DOUBLE YU SEASON 2 - Episode 7 : “Sushi Satu Meja”

(Courtesy of Pinterest)

Yureka. Musim Semi 2019. New York. Masa Depan.
Waktu cepat berlalu. Masih dingin. Menggigil. Padahal sudah mau masuk musim semi. Tapi beberapa tahun belakangan memang seperti ini, tidak teratur. Mungkin efek pemanasan global. Menyeramkan. Tapi aku akan selalu rindu musim dingin. Saljunya. Cantik. Tidak pernah lihat sebelumnya dalam sejarah hidup sebagai seorang Yureka Bhanuresmi Cendekia yang lahir dan dibesarkan di Cinere dengan segala drama ibukota dan ketek-bengeknya, lalu tahu-tahu di usia 24 tahun terbang ke negara adi daya sekelas Amerika Serikat, terlebih diijinkan Tuhan hidup merantau di kota raksasa seperti New York.
Bukan hanya musim dingin yang akan segera berakhir, tanpa dirasa, studi pascasarjanaku juga sebentar lagi akan segera berakhir. Sebelum tanggal 5 April, aku harus sudah mengumpulkan tugas akhirku. Karena aku studi di jurusan kepenulisan drama, maka yang aku lakukan adalah membuat sebuah karya atau tulisan. Ya, iyalah, masa membuat penelitian tentang tanaman kaktus. Tidak ada hubungannya sama sekali. Aku serahkan pada yang profesional. Siapa tahu kaktus suatu hari nanti bisa direbus dan dijadikan camilan sehat. Siapa tahu.
Setelah kejadian jujur-jujuran di apartemen Kak Anna beberapa waktu lalu, dan prasangka ku pada Farida juga akhirnya terbongkar, dan ternyata Chandra pernah suka padaku, ah ya dan juga kembalinya Adam Wang yang menggemparkan seluruh jiwa dan raga, setelah semua itu selesai, semua berjalan normal. Sejauh ini tidak ada hal-hal yang “ada-ada saja” yang terjadi dalam hidupku. Hidup bukan soal leha-leha, aku juga punya masalah baru, tapi aku sudah cukup bodo amat soal itu. Soal roommate baru yang datang beberapa hari setelah peristiwa “Double Date” antara dua pasangan, Aku-Eugene dan Adam-Tiara. Roommate tersebut adalah seorang asisten dosen Eugene di kampusnya, bernama Jessica. Kebetulannya Jessica ini juga orang Indonesia.
Bagaimana bisa ada roommate baru orang Indonesia?
Jadi, setelah Salima pindah ke Boston sebelum Natal tahun lalu, lalu Dominico, adiknya Cassandra yang menggantikan selama satu bulan, lalu awalnya ada satu calon penghuni yang akan tinggal di apartemenku terhitung bulan februari, tapi entah ada masalah apa, ia tidak jadi menempati kamar kosong tersebut. Hingga suatu hari, Jessica, mencari apartemen berbagi, berapapun harga sewanya dan dimanapun lokasinya, ia akan ambil, karena ia terpaksa harus pindah, lebih tepatnya diusir oleh manajer apartemennya yang lama karena ia juga ada masalah dengan roommate-nya terdahulu. Intinya Jessica butuh apartemen secepatnya. Lalu, saat Eugene ke kampus dan entah bagaimana Eugene tidak pernah memperhatikan kalau Jessica itu orang Indonesia, dan mereka berkenalan di perpustakaan kampus, lalu ngobrol-ngobrol dan Jessica cerita dan lalu Eugene menyarankan agar Jessica berbagi apartemen denganku dan Cassandra. Tanpa berpikir panjang, beberapa hari kemudian Jessica secara resmi menjadi roommate-ku dan Cassandra. Sejauh ini semuanya aman, karena aku tidak perlu repot belepotan menggunakan bahasa Inggris kalau mau menjelaskan sesuatu kepada Jessica tentang apa saja yang ada di apartemen, jadi semuanya berjalan dengan lancar.
Tapi ada satu hal sih yang membuatku cemas, selalu cemas. Amit-amit, kalau-kalau Jessica jadi kesemsem dengan Eugene. Secara Jessica itu juga keturunan Chinese, dan dia jomblo! Bisa saja kan kalau khilaf, tidak memperdulikan apakah Eugene punya pacar atau tidak, dia bisa mengambil Eugene dari genggamanku. Tapi Eugene sudah memperingatkan ini kepadaku agar aku tidak perlu khawatir, ia akan baik-baik saja dan berusaha tidak akan terpikat pada kecantikan Jessica yang memang cantik itu. Ya, semoga saja tidak akan terjadi apa-apa diantara mereka. Semoga.
Ngomong-ngomong soal Eugene, bagaimana hubunganku sejauh ini dengan dirinya?
Ya, yang ku bilang tadi, meskipun ada kasus kejujuran soal Farida naksir Eugene, dan atau Chandra naksir diriku, tapi setelahnya kami saling maaf-maafan, seperti lebaran. Semua kembali dari nol. Aku dan Eugene pun kembali seperti biasa, seperti pasangan pada umumnya, saling membalas pesan, saling telpon dan menanyakan hal-hal yang kadang-kadang tidak penting, atau jalan bareng tiap malam minggu, ribut-ribut kecil, dan lain sebagainya. Tapi memang akhir-akhir ini aku hanya bertemu Eugene satu minggu sekali, kalau tidak di hari Sabtu, ya Minggu, karena kami hanya punya waktu di akhir pekan, mengingat Eugene makin sibuk dengan tesisnya, dan aku juga harus menyusun tugas akhir sebelum deadline tiba. Meskipun jarang bertemu, tapi dari kesibukan kami, aku jadi belajar menghargai privasi masing-masing. Jadi tahu juga bagaimana rasanya kangen, yang lama tidak jumpa lalu satu minggu kemudian bertemu lagi, malu-malu lumba-lumba lagi, dan ketemu bertemu rasanya dunia hanya milik berdua.
Suatu hari, di akhir Maret lalu, tepatnya di hari ulang tahun Eugene yang ke 24, di tanggal 20 Maret 2019, kami yang sudah hampir 2 minggu tidak bertemu, aku membuat kejutan untuknya, dengan tiba-tiba menghampirinya ke asrama dan membawa kue serta hadiah untuknya. Anak-anak Batik Day juga ikut serta kala itu, kecuali Farida yang memang sudah kembali ke Indonesia. Jujur, saat itu adalah hari terbaik yang pernah ada dalam hidupku. Bayangkan saja, terakhir bertemu tanggal 3 Maret dan kala itu kami hanya nonton ke bioskop bersama, lalu setelahnya kami benar-benar disibukkan dengan tugas akhir masing-masing. Ternyata begitu ya rasanya menahan rindu, hingga mendalam, lalu ketika bertemu rasanya matahari seperti bersinar begitu terang, burung-burung bernyanyi dengan syahdu, dan… hey tunggu, sejak kapan burung bisa bernyanyi. Maksudnya berkicau. Ya, kira-kira begitu.
Dan ternyata kejutanku untuk Eugene dibalas olehnya yang mana satu hari setelah hari ulang tahunnya dan juga satu hari setelah hari pertama musim semi, Eugene yang tiba-tiba mengirim Whatsapp “Sayang, aku lagi di Washington Square loh. Nanti ketemuan ya”. Dalam hati aku hanya bertanya “Ngapain si beruang kutub ke kampus gue?”. Ngomong-ngomong panggilan kesayangan kami berdua adalah “Beruang Kutub” dan “Beruang Madu”. Hehehe. Alay ya. Ah tidak apalah. Dari pada “Ayah-Bunda”. Iyuuuh, menjijikan.
Oh, ya sampai mana tadi? Jadi, tadinya aku mau menghiraukannya karena di hari itu aku benar-benar sibuk di kampus, tapi karena aku tahu kami jarang bertemu, akhirnya aku mengalah, aku menghampirinya di Washington Square Park, taman kota yang sangat dekat dengan kampus NYU, untuk menemuinya.
Aku tahu Eugene memang suka yang dadakan, tidak seperti aku yang sangat terencana, dan aku sebenarnya tidak suka hal-hal yang mendadak seperti ini, tapi mau bagaimana lagi, aku menghargai Eugene yang sudah jauh-jauh dari Columbia University untuk menghampiriku ke NYU. Mau tahu apa yang terjadi? Hari itu aku sebenarnya baru saja menyelesaikan bimbinganku ke salah satu dosen yang sedang bertugas di Comedy Cellar, sebuah tempat untuk menonton pertunjukkan komedi, karena tugas akhir ku menyangkut soal teater bergenre komedi, jadi selesai bimbingan di Comedy Cellar, aku langsung buru-buru ke Washington Square Park untuk menemui Eugene yang sepertinya ia sudah menunggu cukup lama disana.
Mau tahu apa yang dilakukan Eugene disana?
Saat aku menghampiri dirinya yang sedang duduk di pinggiran air mancur, ia bersembunyi di balik sebuket bunga Irish, bunga kesukaanku, sambil berkata “Happy first day of Spring, Sayang!”
OH MY GOD! Itu adalah hal paling romantis yang pernah dilakukan Eugene kepadaku selama kami pacaran. Aku tidak tahu kalau Eugene seromantis ini. Ya, aku tahu sih dia memang romantis, seperti membuatkanku masakan China saat kami malam mingguan dan dalam keadaan kantong kering. Jangan salah, itu juga romantis, loh. Aku harus menghargai usahanya.
Tapi soal ia memberikanku bunga, hmmm memang bukan yang pertama kalinya. Ini yang kedua kalau tidak salah. Yang pertama saat kami lari sore bersama di Central Park, dan saat kami saling menghilang, ternyata tiba-tiba ketika kami bertemu di titik kumpul yang telah ditentukan, Eugene memberikanku sebatang bunga mawar dan tidak berkata-kata apapun, hanya bilang “Ini buat kamu”. Tapi apapun itu, itu adalah hal yang sangat amat manis yang pernah aku dapatkan.
Oh, itu bukan yang kedua, melainkan yang ketiga, dan yang kedua adalah saat kami janjian makan sushi bersama di Bronx. Kala itu adalah ajang ‘gencatan senjata’ kami karena kami bertengkar hebat setelah kasus Dominico waktu itu. Dan di restoran bernama “Dishari” itu, saat kami menunggu pesanan datang, tiba-tiba Eugene mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan memberikan sesuatu itu kepadaku sambil berkata “Tadaaaa. Untuk Beruang Madu paling cerewet di dunia”. Air mataku sempat berlinang dan pecah, tapi aku tahan, karena malu saat itu banyak customer, jadi aku tahan saja. Tapi aku benar-benar bersyukur aku punya pacar sebaik, seperhatian, dan seromantis Eugene. Semoga hal ini tidak berlangsung saat kami pacaran saja, aku ingin seperti ini sampai ke arah yang lebih serius.
Bicara soal hubungan yang serius, aku dan Eugene telah membicarakan ini beberapa kali. Kami sepakat untuk tidak memikirkan hal itu terlalu dalam, takut konsentrasi kami soal tesis dan tugas akhir pecah karena tekanan itu. Tapi namanya juga menjalani hubungan, pasti mau tidak mau, serius atau tidak serius, pasti ada momen dimana kami memperkenalkan pacar ke orang tua masing-masing. Dan ini yang sangat membuatku gugup bukan kepalang.
Suatu hari, saat jadian baru jalan dua bulan, Eugene memperkenalkanku pada Papa-Mamanya, juga adik kesayangannya, Genji. Oh ya, termasuk pengasuh Genji dan supir pribadi keluarganya, Suster Eli dan Om Yayan. Sesaat setelah jadian, Eugene memberitahukan hal itu pada orang tuanya, namun sayangnya Mama dan Adiknya kurang menanggapi hal itu dengan suka cita. Tapi untungnya Papa dan supir pribadinya kebalikannya, mereka cukup mendukung hubungan kami berdua. Hingga akhirnya, tiap kali Eugene mau curhat, ia harus cerita pada Papa atau dengan supir pribadi Papanya dengan tanpa sepengetahuan Mamanya. Aku tidak bisa bilang kami pacaran diam-diam dari sisi Eugene, karena kadang kalau Eugene sedang Facetime dengan Mamanya, dan tiap kali ada aku disampingnya, aku mencoba berkomunikasi dengan Mamanya, berusaha sebaik mungkin memberikan ‘chemistry’ antara aku dan Mamanya. Namun ya, namanya juga kurang suka, aku dan Mamanya hanya ngobrol biasa, tidak terlalu akrab dan tidak lebih dari itu.
Begitu juga dari sisiku. Sesaat setelah aku jadian dengan Eugene tanggal 30 Oktober 2018 lalu, aku mencoba menceritakan pada Ayah dan Ibuku. Kalau Ayah, datar saja menanggapinya. Pesannya hanya satu “Ya, pokoknya jangan macam-macam disana”. Kalau Ibu, sering sekali bertanya ini-itu soal Eugene, bahkan sebelum aku jadian dengan Eugene. Ya, namanya juga orang tua, tahu kalau anaknya sedang merantau lalu dapat pacar, pasti tingkat kecemasannya naik drastis.
Tapi tiap kali aku menceritakan tentang Eugene, Ibuku pasti langsung mengalihkan topik pembicaraan. Apa mungkin karena Eugene itu Chinese? Dan Ibuku sebenarnya kurang suka dengan orang-orang keturunan Tiong Hoa. Dari dulu ia sangat kurang welcome dengan orang-orang Tiong Hoa. Entah kenapa demikian. Ya, namanya juga preferensi orang berbeda-beda, tapi setahuku Ibu memang tidak suka dengan kalangan orang-orang Tiong Hoa.
Tapi kadang aku jadi berpikir, apakah dengan jadiannya aku dengan Eugene adalah sebuah karma? Mengingat Ibuku sangat tidak suka Chinese. Atau ini sebuah cobaan? Apapun itu, aku harus tetap berusaha meyakinkan kalau aku memang menyayangi Eugene apa adanya. Dan aku berharap cepat atau lambat, orang tua kami masing-masing menyetujui hubungan kami agar kami bisa melanjutkannya ke jenjang yang lebih serius.
---
Eugene. Musim Semi 2019. Menjelang kelulusan Columbia University. New York.
Wah, nggak kerasa, studi S2 gue udah mau kelar. Capek banget sih ngurusin tesis yang super duper njelimet ini. Di dalam tesis gue, gue bahas rencana tata ruang kota Denpasar, kampung halaman gue, yang mana gue mencoba untuk menggabungkan konsep tradisional dan modern dalam desainnya. Butuh banyak waktu buat riset sampe Mapping segala di Lincoln, Nebraska, beberapa waktu lalu, dan pastinya riset kota raksasa New York juga untuk ambil sampel konsep modernnya.
Ternyata sekolah itu bener-bener susah. Kalau gue nggak bisa jadi orang sukses bakalan keterluan banget. Makanya, gue berusaha semaksimal mungkin buat lulus tepat waktu supaya gue bisa bayar jasa orang tua gue yang udah capek-capek kerja keras demi biayain kuliah gue di Columbia University. FYI, gue bukan anak beasiswa. Jadi, S2 Urban Planning gue di Columbia University sepenuhnya dibayarin sama Bokap-Nyokap gue, dengan sedikit bantuan kerja part-time gue di beberapa tempat kayak jadi asisten tukang gambar sketsa kantor agen casting, jadi tukang cuci piring di sebuah restoran di hotel mewah, dan jadi kasir di sebuah toko buku. Tapi bisa dibilang 90% biaya kuliah gue ditanggung sama orang tua gue.
Ngomong-ngomong soal Bokap-Nyokap, mereka mau dateng ke acara wisudaan gue loh bulan Mei nanti. Hmm, terakhir kapan sih gue ketemu mereka? Ya, ampun udah satu tahun ternyata. Tadinya gue mau balik ke Indonesia pas Summer tahun lalu, tapi karena budget gue limit gara-gara dipake buat beli hape baru karena hape lama rusak dan gue nggak enak mintanya ke bonyok gue, plus waktu itu gue ngerjain Batik Day, jadi, alhasil nggak jadi balik kampung deh.
Dan kalau nanti Bokap-Nyokap gue bakal kesini, berarti itu tandanya untuk pertama kalinya Yureka bisa ketemuan doang sama mereka. Asyik! Bakalan seru nih. Gue yang pasti bakal seneng banget akhirnya gue bisa ngenalin langsung pacar tercinta ke orang tua gue tercinta, plus adik gue beserta pengasuhnya, sama Suster Eli, dan supir gue, Om Yayan, yang juga akan ikut. Jadi nggak sabar!
Setelah proses panjang menyusun tesis, dengan segala daya dan upaya serta penuh kasih sayang, akhirnya gue berhasil mendapatkan gelar Master of Science in Urban Planning, atau disingkat M.Sc.UP, pada tanggal 8 April 2019. Tinggal nunggu Commencement Day aja nih alias hari wisuda.
Eh si pacar juga udah resmi lulus loh. Ya, meskipun dia nggak bikin tesis kayak gue, tapi dia udah ngumpulin karya tulisan, yaitu bikin satu skrip full-time teater bergenre komedi, dan satu skrip untuk film berdurasi panjang bertemakan drama-romance. Ah, gue nggak tahu banyak soal perkuliahannya dia, apalagi tentang perfilman, tapi gue yakin dia pasti banyak belajar dari perkuliahannya selama dua tahun terakhir dan gue juga yakin dia bakalan bisa jadi penulis profesional setelah ini.
Jadi, gue sama Yureka sama-sama udah lulus S2 nih, Alhamdulillah, kalau gue dapet gelar M.Sc.UP awal April, nah kalau Yureka, satu minggu setelah gue, tanggal 17 April 2019 dan berhasil dapet gelar MFA atau kepanjangannya Master of Fine Arts. Tapi sebelnya nih, sebel banget, tanggal wisuda NYU sama Columbia University tuh barengan! Sama-sama tanggal 16 Mei. Kan kesel nanti kalau abis diwisuda, nggak bisa foto-foto pake baju wisuda bareng. Hmm, kesel. Tapi masih bisa foto-foto pake baju wisuda masing-masing ala-ala gitu sih sehari atau dua hari setelahnya, yang penting ada kenang-kenangan dari hari wisuda kami.
Eh, temen-temen Batik Day juga udah pada lulus loh. Dhimas juga udah berhasil dapet Bachelor of Arts di bidang Ekonomi dan Bisnis, dan Gilang juga udah resmi menyabet gelar M.A dari NYU dari jurusan TESOL (Teaching English to Speakers of Other Languages). Keren! Kalau Chandra, karena sekolahnya sekolah masak dan nggak ada gelar, jadi dia yaa nggak ada gelar aja, tapi dia bakalan resmi lulus bulan Juni nanti. Kalau Kak Anna juga karena kampusnya swasta, jadi beda hari wisudanya sama kayak kita. Dan kayaknya hari wisudanya juga bulan Juni atau Juli. Cuma gue lupa gelar apa yang didapet Kak Anna, karena dia belajarnya fashion dan gue nggak tahu pasti gelar apa untuk sekolah fashion kayak Kak Anna. Nah, kalau Fikri, dia masih harus berjuang melawan semua tantangan perkuliahan di New York, karena dia masih semester 6 dan musim panas ini dia bakalan magang dan di semester depan dia baru bisa lulus dari jurusan teknik industri Columbia University yang juga emang njelimet banget.
---
Yureka. Commencement Day of NYU. Bulan Mei 2019. New York. Masa Depan.
Waaah, akhirnya, Alhamdulillah, aku bisa resmi lulus dari New York University. Yang masih jadi bahanku untuk bersyukur adalah karena aku tidak perlu susah payah membuat penelitian untuk menyusun tesis seperti teman-teman di Batik Day, dan juga si pacar, Eugene. Aku tahu sekali bagaimana proses Eugene menyusun tesis, ia juga sempat sakit karena lupa makan karena terlalu sibuk dengan tesisnya. Tapi semoga dengan kelulusan dari Columbia membayar semua perjuangan dan pengorbanan itu. Tapi sayangnya, hari kelulusan NYU dan Columbia University bersamaan, yakni sama-sama tanggal 16 Mei 2019. Kenapa sih NYU sama Columbia jahat banget? Tidak bisa begitu menggantinya menjadi selang satu hari saja, kan aku ingin diberi bunga yang harum atau boneka beruang dari kekasih tercinta. NYU dan Columbia ini bermusuhan atau bagaimana? Ah, yasudahlah, nanti aku bisa foto-foto ala-ala dengan mengenakan baju wisuda kampus masing-masing sebagai tanda bahwa kami semua, para mahasiswa perantauan telah berhasil lulus dari kampus masing-masing.
Dan di tanggal 16 Mei, Yankee Stadium dibanjiri oleh seluruh wisudawan NYU Class of 2019 yang mengenakan jubah wisuda berwarna ungu dengan bet bergambar obor sebagai lambang kampus NYU. Aku yang meskipun duduk di paling pojok, masih bisa merasakan suasana haru dan penuh bahagia di Yankee Stadium tersebut. Beberapa kali air mataku berjatuhan saking terharunya. Masih tidak percaya kalau aku berhasil mendapatkan gelar Master of Fine Art dari kampus sekece NYU. Orang tua ku pasti bangga, meskipun mereka tidak bisa datang ke New York untuk menyaksikan diriku di wisuda, tapi dengan bantuan teknologi canggih, sesaat setelah aku diwisuda, aku video call dengan mereka dan mereka pun tidak bisa menutupi rasa bahagia mereka karena mengetahui anak bungsunya telah berhasil lulus S2. Aku jadi tidak sabar ingin pulang ke Indonesia dan menceritakan semua pengalamanku pada mereka.
Setelah rasa bahagia, haru, dan semua-muanya tumpah saat hari wisuda, sebenarnya ada cerita yang agak sedih beberapa hari sebelum Commencement Day itu dilangsungkan.
Jadi, karena hari wisuda NYU dan Columbia University sama, yang mana si pacar juga telah berhasil lulus dari Graduate School of Architecture, Planning, and Preservation Columbia University, jadi pasti ada anggota keluarga Eugene yang datang untuk merayakan hari kelulusannya tersebut. Ya, benar, orang tuanya Eugene datang ke New York, beserta adiknya plus pengasuh adiknya juga supir pribadi Papanya.
Jauh sebelum mereka datang, Eugene sangat ingin sekali memperkenalkanku kepada kedua orang tuanya. Bukan aku tidak ingin bertemu mereka, aku sangat ingin mengetahui bagaimana sosok orang tua si pacar. Tidak berharap banyak, apalagi sampai terlalu percaya diri dengan mengistilahkan “Huah, aku akan bertemu dengan calon mertua”. No, no! Tidak sama sekali. Aku tahu diri. Aku juga tidak terlalu membiasakan diri memiliki pola pikir seperti itu. Tapi tetap berusaha agar hubunganku dengan Eugene langgeng sampai ke jenjang yang serius. Dan siapa tahu orang tua Eugene suka denganku dan menyetujui hubunganku dengan anak sulungnya. Ya, tahu sendiri, Mamanya Eugene agaknya kurang suka denganku. Maka dari itu, dengan pertemuan pertama ini merupakan titik penentuan apakah aku bisa meluluhkan hati Mamanya yang bernama asli Kang Mi-sook tersebut.
Tanggal 10 Mei-nya, seluruh rombongan keluar Oetomo dengan selamat mendarat di bandara John F. Kennedy dengan menggunakan maskapai Korean Air. Katanya mereka mampir dulu ke Incheon, kampung halaman Mamanya Eugene, selama tiga hari untuk menjenguk salah satu anggota keluarga mereka yang baru saja melahirkan bayi kembar dan juga untuk mengunjungi sanak famili yang lain selama tiga hari. Walaupun libur Natal lalu mereka sekeluarga juga berlibur ke Incheon-Seoul dan Busan.
Mendengar hal itu, aku jadi makin tahu seberapa tajir keluarganya Eugene. Sekali lagi, aku menyukai Eugene bukan karena hartanya. Sebelum dan setelah jadian pun, aku benar-benar tidak tahu kalau keluarga Eugene punya bisnis yang cukup sukses. Dan dengan mengetahui kalau mereka ke New York sekeluarga, ditambah dua asisten keluarga mereka yang juga ikut ke New York, plus mereka mampir dulu ke Incheon, bayangkan sudah berapa ribu dollar mereka keluarkan untuk itu semua kalau bukan karena orang tajir? Orang tuaku saja tidak bisa menyaksikan wisuda anaknya karena sayang-sayang uangnya kalau hanya untuk ke New York saja. Lebih baik ditabung dan dipakai untuk yang lain. Katanya sih orang tuaku mau pergi haji, jadi akan lebih baik jalau uangnya disimpan untuk keperluan haji mereka.
Baiklah, kembali soal topik pertemuan pertamaku dengan keluarga besar Oetomo. Dan pada tanggal 12 Mei-nya, yaitu hari Minggu, Eugene sudah memperingatiku kalau tanggal itu aku harus mengosongkan jadwal dan melainkan bertemu dengan keluarganya.
Suatu pagi, sekitar pukul 10.30, aku sudah siap untuk bertemu dengan orang tua pacarku untuk yang pertama kalinya. Meskipun rasa gugup melandaku sedari semalam sebelumnya, aku tetap ingin tampil maksimal di depan orang tua Eugene nanti. Dengan mengenakan kemeja garis-garis berwarna tosca dan celana jeans hitam, sepatu kets yang sedikit lebih girlie yakni hadiah kelulusan dari Eugene, dan tas ketek yang jarang aku pakai, siap tidak siap, aku harus siap bertemu dengan seluruh anggota keluarga Oetomo untuk yang pertama kalinya. Saat bercermin, aku memang merasa agak sedikit minder, karena gaya berpakaianku ini memang bukan gaya Yureka yang sangat ‘Yureka’, tapi demi first impression, aku ikhlas melakukan ini semua.
Pukul 11-nya, Eugene datang menjemputku. Ya, ampun, tuh kan so sweet sekali anak ini. Padahal seharusnya orang tuanya yang diutamakan, tapi mengapa masih mau menjemputku ke apartemen?
“Udah siap?”
“Kok aku nervous ya? Nanti kalau Mama kamu beneran nggak suka sama aku gimana?”
“Udah, tenang aja. Pasti mereka bakalan suka sama kamu. Btw, blush on nya bagus. Cantik. Udah, pokoknya jangan khawatir. No worriesFighting!”, ujar Eugene sambil mengusap rambutku.
“Oh, how sweet of you. Hmmm. Bentar, Sayang. Ini aku harus belajar bahasa Korea dulu nggak?”
“Hahaha. She speaks Bahasa Indonesia kok, Sayang. English as well, and pretty well
“Kalau Papa kamu, aku harus pake bahasa Bali? Ke supir kamu gitu?”
They are all Indonesian, Baby. Udah deh, nggak usah lebay gitu. Kayak mau ketemu Kim Jong Un aja. Yuk, nanti telat sampe kesananya”
Sepanjang perjalanan, aku mencoba menghilangkan kegugupanku dengan mencoba melalukan percakapannya dengan Eugene. Tapi sayangnya dia hanya sibuk membalas Whatsapp ucapan “Selama ya Eugene udah kelar tesisnya” dan blablabla yang lain. 
“Eh kamu belom ngasih tahu tempat nginep Papa-Mamamu selama di New York dimana”
“Ah nanti juga kamu tahu. Nggak penting. Yang penting kan kamu ketemu sama mereka. Be ready!”
Sepanjang jalan menggunakan kereta, Eugene juga sibuk membalas Whatsapp Mamanya dan juga lain-lainnya, yang aku tidak tahu siapa. Aku juga sibuk membuka feed Instagram demi mengalihkan perhatianku pada kegugupan ku sendiri.
Sesampainya di stasiun tujuan kami, di 5th Avenue Station, kami masih harus berjalan kaki. Tapi tunggu, jalur ini dejavu. Seperti saat waktu mau bertemu Adam Wang yang waktu itu menginap di The Plaza. Oh Tuhan, jangan-jangan Papa Mamanya Eugene juga menginap di The Plaza! Katakan bukan, tolong!
Kemudian kami jalan menyusuri West 59th Street. Ow ow, ada dua kemungkinan hotel tempat keluarganya Eugene menginap, karena ketika kami sedang menunggu lampu hijau pejalan kaki menyala, aku bisa melihat ada dua hotel mewah tepat di sebrang kami, yakni The Plaza Hotel dan The Sherry Netherland. Kalau kami menyebrangi 5th Avenue, berarti fix The Sherry Netherland itu hotel tempat keluarga Oetomo menginap, kalau menyusuri Central Park South bisa jadi The Plaza atau deretan hotel lainnya. Aku benar-benar berharap bukan di The Plaza, entah mengapa. Kalian bisa tahu apa yang aku maksud.
Aku dan Eugene kemudian menyusuri West 59th Street. Lalu The Plaza Hotel berlalu setelah kami lewati. Fyuh, syukurlah! Bukan The Plaza berarti. Lalu apa? Mungkin di The Park Lane, kan katanya agak murah sedikit. Masuk akal lah. Beberapa meter kemudian, The Park Lane Hotel terlampaui. Bukan juga! Aduh! Jadi hotel yang mana? Dalam hati aku hanya bergusar, “Eugene kenapa kamu tidak bilang kepadaku dimana persis tempat keluargamu menginap? Kamu ini sengaja atau bagaimana?”
 Tunggu, jangan-jangan The Ritz Carlton. Karena sepanjang Jalan Central Park South ada segerombolah hotel-hotel mewah yang aku pasti baru sanggup menyewa satu kamarnya kalau aku sudah sukses jadi penulis di Hollywood. Harga sewa kamarnya bisa bikin pusing kepala. Dalam beberapa kaki kami juga melewati The Ritz Carlton dan tidak ada tanda-tanda Eugene mengajak masuk. Dia masih sibuk dengan smartphone-nya yang kemudian malah mengangkat telepon dari seseorang. Aku yang sedang tidak dipedulikan selama beberapa saat oleh Eugene, masih sibuk menghitung jumlah kemungkinan dimana tempat keluarganya Eugene menginap. Aku tahu ini tidak penting, tapi ini menyangkut masa depanku juga!
Aku masih berusaha berharap kalau keluarganya tidak menginap di hotel berbintang karena kalau benar demikian, mau taruh dimana mukaku? Aku hanya mahasiswa kelas tengah yang mungkin tidak bisa menyamai level Eugene dan keluarganya. Tapi siap tidak siap, aku harus siap menerima semua keadaannya. Karena terlalu sibuk berharap dan sibuk dengan memikirkan daftar kemungkinan hotel-hotel di sepanjang Central Park South, tidak terasa kami sudah sampai disana, tapi aku tidak menyadarinya.
“Sayang mau kemana? Kelewatan”
Siap-siap aku harus mengangkat kepalaku lebih tinggi guna melihat plang nama hotel yang dimaksud Eugene.
Bismillahirromanirrohim…”, kataku
Dan tulisan “JW Marriott Essex House” ada di hadapanku.
Aku terdiam. Membeku. Mematung.
“Sayang, ngapain? Ayo!”, sahut Eugene.
“Be…bentar sayang… ehm… tali sepatu aku lepas. Bentar ya”, jawabku pada Eugene sebenarnya berbohong demi mengalihkan perasaan kagetku.
“Aku tunggu di hall ya, mereka udah disana soalnya.”
“Oke.”
Dengan suara perlahan dan setengah teriak “OH MY GOD! Bukan The Plaza sih, tapi JW Marriott kan sama mahalnya. Shit! Gue macarin anak orang kaya. Haduh gimana nih. Gue udah cukup rapih belom? Kalau belom, mau dibawa kemana hubungan gue sama Eugene, coba. Oke, tenang Yureka. Tenang. Semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Santai. Huft. Inhale, exhale. I am ready!”
Lalu aku masuk ke hotel bintang lima sekelas JW Marriott Essex House New York yang satu malamnya kalian harus membayar paling murah 469 US Dollar. Empat ratus enam puluh sembilan US Dollar, teman-teman! Itu uang dari mana coba kalau bukan orang kaya? Uang itu hampir sama dengan uang sewa apartemen bulananku. Yang lebih parah lagi, Papa-Mamanya tidak hanya pesan satu kamar. Katanya Papa Mama dan adiknya pesan 1 family room yang mana jelas lebih mahal dari kamar standar, sedangkan supir dan pengasuh adiknya dipesankan dua kamar terpisah untuk masing-masing. Oh Tuhan, aku tidak sanggup kalau diminta mengkalkulasi berapa dollar yang dikeluarkan keluarga ini hanya untuk menginap di hotel. Belum makan, selama di New York, belum lain-lainnya. Oh Tuhan, aku benar-benar memacari anak orang kaya!
Di dekat meja resepsionis, dari kejauhan aku melihat lima orang berdiri persis di sebelah elevator. Dengan membaca doa-doa yang aku mampu, aku berusaha tetap tersenyum, dan berusaha semaksimal mungkin agar tetap terlihat tenang, tetap berwibawa, dan tapi tetap menjadi pacar Eugene yang apa adanya, tidak kemudian tiba-tiba aku menenteng tas Louis Vuitton sewaan. Eh jangan salah, di New York banyak yang begitu, ada banyak orang tidak rela keluar uang buat beli brand yang asli tapi tega menghabiskan uang mereka untuk menyewa brand-brand mahal tersebut. Sudah gila.
“Semua, ini Yureka. Orang spesialnya Eugene selain kalian”, ujar Eugene sambil memperkenalkanku pada semua anggota keluarga Oetomo.
Ah so sweet deh kamu. Halo, aku Yureka”, jawabku semaksimal mungkin penuh kesopan-santunan.
“So, sayang, ini Papaku...”, lanjut Eugene
“Halo, Om”, jawabku sambil bersalaman dengan Om Geni.
“Halo Yureka. Salam kenal ya”, jawab Om Geni penuh keramahtamahan.
“Ini Mamaku…”, lanjut Eugene memperkenalkanku pada Mama tercintanya.
“Halo, Tante”, jawabku sambil juga bersalaman dengan Tante Mia.
“Halo”, Tante Mia hanya menjawab seadanya.
“Trus ini Suster Eli, pengasuhnya Genji, dan itu Om Yayan, supirnya Papa. Ya, supir keluargaku juga sih”, dan terakhir Eugene memperkenalkan ku pada Suster Eli dan Om Yayan.
“Halo suster, salam kenal. Halo om”, aku pun juga bersalaman dengan Suster Eli dan Om Yayan.
“Halo mba Yureka”, keduanya menyapaku dan berbalik bersalaman denganku.
 “Hmm, Genji mana?”, tanya Eugene mencari adik kesayangannya.
“Ah tuh dia. Dek, sini, ada yang mau kenalan”, sahut Om Geni sambil memanggil Genji dari kejauhan.
“Ini siapa, Pa?”, tanya Genji terheran.
“Ini pacarnya Hyung”, jawab Papanya Eugene.
“Halo. Genji ya?”, sapaku pada Genji.
“Halo juga”. Untungnya Adiknya masih mau tersenyum padaku. Syukurlah.
Kemudian terjadilah percakapan basa-basi busuk antara aku dan calon keluargaku, ehm maksudku keluarganya Eugene. Sambil on the way ke salah satu restoran Jepang yang sudah direservasi Eugene, dan selama di jalan itulah aku dan keluarga Eugene saling mengobrol dan bertanya seputar informasi dasar masing-masing. Ya, standar lah, mereka tanya asalku dari mana di Indonesia, latar belakang pendidikanku saat di Indonesia apa, kuliahnya bagaimana di New York, enak atau tidak, suka tidak dengan kota raksasa ini, tinggalnya di New York dimana, tinggalnya di Indonesia dimana, keluargaku di Indonesia bagaimana, baik-baik saja atau tidak… tunggu. Kami kan baru pertama kali bertemu, kok Papanya Eugene, Om Geni, sudah bertanya keluargaku? Apakah ini salah satu dari banyak pertanda kalau suatu saat aku benar-benar bisa menjadi bagian dari keluarga Oetomo? Ah, Yureka, berhenti! Jangan mulai!
Lima belas menit kemudian, kami sampai di restoran “Ginza”, restoran sushi yang aku tidak pernah dengar. Ya, bagaimana tidak, ada ratusan bahkan ribuan restoran sushi di New York, Saudara Saudara! Tapi untung bukan di Blue Ribbon yang kala itu antrean sangat panjang dan aku dan Eugene tidak jadi makan disana karena aku sendiri tidak ingin menunggu. Semenjak itu, Eugene selalu booking terlebih dahulu agar aku tidak cepat turun mood dan selera makan sushi tetap ada.
Kami pun masuk ke dalam restoran dan duduk di meja nomor 27 dimana meja yang sebenarnya untuk empat orang digabung menjadi tujuh kursi untuk tujuh orang. Lalu kami melihat menu-menu, pilih-pilih menu apa yang akan kami makan siang ini, dan minum juga karena kalau tidak minum nanti seret.
“Pesen aja yang banyak. Aku yang bayarin. Hmmm Papa maksudnya. Loan money ku udah lunas tapi itu aku lunasinnya pake uangnya Dhimas. Tapi pokoknya pesen aja apa yang kamu mau”, ujar Eugene sambil berbisik padaku.
Aku hanya senyum dan tertawa kecil.
Sambil melihat-lihat isi menu, aku sempat mendengar Eugene berkata sesuatu kepada Mamanya dengan menggunakan bahasa Korea. Jujur, aku penasaran tentang apa yang mereka barusan bicarakan. Tapi jangan membiasakan menguping, apalagi ingin tahu artinya, tidak baik. Tapi aku benar-benar penasaran karena setelah Eugene berkata sesuatu dengan bahasa anggota Super Junior itu, Mamanya menunjukkan raut wajah yang asam, tiba-tiba agak emosi dan sambil melihat isi restoran. Jangan-jangan Tante Mia tidak suka dengan restoran ini. Apa benar begitu?
“Mianhae Eomma”, kata Eugene sambil merengut dan meminta maaf kepada Mamanya. Ya, salah satu bahasa Korea yang ku tahu hanyalah “Mianhae” yang artinya “Maaf”.
“Gwaenchanh-a, Yujina. Geuleona da-eum-e deo na-eun geos-eul chaj-ayahabnida.”, panjang lebar Tante Mia yang aku sepertinya harus membuka google translate terlebih dahulu.
“Ye”, jawab Eugene singkat.
Yaudah dia kan nggak sengaja Ma. Besok kita bisa cari yang lebih bagus, ya”, sahut Om Geni menenangkan suasana.
Aku ingin bertanya tapi nanti dianggap tidak sopan. Lagipula aku tidak tahu artinya. Nanti paling Eugene akan cerita kepadaku.
Sambil menunggu makanan yang kami pesan, aku sempat ngobrol-ngobrol dengan Suster Eli, pengasuh adiknya Eugene, yang kebetulan duduk bersebelahan denganku. Meskipun Suster Eli hanya pengasuh, tapi aku tidak ingin membedakan dia denganku apalagi dengan keluarga Eugene. Aku berusaha memposisikan diriku sesederhana mungkin. Bukan membangun pencitraan, tetapi aku tidak ingin ia terpojokan dengan statusku dan profilku yang lain. Jadi, hanya ingin paling netral senetral yang bisa aku lakukan. Ya, aku menanyakan kepada Suster Eli bagaimana kesan-kesannya bekerja dengan keluarganya Eugene, kegiatan apa yang dilakukan sehari-hari dalam membantu mengasuh Genji, dan kegiatan apa yang biasanya dilakukan kalau sedang tidak bekerja. Awalnya aku pikir Suster Eli sama persisnya dengan Tante Mia, agak angkuh dan cuek, tapi Suster Eli ternyata tidak seperti itu, ia sangat terbuka, tidak malu-malu kalau bertemu orang baru, dan justru sangat menghibur.
Kira-kira sepuluh menit kemudian, makanan yang kami pesan datang. Aku tidak ingat betul apa yang aku pesan, yang penting ada berpuluh-puluh sushi dan sashimi terhidang diatas meja kami. Tapi aku juga memesan Nabeyaki Udon. Pertama-tama aku makan dua buah sushi terlebih dahulu, juga satu tempura, kemudian aku menyantap Udon. Aku benar-benar tidak sabar menyantapnya karena kira-kira semenjak selesai mengumpulkan karya tugas akhir, aku tidak ada waktu untuk pergi makan Udon, sendiri atau dengan Eugene, jadi akhirnya “pucuk dicinta ulam pun tiba”.
“Hmm Yureka…”, sambar Tante Mia.
Saat, Tante Mia memanggil namaku, kegugupanku yang tadi sempat memudar, kini kembali ke permukaan. Kira-kira Tante Mia akan berkata apa ya kepadaku? Sesuatu yang buruk kah? Atau sebaliknya, beliau ingin memulai percakapan denganku berhubung kami duduk saling berhadapan. Aku menyahut panggilan Tante Mia dengan memasang wajah senetral mungkin, tidak gugup, tidak terlalu senang, atau sebaliknya.
“Ya, Tante”
“Hmm, kalau makan mie atau udon atau ramen dan kawan-kawannya, jangan sampe putus. Harus satu sruput, biar tetap membawa keberuntungan”, jelas Tante Mia dengan aksen Korea-nya yang masih sedikit kental.
Apa ku bilang! Sebuah kritikan menyelekit baru saja dilontarkan Ibu kandung dari pacarku sendiri. Dari urutan duduk kami mulai dari sebelah kiriku, Eugene, Om Yayan, Genji, Om Geni, Tante Mia, dan Suster Eli, semua sempat terdiam beberapa detik. Sumpah, itu adalah 20 detik paling memalukan yang pernah aku ada dalam hidupku.
Dan aku baru ingat, kalau keluarga China atau Korea atau semacamnya lah, mereka percaya kalau memakan mie dalam satu napas akan membawa keberuntungan. Stupid Yureka, kenapa kamu baru ingat sekarang?!
“Ah tidak apa-apa. Dia belum biasa aja, Ma. Nanti lama-lama biasa kok, ya, Yureka”, bela Om Geni.
“Iyaa om. Makasih Tante masukannya”, jelasku minta maaf tapi bingung mau ditaruh dimana mukaku ini.
Makan sushi satu meja dengan keluarga Eugene memang benar-benar sulit, bagaimana nanti kalau makan malam atau makan-makan lainnya kalau aku dan Eugene benar bisa berkeluarga di masa depan?
Makan siang dengan keluarga Oetomo selesai, kemudian Mama dan Papa Eugene hanya berdua, pergi ke Ellis Island dan Staten Island yang mana rombongan lainnya akan kesana esok hari. Sedangkan sisanya, Suster Eli, Om Yayan, Genji, Eugene, dan aku, kami berkeliling Manhattan dan ke Rockefeller Center dan sekitarnya. Kami berbincang bersama, saling melempar candaan bersama, benar-benar menyenangkan.
Tapi memang aku masih terganggu dengan kritikan Tante Mia. Duh, jangan dipikirin, Yureka, anggap aja itu kentut, bau tapi pasti berlalu.
Melihat raut wajahku masih sendu, Eugene mulai menumpahkan perhatiannya padaku.
“Udah, Mamaku emang gitu. Tukang kritik orang”, ujar Eugene menenangkan.
“Mau dibawa kemana mukaku, Yang? Kesan pertama aja nggak bagus gitu. Gimana mau jadi menantunya dia besok”, jawabku sambil cemberut.
“Kamu yang aku pacarin, kamu yang InsyaAllah aku halalin, kamu yang nanti jadi pendamping aku, bukan orang tua aku, mereka juga pelengkap aja, kayak… bawang goreng sama kacang goreng di bubur Cianjur”, jelas Eugene sambil menghiburku dengan candaan recehnya.
Aku yang awalnya tidak bisa tertawa, tiba-tiba tertawa kecil yang lepas.
“Believe me, my mom is the number one of giving critics to other people. Because she is perfectionist one. Kamu mau tahu tadi dia ngomong apa ke aku pake bahasa Korea pas kita di restoran tadi?”, ucap Eugene.
Yang mana?”, tanyaku agak sedikit lupa.
“Yang papa bilang nggak apa-apa itu”, jelas Eugene.
“Oh itu. Trus emang apa?”
“Mama protes, tempat makannya nggak proper. Kurang suka dia sama tempatnya, sempit lah apa segala macem. Ya, ku bilang aja di Blue Ribbon nggak bisa bikin reservasi, di Maya udah penuh, akhirnya yang terdekat yaa ke Ginza, ke yang tadi. Dan dia agak surprise karena tempatnya sempit. Dan yaa gitu… that is my mom. Welcome to my family’s world”
“Oh gitu”
“Senyum dong. Ayo, jangan cemberut. Harus kayak Yureka yang biasa aku kenal, yang full of cherish”
Dan Eugene berhasil membuatku tertawa.
Malamnya, aku dan rombongan kecuali orang tua Eugene, pukul 20 sudah sampai lagi ke JW Marriott Essex House. Sedangkan orang tua Eugene baru kembali dari Ellis Island satu jam setelahnya. Btw, mereka tidak jadi ke Staten karena waktunya tidak cukup, dan justru mereka malah bisa kesana bersama-sama dengan rombongan, Eugene juga termasuk, aku tidak. Ya, tidak apa-apa lah, aku baru sebatas teman spesial, belum lebih. Santai aja.
“Om, Tante, semuanya, makasih ya hari ini. Khususnya sushi-nya”, ujarku berpamitan.
“Sama-sama ya, Yureka, kami yang makasih kamu mau sempatin datang”, balas Om Geni yang sangat ramah itu.
“Ya, sama-sama Yureka”, balas juga dari Tante Mia. Duh, dia mau ngobrol denganku. Padahal tadi aku dipermalukan setengah mati olehnya.
“Yaudah kalau gitu saya pamit ya, Om, Tante, Genji, Suster, Om Yayan. Sampai ketemu tanggal…”, lanjutku.
“17? Setelah wisudaan. Ya, Kan? Kita kan mau makan-makan lagi”, sahut Eugene.
“Oh iya. Bener. Lupa. Oke deh kalau gitu. Selamat malam semua. Mari”, pamitku pada keluarga Oetomo dan bergegas keluar Hotel.
“Eugene anter Yureka dulu ya”.
Eugene pun mengantarkan ku sampai di stasiun. Astaga anak ini kebaikannya keterlaluan. Bisa saja kan aku hanya diantara sampai depan pintu Hotel, buat apa dia susah payah antar aku sampai ke stasiun. Masih kangen atau bagaimana?
Sampai di stasiun, aku berpamitan dengan Eugene. Kami akan bertemu lagi masih agak lama, sehari setelah hari wisuda nanti. Aku hanya ingin bilang terimakasih padanya karena hari ini ia sangat sabar memperkenalkanku pada keluarganya untuk yang pertama kalinya.
“Sayang. Aku makasih banyak yaa sama semuaaaa yang terjadi hari ini. Kamu bener-bener support aku banget. Di traktir pula”, ujarku panjang lebar sambil menggengam tangannya.
“Selaw lah. Kayak kita pertama kali kenal aja. Santai pokonya”
“Yaudah sana balik lagi ke Hotel. Lagian ngapain sih sampe kesini segala nganternya. Jauh tau”, protesku sambil masih memegang tangannya.
“Yaelah kesitu doang. Lebay deh kamu”, jawab Eugene sambil mengusap tanganku.
“Yaudah. Sampai ketemu tanggal 17 ya. Have a good time with your family!”, ujarku lagi.
Thank you. Eh tunggu…”, lanjut Eugene.
“Apa?”
Baru saja aku lepas genggaman tanganku pada Eugene, dan berpamitan dengannya, ternyata kecupan dipipi menyambar dari bibir Eugene yang lembut itu. Oh Tuhan! Aku minta maaf!
Aku hanya tersipu malu sambil mengusap pipiku yang baru saja dikecup pria tampan selevel Eugene itu. Oh, Tuhan! Maafkan kami!
Takut ‘serangan’ yang lain datang, aku buru-buru masuk ke dalam stasiun dan mengejar keretaku pulang ke arah NYU.
Meskipun hati senang baru saja dikecup oleh sang kekasih, tapi sebenarnya ada sisi dimana aku masih memikirkan kejadian memalukan tadi siang. Sepanjang jalan pulang, aku sempat menitikkan air mataku. Alasan pertama karena sejak pertama berkenalan dengan Tante Mia, wajahnya tidak seramah yang aku harapkan. Kedua, beliau mempermalukan ku dihadapan anggota keluarga Eugene yang lain karena kebodohanku sendiri. Ketiga, saat pamit pun tidak ada basa basi layaknya antara Ibu sang pacar kepada pacarnya si anak sulung seperti; “Eh iya Yureka, makasih banyak loh, kapan-kapan kita hang out lagi, seru ya tadi”. TIDAK ADA SAMA SEKALI!
Ya, Tuhan, apakah ini yang dinamakan tantangan dalam sebuah hubungan?
Tapi, Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
Apa aku harus memutuskan hubunganku dengan Eugene hanya karena Mamanya tidak ramah kepadaku?
Kalau diteruskan pun, bagaimana caranya aku meluluhkan hati Mamanya agar menyukaiku?
Aku mencintai Eugene, Ya Tuhan…

- BERSAMBUNG -


Lanjut Episode 8 --> Double Yu S2E8

Comments

Popular posts from this blog

Kumpulan Cerita Bersambung : DOUBLE YU - SEASON 1 (karya Yulia Sutjahjono)

"Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan)" Part 2

Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan) Part 1