DOUBLE YU SEASON 2 - Episode 10 : "The Double Yu"


(Courtesy of Pinterest)

Yureka. Malam Lamaran. 2020. Singapore. Masa Depan.
Lidahku membeku. Mataku terbelalak. Telingaku berdenging. Nyeri. Semua terjadi tepat saat Eugene mengatakan “Will you marry me?
Ya Tuhan ini apa?
Aku bermimpi atau apa?
Aku pikir semua ini hanya terjadi di film-film drama yang aku sering tonton saja.
Ini sungguhan kan?

Holy moly. Ehmmm. Sebelum aku kasih jawaban ke kamu, kamu taro dulu deh mending cincin sama bunganya”. Akhirnya telah terjadi satu kalimat lengkap dengan anak kalimatnya yang baru saja keluar dari bibirku yang tadinya kelu tidak bisa digerakkan.
“Loh kenapa, Sayang?” respon Eugene keheranan.
I thank to you that you’ve done this… but… you should know something…”, lanjutku membuat Eugene agak panik. Aku bisa melihat itu dari reaksinya. Mungkin ia mengira aku akan menolak lamaran. Belum tahu saja.
Dan keheningan terjadi selama lima detik.
Eugene… Thank you for coming to my life. Mungkin kamu udah tahu ini tapi, intinya aku dulu sempet desperate banget kalau aku nggak pernah ketemu a person called <<a boyfriend>>. However, you came. You did. Ribuan kali dalam penolakan. Ribuan kali kegagalan. Tapi bener memang, kalau mau sukses, harus gagal dulu berkali-kali. But then, it’s gonna be worthed. Dan aku harap, that something worthed is you…
Ku lihat Eugene hanya tersenyum. Air mataku sudah tumpah.
Adam Wang? No hope. Padahal udah kepedean setengah mati. Nabil? Aku udah ikhlas dua tahun tanpa kepastian. Atau cowok-cowok lain yang menjauh dari aku tanpa sebab. I know I am not beautiful as other girls. I am not skinny. I am not glamorous. Itu kata Andrea Sachs di The Devil Wears Prada sih…”
Ku lihat Eugene hanya melempar tawa kecilnya. Tapi air mataku makin tumpah.
Everyone said I should put make up on. I should lose some weights. But somehow, I don’t care. I do always believe that somebody will accept me as the way I am. And I think that somebody is you…
Ku lihat Eugene masih tetap mendengarku dengan baik dengan hiasan senyum istimewa di wajahnya.
So… Parama Eugene Oetomo. I will. I will marry you for the rest of my life
Really?” Eugene terkejut. Padahal jawabannya diiyakan, tapi mengapa tetap terkejut. Aneh ya.
Yes”, jawabku memastikan.
You accept my proposal?
Of course
Oh My God!
Aku langsung menghapus air mataku dan Eugene menyematkan cincin yang sempat ia letakkan di atas meja kami ke jari manisku dan kemudian memelukku dengan erat.
Everybody, we’re engaged! Engaged!” teriak Eugene pada seisi restoran.
Astaga. Aku malu sebenarnya. Tapi seluruh pengunjung restoran bertepuk tangan dan menyoraki kami. Aku bahkan mati rasa. Tidak tahu karena terlalu tidak percaya karena ini bukan seperti sungguhan.
----

Beberapa hari setelah malam lamaran di Singapore, aku kembali ke Jakarta. Eugene tetap stay di Singapore. Tapi satu bulan kemudian, Eugene membawa keluarganya dari Bali ke rumahku dan menemui orang tuaku. Ya, meskipun kami sudah bertunangan ala ala film-film romance, tapi sebagai orang Indonesia dengan beragam kulturnya, kami juga melalukan upacara pertunangan yang benar-benar official. Dengan menggunakan batik bermotif keraton bernuansa putih-coklat serta celana panjang hitam, juga sepatu pantofel yang sepertinya mahal harganya, Eugene resmi melamarku. Aku yang kala itu menggunakan kebaya berwarna hitam dengan sedikit sentuhan warna gold dan rok batik bermotif Pring Sedapur, tidak bisa melepaskan senyuman dari bibirku di hari itu. Lamaran saja sudah membuat bahagia bukan main, apalagi saat menikah nanti. Dan saat prosesi lamaran itu, aku masih sering menyadarkan diriku bahwa semua ini benar-benar kenyataan, bukan lagi khalayan belaka. Aku benar-benar bersyukur. Aku bisa sampai di tahap ini. Terimakasih Ya Tuhan!
Dengan kesepakatan bersama antara pihak keluarga Eugene dan keluargaku, dipilihlah tanggal di akhir Januari 2021 sebagai hari pernikahan kami nanti. Terkesan sangat cepat dan mendadak memang, mengingat jarak antara prosesi lamaran dengan menikah nanti hanya 5 bulan saja. Awalnya Ibu dan Ayahku tidak setuju karena terlalu dekat waktunya, tapi Papa dan Mamanya Eugene akan menjamin kalau lima bulan adalah waktu yang cukup untuk mempersiapkan semuanya. Alasannya karena lebih baik dilangsungkan sebelum perayaan hari raya Imlek. Alasan kedua karena Eugene setelah satu tahun kontrak akan memperpanjang kontrak kerjanya di Singapore dengan mengambil cuti sabbatical selama tiga bulan diantaranya. Lagipula memang lebih cepat lebih baik kan?
Suatu malam saat aku dan Eugene sedang rapat membahas acara pernikahan kami, aku sempat curhat ke Eugene soal kegugupanku yang akan mengalami semua proses ini, khususnya akan menikahi lelaki keturunan Tionghoa campuran negeri Ginseng seperti dirinya.
“Jadi, bridesmaid kamu fix ya, Nina, Ine, Kak Anna, sama Farida. Dan aku fix yaa, bestman ku, Kevin, Ha-joon, Gilang, sama Dhimas”, terang Eugene sambil melihat ke arah catatannya.
“Sip. Kevin itu sahabat kamu waktu kuliah di Hongkong kan?”, tanyaku penasaran.
“Yap”
“Kalo Ha-joon adeknya Eunha?”
That’s right.
“Eh bukannya kamu juga punya sahabat waktu di Jepang dulu? Yang keturunan Jepang-Rusia itu?” tanyaku lagi sudah seperti anak SD
“Si Akiyoshi? Iyaa dia sahabatku juga”
“Mau diundang juga?”
“Iya harusnya sih tapi aku terakhir chat dia, dia udah stay di Rusia udah lama. Jadi nggak tahu bisa dateng kesini apa nggak. Ikutan militer gitu katanya”
Tiba-tiba Eugene mendapat pesan Whatsapp dari Mamanya dan berkata kepadaku, “Oh ya, aku sampe lupa bilang ke kamu, Yang”
“Apa?”
“Mama udah booking guru les bahasa Korea buat kamu”. Keterangan Eugene membuatku hampir tersedak teh hijau tanpa gula yang agak panas saat meneguknya.
 “Apa? Les bahasa Korea?”
“Iyaa. Ah aku juga lupa banget mau bilang ke kamu, Sayang. Jadi, pas Wedding besok, semua anggota keluarga Kang, alias keluarga intinya Mamaku akan dateng ke Jakarta. Dan Mama juga ngasih ide buat ngadain upacara resepsi di Incheon juga. Jadi dua kali Wedding kita. Ehm nope, tiga jadinya. Jakarta, Bali, sama Incheon. Jadi, akan lebih baik kalau kamu juga belajar bahasa Korea, nyicil-nyicil dari sekarang. Kan masih banyak waktu”, jelas Eugene panjang lebar.
Aku terdiam terpaku. Angin Taifun! Rasa gugup makin mencuat karena aku diminta mempelajari bahasa Lee Minho itu. Aku nonton drama Korea saja tidak pernah. Ya, pernah sih, satu dua kali, tapi aku bukan penggemar KPop garis keras yang biasanya sudah fasih bahasa Korea diluar kepala.
“Sayang? Are you alright? Ehm, tenang kok Mamaku yang cover semuanya”. Eugene membangunkan aku dari lamunanku.
“Bukan soal itu, Sayang. Tapi. Emm. Sorry. Aku cuma surprise aja. Aku beneran bakalan belajar bahasa Korea?”, tanyaku lebih memastikan.
“Ya mau kan? Tenang aja. Guru les ini pasti cocok sama kamu. Soalnya dia udah jadi guru privat langganan orang-orang Korea yang ada di Jakarta. Mama juga udah kenal banget sama orang ini. Dan kalau kamu udah siap, kamu bisa mulai lesnya minggu ini. Atau minggu depan. Ya?”
“Hmm. Oke. Aku pasti bisa”, aku hanya meringis dan meneguk sisa teh panasku yang sudah tidak terlalu panas langsung ke dalam tenggorokanku.
Keesokan harinya, setelah pulang kerja, Eugene mendadak memintaku untuk menemani dirinya dan calon Mama Mertuaku ke salah satu toko retail perabotan rumah tangga terbesar di daerah Tangerang. Tidak ada alasan khusus atau acara khusus, tapi katanya hanya ingin kesana saja, siapa tahu ada yang bisa dibeli untuk menambahi koleksi barang dirumah. Setahuku rumahnya Eugene kan di Bali. Eh lupa, dia juga punya yang di Tebet. Ya, mungkin untuk rumah yang di Tebet.
Ngomong-ngomong, ini yang masih tidak aku suka dengan Eugene, acara dadakan yang sangat ia sukai yang sepertinya tidak akan pernah hilang dari daftar kebiasaan buruknya. Kalau hanya aku dan Eugene saja yang berjalan-jalan berdua, aku tidak masalah, meskipun bau kecut sepulang kerja, Eugene pasti bakalan cuek. Nah ini, ia mengajak serta Ibu tercintanya dan aku khawatir bau kecut sepulang kerjaku menempel indah dan kecium hingga ke hidung beliau. Maka, sebelum bertemu sang calon Mertua tercinta, aku langsung membersihkan diri semaksimal dengan wangi-wangian yang paling semerbak seperti cologne gel yang aku simpan di dalam tasku.
Sesampainya di toko retail besar itu, aku bertemu Mamanya Eugene. Kami pun berbincang sedikit. Ya, sepertinya Mamanya Eugene masih butuh penyesuaian denganku. Ia belum mau bicara banyak denganku. Tapi pertanyaan besar, kenapa kalau ia masih tidak suka denganku, mengapa ia mau dan rela menghabiskan uangnya untuk membiayai ku les Bahasa Korea? Berarti kan ia sudah mulai menerima ku sebagai calon menantunya. Atau ia hanya terpaksa?
Sambil melihat-lihat isi toko retail, kebetulan posisi berjalan kami adalah Eugene dan Mamanya di depan, sedangkan aku dibelakang mereka. Serasa seperti majikan dan pembantu kalau seperti itu.
Sepanjang berjalan mengitari toko retail yang besarnya hampir seperti stadion bola itu, aku mendengar Eugene dan Mamanya berbincang menggunakan bahasa Korea. Jangankan menguping, mendengar satu kata saja aku tidak mengerti. Tapi aku jadi berpikir, yang mana  membuatku jadi kurang percaya diri alias minder untuk menikahi anak sulung Tante Mia, dan menimbulkan pertanyaan, apakah aku cocok jika aku akan menjadi salah satu anggota keluarga Oetomo? Warna kulit, jelas berbeda. Mereka putih seperti bihun rebus. Aku? Sawo yang matang saja masih lebih bagus dari kulitku. Yang lebih membuatku minder, adalah ketika sekelilingku juga sama Chinesenya dengan Eugene dan Mamanya. Ya, Jakarta Raya memang makin kesini makin banyak punya warga yang oriental seperti keluarganya Eugene. Nah kan aku jadi makin seperti pembantu dan dua Ibu-Anak itu seperti majikanku. Ya Tuhan, ada apa dengan hidupku? Mau Kau apakan nasibku Ya Tuhan? Tolong!
“Yureka, nanti kamu bantu Tante cari tanaman dan pot yang bagus yaa?”, celetuk Tante Mia.
Sesaat aku membeku. Tidak salah dengarkah aku? Baru saja Mamanya Eugene mengajakku berbicara?
“Ehmm… Ya, Tante. Nanti aku bantuin”, jawabku sambil tidak bisa menahan senyum.
Sebelum ke bagian tanaman, kami bertiga melewati bagian perabotan dalam rumah seperti lampu-lampu, hiasan ruang tamu, dan juga kasur beserta kawan-kawannya. Melihat perabotan seperti ini aku jadi tidak sabar ingin menikahi Eugene. Pasti menyenangkan kalau nanti beli perabotan rumah tangga baru bersamanya. Memilih-memilih barang-barang unik, mungkin sedikit bertengkar karena mungkin selera kami agak berbeda, terlebih Eugene kan seorang interior designer, pasti seleranya lebih tinggi dariku.
“Aku ada telpon. Sebentar ya”, ujar Eugene mengangkat telpon entah dari siapa.
“Pasti itu dari tempat kerjanya. Orang Singapore tidak bisa menghargai hari libur atau bagaimana? Sudah tahu Eugene ijin cuti beberapa minggu tapi masih juga ditelpon”. Tante Mia emosi.
“Mungkin telpon urgent atau penting, Tante”, jawabku netral.
“Ah coba lihat ini. Lucu ya?”, tanya Tante Mia menunjuk ke arah bantal berwarna merah.
“Iyaa bagus, Tante. Tante suka warna merah, ya?”, tanyaku basa-basi menggali informasi dan mencoba mencairkan suasana.
“Ya, saya suka sekali warna merah. Warna ungu juga sih.”
“Sama dong tante. Saya juga suka warna merah. Tapi kalau ungu nggak sih. By the way, ini cocok kalau dipake untuk ruang tamu. Kalopun sofa tante dirumah warnanya lain, kayak warna crème atau warna muda lainnya, nah ini masih masuk tante. Soalnya ada corak-coraknyanya dan warna merahnya nggak terlalu merah banget. Jadi cocok. Elegan.”
“Boleh juga.”
Duh, apa aku terlalu banyak bicara? Ekspresi Tante Mia begitu aneh setelah ku beri komentar tentang bantal berwarna merah itu. Jadi, Yureka, sebaiknya tutup mulut mu sekarang!
Di bagian tanaman, aku dan Tante mulai mencari yang beliau butuhkan. Kali ini aku akan berusaha untuk tidak mengeluarkan satu kata demi menjaga reputasiku.
“Kalau ruang tamu yang minimalis, kira-kira ini cocok tidak ya? Ini sih mau Tante taruh di ruang tamu rumah di Tebet. Dan ruang tamunya nggak terlalu besar.”
Ku ingin bicara tapi aku takut Tante Mia akan ilfil lagi denganku. Tapi mulutku gatal ingin berkata sesuatu. Duh, serba salah sekali. Apa yang harus aku lakukan?
“Yureka?” Tante Mia membangunkan ku dari keraguanku.
“Hmmm. Oh maaf, Tante. Kalau ruang tamunya kecil… bisa pake yang tinggi kayak gini, Tante. Yang daunnya tinggi”, jawabku singkat, padat dan jelas.
“Kenapa?”
“Saya bukan interior designer kayak Eugene sih, Tante. Tapi kayaknya kalau pake yang daunnya tinggi, ruang tamu yang ukurannya minimalis bisa kelihatan lebih keisi. Dan harus pake pot yang ramping kayak… sebentar… nah ini. Ini cocok kayaknya, Tante. Jadi nggak makan tempat juga ruang tamunya. Dan ini kan tinggi keatas, jadi pokoknya keliatan lebih full gitu, Tante. Walaupun ukurannya kurang besar.”
“Selera kamu bagus juga. Oke, Tante ambil yang ini.”
Apa? Seleraku bagus? Jujur tadi itu hanya mengarang. Maksudnya untuk memilih tanaman tentu aku pikir dengan akal logika, tapi alasan yang minimalis dan kawan-kawannya itu, aku hanya mengarang bebas. Tapi melihat Tante Mia sedikit tersenyum dengan pilihanku tadi, aku jadi lega. Entah mengapa rasa minder yang menghantuiku beberapa jam lalu, terkikis sedikit demi sedikit dengan kecerdasan yang ku miliki. Ternyata nikmat ya jadi orang pintar. Indonesia tidak akan menyesal telah memberangkatkanku ke Amerika dua tahun lalu. Terimakasih, Indonesia!
Ditengah-tengah perbincangan dengan Tante Mia, lagu “May It Be” milik Enya diputar cukup keras oleh manajemen toko retail rumah tangga itu. Lagu itu kan sangat jarang orang tahu. Kupikir toko retail sekelas dunia macam ini akan memutarkan lagu-lagu hits semacam Adele atau genre musik disko milik David Guetta.
“Ih lagu favorit gue”, sontakku tanpa sadar.
“Kamu tahu Enya?” tanya Tante Mia penasaran.
“Lumayan tahu, Tante. Lagu-lagunya Enya bikin lullaby gitu”
“Kamu tahu darimana? Kan nggak banyak orang tahu?”
“Gara-gara apa yaa. Oh, gara-gara saya terinspirasi dari tugas saya waktu kuliah S1 dulu, Tante. Jadi lagi bahas politik di negara-negara Eropa dan salah satunya bahas negara Irlandia. Dan saya jadi kepingin liburan kesana suatu hari nanti. Trus saya searching-searching penyanyi yang terkenal di Irlandia. Ternyata Enya salah satunya. Dan ternyata lagu-lagunya enak-enak semua”
“Oyaa? Kamu suka lagu dia yang mana lagi?”
Storm In Africa
“Wah itu sejuk sekali”
“Kalau Tante? Suka yang mana?”
“Tante lebih suka yang… Book of Days
“Wah itu saya juga suka”
Tidak kusangka, mencuri hati seorang Kang Mi-sook Ajumma ternyata hanya dengan membahas lagu-lagu yang disukainya. Kalau begini aku jadi optimis untuk tetap bisa berjodoh dengan anaknya yang tampan itu. Aku jadi tersenyum-senyum sendiri. Aku bahagia!
----
Menjadi calon istri seorang anak keturunan Chinese-Korea-Indonesia memanglah tidak mudah. Aku memang sudah berhasil mencuri hatinya Tante Mia minggu lalu. Tapi tidak sampai disitu. Minggu ini adalah minggu pertama aku les bahasa Korea secara privat. Gurunya sendiri sudah di’booking’ oleh Tante Mia karena katanya guru ini adalah langganan guru bahasa Indonesia orang Korea yang bekerja di Indonesia khususnya di kota Jakarta. Dan setelah aku kulik, rupanya guru yang berjenis kelamin perempuan ini memang sudah cukup terkenal di kalangan Instagram. Dan rupanya sudah lama pula aku mem-follow akunnya. Aku juga lupa mengapa aku follow dia di Instagram. Lalu, alasan apa aku follow dia di Instagram sejak lama? Dan untuk apa pula? Apa jangan-jangan ini adalah petunjuk sebagai sebuah takdir yang telah digariskan Tuhan kepada aku dan Eugene?
Masih membahas soal les bahasa Koreaku. Belajar bahasa Korea memang membuat sakit kepala sebelah. Padahal kalau aku nonton reality show Korea kedengarannya tidak sesulit itu. Tapi rupanya itu memang sulit. Belum lagi aku juga harus belajar huruf Hangul. Untungnya tidak serumit huruf Mandarin dan untungnya aku tidak diminta Tante Mia belajar bahasa Mandarin juga. Eh tunggu, siapa tahu benar. Neneknya Eugene alias Popo kan orang China. Jangan-jangan setelah sesi les bahasa Korea ini selesai, aku harus belajar bahasa Mandarin untuk menyetarakan diri dengan keluarganya yang campuran itu. Oh tidak!
Sepulang les bahasa Korea yang dilakukan di salah satu kafe di suatu gedung perkantoran, aku bertemu dengan tunangan tercinta. Kami bertemu untuk membahas tamu-tamu yang akan kami undang, serta membahas detail pernikahan lainnya yang belum sempat dibahas. Mumpung Eugene masih dapat cuti dan baru kembali ke Singapore minggu depan.
“Gimana tadi lesnya?”, tanya Eugene yang saat itu menggunakan kaos putih lengan pendek dan celana pendek berwarna coklat muda.
“Curang”, jawabku cemberut sambil menyeruput es Green Tea Latte.
“Ih curang apanya?”
“Kamu yang anak mix korea, aku yang belajar huruf Hangul. Kan kamu nggak bisa baca huruf Hangul, yakan? Huh!”
“Alhamdulillah. Aku terbebas dari paksaan Mama. Soalnya dari dulu emang nggak diajarin huruf Hangul, dan baru disuruh akhir-akhir ini. Ya, aku nggak mau lah. Buat apa juga?”
“Iyaa jadinya aku yang belajar. Curang kan namanya”
“Nggak apa-apa lah. Hitung-hitung nambah ilmu. Eh daripada kamu suruh belajar bahasa Mandarin juga hayo”
“Ehh enggak deh makasih. Cukup bahasa Korea aja ya, Sayang. Yang lainnya, waiting list aja.”
“Ayo, let’s talk about our wedding
Oooh, our wedding
“Untuk jumlah tamu undangan, setelah aku hitung, dari aku, aku punya… 900an undangan”
“Ih banyak amat. Katanya nggak sampe segitu. Lagian temen kamu paling berapa sih? Nggak banyak kan?”, aku mulai sensi dengan yang dikatakan Eugene.
“Ya, you know Mama sama Papa rekan bisnisnya ada berapa. Temen-temenku sih Cuma… ehmm berapa nih. Yaa nggak ada 100 malah. Tapi sisanya sodara-sodara sama rekan bisnis Papa-Mama semua. Kalau kamu emang berapa?”
“Aku cuma 600an gitu. Itu all include saudara, kerabat Ibu-Ayah, sama temen-temenku. Udah.”
Then, what are you freaking for? Cuma 1500 orang. That doesn’t matter, right?
What? Eugene, are you insane? Can we afford a wedding with 1500 guests? Belum lagi barusan kita bakalan ngadain resepsi juga di Bali sama di Korea juga. Are you really sure kalau kita sanggup bayar semua ini?”
Ah for that. Huum. I have actually news for you, from my mom. Do you want to listen to this carefully?
Okay. Go ahead
I don’t know how to explain but she said that because I am the eldest son, and I am the first one who get married, so she can afford for whole these. So…
Hold hold hold… She? What? She? Your mom? Afford this? Our wedding? Eugene, I don’t understand…” emosiku makin bertambah. Untungnya Eugene bisa menenangkan.
Listen, Honey. Dia bilang, dia punya banyak rekan bisnis dan dia nggak mau ngecewain mereka dengan cuma wedding yang gitu-gitu aja. So, dia memutuskan, well both Papa too. That they will treat our wedding. Katanya anggap aja itu hadiah buat kita. Mama juga bilang, dia pengen nyenengin aku karena aku udah mau jadi anaknya yang paling baik, nurut, disiplin, dan rajin versi dia. Dengan segala kesuksesan yang sejauh ini aku dapet, well I am not that succesfull yet, but she consider that I am that one. So, she is so proud of me actually. Dan soal fix-nya resepsi di Korea, nggak semua anggota keluargaku bakal dateng dari Korea ke Jakarta besok Januari, cuma sebagian aja, jadi akan lebih indah kalau kita ngadain juga disana. Kalau yang di Bali kan emang lebih privat aja, ya kan? Jadi, sebagai hadiah buat kita, Mama-Papa will treat us, treat our wedding expenses. 80% of it
Emosiku mereda. Meskipun masih mengganjal.
Just relax. Okay?” kata-kata Eugene benar-benar sangat menenangkanku dan memenangkanku dari emosiku sendiri.
Okay, meskipun perjanjian awal 50-50, tapi… Yes, I’ll take it. Tapi aku nggak bisa gitu aja dong. I need to do something for her. Ya, kan?”, tanyaku memastikan.
“Just be a good daughter-in-law for her. And make your Korean lesson good as well. Pasti dia akan senang”. Jelas Eugene sambil mengangkat wajahku dan menyampingkan rambutku ke telingaku.
Yap, Eugene lagi-lagi berhasil membuatku tenang dan juga tersenyum.
“Tapi, Sayang… Apa kata orang nanti kalau misal mereka tahu semua ini dibayarin sama Mama-Papa kamu? Nanti mereka kira aku cewek materialistis lagi”, ujarku lagi masih emosi bernada menyalahkan.
“Ya nggak usah dengerin kata orang. Simple kan? Sayang, kita tuh pernah tinggal di Amerika 2 tahun, nggak pernah ada budaya kepoin biaya nikahan orang kan? Emang kamu tanya sama Cassandra berapa biaya tunangan sama nikahnya waktu itu? Nggak kan?”, respon Eugene yang memang selalu menenangkan.
“Yaa sih. Dia malah lebih mewah lagi. Anak businessman Meksiko sih. Yaa, nggak heran. Thank you yaa, Sayang”, jawabku menghela napas dan mulai tenang juga lega
Say thank you-nya sama Papa-Mamaku lah. Jangan ke aku. Aku juga bilang makasih kok sama mereka. I don’t have that much money, Sayang. Pegawai kontrak kayak aku bayar uang apartemen bulanan aja masih Alhamdulillah”, lanjut Eugene sambil mencubit hidungku.
Aku hanya bisa membalas dengan senyuman.
“Makan yuk. Laper!”, ujar Eugene sambil merapihkan sampah-sampah diatas meja yang siap dibuang ke tempat sampah.
“Yuk! Aku yang traktir! Please! Kan kamu udah traktir wedding kita. Gantian. Yaa, aku cuma sanggup bayarin kamu makan sih. Tapi kamu boleh pilih makan apa aja yang kamu mau”, seruku padanya.
“Bener yaa? Yaudah. Aku lagi kepengen kwetiau goreng yang ada di belakang situ”, ujar Eugene sambil menunjuk ke arah kaki lima persis di belakang gedung perkantoran ini.
“Yakin? Nggak mau sushi kayak biasanya? Atau Italian Restaurant gitu?”, tanyaku
Nope. Mending uangnya disimpen, ditabung buat biaya honey moon kita. Nah kalau yang itu nggak dibayarin sama Papa-Mama soalnya”, balas Eugene diakhiri tertawa.
“Oke. Yuk. Kwetiau goreng. Gaja!”. Aku menarik tangannya dan keluar dari kafe tersebut.
Ternyata tarikan tanganku dengan meraih tangan Eugene dibalas baik dengannya dan menjadi sebuah genggaman tangan yang sangat erat. Menuju ke kaki lima tersebut, aku pun melanjutkan percakapan dengannya.
“Sayang, can I ask you some questions?”, tanyaku pada Eugene agak malu.
Sure”, jawabnya masih menggenggam tanganku.
How rich are you? I mean your parents?
What?
Sorry, Eugene. But I need to know about this. Soon or late, you are a part of my family and I am being a part of your family as well. So, I need some other information about your family. And I swear I won’t tell anybody about this. Cause I love you from who you are, not your wealth, I mean your parents’ wealth. Because I knew that you bought your iPhone from Columbia Student Loan Money. And I knew how much money did you have in New York. You so broke, didn’t you?
Eugene hanya tertawa kecil.
Setelah itu Eugene menceritakan rahasia terbesar dalam hidupnya yang tidak pernah diceritakan kepadaku; tentang kekayaan orang tuanya. Untuk orang yang masih punya rasa kemanusiaan dan akal budi yang baik, maka pasti tidak akan pernah menceritakan seberapa kaya mereka. Tapi karena sebentar lagi aku akan menikahi Eugene, maka akan sangat lebih baik kalau aku tahu semua bisnis yang dimiliki keluarganya supaya aku bisa mengira-mengira uang yang mereka peroleh untuk membiayai pernikahanku dengan Eugene pada akhir Januari mendatang.
Dengan seksama aku mendengarkan cerita Eugene. Secara singkat, keluarga Eugene punya beberapa bisnis yang dimiliki sejak kurang lebih 20 tahun terakhir. Mulai dari toko obat milik Kakeknya yang tetap berdiri hingga saat ini yang terletak di daerah Glodok, Jakarta Barat. Juga usaha yang sangat menjadi matapencaharian utama bagi keluarga Oetomo yaitu bisnis rental mobil di Bali yang sudah ada lima cabang jumlahnya. Belum lagi toko bahan bangunan alias material di beberapa tempat di Jakarta, Bogor, dan Surabaya. Atau toko listrik yang sejak Eugene SMP sudah ada dan masih dipertahankan sampai saat ini. Dan dulu katanya Mama Eugene punya toko souvenir tapi sudah dipindahtangankan ke pihak lain karena terlalu sibuk mengurus usaha lainnya yaitu sebuah hostel backpacker di Bali. Nah, sudah kuduga hostel lah yang menjadi pasokan utama dimana mereka mendapat uang sangat banyak. Dan katanya akan membuat cabang di Yogyakarta. Dilanjut Eugene bahwa Papanya juga investasi di beberapa sektor seperti properti dan saham. Belum sampai disitu, keluarga Tante Mia alias Mamanya Eugene juga ternyata punya bisnis keluarga yaitu klinik operasi plastik yang cukup profesional dan terkenal di Korea. Oh ya, belum lagi usaha klinik obat-obatan herbal di beberapa kota di Korea dan di China juga miliki keluarga besar Kang. Benar-benar mengerikan punya calon keluarga yang setajir mereka. Semoga aku sanggup menghadapi ini semua.
“Aku fix deh kayak Rachel Chu di Crazy Rich Asians”, kataku sambil menunggu pesanan kwetiau goreng yang sudah kami pesan beberapa menit yang lalu.
“Siapa tuh?”, tanya Eugene terlihat sangat naif.
“Ah yaa lupa. Kamu kan nggak pernah nonton film. Itu film tahun 2018 yang terkenal banget. Tentang seorang wanita biasa yang memacari seorang kaya raya. Tapi cowoknya nggak pernah bilang kalau dia kaya raya”, jawabku panjang lebar.
“Kenapa?”
“Yaa, karena buat apa dikasih tahu. Kan mencintai apa adanya. Bukan ada apanya”
“Sama dong. Kamu nggak pernah aku kasih tahu yang tadi karena aku pengen jadi orang biasa. Biar yang punya uang Papa-Mamaku aja karena itu usaha mereka. I don’t deserve that money anyway. Dan aku nerima kamu apa adanya, bukan ada apanya. Kamu juga kan?”
Ofcourse…
“Jadi Rachel Chu itu siapa?”
“Hahaha masih dibahas. Eh tapi ada kesamaan loh antara aku dan dia”
“Apa?”
“Kita sama-sama almamater NYU. Soalnya di film itu ceritanya dia professor NYU. Kan aku juga anak NYU”
“Trus pacarnya yang kata kamu kaya raya itu?”
“Siapa ya namanya? Nick siapa gitu. Jadi, dia anak pebisnis tajir melintirnya Singapore. Trus dia tinggal di New York. Pura-pura jadi orang biasa dan dia jatuh cinta kepada gadis bernama Rachel Chu tadi. Trus ternyata Rachel baru tahu kalau Nicknya tajir pas mereka otw ke Singapore dari New York naik first class gitu. Tapi besok kita ke Korea nggak naik first class kan? Kalau iyaa aku kayaknya pingsan deh”
“Ehmmm. Apa ya? Let me surprise you”, Eugene menatapku dengan dalam namun penuh kharisma.
“Oh okay, feeling-ku nggak enak nih. Yeaah, kwetiau nya datang! Selamat makan!”, seruku saat melihat pesanan kwetiau goreng yang kami pesan sampai di meja dengan selamat.
“Selamat makan. Bismillah”
Percakapan yang awalnya santai lalu berubah sekejap menjadi pertengkaran sekelas adu ayam kampung yang kemudian menjadi damai layaknya pasukan Jerman yang mengalah pada sekutu, sampai berakhir di meja kwetiau goreng, menutup pertemuanku sore itu dengan Eugene sebelum ia kembali ke Singapore dan melanjutkan pekerjaannya disana.
----
Rintangan memang selalu ada. Apalagi kalau masalah urusan mempersiapkan pernikahan. Dalam empat bulan terakhir, ada-ada saja masalahnya. Kemarin-kemarin masalah awkward-nya diriku dengan Mama Eugene. Belum lagi ternyata kami akan mengadakan tiga kali resepsi. Lalu ternyata kami akan mengundang 1500 tamu undangan. Atau yang baru-baru saja terjadi, aku dan Eugene bertengkar cukup hebat soal lokasi foto pre-wedding. Dari awal Eugene memang tidak suka hal-hal seperti itu, tidak suka difoto yang ala-ala begitu. Dan aku memakluminya. Tapi kan sayang saja, ini once in a lifetime, dan aku agak sedikit memaksa Eugene untuk foto pre-wedding, dengan catatan kalau konsepnya menggunakan konsep paparazzi atau yang tidak terasa seperti difoto. Jadi bagaimana itu? Ya pokoknya begitu. Dan awalnya juga Eugene tetap menolak, lalu aku marah, dan kami bertengkar, tidak bicara selama dua hari. Tapi beruntungnya Eugene reda, dan akhirnya dia mau bicara denganku lagi, dan mengalah, dan mau untuk foto pre-wedding, dan bebas menentukan dimanapun lokasi yang aku mau. Tapi sebagai pasangan yang pengertian, aku juga memberikannya kesempatan untuk menentukkan lokasi yang mungkin selama ini ia idam-idamkan. Kalaupun tidak, yaa minimal ia terinspirasi oleh film Walt Disney, seperti Snow White atau Tarzan yang menggunakan konsep hutan. Oh ya, baru ingat, Eugene tidak suka menonton film.
“Oke. Aku mau fotonya di perpustakaan. Gampang kan?”, Eugene menelurkan idenya.
“Boleh juga. Oke kalau gitu”, akuku yang menyetujui ide Eugene tersebut. Yang penting dia mau diajak foto pre-wedding.
“Kalau kamu?”, tanya Eugene.
“Aku dari dulu pengen banget pre-wedd di dalem studio bioskop. Lagi pura-pura nonton film komedi, adegannya ketawa gitu bawa popcorn sama Green-Tea Latte. Pasti seru”
“Ternyata sesimpel itu. Pantesan dari kemaren maksa-maksa pengen foto pre-wedd
I’ve already told you, Sir. Kamunya aja nggak mau ngasih kesempatan aku buat ngomong”
“Mau berantem lagi nih? Lapangan mana nih yang kosong”
Perbincangan itu ditutup dengan canda tawa kami, sepasang calon suami-istri yang sedang merasakan jutaan perasaan yang menghampiri ubun-ubun kami. Oh ya, ngomong-ngomong, Eugene mendapat libur sabbatical dari kantornya, alias ijin cuti panjang selama tiga bulan. Aku baru tahu kalau pegawai kontrak baru satu tahun bekerja bisa mendapat libur sabbatical. Baik sekali yaa perusahaan tempat Eugene bekerja di Singapore. Eh, tapi jangan salah, sebagai gantinya, Eugene diminta untuk bekerja disana lebih lama alias kontraknya diperpanjang sampai dua tahun. Hmm, itu berarti pilihannya ada dua, aku tetap bekerja di Jakarta lalu nanti aku dan Eugene LDM (Long Distance Marriage) Jakarta-Singapore, atau aku yang akan ikut pindah ke Singapore dan cari kerja disana. Apapun hasilnya, bagaimana nanti lah. Melangsungkan akad dan resepsi saja belum, sudah mau memikirkan hal lain. Kebiasaan sekali kau ini, Yureka! Yang sudah dekat malah hampir dilupakan, yang masih jauh malah terlalu dipikirkan. Fokus!
----
Eugene. Satu pekan menuju pernikahan. Januari 2021. Jakarta. Masa Depan.
Nggak kerasa, satu minggu lagi gue akan mempersunting cewek idaman hati, Yureka Bhanuresmi Cendekia. Banyak banget yaa ternyata tantangan mau married. Ada aja masalahnya. Tapi Alhamdulillah, banyak yang ikut bantu dan support, jadi semua hambatan dan rintangan bisa teratasi. Yureka juga udah mulai enjoy les bahasa Koreanya. Dan sedikit-sedikit dia mulai praktekin ngomong sama Nyokap. Jadi nggak sabar pengen ikutan ngobrol sama dia pake bahasa Korea, apalagi kalau punya anak nanti, pasti seru kalau lagi sarapan bareng atau makan malem keluarga, bisa ngobrol pake bahasa Korea bareng. Hehehe.
Eh ngomong-ngomong Korea, hari ini tanggal 23 Januari 2021 hampir semua anggota keluarga Nyokap kayak Kakek-Nenek, Om-Tante, dan sepupu-sepupu gue, bakalan dateng ke Jakarta. Semua akomodasi dan transportasi udah diurus sama sepupu gue yang namanya Eun-ha, kebetulan dia yang paling jago bahasa Inggris dibanding anggota keluarga gue yang lain. Yaa yang lain bisa sih, dikit-dikit, tapi karena mungkin Eun-ha dulunya kuliah HI, dan sekarang juga kerjanya masih ada hubungannya sama internasional gitu, jadi emang udah terbiasa komunikasi pake bahasa Inggris.
Jumlah sanak saudara gue dari Korea yang bakal stay di Jakarta dan Bali buat dateng ke acara nikahan gue sekitar 12 orang. Mulai dari Arabeoji (Kakek), Pho-Pho (Nenek), dua Kakak Mama yang pertama dan kedua beserta istrinya masing-masing, Tante gue alias adiknya Mama yang terakhir beserta dua Anaknya dan suaminya yang bule Amrik itu, dan dua sepupu gue yang mana anak-anak dari Kakaknya Mama yang kedua, Eunha dan Hajoon. Selama di Jakarta, mereka akan menginap di The Ritz Carlton. Lokasinya di area SCBD. Alasan kenapa gue naro mereka semua disana, pertama karena lokasi acara nikahan gue besok di deket HI, yaa gampang tinggal searah ke arah Jakarta Kota. Alasan kedua, karena dekat area perkotaan, biar gampang kalau mereka mau jalan-jalan. Dan yang tidak kalah penting adalah karena biar nggak repot kalau mereka tiba-tiba pengen makan kimchi atau makanan Korea lainnya. Yaa, hotel itu deket area SCBD dan di daerah itu ada banyak restoran Korea yang tersebar. Jadi, urusan perut mereka aman lah kiranya.
Dan hari ini juga gue akan memperkenalkan semua anggota keluarga Nyokap gue ke Yureka. Semoga nggak awkward kayak waktu makan sushi di New York dulu yaa. Makanya, kali ini gue nggak mau mereka ketemu Yureka makan sushi lagi, tapi ngajak minum kopi atau ngeteh aja di Pacific Place Mall, Jakarta di waktu sore sebelum makan malam, dan kebetulan semua keluarga abis tidur siang karena mereka baru mendarat di Jakarta tadi pagi. Jadi, sore hari menurut gue adalah waktu yang pas buat ngenalin calon istri gue ke anggota keluarga gue lainnya.
Dengan pakaian short dress yang nggak short-short amat, lengannya juga lengan panjang gitu, berpola bunga-bunga, rambut di catok lurus dan digerai, sepatu flatshoes berwarna putih, OH MY GOD!, cewek gue asli cantik banget. Untung hari ini masih bisa ketemu karena mulai besok gue udah dipingit alias nggak dibolehin ketemu calon mempelai perempuan karena masih ngikutin adat tradisi Jawa dari sisi Bokap. Anyway, sumpah Yureka cantik banget. Belum nikahin dia aja gue udah nggak tahan, gimana kalau udah minggu depan. Hehehe.
Oh ya, tapi Yureka dateng nggak sendirian, dia dateng sama guru privat Bahasa Koreanya dengan tujuan untuk bantuin dia terjemahin kalau dia ada yang nggak tahu artinya. Ya, bisa aja sih gue yang bantuin terjemahin, tapi berhubung sepupu-sepupu gue juga perlu teman ngobrol, jadi biar Yureka juga sekalian praktekin bahasa Korea yang udah dia pelajarin dari empat bulan lalu.
Dan pertemuan pertama antara Yureka dan keluarga besar Nyokap dari Korea, kiranya menjadi percakapan seperti berikut :
Eugene          So, Yureka, this is my family, maternal family (gue berbisik pada Yureka dan berkata “Jangan lupa bungkuk”)
Yureka            : (berbisik) Udah tahu. (tersenyum)
Eugene           Nae milaeui anae yuleka ya.
Yureka            Annyeonghaseyo. Jakaleuta-e osin geos-eul hwan-yeonghabnida. (membungkuk)
(semua)           Oh, daebak! … Jalhaesseo! Gamsahamnida! (membungkuk bersamaan)
Eugene          Okay, I will introduce you one by one, ya. So, this is my Mom and Dad. You already knew right?
Yureka            Annyeonghaseyo, Om, Tante.
Mama-Papa    Annyeonghaseyo, Yureka.
Eugene          Then, the first brother of my Mom, Om nya aku, Kang Dong-won, istirnya Jeong Hye-jung.
Yureka            : (berbisik) Susah amat sih, Yang namanya.
Eugene           : (berbisik) Iyaa emang begitu.
Yureka            Annyeonghaseyo. (membungkuk)
Eugene          And then, another uncle, the second brother of my Mom, Om Kang Kyung-seok, dan istrinya Lee Sung-min.
Yureka            Annyeonghaseyo. (membungkuk). (berbisik lagi) Nama istrinya mending sih nggak ribet.
Eugene           : (berbisik) Yaudah pokoknya emang begitu. And then, their kids, Kang Eun-ha and Kang Ha-joon.
Ha-joon           Annyeonghaseyo. Selamat sore.
Yureka            : Selamat sore. (membungkuk). Hi, Eunha.
Eunha              Hi, Yureka! Finally, we meet!
Yureka            Yes
Eugene          And my mom’s sister, Kang Mi-ja, and her husband Harold. And their kids, Mayer and Olivia.
Yureka            Hi. (membungkuk). Annyeonghaseyo.
Eugene           And the one and only, my beloved Grandparents, Kang Dong-wok and Meiyin Wang.
Yureka            Annyeonghaseyo. Yureka hamnida. Bangapsumnida. (membungkuk).
Kakek-Nenek  Annyeonghaseyo, Yureka.
Eugene           : Silahkan duduk. Please have a seat. Anj-ajuseyo. (membungkuk)
Yureka            : (berbisik) Kok kamu nggak pernah cerita kamu punya Om orang bule.
Eugene           : Udah ah.
Yureka            : Kapan?
Eugene           : Eh belom yaa. Ah nggak penting. Aku cerita nanti-nanti aja yaa.

----
Yureka. Hari Pernikahan. Januari 2021. Hotel Kempinski Jakarta. Hari bersejarah. Jakarta. Masa Depan.
Tidak terasa, sejak enam bulan aku dan Eugene merencanakan ini, akhirnya hari besar itu tiba. Ya, hari ini adalah hari yang akan paling dikenang, hari paling bersejarah dalam hidupku. Aku dan Eugene akan melangsungkan akad nikah. Oh Tuhan, rasanya aku masih tidak menyangka. Aku juga masih berpikir apakah aku siap dengan semua langkah ini. Apakah aku benar-benar sudah mampu? Semoga semuanya lancar. Bantulah niat baik kami, Ya Tuhan.
*tok tok tok*
“Yureka, udah siap? Mempelai pria dan keluarganya udah dateng dan kita harus siap-siap”, seru Ine.
Okay. Thank you”, balasku sudah siap dan juga membawa buket bungaku.
Didepan pintu kamar hotel, di lantai 7, ada Kak Anna dan Farida yang sudah siap mendampingiku menuju ke ruang akad di lantai 3 hotel.
Ready, Kak?” tanya Farida
Bismillah”, jawabku sambil agak gemetaran.
“Udeh jangan tegang. Dibawa santai aje”, sahut Kak Anna.
“Lu nikah aja belom, Kak. Emang tahu rasanya nervous mau akad gimana?”, balasku pada Kak Anna.
“Ya belom sih. Tapi kan emang jangan dibawa tegang. Biar smooth, lancar. Yaudah, baca doa aja yang banyak”, lanjut Kak Anna sambil membantuku membawa ekor gaun pengantinku yang panjangnya hampir dua meter.
Aku mendengar para panitia acara sedang siap-siap, suara handytalk saling sahut-menyahut. Tanda di ruang akad sudah siap, dan saatnya mempelai wanitanya alias diriku diijinkan masuk ke ruang meeting hotel yang menjadi tempat aku dan Eugene melangsungkan akad.
Sampai di depan ruang tersebut, aku juga masih harus menunggu aba-aba dari panitia, karena saat aku masuk ruangan nanti, konsepnya dibuat mirip seperti di film-film yang aku tonton, yakni ada musik yang mengiring. Yaa bukan musik metal atau hiphop, hanya musik folk Celtic kegemaranku. Sebelum masuk ke ruangan, aku sesekali melihat ke lingkungan sekitar. Semua dekorasinya sangat cantik, lebih dari yang aku dambakan. Aku juga melihat ke arah papan tulis di depan pintu ruang tersebut bertuliskan “Today : Marriage Settlement (Akad) of The Double Yu (Yureka-Eugene). Wish them luck”. Aku hanya bisa tersenyum. Ya, akhirnya sebentar lagi Double Yu, Yureka dan Yujin akan mengakhiri masa lajang kami dan siap menjadi sebuah keluarga baru.
“Musik sudah dimainkan. Ganti. ”, ucap salah seorang panitia lewat HT-nya.
“Mempelai wanita dan pengiring-pengiringnya sudah didepan ruangan. Ganti”, balas panitia satunya lagi.
“Ya silahkan”, ujar panitia lainnya lewat HT.
“Silahkan”, salah satu panitia mempersilahkanku masuk ke dalam ruangan.
Aku pun memasuki ruang akad. Sudah banyak orang didalam yang menunggu sejak beberapa jam pastinya. Aku hanya bisa melempar senyum kepada semua tamu undangan. Ketika masuk ruangan, aku ditemani Ayah. Sedangkan pengiring pengantinku berbaris dibelakang. Ibu dan Kakak-Kakakku juga ada didalam barisan. Dengan mengenakan gaun putih panjang yang berbahan dasar brukat yang sederhana namun tetap eksotis, hair-do yang juga sangat sederhana dan nyaman, aku berjalan di altar menuju meja ijab qobul. Dari kejauhan aku melihat Eugene dengan kemeja putihnya, dengan hiasan bunga yang entah apa itu tidak terlalu kelihatannya bentuk bunganya. Ah, tidak peduli. Aku hanya peduli, di sudut sana sudah ada kekasih hati yang sudah menungguku untuk segera dinikahi. Tidak lupa juga bapak penghulu dan para saksi yang juga sudah siap menikahkanku dan Eugene. Ya, jangan salah penghulu kan bagian terpenting dari acara akad nikah. Kalau tidak ada beliau, maka tidak akan menikahlah kami.
Setelah sekiranya berjalan sepanjang dua menit, aku sampai di meja ijab qobul. Duduk disebelah Eugene. Aku gugup. Gugup akan melangsungkan akad, dan gugup karena Eugene sungguh tampan. Ini serius!
Ayahku yang tadi mengantarkanku juga langsung duduk di kursi saksi. Ya, karena Ayah yang menjadi wali nikahku.
Acarapun dimulai. Meskipun kegugupan menghampiri, tapi aku berusaha untuk tetap fokus. Aku sempat keringat dingin. Semoga aku tidak pingsan. Sangat tidak lucu. Masa di acara pernikahan sendiri aku pingsan. Yureka, stay awake!
Lalu setelah rangkaian tatanan acara akad, saatnya pembacaan ijab qobul. Oh Tuhan, aku tidak akan sanggup mendengarnya. Aku takut Eugene akan salah membaca namaku karena namaku cukup sulit disebutkan. Eh tapi waktu Eugene melamarku di Singapore, dia hapal nama lengkapku dan tidak salah ucap. Ah, berarti aku percayakan dia kalau semuanya akan baik-baik saja. Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar.
Karena masih tidak sanggup, akhirnya aku menundukkan kepalaku sedikit dan memejamkan mata sejenak selama pembacaan ijab itu dilakukan. Meskipun mata terpejam, tapi aku menyimak semuanya. Kata demi kata yang diucapkan penghulu dan kemudian disusul dengan kata-kata ijab yang diucapkan Eugene. Aku mendengarkan. Ya, Tuhan ini semua terjadi! Terimakasih Ya Tuhan!
Tidak sampai seperempat menit, semua orang secara serentak mengucapkan “Sah!”
Astaga.
Aku sedang tidak bermimpi kan?
Apa benar aku dan Eugene sudah sah menjadi suami-istri?
Oh Tuhan, bangunkan aku dari mimpi yang keterlaluan indah ini.
Aku membuka mataku. Kutarik napasku dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan. Yang ada dibenakku hanyalah, ya benar ini kenyataan bukan lagi mimpi apalagi imajinasi! Kemudian berusaha menatap ke arah Eugene.
Seperti Musim Gugur Oktober 2018 silam. Setelah semua ‘bombardir’ ini terjadi, aku dan Eugene hanya bisa saling lempar senyum, tidak bisa berkata apapun karena terlalu bahagia.
New chapter. Let’s do it together!” ucap Eugene sambil mengedipkan mata kirinya.
Dan aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Aku bahagia. Kami bahagia. Semua berbahagia.

- BERSAMBUNG KE SEASON 3 -


Lanjut Season selanjutnya yooooow:

Comments

Popular posts from this blog

Kumpulan Cerita Bersambung : DOUBLE YU - SEASON 1 (karya Yulia Sutjahjono)

"Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan)" Part 2

Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan) Part 1