Kumpulan Cerita Bersambung : DOUBLE YU - SEASON 2 (karya Yulia Sutjahjono)
DOUBLE YU
(SEASON 2)
karya Yulia Sutjahjono
(SEASON 2)
karya Yulia Sutjahjono
Untuk yang belum baca Season 1, silahkan klik link ini :)
=====================================================================
Episode 1 : Patung Liberty Jadi Saksi
Yureka. New York. 3.08 PM. November 2018. Masa
Depan.
“Guys, gue
telat”
Singkat, padat, jelas. Hanya tiga kata itu yang bisa
aku ketik ketika profesorku berbicara 10 menit lebih lama dari waktu yang
diperkirakan. Ya, sore ini pukul 4 aku ada janji dengan teman-teman Batik Day.
Kata Kak Anna ada yang ingin ia sampaikan. Katanya juga penting. Entah apa itu.
Yang jelas aku geregetan dengan dosen mata kuliah analisis skrip film satu ini.
Masih muda, tampan, dan berwibawa. Namun sayang kalau sudah bercerita, durasinya
mengalahkan serial Game of Thrones.
Ngomong-ngomong, kalian masih ingat Batik Day, kan?
Itu loh acara seminar dan fashion show
yang diadain KJRI dan dengan bantuan 8 mahasiswa tanpa dosa asal Indonesia yang masing-masing sedang mengais gelar S1 atau S2 di New York. Ya, meskipun acaranya sudah usai
sejak lama, tapi kami masih saling menyapa, saling mengunjungi, saling
bercanda, bahkan grup Whatsapp “Batik
Day 2018” belum kami hapus, belum ada juga yang “left group”. Masih sama, orang-orangnya masih sama, masih sama-sama
gila, masih sama-sama bercanda receh. Ah, dasar orang Indonesia. Tapi tetap
saja aku cinta mereka!
“Duh lama deh nih dosen. Untung lu ganteng, Pak,
kalo nggak… hmmm. Telat beneran deh ini gue ketemu anak-anak. Duh…”, gerutuku
sambil menghentakkan kaki dengan perlahan namun ternyata membuat teman sebelahku menyadarinya. Mungkin ia terganggu dengan suara kaki ku itu.
“Yureka, what happens? Is everything okay?” Saut Melissa, teman sekelas yang sedang duduk persis di
sebelahku.
“I am so late.
I have an appointment with my friends. It’s really important”, jawabku
masih sambil menghentakkan kaki.
“You can just
say to him and ask some permission. Besides, the time is actually up couple
minutes ago”, saran Melisa yang menurutku tidak membuahkan sebuah solusi.
“I know but,
you know this person. Don’t you remember when a guy, hmmm, who’s his name again?
Whatever. He asked a permission to just go to toilet for a minute, and he said
“don’t you realize I speak something important here?” and everybody just
starred at him. It was so awkward.”, jelasku panjang lebar.
“Yeah I remember that”, akhirnya Melissa tersadar.
Empat puluh menit kemudian, diskusi akhirnya usai.
Aku benar-benar sudah terlambat. Dan benar saja, harusnya aku bisa sampai di
Café R dalam 10-15 menit tapi karena tadi, aku mungkin bisa terlambat 10
sampai 15 menit. Ya, aku tahu aku janjian dengan orang Indonesia yang bisa saja
mereka hanya merespon “Yaelah santai”. Tapi sejak tinggal di New York aku jadi
merasa tidak enak kalau terlambat bahkan hanya 2 menit.
Untuk menuju Café R, aku harus naik metro. Jaraknya
memang tidak terlalu jauh, hanya berselang 4 stasiun saja. Tapi tetap saja,
gugup dan tergesa-gesa memang selalu menjadi hal yang paling aku benci. Untuk
membuatku merasa nyaman ditengah tergesa-gesanya diriku saat itu, di dalam
metro, ku sempatkan untuk membuka handphone
ku untuk mengecek Whatsapp dan lain
sebagainya. Ternyata chat ku yang
kukirim di grup tadi tiba-tiba menjadi hot
issue. Sudah ada lebih dari 10 pesan yang berisikan respon ‘jahat’
anak-anak Batik Day. Pesan-pesan tersebut seperti berikut :
Dhimas : Astagfirullohalazim, Eugene, anak
orang lu apain bisa telat begitu. Masya Allah.
Chandra : Baru pacaran 3 minggu loh padahal.
Kak Anna : Salah nyomblangin kalo begini caranya
mah
Dhimas : Jadi kejadiannya sebelum Batik
Day, Jin? Atau gimana?
Eugene : HEEEEHHH. Itu
maksudnya Yureka dia telat datengnya ke café. Yaelaaaah.
Farida : Nggak nyangka Kak Eugene wkwkwk
Fikri : Nggak nyangka Kak Eugene (2)
Dhimas : Gimana @Yureka BC? Emang lu pada
nggak pake pengaman? Wkwkwk.
Chandra : Ampuni mereka Ya Tuhan
Kak Anna : Ampuni mereka Ya Tuhan (2)
Eugene : Ya ya terserah
Kak Anna : Buruan wooiiii buruaaann @Yureka BC!!!
Caffe latte gue mau abis nihh!!!
Sial! Hanya karena mengirim “Guys gue telat”,
ternyata membuahkan gosip miring. Membuat orang gaduh. Pertemanan pecah. Dasar
manusia. Ya, berarti aku salah ngomong kalau begitu. Harusnya aku bisa
menambahkan kata keterangan atau apalah. Sambil tertawa kecil yang mana membuat
seorang nenek tua yang duduk di sebelahku menatap aneh. Cuek saja, tidak kenal
ini. Kalau kenal dengan neneknya tetanggaku, mungkin aku akan diam. Sudahlah.
Aku balas pesan-pesan tersebut dengan:
Yureka : WOIIIII. ASTAGFIRULLOH! MAKSUDNYA
GUE TERLAMBAT NYAMPE CAFÉ NYAAAAA. ASTAGAAAAA.
@Kak Anna
Bentar kak baru mau turun stasiun. Jalan nih.
Kak Anna : Lu harus tanggung jawab jin @Eugene
Eugene : Sabar yaa sayang @Yureka. Btw hati-hati, Yang.
Bodo amat deh @Kak Anna wkwkwkw
Yureka : 3 menit 3 menit!!!
Sesampainya di Café R, mereka bertujuh sudah sampai
disana dan perbincangan belum dimulai karena sebagai mantan koordinator, Kak
Anna harus menyampaikan ini lengkap dan detail sampai semuanya lengkap datang.
“Sorry guys.
Sorry banget. Kak Anna, sorry” sambil bernapas-napas
terengah-engah, aku memasang tampang wajah paling melas supaya mereka memaafkan
dan memaklumi keterlambatanku.
“Nggak jaman sebelum Batik Day, nggak pas udahan
Batik Day. Lu emang yang paling telat. Hmmm. Untung nih tempat buka 24 jam,
jadi lu telat pun, kita nggak keburu dikasih bill sama pelayannya”, Kak Anna
menjawab dengan nada senewen sambil melipat kedua tangannya.
“Ya sorry. Tadi dosen gue… ah pokoknya gitu deh”,
jawabku dengan penuh belas kasihan namun sepertinya sia-sia.
“Ya Kak Yure, dimaafin kok. Santai”, jawab Farida
dengan lemah lembut sambil menyeruput cangkir Cappucino-nya.
“Okay okay. Ini udah lengkap kan semua? So, gue
langsung aja yaa. Nggak pake lama-lama nih”, Kak Anna mulai seketika sesaat
setelah aku datang.
Aku pun yang bahkan belum meletakkan tasku atau
menaruh bokongku ke atas kursi, Kak Anna sudah siap menyampaikan maksud dan
tujuannya mengumpulkan kami berdelapan di sore itu. Sambil tersenyum ke arah
Eugene yang duduk di pojok, aku menaruh jaket dan tas ku di kursi kosong tepat
di sebelah Kak Anna duduk yang mana Kak Anna duduk di tengah. Aku dan Eugene
hanya saling lempar senyum dari kejauhan. Ya, meskipun kami sudah resmi
berpacaran, tapi untuk urusan pekerjaan, kami harus tetap bersikap profesional.
Meskipun ini juga bukan rapat formal seperti saat Batik Day dulu, tapi aku dan
Eugene sangat menghargai ikatan antar sesama panitia. Jadi, kami memilih untuk
tidak terlalu memamerkan kemesraan sekalipun di depan mereka. Meskipun kadang
kalau kami kumpul-kumpul aku dan Eugene yaa dengan khilaf pamer kemesraan di
depan mereka, entah sengaja ataupun tidak sengaja. Konyol.
Saat aku duduk, Kak Anna mulai dengan penjelasannya.
Tanpa sempat aku memesan minuman, hanya menghela napas panjang, aku
mendengarkan apa yang sedang disampaikan Kak Anna. Dengan nada suara yang nge-bass seperti ciri khasnya, juga
wibawanya yang sangat luar biasa seperti ibu Menteri Perikanan, ia menyampaikan
sebuah pesan yang katanya ia dapat dari kantor KJRI New York. Katanya sih ada
pesan yang harus disampaikan kepada kami berdelapan. Ternyata, tanpa dinyana,
tanpa diduga-duga, pesan itu merupakan kabar baik. Jadi, ada dua hal yang Kak
Anna jelaskan pada kami.
Pertama, yakni tentang ucapan terima kasih yang
beribu-ribu kalinya disampaikan oleh KJRI untuk kami berdelapan. Acaranya
memang sudah jauh berlalu, mungkin kalau dihitung-hitung sudah hampir dua bulan
yang lalu. Tapi rasa terima kasih KJRI kepada kami masih belum berhenti. Sebagai
panitia, aku rasa itu tidak masalah. Aku pribadi menerima penerimaan
terima kasih tersebut dengan senang hati juga. Memang dengan sukarela kami membantu supaya acara KJRI
tersebut bisa berjalan sesuai yang diharapkan.
Hal kedua adalah ternyata yang jauh lebih
menyenangkan.
“Nah yang kedua nih. Kabar gembira bagi kita semua.
Hasek. Siap-siap ya”, ucap Kak Anna bikin penasaran.
“Apaan Kak emang?”, tanya Farida dengan wajah tanpa
dosa dan penasaran.
Kak Anna hanya membalas dengan senyuman dan tidak
bersuara selama lima detik. Benar-benar bikin penasaran ibu satu ini. Masa Ibu
Menteri Perikanan bikin penasaran. Mana ada?
“Cepetan!” protes Dhimas dengan suara serak-serak
basahnya karena memang suaranya begitu. Ahh, aku paling rindu dengan suara
Dhimas. Akhirnya kami bisa bertemu lagi.
“Sabar dong, Dhimas. Ahelah. Oke, mulai ya. Ini gue
sambil bacain emailnya dari KJRI. Resmi nih, jangan salah”. Nah Kak Anna makin
bikin penasaran. Sial.
“Apaan apaan, buruan gue penasaran!”. Sekarang aku yang nyolot.
“Santai dong, Yur. Udah telat, maksa lagi. Ya, ini
gue bacain nih. Sekarang. Ya, sekarang”, balas Kak Anna sewot. Namun kemudian
ia membacakan isi email yang ia maksud.
Lalu dibacanya isi email itu oleh Kak Anna dengan
penuh kebanggaan, “Kepada yang terhormat tim panitia mahasiswa acara Batik Day
2018. Dengan ini kami sampaikan bahwa sebagai bentuk rasa terimakasih kami
kepada kalian berdelapan, yang mana sudah bekerja keras selama persiapan dan
acara Batik Day 2018 berlangsung, maka kami memutuskan untuk memberikan sedikit
hadiah atas kerja keras kalian. Hadiah ini kami harap sebagai bentuk apresiasi
kami atas hasil jerih payah kalian selama membantu kami mengadakan acara Batik
Day 2018. Tanpa kalian maka acara Batik Day 2018 tidak akan terlaksana dengan baik sekaligus bisa mendapatkan respon yang positif.
Hadiah ini memang bukan berupa uang atau barang, namun kami harap ini menjadi
suatu kenang-kenangan yang berharga untuk kalian berdelapan. Dengan ini kami menyatakan bahwa Saudara/i Arianna, Dhimas, Yureka, Gilang, Fikri, Eugene, Chandra,
dan Farida serta beberapa perwakilan KJRI New York akan diundang makan malam
oleh KBRI Ottawa pada tanggal 12 Februari 2019 mendatang. Makan malam ini
sesungguhnya merupakan acara yang diperuntukkan untuk merayakan pelantikan Duta
Besar Indonesia untuk Kanada yang baru, yang akan dilaksanakan Januari
mendatang. Makan malam tersebut juga akan dihadiri oleh seluruh pengurus PPI
Ottawa serta beberapa perwakilan PPI Kanada dan akan menjadi bentuk pertemuan
bagi dua cabang region PPI yaitu PPI di Amerika di Kanada, sehingga pertemuan ini diharapkan mampu memperkenalkan satu sama lain dan
menjadi satu bentuk pertemanan yang baik antara kedua PPI. Lebih lanjut, segala
bentuk akomodasi, transportasi, dan visa khusus Kanada akan ditanggung oleh KJRI
New York. Namun, biaya yang lain-lain diharapkan ditanggung oleh panitia
masing-masing. Terima kasih. Selamat beraktivitas. Salam, Wakil Konsulat Jenderal, Bapak Winarno Hadi Pranoto, New York,
26 November 2018.”
“What?
Kanada???”, sontak Chandra keras.
“Ini serius kak? Kita mah apa atuh? Kenapa cuma
gegara ngurus acara aja bisa sampe ke Kanada segala?”, tanya Fikri yang entah mengapa
bernada konyol.
“Heh, bersyukur lah. Mau nggak lu ke Kanada?”, balas
Kak Anna sewot.
“Ya, mau lah, Kak. Siapa yang nolak juga”, balas
Fikri mengalah tapi masih terbesit wajah penasaran mengapa hadiahnya harus
banget ke Kanada.
Setelah pengumuman tersebut, semua jelas menjadi overreacted. Ya, wajar lah namanya juga
hadiahnya keluar negeri. Siapa yang tega menolak kesempatan emas itu? Hampir
semua pengunjung café itu mendadak menyorotkan pandangan mereka kepada kami
berdelapan karena terlalu ramai.
“Gila itu sih negara impian gue, Kak! Anjrit. Aaaakk
makasih KJRI”, jawabku sambil tepuk tangan dengan tanpa sadar.
“Tapi ya juga sih, kok bisa sih?” tanya Eugene.
“Kalau menurut gue sih emang basic-nya mereka ada makan malam di KBRI Ottawa, trus kayak
sekalian gitu. Jadinya kan kita bisa kenalan sama anak PPI juga. Ya nggak sih?”,
jawab Kak Anna semampunya.
“Ya, gue agak gimana sih, soalnya kita aja nggak
semuanya anak Permias beneran, lah ini cuma berdelapan, eh bisa ke Kanada”,
jawab Chandra beropini.
“Tapi yaudah lah, mungkin ini emang udah rejeki
kita, Chan. Nikmatin aja, ya toh?”, jawab Gilang tetap dengan logat
Yogyakartanya.
Semua masih ramai. Semua bahagia. Kami pun saling
berpelukan sebagai rasa syukur dan bahagia kami. Aku dan Eugene? Hmm, agak
canggung sih saat memeluknya, meskipun aku sudah tahu rasanya dipeluk oleh koko
tampan seperti Eugene, tapi mungkin karena baru tiga minggu berpacaran dan
belum terbiasa ‘go public’ di depan
teman-teman Batik Day, jadi tetap saja ada rasa canggung.
Sekitar dua jam kemudian, setelah bercengkrama ria,
kami harus pulang ke rumah masing-masing. Ya, karena besok bukan akhir pekan,
dan besok pula semua teman-teman Batik Day harus kuliah. Rasanya memang tidak
ingin meninggalkan mereka semua, terlebih Eugene. Ah, laki-laki ini memang
selalu membuatku ingin selalu berada didekatnya. Yah, maklum, namanya juga sama
pacar sendiri. Hehehe. Aku bersyukur karena saat ini bisa memandangnya setiap
hari tanpa harus ketahuan oleh enam Mahasiswa Indonesia yang tidak berdosa itu.
Aku pun sekarang bebas kalau mau memandang foto profil Whatsapp Eugene yang sedang memakai kacamata hitam dan bergaya di
depan patung Liberty kapan saja dan dimana saja. Dasar, tampan!
Oh ya, bicara soal Patung Liberty, aku jadi teringat
tiga minggu lalu aku dan Eugene saling melempar senyum, melempar canda, dan
saling mengakui sesuatu yang berasal dari isi hati kami. Ya, Patung Liberty
menjadi saksi. Saksi bisu antara dua manusia yang saling malu-malu kuda nil
untuk saling menyatakan perasaan satu sama lain. Tapi untungnya lelaki keren ini mau duluan
untuk mengakui isi hatinya. Pria hebat!
Lalu sehari setelahnya, semua teman-teman Batik Day
2018 ramai dan ribut membicarakan jadiannya diriku dengan Eugene. Itu semua
karena foto profil Whatsapp kami
berdua masing-masing berlatar belakang Patung Liberty. Bedanya Eugene bergaya
sok keren walau memang aslinya keren, dan menggunakan kacamata hitam. Entah
untuk menghindari terik matahari atau bersembunyi dari orang-orang bahwa
matanya yang segaris itu. Sedangkan aku bergaya mengantungi kedua tanganku ke
saku jaket sambil menghadap belakang dan menoleh ke arah kamera dan senyum
riang.
Sebenarnya bukan hanya dari foto profil itu saja
yang kemudian membuat semua orang gempar, namun juga aku dan Eugene sama-sama
posting foto kami berdua sedang selfie
namun hanya memerlihatkan setengah wajah saja dari hidung ke atas dan sisanya
pemandangan patung Liberty ke akun Instagram
dan Whatsapp Story kami
masing-masing.
Dengan foto yang sama aku membuat keterangan:
“When Liberty
becomes a witness”
Sedangkan Eugene membuat caption dengan dua emoji
yang berbeda, yakni patung Liberty dan tanda hati dengan panah ditengahnya.
Semua orang yang tidak tahu, seperti teman-temanku
di Indonesia, hanya memberi Like
saja di Instagram. Lumayan lah, dengan foto yang aku posting itu, aku bisa mengantungi
sekitar 80an Likes dari teman-teman
yang mem-follow-ku. Sedangkan semua
anak-anak Batik Day 2018 langsung gempar dengan memberi komentar beragam.
Kira-kira seperti ini:
@chndrstwn Fix cinta lokasi
@addhimaspw suiitt suiiiittttt eaaa eaaaa
@gilang_prasetyo Selamat ya guys. Jangan lupa
undangannya. Loh piye iki. Cepete.
@fakumaladew demi apa cinta lokasi kak @chndrstwn?
Aciyeeeeee. PJ PJ!
@ariannabukangrande puji Tuhan nggak sia2 gue jadi
makcomblang. Fix gua ceburin lu berdua ke kolem ikan Central Park wkwkwkwk
@fikri555 asik peje dong kak
Nah lihat kan? Hanya mereka berenam yang bikin
keributan di kolom komentar fotoku. Tidak ada komentar lain selain dari mereka.
Memang sakit jiwa. Bagaimanapun aku senang karena meskipun mereka hanya
bercanda dengan komentar-komentar konyol itu, atau bisa dibilang hanya reaksi
wajar, namun pada intinya mereka masih mempedulikan diriku dan Eugene, itu
tandanya mereka sayang pada kami. Wow.
Lupakan sejenak keributan yang dibuat teman-temanku
tiga minggu lalu. Ngomong-ngomong setelah rapat tadi, aku pulang diantar
Eugene. Bukan karena kami masih ingin berduaan, tapi Eugene mau mengambil charger handphone-nya yang tertinggal di
kamar ku minggu lalu. Ah, dasar pelupa. Untung katanya ia punya cadangan jadi
tidak terlalu bermasalah baginya. Tapi tertinggalnya charger di rumahku membawa dampak positif, yakni yaa yang tadi
kusebutkan itu, kami jadi punya injury
time untuk bertemu. Ah macam sepakbola saja ada injury time segala, Yureka.
Kalau dulu, untuk memulai sebuah percakapan di antara
kami berdua rasanya sangat sulit, malu-malu lumba-lumba, lidah susah
digerakkan, padahal ngomong yaa tinggal ngomong. Tapi namanya dengan gebetan
pasti memang rasanya susah sekali. Tapi kali ini sudah tidak lagi. Yaa,
meskipun kadang masih suka begitu, tapi intinya sih malu-malunya sudah berkurang 30%. Lumayan.
“Kamu seneng nggak dengernya?”, tanya Eugene.
“Denger apa?”, tanyaku bodoh atau pura-pura tidak
tahu. Beda tipis.
“Yang tadi dibilang Kak Anna, loh. Ke Kanada itu”,
perjelas Eugene. Lelaki ini memang super sabar.
“Ohhh. Hahahah. Maap, Yang, nggak connect, laper. Hahaha. Ya, seneng
banget lah. Soalnya dulu aku pernah kepikiran buat kuliah disana. Tapi katanya
dingin banget di Kanada jadi nggak jadi deh”, jawabku sambil malu-malu rusa
betina.
“Tapi akhirnya tahu juga kan kalau New York juga
nggak kalah dingin”, jawabnya penuh kharisma.
“Iyaa. Lebih parah malah kayaknya. Hahaha”, jawabku
masih tersipu malu. Pipi merona walau tanpa blush
on.
“Btw, tadi
kenapa telat?”, tanya Eugene soal mengapa aku datang terlambat.
“Oh yang itu. Biasa, dosennya kebanyakan ngomong.
Udah sering malang melintang di TV jadi public
speakingnya kelewat bagus. Dan sama dia nggak bisa nyelonong boy pergi
meninggalkan ruang kelas.” Jawabku panjang lebar sambil mencari kesempatan
menggandeng tangan Eugene dengan alasan untuk menghangatkan tangan, padahal,
ya, memang mencari kesempatan saja.
“Dosen yang kamu bilang ngelarang Mahasiswa ke kamar
mandi itu?”, tanya Eugene penasaran.
“Iyaa. Ih kamu inget aja”, jawabku dengan posisi
tangan kiriku yang berhasil disambut baik oleh tangan kanan Eugene.
“Dingin ya? Hmm, inget lah. Kamu kan ceritainnya
waktu itu passionate sambil kesel
gitu, jadi aku inget deh”, jawab Eugene sambil mengelus-elus punggung ku guna
menghangatkan tubuhku yang memang agak kedinginan.
“Dasar”, sambil menepuk pundaknya yang akhir-akhir
ini aku tersadar lengannya tambah keras. Mungkin dia sering ke gym. Tapi nggak juga ah. Atau mungkin
terlalu banyak mengangkut-angkut barang. Hmmm, setauku dia kerja part time setelah Batik Day usai hanya
jadi tukang gambar sketsa saja di sebuah kantor agen casting. Dimana letak
kerja kerasnya hingga menghasilkan otot besi?
Obrolan pun masih berlanjut sampai kami hampir
sampai di depan apartemenku. Aku masih satu rumah dengan dua roomates ku Cassandra dan Salima. Hanya
saja Salima minggu lalu baru akan memutuskan untuk pindah. Bukan karena Eugene
terlalu sering ke apartemen atau tunangan Cassandra yang juga jadi sering ke
apartemen kami akhir-akhir ini. Tapi aku memang tidak tahu pastinya mengapa
Salima pindah. Tapi ketika ditanya, ia akan pindah ke Boston, ke rumah
saudaranya. Ya, dia memang punya anggota keluarga yang tinggal disana dan
katanya di Boston nanti ia akan mendapat pekerjaan tetap sebagai guru bahasa
Arab di salah satu sekolah bahasa asing disana.
Disatu sisi aku senang ia akhirnya telah mendapat
pekerjaan yang layak di Amerika Serikat karena selama di New York, ia seperti
luntang lantung, hanya mendapat pekerjaan kasar seperti menjadi pelayan restoran,
kasir supermarket, dan bahkan ia pernah jadi tukang angkut sampah. Rasanya
senang ketika mendapat kabar bahwa ia akan bekerja di tempat yang seharusnya ia
berada. Ya, Salima memang berasal dari Libya, tapi jauh sebelum ia ke Amerika
Serikat ia pernah mendapat gelar sarjana ketika ia kuliah di Mesir. Ia juga
pernah tinggal di Maroko dan Tunisia bahkan di benua Eropa seperti Jerman dan
Belanda. Pokoknya, dibalik pribadi yang tertutup dan patuh dengan peraturan
personalnya, ia sosok yang cerdas dan mandiri. Di sisi lain, aku dan Cassandra
pasti akan sedih karena bayar sewa kami masing-masing akan naik. Hmmm, bukan
bukan, bukan perkara itu. Tapi kami akan merindukan sosok yang suka ceplas
ceplos kalau bicara. Maksudnya Salima ini kalau ia tidak suka dengan sesuatu ia
langsung bicara pada kami berdua. Artinya ia sangat menjunjung tinggi kejujuran
dan keterbukaan.
Meskipun ia melarang laki-laki masuk ke rumah kami,
tapi sebenarnya ada sosok dewasa nan keibuan yang diriku dan Cassandra temukan
di dalam dirinya. Ah, pokoknya Salima akan selalu kami rindukan. Kami akan
rindu omelannya saat pacarku dan tunangan Cassandra mampir ke rumah terlalu
lama. Atau kami lupa menaruh piring kotor ke dalam wastafel. Ah, intinya Salima
tidak akan terganti.
Saat ku beri tahu hal itu pada Eugene, ku lihat ada
sedikit ekspresi puas nan menggembirakan yang ia tampakkan padaku.
“Kenapa? Seneng kalau dia pindah trus kamu bisa
sering-sering ke apartemen, gitu? Hmm awas yaa. I watch you, loh”, jawabku serius.
“Nggak kok. Tapi yaa gimana yaa, Yang, abisnya
kadang suka risih juga kenapa sih harus se-strict
itu kalau punya peraturan. Kita kan di New York, apapun harus bisa toleransi.
Yaa, di Indonesia nggak kayak gini sih, nah makanya karena kita nggak di
Indonesia jadi harusnya lebih luwes”, jelas Eugene panjang lebar dan ku tak
pernah mendengar ocehan Eugene seperti ini sebelumnya. Ternyata kalau sudah
jadian kelihatan sekali yaa aslinya.
“Ya, yang terpenting sih saling respect sama rules masing-masing, Yang. Kamu mau
nggak kalau peraturan mu disengutin sama 3 roomates
mu itu?”, lemparku masih serius.
“Ya nggak lah”,
“Nah makanya”
Saat akan membuka pintu rumah, ada Jamie Harold
Whitley yang menuruni anak tangga dari apartemennya di lantai 4 dan entah akan
pergi kemana ia.
Dalam hatiku hanya “Duh dia lagi”. Ya, kami memang
sudah saling minta maaf dan sudah seperti teman pada umumnya. Tapi entah
mengapa saat ia tahu kalau aku dan Eugene sudah jadian, ia tetap mendekatiku.
Entah ini hanya perasaanku saja atau bagaimana. Memang tidak seperti dulu sih,
yang sampai tiap akhir pekan membuatkan ku pai coklat atau memberiku sebatang
coklat susu, tapi tetap saja kan risih aku dibuatnya. Tapi berhubung kami ini
bertetangga yaa jadi sudah aku anggap seperti keluarga sendiri.
“Yureka?”,
sapa Jamie.
“Hey, you. My
neighbor. How’s everything going?” jawabku kepada Jamie sambil tidak terasa masih
memegang tangan Eugene.
“Great.
Everything’s fine. I heard Salima will move soon?”, tanya Jamie.
“Yeah. She is
in her final decision. I’m so sad, Cassandra too. But, we can’t do anything. We
hope that it’s gonna be very good for her.” jawabku masih mengandeng tangan
Eugene.
“I hope so.
Hey, Eugene. How are you?”, sapa Jamie kepada pacar gantengku.
“Good. How are
you?”, jawab Eugene yang akhirnya melepas gandenganku untuk berjabat tangan
dengan Jamie.
“It’s getting
colder outside. New York. You know”, jawab Jamie basa-basi soal cuaca. Ah,
tipikal orang bule ya begitu, tiap bertemu pasti membahas cuaca.
“Ofcourse.”
Jawab Eugene singkat.
“Where you’re
going, anyway?” tanyaku pada Jamie.
“I’ll meet
some friends at a bar. Just chill and catch up. It’s been more than a week no
seeing them.” Jawab Jamie.
“You look
pretty busier lately, aren’t you?”, tanyaku lagi.
“Yap, I must
have an extra hours last week. I filled up several days off, so, better to do
extra hour and… the days off. It was crazy but no problem.” Jawab Jamie panjang
lebar.
“So, you’re
having a trip or something?”, tanyaku lagi. Begitu terus, tanya terus
sampai imlek.
“Technically
not, but I would say I have to see my brother in San Francisco next week. It’s
his birthday. Both my parents will come too. So, why not to join and have kind of a
week off to go there”, jawab Jamie terdengar masuk akal. Ya, iyalah. Kan
mau kumpul keluarga, tidak masuk akal dari mananya, Yureka?
“Ah, great.
Have fun, then. Well, have a nice night”, jawabku menutup perbincangan.
“You too guys.
Bye.” Jawab Jamie kemudian mendekati Eugene lalu pergi.
Ya, saat Jamie melewati Eugene, ia seperti
membisikkan sesuatu pada Eugene. Entah apa yang ia katakan, aku tidak mendengar
sama sekali.
Eugene hanya menggeleng kepala tanpa menjawab satu kata
pun dari Jamie. Ekspresinya juga sedikit agak marah.
Jadi, apa sebenarnya yang diucapkan Jamie pada
Eugene tadi?
- BERSAMBUNG -
=====================================================================
Episode 2 : Oriental vs Occidental
Yureka. Menuju Puncak Musim Dingin 2018. New York. Masa
Depan.
Papasan dengan Jamie di anak tangga apartemen memang
bukan kali pertamanya. Apalagi bersama Eugene. Hampir sering aku bertemu dia di
tangga seperti ini. Hidup memang benar seperti cuplikan film. Eh, atau cuplikan
dalam film yang memang seperti kehidupan sehari-hari? Apalah itu, yang jelas
aku penasaran apa yang baru saja dikatakan Jamie pada Eugene sampai ekspresi
Eugene begitu dangkal dan terkesan marah.
“Bye”
singkat Jamie lalu pergi meninggalkan apartemen.
“Bye. Bodo
amat”, jawab Eugene sambil menggerutu.
Ketika ingin menapakkan kaki ke anak tangga lainnya,
aku makin penasaran dengan Eugene dan langsung menanyakannya.
“Kenapa sih, Yang? Kok muka kamu langsung berubah
gitu? Jamie?”, tanyaku penasaran mengapa pacar kesayangan tiba-tiba jadi naik
pitam.
“Yaa tahu sih kita di US, tapi nggak gitu juga lah”,
jawabnya kesal.
Aku sebenarnya tidak enak menanyakan ini. Ini
rasanya canggung bin aneh. Tapi bagaimana, aku masih penasaran. Walau
sebenarnya aku tahu kira-kira pertanyaan apa yang habis dilontarkan si bule
Amrik itu.
Setelah masuk ke dalam apartemen, lampu pelataran
tidak menyala, tapi ada cahaya yang bersinar dibalik pintu kamar Cassandra dan
Salima. Hmm berarti mereka ada di rumah. Ya, memang seperti itu, ruangan kalau
tidak dipakai meskipun hanya pelataran rumah saja, harus dimatikan. Ingat,
hemat energi!
Tapi ngomong-ngomong soal Cassandra dan Salima,
seperti biasa aku harus memberitahu mereka kalau Eugene mampir ke apartemen.
Terutama kepada Salima. Sesuai kesepakatan, kalau masing-masing dari kami,
terutama aku dan Cassandra, terlebih semenjak aku jadian dengan Eugene, aku
harus memberitahu Salima kalau para laki-laki datang, supaya Salima diberitahu
agar kalau ia keluar kamar bisa memakai jilbabnya meskipun hanya ke dapur atau
ke kamar mandi. Yaa, mungkin untuk sebagian perempuan berjilbab lainnya tidak
masalah kalau mereka melepas jilbab di rumah dan kedatangan tamu laki-laki,
tapi bagi sebagian besar perempuan berjilbab lainnya, keputusan ini memang
harus dihargai, siapapun orangnya. Jadi, sebagai sesama muslim dan teman
sekaligus roommate, aku harus
menghargai keputusannya tersebut. Dan mungkin kalau aku jadi dia, aku juga akan
melakukan hal yang sama, mungkin memang karena risih kalau memperlihatkan
rambut dan anggota tubuh lainnya kepada laki-laki yang bukan muhrimnya.
Ku ketuk pintu kamar Salima. Dibalik pintu Salima
hanya menyapa “Yes, who is that?”
“It’s me,
Yureka. I just want to let you know that Eugene is coming by to take his phone
charger. I hope you don’t mind” jelasku pada Salima.
“Yeah, that’s fine.
Thank you for telling me. But, please tell him to stay at your room and not to
come to bathroom in 30 minutes. Cause I wanna shower in 10 minutes”,
pintanya padaku.
“Okay. Never
mind. Enjoy showering”, jawabku lalu pergi ke kamarku.
Sambil tertawa kecil, aku dan Eugene hanya
pandang-pandangan saja. Aku bingung, Eugene menertawakan percakapan ku dan
Salima yang hanya dari balik pintu, atau isi kalimat Salima yang memang
terdengar sangat konservatif, atau lainnya? Tapi setidaknya dengan tertawa
kecil itu, cemberut yang dia alami dikarenakan oleh Jamie langsung hilang.
Syukurlah.
Sampai di kamarku, aku langsung menyalakan pemanas
ruangan. Ya, sudah pergantian musim dingin dan tahu sendiri lah apa yang
diharapkan masyarakat saat berada di negara 4 musim dan sedang musim dingin.
Hanya pemanas ruangan yang menjadi jawabannya.
Sambil menaruh tas dan merapihkan sedikit meja
belajar ku, Eugene dengan polos berkomentar “Tumben kamarnya rapih? Biasanya
gelas bekas minum coklat, serbet buat lap bibir kamu kalau habis makan, sama
vitamin kamu berserakan diatas meja. Sekarang pada kemana?”
Ku balas dengan nada kesal tapi gemas, “Berisik deh.
Yaa, ku rapiin tadi pagi sebelum ngampus. Vitamin ada di rak situ, maksudnya ku
kembaliin ke tempatnya. Trus, serbet-serbet makan aku cuci.”
“Oh jadi vitaminnya emang tempat aslinya disitu? Kok
aku nggak pernah tahu yaa? Apa sangking keseringan aku liatnya diatas meja
belajar kamu?”
“Udah deh. Berlebihan komennya”, sambil melempar charger ponselnya dari kejauhan yang
ternyata secara sengaja atau tidak sengaja ada diatas laci meja dekat kasur.
“Bercanda, Yang. Gitu doang marah. Eh apa nih?”,
Eugene menemukan sesuatu diatas lantai.
“Ohh itu, liflet “Long Island Comic Con 2019”. Si Cassandra yang ngasih. Tahu tuh
katanya nawarin aja kalau aku mau kesitu”, jawabku sambil masih sedikit
membalas pesan Whatsapp yang masuk.
“Lah emang kamu suka komik-komik gitu, Yang? Nggak
kan?” tanya Eugene lagi.
“Iyaa. Nggak terlalu suka. Tapi si Cassandra mungkin
punya lebih. Katanya sih adeknya yang cowok mau kesitu. Sekalian liburan natal
tahun baru gitu di New York” jawabku.
“Adeknya? Orang Meksiko juga?”
“Ya iyalah, Yang, masa orang Zimbabwe.”
“Ya kali aja. Dia punya stepbrother atau apa gitu.”
“Nggak. Adek kandungnya kok. Masih 18 tahun apa yaa kalo
nggak salah. Pokoknya mau dateng kesini dan liburan di New York selama sebulan
atau gimana gitu. dan bakal nginep disini.”
“Nginep disini? Lah si Salima gimana?”
“Kan dia mau pindah.”
“Lah iya pindahnya kapan emang?”
“Lah emang belom aku kasih tahu? Minggu depan atau
minggu depannya lagi gitu aku lupa.”
“Oh. Ya ya.”
Kami terdiam sesaat. Sambil mengecek ponsel
masing-masing. Lalu kemudian aku berniat menanyakan apa yang masih penasaran
dalam benakku. Soal pertanyaan Jamie di tangga tadi. Bukan Yureka namanya kalau
tidak berani. Nekad, aku tanyakan pada Eugene beberapa detik setelahnya.
“Sayang, kamu belom jawab pertanyaan aku yang tadi.
Kenapa gara-gara Jamie?”, tanyaku lagi masih penasaran.
“Ah elah, Yang. Nggak usah dibahas lah udah. Males.”
Eugene membalas tapi sudah malas.
“Beneran aku penasaran”
“Bener? Jangan nyesel yaa. Dan jangan marah. Dan
harap maklum bagi pria bule itu”
“Ya, janji. Ayo cepetan cerita!”
Dengan tarikan napas kemudian mengeluarkan dengan
cepat, Eugene bercerita kalau yang Jamie bisikkan ke Eugene tadi adalah ide
konyol Jamie yang kalau ia jadi dirinya, ia akan melakukan hal-hal menyenangkan
dengan pacar di kamar berduaan, ya apalagi kalau bukan berhubungan badan.
Eugene hanya berkomentar kalau seandainya kami berdua adalah orang lokal, kami
mungkin saja akan melakukan hal yang Jamie katakan tersebut. Tapi aku dan
Eugene tetap manusia biasa, yang berasal dari budaya ketimuran, terlebih kami
memiliki agama dan dalam agama kami dilarang melakukan hal semacam itu. Kami
berdua pun juga tidak ada sama sekali memiliki pikiran demikian.
Ah, meskipun ganteng, kalau sudah bule macam Jamie,
tetap saja pikirannya pornografi. Kesal.
Sesuai yang diceritakan Eugene, kalimat-kalimat
Jamie tersebut adalah “If I were you, I’ll fuck her right now until next morning.”
Mendengarnya saja aku jijik menjadi-jadi. Untung aku
sering menolak ajakan kencan Jamie yang dulu sering sekali ia tawarkan. Karena
aku sudah menebak, kalau saja aku bilang “Ya” pasti hal-hal negatif akan
terjadi padaku dan si manusia occidental
itu. Tuhan Maha Penyelamat hamba-Nya.
“Yaudah lah, masukin kuping kiri keluar kuping kanan
aja, Yang. Emang orang gila aja dia. Masa bodo deh sekarang” responku santai.
“Ya, aku maklumin kok. Namanya juga orang bule. Apa
sih pikirannya kalau bukan sex, minum bir, joget-joget ampe pagi? Ya, kan?”
jawab Eugene masih agak kesal.
“Yap. Eh mau minum nggak? Kalo mau, aku ambilin. Kan
kata Salima, kamu nggak boleh keluar kamar sampe 30 menit kedepan”
“Aduh, ribet yaa. Ya, ya paham. Ya boleh deh, haus
juga btw”
Perlahan ku buka pintu kamar dan keluar menuju dapur
untuk mengambilkan Eugene air minum. Selama mengambil gelas dari laci kitchen set bagian atas, dan menuangkan
air dari keran, lagi-lagi fokus ku terdistraksi oleh wajah Eugene. Aku tidak
tahu sampai kapan aku memikirkan ini. Bahkan kami sudah resmi berpacaran, aku
sudah menjawab kata YA saat Eugene menyatakan cintanya padaku di Patung Liberty
di Musim Gugur Akhir Oktober lalu yang mana pertanyaanya adalah “Yureka, mau nggak jadi
pacar aku?”. Sumpah, itu adalah masa-masa paling gugup sepanjang sejarah hidup
seorang Yureka Bhanuresmi Cendekia. Aku bisa bilang, momen itu merupakan momen
paling gugup yang pernah ada, lebih gugup daripada mengerjakan tugas mendekati deadline dari Profesor.
Setiap membayangkan Eugene di isi kepala, saat itu
pula aku bersyukur pada Tuhan. Ya Tuhan, akhirnya aku tidak sendirian lagi.
Akhirnya ada yang benar-benar jatuh hati padaku. Akhirnya ketika aku suka
dengan seseorang, dia berbalik suka padaku, tidak hanya aku sendirian yang
berusaha. Hmm, ini terdengar terlalu puitis, Yureka. Tapi apalah, memang begitu
kenyataanya. Aku rasa aku tidak akan pernah berhenti bersyukur. Semua aspek
dalam hidup ini tentunya aku syukuri, apapun itu, tapi satu hal ini, tentang
Eugene, aku amat sangat menyukurinya. Terima kasih Ya Tuhan.
Setelah selesai membawakan segelas air putih,
ditambah beberapa buah coklat marzipan yang ku ambil dari sebuah mangkuk besar
di dapur karena sebentar lagi hari Natal maka akan sangat banyak coklat dimana-mana,
aku kembali ke kamar. Dengan agak sedikit kesusahan ketika membuka pintu,
akhirnya aku sampai di kamar dengan selamat. Selamat karena air di gelas tidak
tumpah, bungkusan-bungkusan coklat pun tidak jatuh berguguran layaknya dedaunan
di musim gugur. Sambil menaruh gelas dan coklat-coklat itu ke atas meja, ku
curi pandanganku kepada Eugene yang sedang serius membaca sesuatu di telpon
genggamnya.
“Serius amat Koh bacanya. Baca berita?”, tanyaku
penasaran. Ah, penasaran terus Yureka.
“Bukan. Ini Mamaku ngirim Broadcast Message di Whatsapp,
tapi ada huruf Mandarinnya. Aku sambil inget-inget aja”, jawabnya sambil
menatap layar gadgetnya.
“Eh iya yaa, kamu bisa bahasa Mandarin ya. Eh sambil
diminum air trus sama dimakan coklatnya”, tanyaku lagi. Tanya saja terus.
“Makasih, Sayang. Iya. Alhamdulillah bisa.” Untung
Eugene menjawabnya dengan sabar.
“Fasih?”
“Lumayan”, pandangannya masih tertuju ke layar
handphone-nya
“Skala 1 sampai 10?”
“Hmmm, 8.5”
“Wow. Eh tapi bisa bahasa Korea juga kan? Eh. Ya
iyalah. Kamu tergolong native malah,
ya kan?”
“Huum.”
“Kalau bahasa Koreanya, skala 1-10?”
“6”
“6? Lah kok? Cuma 6, Yang?”
“Iya, aku nggak bisa baca tulis huruf Hangul,
Sayang. Hehehe”
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena nggak diajarin”
“Kenapa nggak diajarin?”
“Ya.. ya nggak aja. Nggak tahu ya, kayaknya Mama
emang nggak mau aku terlalu fasih Korea. Ya, aku tahu dikit huruf Hangul tapi
nggak bisa baca tulisnya gimana.”
“Keturunan Korea yang aneh. Hahaha. Bercanda, Yang.
Tapi kan kamu pernah tinggal di Korea, kok nggak diajarin? Lagian Kakek-Nenek
kamu asli Korea”
“Nenek ku bukan. Nenekku…”
“Oyaa lupa, orang Guangzhou, China. Tapi kenapa
demikian?”
“Nggak tahu yaa. Kayaknya aku emang lebih deket ke
Pho-Pho dari pada Harabeoji. Somehow,
jadinya lebih fasih bahasa Mandarinku. Dan waktu kuliah di Hong Kong, bahasa
Mandarinnya aku paksain bisa karena meskipun pake bahasa Canton disana, tapi
banyak juga orang Hongkong yang bisa bahasa Mandarin. Baik lisan maupun
tulisan, jadi 3-4 tahun aku disana yaa aku latih terus. Jadinya lebih fasih
bahasa Mandarin. Maksudnya, tulisannya aku bisa lumayan baca, secara lisan juga
aku bisa ngomong. Tapi kalau Korea, cuma ngomong aja”
“Menarik ya. Ku pikir kamu bisa baca tulis, lalala
nya gitu.”
“Ya, sama aja, Yang, kan kamu bisa bahasa Jawa sama
Sunda, tapi kamu bisa nggak nulis huruf Hanacarakanya?”
“Nggak.”
“Kenapa?”
“Ya, nggak pernah diajarin”
“Nah! Kayak gitu maksudku. Sama aja kan?”
“Iyaa juga yaa. Hehehe. Ih iyaa baru sadar. Etapi
masa beneran nggak bisa baca Hangul? Nanti kalau kita suatu hari liburan bareng
ke Korea, nggak bisa baca Hangul, nanti kalau mau makan di restoran, kebalik
lagi mana restoran mana tempat laundry”
“Ya, kan ada sepupu-sepupu aku. Tanya aja ke mereka”
“Kalau kita berdua kesana, itu namanya bukan kencan,
Yang, tapi digangguin. Dinyamukin kalau ada sepupu-sepupu kamu.”
Kami berdua hanya berbalas tertawa. dan kemudian
percakapan masih berlanjut.
“Tapi beneran nggak bisa sama sekali?”
“Hmmmm. Berapa huruf ya? 5 atau 6 huruf gitu”
“Demi apa?”
“Demi Allah, Sayang! Nggak boong. MashaAllah!”
“Aku aja bisa. Dikit sih. Hahahaha”
“Serius?”
“Iyaa nih kebanyakan nonton il bak iil. Jadi, tahu dikit-dikit”
“2 Days 1 Night? Yang ada Cha Taehyun nya?”
“Iyaa. Tahu juga yaa. Ya, tahu lah, Yureka, emaknya
kan orang Korea. Gimana sih, Yureka ini”
“Iyaa, itu Mama ku suka ngakak sendirian kalo nonton
itu. Beberapa waktu lalu sepupu ku, si Eun Ha, juga cerita katanya pas banget aku
nelpon dia, dia lagi nonton itu. Ketawa ampe nangis gitu katanya”
Dan percakapan pun berlanjut semakin seru hanya
karena membahas sebuah program televisi Korea Selatan itu. Ternyata pacaran itu
memang gunanya mencari tahu lebih banyak tentang pasangan, yaa. Ya ampun, baru
sadar aku. Kemana saja kamu selama ini, Yureka. Tapi, tidak apa, lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali. Dan ternyata seru juga punya pacar yang
punya darah keturunan China-Koreanya. Kadang membahas Indonesia, kadang bisa
membahas China, bisa lanjut membahas Korea, asal jangan keterusan sampai ke
Mongolia atau Rusia saja.
Saking asyiknya ngobrol, tidak terasa waktu sudah
menunjukkan pukul 11.23 malam. Wow. Sudah hampir tengah malam. Aku terpaksa
mengusir Eugene karena tidak baik kalau bermalam disini. Ya, sebenarnya sih
santai saja. Tapi karena Salima masih tinggal disini dan aku harus tetap
menghargai prinsipnya, maka mau tidak mau harus mengucapkan “See you soon, Eugene” kepada pacar
Oriental ku ini.
Sambil memakai jaket cukup tebal berwarna hitam, dan
sepatu kets bermerk yang mana merk nya bergambarkan ceklis, serta sesekali
merapihkan rambutnya, aku masih ngobrol-ngobrol dengan Eugene dibalik pintu
sebelum ia pergi. Kemudian ada Cassandra yang menghampiri kami dan mengatakan
sesuatu.
“Hey, guys.
Hey, Eugene! How are you?”, Cassandra menghampiri kami dan bercipika-cipiki
dengan Eugene. Untung ini di Amerika, kalau bukan, pasti aku sudah cemburu
membabi buta dengan Cassandra.
“Good. Thank
you. How are you?”, basa-basi penuh sopan santunku kepada teman apartemenku
ini.
“I’m doing
well thank you. So, Yureka. I need to tell you that, hmm… something about
Salima”, Cassandra mengecilkan volume suaranya.
“Yes. What is
it about?”, tanyaku pada Cassey, nama panggilannya.
“No. I mean.
When she moves out next week, I haven’t got yet any new roomates or something.
And of course, we need to find it soon, otherwise, you and I will pay the rent
more expensive.”, jelas Cassey.
“I don’t want
that happens”
Lanjut Cassey, “See?
Yeah, I mean. But we will get one, won’t we? But, before we got the new one, I would like
to use Salima’s room to my brother, Dominico. I’ve told you he will coming to
New York on December 15th, right?”
“Yeah, you’ve
told me, but I forgot the date when your brother will come”
“Yeah, the
date. It’s just, recently decided by him. And he also already booked the flight
and he’s coming here on that date. And he will also stay here for 1 month.
Yeah, I know, it’s very long time, but he needs place to stay. And the most
possible for him, is, stay here. With us. Do you mind with that?”
“No, I don’t
mind. It’s totally fine for me. And, I can’t wait for your brother's presence. I mean, be
a tourguide for him”
“Please do.
I’m kidding”
“No,
Seriously. If he needs some guidance during his vacation in New York, I would
like to help him”
“Okay. Nice.
Very nice of you. I hope you don’t mind, Eugene”
“Oh, of course, not”
“Yeah, Eugene
probably also can help and join me and Dominico. Will you, Honey?”
“Yeah, why
not?”
“Okay. Then.
Thank you very much guys, I really appreciate it. I will let you know again when he gets ready to heading
for New York from Mexico. Again, thank you for both of you”
“Anytime, Cassandra”, jawab Eugene dengan senyum ramahnya namun tetiba agak cemberut.
“Okay, so have
a nice night, you guys. I should go to sleep right now”, ucap Cassandra menutup percakapan di pelataran apartemen kami.
“Alright. Have a nice
sleep, Cassey”, balasku mengucap selamat tidur untuk Cassandra.
“You too. Good
night guys”
“Night,
Cassandra”
Sambil mengantarkan Eugene ke depan pintu apartemen,
kami berpisah sementara disitu. Kok, sesedih ini? Padahal kami bisa bertemu
kapan saja sesuka hati kami. Toh, sama-sama masih di New York.
“Makasih ya, Sayang”
Hanya dibalas senyum dan “hmm” oleh Eugene.
“Jangan cemburu dong”
“Sama siapa?”
“Adeknya Cassandra”
“Yaelah. Ngapain juga”
“Bener?”
“Iyaa… hmmm. Tapi selama dia tinggal disini, jangan
sering-sering main ke kamarnya loh”
“Itu namanya cemburu”
“Iyaa aku cemburu. Pokoknya, take care ya”
“Oke.”
Sambil mengucapkan “Selamat malam dan semoga mimpi
indah”, Eugene turun ke bawah menuju lantai 1 dan keluar gedung apartemen
sampai akhirnya dari kejauhan aku hanya bisa melihat sekilas rambut dan
kacamatanya. Tapi seterusnya masih bisa mendengar suara hentakan kakinya dan
lama-lama terdengar pintu terbuka dan tertutup dan itu berarti Eugene sudah
keluar dari gedung apartemen ini. Kok jadi sedih ya? Tapi semoga ia selamat
sampai dormitorinya.
💕💕💕
Keesokan paginya, suatu Minggu, sekitar pukul 8.45,
aku sudah siap dengan pakaian olahragaku, aku sudah siap untuk jogging di
Central Park. Hmm, sudah lama sekali tidak lari disitu. Terakhir jogging hanya
memanfaatkan taman sekitaran kampus saja. Semoga jogging ku kali sanggup aku
lewati, ya minimal 5km lah, meskipun telah lama mengetahui kenyataan bahwa
Central Park itu kalau dibangun rumah susun, bisa muat beribu-ribu kepala
keluarga. Asli, gede banget tamannya!
Sudah diluar gedung apartemen dan akan memasang earphone ke telinga kanan, lalu
tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang.
“Hey, girl!
Good morning!”
Huh. Lagi-lagi orang ini. Seperti kecoak yaa dia,
muncul terus. Ya, siapa lagi kalau bukan tetangga occidental, Jamie Whitley. Lama-lama kalau aku keluar rumah ku bawa
obat semprot anti kecoa yang sudah lama tidak dipakai dan hanya berdiam di
dalam laci kamar mandi apartemenku, kemudian ku semprotkan ke wajah bule
Amerika ini, supaya dia pergi.
“Hey. Good
morning!” balasku dengan nada malas.
“Where are you
heading to?” tanya Jamie sebaliknya dengan penuh semangat.
“Just running.
In Central Park”
“Really? Wow.
That sounds.,, impossible…”
Nah, nah. Sudah muncul tiba-tiba seperti serangga,
sekarang mau mengata-ngataiku. Sial memang bule ini. Huh, untung dia ganteng,
kalau tidak sudah aku tenggelamkan ke lautan Atlantik, biar dimakan ikan salmon
baru tahu rasa dia.
“I beg your
pardon? It’s just a park. It’s not Tour de France”
“Moreover,
it’s going to be Winter soon, getting colder, and freezing. And… No, I’m
joking, Yureka.”
Dalam hati ku ingin berkata “Bodo amat! Gue nggak
peduli!”
“Ha ha ha.
Yeah, funny enough”
Entah mengapa percakapan kami kemudian berhenti
selama beberapa detik. Mungkin dia tidak berniat melanjutkan topik ini karena
terakhir ku berkomentar, ku pasang tampang paling datar yang pernah kutunjukkan
padanya. Ternyata masih kok, seorang Yureka tidak tertarik pada cowok bule satu
ini. Syukurlah kalau begitu.
“And you?
Where will you going in this early morning?” tanyaku bergantian kepo.
“I’m going for
laundry”
“Ah yeah. I
can see that” sambil melihat ke sekantong besar berisi baju, dan itu baju
kotornya Jamie. Tapi aku tidak peduli. Kemudian ku lanjutnya percakapan dan
bermaksud memberikan sinyal “Sudah yaa ngobrolnya. Sampai nanti”
“Well, I
should probably be there before midday. Have a nice laundry time”
“Thanks. Have
a nice running too! Be warm with your beautiful sweat. See you around!”
Ku balas hanya dengan tertawa kecil namun terpaksa,
dan membelalakkan mata selebar mungkin, kemudian memasang satu pasang earphone lainnya ke sebelah telinga kiri
dan menjawab perkataan Jamie dengan perlahan “Whatever!”
Hmm, sudah lama tidak lari pagi. Perkuliahan
pascasarjana ini ternyata menyita waktuku sangat banyak, sampai hobi lari ku
tertunda sangat lama. Hmm, terakhir kapan yaa lari pagi atau lari sore?
Sepertinya sesaat setelah Batik Day kemarin. Kapan ya itu? Bulan Oktober. Ya
ampun ternyata sudah lebih dari 2 bulan aku tidak olahraga. Keterlaluan sekali
kamu Yureka.
Sesampainya di Central Park, aku langsung pasang
aplikasi di telpon genggamku untuk memasang jarak dan waktu tempuh selama aku
lari. Memutar lagu-lagu favorit dan melihat pemandangan New York melalui taman
besar ini, adalah kombinasi yang sempurna untuk menghilangkan rasa jenuh dan
stress dalam hidup ini. Kedengarannya memang picisan, tapi memang benar kok.
Aku selalu merasa bersyukur ketika aku mendengarkan lagu yang membuat hati
tentram, kemudian melihat ke sekeliling, itu membuatku ingat akan semua hal yang
harusnya tidak perlu dikeluhkan. Justru harus menjadi sebuah hal yang harus
disyukuri, apapun itu, baik soal studi, keluarga, teman-teman, dan bahkan
pacar. Ah, kalau sudah membicarakan tentang kekasih hati, memang tidak ada
habisnya. Oh, Eugene, kurang dari 12 jam saja ku sudah rindu padamu. Dia sedang
apa yaa?
Setelah 48 menit lari untuk jarak 4 kilometer,
kemudian kuputuskan untuk mengakhiri acara lari pagi ini. Tuh kan, memang benar
ternyata sudah lama tidak lari membuat tubuhnya tidak mampu berlari lebih jauh
atau lebih lama. Jangan ditiru lah kalau seperti ini. Ingat ya, olahraga bukan
hanya soal membuat tubuh langsing atau singset, lebih dari itu. Ya, yang ku
bilang tadi, olahraga adalah cara untuk mengalihkan kita dari hal-hal negatif,
mengalihkan kita dari permasalahan hidup yang sedang dihadapi, yang terpenting
juga olahraga membuat tubuh kita bugar dan merasa sehat. Kan seperti kata
pepatah “Mens sana in corpore sano”,
“Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat”. Sebentar, kok pembicaraanku
ini seperti sedang memberikan perkuliahan 2 unit ya. Apa-apaan ini?
Baiklah, selesai semua acara lari pagi di Shumann
Running Track, mengoceh tentang mata kuliah kehidupan, juga melepas penat di
hari Minggu yang cerahnya tidak seberapa ini. Sebelum kembali ke apartemen, aku
memutuskan untuk duduk sebentar di bangku yang menghadap langsung ke danau
Jacqueline Kennedy Onnasis Reservoir. Ketika duduk-duduk santai, tidak lama ada
telpon masuk. Ternyata dari seseorang bernama lengkap Parama Eugene Oetomo. Ya,
pacarku.
“Ya, selamat pagi, ada yang bisa saya bantu Bapak
Rama Oetomo?”, mulaiku lewat percakapan di telpon dengan Eugene yang sengaja
kupanggil nya dengan nama Rama karena katanya waktu SMA, teman-teman dan
guru-gurunya memanggilnya dengan Rama yang diambil dari nama depannya, Parama. Tidak ada alasan
khusus sih katanya karena memang ia juga sengaja tidak memberitahu kepada semua
teman-teman SMA-nya bahwa panggilan sebenarnya adalah Eugene bukan Rama.
Katanya agar terdengar lebih merakyat menggunakan nama Rama.
“Selamat pagi, Bu. Saya pesan ayam geprek 1 ya”
“Anda salah sambung bapak”
Kami berdua hanya tertawa. Tertawanya saja terdengar
ganteng, bagaimana aslinya.
“Lagi apa, Yang?” tanya Eugene terdengar masih mengantuk.
“Abis lari di CP”
“Wuih. Rajinnya. CP nya bukan mall yang di Jakarta
itu kan?”
“Bukan. Eh suaranya kedengeran baru bangun tidur.
Baru bangunkah?”
“Iya. Aku mendadak ngelembur tahu, Yang, semalem
itu. Ya, nggak sampe pagi banget sih, cuma sampe jam 2 apa setengah 3 gitu yang
abis dari apartemen mu. Gegaranya aku baru baca email dari dosen, dan email nya
itu dari hari Jumat.”
“Oyaa? Emang email-nya apaan, Yang”
Sambil berjalan perlahan meninggalkan Central Park
menuju apartemen, aku mendengar keterangan Eugene seputar email dari dosennya
itu. Kedengarannya sih serius, meskipun sambil bercerita sesekali Eugene
menyelanya dengan menguap dan terdengar menggaruk-garuk rambut. Bahwasanya,
awal Januari nanti, dia akan mengikuti “Mapping
Day” yang akan diadakan di Lincoln, Nebraska selama 10 hari. Jadi, Mapping Day ini semacam acara studi
wisata yang umumnya dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa jurusan geografi,
demografi, arsitektur, dan termasuk perencanaan tata kota alias Urban Planning
seperti jurusan kuliah S2 Eugene.
“Yah. Kok mendadak sih, Yang. Kayaknya kamu nggak
pernah bilang”
“Ih pernah kok. Waktu itu aku bilang kalo bakalan
ada Mapping Day”
“Ya, tapi nggak bilang kalo Januari. Awal lagi”
“Nah, iya aku nggak tahu kalo tanggalnya. Ini
bener-bener baru dikasih tahu dosennya, Yang. Trus, yaudah akhirnya semalem aku
langsung lembur ngisi formnya dan lain-lainnya”
Mendengar penjelasannya, entah mengapa jiwa yang
sudah kuat dan raga yang bugar akibat lari pagi, tiba-tiba luntur dan hilang
semangat. Seperti apa jadinya kalau 10 hari aku berpisah dengan Eugene. Aku kan
masih ingin melihat mata sipitnya, masih ingin mampir ke dormitorinya untuk
sekadar main meskipun hanya di ruang tamu saja untuk bermalam minggu dengannya.
“Halo? Sayang? Kok diem?”
“Nggak pa-pa”
“Sedih ya? Yah, jangan sedih dong. Kan 10 hari
doang. Nanti juga balik. Nanti pas balik kita makan ice cream coklat deh. Yah?”
“Nggak mau. Maunya kamu, bukan es krim”
“Iya tahu. Yah, terus gimana dong?”
“Yaudah. Aku nggak sedih kok. Tenang aja. Berangkat
aja. Becanda kok. Aku nggak selabil itu. Hahaha. ”, padahal hatiku sebenarnya
labil dan sedih. Sakit seperti ditusuk-tusuk pakai tusukan sate.
“Aku main ke apartemen deh hari ini. Biar mood kamu
balik”
“Ya ampun, Jin. Aku nggak sebocah itu kali. Santai
aja”
“Bohong. Aku tahu meskipun kamu bilang nggak pa-pa,
tapi sebenernya kamu kenapa-kenapa kan?”
Gila. Rupanya ia tahu isi hati dan kepalaku.
Darimana ia bisa menebak itu? Padahal kan memang harusnya aku bersikap dewasa
dalam kondisi apapun. Tapi memang benar sih, aku sedih. Tidak tahu apakah aku
akan serindu itu pada Eugene selama dia ke Nebraska nanti. Rasanya langsung
ingin memutar lagu-lagu melankolis seperti “Writing on The Wall”-nya Sam Smith
jaman dahulu, agar suasana tambah terharu biru.
Obrolan kami lewat telpon masih berlangsung sampai
aku sampai ke apartemen. Gila benar pacar satu ini. Sudah kaya atau bagaimana?
Pulsanya unlimited atau bagaimana sehingga bisa menelpon ku selama lebih dari
30 menit. Tidak hanya membicarakan rencananya yang akan ke Nebraska itu, kami
juga membahas apa yang mau kami lakukan ketika libur Natal nanti. Yang pasti
hanya tetap tinggal di New York dan tidak kemana-mana. Ya, mau kemana juga,
kalau liburan keluar kota pasti biayanya mahal. Sudah dapat beasiswa untuk
kuliah S2 dan dapat sewa apartemen murah saja sudah beruntung, jangan ditambah
dengan beban biaya liburan lah. Liburan paling hanya ke sekitaran New Jersey
atau ke D.C saja. Oh ya, lagi pula kan bulan Februari kami akan ke Kanada
selama 5 hari. Jadi, simpan semangat liburannya untuk bulan Februari nanti.
💕💕💕
Sampai di apartemen, baru saja hilang sedihku karena
dihibur oleh Eugene, eh mood langsung turun lagi sejak pertama kali yang
dilihat saat buka pintu sesosok mahkluk berjenis kelamin laki-laki bernama
Jamie Whitley. Ya, Tuhan, kenapa dia lagi sih?! Kali ini ia datang bukan untuk
memberiku pai coklat atau coklat bar seperti sebelum-sebelumnya, tapi karena
Salima yang mengundangnya ke rumah dan apakah Jamie bisa membantu kami
mengangkat barang-barang Salima ke truk pengangkut guna pindah rumah minggu
depan.
Jadi, begitu rupanya. Eh, ngomong-ngomong soal
bantu-bantu pindahannya Salima, aku baru ingat kalau aku harus memberi tahu
Eugene juga kalau ia juga dimintai tolong oleh Salima untuk ikut membantunya
mengangkat barang. Aku paham sih, Salima pasti memerlukan tenaga laki-laki
untuk mengangkat barang yang berat, tapi tidak tahu mengapa yang dimintai
tolong hanya Jamie dan Eugene. Kalau Jamie sih mungkin karena tetangga yang
hampir selalu mampir ke rumah, apapun kondisi dan alasannya, pasti kecoak itu
datang ke apartemen. Tapi kalau Eugene? Ya, masa karena dia pacarku makanya
Salima minta tolong. Tapi tidak apalah, mungkin karena laki-laki yang sering
main ke rumah itu Eugene.
💕💕💕
Satu minggu kemudian, hari pindahan Salima pun tiba.
Selama seminggu belakangan rumah memang agak berantakan karena harus memilah-milah barang-barang antaranya milikku, milik Cassandra dan Salima. Aku, Cassandra,
Eugene, dan Jamie, termasuk Salima, pun sibuk membawa satu persatu
kardus-kardus berisikan barang-barang milik Salima dari apartemen kami di
lantai 3 ke truk pengangkut yang sudah siap di depan gedung apartemen. Rasanya
ingin bunuh diri saja kalau begini. Bukan apa-apa, tapi membawa kardus-kardus
tidak berdosa itu dari lantai 3 ke lantai dasar dengan hanya menggunakan anak
tangga saja, rasanya badai Katharina akan datang dua kali dalam setahun.
Mengapa apartemen ini tidak punya lift?!
Aku sempat rehat sejenak dan beinisiatif menyediakan
minum untuk kami berlima.
“Guys, you
could take a break for sec. I already served water and some snacks here, if you
wish.”
“Thanks,
Yureka! Very nice of you!”, jawab Cassandra.
Sambil minum segelas air putih dan berdiri dekat
pintu dapur, aku sempat melihat Eugene asyik ngobrol dengan Jamie. Eh, kenapa
mereka bisa tiba-tiba sedekat itu? Apa Eugene tidak il-fil dengan Jamie setelah
kuceritakan semua kegondokan ku pada Jamie? Aku juga sempat melihat mereka
saling membantu saat membawa kardus besar dan membawanya ke lantai dasar. Saat
mengangkat kardus besar itu, mereka juga saling ngobrol. Aku tidak tahu persis
apa yang mereka bicarakan, tapi kelihatannya seru.
Ironis memang, antara senang atau sedih melihat
fenomena itu. Aku yang sudah dipacari Eugene selama hampir 2 bulan dan selalu
dibuat kesemsem dengannya, menghadapi seorang tetangga orang lokal yang
menyebalkannya minta ampun. Tapi aku pun sebenarnya bingung kepada diriku
sendiri mengapa aku tidak setertarik itu kepada Jamie. Maksudku, bisa saja kan
dari dulu, saat pertama kali bertetangga dengannya, aku bisa jadian dengan
Jamie bukan Eugene. Ya, memang sih aku punya alasan kuat bahwasanya Jamie
seorang Atheis dan aku punya pengalaman buruk dengan seseorang yang Agnostik,
yaitu mantan gebetanku sendiri, eh bukan, mantan Friendzone-ku sendiri. Na’as.
Jadi, aku masih perang batin melihat keakraban
Eugene dengan Jamie yang mendadak ini. Tapi kalau diliat-liat lucu juga sih.
Yang satu rambut hitam mata sipit oriental,
yang satu lagi hidung mancung rambut pirang occidental.
Setelah 4 jam mengangkut barang-barang Salima ke
dalam truk, akhirnya semuanya selesai. Ternyata banyak juga barang-barangnya.
Aku sampai tidak menyadari bahwa Salima ini suka mengoleksi majalah fashion
seperti “Elle”, “Marie Claire”, “InStyle”, “Harper Bazaar”, dan the one and the
only-nya Amerika “Vogue”. Wah, kemana saja aku selama ini. Tapi memang benar
sih, meskipun Salima berkerudung, tapi aku selalu melihat dirinya memakai
pakaian yang tetap menutup auratnya namun masih bisa mementingkan estetika
dalam berbusana agar terlihat fashionable.
Time to say “Goodbye”
to Salima. Selain truk pengangkut
barang-barang Salima sudah siap berangkat ke Boston, taksi yang akan membawa
Salima ke bandara JFK juga sudah datang. Ya, Salima memang tidak akan ikut truk
itu karena ia lebih memilih mempercayakan barang-barangnya kepada supir truk
antar kota, dan memilih juga dirinya untuk nyaman naik pesawat yang hanya
memakan waktu sekitar 1 jam itu. Mudah-mudahan kami semua bisa bertemu kembali
dengannya, entah dalam kesempatan apa, dimana, dan kapan. Yang pasti aku senang
pernah menjadi roommate nya selama
kurang lebih setahun belakangan. Ya, meskipun prinsip dan peraturannya ketat,
tapi aku tetap menyayanginya.
Aku dan Cassandra saling berpelukan erat. Aku sempat
menitikkan air mata karena terharu dengan momen ini.
“Good luck in
the new place”, ucapku pada Salima sambil mengusap air mata di dekat mata
kanan ku.
“I wish you
good luck, Salima. We’ll miss you”, saut Cassandra.
“I’m gonna
miss you too, girls. I’m gonna write you a postcard from Boston. And good luck
for everybody.”, balas Salima menguatkan.
“Yeah, good
luck, Salima…”, ujar Jamie.
Saat mengatakan itu, tubuh Jamie mengarah ke arah
Salima dan berniat ingin memeluknya, tapi Salima buru-buru membuka kedua
telapak tangannya dan memblokir niatan Jamie untuk memeluknya sambil berkata “Hmm, excuse me. Anyway, thank you for your
helps, Jamie, Eugene”
“No problem
for me. Good luck, Salima”, respon Eugene.
“Good bye,
guys. Assalamualaikum!”, ucap salam Salima kepada kami semua.
“Walaikumsalam”,
dibalas oleh kami semua yang mana membuatku terpana karena bisa-bisanya Jamie
yang anti agama tahu cara membalas ucapan itu yang mana tercengang ku
dibuatnya. Kalau Cassandra memang tidak heran karena aku dan Salima pernah
mengajari Cassandra cara membalas salam dengan bahasa Arab, dan juga pernah
mengajarinya cara berdoa sebelum makan. Ah, Salima belum pindah saja aku sudah
rindu kebersamaan kami bertiga.
“Hah, she’s
gone. Well, one left, but another one will coming”, ucap Cassandra.
“Yeah, you’re
right. Your brother will be coming to New York”, balasku.
“Who’s his
name, by the way?” tanya Eugene.
“Dominico”,
balas Cassandra.
“Nice name”,
saut Jamie.
“Thanks.”
Balas Cassandra.
“Well, that’s
nice actually. I have a new bro in the house. And I’ll bring him to a club for
whole month”, ujar Jamie terdengar konyol meskipun hanya lelucon semata.
“Whatever you
say, Jamie.”, jawab Cassandra agak terganggu.
“Yeah.
Burrito from Mexico! Woohooo!”, ujar Jamie lagi
sambil berseru.
Dan kami semua kecuali Jamie, diam tak
bergeming, memandang ke arah Jamie dengan aneh.
- BERSAMBUNG -
=====================================================================
Episode 3 : Burrito dari Mexico
Yureka.
Natal 2018 dan Tahun Baru 2019. New York. Masa depan.
Waktu begitu cepat berlalu. Tiba-tiba sudah musim
dingin. Ya, sudah dimulai sejak bulan November, tapi salju sudah mulai turun ke kota
New York. Favoritku! Meski dingin, harus siap siaga untuk menyalakan penghangat
ruangan tiap sore tiba dan siap siaga pula mematikannya dikala pagi hari
terkhusus ketika akan meninggalkan apartemen, tapi meski demikian indahnya salju tidak ada
duanya. Tidak hanya salju yang menjadi latar belakangnya, tetapi juga ada
banyak hal yang terjadi dalam hidupku belakangan ini. Akan aku ceritakan
setelah ini. Aku akan berusaha pula untuk membeberkannya satu persatu, kalau
aku tidak lelah untuk mengingatnya.
Jadi, setelah Salima, si gadis Libya dengan ribuan
peraturan namun baik hati itu pindah ke Boston, ada banyak cerita yang terjadi.
Salah satunya adalah kedatangan Dominico, adik kandung Cassandra yang tinggal
di Meksiko yang sedang berlibur selama satu bulan di New York. Sudah kaya atau
bagaimana yaa? Liburan kok satu bulan? Ya, terserah, asal uang untuk
berliburnya bukan dari hasil korupsi. Itu yang terpenting.
Pokoknya, selama satu bulan, sekitar pertengahan Desember 2018
hingga akhir Januari 2019, Dominico Rodriguez datang dan berlibur di New York, dan
juga menginap di apartemen ku dan Cassandra selama satu bulan penuh itu juga.
Hitung-hitung menggantikan Salima dan menunggu sampai roommate lainnya datang,
lebih tepatnya pada awal Februari mendatang.
Beberapa hari sebelum Dominico datang, Cassandra
sudah meminta bantuanku untuk menjemput Dominico di bandara sekaligus menjadi
tourguide-nya selama tiga hari pertama kedatangannya di New York. Cassandra
memberikan imbalan dengan memberikan ku uang 200 dollar untuk modal naik taksi,
plus stok makanan seperti roti, susu, telur, dan keju selama satu bulan penuh.
Ya, padahal aku sangat ikhlas membantunya untuk menjadi tourguide adiknya
selama ia di New York. Toh, sekalian aku bisa jalan-jalan menyusuri kota New
York yang mungkin aku belum pernah kesana sebelumnya.
Awalnya aku meminta Eugene menemaniku menjemput
Dominico ketika dia mendarat di bandara di pertengahan Desember tersebut, namun aku baru ingat kalau ia sudah
janji dengan teman-teman kampusnya untuk bermain basket di sebuah lapangan
dekat dormitorinya. Aku juga menawarkan pada Eugene apakah ia mau menemaniku
juga mengantar Dominico jalan-jalan keliling kota, jawabannya juga tidak. Saat
itu tidak hanya harus mengurus Mapping
Day-nya yang akan dilaksanakan selama 10 hari mulai dari tanggal 7-16
Januari mendatang, namun juga mulai sibuk menyiapkan tesisnya yang sebenarnya
tenggat waktunya sudah hampir mendekati akhir. Bicara soal tesis, rencananya ke
Nebraska bukan hanya untuk tugas Mapping Day saja, namun juga sebenarnya ada
kaitannya dengan tesisnya yang akan disidangkan akhir Maret mendatang. Maka
dari itu, ketika aku tahu semua kesibukannya memang bukan ilusi semata, jadi
sebagai pacar yang baik, aku harus memakluminya dan hanya bisa mendukung yang
terbaik untuk Eugene.
Meskipun Eugene tengah disibukkan dengan urusan
perkuliahannya, kami tetap saling berkomunikasi. Ya, meskipun kadang kesal juga
kalau ia cukup lama membalasnya, atau tidak mengangkat telponku saat aku sedang
membutuhkannya. Tapi, ya kembali lagi, aku hanya bisa memakluminya dan tidak
mencoba menjadi kekanak-kanakan dikarenakan hal tersebut.
Tapi untungnya ada Dominico. Maksudku, aku
membiarkan Eugene menyelesaikan apa yang harus diselesaikan, sementara aku juga
sibuk menjadi tourguide-nya Dominico. Selama beberapa hari, sesaat setelah
Dominico mendarat dengan selamat di bandara John F. Kennedy, aku menemani
remaja berusia 18 tahun ini untuk melakukan banyak hal di tempat-tempat kece di
kota New York, seperti jalan-jalan plus main salju di Central Park; melihat
pohon Natal yang super duper besar di Rockefeller Center; melihat salah satu
gedung paling tinggi di New York, Empire State Building, foto-foto di Brooklyn
Bridge, mengunjungi National September 11 Memorial and Museum dan Museum of
Modern Art, makan-makanan Asia di China Town, main-main ke Theater District
sekaligus memperkenalkan tempat praktekku juga kampusku Tisch School of Art by
New York University, dan tidak ketinggalan Times Square.
Tidak hanya mengajaknya jalan-jalan, saat malam
Natal juga kami menghabiskan waktu bersama di apartemen. Eugene dan tunangannya Cassandra, José juga datang. Kami masak makanan dari negara kami masing-masing.
Aku dan Eugene memasak Nasi Goreng yang entah mengapa menjadi kesukaan
Cassandra kalau kami masak makanan itu bersama. Kami juga membuat Kolak Pisang
yang selain sebagai hidangan penutup juga sebagai makanan penghangat dari udara
dinginnya New York kala itu.
Kalau José, lain lagi. Berhubung ia adalah anak
campuran Amerika-Meksiko-Honduras, maka ia memilih menjadi representatif dari
Honduras, negara asal Ayahnya dan juga negara tempat ia tinggal saat ia berusia
5 hingga 8 tahun. José menyajikan makanan khas dari Honduras bernama “Olla
Soup”. Jujur, aku tidak tahu sama sekali dengan negara itu, kecuali David
Archuleta yang menjadi salah satu penyanyi Amerika favoritku sejak lama yang
juga berdarah campuran Honduras. Hmm, mungkin aku terlalu banyak mendengarkan
lagu-lagunya, sehingga aku jadi ada kesempatan untuk menyicipi salah satu
makanan khas dari Honduras. Lucu, ya?
Lain lagi dengan Duo Meksiko, Cassandra dan Dominico
Rodriguez, mereka menghidangkan tiga menu sekaligus, yakni Guacamole, Tinga de
Pollo, dan Burrito. Wah, makanan Meksiko favoritku ternyata juga ada! Tapi kata
Cassandra, sebenarnya Burrito bukan makanan otentik dari Meksiko, melainkan
lebih kepada campuran dan atau sudah diadopsi oleh budaya Amerika yang mana
dibuat oleh orang-orang Texas. Hmm, yaa seperti layaknya Fajitas yang juga
campuran antara Meksiko dan Amerika Serikat. Cassandra membuatnya karena ia
lebih mahir membuat Burrito dibandingkan temannya, Taco, yang sebenarnya
isiannya hampir mirip satu sama lain. Ya, pokoknya ia bilang tidak harus
otentik dari Meksiko, karena ia sejujurnya juga lebih suka Burrito dibanding
Taco. Mungkin karena sudah terlalu lama tinggal di Amerika, jadi lidahnya juga
agaknya sedikit berubah. Ya, apapun itu, aku tetap bersyukur Cassandra mau
membuatkan semua makanan itu untuk kami.
Malam Natal berjalan dengan penuh ketenangan dan
kedamaian. Ya, seperti yang pernah kalian liat di film-film, minum coklat
bersama, ngobrol-ngobrol, atau menonton film yang dilatarbelakangi oleh salju
diluar dan pohon Natal di dalam rumah. Yang ada di film itu memang benar
adanya, kecuali menyalakan perapian dan pohon Natal di ruang keluarga, ya
karena kami hanya tinggal di apartemen berbagi, tidak ada ruang keluarga yang
asli apalagi tempat perapian. Tapi menghabiskan malam tersebut dengan
orang-orang tercinta buatku sudah lebih dari cukup. Ya, meskipun aku dan Eugene
tidak benar-benar merayakannya, tapi bagi kami, anggap saja itu waktu yang
tepat untuk kumpul bersama. Ah, rasanya kalau diingat-ingat, momen itu seperti
sedang bersama keluarga. Aku tidak akan pernah melupakan hal itu sampai
kapanpun.
Meskipun aku tidak punya libur Natal dan Tahun Baru
yang ‘official’, dikarenakan aku
harus tetap mengerjakan karya tulisan sebagai syarat kelulusan S2 ku ini, tapi
aku tetap menikmatinya dengan berjalan-jalan dengan Dominico. Ya, sayangnya
Eugene masih tidak bisa diajak jalan-jalan karena kalau ia menunda mengerjakan
tesisnya, maka semuanya akan terbengkalai dan tidak akan selesai tepat waktu.
Jadi, aku biarkan saja ia fokus dengan tesisnya.
Tapi aku agaknya sanksi melakukan semua itu dengan
Dominico. Maksudnya, intensitas bertemunya diriku dengan Dominico lebih sering
dibandingkan dengan Eugene, dan itulah yang memunculkan sesuatu setelahnya. Ya,
sesuatu itu tidak lain tidak bukan adalah sebuah masalah.
Eugene yang awalnya sangat mempercayakan padaku
kalau tidak akan terjadi apa-apa di antara aku dan Dominico, pada akhirnya ia
yang cemburu buta dengan Dominico. Padahal aku yang sudah bilang kepadanya
kalau harusnya ia ikut sesekali denganku dan Dominico agar aku juga tidak
terlalu merasa bersalah. Akupun serba salah dibuatnya, aku sudah punya pacar,
tapi aku harus menemani anak remaja ingusan seperti Dominico yang tidak tahu
apa-apa tentang New York dan seisinya, meskipun aku juga tidak tahu banyak.
Tiap sudut kota New York terlalu besar untuk diingat hanya dalam kedipan mata
saja. Percayalah. Intinya pacarku tidak mau diajak jalan-jalan dengan alasan
urusan perkuliahan yang tidak bisa ditunda. Lalu ketika pacarku cemburu karena
anak ingusan itu, lalu siapa yang salah?
Hingga suatu hari aku benar-benar kesal dengan
Eugene dan aku tidak mau membalas Whatsapp-nya untuk sementara waktu. Dan yang
aku lihat, hal ini yang dimanfaatkan Dominico. Bukan aku sok tahu, atau sok terbawa
perasaan, tapi sepertinya memang sesaat setelah aku menjemputnya di bandara
waktu itu, Dominico sepertinya ada rasa denganku. Bukan aku sok kepedean, tapi
awalnya aku dan Dominico biasa saja, kami ngobrol seperti layaknya teman. Tapi
semua berubah setelah perayaan Natal. Ia jadi gugup kalau berbicara denganku.
Ia mengedipkan mata lebih banyak dari biasanya.
Tapi jangan salah, aku tidak sama sekali berniat
selingkuh dari Eugene. Aku hanya ingin mempergunakan waktuku sendiri dengan
baik. Aku pun sudah membiarkan Eugene mempergunakan waktu sendirinya dengan
baik. Tapi yang tadi ku bilang, Dominico memanfaatkan dengan hal itu menjadi
sebuah kesempatan emas. Seperti, Dominico jadi sering mengirim pesan Whatsapp
kalau aku sedang ke kampus. Contohnya seperti menanyakan keadaan ku di kampus
(kalau aku ke kampus), memberikan semangat, dan masih banyak lagi. Oh, atau
saat kami berbincang-bincang seputar latar belakang keluarganya Cassandra dan
Dominico yang sebenarnya. Kira-kira percakapannya sebagai berikut :
Yureka :
“Wait… wait… So, you guys are the descent
from Spanish, French, Russian, Italian and Mexican”
Cassandra :
“You got it!”
Yureka :
“Wow. I never heard that one family has a
lot of ancestors like that before. It sounds so complicated.”
Dominico :
“Don’t be confused, please” (tertawa
kecil). (ternyata kalau tertawa manis juga).
Yureka :
“Hey, wait. That’s why. I was wondering
why Dominico has fair skin, not like you, Cassey. I’m sorry, no offense, but I
was just wondering about that. And that’s maybe because of the multi-races
ancestors that you’ve told to me before”
Dominico :
“Yap. As you can see, I am different with
my own sister. Or maybe I am not her brother”
Cassandra :
“No, you are my brother”
(semua tertawa)
Yureka :
“So, it means that you are all…. Mix?”
Dominico :
“Yeap. I would say yes. But, I mean, if I am marrying a person like you, an Asian girl, and having kids, my kids must be
more mix. If you know what I mean”
(Jujur saat Dominico mengatakan ini, aku tiba-tiba
gugup dan lidahku bergetar tapi tidak bisa digerakkan. Aku berusaha agar tidak
terlalu terbawa perasaan, tapi sialnya aku mulai terbawa perasaan. Yureka,
stop! Kau ini sudah punya kekasih!)
Dominico :
“By the way, do you have also ancestors
from another part of the world?”
Yureka :
“Nope. I am 100% Indonesian. I mean, I
don’t know, maybe I do have, but so far, no clues.”
Cassandra :
“But Eugene has some, right? So, when you guys
got married and having children, your kids must be mixed”
Yureka :
“Yeah, you’re right. Wow, Cassey, I never
realized that one, actually”
Dominico :
“What is his ancestor?”
Yureka :
“His mother is actually from South Korea,
but his grandparents are also mix. His grandfather is Korean, and his
grandmother is Chinese. Like really Chinese, the China Mainland, not Hongkong, or Macau, even
Taiwan. So, yeah. And his father is Indonesian. So, he is 50% Indonesian, 25%
Korean, and the rest is Chinese.”
Jujur,
percakapan itu sangat menyenangkan. Tapi jujur juga, aku jadi agak merasakan
aneh saat Dominico berkata demikian, “Jika aku menikah dengan orang sepertimu yaitu dari Asia dan memiliki anak, maka anak-anak itulah akansangat sangat campuran”.
Astaga, Tuhan, kenapa orang seperti diriku sangat gampang sekali terbawa
perasaan? Yureka, ingat Eugene, Yureka, ingat itu!
Aku pun mencoba tenang dan seolah tidak terjadi
apa-apa. Tapi aku menjadi takut jikalau sesuatu terjadi padaku dan Dominico.
Bukan sesuatu yang sangat buruk, tapi hanya sesuatu yang bisa mengancam
kelangsungan hubunganku dengan Eugene.
Jadi, suatu hari, saat Dominico tahu
kalau Eugene berangkat ke Lincoln, Nebraska untuk 10 hari, ia mengajakku ke
bioskop dan menonton film bersama. Oh ya, ngomong-ngomong, aku sudah baikan
dengan Eugene saat malam tahun baru. Dengan kalimat-kalimat yang seperti di
film-film seperti “I know I was stupid to
do that to you, Honey, but, I’m promised to you to not be jealous to anyone
again. Because I trust you”. Hmm, sok romantis, tapi memang romantis sih,
bagaimana dong? Lalu aku dan Eugene menghabiskan malam pergantian tahun bersama
dan sudah tentunya melihat “Ball Drop”
di Times Square. Tapi setelah itu ada hal yang tidak disangka. Disanalah adegan
seperti di film-film juga terjadi, Eugene mencium ku! Oh Tuhan, ampuni kami
atas apa yang kami lakukan! Tapi bagaimana lagi, jujur, aku sangat senang
dengan momen itu. Aku tidak akan melupakannya.
Kembali soal ajakan Dominico ke bioskop, ya karena
aku tahu itu hanya ajakan normal seseorang, jadi aku iyakan tawarannya
tersebut. Akhirnya kami memilih untuk menonton “Mary Poppins Returns”. Semua
berjalan dengan normal. Tidak ada yang aneh. Tidak ada yang janggal. Sampai hal
yang tidak terduga pun terjadi. Tidak hanya Eugene yang mencium bibirku,
Dominico juga! Apa-apaan ini! Oh Tuhan, apa yang terjadi pada hidupku?!
Hal itu memang tidak langsung diketahui oleh Eugene,
tapi bodohnya Dominico yang memberitahukan kejadian itu kepada Eugene langsung!
Oh bodohnya anak itu!
Tepat sehari setelah Eugene kembali dari Nebraska,
Dominico menghampiri Eugene ke kampusnya. Astaga, aku tidak bisa membayangkan,
Columbia University kedapatan fenomena tidak mengenakkan yang dibuat oleh dua
manusia tampan itu. Ya, ya, aku akui Dominico sangat tampan. Jangan salahkan
aku, aku hanya manusia biasa yang juga bisa menilai seseorang secara subjektif.
Apapun itu, lupakan. Intinya, saat itu aku juga berada ditengah-tengah mereka.
Entah aku menjadi saksi, korban, atau justru tersangka dalam kasus ini.
Tapi yang aku tahu, raut wajah Eugene berubah
drastis. Ia yang masih disibukkan dengan tesisnya, terlebih masih kelelahan
dari Mapping Day-nya 10 hari kemarin, pastinya dipenuhi amarah yang tiada
duanya. Aku pun saat itu hanya terdiam, membeku, kaku, dan apalah yang
membuatku tidak bisa berkata apa-apa.
“I am sorry,
dude. I didn’t mean to do that. I really apologize. Listen, I need to do this
because tomorrow I should go back to Mexico and I don’t want to have something
left behind especially with you. So, I told the truth. Would you mind to
forgive me? Please”, ungkap Dominico yang saat itu benar-benar sangat
menyesalinya.
Eugene terdiam namun membalas “Son, let me tell you this. Next time, if you wanna fuck a girl, please
make sure that she doesn’t have any man unless her father and brother. Then you can
do whatever you want…”
Dominico hanya terdiam.
Tapi Eugene melanjutkan ini, “Don’t worry, I forgive you. But, let me give this for you…”
Dominico yang tadinya tertunduk kepalanya kemudian
menengadah sambil bertanya “What?…”
Belum selesai dengan kata-katanya, Eugene tidak
segan-segan melemparkan bogem mentah ke arah wajah Dominico dan alhasil hidung
Dominico mengeluarkan darah. Ya, tidak banyak, tapi kalau dibandingkan mimisan
sih sama kuantitasnya. Oh, tidak, itu memang benar-benar berdarah!
“And don’t
call me dude, again. Forever! Good day!”. Eugene mengakhiri
percakapan dengan bogem mentah itu lalu pergi.
Aku mencoba membantu Dominico dan memastikan apakah
hidungnya benar-benar parah atau tidak. Belum selesai aku niat baikku menolong
Dominico, Eugene lanjut mengatakan “Ayo, Yang, kamu mau ikut aku atau si
kampret ini?”
“Sayang, kamu bikin dia berdarah, ya emang nggak
boleh aku bantuin dia dulu. Kamu gimana sih?”
“Ah! Terserah!”
Eugene pergi. Aku masih bersama Dominico. Aku bahkan
yang membantunya untuk menghentikan darahnya. Untung saat SMP dulu, aku sempat
menjadi anggota PMR, jadi tahu sedikit tentang bagaimana mengatasi mimisan. Ya,
ini memang bukan mimisan tapi yaa anggap saja penanganannya sama.
Di apartemen, aku menceritakan semuanya kepada
Cassandra. Aku pikir Cassandra akan memarahiku dan atau adik kesayangannya.
Tapi ia sangat objektif. Ia sabar, dan memberi nasehat terbaik untuk adiknya.
Mereka sempat berbicara dengan bahasa Spanyol yang aku tidak tahu sama sekali
kecuali unos, dos, dan tres yang
kupelajari dari Dora The Explorer sewaktu aku SD dulu. Tapi sepertinya nasehat
itu sangat mendalam. Tapi setelahnya Cassandra dan Dominico saling berpelukan.
Cassandra juga meminta Dominico untuk meminta maaf kepadaku. Sambil memelukku,
Dominico dengan menyesal meminta maaf, dan dengan berbesar hati, aku
memaafkannya dan berpesan kepadanya agar ia tidak lagi mengulangi hal yang sama
kepadaku ataupun kepada perempuan lainnya. Semoga ia benar-benar mengambil
pelajaran dari kejadian itu.
Tanggal 18 Januari 2019, Dominico harus kembali ke
Mexico City. Selain memang sudah satu bulan ia habiskan liburannya di New York,
ia juga harus mengurus pendaftaran universitas yang akan dimulai musim semi
nanti. Lagipula ia juga sudah booking tiket untuk pulang, yaa mau tidak mau yaa
ia harus pulang. Bagaimana sih?
Tapi di bandara JFK, saat aku dan Cassandra
mengantarnya, kami semua baik-baik saja. Kami pun sempat saling melempar candaan
selama perjalanan dari apartemen menuju bandara. Aku harap kami benar-benar
sudah melupakaan kejadian tidak menyenangkan itu.
Salam perpisahan ditujukan kepada Dominico yang
tidak terasa satu bulan kami habiskan waktu bersama. Tidak hanya jalan-jalan
keliling kota New York, tapi juga menonton Netflix bersama, makan bersama,
belajar bahasa Spanyol darinya, bahkan kami sempat bersih-bersih rumah bersama
karena ia sempat mengadakan pesta dadakan dengan meninggalkan puluhan kaleng
dan botol bir di apartemen, itu yang akan aku rindukan dari Dominico. Apalagi
dengan kepolosannya. Ya, seperti layaknya anak usia 18 tahun. Semoga akan ada
banyak pengalaman yang ia dapatkan di masa yang akan datang. Aku juga berharap
bisa bertemu ia lagi suatu hari. Tetap sebagai teman, atau kakak dadakan
untuknya. Tapi mungkin juga karena aku tidak punya adik, jadi aku memang merasa
satu bulan ini Dominico sudah kuanggap seperti adikku sendiri.
“Thank you for
everything, Yureka”, ujar Dominico sebelum masuk untuk boarding.
“Never mind.
It’s been my pleasure, though. Well, I hope to see you again in Mexico... with your sister’s
money cause I have no money for the flight and accommodation and everything”, balasku sambil melempar candaan.
“Excuse me”, sambar Cassandra kesal namun kemudian tertawa kecil.
Dan benar, kami bertiga pun tertawa.
Dominico pun berpamitan dengan kakaknya. Ya, mereka
lagi-lagi menggunakan bahasa Spanyol. Aku sama sekali tidak mengerti. Sesi
pelajaran yang diberikan Dominico waktu itu sama sekali tidak membantu.
Tapi entah mengapa aku senang dua kakak beradik ini
telah menghabiskan waktu bersama dengan cukup di kota terbesar di dunia ini.
Aku bisa membayangkan betapa sulitnya menahan rindu dengan saudara kandung
sendiri yang hampir tidak pernah bertemu tiap tahunnya kecuali saat Natal atau
libur musim panas saja.
Dominico kemudian sudah masuk ke boarding gate. Semoga ia
selamat sampai di Mexico City.
Aku dan Cassandra pun harus kembali ke tanah
Manhattan. Tapi sebelum kami benar-benar kembali ke apartemen, kami
menyempatkan untuk berjalan-jalan sesaat di daerah Times Square dan juga mampir
ke Bloomingdale’s. Ada yang harus dibeli kata Cassandra. Dan memang berhujung
belanja disitu. Hmm, aku tidak terlalu suka masuk ke toko pakaian sebenarnya, tapi aku
sangat jarang menghabiskan waktu berdua dengan roommate kesayanganku ini, jadi tidak ada salahnya menemaninya
belanja, toh tidak ada ruginya juga.
Aku membiarkan Cassey memilih-milih dan berkeliling
di Bloomingdale’s sepuasnya, sementara aku juga sambil melihat-lihat isi toko
tersebut. Jujur, aku belum pernah masuk ke Bloomingdale’s, yang kata orang
lumayan prestisius di New York.
Saat sedang melihat-lihat di area aksesoris, aku
melihat sepasang laki-laki dan perempuan. Aku rasa mereka warga lokal. Bukan
apa-apa, yang membuatku menghentikan langkahku lebih jauh lagi di toko itu, aku
melihat yang laki-laki berwajah oriental, sedangkan yang perempuan berperawakan Asia Tenggara, semacam Thailand atau mungkin Malaysia. Ya, aku tentunya teringat
dengan Eugene. Sejak kemarin, aku belum menghubunginya lagi. Aku takut untuk
memulai percakapan setelah kejadian dengan Dominico, terlebih kejadian
berdarah, hidung berdarah kemarin.
Aku tahu aku rindu, tapi sepertinya memang lebih
baik tidak bicara dulu. Aku memberikan ruang dan waktu untuk menjernihkan
pikiran masing-masing. Aku juga tahu Eugene pasti masih sibuk dengan urusan
tesisnya. Jadi, lebih baik benar-benar tidak berkomunikasi dulu. Minimal sampai
besok.
Malamnya, di kamar, aku sedang menyicil karya
tulisan skenario film sebagai tugas akhirku untuk mendapatkan gelar MFA dari
kampus NYU tercinta. Tapi entah mengapa sering sekali pikiranku terdistraksi dengan bayang-bayang
Eugene.
“Ya Allah, aku kangen Eugene…”
Ku raih smartphone ku, lalu berniat membuka
Whatsapp, dan berusaha mengetik sesuatu ke chatroom Eugene. Tapi ku tahan.
Sesekali aku melihat keluar jendela. Diluar masih dingin, salju juga masih ada
menutupi jalanan kota New York.
Aku mengetik “Hello
georgous, are you free tomorrow? Let’s meet! I miss you”.
Belum sempat aku menekan tanda amplop terkirim di
layar, aku melihat ke arah atas layar dan disitu ada keterangan “typing…”. Berarti Eugene juga sedang
mengetik sesuatu dan akan mengatakan sesuatu kepadaku.
Oh My God, apa yang akan ia katakan padaku?
Apakah Eugene akan mengajakku bertemu karena kami
sama-sama sudah menahan rindu?
Atau justru sebaliknya?
Apakah ia akan memintaku untuk putus?
- BERSAMBUNG -
=====================================================================
Episode 4 : Waktunya Kanada
Eugene. Januari 2019. New York. Masa Depan.
“Sayang, kamu di apartemen, kan? Bukain pintu dong. Kedinginan
nih…”
Ya, buru-buru gue ngetik itu ke Yureka. Karena gue
ada di depan gedung apartemennya. Bodohnya, gue nggak bawa sarung tangan.
Karena buru-buru dari dormitori gue yang deket kampus Columbia University ke
apartemen Yureka di daerah Broadway dan membutuhkan waktu kurang lebih 40 menit
naik metro plus jalan kaki dan lain sebagainya. Nggak ada alasan khusus sih
kenapa tiba-tiba kepikiran buat ke apartemen Yureka. Tapi karena kita baru aja
berantem yang ala-ala gitu, jadi yaa nggak ada salahnya kalau ketemuan
langsung, biar lebih clear, lebih
enak ngomongnya.
Eh, btw,
gue udah jadian loh sama Yureka. Lebih tepatnya sejak 30 Oktober 2018 lalu.
Hmmm udah hampir 3 bulan sih, dan yaa masih asyik-asyik aja. Kecuali kejadian
yang baru-baru ini terjadi. Dominico, adik kandung dari roommate-nya Yureka, si Cassandra, eh gimana tuh. Yaa, pokoknya
gitu. Cerita singkat, Dominico lagi liburan di New York selama satu bulan dan
menginap di apartemen mereka karena roommate
mereka terdahulu udah pindah ke Boston dan selama roommate yang baru belum pindah, alhasil diisi sama Dominico.
Berawal dari jemput dia di bandara, Yureka jadi
deket banget sama Dominico. Yaa, jujur sih gue cemburu sama Dominico, tapi ya
gue berusaha biasa aja soalnya yaa masa cuma karena bantuin roommate-nya untuk jemput adiknya di
bandara aja masa harus gue larang-larang. Gue nggak seposesif itu juga lah.
Pokoknya semua awalnya berjalan dengan baik. Mereka
juga jalan-jalan bareng. Sedangkan gue membiarkan mereka begitu karena di saat
yang bersamaan gue harus ngurus kegiatan Mapping
Day gue yang emang gue butuhin buat keperluan penyusunan tesis gue. Mapping
Day itu semacam outing class, yang diperluin untuk memenuhi kredit perkuliahan
dan juga untuk keperluan pembuatan maket sebagai model dari hasil karya tesis
mahasiswa jurusan Urban Planning kayak gue. Dan Mapping Day-nya itu sendiri di Lincoln, Nebraska selama sepuluh
hari.
Trus, baru aja gue pulang dari Mapping Day, tiba-tiba Dominico ngajak ketemuan. Oh yaa, sebelumnya
gue udah pernah ketemu dia sih, makan-makan bareng pas perayaan malam Natal di
apartemen mereka. Pas ketemu, waktu itu di kampus, di pelataran depan ruang
kelas yang biasa gue pake buat mata kuliah Urban
Design Studio. Disitu Dominico cerita panjang lebar dan yang mengejutkan
karena Dominico ngaku kalau dia abis cium cewek gue sesaat setelah mereka nonton
dari bioskop. Ya, gue kesel lah, jelas. Kesel dan marah sama dua-duanya.
Dominico, karena jelas-jelas dia tahu kalau Yureka itu cewek gue. Yureka, udah
tahu dia udah punya pacar, kenapa nggak dia hindar. Dia juga nggak menghargai
kepercayaan yang gue kasih buat dia supaya dia nggak ngapa-ngapain sama orang
lain, khususnya sama Dominico.
Tapi, yaudah lah, udah kejadian juga. Gue nggak bisa
ngapa-ngapain juga. Mau diulang adegannya kayak gimana juga nggak bakal bisa.
Gue berusaha nenangin diri karena jujur gue orangnya kalau udah marah sama
orang bener-bener marah sejadi-jadinya. Dua-duanya juga udah minta maaf sama
gue. Dan Dominico juga ngaku kalau dia suka sama cewek gue. Ya, nggak bisa
dong, kecuali kalo emang Yureka suka juga sama Dominico tapi posisinya Yureka masih sjomblo, mungkin bisa. Tapi
kan, hello! Yureka cewek gue! Gila aja kali! Yureka
juga sukanya sama gue, meskipun Dominico cakep ganteng ala-ala Latinos, tapi
gue yakin hati Yureka cuma buat gue. Duh sorry
lebay.
Okelah, intinya kayak gitu. Tapi pas mereka minta
maaf, gue pun dengan berbesar hati memaafkan mereka. Tapi entah setan dari
mana, gue tiba-tiba nonjok Dominico dengan keras. Tepat di hidungnya dan
berdarah. Nggak tahu sih parah apa enggak, soalnya abis mukul dia, gue langsung
pergi. Gue udah bodo amat.
Nah, malam ini gue tahu kalau Dominico baru aja
balik ke Meksiko, negara asalnya. Berarti kan Yureka dan Cassandra ada dirumah
setelah capek nganterin Dominico. Dan gue yakin jam segini, hmm jam 11 malem,
Yureka ada di kamar dan belum tidur. Karena kalau nggak nulis, yaa main laptop.
Yaudah lah gue suruh dia cepet-cepet bukain pintu.
Tiga detik kemudian dia bales “Hah? Oke bentar”. Dan
nggak berapa lama, pintu utama dibuka dan gue pastinya langsung buru-buru masuk
ke dalem karena gila emang diluar dingin banget.
Sampai di depan pintu apartemennya, gue ketuk tiga
kali, dan nggak berapa lama, ada sosok wanita penuh kharisma bernama lengkap
Yureka Bhanuresmi Cendekia yang berdiri tepat di depan gue. Cantik banget sih
cewek gue! Padahal mukanya lagi capek banget tuh gue tahu, tapi pasti dia
seneng pas tahu gue kesini. Dan ya, pas dia tahu di balik pintu ada gue, dia
langsung senyum lebar banget. Dan masih kedinginan, bibir masih bergetar karena
menggigil, gue membuka tangan gue pertanda gue minta dipeluk. Ya, nggak sopan
yaa minta peluk, tapi gimana ya, gue udah kangen berat sama Yureka, plus gue
kedinginan, jadi emang butuh yang namanya pelukan.
Yureka pun menyambut baik petunjuk gue dan langsung
menghampiri gue. Lalu, kami pun berpelukan. Gue peluk erat dia, dan gue usap
kepalanya. Bukan berarti apa-apa, itu cuma ekspresi gue karena gue sayang
banget sama dia, kangen, dan gue mencoba mentransfer feeling kalau gue emang udah maafin dia dan anggap aja kemaren itu
cuma badai-badai dikit, tapi kita udah berhasil melewatinya.
Akhirnya malam itu kami habiskan untuk ngobrol,
banyak hal, mulai dari utara ke selatan, ke barat trus ke timur. Mungkin efek
udah lama nggak ngobrol bareng, jadi ada aja yang dibahas. Sampe nggak berasa
kalau waktu udah menunjukkan pukul 2 pagi! Ini nggak mungkin kan kalo gue balik
ke Columbia University. Akhirnya gue memutuskan untuk menginap di apartemennya
Yureka, tapi nggak di kamarnya Yureka juga yaa. Meskipun kami tinggal di
Amerika Serikat, negara yang super duper bebas (menurut gue), tapi karena kami
berdua orang Indonesia dan masih menjunjung tinggi budaya ketimuran, jadi
alangkah baiknya kalau gue pake ruangan lain. Dan dikarenakan kamar bekas
Dominico sejauh ini masih kosong, akhirnya gue memutuskan untuk tidur disana.
Kalaupun suatu hari udah ada roommate yang
baru yang bakal ngisi ruangan itu, dan gue suatu saat juga terpaksa menginap,
gue rela tidur di tempat lain, contohnya di sofa merah di dapurnya apartemen
mereka.
💙💙💙
Yureka. Februari 2019. Menuju Ottawa, Kanada. Masa Depan.
Aku sudah berbaikan dengan Eugene beberapa waktu
lalu. Lebih tepatnya tepat setelah aku dan Cassandra mengantarkan Dominico ke
bandara JFK karena Dominico saat itu harus kembali ke Mexico City dan juga
karena waktu liburannya sudah habis. Di hari yang sama Dominico pulang ke
Meksiko, malamnya Eugene datang. Tanpa banyak kata, Eugene mempersilahkanku
memeluk dirinya dengan penuh kebahagiaan. Kami berpelukan, saling meminta maaf,
dan memulai semuanya dari awal.
Saat ini, aku dan Eugene sudah kembali seperti
biasa. Saling memberi pujian, saling rindu satu sama lain walau hanya 24 jam
tidak bertemu, dan saling malu-malu angsa kalau bertemu dan juga menghabiskan
waktu bersama. Aku tidak tahu pasti apakah cara kami ini benar-benar yang
dinamakan pacaran. Ya, secara aku belum pernah ‘officially’ punya kekasih sebelumnya. Jadi bagiku, meskipun sudah
bulan ketiga bersama, tetap saja masih aneh, masih canggung, masih belajar
bagaimana mengatur waktu sendiri dan bersama. Apapun itu, aku yakin semua orang
punya caranya masing-masing.
Sudah lah, lupakan saja kejadian kemarin. Sekarang
aku dan teman-teman Batik Day harus fokus dengan kegiatan kami selanjutnya,
yaitu PERGI KE KANADA!!!! Aku benar-benar masih tidak menyangka kalau aku akan
menginjakkan kakiku kesana. Masalahnya, sejak duduk di bangku perkuliahan S1
dulu, aku sangat ingin pergi ke Kanada. Hmm, sebenarnya lebih ingin pergi ke
Amerika terlebih dulu, tapi Kanada merupakan salah satu negara impian juga.
Alasannya? Kenapa yaa? Aku juga lupa persisnya bagaimana. Hahahaha.
Oh, aku ingat, karena Tanteku. Ibunya Dee, si
sepupuku yang gila Korea itu. Masih ingat? Jadi, Tanteku pernah kerja di
Toronto, Kanada, selama beberapa tahun. Dan kami juga pernah saling mengirimkan
kartu pos beberapa kali. Aku juga sering dikirimi foto-foto dengan latar
belakang suasana Kanada yang asri, menenangkan, dan asyik lah begitu pokoknya.
Kalau beliau pulang ke Indonesia juga sering sekali membelikanku coklat atau
oleh-oleh khas Kanada. Maka dari itu, rasanya sangat beruntung kalau aku bisa
mengikuti jejak Tanteku tersebut. Ya, meskipun kesana hanya jalan-jalan saja.
Hari ini, aku, Kak Anna,
Chandra, Gilang, Dhimas, Farida, Fikri, dan tentunya my oriental boyfriend, Eugene, kami semua sudah berkumpul di
bandara JFK untuk bertandang ke bandara Ottawa/Mcdonald-Cartier International
Airport dengan menggunakan maskapai Air Canada. Tidak hanya kami berdelapan,
tapi ada juga beberapa perwakilan pengurus Permias dan tentunya staff dari KJRI
New York yang juga ikut ke Kanada. Ya, iyalah, kan mereka yang bayar semua
akomodasi kami selama di Kanada. Kalau mereka tidak ikut, kami akan berakhir
menjadi gelandangan seumur hidup di Kanada. Kan, tidak lucu.
Selama kurang lebih 1.5 jam perjalanan udara, kami
sangat nyaman duduk di kursi ekonomi, walaupun semua staff KJRI duduk di bangku
bisnis. Ya, iyalah, kan mereka pegawai negara Republik Indonesia, kami hanya
segelintir mahasiswa yang baru mau akan menikmati kesuksesan, jadi wajar kalau
sistem kelas diaplikasikan dalam konteks ini. Lagipula kalau kami iri hati pada
mereka, mungkin nanti kami akan diturunkan dari ketinggian 3000 kaki. Jangan!
Amit-amit!
Anyway, Alhamdulillah, sampai juga di Ottawa, ibukota negara
berbahasa nasional ganda, Kanada. Jadi, ibukota Kanada itu Ottawa yaa,
kawan-kawan, bukan Toronto. Dan ibukota Amerika Serikat itu Washington D.C,
bukan New York. Apalagi, Australia, ibukotanya Canberra, bukan Sidney. Catat!
Sesampainya di bandara, sudah ada minibus yang
menjemput kami untuk dibawa ke kantor KBRI Ottawa untuk dijamu dan ya anggap
saja Welcoming Ceremony lah. Disana
kami tentu bertemu dengan Duta Besar Indonesia untuk Kanada, dan Konsulat
Jenderal Indonesia untuk New York juga sudah datang terlebih dahulu yang
katanya sudah sampai di Ottawa satu hari sebelum kami datang.
Dalam acara penyambutan staff KJRI New York dan
total sepuluh mahasiswa tidak berdosa ini, tidak terlalu formal dan besar,
hanya minum teh dan makan kudapan. Kami juga diperkenalkan dengan perwakilan
PPI Kanada cabang Ottawa. Kami pun saling berkenalan dan saling bertanya
seputar Permias New York seperti apa dan sebaliknya bagaimana apa saja
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh PPI Ottawa.
Saat aku sedang asyik berkenalan seorang Mahasiswi
Pascasarjana yang dulunya pernah kuliah S1 di New York, bernama Wulan,
tiba-tiba ada seseorang mendekatiku dan seolah ia sudah pernah kenal denganku
sebelumnya.
“Yureka, ya?”, tanya seorang laki-laki berperawakan
tinggi besar, kepala botak, agak kekar seperti atlet basket, tapi ketiaknya
tidak basket.
“Ya?”, jawabku terdiam dan heran.
“Lu beneran Yureka anak 34, kan?”, tanya ia lagi.
“Iya bener. Oh, My God! Arya, ya? Eh gila, apa kabar
lu?!”, aku langsung terkejut dibuatnya. Setengah berteriak dan beberapa orang
langsung menyorotkan pandangan mereka ke arahku.
Jadi, saat SMA dulu, aku pernah ikut les bahasa
Inggris di salah satu pusat kursus bahasa Inggris di Jakarta Selatan. Dan
laki-laki yang menghampiriku tadi bernama Arya dan ia merupakan salah satu
teman sekelasku di kursus bahasa Inggris kala itu. Aku dan Arya dulu sering
sekali main bersama, kalau sedang jam istirahat kelas, kami suka pergi keluar
lalu jajan bareng. Bahkan sering duduk sebelahan untuk belajar bersama. Wah,
rasanya tidak menyangka aku bisa bertemu lagi dengan dirinya disini. Karena aku sudah lost contact dengan dirinya semenjak
lulus dari tempat kursus itu. Kami hanya bertegur sapa lewat media sosial,
seperti Facebook saja, itupun sangat jarang, karena waktu kuliah dulu, aku
termasuk yang jarang buka Facebook karena disibukkan dengan jadwal perkuliahan
yang dulu super duper padat.
Berdasarkan keterangan Arya, ia bilang saat lulus
SMA, dia pindah ke Bandung karena kuliah di ITB. Kalau itu, aku sudah tahu dari
keterangan yang ia berikan di Facebook. Tapi masalah ia ke Kanada, aku yang
tidak tahu sama sekali. Katanya, ia meneruskan S2 di Ottawa di Universitas
Carleton jurusan Manajemen Inovasi Teknologi. Dan kemudian, voilaaa, ia disini, lalu bernostalgia
denganku disini.
“Gila, loh dunia sempit banget ya? Ya, gak sih? Gila
sumpah. Parah banget!”, ungkapku masih penuh kehebohan.
“Ya, makanya pas lu-lu pada dateng tuh, gue kayak
dejavu gitu liat lu. Kayak siapa? Kayak pernah liat. Eh anjir beneran itu
ternyata elu”, jawab Arya.
Saat aku asyik bernostalgia dengan Arya, dari
kejauhan aku melihat Eugene sedang mengobrol dengan beberapa pegawai KBRI
Ottawa. Syukurlah, ia sangat menikmati momen ini. Tapi, aku takut kalau ia
cemburu atau bagaimana. Secara, Eugene memang orangnya sangat pencemburu.
Tidak lama, Eugene menghampiri diriku yang masih ngobrol-ngobrol
asyik dengan Arya.
“Hey.
Everything is okay?”, tanyaku bernada manja.
“Yeah, sure.
hmm…”, jawab Eugene yang terlihat agak capek.
“Ah, ya! Sayang, ini Arya, temen les aku waktu SMA
dulu. Dan Arya, ini Eugene, pacar gue. Hehehe”. Aku memperkenalkan keduanya.
“Ohh, halo. Gue Arya”, jawab Arya.
“Eugene.”, Eugene pun berjabat tangan dengan Arya.
“Ya ya. Wih udah beranjak dewasa yaa, udah punya
pacar”. Arya meledek.
“Ya, Alhamdulillah. Lu pasti juga dong. Nggak
mungkin anak segaul elu nggak punya pacar. Gila sih”, jawabku bercanda.
“Ada kok. Di Indo tapi”, terang Arya sambil
mengantungi tangannya kedalam saku.
“Yaah, korban LDR. Kasian. Sabar ya”, jawabku sambil
membalas meledeknya.
Kemudian kami masih ngobrol-ngobrol, Eugene pun ikut
serta dalam percakapanku dengan Arya. Kalau kulihat, Eugene terlihat agak
cemas. Raut wajahnya masih tersirat sebagai ekspresi yang ditunjukkan saat ia
cemburu dengan Dominico. Apakah mungkin Eugene cemburu dengan Arya? Hey, tapi
kan tadi Arya bilang ia sudah punya kekasih. Bagaimana ini. Mungkin memang
Eugene sedang lelah. Maklum, baru sampai dari perjalanan jauh. Semoga saja
memang karena ia kelelahan, bukan dugaanku yang macam-macam ini.
💚💚💚
Di hari berikutnya, kegiatannya masih di kantor KBRI
Ottawa. Isi kegiatannya adalah talk show
dan juga hiburan yang telah dirancang oleh tim PPI Ottawa. Isi hiburannya ada
musik akustik, tari-tarian daerah, tari-tarian modern juga ada, dan juga
karaoke bersama. Tidak lupa, ada sesi makan-makan juga.
Lalu di hari berikutnya, nah ini yang paling
ditunggu-tunggu. Kami pergi ke AIR TERJUN NIAGARA!!!! Bukan ke Kanada namanya
kalau tidak ke tempat satu ini. Setelah sampai disana, aku benar-benar dibuat
tercengang oleh salah satu ciptaan Tuhan yang paling menawan itu. Melihatnya
langsung membuat lidahku bergetar, mataku kedutan, dan kupingku bergema. Hmm,
mungkin ada yang sedang membicarakanku. Ah, tidak penting. Pokoknya aku
benar-benar sangat bahagia. Terlebih ada Eugene sebagai pelangkapnya. Ya,
istilahnya kalau ke Niagara Falls itu
satu porsi pecel lele, Eugene adalah lalapannya. Sempurna!
Kami pun tidak lupa foto-foto disana. Untuk catatan,
kami saat itu masih foto-foto dari kejauhan karena setelah itu kami bisa naik
ke salah satu kapal lalu bisa mendekati air terjun lebih dekat. Setelah sesi
foto bersama semua tim, aku juga meminta Farida untuk mengambil fotoku berdua
dengan Eugene. Ya, hanya kami berdua. Hah, rasanya seperti sedang foto pre-wedding. Cukup, Yureka, hentikan! Belum waktunya!
“Satu, dua, tiga…. Lagi kak. Satu, dua, tiga…”, ucap
Farida.
“Eaaa foto pre-wed,
foto pre-wed. Mantap bos!”, Dhimas
melempar candaanya.
“Bungkus, Jin! Bungkussss!”, Chandra ikut-ikutan.
Dan semua orang pun men-ciyee-ciyee-kan kami. Apalah
ini. Aku jadi malu dibuatnya. Tapi aku dan Eugene tidak peduli.
Setelah selesai foto-foto riang gembira, aku sempat
bersandar sendirian dan hanya memandangi air terjun yang membelah antara dua
negara Kanada dan Amerika Serikat ini. Teman-teman masih sibuk foto-foto dan
bersena gurau, tapi aku tidak apa-apa, ingin sendiri dulu. Menikmati ciptaan
Tuhan yang luar biasa, bukti bahwa Tuhan sayang pada umatNya. Ya, air terjun
loh. Padahal sebenarnya hanya air sungai yang jatuh kebawah karena ada
tebing-tebing yang mana dari tempat lebih tinggi, ke tempat lebih rendah, lalu
air itu jatuh, lalu bruuzzzzz, turun
kebawah dan air-airnya yaa terjun begitu. Tapi mengapa bisa seindah itu, ya?
Aku juga heran. Luar biasa. Tepuk tangan!
Setelah puas seharian jalan-jalan ke Niagara Falls, kami kembali ke Ottawa
karena esok hari agenda kami jalan-jalan keliling kota Ottawa.
💘💘💘
Di akhir pekannya, waktunya jalan-jalan kota
Ottawa. Tapi jalan-jalan kali ini, peserta jalan-jalan hanya khusus untuk
mahasiswa-mahasiswi dari Batik Day dan para perwakilan Permias New York, serta
beberapa perwakilan dari PPI Ottawa. Sedangkan bapak-bapak dan ibu-ibu KJRI
harus kembali ke tanah rantau alias harus pulang ke New York karena ya mereka
pegawai negara, tidak baik kalau berlama-lama. Nggak deng, maksudnya yaa mereka harus kembali bertugas di New York. Begitupun dengan bapak-bapak dan
ibu-ibu dari KBRI Ottawa, tidak ikut karena harus tetap bertugas di kantor
kedutaan besar Indonesia untuk Kanada. Jadi, kegiatan ini memang fokus untuk
para mahasiswa saja. Ah, terima kasih KJRI New York dan KBRI Ottawa!
Ngomong-ngomong soal tempat-tempat yang kami
kunjungi selama city tour di Ottawa,
di antaranya adalah Ottawa City Hall, Centre Block, Parliament Hill, Peace
Tower, National War Memorial, Confederation Square, Centennial Flame, ByWard
Market, Notre-Dame Catholic Basilica dan tidak ketinggalan teman-teman PPI mengajak kami
wisata kampus ke University of Ottawa.
Sayangnya, kalau jalan-jalan di musim salju,
matahari lebih cepat terbenam. Jadi, ketika matahari masih ada di ufuk timur
dan sampai barat sebelum tenggelam, kami fokus pada tempat-tempat turistik yang
jaraknya berdekatan. Ketika mengunjungi University of Ottawa pun kami lakukan
pada pagi hari, malahan wisata kampus merupakan tempat pertama yang kami
kunjungi dalam agenda jalan-jalan kota kali ini. Barulah sisanya kami
menjelajahi tempat-tempat turistik lainnya. Dan saat matahari sudah tenggelam,
sekitar jam 5 sore, kami baru sempat mengunjungi ByWard Market. Hmm, sebenarnya
lebih bagus pada pagi hari, karena itu pasar dan kami bisa menjelajahi isi
pasarnya. Tapi ketika malam hari, meskipun masih ada beberapa toko yang masih
buka, tapi pasar itu tetap terlihat cantik dan anggun meskipun matahari sudah
tenggelam. Dan terakhir adalah melihat kemegahan gereja katholik Basilica
Notre-Dame. Sekilas namanya mirip seperti yang ada di Paris, tapi tentunya
berbeda. Hmm, aku tidak tahu persis bedanya apa, yang jelas meskipun aku belum
pernah pergi ke Paris, tapi aku yakin keduanya sama-sama punya daya tarik
tersendiri bagi turis yang datang mengunjungi.
Setelah lelah seharian berjalan-jalan dan munculah
rasa lapar dan dahaga, maka pada pukul 19, kami semua makan malam di salah satu
restoran sushi Jepang bernama “Genji Japanese Restaurant”. Ketika pertama kali
mengetahui bahwa kami semua akan makan di restoran itu, sontak aku langsung
memberitahu Eugene dan berkata “Lah, adek kamu, Jin, dibawa-bawa”. Dan ia hanya
merespon “Hahaha. Iyaa nih, adekku ngapain dia disini”. Lalu aku berkata lagi
“Jangan-jangan diam-diam Genji buka usaha disini, Yang, hahahaha. Tanpa
sepengetahuan abangnya”. Dan Eugene hanya menjawab “Hahaha, iyaa nih adik
kurang sopan”.
Tapi aku merasa ada yang aneh dengan Eugene saat
kami saling membicarakan hal tersebut. Apa ya yang beda? Sepertinya ia agak
sedikit cuek. Hmm, tapi aku memang sudah merasa ia agak cuek belakangan ini.
Terutama selama kami berlibur di Kanada ini. Ada banyak kemungkinan mengapa ia
bisa demikian. Pertama, mungkin ia masih cemburu dengan Arya. Secara, selama
kami jalan-jalan Arya ada disitu, karena dibilang ia adalah panitia acara
kegiatan ini. Kedua, kami memang seperti itu kalau didepan banyak orang. Harus
bersikap profesional dan tidak mengumbar banyak kemesraan. Biarkan kemesraan
ini jangalah cepat berlalu. Terlebih ini merupakan acara kenegaraan, mana
mungkin kami dengan tega gelendotan satu sama lain, kan tidak etis. Ketiga,
yaa, memang lebih bagus berjauhan dulu dengan alasan profesional. Supaya tidak
dikira perangko dengan lem nasi yang kemana-mana nempel terus, tidak mau copot.
Tapi jarak yang berjauhan yang kami lakukan ini juga
sangat aneh menurutku karena selama kami berada di Kanada, aku melihat Eugene
lebih asyik ngobrol dengan Kak Anna dan Farida. Ya, kalau Kak Anna kan kalian
tahu sendiri, ialah mak comblang di antara aku dan Eugene. Tapi Farida? Mengapa
Eugene jadi dekat begitu dengannya? Perasaan dulu-dulu tidak pernah. Aku juga
melihat mereka tertawa terbahak-bahak bersama. Ya, aku sih tetap positive thinking, namanya juga dengan
teman satu grup sendiri, tidak ada salahnya kan? Sementara itu aku hanya bisa
membalas dengan hal yang cukup setimpal, aku sesekali ngobrol dengan Arya dan
kali ini aku lebih banyak ngobrol dengan Gilang. Karena kami dari satu
almamater yang sama, New York University, kami sedang asyik plus gemas membahas
seputar tesis, acara wisuda, dan lain sebagainya seputar kampus NYU. Ya, karena
sebentar lagi kami sudah akan menjadi alumninya, jadi tidak ada salahnya kalau
bertukar pikiran tentang suatu hal yang sama-sama kami ketahui dan kami alami
sendiri, khususnya menjadi mahasiswa NYU.
Lalu sebenarnya ada apa dengan Eugene dan Farida?
Aku tahu, mereka tidak akan selingkuh. Ya, ampun,
Farida sudah punya pacar, pacarnya di Indonesia. Dan ya meskipun mereka LDR,
tapi tetap saja yang namanya punya pacar yaa harusnya tahu diri.
Tapi aku masih benar-benar ingin tahu mengapa Farida
dan Eugene bisa ngobrol sedekat itu? Padahal yang aku tahu, Eugene jarang
sekali ngobrol dengan Farida sebelumnya. Ya, pernah, tapi jarang, jarang
sekali. Malah Farida lebih sering ngobrol dengan Fikri yang mana sepupunya
sendiri dan Gilang yang menurutku karakteristiknya sesuai dengan Farida
sehingga jadi bisa cocok kalau sedang mengobrol.
Sebaiknya aku tanyakan pada Eugene saat setelah
makan malam atau tidak ya?
Atau besok pagi saja?
Atau tunggu kami kembali ke New York? Supaya tidak
menganggu jalannya acara. Kan tidak enak kalau ribut-ribut soal hal-hal yang
tidak ada hubungannya dengan jalan-jalan Kanada kali ini?
Ya, Tuhan, aku harus bagaimana?
Saat perjalanan pulang ke penginapan, aku berubah
pikiran, aku mendekati Eugene dan berusaha mencari celah agar aku bisa
menanyakan kegundahanku soal dirinya dan Farida.
“Ehm, Sayang, boleh tanya nggak?”, tanyaku pada Eugene
agak ragu.
“Tanya apa?”, balas Eugene masih cuek.
“Hmm, kamu tuh…”, tanyaku lagi masih ragu.
Baru aku mau melontarkan pertanyaan kepada si
kekasih Oriental, tiba-tiba ada telpon masuk.
“Telpon dari siapa nih?”, tanyaku pada diriku
sendiri.
“Kode negara mana tuh, Yang, +60?”, tanya Eugene
penasaran karena tidak sengaja melihat nomor asing itu muncul ke layar smartphone-ku.
“Hmmm, nggak tau deh. Ah, ini kode Malaysia nih? Ya,
aku inget!”, jawabku setengah histeris.
Lanjutku, “Tapi siapa ya, Yang? Angkat nggak nih?
Aku jadi takut. Jangan-jangan supporter badminton Malaysia yang lagi ekspansi
dan mengancam warga negara Indonesia”
Lalu telpon itu mati. Ya, terlalu banyak berdebat
tidak penting dengan Eugene barusan.
Kemudian, empat detik kemudian, telpon dengan kode
+60 itu berdering lagi.
“Eh dia nelpon lagi, Yang. Harus gimana dong?”. Aku
diambang kepanikan.
“Yaudah angkat aja. Siapa tahu temen kamu pas kamu
di Malaysia itu”. Sementara Eugene menenangkan.
“Iyaa sih. Hmm, yaudah aku angkat dulu yaa. Halo?”,
jawabku lalu mengangkat panggilan masuk itu.
Dari kejauhan, aku mengenal suara yang ada di telpon
saat bilang “Yureka! It’s me!”
“Oh My God!”, jawabku histeris sambil melipat bibir
dan juga mengigit jariku.
“Kenapa Yang?”, tanya Eugene jadi penasaran.
Mataku terbelalak. Tidak bisa berkata-kata selama
beberapa detik. Aku tahu persis siapa seseorang dibalik suara di telpon ini.
“Siapa sih, Yang?”, tanya Eugene lagi dan makin
penasaran.
Ketumbar cabai bubuk! Berakhirlah sudah kalau Eugene
tahu siapa ini.
Aduh, bagaimana ini?
- BERSAMBUNG -
=====================================================================
Episode 5 : Kembalinya Adam Wang
Yureka. New York Fashion Week. Februari 2019. New
York. Masa Depan.
“Yureka! It’s
me!”
Suara itu agaknya familiar.
“Oh My God!”,
teriakku.
“Kenapa, Yang?”, tanya Eugene dengan wajah penuh
penasaran.
“Bentar ya, Yang. Ini temen lamaku. Ehm… bentar”,
sambil menutup bagian bawah smartphone
ku dan mencoba agar orang yang sedang menelponku tidak mendengarnya.
Kemudian aku menjauh dari Eugene sesaat supaya ia
tidak terlalu mendengar percakapanku dengan orang yang ada di telpon ini.
“Hmm, Adam?”,
tanyaku dengan suara cemas.
“Yeah,
exactly! It’s me! How are you?”
Ya, itu Adam. Adam Wang, yang pernah aku taksir
waktu aku ke Malaysia dulu. Kenapa bisa ia punya nomor telponku dan menelponku
seperti saat ini?
“I am fine,
thank you. How are you?”, responku masih dengan suara cemasku.
“I am good.
Well, I am sorry to surprise you like this now. But I got your American number
from your Facebook. I am sorry. So, then I realize to just contact you, because
now I am in New York!”, jawab Adam dari kejauhan.
“You what? New
York?!”, tanyaku dengan setengah nada teriak.
“Yeah. What a
chance, right? Well, my girlfriend needs a company during New York Fashion
Week. So, I just arrived New York City three days ago and I am going to stay
here until in the end of the month.” Ujar Adam.
“Wow. That’s
great. But, I am sorry, now I am having vacation with some friends, also my
boyfriend in Canada. But I am coming back to the city by tomorrow afternoon.
So, maybe we can meet somewhere this weekend”, jawabku mencoba tidak panik.
“Sounds great!”,
jawab Adam.
“Okay, let me
get back to you later soon, okay?”
“Okay. Have
fun in Canada! See you soon”
“Bye. See you
soon”
Aku menghela napas panjang.
Kemudian Eugene dengan raut wajah penuh tanda tanya,
mendekatiku dan bertanya “Jadi, siapa itu tadi di telpon?”
“Kamu pernah aku ceritain soal Adam Wang, yang orang
Malaysia tapi tinggal di Hong Kong kan?”, jawabku sambil berusaha seolah
semuanya baik-baik saja. Aku takut Eugene akan marah atau apalah.
“Ah, ya. Aku inget. Adam Wang. Yang…. Yaa, itu lah
pokoknya. Trus?”, tanya Eugene lagi.
“Hmm Nggak apa-apa. Dia cuma telpon aja. Soalnya dia
lagi di New York. Lagi ngapain gitu. Aku kurang jelas dengernya. Nggak apa-apa kan?
Maksudnya kalau aku ketemuan sama dia. Trus, yaa, reunian gitu…”, jawabku
mencoba tetap tenang meskipun agak khawatir.
“Ya, nggak papa lah. Malah bagus kan kamu ketemu
temen lama. Dan dia tinggal di Hong Kong. Pasti bisa bahasa Cantonese. Ya, aku
juga bisa kenalan juga, sambil ngelatih lagi bahasa Cantonese ku yang hampir
punah”. Jawaban Eugene sangat santai.
“Kamu nggak marah gitu? Cemburu atau….”
“Ya, aku akuin, aku emang orangnya cemburuan, tapi
kalo sama Adam Wang, yang setau aku dia nolak kamu karena dia udah punya pacar,
yaa ngapain aku marah. Ya, kan?”
Kemudian Eugene merangkulku. Pertanda, kami
baik-baik saja. Aku pikir, akan habis nyawaku kalau ia tahu akan bertemu dengan
Adam Wang, si tampan dari Malaysia yang dulu aku kagumi keberadannya.
Di satu sisi, aku merasa aman karena di saat yang
tak terduga ini, ada Eugene yang akan jadi tameng hatiku. Ya, bukan apa-apa,
agar kalau ketemu Adam, hatiku tidak gemetaran lagi seperti saat di Penang
dulu. Tapi di sisi lain, aku juga cemas. Mengingat kejadian tidak mengenakkan
dengan Dominico yang masih ingat dalam ingatan. Ya, maklum lah, baru pertama
kali punya pengalaman di dunia percintaan seperti ini. Jadi, wajar kalau cemas,
tapi senang, campur aduk seperti bubur Cianjur plus kerupuk dan bawang gorengnya.
💚💚💚
Yureka. Akhir pekan pertengahan bulan Februari 2019.
New York. Masa Depan.
Akhirnya kami kembali ke tanah rantau. Jalan-jalan
gratisnya mau tidak mau harus berakhir. Semoga suatu hari, bapak-bapak dan
ibu-ibu KJRI yang terhormat, bisa traktir kami jalan-jalan lagi. Yang lebih
jauh misalnya ke Alaska atau ke Hawaii. Kayaknya seru tuh.
Bagaimanapun, Kanada merupakan pengalaman yang tidak
bisa dilupakan begitu saja sampai kapanpun. Sudah gratis, bersama orang-orang
terhormat, ditambah dengan orang-orang tersayang, senasib sepenanggungan. Wah,
tidak bisa disebutkan lagi dengan kata-kata. Lidah ini bergetar jika
mengingat-ingat momen bersama mereka. Ya, ampun apa aku sedang PMS? Kenapa jadi
galau begini.
Tapi memang benar. Aku merasa, hubungan pertemanan,
bahkan persahabatan dengan anak-anak Batik Day semakin erat saat kami di
Kanada. Banyak kejadian-kejadian menggelikan yang kami buat, dan entah itu di
pagi hari seperti Chandra yang hanya pakai kolor pendek saat sarapan di
penginapan, padahal saat itu, bapak-bapak dan ibu-ibu perwakilan KJRI juga
sedang duduk dan menikmati sarapan pagi bersama kita. Demi apapun, itu membuat
kami tertawa terpingkal-pingkal. Atau pada siang hari setelah berkunjung ke air
terjun Niagara, dan akan makan siang, entah dari mana asalnya Gilang
menghilang. Bukan tertinggal atau bahkan hanyut bersama air deras Niagara,
melainkan tertidur pulas di dalam bus dan saat dibangunkan ia berkata ia akan
menyusul. Ternyata, ia benar-benar tertidur di bis sampai kami selesai makan
siang, dan tidak ada satupun yang menyadarinya, yang akhirnya ia dibelikan dua
burger dan satu kentang goreng ukuran besar serta Pepsi besar yang kami beli di
McDonald’s sebagai permintaan maaf kami karena telah melupakannya. Disaat itu
pula, aku dan ketujuh teman Batik Day lainnya, saling menyalahkan, sedangkan
Gilang yang sebagai korban diam saja dan tidak berkomentar apa-apa, malah asyik
dengan burgernya.
Ya, kira-kira begitu. Tertawa bersama teman-teman
yang paling disayang memang tidak pernah cukup, selalu ingin terus-menerus
tertawa bersama mereka. Seperti ada zat aditifnya.
Bagaimana dengan Eugene?
Ya, kami baik-baik saja.
Atau bagaimana dengan Adam Wang yang katanya sedang
ada di New York?
Ya, aku sudah buat janji dengan dirinya untuk
bertemu.
Karena aku baru kembali dari Kanada pada di Hari Sabtunya, dan New York Fashion Week juga berakhir di tanggal yang sama,
jadi bisa dibilang ini kesempatan yang cukup bagus. Maksudnya, kalau NYFW-nya
sudah selesai dan ia akan tetap di New York hingga akhir bulan, berarti aku
bisa bertemu dengannya dan juga dengan pacarnya, yang mana aku juga bisa
mengenalkan Eugene kepada mereka.
Aku dan Adam sepakat untuk bertemu sehari setelah aku pulang dari Kanada. Ia bilang ia tidak ada jadwal dengan pacarnya karena
pacarnya ada interview atau apalah
aku tidak terlalu paham. Jadi, Adam akan datang sendirian. Aku juga awalnya
ingin mengajak Eugene dan memperkenalkannya dengan Adam, namun namanya juga
sibuk dengan tesis, jadi aku tidak bisa memaksanya. Katanya, ia baru bisa
bertemu mereka di hari yang sama tapi pada siang atau sore harinya. Dan memang
hanya hari Minggu itu adalah waktu yang paling tepat untuk bertemu karena itu
hari libur dan setelahnya mungkin Adam dan pacarnya akan jalan-jalan keliling
New York dan aku pun harus kembali ke kampus untuk mengurus tugas akhir.
💚💚💚
Hari Minggu, 17 Februari 2019, aku sempat shock dibuat oleh Adam. Karena ia bilang
ia memintaku bertemu dengannya di café di hotel tempat ia menginap. Dan mau
tahu ia menginap dimana? THE PLAZA HOTEL, SODARA SEBANGSA DAN SETANAH AIR!!!!
Seberapa prestis hotel itu? Coba kalian cek sendiri
di Google, berapa harga menginap per malamnya? Itu cukup untuk membayar uang makan ku
selama satu bulan. Benar-benar gila. Hey, jangan senang dulu, siapa tahu
hotelnya karena ia dapat dari sponsor. Hey, bisa jadi kan? Hahaha. Tapi aku
memang tidak heran karena bapaknya kan seorang pengusaha kaya raya di Hong Kong,
jadi tidak heran kalau ia mampu menyewa kamar hotel sekelas The Plaza. Untung
aku tidak jadi jadian dengannya, kalau ya, bisa-bisa aku dipenuhi rasa khawatir
karena tidak bisa menyamai levelnya.
Pukul 11 pagi menuju siang, kami sepakat untuk
melakukan Brunch di café bernama The
Plaza Food Hall. Karena aku tahu aku akan makan di tempat mahal, maka aku tahu
diri, aku tidak belagu, aku hanya pesan satu donat dan secangkir teh mint
panas. Ya, sebenarnya aku sudah makan satu pisang dan satu bagel sebelum
berangkat kesini. Ya, karena itu tadi, aku tahu aku tidak akan mampu membeli
yang lain. Kalau mengandalkan konsep “pasti Adam yang bayar”, rasanya tidak
mungkin.
Sebelum bertemu Adam yang untuk pertama kalinya
sejak hampir 6 tahun yang lalu bertemu, jujur aku merasa sangat gugup. Aku
tidak tahu bagaimana rupanya setelah 6 tahun tidak bertemu. Apakah masih
setampan dahulu? Atau semakin berkurang? Atau justru semakin ganteng? Oh,
Tuhan, tolong hamba!
Aku tahu aku akan sanggup melihat wajah tampannya
lagi, no matter I have already a
boyfriend or not, namanya juga pernah suka, kalau iman ku lemah, pasti aku
akan terbawa suasana nostalgia. Kalau benar-benar lemah, siapa tahu aku jadi
suka lagi dengannya. Hati mana ada yang tahu? Tapi semoga tidak!
Dengan baju paling rapih menurut versi Yureka, dan
ditutupi mantel tebal berwarna merah, sepatu aku ganti dengan flatshoes, karena masa ke hotel bintang
lima pakai sepatu kets, aku tidak ingin mempermalukan diriku sendiri. Di depan
café, sudah berdiri pria setinggi 180an cm, mengenakan kaus polo berwarna
kuning, celana pendek, kacamata, sedang menunduk ke layar smartphone-nya. Ya, itu Adam Wang! Adam Wang telah kembali ke
permukaan! Ya, Tuhan kuatkan imanku. Astaga, ia sangat tampan!
Saat aku melangkahkan kaki lebih maju, dan seakan
Adam tahu aku sudah berada di dekatnya, dan kemudian dua mantan mahasiswa
pertukaran pelajar Indonesia-Malaysia akhirnya bertemu lagi.
“Oh My God,
Yureka! It’s you?!”, sapa Adam terlebih dahulu.
“Hi. Adam”,
jawabku sambil tersipu malu. Berusaha untuk tetap biasa saja.
“Can we hug?”,
pinta Adam
“Sure”,
Kemudian kami berpelukan. Oh Tuhan, jangan beri tahu
Eugene aku memeluk pria tampan selain dirinya.
“How are you?”,
tanya Adam.
“Cold outside.
But I am fine, thank you. And you? How’s going?”, responku untuk basa-basi.
“Everything is
perfect. Come on in. I set up our table for us.”. Adam mempersilahkanku
masuk ke dalam café terlebih dahulu.
Pertama kali bertemu Adam Wang kembali, rasanya
sangat aneh. Terlebih kami bertemu di tempat nun jauh dari negara asal kami
masing-masing. Rasanya benar-benar aneh. Benar kata pepatah “Dunia seperti daun
kelor”. Kalau ini bukan daun kelor, tapi daun ketumbar, sepet, pahit.
Dalam pertemuan reunian itu, kami tentu cerita
banyak hal, menceritakan apa saja yang telah dilakukan 6 tahun belakangan ini. Aku
beberkan, kalau setelah kembali dari Malaysia, aku meneruskan kuliah hingga
berhasil mendapatkan gelar S.I.Kom dari kampus Universitas Paramadina, kemudian
satu tahun kemudian aku berhasil mendapatkan beasiswa S2 dan kuliah jurusan
Dramatic Writing di New York University.
Kalau Adam Wang? Jangan ditanya. Setelah lulus dari
KDU College University Penang Malaysia, ia tidak langsung melanjutkan sekolah
Master, melainkan meneruskan bisnis orang tuanya dan kembali ke Hong Kong dua
tahun belakangan. Ia baru akan meneruskan kuliah S2-nya di Amerika Serikat juga
tahun ini.
Tunggu!
Apa?
Amerika Serikat?
Aku tidak salah dengar?
Kalau Adam akan meneruskan kuliah di Amerika, dan
terlebih itu New York, bisa-bisa kami bisa bertemu tiap hari?
Hentikan kepanikan mu, Yureka!
Kemudian disusul dengan pernyataan Adam : “But, I think it’s not New York. Maybe
California. When I am officially marry Tiara. And we may move to LA and be
settled down there. Oh anyway, we’re just enganged last month.”
Apa?
Tunangan?
Mau menikah?
Aku tidak salah dengar lagi?
Jujur, aku senang mendengarnya. Tapi berhubung aku
pernah ada rasa dengannya beberapa saat, sampai aku berani ‘bunuh diri’ dan
kehilangan pertemanan dengannya. Tapi untung aku masih kuat dan tegar. Tidak
tahu lagi ingin berkata apa kepadanya selain “I congrats you with your engagement with Tiara. I hope all the best for
you both. And I am so happy to hear that!”
Ditengah perbincangan, tiba-tiba objek pembicaraan
datang menghampiri meja kami. Ya, itu Tiara. Si model cantik berdarah Indonesia
blasteran Inggris-Malaysia itu kulihat semakin cantik daripada terakhir kali
kami bertemu, hmmm, berapa tahun yang lalu ya, yaa pokoknya sudah lama sekali.
Tapi tidak heran, dia kan memang model. Badannya harus bagus, tentu makannya
diatur, olahraga juga pasti demikian. Lah kalau diriku? Dengan berat tubuh yang
masih sekitaran 70kg, heem sebenernya sudah turun 2kg minggu lalu, tapi intinya
apa yang mau diharapkan kalau aku masih memaksa ingin menjadi pacarnya Adam
Wang? Kalau membandingkan diriku dengan Tiara, dari dulu sudah jelas, sekarang
pun makin jelas, bahwa ia adalah cupcake
cantik yang dijual sangat mahal di toko kue nomor satu di New York City seperti Magnolia Bakery. Aku? Aku
hanya biji wijen dari roti burger yang dijual sangat murah di pinggiran Bronx.
Menyedihkan.
Selama berbincang-bincang dengan Tiara, aku berusaha
untuk percaya diri menjadi diriku sendiri. Jangan mentang-mentang aku sedang
duduk barengan dengan si super model, aku yang calon Master in Dramatic Writing ini, menjadi tidak berharga. Aku juga
manusia, punya hak asasi manusia, apalagi aku perempuan. Tunggu, ini terdengar
seperti pidato yang ada di televisi itu. Apalah itu. Tapi, jangan menyerah,
Yureka, tetap percaya bahwa dirimu tidak kalah cantik dari Tiara, tidak cantik
di luar, tapi harus cantik di dalam. Tapi ngomong-ngomong kalau Adam masih
pacaran dengan Tiara sampai mereka sudah bertunangan, berarti pacaranya awet
juga, ya. Bisa tidak ya, aku begitu juga dengan Eugene? Apa bisa aku minta tips
dari mereka?
Oke, jadi, apa yang aku perbincangkan dengan Tiara?
Berhubung dia fasih berbahasa Indonesia, jadi ya
dengan mudah kami berkomunikasi. Kami banyak membicarakan tentang bagaimana
pekerjaannya sebagai model sejauh ini. Lebih tepatnya aku yang penasaran. Dari
dulu aku ingin sekali menanyakan hal-hal seputar modeling kepada dirinya. Heh,
bukan, aku bukan ingin jadi model sepertinya, aku hanya penasaran saja.
Terlebih, aku kuliah S2 yang masih ada hubungannya dengan dunia hiburan. Aku
juga sempat belajar tentang casting dan modeling, dan kawan-kawannya, maka aku
ingin tahu dari sudut pandang Tiara yang pernah mengenyam pendidikan modeling di
London, Inggris itu.
Tiara berkata “Kerja jadi model ada senang dan
susahnya”
Aku dalam hati menjawab “Yaelah! Jawaban mainstream. Semua pekerjaan juga begitu,
Mbak!”
Tiara berkata lagi “Tapi memang harus dijalanin
dengan profesional”
Aku dalam hati menjawab lagi “Haduh. Gue juga
penulis kalau ngantuk tapi dikejar deadline
juga pasti harus profesional. Jawabannya nggak seru!”
Tapi secara lisan aku menjawab “Oh gitu”
Namun Tiara menjelaskan “Tapi aku bener-bener seneng
banget tahun ini bisa jadi bagian dari New York Fashion Week. Siapa sih yang
nggak mau, ya kan? Jadi, aku bangga banget sih. Alhamdulillah”.
Aku hanya membalas dengan senyuman. Meskipun agak
dengki sedikit kepadanya, tapi dari caranya menyampaikan keterangan barusan,
itu memang terlihat sangat jujur. Dia terlihat sangat bangga sekali.
Tiara menambahkan “Yah, karena kalau diingat jaman
dulu, aku berjuang banget buat bisa ikut event
ini. Apalagi waktu sekolah modeling dulu. Rasanya berat. Apa-apa diatur, dan
lain sebagainya. Eh, ternyata, pas udah terjun langsung lebih parah. Tapi tetep
dibawa fun kok. Jadi, no problem buat aku. I am enjoying all of the process”
Tiara yang cerita, aku yang haus. Aku kemudian
meneguk sisa teh mint yang aku punya.
Lalu kami masih meneruskan perbincangan, sedangkan Adam
tiba-tiba harus mengangkat sebuah telpon. Tidak tahu dari siapa. Tidak mau tahu
juga.
Tiara juga bercerita bahwa ia sangat beruntung punya
pacar seperti Adam Wang.
“Perhatian, baik, supportive, ngertiin aku banget, dan ganteng. Ya gak?”, terang
Tiara.
Aku hanya tertawa…. TERBAHAK-BAHAK! TAPI ITU
PURA-PURA!
Ia tidak tahu saja aku pernah ada rasa dengan
pacarnya. Kalau ia tahu, habis aku.
Dan aku menjawab “Ya, kamu beruntung banget. Adam
itu super duper baik. Aku jadi inget waktu di Penang dulu. Aku diajak
jalan-jalan keliling kota karena aku nggak ikut city tour sama grup ku dulu. Eh, karena dia ketua panitianya,
akhirnya dia deh yang nganterin. Bener-bener baik, profesional, dan tanggung
jawab”
“Ya, kamu benar. Dia yang bela-belain dateng ke New
York buat liat aku di catwalk.
Padahal sempet ada masalah soal visanya. Tapi Alhamdulillah lancar. Kalau
niatnya baik, Allah pasti kasih jalannya, ya?”
Kemudian kami sempat terdiam beberapa saat.
Dua puluh lima detik kemudian, Tiara membuka suara
lagi. Kali ini agak sensitif. Soal aku dan Adam Wang. Hah, memang ada apa
dengan ku dan Adam?
Heh, tunggu? Jangan-jangan ia mau membahas kalau aku
pernah menyatakan perasaan pada pacarnya. Tapi kan itu sudah lama sekali. Toh,
sekarang aku sudah punya pacar.
“Yureka. Aku mau nanya sesuatu, boleh?”
Tuh, kan firasatku benar.
Tanganku sambil basah karena keringat karena terbawa
gugup, hanya menjawab “Ya, boleh. Kenapa, Ra?”
“Adam bilang, kamu pernah nembak dia ya?”
Nah! Benar kan?
“Hmmm….”. Aku tidak tahu harus berkata apa. Sumpah!
“Udah nggak apa-apa, jujur aja. Aku cuma pengen tahu
aja kok”. Tiara berusaha tenang dan sepertinya dia akan terbuka dengan apapun
jawaban yang akan aku berikan.
“Hmm. Bener nih kamu nggak bakal kenapa-kenapa sama
aku?”
“Yureka, justru dengan kamu jujur, aku jadi lega.
Karena aku sama Adam akan menikah bulan September tahun ini. Dan aku selalu
penasaran dengan cerita itu. Maksudnya, sampe kamu berani nembak dia kala itu.
Ya, nggak apa-apa sih. Just want to know,
what exactly happened between you and him in that time. Supaya aku lega dan
perjalananku menuju pernikahan lebih lancar, nggak ada lagi rasa penasaran yang
mungkin nantinya bikin hubungan kami jadi nggak baik”
“Berarti Adam yang cerita ke kamu kalau aku pernah
nembak dia dulu?”, tanyaku gugup.
“Ya. Kira-kira beberapa bulan lalu. Dan entah kenapa
aku jadi penasaran aja kenapa kamu bisa suka sama dia…. Ya, maksudnya siapa sih
yang nggak suka sama dia, cuma kok bisa kamu berani nembak dia”
Tiara benar. Saatnya aku bercerita jujur ke Tiara.
Aku tahu pasti Adam pernah ceritakan ini kepadanya. Tapi tidak heran kalau ia
ingin tahu dari narasumbernya langsung. Ya, maklum lah, wanita kan apa-apa
selalu dibawa perasaan. Kalau urusan belum selesai, masih mengganjal, maka tidak
akan nyaman ke depannya.
Akhirnya aku ceritakan semuanya pada Tiara. Runtut,
mulai dari bagaimana bisa aku suka dengan Adam Wang, sampai benar-benar terbawa
perasaan, sampai aku mengira Adam suka padaku, padahal tidak. Sama sekali
tidak!
Aku juga bercerita bahwa aku dulu sering sekali
berada di bawah angan-anganku sendiri. Tiap kali aku mengagumi seseorang, pasti
muncul awan-awan imajinasi yang membuat diriku terhanyut dalam bayang-bayang
ilusi bahwa seseorang yang kukagumi itu menjadi milikku. Kenyataannya
berbanding terbalik.
Selain itu, aku juga jujur kepada Tiara bahwa semua
kejadian ini, antara aku, Adam, dan juga Tiara, merupakan sesuatu yang ironis.
Bagaimana maksudnya? Ya, aku pikir Adam tidak suka denganku karena mungkin
memang sudah ada orang lain, atau banyak perbedaan di antara kami, atau mungkin
ia tidak suka dengan orang Indonesia. Alasan yang tidak masuk akal memang, tapi
hanya itu yang ada di benakku kala itu.
“Adam nggak suka aku, karena aku nggak sekelas kamu.
Tapi kenapa ujung-ujungnya dia pacaran sama orang Indonesia? Yang mukanya
mirip-mirip kayak aku. Kenapa nggak aku aja?”
Tiara tidak bisa berkata-kata.
Aku pun melanjutkan “Itu sakit loh buat aku yang
menaruh harapan ke dia. Ya, seharusnya emang nggak usah taro harapan itu ke
siapapun, tapi apa yang bisa dilakukan cewek usia 19-20 yang jomblo nggak
pernah pacaran dan sekalinya ada cowok yang dateng, ganteng dan baik hati yang
dikira mau jadi pacarnya, ternyata enggak? Apa itu nggak sakit menurut kamu?
Aku tahu aku bukan model. Bukan dari keluarga terpandang juga. Dan aku tahu
diri. Tahu banget. Tapi, kalau diingat-ingat lagi, itu semua bener-bener
ironis, Ra. And it hurted me, it did.”
Tiara hanya menjawab “Hmm, Yureka. Maaf, aku nggak
tahu aku harus bilang apa. Aku nggak tahu apakah itu salah atau benar. Maaf ya,
jadi throwing back semuanya.”
Aku yang mulai emosi, kembali berkata “Dan kamu
tahu, di dalam kamus hidup aku, kalau aku dibuat kecewa sama seseorang, yang
dalam konteks ini adalah Adam, pacar kamu, hmm tunangan kamu maksudnya, aku nggak
akan pernah mau lagi ketemu sama dia. Ya, emang nggak baik sih, memutus
hubungan silaturahim dengan seseorang, tapi buat aku, kalau aku ketemu mantan
gebetan lagi, semua sakit hati itu akan muncul lagi. Memori-memori yang dulu
pernah ada mau nggak mau jadi keinget lagi. Dan aku nggak suka itu. Eh malah,
tiba-tiba Adam yang telpon aku buat ngajak ketemuan. Mumpung di New York. Aku
sebenernya nggak mau, Ra. Itu berat buat aku. Berat buat nerima dia lagi hadir
di dalam hidup aku. Ya, meskipun kita nggak pernah ada apa-apa. Tapi kalau boleh
jujur lagi, aku sakit banget waktu aku ketemuan sama Adam di Jakarta tapi
ternyata waktu itu dia bawa kamu, dan ngenalin ke aku kalau kamu pacarnya.
Bener-bener sakit sih buat aku. Tapi yaudah lah. Kayaknya kalian emang jodoh.
Aku juga sekarang udah punya pacar. Ya, aku ikhlas sih sekarang.”
Tiara benar-benar membisu selama mendengarkan aku
berbicara. Tapi ia juga buka suara. Bukan menanggapinya dengan negatif,
melainkan sebaliknya, “Maaf ya, kalau bikin kamu sakit. Tapi mengapresiasi
kejujuran kamu barusan, dan juga kejujuran kamu ke Adam kala itu. Nggak pernah
ngeliat ada cewek yang kuat kayak kamu, Yureka. Aku benar-benar salut banget
sama kamu. Doain kami ya, semoga kami bahagia. Aku juga doain kamu bahagia
selalu. Dan dikelilingin sama orang-orang yang selalu sayang sama kamu”
Basi! Madingnya udah siap terbit!
Kira-kira begitu istilahnya menanggapi pernyataan
Tiara.
Aku tidak bermaksud tidak menghargai apa yang
dikatakannya barusan, tapi aku yang sudah terlanjur sakit hati, harus pura-pura
kuat dengan pernyataanya tadi. Hello?
Tapi aku berusaha tenang, dan memaafkan semua
kejadian pahit itu dengan berkata kepada Tiara, “Makasih, ya, Ra. Aku doain
semoga kamu bahagia selalu sama Adam”.
Kami berdua hanya saling lempar senyum. Air mataku
sempat berlinang. Lalu, kami berpelukan. Cukup erat. Mungkin tanda bahwa kami
saling memaafkan. Tapi dari sisiku, pelukan erat itu adalah sinyal bahwa aku
ingin Tiara terus menjaga Adam dan mencintai Adam seperti ia mencintainya. Aku
tidak ingin pria sebaik Adam disakiti oleh siapapun, dengan cara apapun. Maka,
aku menaruh harapan bahwa mereka memang ditakdirkan untuk bersama. Biarlah aku
bersama Eugene, pria yang tidak kalah ganteng dari Adam. Hey, memang Adam Wang
saja yang ganteng di dunia ini. Halooooo, pacarku jauh lebih tampan, tahu
tidak?!
“Ngomong-ngomong, boleh kenal pacar kamu? Mungkin
kita bisa ketemuan berempat? Orang mana kalau boleh tahu?”, tanya Tiara.
“Hmm boleh. Bisa, bisa. Nanti aku telpon deh. Orang
Indonesia kok. Tapi oriental. Persis kayak Adam. Hehehe”, jawabku sudah bisa
diajak bercanda.
Tiba-tiba ada panggilan telpon masuk di smartphone-ku.
“Eugene?”, seruku. “Kebetulan. Panjang umur nih
diomongin. Bentar aku angkat dulu ya”
Ternyata Eugene menelpon dan minta ketemuan. Karena
memang hari ini kami sudah janjian mau ke supermarket bareng untuk masak-masak
di acara Farewell Party-nya Farida
malam ini di apartemen Kak Anna. Dan saat aku bertemu dengan Eugene nanti, aku
bisa memperkenalkannya dengan Adam, mantan gebetanku, dan Tiara, calon mantan
pacar alias calon istrinya mantan gebetanku. Siapa tahu kami bisa double date, bukan begitu?
Akhirnya rencana reunian dengan Adam malah
tergantikan dengan sesi curhatku dengan Tiara. Setelah selesai, kami
meninggalkan café hotel yang super duper mahal itu dan menuju Columbus Circle,
sesuai dengan janjiku dengan Eugene. Dan mau tahu, bill-ku dibayar semua oleh Tiara. Ya, tahu sih uangnya banyak.
Tahu, gitu kan aku tidak hanya pesan donat dan teh saja.
Dua puluh menit kemudian, Eugene datang. Aku
perkenalkan lah Eugene sebagai pacarku kepada Adam dan Tiara. Kami mengobrol
banyak, mulai dari basa-basi busuk, seperti tanya asal kami, kuliah kami
disini, dan lain sebagainya. Tapi tidak hanya itu, aku dan Eugene malah bertanya-tanya
seputar persiapan pernikahan mereka yang akan dilangsungkan dalam kurun waktu
tujuh bulan kedepan. Aku tidak tahu, apakah pertanyaan-pernyataan yang
dilayangkan oleh Eugene adalah kode bahwa ia benar mau serius denganku sampai
ingin menikahiku. Aduh, aku baru saja menyelesaikan urusanku soal Adam dan
Tiara, jangan kamu tambahi beban perasaanku, Parama Eugene Oetomo!
Saking asyik mengobrol, kami berempat malah jadi
belanja bareng di supermarket Whole Food Market. Dan lebih konyol lagi, setelah
belanja, kami makan siang bersama. Kami sepakat untuk makan di sebuah restoran
Turki bernama “Aba” yang jaraknya hanya satu blok dari Columbus ke arah selatan
Columbus Circle. Selama makan siang pun, kami banyak berbincang-bincang. Kalau
kali ini, Eugene bertanya seputar bagaimana Adam melamar Tiara. Ya, Eugene
memang begitu orangnya. Pendiam, tapi kalau sudah penasaran terhadap suatu hal,
ia akan menumpahkan seluruh rasa penasarannya menjadi banyak pertanyaan yang
harus dijawab, agar tidak ada lagi rasa penasaran yang terbayang-bayang dalam
pikirannya.
Tapi pertanyaan Eugene menarik juga. Aku juga
penasaran bagaimana Adam melamar Tiara. Katanya, Adam melamar Tiara saat mereka
merayakan tanggal jadian mereka, entah yang keberapa, aku tidak peduli, di
Kuala Lumpur, Malaysia. Katanya mereka sedang makan malam di salah satu
restoran yang menghadap langsung ke Menara Kembar Petronas, dan tepat pukul 19
malam, pada tanggal 29 Januari 2019 Adam Wang melamar Tiara. Oh, tidak! Itu
manis sekali! Aku jealous! Aku jadi
membayangkan kalau Eugene suatu hari melamarku. Berhenti, Yureka!
Selain membicarakan tentang pertunangan juga
persiapan pernikahan mereka, Eugene juga sempat berbicara bahasa Canton dengan
Adam Wang. Ya, benar! Aku jadi teringat saat pertama kali Eugene memberitahu
padaku kalau ia pernah kuliah di Hong Kong, dan sontak membuatku terkejut karena
acap kali aku mendengar kata “Hong Kong”, bayanganku langsung teringat akan
sosok Adam Wang. Aku tidak menyangka, bahwa pria yang dulu aku kagumi, sekarang
malah bisa bertemu dengan pria yang saat ini sedang ada dalam genggaman. Lucu,
ya?
Setelah makan selesai, kami berempat sempat berfoto
bersama. Karena saat makan, aku dan Tiara saling bertukar informasi media
sosial masing-masing, salah satunya Instagram. Kemudian, dengan foto yang
diambil oleh seorang pelayan restoran tersebut, diunggah Tiara kedalam
Instagramnya. Dengan keterangan “The
unpredictable double date”, ia memberi tag namaku (@yurekabc) dan Eugene
(@peo95), juga tentunya pacarnya tersayang, Adam (@wangadam11).
Aku juga tidak mau kalah. Aku juga mengunggah foto
tersebut dengan keterangan “Four people
in one double-date. Happy weekend”.
Setelah selesai makan, tentunya kami sudah membayar
tagihan makannya, dan tenang saja, aku dan Eugene bayar sendiri-sendiri. Tidak
mau merepotkan Adam untuk membayari kami. Meskipun mereka juga tidak ada niatan
membayari kami, tapi kami sadar diri terlebih dahulu. Dan kemudian, salam
perpisahan. Aku tidak tahu apakah sampai akhir februari aku bisa bertemu dengan
mereka lagi, karena Adam bilang, ia akan kembali ke Hong Kong pada tanggal 26
Februari mendatang. Mengingat begitu banyak jadwal yang harus aku penuhi,
terutama urusan masa depanku di kampus. Ada banyak deadline yang harus aku selesaikan. Jadi, aku tidak bisa janji pada
apakah kami bisa bertemu mereka lagi di New York dalam beberapa waktu kedepan.
Apapun itu, aku hanya bisa memberi mereka selamat sekali lagi bahwa mereka
sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah. By the way, mereka mengundangku ke acara pernikahan mereka yang
akan di gelar di Bandung, Kuala Lumpur, dan Hong Kong. Semoga, di salah satu
kota itu, aku dan Eugene bisa hadir. Ya, hitung-hitung makan gratis.
Kembalinya Adam Wang yang awalnya membuatku khawatir
karena takut bayangan kejadian masa lalu kembali ke permukaan, nyatanya tidak
demikian. Aku yang juga khawatir akan kembali jatuh hati padanya, pun juga
tidak terjadi. Mungkin memang karena aku sudah ada Eugene, dan Adam juga Tiara
sudah resmi bertunangan, jadi apa yang harus dikhawatirkan? Justru dengan kembalinya
Adam Wang, semua praduga tidak lagi mengambang. Semua sudah jelas. Semua sudah
sama-sama berbahagia. Semoga urusan pernikahan mereka dimudahkan hingga hari H
tiba. Semoga Eugene segera melamarku. Duh, mulai lagi, Yureka! Usia pacaran
kalian masih berusia tomat ceri muda. Santai saja dulu.
Belanja sudah, makan juga sudah. Sesuai janjiku
dengan anak-anak Batik Day, setelah makan, kami langsung menuju ke apartemen
Kak Anna, ya markas kami pertama dan satu-satunya. Karena kami akan merayakan Farewell Party untuk Farida yang minggu
depan akan kembali ke Indonesia. Tidak terasa sudah sekitar tujuh atau delapan
bulan ia bergabung dengan kami. Tapi, mau tidak mau program exchange-nya harus berakhir. Justru ia
malah extend tinggal di New York
karena acara ke Kanada kemarin. Atau ia yang tidak tega meninggalkan kami semua
di New York. Hahaha. Pede sekali.
Sepanjang jalan menuju apartemen Kak Anna, aku yang
agak sibuk membalas komentar dan DM
yang masuk, sempat melihat Eugene sibuk membalas pesan dengan Farida. Ya,
ampun, ada apa lagi ini? Buat apa dibalas? Kan sebentar lagi juga ketemu.
Hmm, bukan aku cemburu, tapi aku sudah mencium aroma
perselingkuhan antara terdakwa Eugene dan tersangka Farida. Aku sudah melihat
sejak kemarin kami jalan-jalan di Kanada. Aku melihat Farida yang ingin selalu
nempel dengan Eugene. Memang parfum Eugene sebegitu wanginya sehingga ia ingin
nempel terus seperti perangko?
Aku harus mencari tahu ini secepatnya.
- BERSAMBUNG -
=====================================================================
Episode 6 : Cinta Segi Banyak
Angelique Arianna Inolatan. Februari dan Maret 2019.
New York. Masa Depan.
Hari ini, ada kumpul-kumpul sama anak-anak
kesayangan, tidak lain tidak bukan, anak-anak Batik Day, mahasiswa tanpa dosa
kalau kata Yureka, padahal jelas-jelas manusia banyak dosa yakan? Hahaha. Dan seperti biasa, kumpulnya di apartemen gue, dimana lagi
yang bisa dibuat rusuh sama mereka, yaa mungkin mereka sengaja karena gue
tinggal sendirian dan mereka rata-rata sharing
apartment atau di asrama, jadi emang lebih enak kalau kumpul di apartemen
gue. Tapi ya dengan senang hati gue menerima mereka tiap mereka dateng ke
rumah. Hitung-hitung biar gue nggak kesepian juga.
Sering juga tiap weekend,
salah satu atau dua dari mereka numpang nginep di gue karena bosen dan gabut di
rumah mereka masing-masing. Yang paling sering nginep itu si Chandra sama
Dhimas. Meskipun gue sama Dhimas sebenernya sering adu pendapat, tapi entah
kenapa dia justru yang sering dateng. Sering juga curhat soal cewek yang dia
taksir di kampus atau di tempat dia kerja part-time, di salah satu bar di Upper
East Side. Kalau Chandra jangan ditanya, dia sering kesini karena numpang
makan. Tapi bagusnya dia jadi yang sering masakin gue, jadi bahan-bahannya gue
yang beli, dia yang masak. Ya, namanya juga mahasiswa sekolah masak, udah jadi
kesehariannya berurusan sama dapur.
Dan kali ini, semua anak-anak Batik Day kumpul. Kita
mau ngadain “Farewell Party” buat
Farida yang dalam beberapa hari akan pulang ke Indonesia. Ya, soalnya dia
disini cuma anak exchange dari
kampusnya, dan nggak kerasa udah 1 tahun dia disini. Tadinya dia programnya
cuma 6 bulan di Pace University, tapi karena satu dan lain hal, dia extend alias perpanjang jadi satu tahun.
Kalau boleh kepedean sih, jangan-jangan Farida extend karena terlalu betah di New York karena ada gue lagi.
Hahaha. Ya kali deh, Na.
Sekitar pukul 3 sore, gue liat dari jendela dapur
apartemen, Eugene sama Yureka udah ada di depan gedung apartemen, tapi mereka
kayak lagi ngobrolin sesuatu. Setengah marah-marah. Lah kenapa tuh mereka?
Nggak berapa lama, mereka mencet bel rumah, dan gue persilahkan masuk.
Gue mencoba buat tanya apakah mereka baik-baik aja.
Mereka cuma bilang “Baik-baik aja kok. Kenapa emang kak?”. Yah, malah balik
nanya. Tapi yaudah lah, mungkin nanti-nanti aja gue tanyanya.
Acara farewell-nya
sih nggak formal, santai-santai gitu aja. Yang penting semua kumpul dan
makan-makan kita malam ini. Tapi ketika Eugene dan Yureka dateng, udah ada
Gilang sama Dhimas. Chandra masih di jalan dan begitupun dengan duo sepupu
Fikri dan Farida.
💛💛💛
Farida Kumala Dewi. Apartemen Kak Anna. Februari
2019. New York. Masa Depan.
Nggak kerasa udah satu tahun gue jadi mahasiswa exchange di New York. Siapa sih yang
nggak pengen ke salah satu kota terbesar di dunia? Alhamdulillah banget gue
bisa dapet kesempatan itu. Gue banyak dapet pengalaman yang nggak bisa diganti
apapun, contohnya perkuliahan di Pace University yang super duper kece, ditambah
temen-temen yang juga super duper baik, terutama temen-temen Batik Day. Waktu
itu nggak nyangka aja bakal dipilih Kak Anna buat jadi tim acara Batik Day.
Nggak tahu yaa gegara apa. Tapi kayaknya gue pernah satu acara bareng juga sama
Kak Anna, dan Kak Anna bilang untuk acara Batik Day dia butuh tenaga perempuan
secara kebanyakan dari kami adalah laki-laki. Jadilah, gue waktu itu ada
dibagian publikasi bareng sepupu gue, Fikri.
Oh ya, banyak yang bilang juga gue bisa ke Amerika
karena sepupu gue. Fikri, udah 2 tahun tinggal di New York dan lagi studi
teknik industri di Columbia University. Tapi gue tinggal di New York bukan
semata-mata karena dia. Tapi emang gue dapet kesempatan buat jadi salah satu
perwakilan kampus gue di Indonesia untuk jadi ikut pertukaran pelajar di
Amerika, dan emang Allah udah rencanain ini semuanya kalau gue bisa ke Amerika
dan terlebih di satu kota yang sama kayak si Fikri.
Tinggal di Amerika emang berat banget. Gue bukan
pertama kalinya sih ke luar Indonesia. Dulu gue pernah ikut exchange juga waktu gue SMA ke Jepang,
dan pernah liburan bareng Nyokap-Bokap gue ke Australia dan Selandia Baru, dan
kebetulan emang ada sanak family juga disana. Tapi yang bikin berat tinggal
disini adalah karena perbedaan waktu antara Amerika dan Indonesia cukup jauh,
yaitu 12 jam lamanya. Kebayang kan kalau mau telpon orang tua di Indonesia
harus jam berapa?
Ngomongin soal perbedaan waktu, gue juga harus bisa
mengatur waktu buat tetep komunikasi sama cowok gue di Indonesia. Dia senior
gue di kampus dan tahun ini rencananya akan melangsungkan sidang skripsi, jadi
dengan kepulangan gue ke Indonesia adalah waktu yang tepat buat bisa liat
langsung momen bahagianya dan juga wisudanya juga akan berlangsung bulan Juli
depan.
Jadi gimana rasanya LDR? Berat! Berat banget! Cuma
orang gila yang bisa ngelakuin pacaran LDR. Capek. Saat gue butuh dia, dia
disono jauh banget. Kalau lagi pengen manja-manja juga nggak bisa langsung.
Harus sabar, cuma bisa lewat telpon atau Facetime
aja. Susah! Pokoknya kalau salah satu dari kalian juga pernah atau lagi
ngelakuin LDR, sabar aja ya, be strong.
Pasti kalian bisa!
Tapi jujur nih, selama gue di New York, ada satu
atau dua momen emang gue pengen manja-manjaan sama cowok. Ya, kasarnya
selingkuh. Jujur, ada kepikiran buat kayak gitu. Bukan karena gue udah nggak
pengen sama cowok gue lagi, Vito, tapi emang lagi pengen ada yang merhatiin gue
di tempat dan jam yang sama. Ngerti kan maksud gue?
Dan jujur
selama satu tahun di New York, ya, ada sih satu cowok yang gue merasa dia bisa
manjain gue, kayak sebagai kakak sendiri. Gue nggak bermaksud selingkuh kok,
beneran. Tapi yang gue bilang tadi, gue lagi butuh seseorang yang bisa dengerin
curhatan gue kalau lagi galau atau apalah. Cowok itu ada di antara kita
berdelapan, para anggota Batik Day. Udah baik, pinter, ganteng, dan hobi kita
sama, sama-sama ngomongin Jejepangan, cuma bedanya kakak yang satu ini nggak
se-freak gue sih. Atau kadang kita
ngomongin serial drama Korea bareng, secara Nyokapnya dia orang Korea, dan dia
sendiri juga sesekali nonton drama Korea.
Ya, bisa tebak sendiri lah siapa. Ya ya, gue sempet
naksir Kak Eugene. Ya, gue tahu sekarang dia jadian sama Kak Yureka, dan gue
nggak mau merusak hubungan mereka, karena yang gue liat mereka emang serasi
banget, cocok satu sama lain. Tapi gimana dong, sebenernya sebelum mereka
deket, gue udah deket duluan sama Kak Eugene, tapi ya nggak mungkin kan karena
waktu itu juga gue masih punya pacar, sampe sekarang juga masih.
Kenapa ya gue bisa sesuka itu sama Kak Eugene? Bukan
cuma soal tampang aja, yah, semua orang juga tahu kalau mukanya yang Korea
banget itu siapa yang nggak naksir? Apalagi ditengah maraknya kepopularitasan
drama dan idol-idol Korea, siapa yang nggak mau jadi pacarnya Kak Eugene? Tapi
mungkin karena tiap kali kita ketemu dia bahas hal yang sama, jadi yaa nyambung
aja, dan entah kenapa jadi nyaman. Parah banget sih emang, gue mengkhianati Kak
Yureka, tapi gue sebenernya dari dulu masih nggak percaya kalau Kak Eugene
jadiannya sama Kak Yureka. Pasti banyak banget yang nyinyirin Kak Yureka, dan
gue juga yakin banyak banget cewek-cewek di luar sana yang patah hati karena Kak
Eugene udah double gitu sama Kak
Yureka. Tapi nih ya, kalau boleh jahat sih, emang mereka cocok ya? Kalau boleh
kepedean sih, kayaknya masih cantikan gue daripada Kak Yureka. Tapi yaudah lah
namanya juga suka, mau segimanapun luarnya, kalau udah demen ya demen aja.
Anyway, gue sama temen-temen Batik Day mau ngadain farewell party buat gue. Gila, so sweet banget ya mereka, gue jadi
terharu. Yang pasti ada seneng dan sedihnya. Gue seneng gue bakalan balik ke
Indo dan ketemu sama keluarga, temen-temen, plus Vito, sumpah gue udah kangen
berat sama mereka! Tapi sedih karena bakalan nggak ada lagi kumpul-kumpul nggak
jelas di rumah Kak Anna, ketawa-ketiwi bareng sampe pagi, dan makan makanan
Indonesia bareng. Ya, jujur gue juga bakalan kangen ngobrol bareng sama Kak
Eugene, yang udah baik banget sama gue. Dia juga sering banget nolong gue kalau
gue butuh bantuan. Tapi apapun itu, gue tetep pengen Kak Eugene dan Kak Yureka
tetep bareng-bareng terus. Semoga mereka langgeng.
💜💜💜
Chandra Setiawan. Apartemen Kak Anna. Farewell Party
buat Farida. 2019. New York.
Udah akhir pekan lagi nih, gila cepet banget. Minggu
ini gue sama temen-temen Batik Day mau ngadain “Farewell Party” buat Farida yang dalam beberapa hari mau balik ke
Indonesia karena exchange-year-nya
udah selesai. Bakal sedih sih dia pulang karena nggak ada lagi cewek bawel yang
sering ceramahin gue kalau gue naro sepatu nggak bener di rumah Kak Anna, atau
segala omongan gue yang suka jorok dan porno di depan temen-temen yang lain.
Hahahah. Ya maafin deh, padahal kan cuma buat have fun aja.
By the way, ini adalah kumpul-kumpul lengkap lagi setelah
terakhir minggu lalu kita semua bareng-bareng pergi ke Ottawa, Kanada selama
beberapa hari. Tapi ini kayaknya baru kumpul lagi di rumah Kak Anna setelah
beberapa minggu nggak ketemu. Waktu malam tahun baru sih, kita berdelapan nggak
kumpul bareng karena kita punya rencana masing-masing. Kak Anna waktu itu ke
D.C buat ngerayain tahun baru bareng temen-temen kampusnya disana. Dhimas juga
ada New Year’s Eve Party bareng
temen-temen sejurusannya karena katanya sengaja ikut soalnya ada cewek yang dia
taksir. Hah, basi! Nah kalau Eugene sama Yureka pergi liat Ball Drop di Times Square. Gue yakin mereka pasti cipokan disitu.
Kan katanya membawa keberuntungan kalau ciuman di Times Square pas malam tahun
baru. Tahu deh, beneran apa nggak mitosnya. Sedangkan gue sama Gilang, Fikri,
Farida yang nggak diajak sama siapa-siapa, cuma pergi ke Rockefeller Center
buat liat kembang api. Trus nggak lama balik ke apartemen gue karena nggak kuat
tahan dingin, dan sisanya nonton Kartun Jepang plus main PS. Meskipun pas tahun
baru kemarin kita nggak lengkap kumpulnya berdelapan, tapi gue masih bersyukur
kok gue masih bisa ngelewatin momen-momen bareng orang-orang yang terdekat,
malah terlalu dekat. Hahahaha.
Tapi jujur, gue sempet kesel sih karena gue nggak
bisa bareng-bareng sama Yureka. Gue sebel sebenernya mau ngakuin ini. Kenapa?
Karena sebenernya gue udah lama naksir sama Yureka dari pas Batik Day
berlangsung. Dari pas awal-awal rapat bareng, gue merasa kalau Yureka itu
anaknya care banget sama semua orang,
termasuk sama gue. Kalau nggak salah, waktu sebelum Batik Day, entah pas rapat
ke berapa, waktu itu gue sakit, demam kalau nggak salah, dan Yureka yang dengan
sukarela bantuin gue dan ngerawat gue sampe demam gue turun. Ih, baik banget
sumpah. Gue suka tuh sama cewek yang keibuan kayak gitu. Ya, semua cewek juga
bisa kayak gitu, tapi kalau Yureka tuh gue litanya beda aja.
Gue nggak tahu waktu itu Yureka ngelakuin itu karena
apa? Kalau semata-mata karena suka kan nggak mungkin juga. Ya, gue tahu dia
ngelakuin itu karena care sama gue,
karena gue sakit, dan karena gue butuh pertolongan. Tapi jujur, dari situ gue
jadi suka sama dia. Ya, nggak suka-suka amat sih, cuma seneng aja kalau tiap
kali kita ketemu. Gue juga udah punya gebetan, bule, orang lokal, temen satu
magang di restoran, tapi kan yaa karena dia bule jadi gue juga harus hati-hati
deketinnya. Makanya kalau ke Yureka kan, istilahnya dia orang Indonesia, gue
tahu gimana caranya pendekatan sama orang Indonesia, gimana caranya gombal atau
apalah, plus gimana reaksinya. Gue ibaratnya udah tahu resikonya karena dia
sama gue sama-sama orang Indonesia, jadi lebih gampang. Ya, lu pada paham lah
maksud gue.
Tapi pas gue tahu dia malah deketnya sama Eugene,
yah sempet kecewa sih, tapi mau gimana lagi, kayaknya mereka udah jodoh banget.
Gue tiap liat mereka berdua, gue merasa mereka udah cocok banget. Terlebih gue
juga sama Yureka nggak bisa lebih dari temen, karena perbedaan keyakinan.
Yureka sama Eugene yang satu agama, jadi mau nggak dicocokin, kalau mereka
sama-sama saling suka dan terlebih soal kepercayaan, ya pasti bakalan jadi
cocok. Ya, semoga mereka emang jodoh dari Tuhan.
💚💚💚
Angelique Arianna Inolatan. Apartemennya sendiri.
Farewell Party buat Farida. 2019. New York. Masa Depan.
Satu jam pertama perayaan farewell party-nya Farida berjalan normal. Kita masak bareng,
nyiapin makanan dan minuman yang akan dikonsumsi. Semua bekerja. Duh, jadi
inget Batik Day kan. Intinya, kita emang kayak gitu, kalau udah kumpul jadi
kompak banget, saling bantu satu sama lain. Tapi pas masak-masak, ada yang
janggal. Nggak persis kayak biasanya. Gue liat dari kejauhan Eugene sama Yureka
nggak saling ngobrol satu sama lain. Ya, katanya kalau lagi kumpul nggak mau
memamerkan kemesraan di depan publik. Tapi selama kumpul-kumpul, mereka
bener-bener nggak ngobrol sama sekali. Malah saling berjauhan. Malahan, si
Yureka jadi asyik ngobrol sama Chandra sama Gilang. Si Eugene malah ngobrol
bareng sama Farida dan nyiapin meja buat makan bareng. Sedangkan gue sama
Dhimas masih sibuk nyiapin lauk-pauk buat kita makan. Trus si Fikri juga sibuk
nyiapin nasi yang bakal jadi makanan utama kita. As always, orang Indonesia nggak bisa lepas dari yang namanya nasi.
Sekitar pukul 19.30, makanan udah siap disantap. Ya,
kemudian kita semua makan bareng. Ketawa-ketiwi bareng. Ngobrolin apa aja yang
entah kenapa emang ada aja yang diobrolin. Sesekali nostalgia ke zaman Batik
Day, terlebih waktu games biji
semangka, yang Yureka dapet pertanyaan paling apes sedunia tapi ujung-ujungnya
itu yang membuat dia jadian sama Eugene, dengan sedikit bantuan gue juga sih
sebagai mak comblangnya. Hahaha. Atau ngobrolin momen-momen waktu di Kanada.
Saling ngirim foto-foto entah dari HP-nya Yureka lah, dari HP gue lah, di
kameranya Fikri lah, dan pokoknya kumpul-kumpul ini jadi momen buat saling
kirim foto ke grup Whatsapp.
Tapi gue bener-bener masih merasa ada yang janggal.
Kenapa ya? Hawanya lagi nggak bagus. Masa karena mau pergantian musim dingin ke
musim semi, sih? Nggak ada hubungannya. Terutama soal Yureka dan Eugene, mereka
duduknya aja misah. Jadi di ruang tamu gue, ada satu sofa besar warna coklat
krem, beludru loh, nyaman banget pokoknya. Ah, nggak penting. Trus, ada dua
kursi dan satu bantal gede yang bisa didudukin, dan karpet, plus meja ukuran
kecil buat taro makanan. Di sofa bisa muat empat orang, dan di sofa itu ada
Chandra, Yureka, Gilang, sama Fikri. Di dua kursi ada Eugene dan Farida.
Sedangkan di bantal gede dan di karpet ada gue dan Dhimas. Ya, kita
ngobrol-ngobrol sambil makan. Tapi nggak bisa kalau kayak gini, gue khawatir
soal duo Double Yu itu. Gue khawatir soal hubungan mereka, gue takut ada
apa-apa. Masalahnya gue tahu banget kenapa mereka bisa jadian, gue yang bikin
mereka jadi deket, jadi ada semacam hutang budi kalau hubungan mereka renggang.
Hingga kemudian memunculkan sebuah ide, gue akan
bikin games. Games nya pun sama kayak
waktu dulu, yang waktu Yureka suruh pilih antara lima cowok itu. Yap, kita
main “Truth or Dare” lagi.
Dulu sebenernya gue sengaja ngasih pertanyaan ke
Yureka, dari lima pria (Eugene, Chandra, Dhimas, Fikri, dan Gilang), mana yang
dia pilih buat nerusin keturunan. Dulu sih pertanyaannya agak bercanda, tapi
soal milih satu di antara lima gue nggak bercanda. Dulu gue pengen tahu Yureka
milih siapa dan tanpa kasih alasannya. Dan gue juga ngasih pertanyaan yang sama
ke Eugene dan objeknya diganti tapi gue minta dia kasih alasannya.
Kenapa gue dulu ngelakuin itu semua? Karena
sebenernya gue udah bisa liat dari gelagatnya Yureka kalau dia naksir Eugene.
Dan sebelum dia ngasih jawaban atas pertanyaan gue itu, gue bener-bener
berharap dia bakalan jawab “Eugene”. Plus,
gue pengen tahu reaksinya Eugene gimana, karena jauh sebelum ada games itu, dan semenjak gue satuin
mereka di divisi dekorasi pas Batik Day, gue juga ngeliat gerak-gerik Eugene
yang udah kayak ulet bulu, and that means
dia naksir sama Yureka. Makanya, gue waktu itu ngarep banget kalau dengan
pertanyaan itu akan mendekatkan keduanya. Dan setelah Yureka jawab kalau dia
lebih memilih Eugene, dan Eugene pun jawab dia milih Yureka, sumpah gue super duper
lega! Ya, gue udah tahu sih sebenernya jawabannya apa. Ada kaitannya apa nggak,
gue yakin emang Yureka demennya sama Eugene. Dan dari reaksi yang diperlihatkan
Eugene, dia juga kayaknya emang naksir Yureka.
Nah sekarang gue juga akan bikin games yang hampir sama. Maksudnya, gue
akan memberikan pertanyaan yang nanti ujung-ujungnya bongkar semua rahasia yang
ada di antara kami. Gue nggak bermaksud jahat. Gue cuma mau ketika sepuluh tahun
dari sekarang, nggak ada lagi salah paham dan atau lain sebagainya di antara
kita berdelapan. Terlebih Farida mau balik ke Indonesia, gue pengen tahu apakah
ada sesuatu yang pengen dia ceritain ke kita yang selama ini kita nggak tahu.
Dan permainan pun berlangsung sehingga menghasilkan
percakapan berikut :
Arianna :
Pokoknya Truth or Dare ini, gue minta
kalau truth yaa bener-bener truth. Gini sih sebenernya guys, gue
pengen tahu sesuatu yang kita semua belom pada tahu.
Farida :
Maksudnya gimana, Kak?
Yureka :
Kalau truth semua berarti bukan Truth or Dare dong. Ya, kenanya jadi ajang
“Jujur-jujuran terjujur 2019”
Arianna :
Oke oke. Jadi gini. Ini gue jujur aja nih. To
the point ke kalian. Kita kan udah lama pada kenal, tapi gue rasa di antara kita
belom kenal-kenal amat.
Gilang :
Heh?
Arianna :
Gue belom selesai, Mas Ahmad Gilang Prasetyo…
Gilang :
Oh oke. Maap.
Arianna :
Jadi, gue bikin games ini adalah
momen dimana kita saling cerita, soal apa aja yang menyangkut kita berdelapan.
Chandra :
Gue masih nggak ngerti lu ngomong apaan, Kak.
Dhimas :
Kayaknya gue tahu. Lu mau kita cerita rahasia kita semua?
Arianna :
Hmmm. Kasarnya gitu sih. Hehehe.
Chandra :
Yah, kalo rahasia dibongkar ya jadi nggak rahasia dong kak.
Arianna :
Maksud gue… gini loh guys. Oke gini, jujur nih. Farida besok kamis balik ke
Indo, gue cuma pengen sesuatu yang belum terucap dari dia soal kita, gue mau
dia cerita sekarang. Apa aja. Contohnya mungkin si A kesel banget sama si B,
karena si B terlalu bacotnya orangnya. Or
whatever in between lah.
Yureka :
Gue paham maksud lu kak.
Arianna :
See? Akhirnya ada juga yang ngerti.
Eugene :
Gue? Cukup paham sih sejauh ini.
Gilang :
Aku hayo aja lah kalau gitu.
Arianna :
Tapi kalau kalian nggak mau cerita detailnya, yaa nggak apa-apa, gue nggak
maksa juga. Jadi, senyamannya kalian aja.
Yureka :
Gue berharap sih ini bukan ajang mojokin seseorang. Cuma mau cerita-cerita aja
kan?
Arianna :
Huum. Gimana?
(Semua) :
(terdiam)
Arianna :
Ya, kalau nggak ada yang sreg yaudah nggak usah main.
Farida :
Yaudah yaudah main aja, main, hayok!
Arianna :
Eit, kalo terpaksa gue nggak mau ya. Ikhlas nggak nih kalian?
(Semua) :
ya, ya, ya.
Dhimas :
Yok main-main.
Yureka : We'll try!
Arianna :
Tunggu, tunggu. Ni gue disclaimer
lagi yaa. Ini cuma buat momen dimana kita yang sebelumnya nggak pernah tahu,
jadi tahu. Siapa tahu kita masing-masing punya rahasia yang bener-bener
dihindarin dari masing-masing. Gue nggak mau persahabatan kita, persaudaraan
kita hancur gara-gara masih mendem rahasia ini sampe tua. Ya, gue tahu sih,
abis rahasia itu diceritain pasti saling canggung satu sama lain. Tapi itu
normal kok. Kalo menurut gue lebih bagus diceritain sekarang aja daripada nggak
pernah sama sekali.
Chandra :
Serem euy.
Yureka :
Ngeri.
Arianna :
Setuju?
(Semua) :
Oke
Arianna :
Well, karena gue yang punya ide permainan ini, berarti gue yang mulai.
Semua
bersiap-siap. Posisi duduk pun jadi agak berubah. Yang tadinya di sofa jadi
diatas karpet, yang di kursi jadi pindah ke sofa, dan lain sebagainya. Menit
pertama semua diam tanpa kata. Bener-bener awkward.
Tapi, yaudah lah, mau gimana lagi. Gue harus tetep ngelakuin ini.
Arianna :
Oke, gue pakai botol ini buat ngarahin siapa objek yang akan gue bahas.
Misalnya, kalau ujungnya kena ke… hmm Chandra, berarti gue akan ceritain
sesuatu yang Chandra nggak tahu, atau selama ini gue pendem-pendem ke dia.
Apapun. Oke? Paham ya. Gue mulai ini.
((Botol coca-cola yang tadi siang gue beli dan
isinya udah kosong pun gue pake untuk dijadikan alat permainan ini. Destinasi
pertama jatuh pada Fikri. Nah, kalau dia gue nggak punya rahasia, paling cuma
kesel kalau tiap kumpul dia yang paling pasif. Anti gue sama orang pasif.))
Fikri :
Waduh. Gue!
Arianna :
Nah, Fikri. Hmmm. Apa ya? Cuma ada satu uneg-uneg yang selama ini gue pendem
dan gue pengen banget lu tahu ini.
Fikri :
Waduh apaan tuh?
Arianna :
Fikri Harizki, student of Industrial
Engineering and Operational Research of Columbia University yang terhormat,
kalau jadi orang tuh yang aktif kenapa. Jangan diem aja. Speak up men! Lu udah mending waktu gue suruh di divisi publikasi,
lu udah mending mau ngomong ke strangers. Dulu-dulu ya, pas gue kenal lu
pertama kali, astaga kayak anak kecil baru belajar ngomong tahu nggak.
Dieeeemmm aja. Orang udah mancing-mancing buat ngobrol, cuma “Hehehe iyaa,
hehehe iya”. Gitu doang. Apaan tuh? Heh, lu tuh anak Columbia, ngaca. Yang
aktif gitu loh fik. Elah.
Fikri :
Ya kak, ya kak. Maap. Makasih masukannya, btw.
Arianna :
Udah itu doang. Sekarang giliran lu, Fik. Entar lu kenanya ke siapa, nah dia
dapet giliran berikutnya.
Fikri :
Oke. (Memutar botol). Wuih, Kak Gilang. Mantap nih.
Gilang :
Piye? Kamu mau ngomong apa?
Fikri :
Jadi, sebenernya aku pernah ngambil shower
gel-nya Kak Gilang sampe setengah gara-garanya, waktu aku nginep di dormitory Kakak, baju aku ketumpahan coklat
panas, dan baju itu mau aku pake besoknya. Pokoknya intinya pengen cuci lah, eh
trus pas ke kamar mandi, aku liat keranjang tulisannya “G- Indo”, dan aku tahu
itu pasti punya Kak Gilang, karena nggak mungkin keranjang alat mandi orang
bule ada pepsodent-nya, jadi akhirnya
aku pake sabun itu sampe hampir habis. Dan aku nggak bilang sama Kak Gilang.
Gilang :
Oh, ya ampun, selaw aja kali. Kayak kalo kamu pake langsung kiamat. Santai aja.
Eh tapi btw kenapa kamu nggak bilang sama aku?
Fikri :
Ya, malu kak.
Farida :
Dia emang kayak gitu kak. Saking pemalunya.
Gilang :
Owalah, gitu. Ya, lain kali ngomong ya.
Arianna :
Kan, apa gue bilang, Fik. Speak up!
Fikri :
Ya, ya. Hehehe.
Arianna :
Ayo, Lang. Giliran lu.
Gilang :
Waduh kena siapa ya? (memutar botol). Wah, kok ke Kak Anna. Apa ya? Hmmm, oh
aku tahu. Aku pernah ngilangin gelas plastiknya Kak Anna waktu kita piknik ke
taman pas rapat Batik Day. Aku waktu itu mau pipis, cari toilet darurat dan
bodohnya aku masih pegang gelas plastiknya ke toilet, dan bodohnya lagi aku
lupa dan meninggalkan gelas itu di dalam toitlet.
Arianna :
Hmm gelas IKEA ya? Pantesan, berkurang. Hahaha. Ah santai lah. Bisa beli lagi.
Yureka :
Eh tunggu, berarti abis ini, Kak Anna jalan dua kali dong. Abis ini pas dia
muter botol, trus kena ke siapa gitu, trus dia musti ngomong lagi?
Arianna :
Ya, iyaa. Ya, nggak apa-apa, berarti gue harus ngomong lagi kan. Tapi kalo ada
yang pengen diomongin, ya diomongin aja. Kalau enggak ya di skip.
Yureka :
Oh gitu.
Arianna :
Oke. (Memutar botol).
Farida :
Wah Kak Dhimas.
Arianna :
Waduh. Tepat sasaran ini mah namanya.
Dhimas :
Tepat sasaran?
Arianna :
Okay, guys. It sounds very exaggerating
and surprised but I need to confess this one…
(Semua) :
(terdiam dan kebingungan).
Arianna :
Gue cuma mau bilang, kalo sebenernya… jangan pada kaget ya. Gue sempet naksir
sama lu, Dhim.
Dhimas :
Waduh.
(Semua) :
Uuuuuu.
Chandra :
Eh ternyata ya Kak Anna.
Dhimas :
Kok bisa, Kak?
Arianna :
Ya, kita emang nggak cocok sih, karena kita sering debat kan. Dan emang somehow ribut mulu. Terlebih gue emang
pribadi yang rada-rada feminis, jadi yaa nggak terlalu mikirin cowok banget.
Tapi, ya gue tetep perempuan. Dan gue normal, gue nggak lesbian. Jadi karena
kita sering ketemu, jadi ya gue naksirnya sama elu deh.
(Semua) :
Ciyeeeee. Duh duh.
Yureka :
Nggak nyangka gue. Ini bukan mimpi kan?
Arianna :
Tapi gue nggak gimana-gimana sama lu, Dhim. Gue kan tahu juga siapa cewek yang
lagi lu taksir. Plus, lu sangat amat playboy. Dan gue nggak cemburu. Ya, cuma
emang demen aja. Terlebih gue nggak percaya pernikahan dan nggak komitmen, jadi
kalau gue suka sama orang ya cuma suka aja, nggak lebih.
Eugene :
Yakin Kak nggak lebih? Nanti nyesel loh.
Yureka :
Sayang… pssstt.
Arianna :
Nggak. That’s what I want to confess.
That’s all.
(Semua) :
(Terdiam)
Dhimas :
(Mukanya memerah)
Farida :
Huum gue boleh ngakuin sesuatu juga nggak? Hmm, karena Kak Anna tadi bahas soal
siapa demen siapa, gue juga mau ngaku sesuatu. (Bicara pelan).
(Semua) :
(Siap-siap mendengarkan)
Farida :
Eh jangan serius-serius dong. Jadi parno nih.
Chandra :
Iya, iyaa selaw. Selaw.
Farida :
Jadi, rahasia terbesar yang selama ini gue pendem yang terjadi di antara kita
berdelapan, adalah… maybe this is too
obvious. And maybe some of you
already got this.
(Semua) :
(terdiam dan terheran)
Farida :
I was in crushed to Kak Eugene…
sebelum Kak Eugene sama Kak Yureka jadian, gue sebenernya udah suka duluan sama
Kak Eugene.
Eugene :
(Mukanya keheranan)
Yureka :
(Menunjukkan ekpresi kesal dan acuh). I
knew it.
Farida :
Maaf ya, Kak Yure. Ya, aku cuma naksir aja kok. Karena aku sama Kak Eugene
sering bahas jejepangan bareng, jadi kebawa deh sampe kayak naksir gitu.
Yureka :
Tapi kan lu udah punya cowok, Far? (Nada marah)
Farida :
Ya, tahu. Tapi LDR itu nggak segampang membalikkan telapak tangan, Kak. Dan aku
nggak berniat selingkuh dari cowok aku, tapi kenyataannya ada seseorang yang
bikin aku nyaman dan bisa manjain aku. Dan itu Kak Eugene.
Eugene :
Emang kapan gue manjain elu, Far?
Farida :
Ya, secara tersirat. Tiap kali aku Whatsapp
Kakak, Kakak selalu bales dan aku tahu Kak Eugene taking care aku banget. Itu yang bikin aku naksir Kak Eugene waktu
itu. Tapi setelah aku tahu Kak Eugene jadian sama Kak Yureka, ya aku mundur
perlahan. Aku mencoba untuk hilangin perasaan itu. Tapi nggak bisa. Karena aku
masih disini, masih ketemu Kakak. Jadi…
(Semua) :
(Terdiam). (Momen canggung pun terjadi)
Chandra :
Hmmm, sekarang boleh giliran gue nggak? Nggak usah muter botol gapapa.
Kelamaan. Biar cepet. Udah terlanjur juga si Farida bikin pengakuan.
Arianna :
Go ahead, Chan.
Chandra :
Gue juga mau ngaku. Jauh sebelum Batik Day, gue juga naksir sama Yureka.
Eugene :
Nah, udah ketebak kan. (Nada kesal).
Chandra :
Karena Yureka juga care banget sama
gue. Apalagi kalau gue curhat tiap kali gue kangen sama adek kembar gue, dia
pasti selalu mau dengerin gue cerita. Dan disitu gue nyaman banget. Tapi
semenjak gue tahu Eugene deketin Yureka, dan gue sama Yureka juga nggak mungkin
bisa jadian kan, karena kita beda, jadi ya gue cuma suka aja dalam hati. Dan
gue sebenernya berterimakasih sama Kak Anna. Karena dia yang udah ngasih ide
buat bikin games ini. Gue tahu ini awkward, tapi gue nggak tahu kalau gue
pendem terus jadinya bakal gimana.
Yureka :
Makasih, Chan, udah mau ngaku. Tapi, sorry.
Chandra :
Iya, santai. Gue tahu kok. Gue cuma mau bilang aja.
Arianna :
Ayo siapa lagi yang mau ngaku? Mumpung masih sore nih.
Gilang :
Aku! Aku!
Arianna :
Silahkan.
Gilang :
Kalau Eugene dan Yureka saling suka, tapi Farida suka sama Eugene dan Chandra
naksir sama Yureka. Kalau aku, aku sebenernya pernah naksir kamu, Far.
Farida :
Gue?
Gilang :
Iya. Kamu inget waktu tim publikasi mau bikin video buat media promosi, aku
yang dengan suka rela mau ikut bantuin syuting. Itu sebenernya sambil menyelam
minum es kelapa muda. Gara-gara masuk tim Batik Day, day by day, aku jadi tertarik sama kamu. Tapi setelah kepo
Instagram kamu, aku nggak jadi. Ya, karena kamu sudah punya kekasih. Tapi aku
berharap kamu nggak putus sama Vito, Far, kasian, dia udah nungguin kamu
setahun, loh. Kalo pas balik, kamu minta putus, rasanya nggak adil. Cuma
gara-gara kamu lebih suka sama Eugene atau suka sama yang lain. Whatever. Tapi pesan aku, jangan kamu
putusin pacar kamu, Far. Percaya deh sama aku.
Farida :
Gitu ya.
Gilang :
Iya. Tapi tenang kok, aku udah punya gebetan baru. Anak Permias juga. Doain ya,
semoga bisa jadian.
Arianna :
Eh siapa tuh? Kasih tahu dong. Jangan-jangan gue kenal nih.
Gilang :
Aduh. Jangan ah. Kak Anna kenal soalnya.
Arianna :
Lah iya, makanya gue pengen tahu. Nanti gue comblangin.
Gilang :
Ada lah. Nanti aku kasih tahu.
Arianna :
Nggak, Lang. Sekarang. Cepet! Jangan-jangan Bella ya? Yang anak NYU itu?
Gilang :
Hiii, kok Kak Anna bisa tahu, tho? Dukun opo piye Kak Anna iki?
Arianna :
Kalau soal percintaan, gue dewinya.
Yureka :
Bella anak S2 Museum Studies itu? Itu kan pernah satu seminar sama gue, pas
jaman dulu gue ketemu Eugene.
Chandra :
Eaaaaa
Fikri :
Ciyeee.
Dhimas :
Yang Yureka baru sadar kalau Eugene adalah teman satu kelompoknya pas udah
dipasangin di divisi dekorasi, bukan?
Yureka :
Diem, ah.
Dhimas :
Tapi bener kan?
Yureka :
Iya iya. Btw dia baik loh orangnya. Kayaknya cocok deh sama elu, Lang. Udah,
besok langsung ajak kemana gitu, makan bareng, ke bioskop kalo perlu, trus
tembak deh.
Gilang :
Aku nggak seberani kamu, e,Yur. Yang bener aja dong.
Arianna :
Oke. Siapa lagi hayo yang belom dapet giliran?
Chandra :
Double Yu? Yureka dan Eugene? Mau membuka suara? Atau Dhimas? Mau mengaku
sesuatu?
Eugene :
Jangan-jangan Dhimas juga memendam rasa dengan Kakak Angelique Arianna Inolatan
nih.
Fikri :
Uuuuuuu
Gilang :
Wah, fenomena terbesar 2019 nih kalau beneran.
Arianna :
So… Mau ngomong apa lu?
Dhimas :
Ya, kan gue sering curhat soal cewek-cewek yang gue taksir nih, Kak. Sampai
akhirnya beberapa ada yang berhasil jadian sama gue, meskipun ujung-ujungnya
gue putusin… sampai pada suatu hari gue nembak si bule asal Prancis,
Jacqueline, cuma dia satu-satunya yang gue gebet dan nolak gue…
Yureka :
Gue nggak nyangka seorang Dhimas, anak gaul, bisa ditolak. Sabar ya.
Dhimas :
Ya, bukan rejeki juga. Intinya, entah kenapa pas gue ditolak Jacqueline, gue
bener-bener patah hati banget dan curhat semua ke Kak Anna.
Farida :
Jangan-jangan udah takdir Tuhan kalau Kak Dhimas dan Kak Anna….
Arianna :
Tunggu, tunggu. Dhimas belom selesai. Ayo terusin.
Dhimas :
Dan somehow, pas curhat soal
Jacqueline itu, lu yang paling bisa nenangin gue. Dan ya, jujur sih…. Gue
jadinya ada rasa dikit sama elu, Kak. Hehehe.
Farida :
Nah, kan, beneran!
Gilang :
Fenomena terwah 2019 telah diumumkan, sodara sodara!
Fikri :
Uwuuuuuww!
Yureka :
Aw aw
(Semua) :
(Bersorak sorai).
Chandra :
Ini sih kejadiannya sama kayak waktu Yureka kena Truth waktu itu ya.
Fikri :
Makanya, Kak Anna, kalau bikin games
jangan terlalu niat. Kena karmanya kan.
Arianna :
Ya ya ya. Sorry. Eh btw, Duo Yu,
Double Yu, ada yang mau disampein nggak? Cuma kalian berdua yang tersisa nih
belum menyatakan sesuatu.
Eugene :
Apa dong? Nggak ada lah. Lah kan gue udah menyatakan perasaan pada Yureka
tercinta
Gilang :
Eaaaakkk
Dhimas :
Kawin kawin… abis lulus dari Columbia kawin!
(Semua) :
(Bersorak sorai)
Yureka :
Tapi gue mau ngomong sesuatu. Gue berterima kasih banget buat Farida yang udah
mau jujur ke kita semua. Karena jujur, tadinya kalo ini games nggak ada, gue yang bakal nanya langsung ke elu, sebenernya
ada apa yang terjadi antara elu sama pacar gue. Tapi karena lu udah ngaku
duluan, dan menurut gue udah clear
semua. Jadi, jangan sampe diulang lagi ya. Please.
Farida :
Ya, Kak. Makasih, udah nggak marah sama gue.
Yureka :
Siapa bilang. Gue marah lagi sama lu tadi pas lu ngomong. Sebel banget gue
beneran.
Farida :
Sekarang? Masih?
Yureka :
(Menggelengkan kepala). Nggak kok. Hehehe.
(Farida dan Yureka berpelukan sebagai tanda saling
memafkan).
(Semua) :
Uuuuu so sweeetttt.
Arianna :
Tunggu tunggu. Ada yang belom baikan juga. Eugene, Chandra, ada yang ingin disampaikan?
Atau mau pake ruangan gue buat adu jotos.
Eugene :
Cukup adeknya roommate-nya Yureka aja
yang gue hantam Kak, Chandra nggak usah.
Chandra :
Syukurlah. Terima kasih Tuhan.
Eugene :
Tapi gue masih kesel sama elu sih, Chan. Dikit. Dikit doang.
Chandra :
Sorry ya, bro. Gue nggak berniat gitu
ke cewek lu. Dan mungkin ini saatnya gue cari gebetan baru. Maafin ya.
Eugene :
Yok, santai. Yaudah sana cari gebetan.
(Chandra dan Eugene juga berpelukan sebagai tanda
saling memaafkan).
Gilang :
Eaaa rekonsiliasi.
Fikri :
Gencatan senjata, Kak.
Gilang :
Yah, sama aja.
Yureka :
Eh, bentar. Urusan Kak Anna sama Dhimas belom kelar. Gimana tuh?
Arianna :
Aduh. Dibahas lagi.
(Semua) :
Ciyeeeeeeee.
Arianna :
Gini ya. Gue jujur nih ke elu ya, Dhim. Lu kan tahu, semua disini juga tahu
kalo gue nggak percaya pernikahan, dan nggak mau komitmen, dan terlebih ya
emang nggak mau punya pacar aja…
Chandra :
Emang siapa yang nikahin elu, Kak. Pede banget, ih.
Arianna :
Berisik. Belom selesai gue ngomongnya.
Chandra :
Oh ya, maap.
Arianna :
Kalo semisalnya kalian jodohin gue sama Dhimas, ya nggak masalah. Tapi gue
harus tanya dulu ke Dhimas, lu siap nggak kalo kita cuma pacaran aja, nggak
bisa lebih jauh. Karena gue emang nggak mau nikah.
(Semua) :
(Terdiam).
Arianna :
Terlebih kita juga beda keyakinan. Jadi, takutnya elu gimana-gimana.
Dhimas :
Yah, gue sih bukan orang yang relijius amat, Kak. Sholat juga bolong-bolong.
Arianna :
Tapi gue juga nggak nyuruh lu pindah agama juga.
Dhimas :
Nggak. Maksud gue, ya kalo kita mau jalanin semua dulu, ya, jalanin aja. Nggak
harus liat agama kita apa. No offense,
ya guys. Tapi dari perspektif gue
pribadi, gue bisa jalan sama cewek mana aja, asal dia baik dan berbudi pekerti
luhur. Itu sih.
Chandra :
Gaya lu ngomongnya.
Farida :
Iya, setuju. Masalah nanti gimana nya, kan itu soal nanti Kak. Bisa dipikirin
lagi.
Dhimas :
Ya, gitu maksud gue.
Arianna :
Sebenernya jauh sebelum gue naksir Dhimas, gue udah deket sama banyak cowok.
Ya, sebagian besar dari kalian juga udah tahu. Dan hampir semua cowok yang gue
ajak jalan ya karena gue emang butuh temen jalan aja. Nggak lebih. Banyak dari
cowok-cowok itu yang tahu ketika gue nggak mau komitmen, mereka banyak yang
ilfil, minta putus di tengah jalan. Ya gue nggak marah, orang itu juga udah jadi
resikonya. Dan soal Dhimas. Hmmm, jujur sih. Gue awalnya biasa aja.
Chandra :
Boong. Pasti dari awal, bukan akhir-akhir ini. Tahu gue, Kak.
Arianna :
Nggak, beneran. Ya, kalo karena cool
nya sih, yaa dari awal sih.
Chandra :
Nah, kan.
Arianna :
Dan seiring dengan berjalannya waktu, kita sering Whatsappan, dan gue merasa ada sesuatu aja yang beda dari Dhimas.
(Senyum lebar)
Dhimas :
(Berbalas senyum)
Arianna :
Dan ya, yang gue bilang tadi, gue suka sama elu, Dhim.
(Semua) :
Ciyeeeeeee
Eugene :
Nambah lagi pasangan baru.
Chandra :
Kira-kira dinamain apa nih? Eugene-Yureka kan Double Yu. Anna-Dhimas apa dong?
Fikri :
Adim? Nggak enak.
Gilang :
Masan? Anmas. Duh jelek, ik.
Yureka :
The AD. Wuiz.
Chandra :
Nggak, nggak.
Gilang :
Totally not.
Arianna :
Suka-suka kalian deh. Eh bentar. Fikri? Elu nggak mau ada yang diakuin gitu?
pernah suka sama siapa? Di antara kita. Misalnya, Gilang.
Fikri :
Astagfirulloh, gue straight Kak. Gue nggak gay.
Arianna :
Puji Tuhan. Syukurlah.
Farida :
Tenang kak, dia masih setia sama ceweknya.
Arianna :
Lu masih sama Tabita?
Fikri :
Masih lah. Alhamdulillah.
Yureka :
Jelas lah, Tabita cantik luar dalem, mana mau dilepas. Tapi, pertahankan, Fik.
Fikri :
Yoi. Kakak juga. Kak Eugene?
Eugene :
Ya, kenapa?
Fikri :
Baju merah jangan sampai lolos.
Eugene :
Hah, baju merah?
Fikri :
Ini Kak Yure pake sweater merah.
Eugene :
Oh ya. Sip. Makasih.
Yureka :
Hii, kok elu ngeh aja sih, Fik. Hahaha.
Percakapan selama kurang lebih 2 jam itu pun akhirnya
berakhir. Gue lega, akhirnya nggak ada yang gontok-gontokan lagi. Sempet awkward, tapi karena gue tahu kita semua
udah pada gede, jadi nggak mungkin ada yang sampe dendam satu sama lain.
Justru, dengan obrolan dan games
ini, semua jadi terbuka satu sama lain, rahasia yang nggak boleh dipendam
memang harus disampaikan, biar pas kita udah pada tua nggak ada salah paham
lagi. Dan gue bersyukur kekhawatiran gue sama pasangan Double Yu udah berkurang jauh pake banget. Semenjak obrolan tadi, Yureka sama Eugene jadi ngobrol bareng. Bahkan
jadi pamer kemesraan. Tapi mereka masih ngobrol sama yang lain, contohnya
Eugene masih bercanda-canda sama Farida dan Chandra tanpa kecanggungan lagi.
Pokoknya semua berjalan dengan lancar. Kami masih berdelapan, dan kami masih
sama-sama anak Batik Day yang tidak berdosa tapi berdosa (yaah namanya juga manusia) yang kecemplung di kota raksasa.
Kami masih bersaudara, kami masih jadi sahabat.
Terlebih, sekarang ada satu yang jadi lebih akrab. Hahahaha. Awkward nih. Ya, setelah games itu, gue dan Dhimas jadi intens
ngobrolnya. Bercanda bareng, meskipun canggung. Padahal
cuma niat mau balikin pasangan yang lagi renggang, eh malah gue yang dapet
pasangan. Mungkin ini rejeki dari Tuhan.
Meskipun hasilnya gue jadian sama Dhimas, Yureka
sama Eugene makin nempel, Farida akan tetep sama Vito, Fikri sama Tabita,
Gilang yang masih berjuang dapetin Bella, dan Chandra yang nggak tahu sama
siapa; ternyata terbongkar kalau dulunya Chandra yang pernah suka sama Yureka,
Yureka dulunya emang udah suka Eugene, Eugene pun demikian naksir sama Yureka sampe
curhat ke gue pagi-pagi di balkon, dan Eugene malah didemenin sama Farida,
malah Farida yang didemenin sama Gilang, dan Dhimas yang ternyata selama ini
naksir gue, untung gue naksir balik ke Dhimas, karena kalau gue naksirnya ke
Chandra atau Gilang, hmmm nggak deh, bukan tipe gue, sorry, boys. Hahaha.
Ternyata, di antara persahabatan kita selama ini, ada
rahasia yang kita nggak pernah tahu. Unik sih, ini kayaknya udah bukan zamannya
cinta segi tiga atau segi-segi yang lain. Bersyukurnya cinta segi banyak ini
nggak membuat tali persahabatan kita renggang apalagi sampe mau bikin rusak hubungan cinta beberapa pihak yang udah ada. Justru dari sini, karena udah
saling jujur satu sama lain, yaa akhirnya makin dekat dan erat. Dan gue seneng kita masih utuh berdelapan,
kecuali Farida yang bentar lagi balik ke Indonesia, tapi sejauh apapun kami berada,
kami masih akan berdelapan, masih berstatus "dulunya anggota Batik Day", tapi semoga nggak
ada istilah mantan teman di antara kita, ya. Semoga sampe tua nanti, sampe udah
pada punya anak dan cucu, cerita ini masih seru untuk didengarkan ataupun
diceritakan.
- BERSAMBUNG -
=====================================================================
Episode 7 : “Sushi Satu Meja”
Yureka. Musim Semi 2019. New York. Masa Depan.
Waktu cepat berlalu. Masih dingin. Menggigil.
Padahal sudah mau masuk musim semi. Tapi beberapa tahun belakangan memang
seperti ini, tidak teratur. Mungkin efek pemanasan global. Menyeramkan. Tapi
aku akan selalu rindu musim dingin. Saljunya. Cantik. Tidak pernah lihat
sebelumnya dalam sejarah hidup sebagai seorang Yureka Bhanuresmi Cendekia yang
lahir dan dibesarkan di Cinere dengan segala drama ibukota dan ketek-bengeknya,
lalu tahu-tahu di usia 24 tahun terbang ke negara adi daya sekelas Amerika
Serikat, terlebih diizinkan Tuhan hidup merantau di kota raksasa seperti New
York.
Bukan hanya musim dingin yang akan segera berakhir,
tanpa dirasa, studi pascasarjanaku juga sebentar lagi akan segera berakhir.
Sebelum tanggal 5 April, aku harus sudah mengumpulkan tugas akhirku. Karena aku
studi di jurusan kepenulisan drama, maka yang aku lakukan adalah membuat sebuah
karya atau tulisan. Ya, iyalah, masa membuat penelitian tentang tanaman kaktus.
Tidak ada hubungannya sama sekali. Aku serahkan pada yang profesional. Siapa
tahu kaktus suatu hari nanti bisa direbus dan dijadikan camilan sehat. Siapa
tahu.
Setelah kejadian jujur-jujuran di apartemen Kak Anna
beberapa waktu lalu, dan prasangkaku pada Farida juga akhirnya terbongkar, dan
ternyata Chandra pernah suka padaku, ah ya dan juga kembalinya Adam Wang yang
menggemparkan seluruh jiwa dan raga, setelah semua itu selesai, semua berjalan
normal. Sejauh ini tidak ada hal-hal yang “ada-ada saja” yang terjadi dalam
hidupku. Hidup bukan soal leha-leha, aku juga punya masalah baru, tapi aku
sudah cukup bodo amat soal itu. Soal roommate
baru yang datang beberapa hari setelah peristiwa “Double Date” antara dua pasangan, Aku-Eugene dan Adam-Tiara. Roommate tersebut adalah seorang asisten
dosen Eugene di kampusnya, bernama Jessica. Kebetulannya Jessica ini juga orang
Indonesia.
Bagaimana bisa ada roommate baru orang Indonesia?
Jadi, setelah Salima pindah ke Boston sebelum Natal
tahun lalu, lalu Dominico, adiknya Cassandra yang menggantikannya selama satu
bulan, lalu awalnya ada satu calon penghuni yang akan tinggal di apartemenku
terhitung bulan februari, tapi entah ada masalah apa, ia tidak jadi menempati
kamar kosong tersebut. Hingga suatu hari, Jessica, mencari apartemen berbagi,
berapapun harga sewanya dan dimanapun lokasinya, ia akan ambil, karena ia
terpaksa harus pindah, lebih tepatnya diusir oleh manajer apartemennya yang
lama karena ia juga ada masalah dengan roommate-nya
terdahulu. Intinya Jessica butuh apartemen secepatnya. Lalu, saat Eugene ke
kampus dan entah bagaimana Eugene tidak pernah memperhatikan kalau Jessica itu
orang Indonesia, dan mereka berkenalan di perpustakaan kampus, lalu
ngobrol-ngobrol dan Jessica cerita dan lalu Eugene menyarankan agar Jessica
berbagi apartemen denganku dan Cassandra. Tanpa berpikir panjang, beberapa hari
kemudian Jessica secara resmi menjadi roommate-ku
dan Cassandra. Sejauh ini semuanya aman, karena aku tidak perlu repot belepotan
menggunakan bahasa Inggris kalau mau menjelaskan sesuatu kepada Jessica tentang
apa saja yang ada di apartemen, jadi semuanya berjalan dengan lancar.
Tapi ada satu hal sih yang membuatku cemas, selalu
cemas. Amit-amit, kalau-kalau Jessica jadi kesemsem dengan Eugene. Secara
Jessica itu juga keturunan Chinese, dan dia jomblo! Bisa saja kan kalau khilaf,
tidak memperdulikan apakah Eugene punya pacar atau tidak, dia bisa mengambil
Eugene dari genggamanku. Tapi Eugene sudah memperingatkan ini kepadaku agar aku
tidak perlu khawatir, ia akan baik-baik saja dan berusaha tidak akan terpikat
pada kecantikan Jessica yang memang cantik itu. Ya, semoga saja tidak akan
terjadi apa-apa di antara mereka. Semoga.
Ngomong-ngomong soal Eugene, bagaimana hubunganku
sejauh ini dengan dirinya?
Ya, yang ku bilang tadi, meskipun ada kasus
kejujuran soal Farida naksir Eugene, dan atau Chandra naksir diriku, tapi
setelahnya kami saling maaf-maafan, seperti lebaran. Semua kembali dari nol.
Aku dan Eugene pun kembali seperti biasa, seperti pasangan pada umumnya, saling
membalas pesan, saling telpon dan menanyakan hal-hal yang kadang-kadang tidak
penting, atau jalan bareng tiap malam minggu, ribut-ribut kecil, dan lain
sebagainya. Tapi memang akhir-akhir ini aku hanya bertemu Eugene satu minggu
sekali, kalau tidak di hari Sabtu, ya Minggu, karena kami hanya punya waktu di
akhir pekan, mengingat Eugene makin sibuk dengan tesisnya, dan aku juga harus
menyusun tugas akhir sebelum deadline
tiba. Meskipun jarang bertemu, tapi dari kesibukan kami, aku jadi belajar
menghargai privasi masing-masing. Jadi tahu juga bagaimana rasanya kangen, yang
lama tidak jumpa lalu satu minggu kemudian bertemu lagi, malu-malu lumba-lumba
lagi, dan saat bertemu rasanya dunia hanya milik berdua.
Suatu hari, di akhir Maret lalu, tepatnya di hari
ulang tahun Eugene yang ke 24, di tanggal 20 Maret 2019, kami yang sudah hampir
2 minggu tidak bertemu, aku membuat kejutan untuknya, dengan tiba-tiba
menghampirinya ke asrama dan membawa kue serta hadiah untuknya. Anak-anak Batik
Day juga ikut serta kala itu, kecuali Farida yang memang sudah kembali ke
Indonesia. Jujur, saat itu adalah hari terbaik yang pernah ada dalam hidupku.
Bayangkan saja, terakhir bertemu tanggal 3 Maret dan kala itu kami hanya nonton
ke bioskop bersama, lalu setelahnya kami benar-benar disibukkan dengan tugas
akhir masing-masing. Ternyata begitu ya rasanya menahan rindu, hingga mendalam,
lalu ketika bertemu rasanya matahari seperti bersinar begitu terang,
burung-burung bernyanyi dengan syahdu, dan… hey tunggu, sejak kapan burung bisa
bernyanyi. Maksudnya berkicau. Ya, kira-kira begitu.
Dan ternyata kejutanku untuk Eugene dibalas olehnya
yang mana satu hari setelah hari ulang tahunnya dan juga satu hari setelah hari
pertama musim semi, Eugene yang tiba-tiba mengirim Whatsapp “Sayang, aku lagi
di Washington Square loh. Nanti ketemuan ya”. Dalam hati aku hanya bertanya
“Ngapain si beruang kutub ke kampus gue?”. Ngomong-ngomong panggilan kesayangan
kami berdua adalah “Beruang Kutub” dan “Beruang Madu”. Hehehe. Alay ya. Ah
tidak apalah. Dari pada “Ayah-Bunda”. Iyuuuh, menjijikan. Hahaha. Tapi aku tidak bermaksud apapun untuk pasangan yang punya panggilan kesayangan itu.
Oh, ya sampai mana tadi? Jadi, tadinya aku mau
mengabaikannya karena di hari itu aku benar-benar sibuk di kampus, tapi karena
aku tahu kami jarang bertemu, akhirnya aku mengalah, aku menghampirinya di
Washington Square Park, taman kota yang sangat dekat dengan kampus NYU, untuk
menemuinya.
Aku tahu Eugene memang suka yang dadakan, tidak
seperti aku yang sangat terencana, dan aku sebenarnya tidak suka hal-hal yang
mendadak seperti ini, tapi mau bagaimana lagi, aku menghargai Eugene yang sudah
jauh-jauh dari Columbia University untuk menghampiriku ke NYU. Mau tahu apa
yang terjadi? Hari itu aku sebenarnya baru saja menyelesaikan bimbinganku ke
salah satu dosen yang sedang bertugas di Comedy Cellar, sebuah tempat untuk
menonton pertunjukan komedi, karena tugas akhir ku menyangkut soal teater
bergenre komedi, jadi selesai bimbingan di Comedy Cellar, aku langsung
buru-buru ke Washington Square Park untuk menemui Eugene yang sepertinya ia
sudah menunggu cukup lama disana.
Mau tahu apa yang dilakukan Eugene disana?
Saat aku menghampiri dirinya yang sedang duduk di
pinggiran air mancur, ia bersembunyi di balik sebuket bunga irish, bunga
kesukaanku, sambil berkata “Happy first
day of Spring, Sayang!”
OH MY GOD! Itu adalah hal paling romantis yang
pernah dilakukan Eugene kepadaku selama kami pacaran! Aku tidak tahu kalau
Eugene seromantis ini. Ya, aku tahu sih dia memang romantis, seperti
membuatkanku masakan China saat kami malam mingguan dan dalam keadaan kantong kering.
Jangan salah, itu juga romantis, loh. Aku harus menghargai usahanya.
Tapi soal ia memberikanku bunga, hmmm memang bukan
yang pertama kalinya. Ini yang kedua kalau tidak salah. Yang pertama saat kami
lari sore bersama di Central Park, dan saat kami saling menghilang, ternyata
tiba-tiba ketika kami bertemu di titik kumpul yang telah ditentukan, Eugene
memberikanku sebatang bunga mawar dan tidak berkata-kata apapun, hanya bilang
“Ini buat kamu”. Tapi apapun itu, itu adalah hal yang sangat amat manis yang pernah
aku dapatkan.
Oh, itu bukan yang kedua, melainkan yang ketiga, dan
yang kedua adalah saat kami janjian makan sushi bersama di Bronx. Kala itu
adalah ajang ‘gencatan senjata’ kami karena kami bertengkar hebat setelah kasus
Dominico waktu itu. Dan di restoran bernama “Dishari” itu, saat kami menunggu
pesanan datang, tiba-tiba Eugene mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan
memberikan sesuatu itu kepadaku sambil berkata “Tadaaaa. Untuk Beruang Madu
paling cerewet di dunia”. Air mataku sempat berlinang dan pecah, tapi aku
tahan, karena malu saat itu banyak customer,
jadi aku tahan saja. Tapi aku benar-benar bersyukur aku punya pacar sebaik,
seperhatian, dan seromantis Eugene. Semoga hal ini tidak berlangsung saat kami
pacaran saja, aku ingin seperti ini sampai ke arah yang lebih serius.
Bicara soal hubungan yang serius, aku dan Eugene
telah membicarakan ini beberapa kali. Kami sepakat untuk tidak memikirkan hal
itu terlalu dalam, takut konsentrasi kami soal tesis dan tugas akhir pecah
karena tekanan itu. Tapi namanya juga menjalani hubungan, pasti mau tidak mau,
serius atau tidak serius, pasti ada momen di mana kami memperkenalkan pacar ke
orang tua masing-masing. Dan ini yang sangat membuatku gugup bukan kepalang.
Suatu hari, saat jadian baru jalan dua bulan, Eugene
memperkenalkanku pada Papa-Mamanya, juga adik kesayangannya, Genji. Oh ya,
termasuk pengasuh Genji dan supir pribadi keluarganya, Suster Eli dan Om Yayan.
Sesaat setelah jadian, Eugene memberitahukan hal itu pada orang tuanya, namun
sayangnya Mama dan Adiknya kurang menanggapi hal itu dengan suka cita. Tapi
untungnya Papa dan supir pribadinya kebalikannya, mereka cukup mendukung
hubungan kami berdua. Hingga akhirnya, tiap kali Eugene mau curhat, ia harus
cerita pada Papa atau dengan supir pribadi Papanya dengan tanpa sepengetahuan
Mamanya. Aku tidak bisa bilang kami pacaran diam-diam dari sisi Eugene, karena
kadang kalau Eugene sedang Facetime
dengan Mamanya, dan tiap kali ada aku disampingnya, aku mencoba berkomunikasi
dengan Mamanya, berusaha sebaik mungkin memberikan ‘chemistry’ antara aku dan
Mamanya. Namun ya, namanya juga kurang suka, hmm belum maksudnya, semoga, aku dan Mamanya hanya ngobrol
biasa, tidak terlalu akrab dan tidak lebih dari itu.
Begitu juga dari sisiku. Sesaat setelah aku jadian
dengan Eugene tanggal 30 Oktober 2018 lalu, aku mencoba menceritakan pada Ayah
dan Ibuku. Kalau Ayah, datar saja menanggapinya. Pesannya hanya satu “Ya,
pokoknya jangan macam-macam disana”. Kalau Ibu, sering sekali bertanya ini-itu
soal Eugene, bahkan sebelum aku jadian dengan Eugene. Ya, namanya juga orang
tua, tahu kalau anaknya sedang merantau lalu dapat pacar, pasti tingkat
kecemasannya naik drastis.
Tapi tiap kali aku menceritakan tentang Eugene,
Ibuku pasti langsung mengalihkan topik pembicaraan. Apa mungkin karena Eugene
itu Chinese? Dan Ibuku sebenarnya kurang suka dengan orang-orang keturunan
Tiong Hoa. Dari dulu ia sangat kurang welcome
dengan orang-orang Tiong Hoa. Entah kenapa demikian. Ya, namanya juga
preferensi orang berbeda-beda, tapi setahuku Ibu memang tidak suka dengan
kalangan orang-orang Tiong Hoa.
Tapi kadang aku jadi berpikir, apakah dengan
jadiannya aku dengan Eugene adalah sebuah karma? Mengingat Ibuku sangat tidak
suka Chinese. Atau ini sebuah cobaan? Apapun itu, aku harus tetap berusaha
meyakinkan kalau aku memang menyayangi Eugene apa adanya. Dan aku berharap
cepat atau lambat, orang tua kami masing-masing menyetujui hubungan kami agar
kami bisa melanjutkannya ke jenjang yang lebih serius.
💛💛💛
Eugene. Musim Semi 2019. Menjelang kelulusan
Columbia University. New York.
Wah, nggak kerasa, studi S2 gue udah mau kelar.
Capek banget sih ngurusin tesis yang super duper njelimet ini. Di dalam tesis
gue, gue bahas rencana tata ruang kota Denpasar, kampung halaman gue, yang mana
gue mencoba untuk menggabungkan konsep tradisional dan modern dalam desainnya.
Butuh banyak waktu buat riset sampe Mapping
segala di Lincoln, Nebraska, beberapa waktu lalu, dan pastinya riset kota
raksasa New York juga untuk ambil sampel konsep modernnya.
Ternyata sekolah itu bener-bener susah. Kalau gue
nggak bisa jadi orang sukses bakalan keterluan banget. Makanya, gue berusaha
semaksimal mungkin buat lulus tepat waktu supaya gue bisa bayar jasa orang tua
gue yang udah capek-capek kerja keras demi biayain kuliah gue di Columbia
University. FYI, gue bukan anak beasiswa. Jadi, S2 Urban Planning gue di
Columbia University sepenuhnya dibayarin sama Bokap-Nyokap gue, dengan sedikit
bantuan kerja part-time gue di
beberapa tempat kayak jadi asisten tukang gambar sketsa kantor agen casting,
jadi tukang cuci piring di sebuah restoran di hotel mewah, dan jadi kasir di
sebuah toko buku. Tapi bisa dibilang 90% biaya kuliah gue ditanggung sama orang
tua gue.
Ngomong-ngomong soal Bokap-Nyokap, mereka mau dateng
ke acara wisudaan gue loh bulan Mei nanti. Hmm, terakhir kapan sih gue ketemu
mereka? Ya, ampun udah satu tahun ternyata. Tadinya gue mau balik ke Indonesia
pas Summer tahun lalu, tapi karena budget gue limit gara-gara dipake buat beli hape baru karena hape lama rusak
dan gue nggak enak mintanya ke bonyok gue, plus waktu itu gue ngerjain Batik
Day, jadi, alhasil nggak jadi balik kampung deh.
Dan kalau nanti Bokap-Nyokap gue bakal kesini,
berarti itu tandanya untuk pertama kalinya Yureka bisa ketemuan sama mereka.
Asyik! Bakalan seru nih. Gue yang pasti bakal seneng banget akhirnya gue bisa
ngenalin langsung pacar tercinta ke orang tua gue tercinta, plus adik gue
beserta pengasuhnya, sama Suster Eli, dan supir gue, Om Yayan, yang juga akan
ikut. Jadi nggak sabar!
Setelah proses panjang menyusun tesis, dengan segala
daya dan upaya serta penuh kasih sayang, akhirnya gue berhasil mendapatkan
gelar Master of Science in Urban Planning,
atau disingkat M.Sc.UP, pada tanggal 8 April 2019. Tinggal nunggu Commencement Day aja nih alias hari
wisuda.
Eh si pacar juga udah resmi lulus loh. Ya, meskipun
dia nggak bikin tesis kayak gue, tapi dia udah ngumpulin karya tulisan, yaitu
bikin satu skrip full-time teater
bergenre komedi, dan satu skrip untuk film berdurasi panjang bertemakan drama-romance. Ah, gue nggak tahu banyak
soal perkuliahannya dia, apalagi tentang perfilman, tapi gue yakin dia pasti
banyak belajar dari perkuliahannya selama dua tahun terakhir dan gue juga yakin
dia bakalan bisa jadi penulis profesional setelah ini.
Jadi, gue sama Yureka sama-sama udah lulus S2 nih,
Alhamdulillah, kalau gue dapet gelar M.Sc.UP awal April, nah kalau Yureka, satu
minggu setelah gue, tanggal 17 April 2019 dan berhasil dapet gelar MFA atau
kepanjangannya Master of Fine Arts.
Tapi sebelnya nih, sebel banget, tanggal wisuda NYU sama Columbia University
tuh barengan! Sama-sama tanggal 16 Mei. Kan kesel nanti kalau abis diwisuda,
nggak bisa foto-foto pake baju wisuda bareng. Hmm, kesel. Tapi masih bisa
foto-foto pake baju wisuda masing-masing ala-ala gitu sih sehari atau dua hari
setelahnya, yang penting ada kenang-kenangan dari hari wisuda kami.
Eh, temen-temen Batik Day juga udah pada lulus loh.
Dhimas juga udah berhasil dapet Bachelor
of Arts di bidang Ekonomi dan Bisnis, dan Gilang juga udah resmi menyabet
gelar M.A dari NYU dari jurusan TESOL (Teaching
English to Speakers of Other Languages). Keren! Kalau Chandra, karena
sekolahnya sekolah masak dan nggak ada gelar, jadi dia yaa nggak ada gelar aja,
tapi dia bakalan resmi lulus bulan Juni nanti. Kalau Kak Anna juga karena
kampusnya swasta, jadi beda hari wisudanya sama kayak kita. Dan kayaknya hari
wisudanya juga bulan Juni atau Juli. Cuma gue lupa gelar apa yang didapet Kak
Anna, karena dia belajarnya fashion
dan gue nggak tahu pasti gelar apa untuk sekolah fashion kayak Kak Anna. Nah, kalau Fikri, dia masih harus berjuang
melawan semua tantangan perkuliahan di New York, karena dia masih semester 6
dan musim panas ini dia bakalan magang dan di semester depan dia baru bisa
lulus dari jurusan teknik industri Columbia University yang juga emang njelimet
banget.
🎓🎓🎓
Yureka. Commencement
Day of NYU. Bulan Mei 2019. New York. Masa Depan.
Waaah, akhirnya, Alhamdulillah, aku bisa resmi lulus
dari New York University. Yang masih jadi bahanku untuk bersyukur adalah karena
aku tidak perlu susah payah membuat penelitian untuk menyusun tesis seperti
teman-teman di Batik Day, dan juga si pacar, Eugene. Aku tahu sekali bagaimana
proses Eugene menyusun tesis, ia juga sempat sakit karena lupa makan karena
terlalu sibuk dengan tesisnya. Tapi semoga dengan kelulusan dari Columbia
membayar semua perjuangan dan pengorbanan itu. Tapi sayangnya, hari kelulusan
NYU dan Columbia University bersamaan, yakni sama-sama tanggal 16 Mei 2019.
Kenapa sih NYU sama Columbia jahat banget? Tidak bisa begitu menggantinya
menjadi selang satu hari saja, kan aku ingin diberi bunga yang harum atau
boneka beruang dari kekasih tercinta. NYU dan Columbia ini bermusuhan atau
bagaimana? Ah, yasudahlah, nanti aku bisa foto-foto ala-ala dengan mengenakan
baju wisuda kampus masing-masing sebagai tanda bahwa kami semua, para mahasiswa
perantauan telah berhasil lulus dari kampus masing-masing.
Dan di tanggal 16 Mei, Yankee Stadium dibanjiri oleh
seluruh wisudawan NYU Class of 2019
yang mengenakan jubah wisuda berwarna ungu dengan bet bergambar obor sebagai
lambang kampus NYU. Aku yang meskipun duduk di paling pojok, masih bisa
merasakan suasana haru dan penuh bahagia di Yankee Stadium tersebut. Beberapa
kali air mataku berjatuhan saking terharunya. Masih tidak percaya kalau aku
berhasil mendapatkan gelar Master of Fine Art dari kampus sekece NYU. Orang tua
ku pasti bangga, meskipun mereka tidak bisa datang ke New York untuk
menyaksikan diriku di wisuda, tapi dengan bantuan teknologi canggih, sesaat setelah
aku diwisuda, aku video call dengan
mereka dan mereka pun tidak bisa menutupi rasa bahagia mereka karena mengetahui
anak bungsunya telah berhasil lulus S2. Aku jadi tidak sabar ingin pulang ke
Indonesia dan menceritakan semua pengalamanku pada mereka.
Setelah rasa bahagia, haru, dan semua-muanya tumpah
saat hari wisuda, sebenarnya ada cerita yang agak sedih beberapa hari sebelum Commencement Day itu dilangsungkan.
Jadi, karena hari wisuda NYU dan Columbia University
sama, yang mana si pacar juga telah berhasil lulus dari Graduate School of Architecture, Planning, and Preservation
Columbia University, jadi pasti ada anggota keluarga Eugene yang datang untuk
merayakan hari kelulusannya tersebut. Ya, benar, orang tuanya Eugene datang ke
New York, beserta adiknya plus pengasuh adiknya juga supir pribadi Papanya.
Jauh sebelum mereka datang, Eugene sangat ingin
sekali memperkenalkanku kepada kedua orang tuanya. Bukan aku tidak ingin
bertemu mereka, aku sangat ingin mengetahui bagaimana sosok orang tua si pacar.
Tidak berharap banyak, apalagi sampai terlalu percaya diri dengan
mengistilahkan “Huah, aku akan bertemu dengan calon mertua”. No, no! Tidak sama sekali. Aku tahu
diri. Aku juga tidak terlalu membiasakan diri memiliki pola pikir seperti itu.
Tapi tetap berusaha agar hubunganku dengan Eugene langgeng sampai ke jenjang
yang serius. Dan siapa tahu orang tua Eugene suka denganku dan menyetujui
hubunganku dengan anak sulungnya. Ya, tahu sendiri, Mamanya Eugene agaknya
kurang suka denganku. Maka dari itu, dengan pertemuan pertama ini merupakan
titik penentuan apakah aku bisa meluluhkan hati Mamanya yang bernama asli Kang
Mi-sook tersebut.
Tanggal 10 Mei-nya, seluruh rombongan keluar Oetomo
dengan selamat mendarat di bandara John F. Kennedy dengan menggunakan maskapai
Korean Air. Katanya mereka mampir dulu ke Incheon, kampung halaman Mamanya
Eugene, selama tiga hari untuk menjenguk salah satu anggota keluarga mereka
yang baru saja melahirkan bayi kembar dan juga untuk mengunjungi sanak famili
yang lain selama tiga hari. Walaupun libur Natal lalu mereka sekeluarga juga
berlibur ke Incheon-Seoul dan Busan.
Mendengar hal itu, aku jadi makin tahu seberapa
tajir keluarganya Eugene. Sekali lagi, aku menyukai Eugene bukan karena
hartanya. Sebelum dan setelah jadian pun, aku benar-benar tidak tahu kalau
keluarga Eugene punya bisnis yang cukup sukses. Dan dengan mengetahui kalau
mereka ke New York sekeluarga, ditambah dua asisten keluarga mereka yang juga
ikut ke New York, plus mereka mampir dulu ke Incheon, bayangkan sudah berapa
ribu dollar mereka keluarkan untuk itu semua kalau bukan karena orang tajir?
Orang tuaku saja tidak bisa menyaksikan wisuda anaknya karena sayang-sayang
uangnya kalau hanya untuk ke New York saja. Lebih baik ditabung dan dipakai
untuk yang lain. Katanya sih orang tuaku mau pergi haji, jadi akan lebih baik
jalau uangnya disimpan untuk keperluan haji mereka.
Baiklah, kembali soal topik pertemuan pertamaku
dengan keluarga besar Oetomo. Dan pada tanggal 12 Mei-nya, yaitu hari Minggu,
Eugene sudah memperingatiku kalau tanggal itu aku harus mengosongkan jadwal, melainkan untuk bertemu dengan keluarganya.
Suatu pagi, sekitar pukul 10.30, aku sudah siap
untuk bertemu dengan orang tua pacarku untuk yang pertama kalinya. Meskipun
rasa gugup melandaku sedari semalam sebelumnya, aku tetap ingin tampil maksimal
di depan orang tua Eugene nanti. Dengan mengenakan kemeja garis-garis berwarna
tosca dan celana jeans hitam, sepatu kets yang sedikit lebih girlie yakni hadiah kelulusan dari
Eugene, dan tas ketek yang jarang aku pakai, siap tidak siap, aku harus siap
bertemu dengan seluruh anggota keluarga Oetomo untuk yang pertama kalinya. Saat
bercermin, aku memang merasa agak sedikit minder, karena gaya berpakaianku ini
memang bukan gaya Yureka yang sangat ‘Yureka’, tapi demi first impression, aku ikhlas melakukan ini semua.
Pukul 11-nya, Eugene datang menjemputku. Ya, ampun,
tuh kan so sweet sekali anak ini.
Padahal seharusnya orang tuanya yang diutamakan, tapi mengapa masih mau
menjemputku ke apartemen?
“Udah siap?”
“Kok aku nervous
ya? Nanti kalau Mama kamu beneran nggak suka sama aku gimana?”
“Udah, tenang aja. Pasti mereka bakalan suka sama
kamu. Btw, blush on nya bagus.
Cantik. Udah, pokoknya jangan khawatir. No
worries. Fighting!”, ujar Eugene
sambil mengusap rambutku.
“Oh, how sweet
of you. Hmmm. Bentar, Sayang. Ini aku harus belajar bahasa Korea dulu
nggak?”
“Hahaha. She
speaks Bahasa Indonesia kok, Sayang. English
as well, and pretty well”
“Kalau Papa kamu, aku harus pake bahasa Bali? Ke
supir kamu gitu?”
“They are all
Indonesian, Baby. Udah deh, nggak usah lebay gitu. Kayak mau ketemu Kim
Jong Un aja. Yuk, nanti telat sampe kesananya”
Sepanjang perjalanan, aku mencoba menghilangkan
kegugupanku dengan mencoba melalukan percakapannya dengan Eugene. Tapi
sayangnya dia hanya sibuk membalas Whatsapp
ucapan “Selamat ya Eugene udah kelar tesisnya” dan blablabla yang lain.
“Eh kamu belom ngasih tahu tempat nginep Papa-Mamamu
selama di New York dimana”
“Ah nanti juga kamu tahu. Nggak penting. Yang
penting kan kamu ketemu sama mereka. Be
ready!”
Sepanjang jalan menggunakan kereta, Eugene juga
sibuk membalas Whatsapp Mamanya dan
juga lain-lainnya, yang aku tidak tahu siapa. Aku juga sibuk membuka feed Instagram demi mengalihkan
perhatianku pada kegugupan ku sendiri.
Sesampainya di stasiun tujuan kami, di 5th
Avenue Station, kami masih harus berjalan kaki. Tapi tunggu, jalur ini dejavu.
Seperti saat waktu mau bertemu Adam Wang yang waktu itu menginap di The Plaza.
Oh Tuhan, jangan-jangan Papa Mamanya Eugene juga menginap di The Plaza! Katakan
bukan, tolong!
Kemudian kami jalan menyusuri West 59th
Street. Ow ow, ada dua kemungkinan hotel tempat keluarganya Eugene menginap,
karena ketika kami sedang menunggu lampu hijau pejalan kaki menyala, aku bisa
melihat ada dua hotel mewah tepat di sebrang kami, yakni The Plaza Hotel dan
The Sherry Netherland. Kalau kami menyebrangi 5th Avenue, berarti
fix The Sherry Netherland itu hotel tempat keluarga Oetomo menginap, kalau
menyusuri Central Park South bisa jadi The Plaza atau deretan hotel lainnya.
Aku benar-benar berharap bukan di The Plaza, entah mengapa. Kalian bisa tahu
apa yang aku maksud.
Aku dan Eugene kemudian menyusuri West 59th
Street. Lalu The Plaza Hotel berlalu setelah kami lewati. Fyuh, syukurlah!
Bukan The Plaza berarti. Lalu apa? Mungkin di The Park Lane, kan katanya agak
murah sedikit. Masuk akal lah. Beberapa meter kemudian, The Park Lane Hotel
terlampaui. Bukan juga! Aduh! Jadi hotel yang mana? Dalam hati aku hanya
bergusar, “Eugene kenapa kamu tidak bilang kepadaku dimana persis tempat
keluargamu menginap? Kamu ini sengaja atau bagaimana?”
Tunggu,
jangan-jangan The Ritz Carlton. Karena sepanjang Jalan Central Park South ada
segerombolah hotel-hotel mewah yang aku pasti baru sanggup menyewa satu
kamarnya kalau aku sudah sukses jadi penulis di Hollywood. Harga sewa kamarnya
bisa bikin pusing kepala. Dalam beberapa kaki kami juga melewati The Ritz
Carlton dan tidak ada tanda-tanda Eugene mengajak masuk. Dia masih sibuk dengan
smartphone-nya yang kemudian malah
mengangkat telepon dari seseorang. Aku yang sedang tidak dipedulikan selama
beberapa saat oleh Eugene, masih sibuk menghitung jumlah kemungkinan dimana
tempat keluarganya Eugene menginap. Aku tahu ini tidak penting, tapi ini
menyangkut masa depanku juga!
Aku masih berusaha berharap kalau keluarganya tidak
menginap di hotel berbintang karena kalau benar demikian, mau taruh dimana
mukaku? Aku hanya mahasiswa kelas tengah yang mungkin tidak bisa menyamai level
Eugene dan keluarganya. Tapi siap tidak siap, aku harus siap menerima semua
keadaannya. Karena terlalu sibuk berharap dan sibuk dengan memikirkan daftar
kemungkinan hotel-hotel di sepanjang Central Park South, tidak terasa kami
sudah sampai disana, tapi aku tidak menyadarinya.
“Sayang mau kemana? Kelewatan”
Siap-siap aku harus mengangkat kepalaku lebih tinggi
guna melihat plang nama hotel yang dimaksud Eugene.
“Bismillahirromanirrohim…”,
kataku
Dan tulisan “JW Marriott Essex House” ada di
hadapanku.
Aku terdiam. Membeku. Mematung.
“Sayang, ngapain? Ayo!”, sahut Eugene.
“Be…bentar sayang… ehm… tali sepatu aku lepas.
Bentar ya”, jawabku pada Eugene sebenarnya berbohong demi mengalihkan perasaan
kagetku.
“Aku tunggu di hall
ya, mereka udah disana soalnya.”
“Oke.”
Dengan suara perlahan dan setengah teriak “OH MY
GOD! Bukan The Plaza sih, tapi JW Marriott kan sama mahalnya. Shit! Gue macarin anak orang kaya. Haduh
gimana nih. Gue udah cukup rapih belom? Kalau belom, mau dibawa kemana hubungan
gue sama Eugene, coba. Oke, tenang Yureka. Tenang. Semua akan baik-baik saja.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Santai. Huft. Inhale, exhale. Okay, I am ready!”
Lalu aku masuk ke hotel bintang lima sekelas JW
Marriott Essex House New York yang satu malamnya kalian harus membayar paling
murah 469 US Dollar. Empat ratus enam puluh sembilan US Dollar, teman-teman!
Itu uang dari mana coba kalau bukan orang kaya? Uang itu hampir sama dengan
uang sewa apartemen bulananku. Yang lebih parah lagi, Papa-Mamanya tidak hanya
pesan satu kamar. Katanya Papa Mama dan adiknya pesan 1 family room yang mana
jelas lebih mahal dari kamar standar, sedangkan supir dan pengasuh adiknya
dipesankan dua kamar terpisah untuk masing-masing. Oh Tuhan, aku tidak sanggup
kalau diminta mengkalkulasi berapa dollar yang dikeluarkan keluarga ini hanya
untuk menginap di hotel. Belum makan, selama di New York, belum lain-lainnya.
Oh Tuhan, aku benar-benar memacari anak orang kaya!
Di dekat meja resepsionis, dari kejauhan aku melihat
lima orang berdiri persis di sebelah elevator. Dengan membaca doa-doa yang aku
mampu, aku berusaha tetap tersenyum, dan berusaha semaksimal mungkin agar tetap
terlihat tenang, tetap berwibawa, dan tapi tetap menjadi pacar Eugene yang apa
adanya, tidak kemudian tiba-tiba aku menenteng tas Louis Vuitton sewaan. Eh
jangan salah, di New York banyak yang begitu, ada banyak orang tidak rela
keluar uang buat beli brand yang asli tapi tega menghabiskan uang mereka untuk
menyewa brand-brand mahal tersebut. Sudah gila.
“Semua, ini Yureka. Orang spesialnya Eugene selain
kalian”, ujar Eugene sambil memperkenalkanku pada semua anggota keluarga
Oetomo.
“Ah so sweet
deh kamu. Halo, aku Yureka”, jawabku semaksimal mungkin penuh
kesopan-santunan.
“So, sayang, ini Papaku...”, lanjut Eugene
“Halo, Om”, jawabku sambil bersalaman dengan Om
Geni.
“Halo Yureka. Salam kenal ya”, jawab Om Geni penuh
keramahtamahan.
“Ini Mamaku…”, lanjut Eugene memperkenalkanku pada
Mama tercintanya.
“Halo, Tante”, jawabku sambil juga bersalaman dengan
Tante Mia.
“Halo”, Tante Mia hanya menjawab seadanya.
“Trus ini Suster Eli, pengasuhnya Genji, dan itu Om
Yayan, supirnya Papa. Ya, supir keluargaku juga sih”, dan terakhir Eugene
memperkenalkan ku pada Suster Eli dan Om Yayan.
“Halo suster, salam kenal. Halo om”, aku pun juga
bersalaman dengan Suster Eli dan Om Yayan.
“Halo mba Yureka”, keduanya menyapaku dan berbalik
bersalaman denganku.
“Hmm, Genji
mana?”, tanya Eugene mencari adik kesayangannya.
“Ah tuh dia. Dek, sini, ada yang mau kenalan”, sahut
Om Geni sambil memanggil Genji dari kejauhan.
“Ini siapa, Pa?”, tanya Genji terheran.
“Ini pacarnya Hyung”, jawab Papanya Eugene.
“Halo. Genji ya?”, sapaku pada Genji.
“Halo juga”. Untungnya Adiknya masih mau tersenyum
padaku. Syukurlah.
Kemudian terjadilah percakapan basa-basi busuk
antara aku dan calon keluargaku, ehm maksudku keluarganya Eugene. Sambil on the way ke salah satu restoran Jepang
yang sudah direservasi Eugene, dan selama di jalan itulah aku dan keluarga
Eugene saling mengobrol dan bertanya seputar informasi dasar masing-masing. Ya,
standar lah, mereka tanya asalku dari mana di Indonesia, latar belakang
pendidikanku saat di Indonesia apa, kuliahnya bagaimana di New York, enak atau
tidak, suka tidak dengan kota raksasa ini, tinggalnya di New York dimana,
tinggalnya di Indonesia dimana, keluargaku di Indonesia bagaimana, baik-baik
saja atau tidak… tunggu. Kami kan baru pertama kali bertemu, kok Papanya
Eugene, Om Geni, sudah bertanya keluargaku? Apakah ini salah satu dari banyak
pertanda kalau suatu saat aku benar-benar bisa menjadi bagian dari keluarga
Oetomo? Ah, Yureka, berhenti! Jangan mulai!
Lima belas menit kemudian, kami sampai di restoran
“Ginza”, restoran sushi yang aku tidak pernah dengar. Ya, bagaimana tidak, ada
ratusan bahkan ribuan restoran sushi di New York, Saudara Saudara! Tapi untung
bukan di Blue Ribbon yang kala itu antrean sangat panjang dan aku dan Eugene
tidak jadi makan disana karena aku sendiri tidak ingin menunggu. Semenjak itu,
Eugene selalu booking terlebih dahulu
agar aku tidak cepat turun mood dan
selera makan sushi tetap ada.
Kami pun masuk ke dalam restoran dan duduk di meja
nomor 27 dimana meja yang sebenarnya untuk empat orang digabung menjadi tujuh
kursi untuk tujuh orang. Lalu kami melihat menu-menu, pilih-pilih menu apa yang
akan kami makan siang ini, dan minum juga karena kalau tidak minum nanti seret.
“Pesen aja yang banyak. Aku yang bayarin. Hmmm Papa
maksudnya. Loan money ku udah lunas tapi itu aku lunasinnya pake uangnya
Dhimas. Tapi pokoknya pesen aja apa yang kamu mau”, ujar Eugene sambil berbisik
padaku.
Aku
hanya senyum dan tertawa kecil.
Sambil
melihat-lihat isi menu, aku sempat mendengar Eugene berkata sesuatu kepada
Mamanya dengan menggunakan bahasa Korea. Jujur, aku penasaran tentang apa yang
mereka barusan bicarakan. Tapi jangan membiasakan menguping, apalagi ingin tahu
artinya, tidak baik. Tapi aku benar-benar penasaran karena setelah Eugene
berkata sesuatu dengan bahasa anggota Super Junior itu, Mamanya menunjukkan
raut wajah yang asam, tiba-tiba agak emosi dan sambil melihat isi restoran.
Jangan-jangan Tante Mia tidak suka dengan restoran ini. Apa benar begitu?
“Mianhae Eomma”, kata Eugene sambil
merengut dan meminta maaf kepada Mamanya. Ya, salah satu bahasa Korea yang ku
tahu hanyalah “Mianhae” yang artinya “Maaf”.
“Gwaenchanh-a, Yujina. Geuleona
da-eum-e deo na-eun geos-eul chaj-ayahabnida.”, panjang lebar Tante Mia yang
aku sepertinya harus membuka google translate terlebih dahulu.
“Ye”, jawab Eugene singkat.
“Yaudah dia kan nggak sengaja Ma.
Besok kita bisa cari yang lebih bagus, ya”, sahut Om Geni menenangkan suasana.
Aku ingin bertanya tapi nanti
dianggap tidak sopan. Lagipula aku tidak tahu artinya. Nanti paling Eugene akan
cerita kepadaku.
Sambil menunggu makanan yang kami
pesan, aku sempat ngobrol-ngobrol dengan Suster Eli, pengasuh adiknya Eugene,
yang kebetulan duduk bersebelahan denganku. Meskipun Suster Eli hanya pengasuh,
tapi aku tidak ingin membedakan dia denganku apalagi dengan keluarga Eugene.
Aku berusaha memposisikan diriku sesederhana mungkin. Bukan membangun
pencitraan, tetapi aku tidak ingin ia terpojokan dengan statusku dan profilku
yang lain. Jadi, hanya ingin paling netral senetral yang bisa aku lakukan. Ya,
aku menanyakan kepada Suster Eli bagaimana kesan-kesannya bekerja dengan
keluarganya Eugene, kegiatan apa yang dilakukan sehari-hari dalam membantu
mengasuh Genji, dan kegiatan apa yang biasanya dilakukan kalau sedang tidak
bekerja. Awalnya aku pikir Suster Eli sama persisnya dengan Tante Mia, agak
angkuh dan cuek, tapi Suster Eli ternyata tidak seperti itu, ia sangat terbuka,
tidak malu-malu kalau bertemu orang baru, dan justru sangat menghibur.
Kira-kira sepuluh menit kemudian,
makanan yang kami pesan datang. Aku tidak ingat betul apa yang aku pesan, yang
penting ada berpuluh-puluh sushi dan sashimi terhidang diatas meja kami. Tapi
aku juga memesan Nabeyaki Udon. Pertama-tama aku makan dua buah sushi terlebih
dahulu, juga satu tempura, kemudian aku menyantap Udon. Aku benar-benar tidak
sabar menyantapnya karena kira-kira semenjak selesai mengumpulkan karya tugas
akhir, aku tidak ada waktu untuk pergi makan Udon, sendiri atau dengan Eugene,
jadi akhirnya “pucuk dicinta ulam pun tiba”.
“Hmm Yureka…”, sambar Tante Mia.
Saat, Tante Mia memanggil namaku,
kegugupanku yang tadi sempat memudar, kini kembali ke permukaan. Kira-kira
Tante Mia akan berkata apa ya kepadaku? Sesuatu yang buruk kah? Atau
sebaliknya, beliau ingin memulai percakapan denganku berhubung kami duduk
saling berhadapan. Aku menyahut panggilan Tante Mia dengan memasang wajah
senetral mungkin, tidak gugup, tidak terlalu senang, atau sebaliknya.
“Ya, Tante”
“Hmm, kalau makan mie atau udon atau
ramen dan kawan-kawannya, jangan sampe putus. Harus satu sruput, biar tetap
membawa keberuntungan”, jelas Tante Mia dengan aksen Korea-nya yang masih
sedikit kental.
Apa ku bilang! Sebuah kritikan
menyelekit baru saja dilontarkan ibu kandung dari pacarku sendiri. Dari urutan
duduk kami mulai dari sebelah kiriku, Eugene, Om Yayan, Genji, Om Geni, Tante
Mia, dan Suster Eli, semua sempat terdiam beberapa detik. Sumpah, itu adalah 20
detik paling memalukan yang pernah aku ada dalam hidupku.
Dan aku baru ingat, kalau keluarga
China atau Korea atau semacamnya lah, mereka percaya kalau memakan mie dalam
satu napas akan membawa keberuntungan. Stupid Yureka, kenapa kamu baru ingat
sekarang?!
“Ah tidak apa-apa. Dia belum biasa
aja, Ma. Nanti lama-lama biasa kok, ya, Yureka”, bela Om Geni.
“Iyaa om. Makasih Tante masukannya”,
jelasku minta maaf tapi bingung mau ditaruh dimana mukaku ini.
Makan sushi satu meja dengan keluarga
Eugene memang benar-benar sulit, bagaimana nanti kalau makan malam atau
makan-makan lainnya kalau aku dan Eugene benar bisa berkeluarga di masa depan?
Makan siang dengan keluarga Oetomo
selesai, kemudian Mama dan Papa Eugene hanya berdua, pergi ke Ellis Island dan
Staten Island yang mana rombongan lainnya akan kesana esok hari. Sedangkan
sisanya, Suster Eli, Om Yayan, Genji, Eugene, dan aku, kami berkeliling
Manhattan dan ke Rockefeller Center dan sekitarnya. Kami berbincang bersama,
saling melempar candaan bersama, benar-benar menyenangkan.
Tapi memang aku masih terganggu
dengan kritikan Tante Mia. Duh, jangan dipikirin, Yureka, anggap aja itu
kentut, bau tapi pasti berlalu.
Melihat raut wajahku masih sendu,
Eugene mulai menumpahkan perhatiannya padaku.
“Udah, Mamaku emang gitu. Tukang
kritik orang”, ujar Eugene menenangkan.
“Mau dibawa kemana mukaku, Yang?
Kesan pertama aja nggak bagus gitu. Gimana mau jadi menantunya dia besok”,
jawabku sambil cemberut.
“Kamu yang aku pacarin, kamu yang
InsyaAllah aku halalin, kamu yang nanti jadi pendamping aku, bukan orang tua
aku, mereka juga pelengkap aja, kayak… bawang goreng sama kacang goreng di
bubur Cianjur”, jelas Eugene sambil menghiburku dengan candaan recehnya.
Aku yang awalnya tidak bisa tertawa,
tiba-tiba tertawa kecil yang lepas.
“Believe me, my mom is the number one
of giving critics to other people. Because she is perfectionist one. Kamu mau
tahu tadi dia ngomong apa ke aku pake bahasa Korea pas kita di restoran tadi?”,
ucap Eugene.
“Yang mana?”, tanyaku agak sedikit
lupa.
“Yang Papa bilang nggak apa-apa itu”,
jelas Eugene.
“Oh itu. Trus emang apa?”
“Mama protes, tempat makannya nggak proper.
Kurang suka dia sama tempatnya, sempit lah apa segala macem. Ya, ku bilang aja
di Blue Ribbon nggak bisa bikin reservasi, di Maya udah penuh, akhirnya yang
terdekat yaa ke Ginza, ke yang tadi. Dan dia agak surprise karena tempatnya
sempit. Dan yaa gitu… that is my mom. Welcome to my family’s world”
“Oh gitu”
“Senyum dong. Ayo, jangan cemberut.
Harus kayak Yureka yang biasa aku kenal, yang full of cherish”
Dan Eugene berhasil membuatku
tertawa.
Malamnya, aku dan rombongan kecuali
orang tua Eugene, pukul 20 sudah sampai lagi ke JW Marriott Essex House.
Sedangkan orang tua Eugene baru kembali dari Ellis Island satu jam setelahnya. Btw,
mereka tidak jadi ke Staten karena waktunya tidak cukup, dan justru mereka
malah bisa kesana bersama-sama dengan rombongan, Eugene juga termasuk, aku
tidak. Ya, tidak apa-apa lah, aku baru sebatas teman spesial, belum lebih.
Santai saja.
“Om, Tante, semuanya, makasih ya hari
ini. Khususnya sushi-nya”, ujarku berpamitan.
“Sama-sama ya, Yureka, kami yang
makasih kamu mau sempatin datang”, balas Om Geni yang sangat ramah itu.
“Ya, sama-sama Yureka”, balas juga
dari Tante Mia. Duh, dia mau ngobrol denganku. Padahal tadi aku dipermalukan
habis-habisan olehnya.
“Yaudah kalau gitu saya pamit ya, Om,
Tante, Genji, Suster, Om Yayan. Sampai ketemu tanggal…”, lanjutku.
“17? Setelah wisudaan. Ya, Kan? Kita
kan mau makan-makan lagi”, sahut Eugene.
“Oh iya. Bener. Lupa. Oke deh kalau
gitu. Selamat malam semua. Mari”, pamitku pada keluarga Oetomo dan bergegas
keluar Hotel.
“Eugene anter Yureka dulu ya”.
Eugene pun mengantarkan ku sampai di
stasiun. Astaga anak ini kebaikannya keterlaluan. Bisa saja kan aku hanya
diantar sampai depan pintu hotel. Buat apa dia susah payah antar aku sampai ke
stasiun, masih kangen atau bagaimana?
Sampai di stasiun, aku berpamitan
dengan Eugene. Kami akan bertemu lagi masih agak lama, sehari setelah hari
wisuda nanti. Aku hanya ingin bilang terima kasih padanya karena hari ini ia
sangat sabar memperkenalkanku pada keluarganya untuk yang pertama kalinya.
“Sayang, aku makasih banyak yaa sama
semuaaaa yang terjadi hari ini. Kamu bener-bener support aku banget. Di traktir
pula”, ujarku panjang lebar sambil menggengam tangannya.
“Selaw lah. Kayak kita pertama kali
kenal aja. Santai pokonya”
“Yaudah sana balik lagi ke hotel.
Lagian ngapain sih sampe kesini segala nganternya. Jauh tahu”, protesku sambil
masih memegang tangannya.
“Yaelah kesitu doang. Lebay deh
kamu”, jawab Eugene sambil mengusap tanganku.
“Yaudah. Sampai ketemu tanggal 17 ya.
Have a good time with your family!”, ujarku lagi.
“Thank you. Eh tunggu…”, lanjut
Eugene.
“Apa?”
Baru saja aku lepas genggaman
tanganku pada Eugene, dan berpamitan dengannya, ternyata kecupan dipipi menyambar
dari bibir Eugene yang lembut itu. Oh Tuhan! Aku minta maaf!
Aku hanya tersipu malu sambil
mengusap pipiku yang baru saja dikecup pria tampan selevel Eugene itu. Oh,
Tuhan! Maafkan kami!
Takut ‘serangan’ yang lain datang,
aku buru-buru masuk ke dalam stasiun dan mengejar keretaku pulang ke arah NYU.
Meskipun hati senang baru saja
dikecup oleh sang kekasih, tapi sebenarnya ada sisi dimana aku masih memikirkan
kejadian memalukan tadi siang. Sepanjang jalan pulang, aku sempat menitikkan
air mataku. Alasan pertama karena sejak pertama berkenalan dengan Tante Mia,
wajahnya tidak seramah yang aku harapkan. Kedua, beliau mempermalukan ku
dihadapan anggota keluarga Eugene yang lain karena kebodohanku sendiri. Ketiga,
saat pamit pun tidak ada basa basi layaknya antara ibu sang pacar kepada
pacarnya si anak sulung seperti; “Eh iya Yureka, makasih banyak loh,
kapan-kapan kita hang out lagi, seru ya tadi”. TIDAK ADA SAMA SEKALI!
Ya, Tuhan, apakah ini yang dinamakan
tantangan dalam sebuah hubungan?
Tapi, Ya, Tuhan, apa yang harus aku
lakukan?
Apa aku harus memutuskan hubunganku
dengan Eugene hanya karena Mamanya tidak ramah kepadaku?
Kalau diteruskan pun, bagaimana
caranya aku meluluhkan hati Mamanya agar menyukaiku?
Aku mencintai Eugene, Ya Tuhan…
- BERSAMBUNG -
=====================================================================
Episode 8 : “12 Jam”
Yureka.
Setelah wisuda NYU 2019. New York. Masa Depan.
Setelah
drama terkait ketidakramahan serta ketidaksukaan Mama Eugene terhadapku,
akhirnya Eugene yang turun tangan. Aku mengatakan semuanya kepada Eugene lewat
telepon di malam yang sama setelah aku dan keluarganya Eugene makan sushi di
satu meja yang sama tersebut. Eugene pun juga sebenarnya tidak enak dengan
kejadian itu. Akhirnya dengan penuh keberanian, Eugene bicara empat mata dengan
Mamanya di lobi hotel pagi harinya. Katanya, Eugene sempat dimarahin
habis-habisan karena pagi-pagi Eugene sudah membuat mood Mamanya jelek. Tapi, Eugene sudah tidak peduli, dia tetap
berusaha meyakinkan Mamanya kalau aku tidak seburuk yang beliau lihat kemarin.
Jadi
kira-kira percakapan mereka yang menggunakan bahasa Korea sebagai berikut.
Tentu saja ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Katanya Eugene
kira-kira begini :
Mamanya
Eugene : Mama bukan tidak suka
dengan gadis itu, tapi lihat dong kelakuannya kemarin? Tertawa terbahak-bahak
seperti itu. Tidak sopan. Makan mie saja tidak tahu aturannya.
Eugene : Ya ampun,
Mama, kultur dia kan beda sama kita. Eh, kultur Mama maksudnya. Papa juga
sering kan protes ke Mama kalau Papa bikin kesalahan yang nggak sesuai sama
kultur asli Mama. Tapi Papa nggak ngelakuin itu sebaliknya.
Mamanya
Eugene : Kamu jangan membandingkan
Mama sama yang lain ya, itu beda, Yujin-a.
Eugene : Ma, mama
tuh udah lebih dari 25 tahun tinggal di Indonesia, masa nggak bisa bedain mana
Korea mana Indonesia? Oke gini deh, jujur sama Yujin, Mama nggak suka kan sama
Yureka?
Mamanya
Eugene : Buat apa kamu tanya itu?
Emang penting? Oh, kamu mau nikahin dia besok? Bener-bener besok?
Eugene : Ya, jawab
aja dulu, Mama suka atau nggak sama dia.
Mamanya
Eugene : (terdiam)
Eugene : Ma, Yujin
tahu Mama maunya yang kayak gimana. Kayak Michiko kan? Tapi nggak bisa, Ma.
Kayak Janice? Jelas juga nggak bisa. Atau kayak anaknya temen Mama, si Jian.
Dari dulu Eugene selalu nge-stuck
sama perempuan yang nggak seiman sama Eugene, Mama juga dulu gitu kan sebelum
mualaf dan nikah sama Papa? Kenapa Mama jadi mau Eugene sama yang satu ras sama
Mama kalau Eugene cintanya sama yang beda ras? Apa bedanya sama rasnya Papa?
Oke, Eugene plek kayak Mama, dan tapi Genji plek kayak Papa, jawir banget. Apa
salah kalau suatu hari Eugene mau punya keluarga yang kayak gitu juga?
Mamanya
Eugene : (masih terdiam)
Eugene : Oke, kalau
Mama emang maunya Eugene nggak sama Yureka, Eugene putusin dia sekarang
Mamanya
Eugene : Eh tunggu, Yujin-a. Bukan
begitu…
Eugene : Kenapa?
Fix mama nggak suka sama dia. Ya, kan? Ya, daripada Eugene jadi anak durhaka,
nggak mau dengerin kata Mama, mendingan Eugene putusin sekarang.
Mamanya
Eugene : Bukan begitu. Yureka memang
tidak punya banyak informasi tentang kebudayaan kita, kulturnya Mama, tapi dia
cukup pintar kok waktu membahas apa itu yang waktu kita makan di sushi? Ya,
pokoknya. Mama akui dia pintar, seperti yang kamu mau selama ini. Dia juga independent, seperti yang kamu mau, plus
dia seiman dengan keluarga kita…
Eugene : Trus,
kurangnya apa? dimana? Yujin tahu dia nggak secantik Michiko atau Janice atau
semanis Novi, tapi Eugene bener-bener nggak liat itu, Ma. Nggak sama sekali.
Mamanya : Kamu mau tahu? Mama takut
Mama belum siap melepas kamu. Mama sebenernya sedih, Yujin-a. Kamu sudah lulus
S2, apalagi sudah punya pacar, dan kamu selalu curhat ke Mama kalau kamu sayang
sekali dengan Yureka, jadi Mama takut kalau kamu menikah dengan dia dan
benar-benar hidup sama dia, Mama akan cepat kehilangan kamu.
Eugene : Ya, ampun
Ma. Nggak bakal. Eugene akan tetep jadi anak sulungnya Mama yang ngalah pake
bahasa Korea tiap kita ngobrol padahal sebenernya lebih nggak capek kalo pake
bahasa Indonesia. Yang selalu nemenin Mama nonton “Il-bak Il” sama “Happy
Together”. Eugene juga nggak ujug-ujug nikah sama Yureka besok pagi kali
mah. Masih ada waktu, Ma. Mama tenang aja, ya.
Demikian
lah sekiranya percakapan antara Eugene dan Tante Mia. Hmm, terdengar sangat
dramatis ya. Apa semua orang Korea begitu? Seperti yang ada di K-drama? Apapun
itu, aku lega karena meskipun Eugene dan Mamanya sudah saling bicara,
setidaknya Mamanya tidak cemberut lagi kalau namaku muncul ke permukaan. Tapi
aku tidak bisa senang dulu, aku masih harus berjuang membuat yakin keluarganya
terutama Mamanya kalau aku ini “The one
and only for their eldest son. Be his soulmate”
---
Pasca
wisuda, keluarganya Eugene kembali ke Indonesia dan meneruskan kegiatan mereka
di tanah air tercinta. Sedangkan aku dan Eugene masih menetap di New York,
sebenarnya Eugene yang akan menetap lebih lama sedikit dariku. Aku sangat
membenci jika mengatakan ini, tapi kenyataannya adalah aku yang harus pulang ke
Indonesia duluan. Ya, aku! Kalian tahu apa artinya? Aku dan Eugene akan saling
berjauhan, kami akan melakukan LDR. Aku kena karma sepertinya karena dulu
meremehkan hubungan LDR antara Farida dan Vito, sehingga ia jadi baper dengan
Eugene selama beberapa saat. Dan akhirnya LDR itu datang juga dalam hidupku.
Aku
tidak pernah melakukan LDR sebelumnya. Ya ampun bagaimana tidak, aku baru punya
hubungan spesial saja di New York, di usia 25 tahun seperti ini. Semoga aku
kuat menghadapinya nanti.
Mengapa
bisa aku yang pulang ke Indonesia terlebih dahulu sedangkan Eugene tinggal
lebih lama di Amerika? Pertama, karena aku telah diterima bekerja di salah satu
rumah produksi di Jakarta setelah iseng-iseng mengirim ide cerita untuk FTV di
salah satu stasiun televisi swasta di Jakarta dan juga diterima menjadi penulis
buku anak-anak di salah satu perusahaan buku anak-anak lokal yang juga
berlokasi di Jakarta. Kedua, karena aku anak beasiswa dari pemerintah Indonesia,
jadi memang aku harus pulang sesaat setelah wisuda karena aku harus memberikan
kontribusi kepada negeriku tercinta.
Ya,
meskipun belum mendapat kesempatan berkarir di Amerika terlebih Hollywood, aku
justru senang mendapat pekerjaan di Indonesia, hitung-hitung batu loncatan.
Toh, suatu hari aku bisa kembali lagi ke Amerika atau bisa ke negara lainnya
untuk berkarir menjadi penulis, pada dasarnya memang menulis bisa dimana saja,
bukan? Ketiga, Eugene juga sudah mendapatkan pekerjaan di New York. Ia mendapat
kontrak enam bulan bekerja menjadi asisten dosen dan asisten lab di Columbia
University. Ya, almamaternya sendiri. Yah, meskipun kami akan menjalani
hubungan jarak jauh, tapi aku tetap bangga Eugene bisa mendapatkan pekerjaan
itu. Siapa yang tidak bangga, ya kan?
Sebelum
kembali ke Indonesia, rasanya tidak lengkap kalau tidak mengadakan Farewell Party bersama anak-anak Batik
Day. Meskipun tanpa Farida, tapi Farewell
Celebration itu harus tetap ada. Tanggal 1 Juni 2019, aku, Chandra, Gilang,
Fikri, si pacar kesayangan, dan duo pasangan baru Kak Anna dan Dhimas,
berkumpul. Ya, ya seperti biasa di apartemen Kak Anna. Dimana lagi? Untungnya
di malam Farewell Party ini, tidak
ada lagi permainan “Truth or Dare”
atau ajang jujur-jujuran antara sesama mantan pengurus acara Batik Day. Kami
malam itu memutuskan untuk menonton film bersama. Film horror yang dipilih
Dhimas. Katanya sengaja supaya ia bisa dipeluk oleh Kak Anna kalau setannya
keluar. Kalau itu sih memang murni keinginan Dhimas yang ingin dipeluk Kak Anna.
Dasar laki-laki.
Setelah
filmnya selesai, dan harapan Dhimas terkabul karena akhirnya Kak Anna memeluk
pacar barunya itu dengan sangat erat karena Kak Anna sebenarnya memang penakut
apalagi kalau nonton film horror. Hmm, ya, Dhimas, ketahuan sekarang kenapa
kamu mau macarin Kak Anna. Kemudian, masih di malam yang sama, di malam
perpisahan, kami bertujuh sempat terdiam beberapa detik, seakan tidak tahu
harus berkata apa, tapi seakan kami tahu kalau ini merupakan malam
kumpul-kumpul terakhir di New York sebelum aku dan Gilang yang akan kembali ke
Indonesia. Meskipun nanti Batik Day masih ada Kak Anna, Dhimas, Chandra, Fikri,
dan Eugene, akan tetap menjadi gank kece anak-anak Indonesia, namun setelah
sepi ditinggal Farida, grup ini akan benar-benar sepi tanpa aku dan Gilang. Ah,
aku jadi malu.
“Guys, please say something”, ujar
Dhimas.
“Gue
mau ngomong sesuatu!”, jawabku.
“Silahkan
Yur”, respon kak Anna.
“Gue
mau bilang makasih banyak banget sama kalian udah jadi bagian dari hidup gue di
New York selama kurang lebih satu tahun belakangan. Ini kedengarannya emang
rada sok puitis sih, tapi beneran. Sumpah kalau nggak ada kalian, gue bisa jadi
bete sejadi-jadinya di New York. Temen-temen gue di kampus sih seru-seru, tapi
banyak juga yang kayak eek. Trus gue nggak berhasil masuk Permias karena
sebenernya emang pengen cari temen orang Indonesia biar nggak kesepian di New
York…”
Semuanya
terdiam dan aku juga terdiam sesaat kemudian kembali melanjutkan
“…
sebenernya gue masuk Permias ada alasannya sih”
“Maksud
lu?”, tanya Chandra yang sepertinya paling penasaran.
“Gue
daftar Permias waktu itu supaya bisa kumpul sama anak-anak Indonesia, dan… cari
pacar…” terangku lalu sempat gugup. Aku tidak tahu apakah aku harus mengatakan
ini sekarang. Tapi mumpung ini merupakan momen yang tepat, aku akan
menceritakan yang sebenarnya.
Tapi
semua terdiam. Lalu aku melanjutkan, “Eh nggak usah cerita deh. Eh… ehmmm”
“Eh
nggak papa, Kak Yure. Kita malah nggak pernah tahu. Ayo dong cerita. Kan ini
malam perpisahan, malamnya jujur-jujuran, kayak waktu itu”, seru Fikri.
“Ya…
jadi… Jadi, jauh sebelum gue ke New York, gue selalu minta sama Allah supaya
gue dikasih pacar selama gue sekolah di New York. Gue udah capek sendirian
terus, gue pengen selama gue kuliah disini gue ada temennya, biar gue
kemana-mana, keliling New York nggak sendirian. New York ternyata keras banget.
Dan gue juga minta sama Allah kalau gue pengen punya pacar orang Indonesia aja.
Semua temen-temen gue pas tahu gue mau berangkat kesini mereka pada bilang
<<Yureka jangan lupa bawa bule yaa. Nanti nikah sama bule aja biar
anak-anaknya lucu-lucu>>. Jujur ya, gue nggak mau. Itulah alasannya
segimana si Jamie deketin gue, gue tetep bilang nggak. Gue cuma mau selamanya
jadi orang Indonesia. Suami gue kelak orang Indonesia, anak-anak gue pun yaa
orang Indonesia. Dan, Allah denger doa-doa gue selama ini. Dan sekarang… ada
Eugene….”
Semua
sorak sorai berkata “Ciyeeee”
Eugene
hanya tersenyum lebar dan tetap mendengarkan ceritaku.
“Daaaaan,
itu semua berkat Batik Day, berkat Kak Anna. Kalau gue nggak kenal lu waktu itu
di KBRI Washington, gue nggak akan pernah kenal kalian semua, dan gue nggak
akan pernah juga ada jadi bagian Batik Day, dan nggak bakal pernah ketemu
Eugene. So, guys, thank you banget.
Thank you juga ya kalian yang udahh ciyeee-ciyee-in gue sama Eugene selama ini.
It was really humiliating me, apalagi
yang pas waktu di Kanada. Dan gue nggak tahu gimana rasanya jauh dari kalian.
Pasti bakal kangen banget. Guys, kita
bakalan terpisah 12 jam, guys! 12
jam! Lebay ah. Yaa, pokoknya gue tetep sayang kalian meskipun jarak memisahkan
kita nanti”
“To
twiiiit”, ujar Chandra sok imut.
“Gue
juga sayang sama elu Yur! Peluk peluk!”, ucap Kak Anna.
Akhirnya
kami semua berpelukan, mirip seperti dunia Teletubbies yang berpelukan di taman
ditemani dengan kelinci-kelinci gemuk penuh kesejahteraan.
Sela
beberapa detik setelah berpelukan, Kak Anna juga menyampaikan sesuatu.
“Gue
juga mau ngomong. Gue bahagia banget kenal sama kalian”, ujar Kak Anna.
“Bahagia
kenal kita atau bahagia akhirnya jadian sama Dhimas, Kak?”, tanya Fikri penuh
semangat.
“Fik,
tumben?”, protes Kak Anna.
“Kan
Kak Anna yang bilang gue nggak boleh diem-diem, musti speak up. Gimana sih?”, protes Fikri sebaliknya.
“Ah
tahu nih ibu pertiwi”, respon Eugene.
“Ya
ya oke. Pokoknya gue seneng banget bisa mempersatukan kita semua di Batik Day.
Sorry yaa, kalau gue marah-marah ke kalian, bossy
ke kalian, itu bukan mau gue, gue cuma mau yang terbaik buat kita waktu
itu. Dan gue seneng karena meskipun acaranya udah kelar, tapi kita masih tetep
kumpul kayak gini, malah makin hari makin lengket kayak lemper…”
“Enak
tuh lemper. Hayo bikin yok!”, celetuk Gilang
“Eh
diam kau! Gua belom selesai berbicara”, protes lagi Kak Anna tetapi pada
Chandra.
“Yo
Maap, Kak”, respon Gilang cuma cengengesan.
“Intinya,
gue seneng banget kita yang awalnya nggak saling kenal, yaa kenal tapi cuma
sebatas kenal aja, trus jadi panitia bareng, trus jadi satu grup paling rusuh,
trus bisa jadi sahabat bahkan udah kayak keluarga sendiri kayaknya. I love you full lah pokoknya!”
Dan
kami berpelukan lagi. Masih sama seperti Teletubbies yang berpelukan di padang
rumput dengan kelinci-kelinci makmur.
Dan
malam itu berlalu. Pesta perpisahan sudah selesai. Aku harus meneruskan acara packing-packing di apartemen, Eugene ikut
karena membantuku memuat semua barang-barangku yang akan dibawa ke Indonesia.
Gilang juga harus packing karena
kebetulan kami pulang dengan pesawat yang sama. Wah keren yaa? Ya, tidak heran
karena kami beli tiketnya memang bersamaan, alasannya karena supaya saling
bantu mengangkat barang kalau sudah sampai di Jakarta nanti, atau nama lainnya,
tidak ingin repot. Chandra dan Fikri juga ikut Gilang packing atau mungkin melenceng menjadi main PES bersama. Terserah.
Sedangkan Dhimas tetap tinggal di apartemen Kak Anna. Apapun alasannya, aku
tidak ingin tahu menahu soal urusan mereka berdua. Mereka, kami semua sudah
dewasa, apapun yang akan dilakukan setelah ini, itu bukan tanggung jawab kami
bersama.
“Hayoooo,
kan ketahuan kalian mau ngapa-ngapain”, celetukku saat mau berpamitan.
“Sssttt.
Gue mau bersihin toiletnya Kak Anna”, jawab Dhimas.
“Bersihin
toilet atau buang sesuatu ke toilet?”, celetuk Chandra.
“Chandra
mulai nih!”, Kak Anna marah.
“Tahu
nih, Chan. Udah udah”, lerai Eugene. Si pacar baik hati.
“Udah
iyaa udah anak orang jangan diganggu”, ujar Gilang masih dengan aksen Jawanya.
“Eh
tapi…”
“Bye
Kak Anna, Dhimas, bye!”, semua berpamitan
“Have fun, Kak!” celetuk iseng Chandra.
“Sampai
ketemu di bandara yaa”, ujarku
---
Senin, Awal Juni 2019, semua anggota Batik Day yang tersisa sudah berkumpul di Bandara
John F. Kennedy. Ya, aku dan Gilang akan kembali ke Indonesia, pulang ke tanah
air yang selama 2 tahun ini tidak aku singgahi. Ya, dua tahun adalah waktu yang
paling lama yang aku rasakan jauh dari rumah. Sebenarnya bisa saja aku pulang
ke Indonesia saat lebaran atau libur semester, tapi tiket pesawat New
York-Jakarta dirasa terlalu berlebihan, lebih baik disimpan dan ditabung untuk
keperluan yang lain. Untungnya Ayah dan Ibuku benar-benar ikhlas kalau anaknya
merantau tanpa pulang kampung sama sekali selama dua tahun, alasannya “Ya,
supaya fokus belajar”. Ah, bangga sekali punya orang tua seperti mereka.
Ngomong-ngomong
orang tua, setelah drama aku mempermalukan diriku didepan orang tua Eugene,
kalau kalian mau tahu, sebenarnya Eugene juga pernah dipermalukan oleh kedua
orang tuaku. Ya, jadi bisa aku bilang kalau kejadian saat di restoran sushi itu
bukan hal yang istimewa diantara hubunganku dengan Eugene. Lebih parahnya,
hal-hal seperti itu tidak hanya dari orang tua kami saja, melainkan orang lain.
Contoh
paling dekat, Jessica, si penghuni baru alias roommate baruku dan Cassandra. Waktu Eugene mampir kerumah untuk
menghabiskan malam minggu bersama menonton Netflix, malam itu juga Jessica ada
dirumah. Ketika Eugene akan mengambil minum di dapur, ia berpapasan dengan
Jessica. Dan entah dari mana asalnya, Eugene memberi tahuku kalau Jessica
secara tidak langsung memandang sebelah mata hubunganku dengan Eugene. Katanya
“Kok lu bisa sih jadian sama dia? Lu Chinese kan? Biasanya Chinese sama Chinese
juga. Mending sama gue”. Mendengar kesaksian Eugene tersebut, aku langsung
sontak menjawab “Kepala udang! Cumi-cumi saus padang! Emang dipikir dia siapa?!
Isshhh! Ih sumpah yaa aku bener-bener nyesel nerima dia jadi roommate baru!”
Kemudian
Eugene hanya bisa meredamkan emosiku sambil berkata “Udah lah sayang, dia cuma
bercanda kali. Nggak usah diambil hati. Aku maklumin juga sih dia ngomong kayak
gitu. Ya, if you know what I mean?”
“What? Because she is Chinese too? Like you? Itu
mah udah rasis tingkat internasional namanya, Jin”
Intinya,
saat itu aku benar-benar emosi.
Oke,
kembali soal reaksi orang tuaku pada hubungan spesialku dengan Eugene. Suatu
hari saat aku Video Call dengan Ayah dan Ibuku beserta Kakakku, Ibuku berkata
“Eugene itu Chinese ya, Kia? Dia beneran Muslim? Atau Mualaf?”
Semua
kritikan Ibuku tersampaikan dengan jelas. Sialnya, saat Video Call aku
menggunakan mode loudspeaker, dan lebih pahitnya lagi, Eugene sedang ada di
sebelahku sedang main smartphone-nya.
Ya, disitulah keluargaku mempermalukan Eugene. Dan saat kejadian makan sushi
satu meja itu, akupun dipermalukan orang keluarga Eugene. Entah harus senang
atau sedih, tapi kami sama-sama impas!
Dari
kejadian itulah, aku mulai pesimis soal hubunganku dengan Eugene, apakah bisa
dilanjutkan atau tidak. Aku yang sedari awal sangat bahagia ketika tahu Eugene
juga suka padaku sampai akhirnya kami resmi berpacaran, tiba-tiba langsung
hilang asa saat Ibuku berkata demikian. Kalau orang tua berkata lain, aku mau apa?
Mereka yang sudah membesarkanku, membiayaiku sekolah sampai akhirnya aku bisa
lulus S2, dan semua fasilitas yang diberikan, tidak ada harganya ketika aku
menjadi anak durhaka, dan aku tidak mau menjadi anak durhaka!
Tapi
Eugene selalu bilang, kalau kami harus tetap mempertahankan hubungan ini sampai
kapanpun, sampai benar-benar berhasil ke jenjang yang paling serius yang pernah
ada, yaitu menikah. Hmm, aku merinding sih mendengar kata “menikah”, sepertinya
itu hal yang benar-benar paling serius kalau aku benar-benar melakukannya.
Maskapai
Delta Air, tujuan London Heathrow akan boarding
dalam waktu 30 menit lagi, daripada telat, akhirnya kami memutuskan untuk
berpamitan. Ah, aku benci perpisahan! Semua orang pasti demikian.
Aku
dan Gilang berpamitan kepada semua anggota Batik Day. Hah, sedih sekali. Ini
momen paling menyedihkan yang pernah ada dalam hidupku. Satu persatu aku
memeluk teman-teman Batik Day, mulai dari Kak Anna, Dhimas, Chandra, Fikri, dan
Eugene, si pacar yang akan berjauhan denganku dalam beberapa waktu. Dan kepada
Eugene lah aku memeluknya paling erat, paling lama.
“Take care. Makan tepat waktu. Sholat.
Main basket tetep lanjut biar nggak buncit perutnya. Kerja yang serius. Jangan
nakal, jangan nakal, dan jangan nakal. Oh, hati-hati sama Jessica. Kalau
nggak….”, ujarku kritis.
“Apa?”,
tanya Eugene mengejek.
“Aku
susul kamu ke New York”, jawabku sambil mencubit hidung Eugene.
“Susul
aja. Malah bagus dong”, jawab Eugene yang hampir mengigit jariku yang habis
mencubit hidungnya.
“Ih,
nyebelin!”
Kami
berdua tertawa. Dan sempat melepas pelukan tapi lalu berpelukan lagi.
“Aku
nggak tahu kalau nggak ada kamu jadinya gimana, Yang”, terangku pada Eugene.
“Bisa
kok. Yaelah cuma enam bulan kan. Pasti bisa”, respon Eugene menenangkan.
Kemudian
pelukan Eugene semakin erat, erat, dan makin erat. Pelukan yang erat itu sampai
membuatku menitikkan air mata cukup deras dan buru-buru aku menghapusnya.
Ketika melepas pelukan itu, ternyata Eugene juga selesai mengelap air matanya.
Oh, Tuhan, manis sekali dia! Baru pertama kali aku melihatnya menangis seperti
itu. Apakah ini bukti kalau dia benar-benar menyanyangiku? Kalau iyaa, luar
biasa!
“Ih
udah, nggak usah nangis. Eugene ku, beruang kutubku. Smile!”, ucapku bernada manja.
Eugene
hanya membalas nada manjaku dengan tertawa.
Dan
semua kesedihan yang tumpah ruah itu harus dihentikan karena aku dan Gilang
harus segera boarding karena kalau
tidak habislah kami berdua.
Sampai
masuk ke security check-in gate, aku
dan Gilang masih melihat Kak Anna, Dhimas, Chandra, Fikri, dan Eugene. Kami
masih saling melambaikan tangan dan kemudian tidak bisa melihat karena ya kami
sudah ada di dalam gate boarding.
Bagaimana sih?
“Bismillah.
Semoga lancar sampai Jakarta”, ucapku pada Gilang yang mendapat kursi 33-D dan
33-E.
“Aamiin.
Sedih ya, ninggalin New York”, jawab Gilang.
“Banget,
Lang. Pahit-manis, asam-garam, bau ketek, bau kaki, semua udah dirasain di New
York. Nggak ada yang kelewatan.”
“Bener
banget. Yahh, mudah-mudah ilmu kita selama kuliah di New York nggak sia-sia
yaa, Yur. Dan mudah-mudah kita bakalan bisa balik lagi kesana”
“Aamiin.
Good luck for us!”
Saat
pesawat kami lepas landas, aku hanya berceletuk sambil melihat ke luar jendela “Good bye, New York”, dan Gilang pun ikut berkata “Bye bye New York. See you again! I’m gonna
miss you”
---
Eugene.
Juni 2019. Apartemen baru. New York. Masa Depan.
Mungkin
ini hari yang paling sedih sedunia versi gue. Baru aja gue anter Gilang sama
Yureka ke bandara bareng semua anak-anak Batik Day. Kita semua jelas sedih banget.
Ya, gimana nggak, temen seperjuangan yang paling naif dan semenyenangkan macem
Gilang udah balik duluan ke Indonesia. Ditambah si pacar yang juga ikutan
pulang. Dia terpaksa balik karena udah dapet tawaran kerja dari salah satu
rumah produksi dan bakalan bikin FTV di Jakarta. Ya, siapa sih yang nggak
bangga punya pacar brilian kayak dia? Tapi disisi lain sedih banget karena kita
bakalan LDR selama kurang lebih enam bulan kedepan. Gue juga Alhamdulillah udah
dapet kerjaan sementara di New York. Ya, itung-itung buat batu loncatan lah.
Gue kerja jadi asisten dosen di almamater jurusan gue sendiri tapi untuk
tingkat S1.
Kebetulan
ada juga orang Indonesia yang jadi tim gue sebagai asisten dosen di Columbia,
namanya Jessica. Dia juga yang gantiin posisi Salima, mantan teman sekamar
Yureka dan Cassandra yang udah pindah beberapa bulan lalu. Dan semenjak Yureka
resmi pindah, kamarnya kosong dan tadinya gue mau nempatin kamar itu. Tapi
nggak jadi. Dengan alasan, gue lebih suka satu roomie sama cowok dibanding campur sama cewek-cewek. Dan itu gue
bohong. Ya, jujur itu gue sengaja bikin alasan itu. Kenapa sengaja? Ya, karena
gue menghindar dari Jessica. Jujur, gue nggak terlalu suka sama dia. Orangnya
arogan, sering show off, dan manja.
Euhh! Gue paling anti sama cewek manja! Ya, sebenernya nggak apa-apa sih,
namanya juga cewek, tapi kalau yang udah keterlaluan gue bener-bener sebel
banget.
Nih,
contohnya waktu acara inisiasi tim pendidik baru di Columbia, si Jessica suruh
ngangkat LCD ke dalam ruangan karena LCD yang udah di install di ruangan tempat acara itu diadain entah kenapa ada
kesalahan teknis, jadi gue dan tim baru diminta secara sukarela ambil alat-alat
pendukung buat presentasi. Dan kalian tahu gimana reaksi si Jessica? “Emang
nggak ada yang lain apa yang bawain? Males deh. Kan berat, itu pasti banyak
debunya. Ish”.
What the hell are you thinking
about, Lady?
Cuma
LCD doang bukan gerobak bakso, kenapa harus sejijik itu sih?
Ah,
yaudah lah lupain aja soal si Jessica. Sekarang pahitnya adalah gue hampir tiap
hari bakalan liat mukanya di kampus. Ya Allah, kuatin gue!
Tapi
menurut kabar angin, si Jessica ini naksir gue? No, bukan maksud gue ambil
kesempatan selama gue LDR sama Yureka, tapi justru gue yang takut Jessica yang
ngambil kesempatan ini buat deketin gue. Gue sih nggak tahu persis dimana letak
signal dia suka sama gue. Justru gue
harus cari tahu apa dia bener-bener naksir sama gue atau nggak. Gue akan cari
informasinya lebih lanjut.
Oh
ya, btw soal apartemen baru. Jadi,
dulu selama kuliah, gue tinggal di asrama mahasiswa deket Columbia namanya John
Jay Hall. Isinya ya mahasiswa semua karena harga sewanya jelas lebih murah plus
deket dari kampus. Btw, dulu sebenernya gue bukan tinggal di John Jay Hall tapi
di East Campus dan dulu bentuknya apartemen duplex buat sendiri maksimal dua
orang. Tapi gue sempet bermasalah sama roommate
gue. Gue nggak akan sebutin namanya dan biodata lainnya, pokoknya orangnya ini
jorok banget. Duh pokoknya nggak banget deh. Bener-bener nggak rapih dan nggak
disiplin. Akhirnya di bulan ketiga gue pindah ke John Jay Hall dan dapet kamar private. Ini jelas lebih baik dari
sekamar berdua sama orang paling jorok di dunia. Ya, sebenernya semua
tergantung orangnya gimana sih, cuma di konteks kayak gini, gue nggak bisa
tinggal bareng sama orang lain.
Nah,
itulah kekurangan kalau tinggal di asrama, lu harus berbagi kamar mandi dan
toilet dan dapur. Dan untuk menerapkan hal ini, gue agak bermasalah. Gue emang
orangnya jijikan banget. Sebenernya gue nggak bisa sharing bathroom bareng orang lain kecuali keluarga sendiri. Jadi,
sempet rada gimana gitu. Tapi enaknya biaya sewanya agak murah dibanding lu
nyewa apartemen sendiri atau sharing
kayak Yureka. Well, sebenernya sama aja sih, malah Yureka bayar sewanya agak
murah sedikit dari gue. Di John Jay Hall, gue musti bayar 8.400an dollar buat
satu tahun masa tinggal, dan kalau dibagi 12 jadinya 700 dollar per bulan.
Sedangkan Yureka, dia satu apartemen dengan tiga kamar tidur dan all-furnished, dia cuma bayar 500an
dollar per bulan. Sebenernya harusnya bayar 800an per bulan karena harga
sewanya sendiri 2500 dollar per bulan tapi apartemennya itu sebenernya disewa
atas nama Cassandra dan terlebih kamarnya Cassandra yang paling luas diantara
yang lain, plus dia install sendiri
kamar mandi pribadi di kamarnya, jadi Cassandra dengan senang hati bayarin 300
dollar buat nutupin kekurangan itu. Gila emang beruntung banget jadi Yureka dan
Salima yang pernah tinggal disitu sama dia.
Tapi
kalian mau tahu apa yang terjadi setelah Yureka pindah? Cassandra memberlakukan
sistem sharing uang sewanya dengan
bener-bener pas dibagi buat 3 orang. Jadi, semenjak Jessica pindah kesana, dia
bayar full 800 dollar. Gue nggak tahu
harus seneng atau gimana, tapi kata Cassandra karena Jessica udah kerja, bukan
mahasiswa dan pas dia wawancara Jessica dia kurang suka sama tata kramanya yang
angkuh dan arogan, jadi dia dengan tega ngasih harga 800 buat Jessica. See? Bukan Cuma gue yang ngerasain kalau
Jessica itu arogan. Ya, semoga dia nggak kenapa-kenapa sama Cassandra, karena
gue tahu banget Cassey itu orangnya baik banget, jangan sampe dapet kejadian
yang aneh-aneh kalau Jessica tinggal disitu.
---
Yureka.
Juli-September 2019. Jakarta. Long
Distance Relationship. Masa Depan.
Sudah
hampir satu bulan setelah kepulanganku kembali ke Jakarta. Rasanya tentu senang
sekali bisa kumpul kembali dengan keluarga dan teman-teman serta sahabat
tercinta. Dua tahun benar-benar lama ya? Dulu ketika sebelum aku berangkat, aku
sempat berkata “Ya, hanya dua tahun”. Hanya? Apa kau bilang Yureka? “Hanya”?
Kau ini sudah gila? Dua tahun berarti kau harus melewati dua kali lebaran, dua
kali lebaran haji, dua kali ulang tahunmu sendiri, dan berpuluh-puluh kali
melihat bulan purnama di langit.
Dan
pulang ke Indonesia merupakan hal yang tentunya dinanti-nanti. Tidak hanya
keluarga, teman, dan sahabat, tapi makanannya pun juga sudah ikut menanti. Ah,
bakso. Sate! Mie ayam! Nasi goreng tek-tek! Es dawet! Nasi uduk tidak
ketinggalan! Aku sangat rindu membuat gemuk badanku di pagi hari dengan 240
kalori masuk kedalam tubuh. Hmm, dosa yang paling indah yang pernah kubuat
dalam hidupku. Kini telah kembali!
Bagaimana
dengan pekerjaanku?
Ya,
Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar. Ternyata membuat FTV memang benar-benar
melelahkan. Semua kru dan pemain harus berusaha semaksimal mungkin dalam
kondisi yang ‘kejar tayang’, meskipun ini hanya FTV bukan sinetron. Tapi
ternyata sistem kerjanya juga ikutan seperti jam tayang sinetron. Tapi tidak
apa, aku benar-benar menikmatinya. Ini sudah menjadi keinginanku sejak lama,
bukan? Dan sekarang aku berada dalam mimpi itu. Ya, bermimpilah, maka mimpi itu
akan menjadi bagian dari hidupmu suatu hari nanti.
Bagaimana
dengan teman-teman dan keluarga di Indonesia sejauh ini?
Semua
baik-baik saja. Aku jadi sering meluangkan waktuku untuk bertemu teman-teman
yang sudah lama tak kujumpai. Dan juga mengikhlaskan weekend-ku untuk bertemu dengan sanak saudara. Terutama si Dione,
sepupu yang paling resek dan kece yang selalu aku rindukan keberadaannya. Suatu
hari di bulan Agustus, sesaat setelah merayakan ulang tahun Dione bersama
kakaknya dan kakak-kakakku, aku secara ekslusif, berbincang-bincang bersama
Dione seputar dunia percintaan kami. Jujur saja, aku lebih nyaman saat
menceritakan isi curahan hatiku pada Dione ketimbang kepada Kakak-Kakakku dan
atau Delila, kakaknya Dione. Dan menghasilkan percakapan sebagai berikut :
Yureka : Jadi, gimana elu sama si bule
Denmark itu? Siapa namanya? Arthur?
Dione : Lah elu bukannya udah tahu? Gue
nggak ada apa-apa lagi sama dia.
Yureka
: Lah masa? Bukannya lu udah
jadian? Gimana sih?
Dione : Ya, sempet jalan bareng, tapi
abis itu gue yang nembak dia duluan. Trus…
Yureka : Trus? Diterima? Hmm jangan bilang
ditolak?
Dione : Dia nggak jawab iya atau nggak.
Dia cuma bilang “Aku belum siap punya pasangan”. Terlebih dia ada di Indonesia,
katanya susah gitu.
Yureka : Ah, I see. Gue tahu. Udah nggak usah diterusin lagi ceritanya. Udah,
jangan sedih. Lu bisa cari bule lain kok. Jamie mau?
Dione : Ih, yang sok ganteng tetangga
apartemen lu itu? Nggak deh. Makasih, Kak.
Yureka : Iyaa. Oh, atau lu udah pindah
haluan ke Oppa-Oppa Korea? Kayak personilnya BTS gitu?
Dione : Nggak. Gue suka idol, tapi tipe
gue tetep bule. Hahaha. Eh btw gimana lu sama Eugene? Masih kan?
Yureka : Masih dong. Tapi susah ya ternyata
LDR.
Dione : Ye, siapa bilang gampang. Pasti
susah lah. Udah gitu, berapa jam bedanya?
Yureka : Dua belas Jam. Lama banget. Gue
udah nangkring di lokasi syuting, eh dia baru mau tidur. Aneh pokoknya LDR
Indonesia-Amerika tuh.
Di
mobil, perjalanan menuju rumah, hal yang dinanti-nanti pun tiba. Eugene
menelponku! Ya, saat itu di Jakarta hampir pukul 10 malam, dan di New York
masih pukul 10 pagi. Saat Eugene menelponku, katanya ia sedang menunggu kelas
yang akan mulai pukul 10.45. Ya, mungkin diantara kalian sudah ada yang tahu
bagaimana rasanya. Senang, tapi sedih karena kami hanya bertemu via suara.
Rasanya dada sesak menahan rindu. Berat sekali.
Suatu
hari di bulan September 2019, aku benar-benar butuh Eugene disampingku. Aku
mendapat hal yang paling buruk yang pernah terjadi dalam karir menulisku. Suatu
waktu, aku mengirim semua deadline-ku
pada kantor majalah anak-anak tempat aku bekerja selain di rumah produksi yang
aku sebut sebelumnya. Ya, aku punya dua pekerjaan memang. Dan ketika aku sudah
mengirim semua karyaku sesuai permintaan pimpinan redaksi, dia membatalkan dua
dari lima karya yang telah kubuat, dan malah memasukan karya penulis lain ke
dalam kolom edisi terbaru. Persetan! Siapa sih penulis itu? Sombong sekali mau
menggeser karyaku?! Ya, aku tahu aku kan baru tiga bulan kerja disana, dan
mungkin si penulis ini sudah senior. Tapi kan tetap saja aku kesal! Ditambah,
si bos pimpinan redaksi tidak memberikan alasan yang jelas mengapa dia
membatalkan dua karyaku tersebut. Padahal dua karya itu adalah karya-karya yang
paling aku suka, mulai dari ide ceritanya, karakter, dan alur ceritanya. Aku
pun membuatnya dengan sangat hati-hati karena memang cerita anak harus
menggunakan bahasa yang paling sederhana sesederhana dan semenarik mungkin.
Belum lagi butuh berhari-hari untuk merampungkannya. Dan sekarang itu harus
dicoret dari daftar edisi bulan ini?! Keterlaluan! Anak kambing!
Saat
tahu pimpinan redaksi membatalkan karyaku untuk diterbitkan, aku yang sangat
emosi langsung menelpon Eugene untuk sekadar meminta empatinya dan meminta
sarannya apa yang sebaiknya harus aku lakukan. Saat itu, aku pulang menggunakan
kereta dari kantor redaksi di daerah Jakarta Barat pukul 9 malam, aku berusaha
menelpon Eugene. Berarti di New York sekitar pukul 9 pagi. Ah, masih pagi,
pasti dia sudah bangun tapi belum berangkat mengajar. Tapi sialnya, telponku
tidak diangkat. Sudah aku coba sebanyak 12 kali menelponnya dan tidak juga
diangkat. Aku chat pun, belum di baca
olehnya. Emosiku sudah benar-benar diujung kepala, panas! Kenapa sih semua
orang sama saja?! Tidak ada yang mau peduli padaku? Tidak ada yang mempedulikan
kalau aku butuh semacam kata-kata “Everything
will be okay, Yureka”, bahkan tidak ada dari pacar sendiri.
Sampai
dirumah, aku benar-benar masih kesal. Akhirnya aku tumpahkan semuanya pada
Ibuku. Dan ya jawabannya memang sudah ketahuan, hanya bilang “Yaudah nggak
apa-apa, ceritanya bisa disimpan untuk di taro di blog kamu. Malah bagus kan?”.
Ya, memang ada benarnya juga. Tapi karya itu sudah seperti anakku sendiri yang
sudah kutulis dengan sepenuh hati dan cinta, tapi ketika bosku sendiri tidak
menghargainya, jelas aku sakit hati.
Saat
sudah mau tidur, sekitar pukul 12 malam, Eugene baru membalas Whatsapp dan
menelponku balik karena di New York sudah jam makan siang, jadi mungkin dia
baru ada waktu untuk membalas pesanku dan juga menelponku.
“Walaikumsalam!
Apa? Mau nanya “Kamu baik aja-aja sekarang, Sayang?” Udah telat tahu!”, jawabku
langsung marah-marah.
“Ya
ampun, Sayang sabar dulu dong. Aku tadi nggak bisa angkat telpon karena di lab.
Kan kamu tahu gimana kalau di lab. Lagian aku udah bilang kan kemarin kalau
minggu ini bakalan banyak ke lab sama outing,
jadi bisa aja aku slow respond”,
jawab Eugene penuh kesabaran.
“Ya,
aku tahu, Sayang, tapi aku tuh bener-bener emosi banget dan aku butuh kamu buat
dengerin cerita aku!”
“Ya
maaf. Tunggu deh, kok kamu jadi gini sih? Ini bukan Yureka yang aku kenal loh”,
ujar Eugene berbalik emosi.
“Kok
kamu jadi nyalahin aku sih? Aku tuh cuma kangen sama kamu. Kangen sama kamu
yang biasanya nenangin aku kalau lagi bad
day gini”
Eugene
terdiam.
“Aku
tahu ini lebay banget kedengerannya, tapi, kamu tahu aku nggak pernah kayak
gitu dulu-dulu. Dan setelah ada kamu, aku bisa lebih calm down tiap kali aku punya masalah karena selama kita masih di
New York, kamu pasti ada disitu, kalau aku lagi bad day banget. Sekarang? Nelpon kamu aja susahnya minta ampun.”
“Nah,
itu lagi yang dibahas! Aku udah bilang, nggak usah usik lagi masa lalu kamu.
Terakhir kamu curhat kamu ketemu mantan… mantan friendzone kamu di café deket kantor kamu dan kamu langsung
mewek-mewek jadi keinget masa lalu. Oh, sama Adam Wang juga! Kamu dateng ke
pernikahan mereka minggu lalu dan kamu curhat panjang lebar dan cerita lagi
soal yang di Penang itu ke aku. Sayang, aku bukannya nggak mau dengerin
curhatan kamu, tapi cukup sekali aja dong kamu ceritanya. Moving forward, not step backward, kenapa sih?”
“Hello,
kok kamu jadi marahin aku. What’s wrong
with you, Parama Eugene Oetomo? Hah?”
“Ya,
aku cuma nggak mau kamu jadi inget lagi sama masa lalu kamu. Sekarang cuma ada
kita, aku sama kamu. Yureka sama Eugene. That’s
it. Kalo kamu emang ada uneg-uneg, yaudah cerita aja nggak usah mengharap
orang lain bakalan selalu ada di posisi kamu. Semua ada baiknya kok. Please,
you’re just whining about your stuffs”
“What? I am whining? No. This is not whining,
ya, I am telling you. I just….”
“Apa?...”
Tiba-tiba
ditengah pertengkaran hebat itu, ada suara yang sepertinya sangat familiar.
“Eugene, aku balik duluan yaa ke
lab. Nanti selesai kelas, jangan lupa jam 5 sambil dinner bareng”
“Okay”,
jawab Eugene terdengar.
“Siapa
itu? kayaknya aku kenal suaranya. Oh My
God, don’t say that is Jessica. Kamu ngapain bareng sama dia? Dinner?
What?”, tanyaku masih emosi.
“Ya
ampun. Cuma dinner doang sambil ngomongin kerjaan, gitu doang dipermasalahin
kenapa sih? Kamu bener-bener yaa, mulai jadi childish gini. Gini ya, Yureka, kamu yang bilang sendiri aku yang
paling cemburuan, sekarang kebalik, kamu yang cemburuan! Udah aku harus balik
ke lab lagi. Nanti aku telpon lagi. Assalamualaikum!”
Eugene
menutup telpon.
“Eugene!
Halo! Eugene!”. Aku masih emosi.
Dan
aku baru saja merusak hidupku sendiri. Pekerjaan kacau, bertengkar hebat dengan
pacar, apa lagi?
Aku
benar-benar butuh seseorang yang bisa menenangkanku, untuk sejenak saja, lima
menit saja. Dipeluk, dimanja, diperhatikan. Ya, Tuhan, kenapa ini berat sekali?
Mungkin aku terlalu lelah, aku butuh tidur. Ya, besok aku harus kembali bangun
dengan kondisi yang segar bugar, karena besok harus syuting lagi. Semangat,
Yureka. Kamu pasti bisa melewati ini semua.
---
Keesokan
paginya, aku bangun dengan kondisi yang lebih baik, tidurku semalam pun sangat
nyenyak, dan terpenting adalah aku mulai melupakan kejadian semalam. Tapi tidak
jadi, mood-ku pagi-pagi rusak kembali
karena satu informasi baru yang ku dapatkan dari Kak Anna. Ada delapan
notifikasi dari satu chat. Dan setelah ku intip, itu Whatsapp dari Kak Anna
yang kalau diintip ada kata-kata “Pokoknya
I am with you, Yur”. Aku yang sedang menyantap lontong isi oncom sambil
menunggu kereta ke arah Tanah Abang, langsung kaget sekaligus lemas
melihat isi Whatsapp Kak Anna tersebut. Kira-kira berbunyi :
“Semalem
gue ke apartemen lu
Ngukur
badannya Cassandra buat bikin baju Dinner Rehearsalnya bulan depan.
Trus
pas udah dibawah pas nunggu taksi, gue lihat ada Eugene masuk ke apartemen lu
Baru
balik dari mana gue gatau.
Tapi
ada Jessica juga disitu
Eugene
seemed so drunk in that moment
Dan
dia ciuman sama Jessica!
Gue
awalnya nggak percaya
Tapi
gue yakin itu Eugene
Gue
akan cari tahu lebih lanjut. Lu tenang aja
Pokoknya
I am with you, Yur”
Ya,
Tuhan, ada apa ini? Apa lagi ini?
Aku
baru saja terkena badai dari tempat kerjaku, dan sekarang Eugene?
Katakan
apa ini Ya Tuhan?!
Beri
tahu kalau ini mimpi bukan yang sungguhan…
- BERSAMBUNG -
=====================================================================
Episode 9 : “The Proposal: Salah Satu Hari Terbahagia”
Yureka. Pancaroba 2019. Jakarta, Indonesia. Masa Depan.
“…Gue akan cari tahu lebih lanjut.
Lu tenang aja
Pokoknya I am with you, Yur”
Begitulah kiranya pesan Whatsapp dari Kak Anna yang
dikirim kepadaku. Aku langsung lemah tak berdaya. Petir menyambar begitu kuat
dan menusuk tulang belakangku. Ngilu. Apa yang terjadi ini Ya Tuhan? Aku baru
saja mendapat hal tidak menyenangkan yang terjadi di tempat kerjaku dan
sekarang Eugene?
Sepanjang perjalanan menuju kantor, aku benar-benar
lemas. Tidak bisa berpikir apapun. Hanya air mata yang tumpah dari
bendungannya. Tapi berusaha agar tidak ada yang mengetahui itu. Aku tahan.
Bahkan sampai di rumah pun aku menyembunyikan apa yang tengah terjadi pada
diriku. Karena baru makan lontong isi oncom, aku masih lapar. Dan kebetulan di
meja masih ada lauk kering tempe basah dan sambal plus kerupuk di dalam kaleng.
Nasi pun masih tersedia di rice cooker.
Kemudian ketika aku sedang mengambil piring di lemari kaca, ibu menegurku, “Eh
udah pulang”. Kemudian berakhir dengan percakapan anatara aku dan ibu.
Kami ngobrol layaknya Ibu dan Anak. Kalau soal
pekerjaan, aku tidak bisa menutupi rasa kekecewaanku terhadap bosku. Tapi kalau
soal Eugene, aku bungkam. Aku tidak ingin ketika aku tidak sengaja membahas
hubunganku dengan Eugene, nanti berhujung dengan pernyataan Ibu yang sekiranya
seperti “Tuh kan apa Ibu bilang. Orang-orang model kayak Eugene China gitu pasti
bandel. Suka mabuk lalalalala”. Tidak mungkin. Aku bisa muak. Jadi sebagai
orang dewasa yang baik, aku harus berusaha untuk menyelesaikan masalah ini
sendiri dan berusaha agar orang tuaku hanya tahu bahwa anaknya mempunyai
hubungan yang baik-baik saja dengan kekasihnya.
Makan malam selesai, aku mandi dan siap-siap pergi
tidur. Sebelum tidur, aku sempat mengecek smartphone-ku
dan sekadar melihat-lihat isi Instagram
story teman-teman sebagai penghibur diriku. Bukan berhasil menenangkan diri
sendiri, aku tidak sengaja membuka galeri di smartphone-ku dan tapi kemudian sengaja membuka folder “Double Yu”
yang berisi foto-fotoku dan Eugene sewaktu di New York dulu. Bodoh. Kan aku
jadi ingat Eugene lagi. Aku memang belum tahu apa yang sebenarnya terjadi dengannya
dan apakah memang ada sesuatu yang terjadi antara dirinya dan Jessica. Tapi
semenjak tahu kalau ia mulai cuek denganku, aku jadi malas berurusan dengan
Eugene untuk sementara waktu.
Tapi namanya juga dengan orang yang kita sayang,
semarah apapun kita padanya, pasti ada rasa rindu ingin melihat wajahnya.
Terlebih masih dalam rangka LDR. Dan LDR memang sulit bukan kepalang. Sudah
LDR, 12 jam pula. Memuakkan.
---
Satu minggu berlalu. Aku sempat ada masalah dengan
tempatku bekerja. Dan mau tahu apa yang terjadi? Aku resign alias keluar dari pekerjaan itu. Aku sengaja keluar karena
sebelum aku mendadak memutuskan resign,
sudah ada pekerjaan baru menantiku. Ya, namanya rejeki tidak ada yang tahu.
Jadi, aku memang punya dua pekerjaan yaitu bekerja di redaksi majalah anak-anak
dan menjadi penulis lepas di salah satu rumah produksi yang menggarap FTV. Dan
aku resmi keluar dari redaksi majalah anak-anak tersebut dan terganti dengan
menjadi salah satu karyawan divisi promosi dan publikasi di salah satu galeri seni
di Jakarta. Galeri ini baru buka tahun lalu, dan untuk mempromosikan galeri ini
memang butuh beberapa orang lagi. Aku memang tidak tahu sama sekali soal seni
murni. Meskipun aku suka dengan seni, apalagi aku memang lulusan S2 dari
sekolah seni di New York, tapi setidaknya aku masih tahu dunia publikasi,
terlebih aku dulunya memang bergelar S.Ikom dari Universitas Paramadina. Jadi,
tidak kaget-kaget amat lah.
Aku mengetahui pekerjaan ini juga dari teman kuliah
S1 ku dulu yang bisa dibilang sahabat ku sendiri yang bernama Nina. Nina ini
kebetulan juga bekerja di galeri seni tersebut dan ia lah yang membantuku untuk
bisa menjadi karyawan di galeri seni itu. Terimakasih, Nina.
Di hari pertama bekerja, semuanya baik-baik saja.
Sebagai awalan, aku hanya diminta mengecek website
galeri tersebut dan juga membalas email yang masuk. Dan sejauh ini tidak banyak
email yang masuk, jadi ya bisa dibilang pekerjaanku masih dibilang oke.
Saat makan siang, aku dan Nina pergi keluar galeri
dan mencari makan. Saat makan siang kami pun berbincang-bincang seperti berikut
:
Yureka :
Duh pokoknya gue makasih banyak banget nih sama lu, Nin.
Nina :
Halah. Gue cuma disuruh cari orang yang bisa pegang publikasi, dan gue tahu lu
bisa handle itu, dan kebetulan elu
juga lagi ada masalah di kantor lama, jadi kenapa enggak.
Yureka :
Mati satu tumbuh seribu, ya?
Nina :
Nah. Eh tapi makasih juga nih Mie Ayam nya.
Yureka :
Sama-sama. Anggap aja rasa terimakasih gue ke elu.
Nina :
Kalau yang ini mati satu tumbuh seribu juga?
Yureka :
Bukan. Tapi ayamnya emang udah mati trus diolah jadi Mie Ayam
(tertawa)
Nina :
Eh btw lu masih sama Eugene?
Yureka :
Masih.
Nina :
Kenape muka lu? Ada masalah sama dia?
Yureka :
Yah, namanya juga lagi LDR. 12 jam pula. Jadi yaa gitu….
Nina :
Udah cerita aja sama gue. Yaelah. Kayak gue ama siape aje. Dulu noh waktu sama
Nabil, lu juga….
Yureka :
Eh nggak usah bawa-bawa nama tuh orang ya. Tolong.
Nina :
Iyaa, sorry. Yaa, pokoknya kalo lu butuh temen curhat, udah jangan malu-malu
lah, santai. Emang kenapa lu sama Eugene?
Yureka :
Gue udah dua minggu nggak contact
Eugene, Nin.
Nina :
Buset. Lama amat. Berantem apa gimana?
Yureka :
Awalnya gue berantem gara-gara gue ngeluh sama kerjaan gue yang dulu itu. Trus somehow kita ribut hebat. Trus gue
denger dari temen gue kalo dia… selingkuh…
Nina :
Astagfirulloh… yah. Kok bisa? Tunggu. Lu udah cari tahu gimana-gimananya?
Yureka :
Temen gue yang cari tahu. Dan katanya emang bener dia pernah ciuman sama roommate gue di apartemen dulu.
Nina :
Yang orang Mexico itu?
Yureka :
Bukan. Ada yang baru yang baru masuk beberapa minggu sebelum gue balik ke Indo.
Orang Indonesia juga kebetulan dan… Chinese. Dan yang bikin gue khawatir itu
karena dia Chinese. Dan yaa lu tahu lah, kalo Chinese sama Chinese yaa bisa aja…
Nina :
Eh tunggu. Jangan suudzon dulu. Seinget gue yang pernah lu Whatsapp ke gue kan karena Eugene suka sama lu dan akhirnya kalian
jadian kan karena lu berdua sama-sama seiman, sama-sama muslimnya. Dan Eugene
sendiri yang bilang kata lu kalo dia emang cari pasangan yang semuslim juga,
iya kan?
Yureka :
(Aku hanya mengangguk)
Nina :
Dengerin gue, nih Re. Sebuta-butanya cowok dibikin sama cewek cantik, kalau
kelakuannya nggak cantik, dia bakalan tetep balik ke yang hatinya cantik. Gue
tahu sih banyak cowok-cowok yang cuma cari kecantikan luarnya cewek, tapi dari
semua cerita-cerita lu dan gue pernah ngobrol sekali lewat video call waktu itu sama lu sama dia juga pas lu masih di NY, gue
rasa Eugene orangnya beda. Dia yaa emang beda aja. Dan menurut gue dia emang
nerima lu apa adanya. Dan buktinya dia duluan kan yang nembak lu. Selama lu
PDKT ama dia lu juga bilang lu nggak usaha-usaha amat, dia yang datengin lu
terus. Ya kan? Nah berarti emang dia yang suka sama lu dan dia konsisten kalo
dia emang mau jadi the one and only-nya
elu.
Yureka :
Oh My God, Nin. Lu tuh selalu bikin
gue tenang, kenapa sih? Sebel tahu. (aku tersenyum lebar kembali). Makasih ya.
Nina :
Sama-sama. Tapi btw dia udah berusaha hubungin elu, atau emang kalian lagi
nggak sama sekali contact-contact-an?
Yureka :
Dari minggu lalu dia nelpon tapi nggak gue angkat. Dia chat gak gue bales, cuma gue read
aja. Eh gue bales sih, cuma bilang “Lagi
sibuk interview di tempat kerja baru. Sorry”. Gitu.
Nina :
Ayolah. Dia pasti mau bilang sesuatu ke elu. Dan kalo dia ngomong jujur ke elu
misalnya emang dia beneran ada apa-apa sama siapa yang roommate lu?
Yureka :
Namanya Jessica btw.
Nina :
Ya Jessica… pokoknya lu harus janji sama gue, jangan putus sama Eugene. Karena
sebenernya gue punya feeling lu bakal
berjodoh sama Eugene.
Yureka :
Serius?
Nina :
Yap. Gue tahu semua cerita cinta lu semenjak kuliah dulu. Dan gue beneran
empati sih sama lu. Makanya gue seneng ketika lu akhirnya bisa nemuin Eugene,
gue yang sebenernya pengen bilang terimakasih ke dia karena dia udah milih elu.
I know you well, Yur.
Yureka :
Ah so sweet deh. Thank youuuu banget!
Malamnya, sepulang kerja, aku mendapatkan voice note dari Eugene. Aku tidak
berharap apapun dari VN itu. Entah itu pengakuannya dia sendiri, atau apapun,
aku tidak peduli. Yang penting, aku tetap ingin melanjutkan hubunganku dengan Eugene.
Titik.
Ku putar VN itu dan suara Eugene terdengar. Ah, aku
rindu suara itu.
“Assalamualaikum,
Sayang. Kamu apa kabar? Angkat telpon aku ya. Please. Atau telpon balik. Aku
tahu kamu sibuk sama kerjaan baru kamu, tapi please aku mau ngomong sebentar aja.
Hmmm. Aku tahu kok kalo kamu tahu sesuatu dari Kak Anna…”
Wait, Kak Anna? Jangan-jangan…
Aku langsung melanjutkan VN itu yang sempat aku pause beberapa saat.
“Pasti kamu udah
tahu kalo aku ciuman sama Jessica di suatu malam. Dan Kak Anna nyamperin aku
besokannya. Tapi tanpa memberi tahu kamu. Kata Kak Anna, dia yang mau tahu duluan
karena dia semacam ada rasa mewakili kamu kalau ada apa-apa sama aku disini.
Dan bukan berarti kamu nggak dikasih tahu, Kak Anna cuma nggak mau kerjaan kamu
terganggu karena dia juga tahu kamu abis resign dan sibuk di tempat yang baru.
Dan tadinya aku mau ngasih tahu ini besok-besok, tapi aku udah nggak bisa nahan
lebih lama lagi… Hmmm. Ya, aku ciuman sama Jessica. But it didn’t mean
anything, Sayang, I swear! Waktu itu aku lagi ada problem di kampus. Maket aku
hancur karena aku taro di kardus gitu dan gatau, somehow ada yang ngerusakin,
dan mungkin yang ngerusakin itu nggak sengaja dan nggak tahu kalo di dalemnya
ada maket buat bahan ngajar aku. Dan kala itu Jessica yang bantuin aku buat
bikin lagi dalam satu malam. Aku sempet stress berat, tapi aku nggak bilang
kamu karena takut kamu khawatir. And then she brought me to a bar and we drunk.
Maaf ya sayang aku pernah bilang ke kamu kalo aku nggak mau minum bir atau alkohol
lagi tapi somehow I needed it. So, aku minum, dan nggak kerasa bikin aku drunk
dan Jessica bawa aku pulang dan kata Jessica aku drunk parah banget sampe di
jalan juga aku kayak orang gila, dan aku pun nggak sengaja nyium dia di jalan.
Ya, you know, drunk people. Dan Jessica juga ngaku dia ngambil kesempatan dan
kesempitan kala itu. Dia juga balas cium aku, like very hard. But I didn’t feel
anything cause I was too drunk…”
Jeda lima detik. Aku tidak mendengar apa-apa tapi VN
nya masih ada sekitar lima menit lagi. Ternyata aku mendengar Eugene menangis
dibalik VN itu. Kemudian suara Eugene di VN berlanjut,
“… Aku minta
maaf sayang. Maaf, banget! I swear it didn’t happen anything. Like… you know…
no. Big no. Aku nggak ngapa-ngapain sama dia. Beneran. We just kissed and
that’s it. Nggak pernah ada dalam otak aku buat having affair sama cewek lain.
Nggak ada, Yang. Sumpah! So, please call me. I do really apologize…. And believe
me I’m telling you, that I still love you…”
Air mataku tumpah setumpah-tumpahnya. Aku menangis
sejadi-jadinya. Ya, kalimat terakhir yang makin membuat tangisanku bertambah
mengharu biru. Aku benar-benar tidak pernah mendengar Eugene semenyesal itu.
Aku yakin dia benar-benar menyesal. Mumpung di Indonesia belum terlalu larut,
dan di Amerika juga tidak terlalu pagi, aku memutuskan untuk menelponnya.
Setelah panggilan pertama, Eugene tidak mengangkat.
Mungkin masih tidur. Panggilan kedua juga. Karena tidak sabar aku balas dengan
VN juga.
“Hi Eugene.
Thank you for your messages. That’s so touchy I guessed. I was upset, I really
was. But… I knew you never had a thought to do that kind of thing. So, I forgive
you, Sayang. And I still love you too…”
Semoga tujuh belas detik itu bisa membuat Eugene
tenang sekarang.
---
Eugene. Musim Gugur 2019. Kampus Columbia
University. New York. Masa Depan.
Setelah
kejadian gue mabuk parah dan hampir selingkuh sama Jessica, untungnya gue udah
baikan sama Yureka. Gue sampe harus berkali-kali telpon dia, entah Video Call atau Voice Call di Whatsapp, Skype, sampai telpon normal pake data roaming, udah gue lakuin semua. Dan
pas gue desperate, gue emang udah
pasrah sih, nggak tahu Yureka mau maafin gue apa nggak. Yang jelas gue emang
bener-bener nyesel ngelakuin itu dibelakang dia. Tapi sejujurnya gue emang
masih sayang sama dia. Dan kepengen hubungan ini berlanjut sampai jenjang yang
lebih serius.
Ngomong-ngomong soal serius, tadi pagi sebelum gue
berangkat ke kampus buat ngisi kelas, gue nyempetin waktu buat nelpon sang
kekasih tercinta kita masih ada jarak 12 jam, dan entah kenapa ada salah satu
topik pembicaraan yang mengarah ke topik pernikahan. Maka terjadilah percakapan
berikut ini:
Eugene :
Eh, Sayang, kamu belum cerita gimana waktu ke kondangan si Adam Wang sama Tiara
waktu itu.
Yureka :
Ya, nggak gimana-gimana. Cuma liat akad, trus sah, trus lanjut ke acara
resepsi, trus makan-makan, trus foto-foto, upload
sana sini. Udah. Ya kayak kondangan normal aja.
Eugene :
Yakin nggak baper?
Yureka :
Yaelah. Please deh.
Eugene :
Ya kan aku cuma tanya. Siapa tahu.
Yureka :
Ya, sejujurnya sih waktu liat dia ngucap ijal qobul, sempet bergetar gitu.
Eugene :
Maksudnya?
Yureka :
Ya, kan aku pernah suka sama dia. Pernah jalan-jalan sama dia. Makan Tong Shui
bareng di George Town, keliling Penang, ketemu sama dia berminggu-minggu. Mana
ganteng pula kan anaknya. Ya, normal lah kalau cewek biasa kayak aku naksir
sama dia…
Eugene :
(Gue terdiam. Kayaknya Yureka sengaja bikin gue cemburu)
Yureka :
But it was on the past kok. Ada di masa lalu. Hahaha…
Eugene :
Tapi sekarang?
Yureka :
Ya sama elu lah. Gimana sih. Cemburu ya? Ya, intinya, meskipun Adam Wang
menjadi salah satu barisan mantan gebetan aku, yang berakhir na’as, tapi
berakhir bahagia sama kamu, jadi aku ikhlas banget liatnya. Malah lega gitu
waktu menyaksikan langsung kalau Adam Wang resmi jadi suaminya Tiara.
Eugene :
Syukur deh. Alhamdulillah. Eh, Sayang ngomong-ngomong soal kondangan, aku kok
pengen cepet-cepet tinggal berdua sama kamu ya.
Yureka :
What? Maksudnya?
Eugene :
Ya, kita tinggal berdua. Biar kalo ada masalah, nggak usah gini, capek reconnecting terus kalau kamu nggak ada
sinyal atau apalah. Capek ternyata LDR. Nikah aja yuk!
Yureka :
(terdiam)
Eugene :
Halo? Sayang? Aku nggak becanda loh ini. Sayang?
Yureka :
(tertawa kecil). Ini serius? Apa coba ulang?
Eugene :
Ya, intinya kita harus mulai mikirin, hubungan ini mau dibawa kemana. Kita
nggak bisa kan gini terus. Ya karena agama kita, kultur kita, yaa kita nggak
boleh terus-terusan sepuluh tahun gini terus. Ya nggak sih? Ya, kecuali kita
orang Amerika, bebas, bisa tinggal bareng, tanpa mikirin biaya nikah, bikin
anak sebanyak-banyaknya sesuai dengan keinginan, atau apalah.
Yureka :
(Tertawa kecil) Ya, kamu bener. Kita udah pernah bahas ini sebelumnya. Dan ya,
kita harus memikirkan gimana caranya supaya kita tetep bareng tapi ya harus
ikutin aturan yang ada. Isn’t it?
Eugene :
That’s right.
Yureka :
(menghela napas) Kamu pulang dulu ke Indonesia, nanti kita bahas. Gimana? Dan
kalau kamu emang serius, yaa ke rumah ku dong, bawa orang tua kamu.
Eugene :
Berani. Siapa takut?
Yureka :
Tapi…. Apa kita nggak terlalu muda yaa buat ngomongin ini. Aku masih 26. Kamu
24. Kok kayaknya dalam mindset aku,
umur kita tuh terlalu muda buat ambil keputusan kayak gini.
Eugene :
Ya, kita nggak ke penghulu besok juga kali, Yang. Kita masih ada waktu kok
santai aja.
Yureka :
Yeah, you’re right.
Eugene :
Okay. Changing subject! Eh mau tahu
sesuatu nggak?
Yureka :
Apa?
Eugene :
Aku, InsyaAllah, kalau jadi, aku bakalan di kontrak sama salah satu perusahaan interior design di…
Yureka :
Dimana? Jakarta?
Eugene :
Sayangnya masih diluar Indonesia tuh.
Yureka :
Yah. Kamu…
Eugene :
Tapi deket kok dari Indonesia. Deket banget. Kamu bisa kesana kapanpun yang
kamu mau. Tanpa pake visa pula.
Yureka :
Yah luar negeri lagi. Tapi kalau tanpa visa berarti masih daerah MEA ya?
Eugene :
Coba tebak dimana?
Yureka :
Timor Leste kayaknya nggak mungkin. Malaysia? Ih nanti ketemu Adam Wang ah
nggak mau.
Eugene :
Ya ampun masa nyerah. Singapore, Sayang.
Yureka :
Hah serius, Yang? Beneran?
Eugene :
Iyaa. Tapi InsyaAllah, ya. Aku belum bisa janji. Aku masih tahap berkas-berkas
gitu. Ya kontraknya 1 tahun sih. Setidaknya meskipun lebih lama dari kontrak
kerja ku yang sekarang, tapi kan kita bisa agak deketan dikit dibanding ini.
Capek LDR 12 jam tahu.
Yureka :
Yaudah, aku akan selalu doain kamu semoga kamu bisa terpilih jadi interior designernya Singapore punya.
Eugene :
Aamiin.
Yureka :
Eh, Yang, udahan ya. Aku ngantuk. Kamu selamat kerja ya. Jangan lupa sholat. Makan,
makan buah dan sayur dan olahraga.
Eugene :
Sip. Thank you, my Honey Bear. Sleep
well, yah. Bye. Assalamualaikum.
Yureka :
Walaikumsalam.
Ya
gitu deh, percakapan gue sama Yureka. Dan entah mengapa, setelah gue tutup
telepon dan masih santai di kantin sambil menyerutut segelas kopi sebelum masuk
kelas, gue semakin berpikir untuk tetap ingin melangkahkan hubungan kami ke
jenjang yang bener-bener serius. Gue tahu gue masih muda, tapi kalau emang
Yureka jodoh gue, ya kenapa nggak. Ya kan?
…Sepuluh
bulan kemudian
Yureka. Juni-Juli 2020. Jakarta dan Singapore. Masa Depan.
Banyak
hal yang telah terjadi dalam kurun waktu sepuluh bulan ini. Aku semakin
menikmati pekerjaanku di galeri seni di bilangan Jakarta Pusat ini, masih
sering menulis untuk ide-ide cerita FTV yang juga masih menjadi side job-ku, dan hubunganku dengan
Eugene juga semakin lama semakin menyenangkan.
Bicara
soal hubunganku dengan Eugene, aku jadi teringat beberapa waktu lalu dan dalam
beberapa kali kesempatan, aku dan Eugene membicarakan hubungan kami yang akan
dibawa ke jenjang yang lebih serius. Jujur, aku masih takut membicarakan ini.
Di satu sisi aku masih ingin berkarir, terlebih keinginan ku untuk berkarir di
ranah internasional belum tercapai, tapi di sisi lain, aku sudah berpacaran
hampir 2 tahun dengan Eugene. Tidak terasa. Tapi memang kalau dipikir-pikir,
sudah waktunya juga memikirkan hal itu. Ya, mau bagaimana lagi. Tinggal aku dan
Eugene yang menentukan apakah kami benar-benar siap atau tidak. Dan soal
kapannya pun semua ada ditangan kita, dan juga campur tangan dari Yang Maha
Kuasa.
Soal
restu kedua orang tua. Alhamdulillah-nya usahaku dan Eugene untuk saling
mengenal keluarga lumayan berhasil. Berangsur-angsur, aku diterima baik oleh
Tante Mia, Mamanya Eugene, yang pertama kali mempermalukan didepan semua
anggota keluarga Oetomo karena aku makan mie udon terputus tidak seperti orang
Korea yang makan mie atau ramen atau sejenisnya langsung dalam satu tarikan
napas. Ya, namanya juga tidak tahu dan tidak terbiasa. Tapi kala itu aku rasa Mamanya
Eugene sangat ilfil denganku. Tapi
dengan segala daya dan upaya, aku berusaha melakukan pendekatan persuasif
dengan beliau, juga Papanya serta Adiknya Eugene, Genji. Kalau Papanya
untungnya tidak ada masalah, aku malah merasa sangat diterima oleh Papanya. Om
Geni benar-benar pribadi yang ramah dan baik hati yang pernah aku kenal.
Suatu
hari Om Geni berkunjung ke Jakarta karena sedang ada bisnis dengan rekannya,
tapi tanpa mengajak Tante Mia dan Genji. Dan malah Om Geni menyempatkan diri
bertemu denganku ditengah kesibukannya dengan bisnisnya tersebut. Kala itu, Om
Geni menginap di rumahnya di Tebet, ya keluarga Oetomo memang punya rumah di
bilangan Tebet, dan sebelum pulang ke Tebet, ia mengajakku makan malam di salah
satu restoran sushi di salah satu Mall dekat Bundaran HI, dan Om Geni yang
mentraktirku! Alhamdulillah. Aku berbincang banyak disana dengan Om Geni dan
awalnya aku tidak ingin mencurahkan isi hatiku pada Om Geni tentang anak
sulungnya. Tapi ternyata Om Geni sendiri yang memancingku untuk bercerita.
Intinya,
aku memang sayang dengan Eugene. Aku dan Eugene sudah mulai membicarakan
hubungan kami menjadi hubungan yang serius. Dan aku berkata juga pada Om Geni
kalau Eugene itu memang cinta pertamaku dan mudah-mudahan cinta terakhirku. Ya,
memang terdengar sok puitis, tapi ya memang kenyataannya begitu. Tapi ada satu
hal yang masih mengganjal, karena latar belakang keluarga mereka sangat jauh
dari kelas keluargaku. Aku dan keluargaku hanya berasal dari kalangan kelas
menengah, sedangkan Eugene dan keluarga berasal dari keluarga kelas atas.
“Ya,
jadi itu Om, yang sampai saat ini masih membuat saya berpikir ulang, apakah
anak Om benar-benar soulmate saya
atau bukan”, ujarku pada Om Geni.
Om
Geni sempat terdiam. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh beliau saat itu.
Tapi sesaat kemudian, Om Geni mengeluarkan kata-kata, “Kamu tahu tidak, Yureka?
Sebenernya Om nggak boleh bilang ini ke kamu. Ini dari Eugene. Tapi Om sangat
berempati dengan semua cerita kamu tadi. Dan kamu mau tahu? Eugene yang bilang
sendiri ke Om kalau dia benar-benar suka sama kamu. Sayang malah. Om tahu semua
mantannya dia. Mulai dari yang beda agama, oh sering kalau beda agama, karena
Eugene kan dulu tak sekolahkan di sekolah untuk orang-orang Chinese waktu di
Bali dulu. Ya, dan kebanyakan anak-anaknya Non-Muslim semua. Yo, ndelalahnya, kebetulannya, ada yang suka
sama dia, trus dia kan dulu belom paham mana yang boleh ditemenin, mana yang
boleh dipacarin. Ya, akhirnya mereka pacaran. Dan ketahuan sama orang tua
mantan pacarnya itu….”
Aku
memotong pembicaraan Om Geni sesaat, “Kayaknya saya pernah diceritain om yang
ini sama Eugene. Itu pacarnya pertamanya Eugene kan om? Namanya… Janice kalau
nggak salah”
“Ya,
betul sekali. Nah, setelah itu putus. Trus lama dia tidak punya pacar, karena
terlalu sibuk sama sekolahnya. Mamanya yang mendisiplinkan dia sampe
sebegitunya sebenernya. Tapi Eugene memang anaknya sangat rajin dan tanggung
jawab. Sampai dia berhasil masuk SMA Negeri favorit di Denpasar. Nah trus dia
pacaran lagi. Tapi sama beda agama juga. Yang waktu SMA sama yang beragama
Hindu. Ya karena di Bali toh, banyak orang Hindu…”
“Ya,
betul Om. Ya, bukan salah mereka yaa om, Namanya juga yaa kita minoritas
disana. Jadi, ya gitu. Saya paham kok.”
“Ya
betul. Nah, trus lebih parah waktu di Hongkong. Nggak pacaran. Sama sekali.
Tapi adaaaa aja yang deketin. Tapi ya gitu, sama Non-Muslim terus. Bule pernah,
orang Ceko. Yang orang lokal Hongkong pernah. Trus kan Eugene pernah exchange
di Jepang selama satu semester, dan sama orang Jepang yang namanya Michiko juga
pernah deket. Tapi karena Eugene tahu kalau dia pacarin mereka ujung-ujungnya
putus karna beda agama, ya mending cari sekalian sampai yang benar-benar pas.
Ya tho?”
“Ya
Om”
“Nah,
jadi om menyimpulkan, ya memang bukan salah Eugene dia punya wajah China
banget, oriental punya, karena memang dia ada darah China-Korea itu. Tapi ya
namanya hidup ya tantangannya gitu. Om juga dulu sama Mamanya, wuisss yaa kayak
kalian persis. Tapi karena yaa…. sama-sama suka, ya diperjuangkan. Dan yang
nggak setuju kan nggak semua, tho? Siapa? Paling Mamanya Eugene masih
setengah-setengah lah sama kamu. Dan kamu tadi cerita Mamamu juga kurang sreg
sama Eugene karena dia Chinese. Padahal kalo saya ngomong langsung sama Mamamu
sebenernya Om marah loh…”
“Marah
kenapa Om?”
“Lah
wong itu anak saya, dikatain Chino Chino yaa saya marah lah. Saya bapaknya. Dan
yang tadi saya bilang, dia nggak salah punya wajah oriental karena Mamanya asli
dari negeri Ginseng. Ya tho? Jadi Eugene pernah bilang sekali sama saya, gini,
<<Pah, aku kena kutuk atau gimana ya? Kok aku selalu terjebak dengan
wanita-wanita tidak seiman denganku. Karena wajahku begini?>> Ya Om
bilang aja. Ya jangan gitu. Itu mukamu begitu ya Gusti Allah yang paringi.
Harus bersyukur dikasih sehat selamat sama Allah. Ya, mungkin kamu harusnya
bikin mereka jadi mualaf mungkin. Yaa nggak tahu ya kita. Tapi dia memang sudah
geram begitu, marah begitu. Trus dia bilang sama Om <<Yaudah aku di New
York nanti belajar aja yang rajin, biar cewek-cewek tahu aku ini siapa>>
Gitu. Nah makanya dia terlalu fokus, sampai dia lupa cari pacar. Sampai
akhirnya ketemu kamu. Tapi kalau nggak salah kalian sebenernya sudah pernah
ketemu ya sebelumnya?”
“Sudah
Om. Sebenernya pertama kenal Eugene itu waktu ikut seminar. Kami satu kelompok.
Tapi saya nggak suka sama Eugene waktu itu karena dia sombong, sombong banget
Om…”
“Ya
mungkin itu dia kebawa serius belajar makanya terkesan jutek. Jadi dia, anu,
apa namanya, bikin benteng sama cewek-cewek gitu. Tapi kan akhirnya kalian
jadian. Dan Om ikut senang”
“Makasih
Om. Doain aja kita tetap langgeng.”
“Jadi,
pesan Om, pokoknya kalian berusaha dulu, kalian jangan buru-buru. Pikirkan
baik-baik. Kalian masih punya banyak waktu. Nanti untuk pendekatan personal
dengan Mamanya Eugene, Om yakin Mia akan menyetujui hubungan kalian. Karena Om
yakin kalian memang ya cocok. Jodoh lah pokonya”
“Aamiin.
Bisa aja, Om. Makasih banyak ya, Om.”
Setelah bertemu dengan Om Geni, aku jadi semakin
yakin kalau Eugene memang seseorang yang dikirim Tuhan untuk hidupku. Aku tidak
tahu apakah ini benar-benar kenyataan atau hanya mimpiku saja. Bayangkan saja,
siapa yang pernah menyangka aku bisa disukai oleh laki-laki tampan berwajah
oriental yang baik hati dan cerdas seperti Eugene? Belum lagi ternyata dia ini
anak orang kaya, yang kalau menginap di hotel sekelas JW Marriott Essex House
New York saja mereka mampu. Meskipun aku tidak sama kelasnya dengan keluarga
Eugene tapi dengan prestasi yang aku punya, itu yang bisa aku andalkan untuk
menyamai kelas keluarga Eugene. Apapun itu aku yakin seorang Yureka dan Eugene
memang berjodoh.
---
Satu bulan kemudian, aku akan segera berusia 27
tahun. Ya, jangan ditanya itu tua atau tidak, tapi apapun itu, aku bersyukur
sudah banyak pencapaian yang aku dapatkan menjelang usiaku ke 27 ini. Dan untuk
merayakannya, aku berencana pergi liburan ke Singapore menyusul Eugene yang
sekarang kerja disana. Oya, ngomong-ngomong, selepas masa kontrak Eugene
menjadi dosen tamu di Bernard College atau sekolah Arsitektur di Columbia
University, ia diterima sebagai salah satu dari jajaran interior designer muda
Asia Tenggara bersama dengan interior designer muda lainnya dan dikontrak
selama satu tahun bekerja. Sungguh membanggakan!
Dan akupun mengambil jatah cutiku selama lima hari
untuk liburan ke Singapore mulai dari tanggal 27 sampai tanggal 31 Juli. Hmm,
sebenarnya ulang tahunku sudah lewat, tapi berhubung aku baru bisa mengambil
cuti di tanggal tersebut dan Eugene juga mengambil cuti di salah satu tanggal
tersebut akhirnya kami setuju untuk liburan bersama meskipun nantinya ada hari
dimana Eugene harus tetap bekerja sedangkan aku bisa berjalan-jalan sendiri
keliling Singapore. Untung Singapore itu negara kecil, jadi kalau nyasar,
tinggal lihat arah laut saja dan jauhi arah laut kemudian kembali ke daerah
perkotaan. Keren, ya?
Sampai di Singapore, di bandara Changi Airport, ada
Eugene yang sudah siap menjemputku sedari tadi. Aku bisa melihatnya dari
kejauhan. Dengan mengenakan celana bahan hitam, kemeja panjang berwarna krem,
dan rompi coklat muda, plus tidak ketinggalan dengan kacamatanya yang katanya
baru ia beli beberapa minggu lalu, aku akhirnya bertemu dengan kekasih hati
yang sudah sepuluh bulan tidak bertemu. Karena tahu itu si Eugene tampan, aku
pun sontak langsung memeluknya dan menciumnya! Oh Tuhan maafkan kami!
“Aku nggak salah orang kan?”, ujarku pada Eugene.
“Ya, nggak lah?”, jawab Eugene dengan wajah yang
berseri-seri.
“Ya kan yang muka kamu disini banyak”
“Oyaa ya”
“Well. I should
investigate you. Who’s your name, Sir?”
“Hmmm Hendrick”
“What is your
nationality?”
“Singaporean.
No. Hong Kong. No. Taiwanese.”
“Kenapa tadi bisa bahasa Indonesia?”
“Karena saya orang Indonesia. Tada”
Dan kami pun tertawa bersama. Melepas rindu yang terlalu
besar hinggap di hidup kami di sepuluh bulan terakhir. Senang bisa melihat
wajah tampannya lagi. Terimakasih Ya Tuhan!
Eugene oh Eugene. Aku benar-benar masih tidak
menyangka kalau akhirnya kita bisa bertemu lagi. Aku pun memeluknya lagi dan
yang ini semakin erat, sebagai tanda aku masih tidak menyangka bahwa kami bisa
melepas rasa rindu kami seakan membayar hutang-hutang akan LDR kami.
Terimakasih hubungan jarak jauh, Anda membantu kami mengingatkan akan nikmatnya
bertemu melepas rindu yang mendebu-debu. Luar biasa!
---
Eugene. Tanggal-Tanggal Gajian Orang Swasta, Juli 2020. Singapore. Masa Depan.
Gue lagi ada kerjaan di Singapore. Kebetulan kontrak
gue di Columbia University jadi dosen tamu udah abis, dan Alhamdulillah dapet
kerjaan baru di Singapore. Ya, setidaknya gue bisa lebih deket lah jarak LDR
nya sama Yureka, cuma beda 1 jam aja. Dan di akhir Juli ini Yureka mau dateng
ke Singapore! Buat ngerayain ultahnya dia yang ke 27, dan sekaligus gue akan
melakukan sesuatu yang bakalan paling historical
yang pernah ada di hidup gue. Yap, gue bakal melamar Yureka!
Nggak banyak sih persiapan gue. Gue juga nanti cuma
bakal candle light dinner di restoran
gitu deket Fullerton Square, dan nanti bakalan nayangin sesuatu dan bakal kasih
cincin ke dia. Cincinnya juga nggak yang mahal-mahal amat kok, karena gue tahu
Yureka itu orangnya sederhana banget jadi gue bakal nge-treat dia seperti yaa apa adanya dia, dan nggak bakal maksa
meskipun bisa aja gue beliin dia yang rada mahal dan agak kece dikit. But, anyway, that’s not my point, yang
penting rencana ngelamar gue berhasil dan Yureka bakalan nerima lamaran gue. Doain
ya!
Tepat pukul 19.00 gue dan Yureka udah sampe di salah
satu restoran bernama The Lighthouse. Itu salah satu restoran candle light dinner terkece di
Singapore. Gue juga udah observasi dan reservasi sebelumnya dan pokoknya banyak
review yang bilang kalau tempat ini emang cocok buat kencan sama pasangan.
Karena gue udah pesen set dinner menu, jadi kita tinggal nunggu aja pelayan dateng dan
kasih makanan kita. Tapi jangan khawatir, restoran ini restoran Italia dan
tentunya kita berdua pasti bakalan nikmatin banget makanannya karena kami
berdua emang sama-sama doyan makanan Italia.
Makan appetizer,
masih oke. Suasana aman dan tenteram. Meskipun gue udah grogi dari sejak jemput
Yureka di hotel di hari pertama kedatangannya dari Jakarta. Tapi gue harus tetap
berusaha tenang dan nggak keliatan kalau gue mau melakukan sesuatu yang spesial
malam ini. Menu entrée, gue mulai
gelisah, gue lupa gue harus mengeluarkan rencana melamar gue pas abis main course atau pas dessert. Tapi nggak apa-apa, yang
penting malam ini gue bisa ngelamar Yureka. Lebih cepat lebih baik.
Pas makan main
course, nah ini saat yang tepat. Gue baru inget kalo Yureka paling nggak
suka diganggu pas lagi makan. Karena yang mau gue lakukan berikut ini adalah
gue akan kasih unjuk sebuah video di Hape dan Yureka emang paling anti pegang
Hape pas makan.
“Sayang, udah masuk whatsapp aku?”, tanya gue ke
Yureka sambil masih menikmati Spagetti Bolognese.
“Aku nggak tahu. Aku dari tadi nggak pegang hape
lah, Sayang. Kita juga dari tadi ngobrol kan. Kenapa sih emangnya?”, tanya
Yureka balik dan agak sedikit sensi.
“Nggak apa-apa, sih”, jawab gue.
“Emang itu apaan?”, tanya Yureka lagi
“Ada video gitu, bagus banget. Kamu harus nonton”
“Dari youtube. Ya nanti aku liat, ya”
Masih makan main
course, tapi Yureka nggak peduli sama apa yang barusan gue tawarin. Ya, gue
udah tahu sih bakalan begitu jawabnya. Tapi gue harus tetep maksa dia buat liat
video itu segera.
Kemudian menu dessert-nya
dateng. Semoga kali ini berhasil.
“Lihat sekarang aja, Yang, kan udah selesai main course-nya”, paksa gue kali ini
harus berhasil.
“Ya ya, oke oke. Emang apaan sih? Penting banget?
Bentar ya…”
Gue melirik sedikit dan Yureka berhasil mengambil handphone-nya dari tasnya. Lalu mulai
ngecek isi Whatsapp dari gue. Dan… dia berhasil masuk ke link video yang gue
kirim tersebut. Dan dia lagi nonton, sedangkan gue sibuk makan Tiramissu gue
sambil masih nervous tapi sambil
nyiapin sesuatu yang bakalan jadi peran utama malam ini, cincin tunangan dan
sebuket bunga. Kalau bunga nanti bakalan ada pelayan yang dateng nganterin ke
meja kita.
---
Yureka. Periode Orang Swasta Pada Gajian, Juli 2020. The Lighthouse Restaurant
& Rooftop Bar. Singapore. Masa Depan.
Kenapa lagi ini si Eugene?
Aku sedang sangat menikmati makan malamku sambil
ditemani lampu kota Singapore yang nggak kalah indahnya dari Jakarta, dia
memaksaku untuk membuka suatu link video di Youtube dari chat Whatsapp-nya. Aku
tidak berpikir apa-apa, ya, paling saja hanya video-video dari tempat kerjanya
atau apalah.
Tapi yang terjadi adalah, di dalam video itu ada Kak
Anna dan anak-anak Batik Day. Ya, ampun! Sedang apa mereka di dalam Youtube?
Hey, keluar kalian!
Didalam video tersebut ternyata merupakan video
testimonial dari anak-anak Batik Day. Seperti berikut isi penggalan kalimat
mereka :
“Eugene+Yureka di mata kalian?”
Gilang :
Dari awal aku udah menyangka kalau keduanya saling menyukai. Tapi waktu itu
Yureka kelihatannya masih malu-malu gitu. Dan Eugene pun demikian. Tapi pada
akhirnya jadian, tho? Hehehe.
Farida :
Yah, jujur aku dulu gimana gitu liatnya. Soalnya ya kalian tahu aku pernah
naksir Kak Eugene, etapi yaa nggak mungkin lah gue juga udah punya cowok yekan,
jadi gue mengikhlaskan Kak Eugene buat Kak Yure. Kak Eugene sama Kak Yure
menurut gue emang pasangan yang serasi. Kayaknya kompak gitu diliatnya. Semoga
langgeng yaa kalian.
Fikri :
The most romantic couple I’ve ever seen in this earth. That’s it.
Chandra :
Yah, gue nggak tahu musti bilang apa. Nggak, nggak, maksudnya, Yureka kan udah
gue anggep sohib gue banget, Eugene pun demikian, tapi yaa dengan kenyataan
kalian saling mengasihi, gue rasa kalian bener-bener bisa jadi jodoh gitu.
Makanya nggak salah kalau anak-anak Batik Day nyebut kalian pasangan Double Yu.
Eugene-Yureka. Aseeeekk.
Dhimas :
Gue udah nebak sih dari awal, kalau ada chemistry
yang kuat diantara Yureka sama Eugene. Dan dari dulu kita temenan, kalian nggak
bisa bikin lingkaran pertemanan anak Batik Day jadi rusak padahal udah resmi
jadian. Jadi, gue salut banget. Kalian tetep bisa menjalani kisah romantis
tanpa merusak keprofesionalitasan kerja dan persahabatan kita di Batik Day.
Mantap!
Farida :
Makanya, kak Eugene buruan dong nikahin Kak Yureka. Biar anak-anak Batik Day
jadi Bridesmaid sama Best Man buat kalian. Biar ke kondangan bareng. Hehehe.
Kak Anna :
Gue sebagai penanggungjawab atas hubungan mereka alias gue mak comblangnya, gue
cuma bisa ikut seneng kalo… gimana ya. Jadi emang gue udah sering banget
nyomblangin orang, ya ada yang berhasil ada juga sih yang nggak. Nah karena
dari awal gue ngeliat Eugene itu kayaknya dia emang udah demen sama Yureka
duluan, akhirnya gue pancing Eugene buat cerita ini itu dan gue persuasi, dan
awalnya dia males buat ngomong tapi akhirnya dia mau ngutarain ke gue kalau dia
emang ada rasa sama Yureka, dan…. Yureka pun secara tidak sengaja curhat ke gue
kalau dia juga suka sama Eugene. Jadi intinya gue ini jembatan antara keduanya.
Dan menurut gue juga emang ini udah jalan Tuhan buat mempertemukan mereka lewat
gue, dan gue bangga dan seneeeenggg banget tentunya, apalagi bisa liat kalian
jadian bahkan awet sampai sejauh ini. Meskipun didera berbagai macam badai dan
fenomena LDR. Pokonya Tuhan berkati jalan kalian, kalian diberi kemudahan untuk
menyempurnakan perjalanan cinta kalian, dan pokoknya Good luck! I love you guys!
Muach!
To
Yureka…
Eugene :
Yureka Bhanuresmi Cendekia. Wanita yang menyadarkan gue bahwa nggak selamanya
gue boleh berkutat dengan buku dan kampus, tapi ada manusia ciptaan Allah yang
harus dikasihi dan disayangi dan berbagi rasa dan berbagi kebahagiaan tentunya.
Intinya, karena kamu, aku jadi lebih down
to earth, aku lebih bisa ngilangin rasa maluku didepan orang lain, dan yang
terpenting aku belajar banyak dari kamu, belajar berkomunikasi dengan orang
banyak dan juga belajar untuk tetap optimis menghadapi segala kenyataan dalam
hidup. Aku nggak tahu langkah apa yang harus aku ambil setelah ini, tapi aku
tetap akan (tersenyum lebar), sayang kamu, mencintai kamu, menerima kamu apa
adanya, dan aku selalu berharap kamu ngelakuin itu juga ke aku….
Tiba-tiba videonya terputus. Entah memang hanya itu
atau bagaimana. Yang jelas selama menonton videonya aku berkaca-kaca bahkan air
mataku mulai tumpah ruah tepat ketika testimonial dari Kak Anna. Dan saat sibuk
menghapus air mataku, didepanku, Eugene sudah menengadahkan tangannya ke arah
ku dengan sebuah kotak diatas telapaknya, lalu membuka isi kotak yang ternyata
sesuai dugaanku itu adalah sebuah cincin, dan kemudian berkata,
“Makasih ya Sayang, udah nyempetin nonton video
tadi. So, actually this is my proposal….”
Ungkap Eugene dengan masih dengan sekotak cincin ditelapak tangannya.
Eugene berdeham dan melanjutkan perkataannya,
“Yureka Bhanuresmi Cendekia, kamu mau nggak menikahiku? Jadi istriku, jadi
Ibunya anak-anak aku. Dan tinggal bareng secara halal sama aku. Kamu mau?”
Aku lemas tak berdaya. Bibirku bergetar. Ini seperti
yang aku rasakan ketika 30 Oktober 2018 silam Eugene memintaku menjadi
pacarnya. Tapi ini rasanya lebih bergetar lagi.
Aku belum menjawab karena aku belum sanggup
berkata-kata. Tapi di depanku, Eugene, masih dengan kotak berisi cincin, entah
itu jenis perhiasan apa aku tidak peduli, dan ternyata Eugene juga sudah
menyembunyikan sebuket bunga dibelakang punggungnya. Kemudian bertanya lagi
sambil mengeluarkan buket bunga itu,
“Will you
marry me?”
Aku belum bisa menjawab. Lidahku makin membeku. Air
mataku tetap mengucur dengan indahnya. Rasanya campur aduk. Aku menghela napas.
Menghapus air mataku yang masih bertumpahan ke pipi.
Tapi tunggu dulu…
Apakah aku siap dengan semua ini?
- BERSAMBUNG -
=====================================================================
Episode 10 : “The Double Yu”
Yureka. Malam Lamaran. 2020. Singapore. Masa Depan.
Lidahku membeku. Mataku terbelalak. Telingaku
berdenging. Nyeri. Semua terjadi tepat saat Eugene mengatakan “Will you marry me?”
Ya Tuhan ini apa?
Aku bermimpi atau apa?
Aku pikir semua ini hanya terjadi di film-film drama
yang aku sering tonton saja.
Ini sungguhan kan?
“Holy moly.
Ehmmm. Sebelum aku kasih jawaban ke kamu, kamu taro dulu deh mending cincin
sama bunganya”. Akhirnya telah terjadi satu kalimat lengkap dengan anak
kalimatnya yang baru saja keluar dari bibirku yang tadinya kelu tidak bisa
digerakkan.
“Loh kenapa, Sayang?” respon Eugene keheranan.
“I thank to
you that you’ve done this… but… you should know something…”, lanjutku
membuat Eugene agak panik. Aku bisa melihat itu dari reaksinya. Mungkin ia
mengira aku akan menolak lamaran. Belum tahu saja.
Dan keheningan terjadi selama lima detik.
“Eugene… Thank
you for coming to my life. Mungkin kamu udah tahu ini tapi, intinya aku
dulu sempet desperate banget kalau
aku nggak pernah ketemu a person called
<<a boyfriend>>. However, you came. You did. Ribuan kali
dalam penolakan. Ribuan kali kegagalan. Tapi bener memang, kalau mau sukses,
harus gagal dulu berkali-kali. But then,
it’s gonna be worthed. Dan aku harap, that
something worthed is you…”
Ku lihat Eugene hanya tersenyum. Air mataku sudah
tumpah.
“Adam Wang? No
hope. Padahal udah kepedean setengah mati. Nabil? Aku udah ikhlas dua tahun
tanpa kepastian. Atau cowok-cowok lain yang menjauh dari aku tanpa sebab. I know I am not beautiful as other girls. I
am not skinny. I am not glamorous. Itu kata Andrea Sachs di The Devil Wears
Prada sih…”
Ku lihat Eugene hanya melempar tawa kecilnya. Tapi
air mataku makin tumpah.
“Everyone said
I should put make up on. I should lose some weights. But somehow, I don’t care.
I do always believe that somebody will accept me as the way I am. And I think
that somebody is you…”
Ku lihat Eugene masih tetap mendengarku dengan baik
dengan hiasan senyum istimewa di wajahnya.
“So… Parama
Eugene Oetomo. I will. I will marry you for the rest of my life”
“Really?”
Eugene terkejut. Padahal jawabannya diiyakan, tapi mengapa tetap terkejut. Aneh
ya.
“Yes”,
jawabku memastikan.
“You accept my
proposal?”
“Of course”
“Oh My God!”
Aku langsung menghapus air mataku dan Eugene
menyematkan cincin yang sempat ia letakkan di atas meja kami ke jari manisku
dan kemudian memelukku dengan erat.
“Everybody,
we’re engaged! Engaged!” teriak Eugene pada seisi restoran.
Astaga. Aku malu sebenarnya. Tapi seluruh pengunjung
restoran bertepuk tangan dan menyoraki kami. Aku bahkan mati rasa. Tidak tahu
karena terlalu tidak percaya karena ini bukan seperti sungguhan.
----
Beberapa hari setelah malam lamaran di Singapore,
aku kembali ke Jakarta. Eugene tetap stay
di Singapore. Tapi satu bulan kemudian, Eugene membawa keluarganya dari Bali ke
rumahku dan menemui orang tuaku. Ya, meskipun kami sudah bertunangan ala ala
film-film romance, tapi sebagai orang
Indonesia dengan beragam kulturnya, kami juga melalukan upacara pertunangan
yang benar-benar official. Dengan menggunakan batik bermotif keraton bernuansa
putih-coklat serta celana panjang hitam, juga sepatu pantofel yang sepertinya
mahal harganya, Eugene resmi melamarku. Aku yang kala itu menggunakan kebaya
berwarna hitam dengan sedikit sentuhan warna gold dan rok batik bermotif Pring
Sedapur, tidak bisa melepaskan senyuman dari bibirku di hari itu. Lamaran saja
sudah membuat bahagia bukan main, apalagi saat menikah nanti. Dan saat prosesi
lamaran itu, aku masih sering menyadarkan diriku bahwa semua ini benar-benar
kenyataan, bukan lagi khalayan belaka. Aku benar-benar bersyukur. Aku bisa
sampai di tahap ini. Terimakasih Ya Tuhan!
Dengan kesepakatan bersama antara pihak keluarga
Eugene dan keluargaku, dipilihlah tanggal di akhir Januari 2021 sebagai
hari pernikahan kami nanti. Terkesan sangat cepat dan mendadak memang,
mengingat jarak antara prosesi lamaran dengan menikah nanti hanya 5 bulan saja.
Awalnya Ibu dan Ayahku tidak setuju karena terlalu dekat waktunya, tapi Papa dan
Mamanya Eugene akan menjamin kalau lima bulan adalah waktu yang cukup untuk
mempersiapkan semuanya. Alasannya karena lebih baik dilangsungkan sebelum
perayaan hari raya Imlek. Alasan kedua karena Eugene setelah satu tahun kontrak
akan memperpanjang kontrak kerjanya di Singapore dengan mengambil cuti sabbatical selama tiga bulan
diantaranya. Lagipula memang lebih cepat lebih baik kan?
Suatu malam saat aku dan Eugene sedang rapat
membahas acara pernikahan kami, aku sempat curhat ke Eugene soal kegugupanku yang
akan mengalami semua proses ini, khususnya akan menikahi lelaki keturunan
Tionghoa campuran negeri Ginseng seperti dirinya.
“Jadi, bridesmaid
kamu fix ya, Nina, Ine, Kak Anna, sama Farida. Dan aku fix yaa, bestman ku, Kevin, Ha-joon, Gilang, sama
Dhimas”, terang Eugene sambil melihat ke arah catatannya.
“Sip. Kevin itu sahabat kamu waktu kuliah di
Hongkong kan?”, tanyaku penasaran.
“Yap”
“Kalo Ha-joon adeknya Eunha?”
“That’s right.”
“Eh bukannya kamu juga punya sahabat waktu di Jepang
dulu? Yang keturunan Jepang-Rusia itu?” tanyaku lagi sudah seperti anak SD
“Si Akiyoshi? Iyaa dia sahabatku juga”
“Mau diundang juga?”
“Iya harusnya sih tapi aku terakhir chat dia, dia udah stay di Rusia udah lama. Jadi nggak tahu bisa dateng kesini apa
nggak. Ikutan militer gitu katanya”
Tiba-tiba Eugene mendapat pesan Whatsapp dari
Mamanya dan berkata kepadaku, “Oh ya, aku sampe lupa bilang ke kamu, Yang”
“Apa?”
“Mama udah booking
guru les bahasa Korea buat kamu”. Keterangan Eugene membuatku hampir tersedak
teh hijau tanpa gula yang agak panas saat meneguknya.
“Apa? Les
bahasa Korea?”
“Iyaa. Ah aku juga lupa banget mau bilang ke kamu,
Sayang. Jadi, pas Wedding besok,
semua anggota keluarga Kang, alias keluarga intinya Mamaku akan dateng ke
Jakarta. Dan Mama juga ngasih ide buat ngadain upacara resepsi di Incheon juga.
Jadi dua kali Wedding kita. Ehm nope,
tiga jadinya. Jakarta, Bali, sama Incheon. Jadi, akan lebih baik kalau kamu
juga belajar bahasa Korea, nyicil-nyicil dari sekarang. Kan masih banyak
waktu”, jelas Eugene panjang lebar.
Aku terdiam terpaku. Angin Taifun! Rasa gugup makin
mencuat karena aku diminta mempelajari bahasa Lee Minho itu. Aku nonton drama
Korea saja tidak pernah. Ya, pernah sih, satu dua kali, tapi aku bukan
penggemar KPop garis keras yang biasanya sudah fasih bahasa Korea diluar
kepala.
“Sayang? Are
you alright? Ehm, tenang kok Mamaku yang cover semuanya”. Eugene membangunkan aku dari lamunanku.
“Bukan soal itu, Sayang. Tapi. Emm. Sorry. Aku cuma
surprise aja. Aku beneran bakalan belajar bahasa Korea?”, tanyaku lebih
memastikan.
“Ya mau kan? Tenang aja. Guru les ini pasti cocok
sama kamu. Soalnya dia udah jadi guru privat langganan orang-orang Korea yang
ada di Jakarta. Mama juga udah kenal banget sama orang ini. Dan kalau kamu udah
siap, kamu bisa mulai lesnya minggu ini. Atau minggu depan. Ya?”
“Hmm. Oke. Aku pasti bisa”, aku hanya meringis dan
meneguk sisa teh panasku yang sudah tidak terlalu panas langsung ke dalam
tenggorokanku.
Keesokan harinya, setelah pulang kerja, Eugene
mendadak memintaku untuk menemani dirinya dan calon Mama Mertuaku ke salah satu
toko retail perabotan rumah tangga terbesar di daerah Tangerang. Tidak ada
alasan khusus atau acara khusus, tapi katanya hanya ingin kesana saja, siapa
tahu ada yang bisa dibeli untuk menambahi koleksi barang dirumah. Setahuku
rumahnya Eugene kan di Bali. Eh lupa, dia juga punya yang di Tebet. Ya, mungkin
untuk rumah yang di Tebet.
Ngomong-ngomong, ini yang masih tidak aku suka
dengan Eugene, acara dadakan yang sangat ia sukai yang sepertinya tidak akan
pernah hilang dari daftar kebiasaan buruknya. Kalau hanya aku dan Eugene saja
yang berjalan-jalan berdua, aku tidak masalah, meskipun bau kecut sepulang
kerja, Eugene pasti bakalan cuek. Nah ini, ia mengajak serta Ibu tercintanya
dan aku khawatir bau kecut sepulang kerjaku menempel indah dan kecium hingga ke
hidung beliau. Maka, sebelum bertemu sang calon Mertua tercinta, aku langsung
membersihkan diri semaksimal dengan wangi-wangian yang paling semerbak seperti cologne gel yang aku simpan di dalam
tasku.
Sesampainya di toko retail besar itu, aku bertemu
Mamanya Eugene. Kami pun berbincang sedikit. Ya, sepertinya Mamanya Eugene
masih butuh penyesuaian denganku. Ia belum mau bicara banyak denganku. Tapi
pertanyaan besar, kenapa kalau ia masih tidak suka denganku, mengapa ia mau dan
rela menghabiskan uangnya untuk membiayai ku les Bahasa Korea? Berarti kan ia
sudah mulai menerima ku sebagai calon menantunya. Atau ia hanya terpaksa?
Sambil melihat-lihat isi toko retail, kebetulan
posisi berjalan kami adalah Eugene dan Mamanya di depan, sedangkan aku
dibelakang mereka. Serasa seperti majikan dan pembantu kalau seperti itu.
Sepanjang berjalan mengitari toko retail yang
besarnya hampir seperti stadion bola itu, aku mendengar Eugene dan Mamanya
berbincang menggunakan bahasa Korea. Jangankan menguping, mendengar satu kata
saja aku tidak mengerti. Tapi aku jadi berpikir, yang mana membuatku jadi kurang percaya diri alias
minder untuk menikahi anak sulung Tante Mia, dan menimbulkan pertanyaan, apakah
aku cocok jika aku akan menjadi salah satu anggota keluarga Oetomo? Warna
kulit, jelas berbeda. Mereka putih seperti bihun rebus. Aku? Sawo yang matang saja
masih lebih bagus dari kulitku. Yang lebih membuatku minder, adalah ketika
sekelilingku juga sama Chinesenya dengan Eugene dan Mamanya. Ya, Jakarta Raya
memang makin kesini makin banyak punya warga yang oriental seperti keluarganya
Eugene. Nah kan aku jadi makin seperti pembantu dan dua Ibu-Anak itu seperti
majikanku. Ya Tuhan, ada apa dengan hidupku? Mau Kau apakan nasibku Ya Tuhan?
Tolong!
“Yureka, nanti kamu bantu Tante cari tanaman dan pot
yang bagus yaa?”, celetuk Tante Mia.
Sesaat aku membeku. Tidak salah dengarkah aku? Baru
saja Mamanya Eugene mengajakku berbicara?
“Ehmm… Ya, Tante. Nanti aku bantuin”, jawabku sambil
tidak bisa menahan senyum.
Sebelum ke bagian tanaman, kami bertiga melewati
bagian perabotan dalam rumah seperti lampu-lampu, hiasan ruang tamu, dan juga
kasur beserta kawan-kawannya. Melihat perabotan seperti ini aku jadi tidak
sabar ingin menikahi Eugene. Pasti menyenangkan kalau nanti beli perabotan
rumah tangga baru bersamanya. Memilih-memilih barang-barang unik, mungkin
sedikit bertengkar karena mungkin selera kami agak berbeda, terlebih Eugene kan
seorang interior designer, pasti
seleranya lebih tinggi dariku.
“Aku ada telpon. Sebentar ya”, ujar Eugene
mengangkat telpon entah dari siapa.
“Pasti itu dari tempat kerjanya. Orang Singapore
tidak bisa menghargai hari libur atau bagaimana? Sudah tahu Eugene ijin cuti
beberapa minggu tapi masih juga ditelpon”. Tante Mia emosi.
“Mungkin telpon urgent
atau penting, Tante”, jawabku netral.
“Ah coba lihat ini. Lucu ya?”, tanya Tante Mia
menunjuk ke arah bantal berwarna merah.
“Iyaa bagus, Tante. Tante suka warna merah, ya?”,
tanyaku basa-basi menggali informasi dan mencoba mencairkan suasana.
“Ya, saya suka sekali warna merah. Warna ungu juga
sih.”
“Sama dong tante. Saya juga suka warna merah. Tapi
kalau ungu nggak sih. By the way, ini
cocok kalau dipake untuk ruang tamu. Kalopun sofa tante dirumah warnanya lain,
kayak warna crème atau warna muda lainnya, nah ini masih masuk tante. Soalnya
ada corak-coraknyanya dan warna merahnya nggak terlalu merah banget. Jadi
cocok. Elegan.”
“Boleh juga.”
Duh, apa aku terlalu banyak bicara? Ekspresi Tante
Mia begitu aneh setelah ku beri komentar tentang bantal berwarna merah itu.
Jadi, Yureka, sebaiknya tutup mulut mu sekarang!
Di bagian tanaman, aku dan Tante mulai mencari yang
beliau butuhkan. Kali ini aku akan berusaha untuk tidak mengeluarkan satu kata
demi menjaga reputasiku.
“Kalau ruang tamu yang minimalis, kira-kira ini
cocok tidak ya? Ini sih mau Tante taruh di ruang tamu rumah di Tebet. Dan ruang
tamunya nggak terlalu besar.”
Ku ingin bicara tapi aku takut Tante Mia akan ilfil
lagi denganku. Tapi mulutku gatal ingin berkata sesuatu. Duh, serba salah
sekali. Apa yang harus aku lakukan?
“Yureka?” Tante Mia membangunkan ku dari keraguanku.
“Hmmm. Oh maaf, Tante. Kalau ruang tamunya kecil…
bisa pake yang tinggi kayak gini, Tante. Yang daunnya tinggi”, jawabku singkat,
padat dan jelas.
“Kenapa?”
“Saya bukan interior designer kayak Eugene sih,
Tante. Tapi kayaknya kalau pake yang daunnya tinggi, ruang tamu yang ukurannya
minimalis bisa kelihatan lebih keisi. Dan harus pake pot yang ramping kayak…
sebentar… nah ini. Ini cocok kayaknya, Tante. Jadi nggak makan tempat juga
ruang tamunya. Dan ini kan tinggi keatas, jadi pokoknya keliatan lebih full gitu, Tante. Walaupun ukurannya
kurang besar.”
“Selera kamu bagus juga. Oke, Tante ambil yang ini.”
Apa? Seleraku bagus? Jujur tadi itu hanya mengarang.
Maksudnya untuk memilih tanaman tentu aku pikir dengan akal logika, tapi alasan
yang minimalis dan kawan-kawannya itu, aku hanya mengarang bebas. Tapi melihat
Tante Mia sedikit tersenyum dengan pilihanku tadi, aku jadi lega. Entah mengapa
rasa minder yang menghantuiku beberapa jam lalu, terkikis sedikit demi sedikit
dengan kecerdasan yang ku miliki. Ternyata nikmat ya jadi orang pintar.
Indonesia tidak akan menyesal telah memberangkatkanku ke Amerika dua tahun
lalu. Terimakasih, Indonesia!
Ditengah-tengah perbincangan dengan Tante Mia, lagu
“May It Be” milik Enya diputar cukup
keras oleh manajemen toko retail rumah tangga itu. Lagu itu kan sangat jarang
orang tahu. Kupikir toko retail sekelas dunia macam ini akan memutarkan
lagu-lagu hits semacam Adele atau genre musik disko milik David Guetta.
“Ih lagu favorit gue”, sontakku tanpa sadar.
“Kamu tahu Enya?” tanya Tante Mia penasaran.
“Lumayan tahu, Tante. Lagu-lagunya Enya bikin lullaby gitu”
“Kamu tahu darimana? Kan nggak banyak orang tahu?”
“Gara-gara apa yaa. Oh, gara-gara saya terinspirasi
dari tugas saya waktu kuliah S1 dulu, Tante. Jadi lagi bahas politik di
negara-negara Eropa dan salah satunya bahas negara Irlandia. Dan saya jadi
kepingin liburan kesana suatu hari nanti. Trus saya searching-searching penyanyi yang terkenal di Irlandia. Ternyata
Enya salah satunya. Dan ternyata lagu-lagunya enak-enak semua”
“Oyaa? Kamu suka lagu dia yang mana lagi?”
“Storm In
Africa”
“Wah itu sejuk sekali”
“Kalau Tante? Suka yang mana?”
“Tante lebih suka yang… Book of Days”
“Wah itu saya juga suka”
Tidak kusangka, mencuri hati seorang Kang Mi-sook
Ajumma ternyata hanya dengan membahas lagu-lagu yang disukainya. Kalau begini
aku jadi optimis untuk tetap bisa berjodoh dengan anaknya yang tampan itu. Aku
jadi tersenyum-senyum sendiri. Aku bahagia!
----
Menjadi calon istri seorang anak keturunan
Chinese-Korea-Indonesia memanglah tidak mudah. Aku memang sudah berhasil
mencuri hatinya Tante Mia minggu lalu. Tapi tidak sampai disitu. Minggu ini
adalah minggu pertama aku les bahasa Korea secara privat. Gurunya sendiri sudah
di’booking’ oleh Tante Mia karena katanya guru ini adalah langganan guru bahasa
Indonesia orang Korea yang bekerja di Indonesia khususnya di kota Jakarta. Dan
setelah aku kulik, rupanya guru yang berjenis kelamin perempuan ini memang
sudah cukup terkenal di kalangan Instagram. Dan rupanya sudah lama pula aku
mem-follow akunnya. Aku juga lupa
mengapa aku follow dia di Instagram.
Lalu, alasan apa aku follow dia di
Instagram sejak lama? Dan untuk apa pula? Apa jangan-jangan ini adalah petunjuk
sebagai sebuah takdir yang telah digariskan Tuhan kepada aku dan Eugene?
Masih membahas soal les bahasa Koreaku. Belajar
bahasa Korea memang membuat sakit kepala sebelah. Padahal kalau aku nonton reality show Korea kedengarannya tidak
sesulit itu. Tapi rupanya itu memang sulit. Belum lagi aku juga harus belajar
huruf Hangul. Untungnya tidak serumit huruf Mandarin dan untungnya aku tidak
diminta Tante Mia belajar bahasa Mandarin juga. Eh tunggu, siapa tahu benar.
Neneknya Eugene alias Popo kan orang China. Jangan-jangan setelah sesi les
bahasa Korea ini selesai, aku harus belajar bahasa Mandarin untuk menyetarakan
diri dengan keluarganya yang campuran itu. Oh tidak!
Sepulang les bahasa Korea yang dilakukan di salah
satu kafe di suatu gedung perkantoran, aku bertemu dengan tunangan tercinta.
Kami bertemu untuk membahas tamu-tamu yang akan kami undang, serta membahas
detail pernikahan lainnya yang belum sempat dibahas. Mumpung Eugene masih dapat
cuti dan baru kembali ke Singapore minggu depan.
“Gimana tadi lesnya?”, tanya Eugene yang saat itu
menggunakan kaos putih lengan pendek dan celana pendek berwarna coklat muda.
“Curang”, jawabku cemberut sambil menyeruput es Green
Tea Latte.
“Ih curang apanya?”
“Kamu yang anak mix korea, aku yang belajar huruf
Hangul. Kan kamu nggak bisa baca huruf Hangul, yakan? Huh!”
“Alhamdulillah. Aku terbebas dari paksaan Mama.
Soalnya dari dulu emang nggak diajarin huruf Hangul, dan baru disuruh
akhir-akhir ini. Ya, aku nggak mau lah. Buat apa juga?”
“Iyaa jadinya aku yang belajar. Curang kan namanya”
“Nggak apa-apa lah. Hitung-hitung nambah ilmu. Eh
daripada kamu suruh belajar bahasa Mandarin juga hayo”
“Ehh enggak deh makasih. Cukup bahasa Korea aja ya,
Sayang. Yang lainnya, waiting list
aja.”
“Ayo, let’s
talk about our wedding”
“Oooh, our
wedding”
“Untuk jumlah tamu undangan, setelah aku hitung,
dari aku, aku punya… 900an undangan”
“Ih banyak amat. Katanya nggak sampe segitu. Lagian
temen kamu paling berapa sih? Nggak banyak kan?”, aku mulai sensi dengan yang
dikatakan Eugene.
“Ya, you know
Mama sama Papa rekan bisnisnya ada berapa. Temen-temenku sih Cuma… ehmm berapa
nih. Yaa nggak ada 100 malah. Tapi sisanya sodara-sodara sama rekan bisnis
Papa-Mama semua. Kalau kamu emang berapa?”
“Aku cuma 600an gitu. Itu all include saudara, kerabat Ibu-Ayah, sama temen-temenku. Udah.”
“Then, what
are you freaking for? Cuma 1500 orang. That
doesn’t matter, right?”
“What? Eugene,
are you insane? Can we afford a wedding with 1500 guests? Belum lagi
barusan kita bakalan ngadain resepsi juga di Bali sama di Korea juga. Are you really sure kalau kita sanggup
bayar semua ini?”
“Ah for that.
Huum. I have actually news for you, from my mom. Do you want to listen to this
carefully?”
“Okay. Go
ahead”
“I don’t know
how to explain but she said that because I am the eldest son, and I am the
first one who get married, so she can afford for whole these. So…”
“Hold hold
hold… She? What? She? Your mom? Afford this? Our wedding? Eugene, I don’t
understand…” emosiku makin bertambah. Untungnya Eugene bisa menenangkan.
“Listen, Honey.
Dia bilang, dia punya banyak rekan bisnis dan dia nggak mau ngecewain mereka
dengan cuma wedding yang gitu-gitu
aja. So, dia memutuskan, well both Papa
too. That they will treat our wedding. Katanya anggap aja itu hadiah buat
kita. Mama juga bilang, dia pengen nyenengin aku karena aku udah mau jadi
anaknya yang paling baik, nurut, disiplin, dan rajin versi dia. Dengan segala
kesuksesan yang sejauh ini aku dapet, well
I am not that succesfull yet, but she consider that I am that one. So, she is
so proud of me actually. Dan soal fix-nya resepsi di Korea, nggak semua
anggota keluargaku bakal dateng dari Korea ke Jakarta besok Januari, cuma sebagian
aja, jadi akan lebih indah kalau kita ngadain juga disana. Kalau yang di Bali
kan emang lebih privat aja, ya kan? Jadi, sebagai hadiah buat kita, Mama-Papa will treat us, treat our wedding
expenses. 80% of it”
Emosiku mereda. Meskipun masih mengganjal.
“Just relax. Okay?” kata-kata Eugene benar-benar
sangat menenangkanku dan memenangkanku dari emosiku sendiri.
“Okay, meskipun perjanjian awal 50-50, tapi… Yes, I’ll take it. Tapi aku nggak bisa
gitu aja dong. I need to do something for
her. Ya, kan?”, tanyaku memastikan.
“Just be a good daughter-in-law for her. And make
your Korean lesson good as well. Pasti dia akan senang”. Jelas Eugene sambil
mengangkat wajahku dan menyampingkan rambutku ke telingaku.
Yap, Eugene lagi-lagi berhasil membuatku tenang dan
juga tersenyum.
“Tapi, Sayang… Apa kata orang nanti kalau misal
mereka tahu semua ini dibayarin sama Mama-Papa kamu? Nanti mereka kira aku
cewek materialistis lagi”, ujarku lagi masih emosi bernada menyalahkan.
“Ya nggak usah dengerin kata orang. Simple kan?
Sayang, kita tuh pernah tinggal di Amerika 2 tahun, nggak pernah ada budaya
kepoin biaya nikahan orang kan? Emang kamu tanya sama Cassandra berapa biaya
tunangan sama nikahnya waktu itu? Nggak kan?”, respon Eugene yang memang selalu
menenangkan.
“Yaa sih. Dia malah lebih mewah lagi. Anak
businessman Meksiko sih. Yaa, nggak heran. Thank
you yaa, Sayang”, jawabku menghela napas dan mulai tenang juga lega
“Say thank you-nya
sama Papa-Mamaku lah. Jangan ke aku. Aku juga bilang makasih kok sama mereka. I don’t have that much money, Sayang.
Pegawai kontrak kayak aku bayar uang apartemen bulanan aja masih
Alhamdulillah”, lanjut Eugene sambil mencubit hidungku.
Aku hanya bisa membalas dengan senyuman.
“Makan yuk. Laper!”, ujar Eugene sambil merapihkan
sampah-sampah diatas meja yang siap dibuang ke tempat sampah.
“Yuk! Aku yang traktir! Please! Kan kamu udah traktir wedding
kita. Gantian. Yaa, aku cuma sanggup bayarin kamu makan sih. Tapi kamu boleh
pilih makan apa aja yang kamu mau”, seruku padanya.
“Bener yaa? Yaudah. Aku lagi kepengen kwetiau goreng
yang ada di belakang situ”, ujar Eugene sambil menunjuk ke arah kaki lima
persis di belakang gedung perkantoran ini.
“Yakin? Nggak mau sushi kayak biasanya? Atau Italian
Restaurant gitu?”, tanyaku
“Nope.
Mending uangnya disimpen, ditabung buat biaya honey moon kita. Nah kalau yang itu nggak dibayarin sama Papa-Mama
soalnya”, balas Eugene diakhiri tertawa.
“Oke. Yuk. Kwetiau goreng. Gaja!”. Aku menarik tangannya dan keluar dari kafe tersebut.
Ternyata tarikan tanganku dengan meraih tangan
Eugene dibalas baik dengannya dan menjadi sebuah genggaman tangan yang sangat
erat. Menuju ke kaki lima tersebut, aku pun melanjutkan percakapan dengannya.
“Sayang, can I
ask you some questions?”, tanyaku pada Eugene agak malu.
“Sure”,
jawabnya masih menggenggam tanganku.
“How rich are
you? I mean your parents?”
“What?”
“Sorry,
Eugene. But I need to know about this. Soon or late, you are a part of my
family and I am being a part of your family as well. So, I need some other
information about your family. And I swear I won’t tell anybody about this.
Cause I love you from who you are, not your wealth, I mean your parents’
wealth. Because I knew that you bought your iPhone from Columbia Student Loan
Money. And I knew how much money did you have in New York. You so broke,
didn’t you?”
Eugene hanya tertawa kecil.
Setelah itu Eugene menceritakan rahasia terbesar
dalam hidupnya yang tidak pernah diceritakan kepadaku; tentang kekayaan orang
tuanya. Untuk orang yang masih punya rasa kemanusiaan dan akal budi yang baik,
maka pasti tidak akan pernah menceritakan seberapa kaya mereka. Tapi karena
sebentar lagi aku akan menikahi Eugene, maka akan sangat lebih baik kalau aku
tahu semua bisnis yang dimiliki keluarganya supaya aku bisa mengira-mengira
uang yang mereka peroleh untuk membiayai pernikahanku dengan Eugene pada akhir Januari mendatang.
Dengan seksama aku mendengarkan cerita Eugene.
Secara singkat, keluarga Eugene punya beberapa bisnis yang dimiliki sejak
kurang lebih 20 tahun terakhir. Mulai dari toko obat milik Kakeknya yang tetap
berdiri hingga saat ini yang terletak di daerah Glodok, Jakarta Barat. Juga
usaha yang sangat menjadi matapencaharian utama bagi keluarga Oetomo yaitu
bisnis rental mobil di Bali yang sudah ada lima cabang jumlahnya. Belum lagi
toko bahan bangunan alias material di beberapa tempat di Jakarta, Bogor, dan
Surabaya. Atau toko listrik yang sejak Eugene SMP sudah ada dan masih
dipertahankan sampai saat ini. Dan dulu katanya Mama Eugene punya toko souvenir
tapi sudah dipindahtangankan ke pihak lain karena terlalu sibuk mengurus usaha
lainnya yaitu sebuah hostel backpacker di Bali. Nah, sudah kuduga hostel lah
yang menjadi pasokan utama dimana mereka mendapat uang sangat banyak. Dan
katanya akan membuat cabang di Yogyakarta. Dilanjut Eugene bahwa Papanya juga
investasi di beberapa sektor seperti properti dan saham. Belum sampai disitu,
keluarga Tante Mia alias Mamanya Eugene juga ternyata punya bisnis keluarga
yaitu klinik operasi plastik yang cukup profesional dan terkenal di Korea. Oh
ya, belum lagi usaha klinik obat-obatan herbal di beberapa kota di Korea dan di
China juga miliki keluarga besar Kang. Benar-benar mengerikan punya calon
keluarga yang setajir mereka. Semoga aku sanggup menghadapi ini semua.
“Aku fix deh kayak Rachel Chu di Crazy Rich Asians”, kataku sambil
menunggu pesanan kwetiau goreng yang sudah kami pesan beberapa menit yang lalu.
“Siapa tuh?”, tanya Eugene terlihat sangat naif.
“Ah yaa lupa. Kamu kan nggak pernah nonton film. Itu
film tahun 2018 yang terkenal banget. Tentang seorang wanita biasa yang
memacari seorang kaya raya. Tapi cowoknya nggak pernah bilang kalau dia kaya
raya”, jawabku panjang lebar.
“Kenapa?”
“Yaa, karena buat apa dikasih tahu. Kan mencintai
apa adanya. Bukan ada apanya”
“Sama dong. Kamu nggak pernah aku kasih tahu yang
tadi karena aku pengen jadi orang biasa. Biar yang punya uang Papa-Mamaku aja
karena itu usaha mereka. I don’t deserve
that money anyway. Dan aku nerima kamu apa adanya, bukan ada apanya. Kamu
juga kan?”
“Ofcourse…”
“Jadi Rachel Chu itu siapa?”
“Hahaha masih dibahas. Eh tapi ada kesamaan loh
antara aku dan dia”
“Apa?”
“Kita sama-sama almamater NYU. Soalnya di film itu
ceritanya dia professor NYU. Kan aku juga anak NYU”
“Trus pacarnya yang kata kamu kaya raya itu?”
“Siapa ya namanya? Nick siapa gitu. Jadi, dia anak
pebisnis tajir melintirnya Singapore. Trus dia tinggal di New York. Pura-pura
jadi orang biasa dan dia jatuh cinta kepada gadis bernama Rachel Chu tadi. Trus
ternyata Rachel baru tahu kalau Nicknya tajir pas mereka otw ke Singapore dari New York naik first class gitu. Tapi besok kita ke Korea nggak naik first class kan? Kalau iyaa aku kayaknya
pingsan deh”
“Ehmmm. Apa ya? Let
me surprise you”, Eugene menatapku dengan dalam namun penuh kharisma.
“Oh okay, feeling-ku
nggak enak nih. Yeaah, kwetiau nya datang! Selamat makan!”, seruku saat melihat
pesanan kwetiau goreng yang kami pesan sampai di meja dengan selamat.
“Selamat makan. Bismillah”
Percakapan yang awalnya santai lalu berubah sekejap
menjadi pertengkaran sekelas adu ayam kampung yang kemudian menjadi damai
layaknya pasukan Jerman yang mengalah pada sekutu, sampai berakhir di meja
kwetiau goreng, menutup pertemuanku sore itu dengan Eugene sebelum ia kembali
ke Singapore dan melanjutkan pekerjaannya disana.
----
Rintangan memang selalu ada. Apalagi kalau masalah
urusan mempersiapkan pernikahan. Dalam empat bulan terakhir, ada-ada saja
masalahnya. Kemarin-kemarin masalah awkward-nya
diriku dengan Mama Eugene. Belum lagi ternyata kami akan mengadakan tiga kali
resepsi. Lalu ternyata kami akan mengundang 1500 tamu undangan. Atau yang
baru-baru saja terjadi, aku dan Eugene bertengkar cukup hebat soal lokasi foto pre-wedding. Dari awal Eugene memang
tidak suka hal-hal seperti itu, tidak suka difoto yang ala-ala begitu. Dan aku
memakluminya. Tapi kan sayang saja, ini once
in a lifetime, dan aku agak sedikit memaksa Eugene untuk foto pre-wedding, dengan catatan kalau
konsepnya menggunakan konsep paparazzi atau yang tidak terasa seperti difoto.
Jadi bagaimana itu? Ya pokoknya begitu. Dan awalnya juga Eugene tetap menolak,
lalu aku marah, dan kami bertengkar, tidak bicara selama dua hari. Tapi
beruntungnya Eugene reda, dan akhirnya dia mau bicara denganku lagi, dan mengalah,
dan mau untuk foto pre-wedding, dan
bebas menentukan dimanapun lokasi yang aku mau. Tapi sebagai pasangan yang
pengertian, aku juga memberikannya kesempatan untuk menentukkan lokasi yang
mungkin selama ini ia idam-idamkan. Kalaupun tidak, yaa minimal ia terinspirasi
oleh film Walt Disney, seperti Snow White atau Tarzan yang menggunakan konsep
hutan. Oh ya, baru ingat, Eugene tidak suka menonton film.
“Oke. Aku mau fotonya di perpustakaan. Gampang
kan?”, Eugene menelurkan idenya.
“Boleh juga. Oke kalau gitu”, akuku yang menyetujui
ide Eugene tersebut. Yang penting dia mau diajak foto pre-wedding.
“Kalau kamu?”, tanya Eugene.
“Aku dari dulu pengen banget pre-wedd di dalem studio bioskop. Lagi pura-pura nonton film
komedi, adegannya ketawa gitu bawa popcorn sama Green-Tea Latte. Pasti seru”
“Ternyata sesimpel itu. Pantesan dari kemaren
maksa-maksa pengen foto pre-wedd”
“I’ve already
told you, Sir. Kamunya aja nggak mau ngasih kesempatan aku buat ngomong”
“Mau berantem lagi nih? Lapangan mana nih yang kosong”
Perbincangan itu ditutup dengan canda tawa kami,
sepasang calon suami-istri yang sedang merasakan jutaan perasaan yang
menghampiri ubun-ubun kami. Oh ya, ngomong-ngomong, Eugene mendapat libur sabbatical dari kantornya, alias ijin
cuti panjang selama tiga bulan. Aku baru tahu kalau pegawai kontrak baru satu
tahun bekerja bisa mendapat libur sabbatical.
Baik sekali yaa perusahaan tempat Eugene bekerja di Singapore. Eh, tapi jangan
salah, sebagai gantinya, Eugene diminta untuk bekerja disana lebih lama alias
kontraknya diperpanjang sampai dua tahun. Hmm, itu berarti pilihannya ada dua,
aku tetap bekerja di Jakarta lalu nanti aku dan Eugene LDM (Long Distance
Marriage) Jakarta-Singapore, atau aku yang akan ikut pindah ke Singapore dan
cari kerja disana. Apapun hasilnya, bagaimana nanti lah. Melangsungkan akad dan
resepsi saja belum, sudah mau memikirkan hal lain. Kebiasaan sekali kau ini,
Yureka! Yang sudah dekat malah hampir dilupakan, yang masih jauh malah terlalu
dipikirkan. Fokus!
----
Eugene. Satu pekan menuju pernikahan. Januari 2021.
Jakarta. Masa Depan.
Nggak kerasa, satu minggu lagi gue akan
mempersunting cewek idaman hati, Yureka Bhanuresmi Cendekia. Banyak banget yaa
ternyata tantangan mau married. Ada
aja masalahnya. Tapi Alhamdulillah, banyak yang ikut bantu dan support, jadi semua hambatan dan
rintangan bisa teratasi. Yureka juga udah mulai enjoy les bahasa Koreanya. Dan sedikit-sedikit dia mulai praktekin
ngomong sama Nyokap. Jadi nggak sabar pengen ikutan ngobrol sama dia pake
bahasa Korea, apalagi kalau punya anak nanti, pasti seru kalau lagi sarapan
bareng atau makan malem keluarga, bisa ngobrol pake bahasa Korea bareng.
Hehehe.
Eh ngomong-ngomong Korea, hari ini tanggal 23
Januari 2021 hampir semua anggota keluarga Nyokap kayak Kakek-Nenek, Om-Tante,
dan sepupu-sepupu gue, bakalan dateng ke Jakarta. Semua akomodasi dan
transportasi udah diurus sama sepupu gue yang namanya Eun-ha, kebetulan dia
yang paling jago bahasa Inggris dibanding anggota keluarga gue yang lain. Yaa
yang lain bisa sih, dikit-dikit, tapi karena mungkin Eun-ha dulunya kuliah HI,
dan sekarang juga kerjanya masih ada hubungannya sama internasional gitu, jadi
emang udah terbiasa komunikasi pake bahasa Inggris.
Jumlah sanak saudara gue dari Korea yang bakal stay di Jakarta dan Bali buat dateng ke
acara nikahan gue sekitar 12 orang. Mulai dari Arabeoji (Kakek), Pho-Pho
(Nenek), dua Kakak Mama yang pertama dan kedua beserta istrinya masing-masing, Tante gue
alias adiknya Mama yang terakhir beserta dua Anaknya dan suaminya yang bule
Amrik itu, dan dua sepupu gue yang mana anak-anak dari Kakaknya Mama yang
kedua, Eunha dan Hajoon. Selama di Jakarta, mereka akan menginap di The Ritz
Carlton. Lokasinya di area SCBD. Alasan kenapa gue naro mereka semua disana,
pertama karena lokasi acara nikahan gue besok di deket HI, yaa gampang tinggal
searah ke arah Jakarta Kota. Alasan kedua, karena dekat area perkotaan, biar
gampang kalau mereka mau jalan-jalan. Dan yang tidak kalah penting adalah
karena biar nggak repot kalau mereka tiba-tiba pengen makan kimchi atau makanan
Korea lainnya. Yaa, hotel itu deket area SCBD dan di daerah itu ada banyak
restoran Korea yang tersebar. Jadi, urusan perut mereka aman lah kiranya.
Dan hari ini juga gue akan memperkenalkan semua
anggota keluarga Nyokap gue ke Yureka. Semoga nggak awkward kayak waktu makan sushi di New York dulu yaa. Makanya, kali
ini gue nggak mau mereka ketemu Yureka makan sushi lagi, tapi ngajak minum kopi
atau ngeteh aja di Pacific Place Mall, Jakarta di waktu sore sebelum makan
malam, dan kebetulan semua keluarga abis tidur siang karena mereka baru
mendarat di Jakarta tadi pagi. Jadi, sore hari menurut gue adalah waktu yang
pas buat ngenalin calon istri gue ke anggota keluarga gue lainnya.
Dengan pakaian short
dress yang nggak short-short
amat, lengannya juga lengan panjang gitu, berpola bunga-bunga, rambut di catok
lurus dan digerai, sepatu flatshoes
berwarna putih, OH MY GOD!, cewek gue
asli cantik banget. Untung hari ini masih bisa ketemu karena mulai besok gue
udah dipingit alias nggak dibolehin ketemu calon mempelai perempuan karena
masih ngikutin adat tradisi Jawa dari sisi Bokap. Anyway, sumpah Yureka cantik banget. Belum nikahin dia aja gue udah
nggak tahan, gimana kalau udah minggu depan. Hehehe.
Oh ya, tapi Yureka dateng nggak sendirian, dia
dateng sama guru privat Bahasa Koreanya dengan tujuan untuk bantuin dia
terjemahin kalau dia ada yang nggak tahu artinya. Ya, bisa aja sih gue yang
bantuin terjemahin, tapi berhubung sepupu-sepupu gue juga perlu teman ngobrol,
jadi biar Yureka juga sekalian praktekin bahasa Korea yang udah dia pelajarin
dari empat bulan lalu.
Dan pertemuan pertama antara Yureka dan keluarga
besar Nyokap dari Korea, kiranya menjadi percakapan seperti berikut :
Eugene :
So, Yureka, this is my family, maternal
family (gue berbisik pada Yureka dan berkata “Jangan lupa bungkuk”)
Yureka :
(berbisik) Udah tahu. (tersenyum)
Eugene :
Nae milaeui anae yuleka ya.
Yureka :
Annyeonghaseyo. Jakaleuta-e osin geos-eul
hwan-yeonghabnida. (membungkuk)
(semua) :
Oh, daebak! … Jalhaesseo! Gamsahamnida! (membungkuk
bersamaan)
Eugene :
Okay, I will introduce you one by one,
ya. So, this is my Mom and Dad. You already knew right?
Yureka :
Annyeonghaseyo, Om, Tante.
Mama-Papa :
Annyeonghaseyo, Yureka.
Eugene :
Then, the first brother of my Mom, Om
nya aku, Kang Dong-won, istirnya Jeong Hye-jung.
Yureka :
(berbisik) Susah amat sih, Yang namanya.
Eugene :
(berbisik) Iyaa emang begitu.
Yureka :
Annyeonghaseyo. (membungkuk)
Eugene :
And then, another uncle, the second
brother of my Mom, Om Kang Kyung-seok, dan istrinya Lee Sung-min.
Yureka :
Annyeonghaseyo. (membungkuk).
(berbisik lagi) Nama istrinya mending sih nggak ribet.
Eugene :
(berbisik) Yaudah pokoknya emang begitu. And
then, their kids, Kang Eun-ha and Kang Ha-joon.
Ha-joon :
Annyeonghaseyo. Selamat sore.
Yureka :
Selamat sore. (membungkuk). Hi, Eunha.
Eunha :
Hi, Yureka! Finally, we meet!
Yureka :
Yes
Eugene :
And my mom’s sister, Kang Mi-ja, and her
husband Harold. And their kids, Mayer and Olivia.
Yureka :
Hi. (membungkuk). Annyeonghaseyo.
Eugene :
And the one and only, my beloved
Grandparents, Kang Dong-wok and Meiyin Wang.
Yureka :
Annyeonghaseyo. Yureka hamnida.
Bangapsumnida. (membungkuk).
Kakek-Nenek : Annyeonghaseyo, Yureka.
Eugene :
Silahkan duduk. Please have a seat. Anj-ajuseyo. (membungkuk)
Yureka :
(berbisik) Kok kamu nggak pernah cerita kamu punya Om orang bule.
Eugene :
Udah ah.
Yureka :
Kapan?
Eugene :
Eh belom yaa. Ah nggak penting. Aku cerita nanti-nanti aja yaa.
----
Yureka. Hari Pernikahan. Januari 2021. Hotel Kempinski Jakarta.
Hari bersejarah. Jakarta. Masa Depan.
Tidak terasa, sejak enam bulan aku dan Eugene
merencanakan ini, akhirnya hari besar itu tiba. Ya, hari ini adalah hari yang
akan paling dikenang, hari paling bersejarah dalam hidupku. Aku dan Eugene akan
melangsungkan akad nikah. Oh Tuhan, rasanya aku masih tidak menyangka. Aku juga
masih berpikir apakah aku siap dengan semua langkah ini. Apakah aku benar-benar
sudah mampu? Semoga semuanya lancar. Bantulah niat baik kami, Ya Tuhan.
*tok tok tok*
“Yureka, udah siap? Mempelai pria dan keluarganya
udah dateng dan kita harus siap-siap”, seru Ine.
“Okay. Thank
you”, balasku sudah siap dan juga membawa buket bungaku.
Didepan pintu kamar hotel, di lantai 7, ada Kak Anna
dan Farida yang sudah siap mendampingiku menuju ke ruang akad di lantai 3
hotel.
“Ready,
Kak?” tanya Farida
“Bismillah”,
jawabku sambil agak gemetaran.
“Udeh jangan tegang. Dibawa santai aje”, sahut Kak
Anna.
“Lu nikah aja belom, Kak. Emang tahu rasanya nervous mau akad gimana?”, balasku pada
Kak Anna.
“Ya belom sih. Tapi kan emang jangan dibawa tegang.
Biar smooth, lancar. Yaudah, baca doa
aja yang banyak”, lanjut Kak Anna sambil membantuku membawa ekor gaun
pengantinku yang panjangnya hampir dua meter.
Aku mendengar para panitia acara sedang siap-siap,
suara handytalk saling
sahut-menyahut. Tanda di ruang akad sudah siap, dan saatnya mempelai wanitanya
alias diriku diijinkan masuk ke ruang meeting hotel yang menjadi tempat aku dan
Eugene melangsungkan akad.
Sampai di depan ruang tersebut, aku juga masih harus
menunggu aba-aba dari panitia, karena saat aku masuk ruangan nanti, konsepnya
dibuat mirip seperti di film-film yang aku tonton, yakni ada musik yang
mengiring. Yaa bukan musik metal atau hiphop, hanya musik folk Celtic
kegemaranku. Sebelum masuk ke ruangan, aku sesekali melihat ke lingkungan
sekitar. Semua dekorasinya sangat cantik, lebih dari yang aku dambakan. Aku
juga melihat ke arah papan tulis di depan pintu ruang tersebut bertuliskan “Today
: Marriage Settlement (Akad) of The Double Yu (Yureka-Eugene). Wish them luck”.
Aku hanya bisa tersenyum. Ya, akhirnya sebentar lagi Double Yu, Yureka dan
Yujin akan mengakhiri masa lajang kami dan siap menjadi sebuah keluarga baru.
“Musik sudah dimainkan. Ganti. ”, ucap salah seorang
panitia lewat HT-nya.
“Mempelai wanita dan pengiring-pengiringnya sudah
didepan ruangan. Ganti”, balas panitia satunya lagi.
“Ya silahkan”, ujar panitia lainnya lewat HT.
“Silahkan”, salah satu panitia mempersilahkanku
masuk ke dalam ruangan.
Aku pun memasuki ruang akad. Sudah banyak orang didalam
yang menunggu sejak beberapa jam pastinya. Aku hanya bisa melempar senyum
kepada semua tamu undangan. Ketika masuk ruangan, aku ditemani Ayah. Sedangkan
pengiring pengantinku berbaris dibelakang. Ibu dan Kakak-Kakakku juga ada
didalam barisan. Dengan mengenakan gaun putih panjang yang berbahan dasar
brukat yang sederhana namun tetap eksotis, hair-do
yang juga sangat sederhana dan nyaman, aku berjalan di altar menuju meja ijab
qobul. Dari kejauhan aku melihat Eugene dengan kemeja putihnya, dengan hiasan bunga
yang entah apa itu tidak terlalu kelihatannya bentuk bunganya. Ah, tidak
peduli. Aku hanya peduli, di sudut sana sudah ada kekasih hati yang sudah
menungguku untuk segera dinikahi. Tidak lupa juga bapak penghulu dan para saksi
yang juga sudah siap menikahkanku dan Eugene. Ya, jangan salah penghulu kan
bagian terpenting dari acara akad nikah. Kalau tidak ada beliau, maka tidak
akan menikahlah kami.
Setelah sekiranya berjalan sepanjang dua menit, aku
sampai di meja ijab qobul. Duduk disebelah Eugene. Aku gugup. Gugup akan
melangsungkan akad, dan gugup karena Eugene sungguh tampan. Ini serius!
Ayahku yang tadi mengantarkanku juga langsung duduk
di kursi saksi. Ya, karena Ayah yang menjadi wali nikahku.
Acarapun dimulai. Meskipun kegugupan menghampiri,
tapi aku berusaha untuk tetap fokus. Aku sempat keringat dingin. Semoga aku
tidak pingsan. Sangat tidak lucu. Masa di acara pernikahan sendiri aku pingsan.
Yureka, stay awake!
Lalu setelah rangkaian tatanan acara akad, saatnya
pembacaan ijab qobul. Oh Tuhan, aku tidak akan sanggup mendengarnya. Aku takut
Eugene akan salah membaca namaku karena namaku cukup sulit disebutkan. Eh tapi
waktu Eugene melamarku di Singapore, dia hapal nama lengkapku dan tidak salah
ucap. Ah, berarti aku percayakan dia kalau semuanya akan baik-baik saja. Aku
yakin semuanya akan berjalan dengan lancar.
Karena masih tidak sanggup, akhirnya aku menundukkan
kepalaku sedikit dan memejamkan mata sejenak selama pembacaan ijab itu
dilakukan. Meskipun mata terpejam, tapi aku menyimak semuanya. Kata demi kata
yang diucapkan penghulu dan kemudian disusul dengan kata-kata ijab yang
diucapkan Eugene. Aku mendengarkan. Ya, Tuhan ini semua terjadi! Terimakasih Ya
Tuhan!
Tidak sampai seperempat menit, semua orang secara
serentak mengucapkan “Sah!”
Astaga.
Aku sedang tidak bermimpi kan?
Apa benar aku dan Eugene sudah sah menjadi
suami-istri?
Oh Tuhan, bangunkan aku dari mimpi yang keterlaluan
indah ini.
Aku membuka mataku. Kutarik
napasku dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan. Yang ada dibenakku
hanyalah, ya benar ini kenyataan bukan lagi mimpi apalagi imajinasi! Kemudian berusaha menatap ke arah Eugene.
Seperti Musim Gugur Oktober 2018 silam. Setelah semua
‘bombardir’ ini terjadi, aku dan Eugene hanya bisa saling lempar senyum, tidak
bisa berkata apapun karena terlalu bahagia.
“New chapter.
Let’s do it together!” ucap Eugene sambil mengedipkan mata kirinya.
Dan aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Aku bahagia. Kami bahagia. Semua berbahagia.
- BERSAMBUNG KE SEASON 3 -
Lanjut ke Season 3 yuk! Ini dia ---> Kumpulan Cerita Bersambung DOUBLE YU SEASON 3
Comments
Post a Comment