menunggu pesanan kwetiau goreng yang sudah kami pesan beberapa menit yang lalu.
“Siapa tuh?”, tanya Eugene terlihat sangat naif.
“Ah yaa lupa. Kamu kan nggak pernah nonton film. Itu film tahun 2018 yang terkenal banget. Tentang seorang wanita biasa yang memacari seorang kaya raya. Tapi cowoknya nggak pernah bilang kalau dia kaya raya”, jawabku panjang lebar.
“Kenapa?”
“Yaa, karena buat apa dikasih tahu. Kan mencintai apa adanya. Bukan ada apanya”
“Sama dong. Kamu nggak pernah aku kasih tahu yang tadi karena aku pengen jadi orang biasa. Biar yang punya uang Papa-Mamaku aja karena itu usaha mereka. I don’t deserve that money anyway. Dan aku nerima kamu apa adanya, bukan ada apanya. Kamu juga kan?”
Ofcourse…
“Jadi Rachel Chu itu siapa?”
“Hahaha masih dibahas. Eh tapi ada kesamaan loh antara aku dan dia”
“Apa?”
“Kita sama-sama almamater NYU. Soalnya di film itu ceritanya dia professor NYU. Kan aku juga anak NYU”
“Trus pacarnya yang kata kamu kaya raya itu?”
“Siapa ya namanya? Nick siapa gitu. Jadi, dia anak pebisnis tajir melintirnya Singapore. Trus dia tinggal di New York. Pura-pura jadi orang biasa dan dia jatuh cinta kepada gadis bernama Rachel Chu tadi. Trus ternyata Rachel baru tahu kalau Nicknya tajir pas mereka otw ke Singapore dari New York naik first class gitu. Tapi besok kita ke Korea nggak naik first class kan? Kalau iyaa aku kayaknya pingsan deh”
“Ehmmm. Apa ya? Let me surprise you”, Eugene menatapku dengan dalam namun penuh kharisma.
“Oh okay, feeling-ku nggak enak nih. Yeaah, kwetiau nya datang! Selamat makan!”, seruku saat melihat pesanan kwetiau goreng yang kami pesan sampai di meja dengan selamat.
“Selamat makan. Bismillah”
Percakapan yang awalnya santai lalu berubah sekejap menjadi pertengkaran sekelas adu ayam kampung yang kemudian menjadi damai layaknya pasukan Jerman yang mengalah pada sekutu, sampai berakhir di meja kwetiau goreng, menutup pertemuanku sore itu dengan Eugene sebelum ia kembali ke Singapore dan melanjutkan pekerjaannya disana.
----
Rintangan memang selalu ada. Apalagi kalau masalah urusan mempersiapkan pernikahan. Dalam empat bulan terakhir, ada-ada saja masalahnya. Kemarin-kemarin masalah awkward-nya diriku dengan Mama Eugene. Belum lagi ternyata kami akan mengadakan tiga kali resepsi. Lalu ternyata kami akan mengundang 1500 tamu undangan. Atau yang baru-baru saja terjadi, aku dan Eugene bertengkar cukup hebat soal lokasi foto pre-wedding. Dari awal Eugene memang tidak suka hal-hal seperti itu, tidak suka difoto yang ala-ala begitu. Dan aku memakluminya. Tapi kan sayang saja, ini once in a lifetime, dan aku agak sedikit memaksa Eugene untuk foto pre-wedding, dengan catatan kalau konsepnya menggunakan konsep paparazzi atau yang tidak terasa seperti difoto. Jadi bagaimana itu? Ya pokoknya begitu. Dan awalnya juga Eugene tetap menolak, lalu aku marah, dan kami bertengkar, tidak bicara selama dua hari. Tapi beruntungnya Eugene reda, dan akhirnya dia mau bicara denganku lagi, dan mengalah, dan mau untuk foto pre-wedding, dan bebas menentukan dimanapun lokasi yang aku mau. Tapi sebagai pasangan yang pengertian, aku juga memberikannya kesempatan untuk menentukkan lokasi yang mungkin selama ini ia idam-idamkan. Kalaupun tidak, yaa minimal ia terinspirasi oleh film Walt Disney, seperti Snow White atau Tarzan yang menggunakan konsep hutan. Oh ya, baru ingat, Eugene tidak suka menonton film.
“Oke. Aku mau fotonya di perpustakaan. Gampang kan?”, Eugene menelurkan idenya.
“Boleh juga. Oke kalau gitu”, akuku yang menyetujui ide Eugene tersebut. Yang penting dia mau diajak foto pre-wedding.
“Kalau kamu?”, tanya Eugene.
“Aku dari dulu pengen banget pre-wedd di dalem studio bioskop. Lagi pura-pura nonton film komedi, adegannya ketawa gitu bawa popcorn sama Green-Tea Latte. Pasti seru”
“Ternyata sesimpel itu. Pantesan dari kemaren maksa-maksa pengen foto pre-wedd
I’ve already told you, Sir. Kamunya aja nggak mau ngasih kesempatan aku buat ngomong”
“Mau berantem lagi nih? Lapangan mana nih yang kosong”
Perbincangan itu ditutup dengan canda tawa kami, sepasang calon suami-istri yang sedang merasakan jutaan perasaan yang menghampiri ubun-ubun kami. Oh ya, ngomong-ngomong, Eugene mendapat libur sabbatical dari kantornya, alias ijin cuti panjang selama tiga bulan. Aku baru tahu kalau pegawai kontrak baru satu tahun bekerja bisa mendapat libur sabbatical. Baik sekali yaa perusahaan tempat Eugene bekerja di Singapore. Eh, tapi jangan salah, sebagai gantinya, Eugene diminta untuk bekerja disana lebih lama alias kontraknya diperpanjang sampai dua tahun. Hmm, itu berarti pilihannya ada dua, aku tetap bekerja di Jakarta lalu nanti aku dan Eugene LDM (Long Distance Marriage) Jakarta-Singapore, atau aku yang akan ikut pindah ke Singapore dan cari kerja disana. Apapun hasilnya, bagaimana nanti lah. Melangsungkan akad dan resepsi saja belum, sudah mau memikirkan hal lain. Kebiasaan sekali kau ini, Yureka! Yang sudah dekat malah hampir dilupakan, yang masih jauh malah terlalu dipikirkan. Fokus!
----
Eugene. Satu pekan menuju pernikahan. Januari 2021. Jakarta. Masa Depan.
Nggak kerasa, satu minggu lagi gue akan mempersunting cewek idaman hati, Yureka Bhanuresmi Cendekia. Banyak banget yaa ternyata tantangan mau married. Ada aja masalahnya. Tapi Alhamdulillah, banyak yang ikut bantu dan support, jadi semua hambatan dan rintangan bisa teratasi. Yureka juga udah mulai enjoy les bahasa Koreanya. Dan sedikit-sedikit dia mulai praktekin ngomong sama Nyokap. Jadi nggak sabar pengen ikutan ngobrol sama dia pake bahasa Korea, apalagi kalau punya anak nanti, pasti seru kalau lagi sarapan bareng atau makan malem keluarga, bisa ngobrol pake bahasa Korea bareng. Hehehe.
Eh ngomong-ngomong Korea, hari ini tanggal 23 Januari 2021 hampir semua anggota keluarga Nyokap kayak Kakek-Nenek, Om-Tante, dan sepupu-sepupu gue, bakalan dateng ke Jakarta. Semua akomodasi dan transportasi udah diurus sama sepupu gue yang namanya Eun-ha, kebetulan dia yang paling jago bahasa Inggris dibanding anggota keluarga gue yang lain. Yaa yang lain bisa sih, dikit-dikit, tapi karena mungkin Eun-ha dulunya kuliah HI, dan sekarang juga kerjanya masih ada hubungannya sama internasional gitu, jadi emang udah terbiasa komunikasi pake bahasa Inggris.
Jumlah sanak saudara gue dari Korea yang bakal stay di Jakarta dan Bali buat dateng ke acara nikahan gue sekitar 12 orang. Mulai dari Arabeoji (Kakek), Pho-Pho (Nenek), dua Kakak Mama yang pertama dan kedua beserta istrinya masing-masing, Tante gue alias adiknya Mama yang terakhir beserta dua Anaknya dan suaminya yang bule Amrik itu, dan dua sepupu gue yang mana anak-anak dari Kakaknya Mama yang kedua, Eunha dan Hajoon. Selama di Jakarta, mereka akan menginap di The Ritz Carlton. Lokasinya di area SCBD. Alasan kenapa gue naro mereka semua disana, pertama karena lokasi acara nikahan gue besok di deket HI, yaa gampang tinggal searah ke arah Jakarta Kota. Alasan kedua, karena dekat area perkotaan, biar gampang kalau mereka mau jalan-jalan. Dan yang tidak kalah penting adalah karena biar nggak repot kalau mereka tiba-tiba pengen makan kimchi atau makanan Korea lainnya. Yaa, hotel itu deket area SCBD dan di daerah itu ada banyak restoran Korea yang tersebar. Jadi, urusan perut mereka aman lah kiranya.
Dan hari ini juga gue akan memperkenalkan semua anggota keluarga Nyokap gue ke Yureka. Semoga nggak awkward kayak waktu makan sushi di New York dulu yaa. Makanya, kali ini gue nggak mau mereka ketemu Yureka makan sushi lagi, tapi ngajak minum kopi atau ngeteh aja di Pacific Place Mall, Jakarta di waktu sore sebelum makan malam, dan kebetulan semua keluarga abis tidur siang karena mereka baru mendarat di Jakarta tadi pagi. Jadi, sore hari menurut gue adalah waktu yang pas buat ngenalin calon istri gue ke anggota keluarga gue lainnya.
Dengan pakaian short dress yang nggak short-short amat, lengannya juga lengan panjang gitu, berpola bunga-bunga, rambut di catok lurus dan digerai, sepatu flatshoes berwarna putih, OH MY GOD!, cewek gue asli cantik banget. Untung hari ini masih bisa ketemu karena mulai besok gue udah dipingit alias nggak dibolehin ketemu calon mempelai perempuan karena masih ngikutin adat tradisi Jawa dari sisi Bokap. Anyway, sumpah Yureka cantik banget. Belum nikahin dia aja gue udah nggak tahan, gimana kalau udah minggu depan. Hehehe.
Oh ya, tapi Yureka dateng nggak sendirian, dia dateng sama guru privat Bahasa Koreanya dengan tujuan untuk bantuin dia terjemahin kalau dia ada yang nggak tahu artinya. Ya, bisa aja sih gue yang bantuin terjemahin, tapi berhubung sepupu-sepupu gue juga perlu teman ngobrol, jadi biar Yureka juga sekalian praktekin bahasa Korea yang udah dia pelajarin dari empat bulan lalu.
Dan pertemuan pertama antara Yureka dan keluarga besar Nyokap dari Korea, kiranya menjadi percakapan seperti berikut :
Eugene          : So, Yureka, this is my family, maternal family (gue berbisik pada Yureka dan berkata “Jangan lupa bungkuk”)
Yureka            : (berbisik) Udah tahu. (tersenyum)
Eugene           : Nae milaeui anae yuleka ya.
Yureka            : Annyeonghaseyo. Jakaleuta-e osin geos-eul hwan-yeonghabnida. (membungkuk)
(semua)           : Oh, daebak! … Jalhaesseo! Gamsahamnida! (membungkuk bersamaan)
Eugene          : Okay, I will introduce you one by one, ya. So, this is my Mom and Dad. You already knew right?
Yureka            : Annyeonghaseyo, Om, Tante.
Mama-Papa    : Annyeonghaseyo, Yureka.
Eugene          : Then, the first brother of my Mom, Om nya aku, Kang Dong-won, istirnya Jeong Hye-jung.
Yureka            : (berbisik) Susah amat sih, Yang namanya.
Eugene           : (berbisik) Iyaa emang begitu.
Yureka            : Annyeonghaseyo. (membungkuk)
Eugene          : And then, another uncle, the second brother of my Mom, Om Kang Kyung-seok, dan istrinya Lee Sung-min.
Yureka            : Annyeonghaseyo. (membungkuk). (berbisik lagi) Nama istrinya mending sih nggak ribet.
Eugene           : (berbisik) Yaudah pokoknya emang begitu. And then, their kids, Kang Eun-ha and Kang Ha-joon.
Ha-joon           : Annyeonghaseyo. Selamat sore.
Yureka            : Selamat sore. (membungkuk). Hi, Eunha.
Eunha              : Hi, Yureka! Finally, we meet!
Yureka            : Yes
Eugene          : And my mom’s sister, Kang Mi-ja, and her husband Harold. And their kids, Mayer and Olivia.
Yureka            : Hi. (membungkuk). Annyeonghaseyo.
Eugene           : And the one and only, my beloved Grandparents, Kang Dong-wok and Meiyin Wang.
Yureka            : Annyeonghaseyo. Yureka hamnida. Bangapsumnida. (membungkuk).
Kakek-Nenek  : Annyeonghaseyo, Yureka.
Eugene           : Silahkan duduk. Please have a seat. Anj-ajuseyo. (membungkuk)
Yureka            : (berbisik) Kok kamu nggak pernah cerita kamu punya Om orang bule.
Eugene           : Udah ah.
Yureka            : Kapan?
Eugene           : Eh belom yaa. Ah nggak penting. Aku cerita nanti-nanti aja yaa.

----
Yureka. Hari Pernikahan. Januari 2021. Hotel Kempinski Jakarta. Hari bersejarah. Jakarta. Masa Depan.
Tidak terasa, sejak enam bulan aku dan Eugene merencanakan ini, akhirnya hari besar itu tiba. Ya, hari ini adalah hari yang akan paling dikenang, hari paling bersejarah dalam hidupku. Aku dan Eugene akan melangsungkan akad nikah. Oh Tuhan, rasanya aku masih tidak menyangka. Aku juga masih berpikir apakah aku siap dengan semua langkah ini. Apakah aku benar-benar sudah mampu? Semoga semuanya lancar. Bantulah niat baik kami, Ya Tuhan.
*tok tok tok*
“Yureka, udah siap? Mempelai pria dan keluarganya udah dateng dan kita harus siap-siap”, seru Ine.
Okay. Thank you”, balasku sudah siap dan juga membawa buket bungaku.
Didepan pintu kamar hotel, di lantai 7, ada Kak Anna dan Farida yang sudah siap mendampingiku menuju ke ruang akad di lantai 3 hotel.
Ready, Kak?” tanya Farida
Bismillah”, jawabku sambil agak gemetaran.
“Udeh jangan tegang. Dibawa santai aje”, sahut Kak Anna.
“Lu nikah aja belom, Kak. Emang tahu rasanya nervous mau akad gimana?”, balasku pada Kak Anna.
“Ya belom sih. Tapi kan emang jangan dibawa tegang. Biar smooth, lancar. Yaudah, baca doa aja yang banyak”, lanjut Kak Anna sambil membantuku membawa ekor gaun pengantinku yang panjangnya hampir dua meter.
Aku mendengar para panitia acara sedang siap-siap, suara handytalk saling sahut-menyahut. Tanda di ruang akad sudah siap, dan saatnya mempelai wanitanya alias diriku diijinkan masuk ke ruang meeting hotel yang menjadi tempat aku dan Eugene melangsungkan akad.
Sampai di depan ruang tersebut, aku juga masih harus menunggu aba-aba dari panitia, karena saat aku masuk ruangan nanti, konsepnya dibuat mirip seperti di film-film yang aku tonton, yakni ada musik yang mengiring. Yaa bukan musik metal atau hiphop, hanya musik folk Celtic kegemaranku. Sebelum masuk ke ruangan, aku sesekali melihat ke lingkungan sekitar. Semua dekorasinya sangat cantik, lebih dari yang aku dambakan. Aku juga melihat ke arah papan tulis di depan pintu ruang tersebut bertuliskan “Today : Marriage Settlement (Akad) of The Double Yu (Yureka-Eugene). Wish them luck”. Aku hanya bisa tersenyum. Ya, akhirnya sebentar lagi Double Yu, Yureka dan Yujin akan mengakhiri masa lajang kami dan siap menjadi sebuah keluarga baru.
“Musik sudah dimainkan. Ganti. ”, ucap salah seorang panitia lewat HT-nya.
“Mempelai wanita dan pengiring-pengiringnya sudah didepan ruangan. Ganti”, balas panitia satunya lagi.
“Ya silahkan”, ujar panitia lainnya lewat HT.
“Silahkan”, salah satu panitia mempersilahkanku masuk ke dalam ruangan.
Aku pun memasuki ruang akad. Sudah banyak orang didalam yang menunggu sejak beberapa jam pastinya. Aku hanya bisa melempar senyum kepada semua tamu undangan. Ketika masuk ruangan, aku ditemani Ayah. Sedangkan pengiring pengantinku berbaris dibelakang. Ibu dan Kakak-Kakakku juga ada didalam barisan. Dengan mengenakan gaun putih panjang yang berbahan dasar brukat yang sederhana namun tetap eksotis, hair-do yang juga sangat sederhana dan nyaman, aku berjalan di altar menuju meja ijab qobul. Dari kejauhan aku melihat Eugene dengan kemeja putihnya, dengan hiasan bunga yang entah apa itu tidak terlalu kelihatannya bentuk bunganya. Ah, tidak peduli. Aku hanya peduli, di sudut sana sudah ada kekasih hati yang sudah menungguku untuk segera dinikahi. Tidak lupa juga bapak penghulu dan para saksi yang juga sudah siap menikahkanku dan Eugene. Ya, jangan salah penghulu kan bagian terpenting dari acara akad nikah. Kalau tidak ada beliau, maka tidak akan menikahlah kami.
Setelah sekiranya berjalan sepanjang dua menit, aku sampai di meja ijab qobul. Duduk disebelah Eugene. Aku gugup. Gugup akan melangsungkan akad, dan gugup karena Eugene sungguh tampan. Ini serius!
Ayahku yang tadi mengantarkanku juga langsung duduk di kursi saksi. Ya, karena Ayah yang menjadi wali nikahku.
Acarapun dimulai. Meskipun kegugupan menghampiri, tapi aku berusaha untuk tetap fokus. Aku sempat keringat dingin. Semoga aku tidak pingsan. Sangat tidak lucu. Masa di acara pernikahan sendiri aku pingsan. Yureka, stay awake!
Lalu setelah rangkaian tatanan acara akad, saatnya pembacaan ijab qobul. Oh Tuhan, aku tidak akan sanggup mendengarnya. Aku takut Eugene akan salah membaca namaku karena namaku cukup sulit disebutkan. Eh tapi waktu Eugene melamarku di Singapore, dia hapal nama lengkapku dan tidak salah ucap. Ah, berarti aku percayakan dia kalau semuanya akan baik-baik saja. Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar.
Karena masih tidak sanggup, akhirnya aku menundukkan kepalaku sedikit dan memejamkan mata sejenak selama pembacaan ijab itu dilakukan. Meskipun mata terpejam, tapi aku menyimak semuanya. Kata demi kata yang diucapkan penghulu dan kemudian disusul dengan kata-kata ijab yang diucapkan Eugene. Aku mendengarkan. Ya, Tuhan ini semua terjadi! Terimakasih Ya Tuhan!
Tidak sampai seperempat menit, semua orang secara serentak mengucapkan “Sah!”
Astaga.
Aku sedang tidak bermimpi kan?
Apa benar aku dan Eugene sudah sah menjadi suami-istri?
Oh Tuhan, bangunkan aku dari mimpi yang keterlaluan indah ini.
Aku membuka mataku. Kutarik napasku dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan. Yang ada dibenakku hanyalah, ya benar ini kenyataan bukan lagi mimpi apalagi imajinasi! Kemudian berusaha menatap ke arah Eugene.
Seperti Musim Gugur Oktober 2018 silam. Setelah semua ‘bombardir’ ini terjadi, aku dan Eugene hanya bisa saling lempar senyum, tidak bisa berkata apapun karena terlalu bahagia.
New chapter. Let’s do it together!” ucap Eugene sambil mengedipkan mata kirinya.
Dan aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Aku bahagia. Kami bahagia. Semua berbahagia.

- BERSAMBUNG KE SEASON 3 -

Lanjut ke Season 3 yuk! Ini dia ---> Kumpulan Cerita Bersambung DOUBLE YU SEASON 3

Comments

Popular posts from this blog

Kumpulan Cerita Bersambung : DOUBLE YU - SEASON 1 (karya Yulia Sutjahjono)

"Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan)" Part 2

Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan) Part 1