DOUBLE YU SEASON 2 - Episode 4 : "Waktunya Kanada"


(Courtesy of Geulgram)


Eugene. Januari 2019. New York. Masa Depan.
“Sayang, kamu di apartemen, kan? Bukain pintu dong. Kedinginan nih…”
Ya, buru-buru gue ngetik itu ke Yureka. Karena gue ada di depan gedung apartemennya. Bodohnya, gue nggak bawa sarung tangan. Karena buru-buru dari dormitori gue yang deket kampus Columbia University ke apartemen Yureka di daerah Broadway dan membutuhkan waktu kurang lebih 40 menit naik metro plus jalan kaki dan lain sebagainya. Nggak ada alasan khusus sih kenapa tiba-tiba kepikiran buat ke apartemen Yureka. Tapi karena kita baru aja berantem yang ala-ala gitu, jadi yaa nggak ada salahnya kalau ketemuan langsung, biar lebih clear, lebih enak ngomongnya.
Eh, btw, gue udah jadian loh sama Yureka. Lebih tepatnya sejak 30 Oktober 2018 lalu. Hmmm udah hampir 3 bulan sih, dan yaa masih asyik-asyik aja. Kecuali kejadian yang baru-baru ini terjadi. Dominico, adik kandung dari roommate-nya Yureka, si Cassandra, eh gimana tuh. Yaa, pokoknya gitu. Cerita singkat, Dominico lagi liburan di New York selama satu bulan dan menginap di apartemen mereka karena roommate mereka terdahulu udah pindah ke Boston dan selama roommate yang baru belum pindah, alhasil diisi sama Dominico.
Berawal dari jemput dia di bandara, Yureka jadi deket banget sama Dominico. Yaa, jujur sih gue cemburu sama Dominico, tapi ya gue berusaha biasa aja soalnya yaa masa cuma karena bantuin roommate-nya untuk jemput adiknya di bandara aja masa harus gue larang-larang. Gue nggak seposesif itu juga lah.
Pokoknya semua awalnya berjalan dengan baik. Mereka juga jalan-jalan bareng. Sedangkan gue membiarkan mereka begitu karena di saat yang bersamaan gue harus ngurus kegiatan Mapping Day gue yang emang gue butuhin buat keperluan penyusunan tesis gue. Mapping Day itu semacam outing class, yang diperluin untuk memenuhi kredit perkuliahan dan juga untuk keperluan pembuatan maket sebagai model dari hasil karya tesis mahasiswa jurusan Urban Planning kayak gue. Dan Mapping Day-nya itu sendiri di Lincoln, Nebraska selama sepuluh hari.
Trus, baru aja gue pulang dari Mapping Day, tiba-tiba Dominico ngajak ketemuan. Oh yaa, sebelumnya gue udah pernah ketemu dia sih, makan-makan bareng pas perayaan malam Natal di apartemen mereka. Pas ketemu, waktu itu di kampus, di pelataran depan ruang kelas yang biasa gue pake buat mata kuliah Urban Design Studio. Disitu Dominico cerita panjang lebar dan yak mengejutkan karena Dominico ngaku kalau dia abis cium cewek gue sesaat setelah mereka nonton dari bioskop. Ya, gue kesel lah, jelas. Kesel dan marah sama dua-duanya. Dominico, karena jelas-jelas dia tahu kalau Yureka itu cewek gue. Yureka, udah tahu dia udah punya pacar, kenapa nggak dia hindar. Dia juga nggak menghargai kepercayaan yang gue kasih buat dia supaya dia nggak ngapa-ngapain sama orang lain, khususnya sama Dominico.
Tapi, yaudah lah, udah kejadian juga. Gue nggak bisa ngapa-ngapain juga. Mau diulang adegannya kayak gimana juga nggak bakal bisa. Gue berusaha nenangin diri karena jujur gue orangnya kalau udah marah sama orang bener-bener marah sejadi-jadinya. Dua-duanya juga udah minta maaf sama gue. Dan Dominico juga ngaku kalau dia suka sama cewek gue. Ya, nggak bisa dong, kecuali kalo emang Yureka suka juga sama Dominico, mungkin bisa. Tapi kan, hello! Yureka cewek gue! Yureka juga sukanya sama gue, meskipun Dominico cakep ganteng ala-ala Latinos, tapi gue yakin hati Yureka cuma buat gue. Duh sorry lebay.
Okelah, intinya kayak gitu. Tapi pas mereka minta maaf, gue pun dengan berbesar hati memaafkan mereka. Tapi entah setan dari mana, gue tiba-tiba nonjok Dominico dengan keras. Tepat di hidungnya dan berdarah. Nggak tahu sih parah apa enggak, soalnya abis mukul dia, gue langsung pergi. Gue udah bodo amat.
Nah, malam ini gue tahu kalau Dominico baru aja balik ke Meksiko, negara asalnya. Berarti kan Yureka dan Cassandra ada dirumah setelah capek nganterin Dominico. Dan gue yakin jam segini, hmm jam 11 malem, Yureka ada di kamar dan belum tidur. Karena kalau nggak nulis, yaa main laptop. Yaudah lah gue suruh dia cepet-cepet bukain pintu.
Tiga detik kemudian dia bales “Hah? Oke bentar”. Dan nggak berapa lama, pintu utama dibuka dan gue pastinya langsung buru-buru masuk ke dalem karena gila emang diluar dingin banget. 
Sampai di depan pintu apartemennya, gue ketuk tiga kali, dan nggak berapa lama, ada sosok wanita penuh kharisma bernama lengkap Yureka Bhanuresmi Cendekia yang berdiri tepat di depan gue. Cantik banget sih cewek gue! Padahal mukanya lagi capek banget tuh gue tahu, tapi pasti dia seneng pas tahu gue kesini. Dan ya, pas dia tahu di balik pintu ada gue, dia langsung senyum lebar banget. Dan masih kedinginan, bibir masih bergetar karena menggigil, gue membuka tangan gue pertanda gue minta dipeluk. Ya, nggak sopan yaa minta peluk, tapi gimana ya, gue udah kangen berat sama Yureka, plus gue kedinginan, jadi emang butuh yang namanya pelukan.
Yureka pun menyambut baik petunjuk gue dan langsung menghampiri gue. Lalu, kami pun berpelukan. Gue peluk erat dia, dan gue usap kepalanya. Bukan berarti apa-apa, itu cuma ekspresi gue karena gue sayang banget sama dia, kangen, dan gue mencoba mentransfer feeling kalau gue emang udah maafin dia dan anggap aja kemaren itu cuma badai-badai dikit, tapi kita udah berhasil melewatinya.
Akhirnya malam itu kami habiskan untuk ngobrol, banyak hal, mulai dari utara ke selatan, ke barat trus ke timur. Mungkin efek udah lama nggak ngobrol bareng, jadi ada aja yang dibahas. Sampe nggak berasa kalau waktu udah menunjukkan pukul 2 pagi! Ini nggak mungkin kan kalo gue balik ke Columbia University. Akhirnya gue memutuskan untuk menginap di apartemennya Yureka, tapi nggak di kamarnya Yureka juga yaa. Meskipun kami tinggal di Amerika Serikat, negara yang super duper bebas (menurut gue), tapi karena kami berdua orang Indonesia dan masih menjunjung tinggi budaya ketimuran, jadi alangkah baiknya kalau gue pake ruangan lain. Dan dikarenakan kamar bekas Dominico sejauh ini masih kosong, akhirnya gue memutuskan untuk tidur disana. Kalaupun suatu hari udah ada roommate yang baru yang bakal ngisi ruangan itu, dan gue suatu saat juga terpaksa menginap, gue rela tidur di tempat lain, contohnya di sofa merah di dapurnya apartemen mereka.
---


Yureka. Februari 2019. Menuju Ottawa, Kanada. Masa Depan.
Aku sudah berbaikan dengan Eugene beberapa waktu lalu. Lebih tepatnya tepat setelah aku dan Cassandra mengantarkan Dominico ke bandara JFK karena Dominico saat itu harus kembali ke Mexico City dan juga karena waktu liburannya sudah habis. Di hari yang sama Dominico pulang ke Meksiko, malamnya Eugene datang. Tanpa banyak kata, Eugene mempersilahkanku memeluk dirinya dengan penuh kebahagiaan. Kami berpelukan, saling meminta maaf, dan memulai semuanya dari awal.
Saat ini, aku dan Eugene sudah kembali seperti biasa. Saling memberi pujian, saling rindu satu sama lain walau hanya 24 jam tidak bertemu, dan saling malu-malu angsa kalau bertemu dan juga menghabiskan waktu bersama. Aku tidak tahu pasti apakah cara kami ini benar-benar yang dinamakan pacaran. Ya, secara aku belum pernah ‘officially’ punya kekasih sebelumnya. Jadi bagiku, meskipun sudah bulan ketiga bersama, tetap saja masih aneh, masih canggung, masih belajar bagaimana mengatur waktu sendiri dan bersama. Apapun itu, aku yakin semua orang punya caranya masing-masing.
Sudah lah, lupakan saja kejadian kemarin. Sekarang aku dan teman-teman Batik Day harus fokus dengan kegiatan kami selanjutnya, yaitu PERGI KE KANADA!!!! Aku benar-benar masih tidak menyangka kalau aku akan menginjakkan kakiku kesana. Masalahnya, sejak duduk di bangku perkuliahan S1 dulu, aku sangat ingin pergi ke Kanada. Hmm, sebenarnya lebih ingin pergi ke Amerika terlebih dulu, tapi Kanada merupakan salah satu negara impian juga. Alasannya? Kenapa yaa? Aku juga lupa persisnya bagaimana. Hahahaha.
Oh, aku ingat, karena Tanteku. Ibunya Dee, si sepupuku yang gila Korea itu. Masih ingat? Jadi, Tanteku pernah kerja di Toronto, Kanada, selama beberapa tahun. Dan kami juga pernah saling mengirimkan kartu pos beberapa kali. Aku juga sering dikirimi foto-foto dengan latar belakang suasana Kanada yang asri, menenangkan, dan asyik lah begitu pokoknya. Kalau beliau pulang ke Indonesia juga sering sekali membelikanku coklat atau oleh-oleh khas Kanada. Maka dari itu, rasanya sangat beruntung kalau aku bisa mengikuti jejak Tanteku tersebut. Ya, meskipun kesana hanya jalan-jalan saja.
Hari ini, aku, Kak Anna, Chandra, Gilang, Dhimas, Farida, Fikri, dan tentunya my oriental boyfriend, Eugene, kami semua sudah berkumpul di bandara JFK untuk bertandang ke bandara Ottawa/Mcdonald-Cartier International Airport dengan menggunakan maskapai Air Canada. Tidak hanya kami berdelapan, tapi ada juga beberapa perwakilan pengurus Permias dan tentunya staff dari KJRI New York yang juga ikut ke Kanada. Ya, iyalah, kan mereka yang bayar semua akomodasi kami selama di Kanada. Kalau mereka tidak ikut, kami akan berakhir menjadi gelandangan seumur hidup di Kanada. Kan, tidak lucu.
Selama kurang lebih 1.5 jam perjalanan udara, kami sangat nyaman duduk di kursi ekonomi, walaupun semua staff KJRI duduk di bangku bisnis. Ya, iyalah, kan mereka pegawai negara Republik Indonesia, kami hanya segelintir mahasiswa yang baru mau akan menikmati kesuksesan, jadi wajar kalau sistem kelas diaplikasikan dalam konteks ini. Lagipula kalau kami iri hati pada mereka, mungkin nanti kami akan diturunkan dari ketinggian 3000 kaki. Jangan! Aku tidak ingin mati dulu sebelum aku menikah dengan Eugene!
Alhamdulillah, sampai juga di Ottawa, ibukota negara berbahasa nasional ganda, Kanada. Jadi, ibukota Kanada itu Ottawa yaa, kawan-kawan, bukan Toronto. Dan ibukota Amerika Serikat itu Washington D.C, bukan New York. Apalagi, Australia, ibukotanya Canberra, bukan Sidney. Catat!
Sesampainya di bandara, sudah ada minibus yang menjemput kami untuk dibawa ke kantor KBRI Ottawa untuk dijamu dan ya anggap saja Welcoming Ceremony lah. Disana kami tentu bertemu dengan Duta Besar Indonesia untuk Kanada, dan Konsulat Jenderal Indonesia untuk New York juga sudah datang terlebih dahulu yang katanya sudah sampai di Ottawa satu hari sebelum kami datang.
Dalam acara penyambutan staff KJRI New York dan total sepuluh mahasiswa tidak berdosa ini, tidak terlalu formal dan besar, hanya minum teh dan makan kudapan. Kami juga diperkenalkan dengan perwakilan PPI Kanada cabang Ottawa. Kami pun saling berkenalan dan saling bertanya seputar Permias New York seperti apa dan sebaliknya bagaimana apa saja kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh PPI Ottawa.
Saat aku sedang asyik berkenalan seorang Mahasiswi Pascasarjana yang dulunya pernah kuliah S1 di New York, bernama Wulan, tiba-tiba ada seseorang mendekatiku dan seolah ia sudah pernah kenal denganku sebelumnya.
“Yureka, ya?”, tanya seorang laki-laki berperawakan tinggi besar, kepala botak, agak kekar seperti atlet basket, tapi ketiaknya tidak basket.
“Ya?”, jawabku terdiam dan heran.
“Lu beneran Yureka anak 34, kan?”, tanya ia lagi.
“Iya bener. Oh, My God! Arya, ya? Eh gila, apa kabar lu?!”, aku langsung terkejut dibuatnya. Setengah berteriak dan beberapa orang langsung menyorotkan pandangan mereka ke arahku.
Jadi, saat SMA dulu, aku pernah ikut les bahasa Inggris di salah satu pusat kursus bahasa Inggris di Jakarta Selatan. Dan laki-laki yang menghampiriku tadi bernama Arya dan ia merupakan salah satu teman sekelasku di kursus bahasa Inggris kala itu. Aku dan Arya dulu sering sekali main bersama, kalau sedang jam istirahat kelas, kami suka pergi keluar lalu jajan bareng. Bahkan sering duduk sebelahan untuk belajar bersama. Wah, rasanya tidak menyangka aku bisa bertemu lagi dengan dirinya. Karena aku sudah lost contact dengan dirinya semenjak lulus dari tempat kursus itu. Kami hanya bertegur sapa lewat media sosial, seperti Facebook saja, itupun sangat jarang, karena waktu kuliah dulu, aku termasuk yang jarang buka Facebook karena disibukkan dengan jadwal perkuliahan yang dulu super duper padat.
Berdasarkan keterangan Arya, ia bilang saat lulus SMA, dia pindah ke Bandung karena kuliah di ITB. Kalau itu, aku sudah tahu dari keterangan yang ia berikan di Facebook. Tapi masalah ia ke Kanada, aku yang tidak tahu sama sekali. Katanya, ia meneruskan S2 di Ottawa di Universitas Carleton jurusan Manajemen Inovasi Teknologi. Dan kemudian, voilaaa, ia disini, lalu bernostalgia denganku disini.
“Gila, loh dunia sempit banget ya? Ya, gak sih? Gila sumpah. Parah banget!”, ungkapku masih penuh kehebohan.
“Ya, makanya pas lu-lu pada dateng tuh, gue kayak dejavu gitu liat lu. Kayak siapa? Kayak pernah liat. Eh anjir beneran itu ternyata elu”, jawab Arya.
Saat aku asyik bernostalgia dengan Arya, dari kejauhan aku melihat Eugene sedang mengobrol dengan beberapa pegawai KBRI Ottawa. Syukurlah, ia sangat menikmati momen ini. Tapi, aku takut kalau ia cemburu atau bagaimana. Secara, Eugene memang orangnya sangat pencemburu.
Tidak lama, Eugene menghampiri diriku yang masih ngobrol-ngobrol asyik dengan Arya.
Hey. Everything is okay?”, tanyaku bernada manja.
Yeah, sure. hmm…”, jawab Eugene yang terlihat agak capek.
“Ah, ya! Sayang, ini Arya, temen les aku waktu SMA dulu. Dan Arya, ini Eugene, pacar gue. Hehehe”. Aku memperkenalkan keduanya.
“Ohh, halo. Gue Arya”, jawab Arya.
“Eugene.”, Eugene pun berjabat tangan dengan Arya.
“Ya ya. Wih udah beranjak dewasa yaa, udah punya pacar”. Arya meledek.
“Ya, Alhamdulillah. Lu pasti juga dong. Nggak mungkin anak segaul elu nggak punya pacar. Gila sih”, jawabku bercanda.
“Ada kok. Di Indo tapi”, terang Arya sambil mengantungi tangannya kedalam saku.
“Yaah, korban LDR. Kasian. Sabar ya”, jawabku sambil membalas meledeknya.
Kemudian kami masih ngobrol-ngobrol, Eugene pun ikut serta dalam percakapanku dengan Arya. Kalau kulihat, Eugene terlihat agak cemas. Raut wajahnya masih tersirat sebagai ekspresi yang ditunjukkan saat ia cemburu dengan Dominico. Apakah mungkin Eugene cemburu dengan Arya? Hey, tapi kan tadi Arya bilang ia sudah punya kekasih. Bagaimana ini. Mungkin memang Eugene sedang lelah. Maklum, baru sampai dari perjalanan jauh. Semoga saja memang karena ia kelelahan, bukan dugaanku yang macam-macam ini.
---
Di hari berikutnya, kegiatannya masih di kantor KBRI Ottawa. Isi kegiatannya adalah talk show dan juga hiburan yang telah dirancang oleh tim PPI Ottawa. Isi hiburannya ada musik akustik, tari-tarian daerah, tari-tarian modern juga ada, dan juga karaoke bersama. Tidak lupa, ada sesi makan-makan juga.
---
Di hari berikutnya, nah ini yang paling ditunggu-tunggu. Kami pergi ke AIR TERJUN NIAGARA!!!! Bukan ke Kanada namanya kalau tidak ke tempat satu ini. Setelah sampai disana, aku benar-benar dibuat tercengang oleh salah satu ciptaan Tuhan yang paling menawan itu. Melihatnya langsung membuat lidahku bergetar, mataku kedutan, dan kupingku bergema. Hmm, mungkin ada yang sedang membicarakanku. Ah, tidak penting. Pokoknya aku benar-benar sangat bahagia. Terlebih ada Eugene sebagai pelangkapnya. Ya, istilahnya kalau ke Niagara Falls itu satu porsi pecel lele, Eugene adalah lalapannya. Sempurna!
Kami pun tidak lupa foto-foto disana. Untuk catatan, kami saat itu masih foto-foto dari kejauhan karena setelah itu kami bisa naik ke salah satu kapal lalu bisa mendekati air terjun lebih dekat. Setelah sesi foto bersama semua tim, aku juga meminta Farida untuk mengambil fotoku berdua dengan Eugene. Ya, hanya kami berdua. Hah, rasanya seperti sedang foto pre-wedding. Cukup, Yureka, hentikan!
“Satu, dua, tiga…. Lagi kak. Satu, dua, tiga…”, ucap Farida.
“Eaaa foto pre-wed, foto pre-wed. Mantap bos!”, Dhimas melempar candaanya.
“Bungkus, Jin! Bungkussss!”, Chandra ikut-ikutan.
Dan semua orang pun men-ciyee-ciyee-kan kami. Apalah ini. Aku jadi malu dibuatnya. Tapi aku dan Eugene tidak peduli.
Setelah selesai foto-foto riang gembira, aku sempat bersandar sendirian dan hanya memandangi air terjun yang membelah antara dua negara Kanada dan Amerika Serikat ini. Teman-teman masih sibuk foto-foto dan bersena gurau, tapi aku tidak apa-apa, ingin sendiri dulu. Menikmati ciptaan Tuhan yang luar biasa, bukti bahwa Tuhan sayang pada umatNya. Ya, air terjun loh. Padahal sebenarnya hanya air sungai yang jatuh kebawah karena ada tebing-tebing yang mana dari tempat lebih tinggi, ke tempat lebih rendah, lalu air itu jatuh, lalu bruuzzzzz, turun kebawah dan air-airnya yaa terjun begitu. Tapi mengapa bisa seindah itu, ya? Aku juga heran. Luar biasa. Tepuk tangan!
Setelah puas seharian jalan-jalan ke Niagara Falls, kami kembali ke Ottawa karena esok hari agenda kami jalan-jalan keliling kota Ottawa.
---
Di akhir pekannya, waktunya jalan-jalan kota Ottawa. Tapi jalan-jalan kali ini, peserta jalan-jalan hanya khusus untuk mahasiswa-mahasiswi dari Batik Day dan para perwakilan Permias New York, serta beberapa perwakilan dari PPI Ottawa. Sedangkan bapak-bapak dan ibu-ibu KJRI harus kembali ke tanah rantau alias harus pulang ke New York karena ya mereka pegawai negara, tidak baik kalau berlama-lama. Begitupun dengan bapak-bapak dan ibu-ibu dari KBRI Ottawa, juga tidak ikut karena harus tetap bertugas di kantor kedutaan besar Indonesia untuk Kanada. Jadi, kegiatan ini memang fokus untuk para mahasiswa saja.
Ngomong-ngomong soal tempat-tempat yang kami kunjungi selama city tour di Ottawa, diantaranya adalah Ottawa City Hall, Centre Block, Parliament Hill, Peace Tower, National War Memorial, Confederation Square, Centennial Flame, ByWard Market, Notre-Dame Catholic Basilica dan juga teman-teman PPI mengajak kami wisata kampus ke University of Ottawa.
Sayangnya, kalau jalan-jalan di musim salju, matahari lebih cepat terbenam. Jadi, ketika matahari masih ada di ufuk timur dan sampai barat sebelum tenggelam, kami fokus pada tempat-tempat turistik yang jaraknya berdekatan. Ketika mengunjungi University of Ottawa pun kami lakukan pada pagi hari, malahan wisata kampus merupakan tempat pertama yang kami kunjungi dalam agenda jalan-jalan kota kali ini. Barulah sisanya kami menjelajahi tempat-tempat turistik lainnya. Dan saat matahari sudah tenggelam, sekitar jam 5 sore, kami baru sempat mengunjungi ByWard Market. Hmm, sebenarnya lebih bagus pada pagi hari, karena itu pasar dan kami bisa menjelajahi isi pasarnya. Tapi ketika malam hari, meskipun masih ada beberapa toko yang masih buka, tapi pasar itu tetap terlihat cantik dan anggun meskipun matahari sudah tenggelam. Dan terakhir adalah melihat kemegahan gereja katholik Basilica Notre-Dame. Sekilas namanya mirip seperti yang ada di Paris, tapi tentunya berbeda. Hmm, aku tidak tahu persis bedanya apa, yang jelas meskipun aku belum pernah pergi ke Paris, tapi aku yakin keduanya sama-sama punya daya tarik tersendiri bagi turis yang datang mengunjungi.
Setelah lelah seharian berjalan-jalan dan munculah rasa lapar dan dahaga, maka pada pukul 19, kami semua makan malam di salah satu restoran sushi Jepang bernama “Genji Japanese Restaurant”. Ketika pertama kali mengetahui bahwa kami semua akan makan di restoran itu, sontak aku langsung memberitahu Eugene dan berkata “Lah, adek kamu, Jin, dibawa-bawa”. Dan ia hanya merespon “Hahaha. Iyaa nih, adekku ngapain dia disini”. Lalu aku berkata lagi “Jangan-jangan diam-diam Genji buka usaha disini, Yang, hahahaha. Tanpa sepengetahuan abangnya”. Dan Eugene hanya menjawab “Hahaha, iyaa nih adik kurang sopan”.
Tapi aku merasa ada yang aneh dengan Eugene saat kami saling membicarakan hal tersebut. Apa ya yang beda? Sepertinya ia agak sedikit cuek. Hmm, tapi aku memang sudah merasa ia agak cuek belakangan ini. Terutama selama kami berlibur di Kanada ini. Ada banyak kemungkinan mengapa ia bisa demikian. Pertama, mungkin ia masih cemburu dengan Arya. Secara, selama kami jalan-jalan Arya ada disitu, karena dibilang ia adalah panitia acara kegiatan ini. Kedua, kami memang seperti itu kalau didepan banyak orang. Harus bersikap profesional dan tidak mengumbar banyak kemesraan. Biarkan kemesraan ini jangalah cepat berlalu. Terlebih ini merupakan acara kenegaraan, mana mungkin kami dengan tega gelendotan satu sama lain, kan tidak etis. Ketiga, yaa, memang lebih bagus berjauhan dulu dengan alasan profesional. Supaya tidak dikira perangko dengan lem nasi yang kemana-mana nempel terus, tidak mau copot.
Tapi jarak yang berjauhan yang kami lakukan ini juga sangat aneh menurutku karena selama kami berada di Kanada, aku melihat Eugene lebih asyik ngobrol dengan Kak Anna dan Farida. Ya, kalau Kak Anna kan kalian tahu sendiri, ialah mak comblang diantara aku dan Eugene. Tapi Farida? Mengapa Eugene jadi dekat begitu dengannya? Perasaan dulu-dulu tidak pernah. Aku juga melihat mereka tertawa terbahak-bahak bersama. Ya, aku sih tetap positive thinking, namanya juga dengan teman satu grup sendiri, tidak ada salahnya kan? Sementara itu aku hanya bisa membalas dengan hal yang cukup setimpal, aku sesekali ngobrol dengan Arya dan kali ini aku lebih banyak ngobrol dengan Gilang. Karena kami dari satu almamater yang sama, New York University, kami sedang asyik plus gemas membahas seputar tesis, acara wisuda, dan lain sebagainya seputar kampus NYU. Ya, karena sebentar lagi kami sudah akan menjadi alumninya, jadi tidak ada salahnya kalau bertukar pikiran tentang suatu hal yang sama-sama kami ketahui dan kami alami sendiri, khususnya menjadi mahasiswa NYU.
Lalu sebenarnya ada apa dengan Eugene dan Farida?
Aku tahu, mereka tidak akan selingkuh. Ya, ampun, Farida sudah punya pacar, pacarnya di Indonesia. Dan ya meskipun mereka LDR, tapi tetap saja yang namanya punya pacar yaa harusnya tahu diri.
Tapi aku masih benar-benar ingin tahu mengapa Farida dan Eugene bisa ngobrol sedekat itu? Padahal yang aku tahu, Eugene jarang sekali ngobrol dengan Farida sebelumnya. Ya, pernah, tapi jarang, jarang sekali. Malah Farida lebih sering ngobrol dengan Fikri yang mana sepupunya sendiri dan Gilang yang menurutku karakteristiknya sesuai dengan Farida sehingga jadi bisa cocok kalau sedang mengobrol.
Sebaiknya aku tanyakan pada Eugene saat setelah makan malam atau tidak ya?
Atau besok pagi saja?
Atau tunggu kami kembali ke New York? Supaya tidak menganggu jalannya acara. Kan tidak enak kalau ribut-ribut soal hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan jalan-jalan Kanada kali ini?
Ya, Tuhan, aku harus bagaimana?
Saat perjalanan pulang ke penginapan, aku berubah pikiran, aku mendekati Eugene dan berusaha mencari celah agar aku bisa menanyakan kegundahanku soal dirinya dan Farida.
“Ehm, Sayang, boleh tanya nggak?”, tanyaku pada Eugene agak ragu.
“Tanya apa?”, balas Eugene masih cuek.
“Hmm, kamu tuh…”, tanyaku lagi masih ragu.
Baru aku mau melontarkan pertanyaan kepada si kekasih Oriental, tiba-tiba ada telpon masuk. 
“Telpon dari siapa nih?”, tanyaku pada diriku sendiri.
“Kode negara mana tuh, Yang, +60?”, tanya Eugene penasaran karena tidak sengaja melihat nomor asing itu muncul ke layar smartphone-ku.
“Hmmm, nggak tau deh. Ah, ini kode Malaysia nih? Ya, aku inget!”, jawabku setengah histeris.
Lanjutku, “Tapi siapa ya, Yang? Angkat nggak nih? Aku jadi takut. Jangan-jangan supporter badminton Malaysia yang lagi ekspansi dan mengancam warga negara Indonesia”
Lalu telpon itu mati. Ya, terlalu banyak berdebat tidak penting dengan Eugene barusan.
Kemudian, empat detik kemudian, telpon dengan kode +60 itu berdering lagi.
“Eh dia nelpon lagi, Yang. Harus gimana dong?”. Aku diambang kepanikan.
“Yaudah angkat aja. Siapa tahu temen kamu pas kamu di Malaysia itu”. Sementara Eugene menenangkan.
“Iyaa sih. Hmm, yaudah aku angkat dulu yaa. Halo?”, jawabku lalu mengangkat panggilan masuk itu.
Dari kejauhan, aku mengenal suara yang ada di telpon saat bilang “Yureka! It’s me!
“Oh My God!”, jawabku histeris sambil melipat bibir dan juga mengigit jariku.
“Kenapa Yang?”, tanya Eugene jadi penasaran.
Mataku terbelalak. Tidak bisa berkata-kata selama beberapa detik. Aku tahu persis siapa seseorang dibalik suara di telpon ini.
“Siapa sih, Yang?”, tanya Eugene lagi dan makin penasaran.
Ketumbar cabai bubuk! Berakhirlah sudah kalau Eugene tahu siapa ini.
Aduh, bagaimana ini?

- BERSAMBUNG -


Lanjut Episode 5 --> Double Yu S2E5

Comments

Popular posts from this blog

Kumpulan Cerita Bersambung : DOUBLE YU - SEASON 1 (karya Yulia Sutjahjono)

"Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan)" Part 2

Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan) Part 1