DOUBLE YU SEASON 2 - Episode 8 : "12 Jam"

(Courtesy of Pinterest)

Yureka. Setelah wisuda NYU 2019. New York. Masa Depan.
Setelah drama terkait ketidakramahan serta ketidaksukaan Mama Eugene terhadapku, akhirnya Eugene yang turun tangan. Aku mengatakan semuanya kepada Eugene lewat telepon di malam yang sama setelah aku dan keluarganya Eugene makan sushi di satu meja yang sama tersebut. Eugene pun juga sebenarnya tidak enak dengan kejadian itu. Akhirnya dengan penuh keberanian, Eugene bicara empat mata dengan Mamanya di lobi hotel pagi harinya. Katanya, Eugene sempat dimarahin habis-habisan karena pagi-pagi Eugene sudah membuat mood Mamanya jelek. Tapi, Eugene sudah tidak peduli, dia tetap berusaha meyakinkan Mamanya kalau aku tidak seburuk yang beliau lihat kemarin.
Jadi kira-kira percakapan mereka yang menggunakan bahasa Korea sebagai berikut. Tentu saja ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Katanya Eugene kira-kira begini :
Mamanya Eugene       : Mama bukan tidak suka dengan gadis itu, tapi lihat dong kelakuannya kemarin? Tertawa terbahak-bahak seperti itu. Tidak sopan. Makan mie saja tidak tahu aturannya.
Eugene                       : Ya ampun, Mama, kultur dia kan beda sama kita. Eh, kultur Mama maksudnya. Papa juga sering kan protes ke Mama kalau Papa bikin kesalahan yang nggak sesuai sama kultur asli Mama. Tapi Papa nggak ngelakuin itu sebaliknya.
Mamanya Eugene       : Kamu jangan membandingkan Mama sama yang lain ya, itu beda, Yujin-a.
Eugene                     : Ma, mama tuh udah lebih dari 25 tahun tinggal di Indonesia, masa nggak bisa bedain mana Korea mana Indonesia? Oke gini deh, jujur sama Yujin, Mama nggak suka kan sama Yureka?
Mamanya Eugene       : Buat apa kamu tanya itu? Emang penting? Oh, kamu mau nikahin dia besok? Bener-bener besok?
Eugene                         : Ya, jawab aja dulu, Mama suka atau nggak sama dia.
Mamanya Eugene       : (terdiam)
Eugene                     : Ma, Yujin tahu Mama maunya yang kayak gimana. Kayak Michiko kan? Tapi nggak bisa, Ma. Kayak Janice? Jelas juga nggak bisa. Atau kayak anaknya temen Mama, si Jian. Dari dulu Eugene selalu nge-stuck sama perempuan yang nggak seiman sama Eugene, Mama juga dulu gitu kan sebelum mualaf dan nikah sama Papa? Kenapa Mama jadi mau Eugene sama yang satu ras sama Mama kalau Eugene cintanya sama yang beda ras? Apa bedanya sama rasnya Papa? Oke, Eugene plek kayak Mama, dan tapi Genji plek kayak Papa, jawir banget. Apa salah kalau suatu hari Eugene mau punya keluarga yang kayak gitu juga?
Mamanya Eugene       : (masih terdiam)
Eugene                       : Oke, kalau Mama emang maunya Eugene nggak sama Yureka, Eugene putusin dia sekarang
Mamanya Eugene       : Eh tunggu, Yujin-a. Bukan begitu…
Eugene                   : Kenapa? Fix mama nggak suka sama dia. Ya, kan? Ya, daripada Eugene jadi anak durhaka, nggak mau dengerin kata Mama, mendingan Eugene putusin sekarang.
Mamanya Eugene  : Bukan begitu. Yureka memang tidak punya banyak informasi tentang kebudayaan kita, kulturnya Mama, tapi dia cukup pintar kok waktu membahas apa itu yang waktu kita makan di sushi? Ya, pokoknya. Mama akui dia pintar, seperti yang kamu mau selama ini. Dia juga independent, seperti yang kamu mau, plus dia seiman dengan keluarga kita…
Eugene                   : Trus, kurangnya apa? dimana? Yujin tahu dia nggak secantik Michiko atau Janice atau semanis Novi, tapi Eugene bener-bener nggak liat itu, Ma. Nggak sama sekali.
Mamanya             : Kamu mau tahu? Mama takut Mama belum siap melepas kamu. Mama sebenernya sedih, Yujin-a. Kamu sudah lulus S2, apalagi sudah punya pacar, dan kamu selalu curhat ke Mama kalau kamu sayang sekali dengan Yureka, jadi Mama takut kalau kamu menikah dengan dia dan benar-benar hidup sama dia, Mama akan cepat kehilangan kamu.
Eugene                          : Ya, ampun Ma. Nggak bakal. Eugene akan tetep jadi anak sulungnya Mama yang ngalah pake bahasa Korea tiap kita ngobrol padahal sebenernya lebih nggak capek kalo pake bahasa Indonesia. Yang selalu nemenin Mama nonton “Il-bak Il” sama “Happy Together”. Eugene juga nggak ujug-ujug nikah sama Yureka besok pagi kali mah. Masih ada waktu, Ma. Mama tenang aja, ya.

Demikian lah sekiranya percakapan antara Eugene dan Tante Mia. Hmm, terdengar sangat dramatis ya. Apa semua orang Korea begitu? Seperti yang ada di K-drama? Apapun itu, aku lega karena meskipun Eugene dan Mamanya sudah saling bicara, setidaknya Mamanya tidak cemberut lagi kalau namaku muncul ke permukaan. Tapi aku tidak bisa senang dulu, aku masih harus berjuang membuat yakin keluarganya terutama Mamanya kalau aku ini “The one and only for their eldest son. Be his soulmate
---

Pasca wisuda, keluarganya Eugene kembali ke Indonesia dan meneruskan kegiatan mereka di tanah air tercinta. Sedangkan aku dan Eugene masih menetap di New York, sebenarnya Eugene yang akan menetap lebih lama sedikit dariku. Aku sangat membenci jika mengatakan ini, tapi kenyataannya adalah aku yang harus pulang ke Indonesia duluan. Ya, aku! Kalian tahu apa artinya? Aku dan Eugene akan saling berjauhan, kami akan melakukan LDR. Aku kena karma sepertinya karena dulu meremehkan hubungan LDR antara Farida dan Vito, sehingga ia jadi baper dengan Eugene selama beberapa saat. Dan akhirnya LDR itu datang juga dalam hidupku.
Aku tidak pernah melakukan LDR sebelumnya. Ya ampun bagaimana tidak, aku baru punya hubungan spesial saja di New York, di usia 25 tahun seperti ini. Semoga aku kuat menghadapinya nanti.
Mengapa bisa aku yang pulang ke Indonesia terlebih dahulu sedangkan Eugene tinggal lebih lama di Amerika? Pertama, karena aku telah diterima bekerja di salah satu rumah produksi di Jakarta setelah iseng-iseng mengirim ide cerita untuk FTV di salah satu stasiun televisi swasta di Jakarta dan juga diterima menjadi penulis buku anak-anak di salah satu perusahaan buku anak-anak lokal yang juga berlokasi di Jakarta. Kedua, karena aku anak beasiswa dari pemerintah Indonesia, jadi memang aku harus pulang sesaat setelah wisuda karena aku harus memberikan kontribusi kepada negeriku tercinta.
Ya, meskipun belum mendapat kesempatan berkarir di Amerika terlebih Hollywood, aku justru senang mendapat pekerjaan di Indonesia, hitung-hitung batu loncatan. Toh, suatu hari aku bisa kembali lagi ke Amerika atau bisa ke negara lainnya untuk berkarir menjadi penulis, pada dasarnya memang menulis bisa dimana saja, bukan? Ketiga, Eugene juga sudah mendapatkan pekerjaan di New York. Ia mendapat kontrak enam bulan bekerja menjadi asisten dosen dan asisten lab di Columbia University. Ya, almamaternya sendiri. Yah, meskipun kami akan menjalani hubungan jarak jauh, tapi aku tetap bangga Eugene bisa mendapatkan pekerjaan itu. Siapa yang tidak bangga, ya kan?
Sebelum kembali ke Indonesia, rasanya tidak lengkap kalau tidak mengadakan Farewell Party bersama anak-anak Batik Day. Meskipun tanpa Farida, tapi Farewell Celebration itu harus tetap ada. Tanggal 1 Juni 2019, aku, Chandra, Gilang, Fikri, si pacar kesayangan, dan duo pasangan baru Kak Anna dan Dhimas, berkumpul. Ya, ya seperti biasa di apartemen Kak Anna. Dimana lagi? Untungnya di malam Farewell Party ini, tidak ada lagi permainan “Truth or Dare” atau ajang jujur-jujuran antara sesama mantan pengurus acara Batik Day. Kami malam itu memutuskan untuk menonton film bersama. Film horror yang dipilih Dhimas. Katanya sengaja supaya ia bisa dipeluk oleh Kak Anna kalau setannya keluar. Kalau itu sih memang murni keinginan Dhimas yang ingin dipeluk Kak Anna. Dasar laki-laki.
Setelah filmnya selesai, dan harapan Dhimas terkabul karena akhirnya Kak Anna memeluk pacar barunya itu dengan sangat erat karena Kak Anna sebenarnya memang penakut apalagi kalau nonton film horror. Hmm, ya, Dhimas, ketahuan sekarang kenapa kamu mau macarin Kak Anna. Kemudian, masih di malam yang sama, di malam perpisahan, kami bertujuh sempat terdiam beberapa detik, seakan tidak tahu harus berkata apa, tapi seakan kami tahu kalau ini merupakan malam kumpul-kumpul terakhir di New York sebelum aku dan Gilang yang akan kembali ke Indonesia. Meskipun nanti Batik Day masih ada Kak Anna, Dhimas, Chandra, Fikri, dan Eugene, akan tetap menjadi gank kece anak-anak Indonesia, namun setelah sepi ditinggal Farida, grup ini akan benar-benar sepi tanpa aku dan Gilang. Ah, aku jadi malu.
Guys, please say something”, ujar Dhimas.
“Gue mau ngomong sesuatu!”, jawabku.
“Silahkan Yur”, respon kak Anna.
“Gue mau bilang makasih banyak banget sama kalian udah jadi bagian dari hidup gue di New York selama kurang lebih satu tahun belakangan. Ini kedengarannya emang rada sok puitis sih, tapi beneran. Sumpah kalau nggak ada kalian, gue bisa jadi bete sejadi-jadinya di New York. Temen-temen gue di kampus sih seru-seru, tapi banyak juga yang kayak eek. Trus gue nggak berhasil masuk Permias karena sebenernya emang pengen cari temen orang Indonesia biar nggak kesepian di New York…”
Semuanya terdiam dan aku juga terdiam sesaat kemudian kembali melanjutkan
“… sebenernya gue masuk Permias ada alasannya sih”
“Maksud lu?”, tanya Chandra yang sepertinya paling penasaran.
“Gue daftar Permias waktu itu supaya bisa kumpul sama anak-anak Indonesia, dan… cari pacar…” terangku lalu sempat gugup. Aku tidak tahu apakah aku harus mengatakan ini sekarang. Tapi mumpung ini merupakan momen yang tepat, aku akan menceritakan yang sebenarnya.
Tapi semua terdiam. Lalu aku melanjutkan, “Eh nggak usah cerita deh. Eh… ehmmm”
“Eh nggak papa, Kak Yure. Kita malah nggak pernah tahu. Ayo dong cerita. Kan ini malam perpisahan, malamnya jujur-jujuran, kayak waktu itu”, seru Fikri.
“Ya… jadi… Jadi, jauh sebelum gue ke New York, gue selalu minta sama Allah supaya gue dikasih pacar selama gue sekolah di New York. Gue udah capek sendirian terus, gue pengen selama gue kuliah disini gue ada temennya, biar gue kemana-mana, keliling New York nggak sendirian. New York ternyata keras banget. Dan gue juga minta sama Allah kalau gue pengen punya pacar orang Indonesia aja. Semua temen-temen gue pas tahu gue mau berangkat kesini mereka pada bilang <<Yureka jangan lupa bawa bule yaa. Nanti nikah sama bule aja biar anak-anaknya lucu-lucu>>. Jujur ya, gue nggak mau. Itulah alasannya segimana si Jamie deketin gue, gue tetep bilang nggak. Gue cuma mau selamanya jadi orang Indonesia. Suami gue kelak orang Indonesia, anak-anak gue pun yaa orang Indonesia. Dan, Allah denger doa-doa gue selama ini. Dan sekarang… ada Eugene….”
Semua sorak sorai berkata “Ciyeeee”
Eugene hanya tersenyum lebar dan tetap mendengarkan ceritaku.
“Daaaaan, itu semua berkat Batik Day, berkat Kak Anna. Kalau gue nggak kenal lu waktu itu di KBRI Washington, gue nggak akan pernah kenal kalian semua, dan gue nggak akan pernah juga ada jadi bagian Batik Day, dan nggak bakal pernah ketemu Eugene. So, guys, thank you banget. Thank you juga ya kalian yang udahh ciyeee-ciyee-in gue sama Eugene selama ini. It was really humiliating me, apalagi yang pas waktu di Kanada. Dan gue nggak tahu gimana rasanya jauh dari kalian. Pasti bakal kangen banget. Guys, kita bakalan terpisah 12 jam, guys! 12 jam! Lebay ah. Yaa, pokoknya gue tetep sayang kalian meskipun jarak memisahkan kita nanti”
“To twiiiit”, ujar Chandra sok imut.
“Gue juga sayang sama elu Yur! Peluk peluk!”, ucap Kak Anna.
Akhirnya kami semua berpelukan, mirip seperti dunia Teletubbies yang berpelukan di taman ditemani dengan kelinci-kelinci gemuk penuh kesejahteraan.
Sela beberapa detik setelah berpelukan, Kak Anna juga menyampaikan sesuatu.
“Gue juga mau ngomong. Gue bahagia banget kenal sama kalian”, ujar Kak Anna.
“Bahagia kenal kita atau bahagia akhirnya jadian sama Dhimas, Kak?”, tanya Fikri penuh semangat.
“Fik, tumben?”, protes Kak Anna.
“Kan Kak Anna yang bilang gue nggak boleh diem-diem, musti speak up. Gimana sih?”, protes Fikri sebaliknya.
“Ah tahu nih ibu pertiwi”, respon Eugene.
“Ya ya oke. Pokoknya gue seneng banget bisa mempersatukan kita semua di Batik Day. Sorry yaa, kalau gue marah-marah ke kalian, bossy ke kalian, itu bukan mau gue, gue cuma mau yang terbaik buat kita waktu itu. Dan gue seneng karena meskipun acaranya udah kelar, tapi kita masih tetep kumpul kayak gini, malah makin hari makin lengket kayak lemper…”
“Enak tuh lemper. Hayo bikin yok!”, celetuk Gilang
“Eh diam kau! Gua belom selesai berbicara”, protes lagi Kak Anna tetapi pada Chandra.
“Yo Maap, Kak”, respon Gilang cuma cengengesan.
“Intinya, gue seneng banget kita yang awalnya nggak saling kenal, yaa kenal tapi cuma sebatas kenal aja, trus jadi panitia bareng, trus jadi satu grup paling rusuh, trus bisa jadi sahabat bahkan udah kayak keluarga sendiri kayaknya. I love you full lah pokoknya!”
Dan kami berpelukan lagi. Masih sama seperti Teletubbies yang berpelukan di padang rumput dengan kelinci-kelinci makmur.
Dan malam itu berlalu. Pesta perpisahan sudah selesai. Aku harus meneruskan acara packing-packing di apartemen, Eugene ikut karena membantuku memuat semua barang-barangku yang akan dibawa ke Indonesia. Gilang juga harus packing karena kebetulan kami pulang dengan pesawat yang sama. Wah keren yaa? Ya, tidak heran karena kami beli tiketnya memang bersamaan, alasannya karena supaya saling bantu mengangkat barang kalau sudah sampai di Jakarta nanti, atau nama lainnya, tidak ingin repot. Chandra dan Fikri juga ikut Gilang packing atau mungkin melenceng menjadi main PES bersama. Terserah. Sedangkan Dhimas tetap tinggal di apartemen Kak Anna. Apapun alasannya, aku tidak ingin tahu menahu soal urusan mereka berdua. Mereka, kami semua sudah dewasa, apapun yang akan dilakukan setelah ini, itu bukan tanggung jawab kami bersama.
“Hayoooo, kan ketahuan kalian mau ngapa-ngapain”, celetukku saat mau berpamitan.
“Sssttt. Gue mau bersihin toiletnya Kak Anna”, jawab Dhimas.
“Bersihin toilet atau buang sesuatu ke toilet?”, celetuk Chandra.
“Chandra mulai nih!”, Kak Anna marah.
“Tahu nih, Chan. Udah udah”, lerai Eugene. Si pacar baik hati.
“Udah iyaa udah anak orang jangan diganggu”, ujar Gilang masih dengan aksen Jawanya.
“Eh tapi…”
“Bye Kak Anna, Dhimas, bye!”, semua berpamitan
Have fun, Kak!” celetuk iseng Chandra.
“Sampai ketemu di bandara yaa”, ujarku

---

Senin, Awal Juni 2019, semua anggota Batik Day yang tersisa sudah berkumpul di Bandara John F. Kennedy. Ya, aku dan Gilang akan kembali ke Indonesia, pulang ke tanah air yang selama 2 tahun ini tidak aku singgahi. Ya, dua tahun adalah waktu yang paling lama yang aku rasakan jauh dari rumah. Sebenarnya bisa saja aku pulang ke Indonesia saat lebaran atau libur semester, tapi tiket pesawat New York-Jakarta dirasa terlalu berlebihan, lebih baik disimpan dan ditabung untuk keperluan yang lain. Untungnya Ayah dan Ibuku benar-benar ikhlas kalau anaknya merantau tanpa pulang kampung sama sekali selama dua tahun, alasannya “Ya, supaya fokus belajar”. Ah, bangga sekali punya orang tua seperti mereka.
Ngomong-ngomong orang tua, setelah drama aku mempermalukan diriku didepan orang tua Eugene, kalau kalian mau tahu, sebenarnya Eugene juga pernah dipermalukan oleh kedua orang tuaku. Ya, jadi bisa aku bilang kalau kejadian saat di restoran sushi itu bukan hal yang istimewa diantara hubunganku dengan Eugene. Lebih parahnya, hal-hal seperti itu tidak hanya dari orang tua kami saja, melainkan orang lain.
Contoh paling dekat, Jessica, si penghuni baru alias roommate baruku dan Cassandra. Waktu Eugene mampir kerumah untuk menghabiskan malam minggu bersama menonton Netflix, malam itu juga Jessica ada dirumah. Ketika Eugene akan mengambil minum di dapur, ia berpapasan dengan Jessica. Dan entah dari mana asalnya, Eugene memberi tahuku kalau Jessica secara tidak langsung memandang sebelah mata hubunganku dengan Eugene. Katanya “Kok lu bisa sih jadian sama dia? Lu Chinese kan? Biasanya Chinese sama Chinese juga. Mending sama gue”. Mendengar kesaksian Eugene tersebut, aku langsung sontak menjawab “Kepala udang! Cumi-cumi saus padang! Emang dipikir dia siapa?! Isshhh! Ih sumpah yaa aku bener-bener nyesel nerima dia jadi roommate baru!”
Kemudian Eugene hanya bisa meredamkan emosiku sambil berkata “Udah lah sayang, dia cuma bercanda kali. Nggak usah diambil hati. Aku maklumin juga sih dia ngomong kayak gitu. Ya, if you know what I mean?
What? Because she is Chinese too? Like you? Itu mah udah rasis tingkat internasional namanya, Jin”
Intinya, saat itu aku benar-benar emosi.
Oke, kembali soal reaksi orang tuaku pada hubungan spesialku dengan Eugene. Suatu hari saat aku Video Call dengan Ayah dan Ibuku beserta Kakakku, Ibuku berkata “Eugene itu Chinese ya, Kia? Dia beneran Muslim? Atau Mualaf?”
Semua kritikan Ibuku tersampaikan dengan jelas. Sialnya, saat Video Call aku menggunakan mode loudspeaker, dan lebih pahitnya lagi, Eugene sedang ada di sebelahku sedang main smartphone-nya. Ya, disitulah keluargaku mempermalukan Eugene. Dan saat kejadian makan sushi satu meja itu, akupun dipermalukan orang keluarga Eugene. Entah harus senang atau sedih, tapi kami sama-sama impas!
Dari kejadian itulah, aku mulai pesimis soal hubunganku dengan Eugene, apakah bisa dilanjutkan atau tidak. Aku yang sedari awal sangat bahagia ketika tahu Eugene juga suka padaku sampai akhirnya kami resmi berpacaran, tiba-tiba langsung hilang asa saat Ibuku berkata demikian. Kalau orang tua berkata lain, aku mau apa? Mereka yang sudah membesarkanku, membiayaiku sekolah sampai akhirnya aku bisa lulus S2, dan semua fasilitas yang diberikan, tidak ada harganya ketika aku menjadi anak durhaka, dan aku tidak mau menjadi anak durhaka!
Tapi Eugene selalu bilang, kalau kami harus tetap mempertahankan hubungan ini sampai kapanpun, sampai benar-benar berhasil ke jenjang yang paling serius yang pernah ada, yaitu menikah. Hmm, aku merinding sih mendengar kata “menikah”, sepertinya itu hal yang benar-benar paling serius kalau aku benar-benar melakukannya.
Maskapai Delta Air, tujuan London Heathrow akan boarding dalam waktu 30 menit lagi, daripada telat, akhirnya kami memutuskan untuk berpamitan. Ah, aku benci perpisahan! Semua orang pasti demikian.
Aku dan Gilang berpamitan kepada semua anggota Batik Day. Hah, sedih sekali. Ini momen paling menyedihkan yang pernah ada dalam hidupku. Satu persatu aku memeluk teman-teman Batik Day, mulai dari Kak Anna, Dhimas, Chandra, Fikri, dan Eugene, si pacar yang akan berjauhan denganku dalam beberapa waktu. Dan kepada Eugene lah aku memeluknya paling erat, paling lama.
Take care. Makan tepat waktu. Sholat. Main basket tetep lanjut biar nggak buncit perutnya. Kerja yang serius. Jangan nakal, jangan nakal, dan jangan nakal. Oh, hati-hati sama Jessica. Kalau nggak….”, ujarku kritis.
“Apa?”, tanya Eugene mengejek.
“Aku susul kamu ke New York”, jawabku sambil mencubit hidung Eugene.
“Susul aja. Malah bagus dong”, jawab Eugene yang hampir mengigit jariku yang habis mencubit hidungnya.
“Ih, nyebelin!”
Kami berdua tertawa. Dan sempat melepas pelukan tapi lalu berpelukan lagi.
“Aku nggak tahu kalau nggak ada kamu jadinya gimana, Yang”, terangku pada Eugene.
“Bisa kok. Yaelah cuma enam bulan kan. Pasti bisa”, respon Eugene menenangkan.
Kemudian pelukan Eugene semakin erat, erat, dan makin erat. Pelukan yang erat itu sampai membuatku menitikkan air mata cukup deras dan buru-buru aku menghapusnya. Ketika melepas pelukan itu, ternyata Eugene juga selesai mengelap air matanya. Oh, Tuhan, manis sekali dia! Baru pertama kali aku melihatnya menangis seperti itu. Apakah ini bukti kalau dia benar-benar menyanyangiku? Kalau iyaa, luar biasa!
“Ih udah, nggak usah nangis. Eugene ku, beruang kutubku. Smile!”, ucapku bernada manja.
Eugene hanya membalas nada manjaku dengan tertawa.
Dan semua kesedihan yang tumpah ruah itu harus dihentikan karena aku dan Gilang harus segera boarding karena kalau tidak habislah kami berdua.
Sampai masuk ke security check-in gate, aku dan Gilang masih melihat Kak Anna, Dhimas, Chandra, Fikri, dan Eugene. Kami masih saling melambaikan tangan dan kemudian tidak bisa melihat karena ya kami sudah ada di dalam gate boarding. Bagaimana sih?
“Bismillah. Semoga lancar sampai Jakarta”, ucapku pada Gilang yang mendapat kursi 33-D dan 33-E.
“Aamiin. Sedih ya, ninggalin New York”, jawab Gilang.
“Banget, Lang. Pahit-manis, asam-garam, bau ketek, bau kaki, semua udah dirasain di New York. Nggak ada yang kelewatan.”
“Bener banget. Yahh, mudah-mudah ilmu kita selama kuliah di New York nggak sia-sia yaa, Yur. Dan mudah-mudah kita bakalan bisa balik lagi kesana”
“Aamiin. Good luck for us!”
Saat pesawat kami lepas landas, aku hanya berceletuk sambil melihat ke luar jendela “Good bye, New York”, dan Gilang pun ikut berkata “Bye bye New York. See you again! I’m gonna miss you

---

Eugene. Juni 2019. Apartemen baru. New York. Masa Depan.
Mungkin ini hari yang paling sedih sedunia versi gue. Baru aja gue anter Gilang sama Yureka ke bandara bareng semua anak-anak Batik Day. Kita semua jelas sedih banget. Ya, gimana nggak, temen seperjuangan yang paling naif dan semenyenangkan macem Gilang udah balik duluan ke Indonesia. Ditambah si pacar yang juga ikutan pulang. Dia terpaksa balik karena udah dapet tawaran kerja dari salah satu rumah produksi dan bakalan bikin FTV di Jakarta. Ya, siapa sih yang nggak bangga punya pacar brilian kayak dia? Tapi disisi lain sedih banget karena kita bakalan LDR selama kurang lebih enam bulan kedepan. Gue juga Alhamdulillah udah dapet kerjaan sementara di New York. Ya, itung-itung buat batu loncatan lah. Gue kerja jadi asisten dosen di almamater jurusan gue sendiri tapi untuk tingkat S1.
Kebetulan ada juga orang Indonesia yang jadi tim gue sebagai asisten dosen di Columbia, namanya Jessica. Dia juga yang gantiin posisi Salima, mantan teman sekamar Yureka dan Cassandra yang udah pindah beberapa bulan lalu. Dan semenjak Yureka resmi pindah, kamarnya kosong dan tadinya gue mau nempatin kamar itu. Tapi nggak jadi. Dengan alasan, gue lebih suka satu roomie sama cowok dibanding campur sama cewek-cewek. Dan itu gue bohong. Ya, jujur itu gue sengaja bikin alasan itu. Kenapa sengaja? Ya, karena gue menghindar dari Jessica. Jujur, gue nggak terlalu suka sama dia. Orangnya arogan, sering show off, dan manja. Euhh! Gue paling anti sama cewek manja! Ya, sebenernya nggak apa-apa sih, namanya juga cewek, tapi kalau yang udah keterlaluan gue bener-bener sebel banget.
Nih, contohnya waktu acara inisiasi tim pendidik baru di Columbia, si Jessica suruh ngangkat LCD ke dalam ruangan karena LCD yang udah di install di ruangan tempat acara itu diadain entah kenapa ada kesalahan teknis, jadi gue dan tim baru diminta secara sukarela ambil alat-alat pendukung buat presentasi. Dan kalian tahu gimana reaksi si Jessica? “Emang nggak ada yang lain apa yang bawain? Males deh. Kan berat, itu pasti banyak debunya. Ish”.
What the hell are you thinking about, Lady?
Cuma LCD doang bukan gerobak bakso, kenapa harus sejijik itu sih?
Ah, yaudah lah lupain aja soal si Jessica. Sekarang pahitnya adalah gue hampir tiap hari bakalan liat mukanya di kampus. Ya Allah, kuatin gue!
Tapi menurut kabar angin, si Jessica ini naksir gue? No, bukan maksud gue ambil kesempatan selama gue LDR sama Yureka, tapi justru gue yang takut Jessica yang ngambil kesempatan ini buat deketin gue. Gue sih nggak tahu persis dimana letak signal dia suka sama gue. Justru gue harus cari tahu apa dia bener-bener naksir sama gue atau nggak. Gue akan cari informasinya lebih lanjut.
Oh ya, btw soal apartemen baru. Jadi, dulu selama kuliah, gue tinggal di asrama mahasiswa deket Columbia namanya John Jay Hall. Isinya ya mahasiswa semua karena harga sewanya jelas lebih murah plus deket dari kampus. Btw, dulu sebenernya gue bukan tinggal di John Jay Hall tapi di East Campus dan dulu bentuknya apartemen duplex buat sendiri maksimal dua orang. Tapi gue sempet bermasalah sama roommate gue. Gue nggak akan sebutin namanya dan biodata lainnya, pokoknya orangnya ini jorok banget. Duh pokoknya nggak banget deh. Bener-bener nggak rapih dan nggak disiplin. Akhirnya di bulan ketiga gue pindah ke John Jay Hall dan dapet kamar private. Ini jelas lebih baik dari sekamar berdua sama orang paling jorok di dunia. Ya, sebenernya semua tergantung orangnya gimana sih, cuma di konteks kayak gini, gue nggak bisa tinggal bareng sama orang lain.
Nah, itulah kekurangan kalau tinggal di asrama, lu harus berbagi kamar mandi dan toilet dan dapur. Dan untuk menerapkan hal ini, gue agak bermasalah. Gue emang orangnya jijikan banget. Sebenernya gue nggak bisa sharing bathroom bareng orang lain kecuali keluarga sendiri. Jadi, sempet rada gimana gitu. Tapi enaknya biaya sewanya agak murah dibanding lu nyewa apartemen sendiri atau sharing kayak Yureka. Well, sebenernya sama aja sih, malah Yureka bayar sewanya agak murah sedikit dari gue. Di John Jay Hall, gue musti bayar 8.400an dollar buat satu tahun masa tinggal, dan kalau dibagi 12 jadinya 700 dollar per bulan. Sedangkan Yureka, dia satu apartemen dengan tiga kamar tidur dan all-furnished, dia cuma bayar 500an dollar per bulan. Sebenernya harusnya bayar 800an per bulan karena harga sewanya sendiri 2500 dollar per bulan tapi apartemennya itu sebenernya disewa atas nama Cassandra dan terlebih kamarnya Cassandra yang paling luas diantara yang lain, plus dia install sendiri kamar mandi pribadi di kamarnya, jadi Cassandra dengan senang hati bayarin 300 dollar buat nutupin kekurangan itu. Gila emang beruntung banget jadi Yureka dan Salima yang pernah tinggal disitu sama dia.
Tapi kalian mau tahu apa yang terjadi setelah Yureka pindah? Cassandra memberlakukan sistem sharing uang sewanya dengan bener-bener pas dibagi buat 3 orang. Jadi, semenjak Jessica pindah kesana, dia bayar full 800 dollar. Gue nggak tahu harus seneng atau gimana, tapi kata Cassandra karena Jessica udah kerja, bukan mahasiswa dan pas dia wawancara Jessica dia kurang suka sama tata kramanya yang angkuh dan arogan, jadi dia dengan tega ngasih harga 800 buat Jessica. See? Bukan Cuma gue yang ngerasain kalau Jessica itu arogan. Ya, semoga dia nggak kenapa-kenapa sama Cassandra, karena gue tahu banget Cassey itu orangnya baik banget, jangan sampe dapet kejadian yang aneh-aneh kalau Jessica tinggal disitu.

---

Yureka. Juli-September 2019. Jakarta. Long Distance RelationshipMasa Depan.
Sudah hampir satu bulan setelah kepulanganku kembali ke Jakarta. Rasanya tentu senang sekali bisa kumpul kembali dengan keluarga dan teman-teman serta sahabat tercinta. Dua tahun benar-benar lama ya? Dulu ketika sebelum aku berangkat, aku sempat berkata “Ya, hanya dua tahun”. Hanya? Apa kau bilang Yureka? “Hanya”? Kau ini sudah gila? Dua tahun berarti kau harus melewati dua kali lebaran, dua kali lebaran haji, dua kali ulang tahunmu sendiri, dan berpuluh-puluh kali melihat bulan purnama di langit.
Dan pulang ke Indonesia merupakan hal yang tentunya dinanti-nanti. Tidak hanya keluarga, teman, dan sahabat, tapi makanannya pun juga sudah ikut menanti. Ah, bakso. Sate! Mie ayam! Nasi goreng tek-tek! Es dawet! Nasi uduk tidak ketinggalan! Aku sangat rindu membuat gemuk badanku di pagi hari dengan 240 kalori masuk kedalam tubuh. Hmm, dosa yang paling indah yang pernah kubuat dalam hidupku. Kini telah kembali!
Bagaimana dengan pekerjaanku?
Ya, Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar. Ternyata membuat FTV memang benar-benar melelahkan. Semua kru dan pemain harus berusaha semaksimal mungkin dalam kondisi yang ‘kejar tayang’, meskipun ini hanya FTV bukan sinetron. Tapi ternyata sistem kerjanya juga ikutan seperti jam tayang sinetron. Tapi tidak apa, aku benar-benar menikmatinya. Ini sudah menjadi keinginanku sejak lama, bukan? Dan sekarang aku berada dalam mimpi itu. Ya, bermimpilah, maka mimpi itu akan menjadi bagian dari hidupmu suatu hari nanti.
Bagaimana dengan teman-teman dan keluarga di Indonesia sejauh ini?
Semua baik-baik saja. Aku jadi sering meluangkan waktuku untuk bertemu teman-teman yang sudah lama tak kujumpai. Dan juga mengikhlaskan weekend-ku untuk bertemu dengan sanak saudara. Terutama si Dione, sepupu yang paling resek dan kece yang selalu aku rindukan keberadaannya. Suatu hari di bulan Agustus, sesaat setelah merayakan ulang tahun Dione bersama kakaknya dan kakak-kakakku, aku secara ekslusif, berbincang-bincang bersama Dione seputar dunia percintaan kami. Jujur saja, aku lebih nyaman saat menceritakan isi curahan hatiku pada Dione ketimbang kepada Kakak-Kakakku dan atau Delila, kakaknya Dione. Dan menghasilkan percakapan sebagai berikut :
Yureka            : Jadi, gimana elu sama si bule Denmark itu? Siapa namanya? Arthur?
Dione              : Lah elu bukannya udah tahu? Gue nggak ada apa-apa lagi sama dia.
Yureka            : Lah masa? Bukannya lu udah jadian? Gimana sih?
Dione              : Ya, sempet jalan bareng, tapi abis itu gue yang nembak dia duluan. Trus…
Yureka            : Trus? Diterima? Hmm jangan bilang ditolak?
Dione             : Dia nggak jawab iya atau nggak. Dia cuma bilang “Aku belum siap punya pasangan”. Terlebih dia ada di Indonesia, katanya susah gitu.
Yureka            : Ah, I see. Gue tahu. Udah nggak usah diterusin lagi ceritanya. Udah, jangan sedih. Lu bisa cari bule lain kok. Jamie mau?
Dione              : Ih, yang sok ganteng tetangga apartemen lu itu? Nggak deh. Makasih, Kak.
Yureka            : Iyaa. Oh, atau lu udah pindah haluan ke Oppa-Oppa Korea? Kayak personilnya BTS gitu?
Dione          : Nggak. Gue suka idol, tapi tipe gue tetep bule. Hahaha. Eh btw gimana lu sama Eugene? Masih kan?
Yureka            : Masih dong. Tapi susah ya ternyata LDR.
Dione              : Ye, siapa bilang gampang. Pasti susah lah. Udah gitu, berapa jam bedanya?
Yureka            : Dua belas Jam. Lama banget. Gue udah nangkring di lokasi syuting, eh dia baru mau tidur. Aneh pokoknya LDR Indonesia-Amerika tuh.

Di mobil, perjalanan menuju rumah, hal yang dinanti-nanti pun tiba. Eugene menelponku! Ya, saat itu di Jakarta hampir pukul 10 malam, dan di New York masih pukul 10 pagi. Saat Eugene menelponku, katanya ia sedang menunggu kelas yang akan mulai pukul 10.45. Ya, mungkin diantara kalian sudah ada yang tahu bagaimana rasanya. Senang, tapi sedih karena kami hanya bertemu via suara. Rasanya dada sesak menahan rindu. Berat sekali.
Suatu hari di bulan September 2019, aku benar-benar butuh Eugene disampingku. Aku mendapat hal yang paling buruk yang pernah terjadi dalam karir menulisku. Suatu waktu, aku mengirim semua deadline-ku pada kantor majalah anak-anak tempat aku bekerja selain di rumah produksi yang aku sebut sebelumnya. Ya, aku punya dua pekerjaan memang. Dan ketika aku sudah mengirim semua karyaku sesuai permintaan pimpinan redaksi, dia membatalkan dua dari lima karya yang telah kubuat, dan malah memasukan karya penulis lain ke dalam kolom edisi terbaru. Persetan! Siapa sih penulis itu? Sombong sekali mau menggeser karyaku?! Ya, aku tahu aku kan baru tiga bulan kerja disana, dan mungkin si penulis ini sudah senior. Tapi kan tetap saja aku kesal! Ditambah, si bos pimpinan redaksi tidak memberikan alasan yang jelas mengapa dia membatalkan dua karyaku tersebut. Padahal dua karya itu adalah karya-karya yang paling aku suka, mulai dari ide ceritanya, karakter, dan alur ceritanya. Aku pun membuatnya dengan sangat hati-hati karena memang cerita anak harus menggunakan bahasa yang paling sederhana sesederhana dan semenarik mungkin. Belum lagi butuh berhari-hari untuk merampungkannya. Dan sekarang itu harus dicoret dari daftar edisi bulan ini?! Keterlaluan! Anak kambing!
Saat tahu pimpinan redaksi membatalkan karyaku untuk diterbitkan, aku yang sangat emosi langsung menelpon Eugene untuk sekadar meminta empatinya dan meminta sarannya apa yang sebaiknya harus aku lakukan. Saat itu, aku pulang menggunakan kereta dari kantor redaksi di daerah Jakarta Barat pukul 9 malam, aku berusaha menelpon Eugene. Berarti di New York sekitar pukul 9 pagi. Ah, masih pagi, pasti dia sudah bangun tapi belum berangkat mengajar. Tapi sialnya, telponku tidak diangkat. Sudah aku coba sebanyak 12 kali menelponnya dan tidak juga diangkat. Aku chat pun, belum di baca olehnya. Emosiku sudah benar-benar diujung kepala, panas! Kenapa sih semua orang sama saja?! Tidak ada yang mau peduli padaku? Tidak ada yang mempedulikan kalau aku butuh semacam kata-kata “Everything will be okay, Yureka”, bahkan tidak ada dari pacar sendiri.
Sampai dirumah, aku benar-benar masih kesal. Akhirnya aku tumpahkan semuanya pada Ibuku. Dan ya jawabannya memang sudah ketahuan, hanya bilang “Yaudah nggak apa-apa, ceritanya bisa disimpan untuk di taro di blog kamu. Malah bagus kan?”. Ya, memang ada benarnya juga. Tapi karya itu sudah seperti anakku sendiri yang sudah kutulis dengan sepenuh hati dan cinta, tapi ketika bosku sendiri tidak menghargainya, jelas aku sakit hati.
Saat sudah mau tidur, sekitar pukul 12 malam, Eugene baru membalas Whatsapp dan menelponku balik karena di New York sudah jam makan siang, jadi mungkin dia baru ada waktu untuk membalas pesanku dan juga menelponku.
“Walaikumsalam! Apa? Mau nanya “Kamu baik aja-aja sekarang, Sayang?” Udah telat tahu!”, jawabku langsung marah-marah.
“Ya ampun, Sayang sabar dulu dong. Aku tadi nggak bisa angkat telpon karena di lab. Kan kamu tahu gimana kalau di lab. Lagian aku udah bilang kan kemarin kalau minggu ini bakalan banyak ke lab sama outing, jadi bisa aja aku slow respond”, jawab Eugene penuh kesabaran.
“Ya, aku tahu, Sayang, tapi aku tuh bener-bener emosi banget dan aku butuh kamu buat dengerin cerita aku!”
“Ya maaf. Tunggu deh, kok kamu jadi gini sih? Ini bukan Yureka yang aku kenal loh”, ujar Eugene berbalik emosi.
“Kok kamu jadi nyalahin aku sih? Aku tuh cuma kangen sama kamu. Kangen sama kamu yang biasanya nenangin aku kalau lagi bad day gini”
Eugene terdiam.
“Aku tahu ini lebay banget kedengerannya, tapi, kamu tahu aku nggak pernah kayak gitu dulu-dulu. Dan setelah ada kamu, aku bisa lebih calm down tiap kali aku punya masalah karena selama kita masih di New York, kamu pasti ada disitu, kalau aku lagi bad day banget. Sekarang? Nelpon kamu aja susahnya minta ampun.”
“Nah, itu lagi yang dibahas! Aku udah bilang, nggak usah usik lagi masa lalu kamu. Terakhir kamu curhat kamu ketemu mantan… mantan friendzone kamu di café deket kantor kamu dan kamu langsung mewek-mewek jadi keinget masa lalu. Oh, sama Adam Wang juga! Kamu dateng ke pernikahan mereka minggu lalu dan kamu curhat panjang lebar dan cerita lagi soal yang di Penang itu ke aku. Sayang, aku bukannya nggak mau dengerin curhatan kamu, tapi cukup sekali aja dong kamu ceritanya. Moving forward, not step backward, kenapa sih?”
“Hello, kok kamu jadi marahin aku. What’s wrong with you, Parama Eugene Oetomo? Hah?”
“Ya, aku cuma nggak mau kamu jadi inget lagi sama masa lalu kamu. Sekarang cuma ada kita, aku sama kamu. Yureka sama Eugene. That’s it. Kalo kamu emang ada uneg-uneg, yaudah cerita aja nggak usah mengharap orang lain bakalan selalu ada di posisi kamu. Semua ada baiknya kok. Please, you’re just whining about your stuffs
What? I am whining? No. This is not whining, ya, I am telling you. I just….
“Apa?...”
Tiba-tiba ditengah pertengkaran hebat itu, ada suara yang sepertinya sangat familiar.
“Eugene, aku balik duluan yaa ke lab. Nanti selesai kelas, jangan lupa jam 5 sambil dinner bareng”
“Okay”, jawab Eugene terdengar.
“Siapa itu? kayaknya aku kenal suaranya. Oh My God, don’t say that is Jessica. Kamu ngapain bareng sama dia? Dinner? What?”, tanyaku masih emosi.
“Ya ampun. Cuma dinner doang sambil ngomongin kerjaan, gitu doang dipermasalahin kenapa sih? Kamu bener-bener yaa, mulai jadi childish gini. Gini ya, Yureka, kamu yang bilang sendiri aku yang paling cemburuan, sekarang kebalik, kamu yang cemburuan! Udah aku harus balik ke lab lagi. Nanti aku telpon lagi. Assalamualaikum!”
Eugene menutup telpon.
“Eugene! Halo! Eugene!”. Aku masih emosi.
Dan aku baru saja merusak hidupku sendiri. Pekerjaan kacau, bertengkar hebat dengan pacar, apa lagi?
Aku benar-benar butuh seseorang yang bisa menenangkanku, untuk sejenak saja, lima menit saja. Dipeluk, dimanja, diperhatikan. Ya, Tuhan, kenapa ini berat sekali? Mungkin aku terlalu lelah, aku butuh tidur. Ya, besok aku harus kembali bangun dengan kondisi yang segar bugar, karena besok harus syuting lagi. Semangat, Yureka. Kamu pasti bisa melewati ini semua.
---
Keesokan paginya, aku bangun dengan kondisi yang lebih baik, tidurku semalam pun sangat nyenyak, dan terpenting adalah aku mulai melupakan kejadian semalam. Tapi tidak jadi, mood-ku pagi-pagi rusak kembali karena satu informasi baru yang ku dapatkan dari Kak Anna. Ada delapan notifikasi dari satu chat. Dan setelah ku intip, itu Whatsapp dari Kak Anna yang kalau diintip ada kata-kata “Pokoknya I am with you, Yur”. Aku yang sedang menyantap lontong isi oncom sambil menunggu kereta ke arah Tanah Abang, langsung kaget sekaligus lemas melihat isi Whatsapp Kak Anna tersebut. Kira-kira berbunyi :

“Semalem gue ke apartemen lu
Ngukur badannya Cassandra buat bikin baju Dinner Rehearsalnya bulan depan.
Trus pas udah dibawah pas nunggu taksi, gue lihat ada Eugene masuk ke apartemen lu
Baru balik dari mana gue gatau.
Tapi ada Jessica juga disitu
Eugene seemed so drunk in that moment
Dan dia ciuman sama Jessica!
Gue awalnya nggak percaya
Tapi gue yakin itu Eugene
Gue akan cari tahu lebih lanjut. Lu tenang aja
Pokoknya I am with you, Yur”

Ya, Tuhan, ada apa ini? Apa lagi ini?
Aku baru saja terkena badai dari tempat kerjaku, dan sekarang Eugene?
Katakan apa ini Ya Tuhan?!
Beri tahu kalau ini mimpi bukan yang sungguhan…

- BERSAMBUNG -


Lanjut Episode 9 --> Double Yu S2E9

Comments

Popular posts from this blog

Kumpulan Cerita Bersambung : DOUBLE YU - SEASON 1 (karya Yulia Sutjahjono)

"Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan)" Part 2

Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan) Part 1