DOUBLE YU SEASON 2 - Episode 2 : "Oriental vs Occidental"





Yureka. Menuju Musim Dingin 2018. New York. Masa Depan.

Papasan dengan Jamie di anak tangga apartemen memang bukan kali pertamanya. Apalagi bersama Eugene. Hampir sering aku bertemu dia di tangga seperti ini. Hidup memang benar seperti cuplikan film. Eh, atau cuplikan dalam film yang memang seperti kehidupan sehari-hari? Apalah itu, yang jelas aku penasaran apa yang baru saja dikatakan Jamie pada Eugene sampai ekspresi Eugene begitu dangkal dan terkesan marah.
Bye” singkat Jamie lalu pergi meninggalkan apartemen.
Bye. Bodo amat”, jawab Eugene sambil menggerutu.
Ketika ingin menapakkan kaki ke anak tangga lainnya, aku makin penasaran dengan Eugene dan langsung menanyakannya.
“Kenapa sih, Yang? Kok muka kamu langsung berubah gitu? Jamie?”, tanyaku penasaran mengapa pacar kesayangan tiba-tiba jadi naik pitam.
“Yaa tahu sih kita di US, tapi nggak gitu juga lah”, jawabnya kesal.
Aku sebenarnya tidak enak menanyakan ini. Ini rasanya canggung bin aneh. Tapi bagaimana, aku masih penasaran. Walau sebenarnya aku tahu kira-kira pertanyaan apa yang habis dilontarkan si bule Amrik itu.
Setelah masuk ke dalam apartemen, lampu pelataran tidak menyala, tapi ada cahaya yang bersinar dibalik pintu kamar Cassandra dan Salima. Hmm berarti mereka ada di rumah. Ya, memang seperti itu, ruangan kalau tidak dipakai meskipun hanya pelataran rumah saja, harus dimatikan. Ingat, hemat energi!
Tapi ngomong-ngomong soal Cassandra dan Salima, seperti biasa aku harus memberitahu mereka kalau Eugene mampir ke apartemen. Terutama kepada Salima. Sesuai kesepakatan, kalau masing-masing dari kami, terutama aku dan Cassandra, terlebih semenjak aku jadian dengan Eugene, aku harus memberitahu Salima kalau para laki-laki datang, supaya Salima diberitahu agar kalau ia keluar kamar bisa memakai jilbabnya meskipun hanya ke dapur atau ke kamar mandi. Yaa, mungkin untuk sebagian perempuan berjilbab lainnya tidak masalah kalau mereka melepas jilbab di rumah dan kedatangan tamu laki-laki, tapi bagi sebagian besar perempuan berjilbab lainnya, keputusan ini memang harus dihargai, siapapun orangnya. Jadi, sebagai sesama muslim dan teman sekaligus roommate, aku harus menghargai keputusannya tersebut. Dan mungkin kalau aku jadi dia, aku juga akan melakukan hal yang sama, mungkin memang karena risih kalau memperlihatkan rambut dan anggota tubuh lainnya kepada laki-laki yang bukan muhrimnya.
Ku ketuk pintu kamar Salima. Dibalik pintu Salima hanya menyapa “Yes, who is that?
It’s me, Yureka. I just want to let you know that Eugene is coming by to take his phone charger. I hope you don’t mind” jelasku pada Salima.
Yeah, that’s fine. Thank you for telling me. But, please tell him to stay at your room and not to come to bathroom in 30 minutes. Cause I wanna shower in 10 minutes”, pintanya padaku.
Okay. Never mind. Enjoy showering”, jawabku lalu pergi ke kamarku.
Sambil tertawa kecil, aku dan Eugene hanya pandang-pandangan saja. Aku bingung, Eugene menertawakan percakapan ku dan Salima yang hanya dari balik pintu, atau isi kalimat Salima yang memang terdengar sangat konservatif, atau lainnya? Tapi setidaknya dengan tertawa kecil itu, cemberut yang dia alami dikarenakan oleh Jamie langsung hilang. Syukurlah.
Sampai di kamarku, aku langsung menyalakan pemanas ruangan. Ya, sudah pergantian musim dingin dan tahu sendiri lah apa yang diharapkan masyarakat saat berada di negara 4 musim dan sedang musim dingin. Hanya pemanas ruangan yang menjadi jawabannya.
Sambil menaruh tas dan merapihkan sedikit meja belajar ku, Eugene dengan polos berkomentar “Tumben kamarnya rapih? Biasanya gelas bekas minum coklat, serbet buat lap bibir kamu kalau habis makan, sama vitamin kamu berserakan diatas meja. Sekarang pada kemana?”
Ku balas dengan nada kesal tapi gemas, “Berisik deh. Yaa, ku rapiin tadi pagi sebelum ngampus. Vitamin ada di rak situ, maksudnya ku kembaliin ke tempatnya. Trus, serbet-serbet makan aku cuci.”
“Oh jadi vitaminnya emang tempat aslinya disitu? Kok aku nggak pernah tahu yaa? Apa sangking keseringan aku liatnya diatas meja belajar kamu?”
“Udah deh. Berlebihan komennya”, sambil melempar charger ponselnya dari kejauhan yang ternyata secara sengaja atau tidak sengaja ada diatas laci meja dekat kasur.
“Bercanda, Yang. Gitu doang marah. Eh apa nih?”, Eugene menemukan sesuatu diatas lantai.
“Ohh itu, liflet “Long Island Comic Con 2019”. Si Cassandra yang ngasih. Tahu tuh katanya nawarin aja kalau aku mau kesitu”, jawabku sambil masih sedikit membalas pesan Whatsapp yang masuk.
“Lah emang kamu suka komik-komik gitu, Yang? Nggak kan?” tanya Eugene lagi.
“Iyaa. Nggak terlalu suka. Tapi si Cassandra mungkin punya lebih. Katanya sih adeknya yang cowok mau kesitu. Sekalian liburan natal tahun baru gitu di New York” jawabku.
“Adeknya? Orang Meksiko juga?”
“Ya iyalah, Yang, masa orang Zimbabwe.”
“Ya kali aja. Dia punya stepbrother atau apa gitu.”
“Nggak. Adek kandungnya. Masih 18 tahun apa yaa kalo nggak salah. Pokoknya mau dateng kesini dan liburan di New York selama sebulan atau gimana gitu. dan bakal nginep disini.”
“Nginep disini? Lah si Salima gimana?”
“Kan dia mau pindah.”
“Lah iya pindahnya kapan emang?”
“Lah emang belom aku kasih tahu? Minggu depan atau minggu depannya lagi gitu aku lupa.”
“Oh. Ya ya.”
Kami terdiam sesaat. Sambil mengecek ponsel masing-masing. Lalu kemudian aku berniat menanyakan apa yang masih penasaran dalam benakku. Soal pertanyaan Jamie di tangga tadi. Bukan Yureka namanya kalau tidak berani. Nekad, aku tanyakan pada Eugene beberapa detik setelahnya.
“Sayang, kamu belom jawab pertanyaan aku yang tadi. Kenapa gara-gara Jamie?”, tanyaku lagi masih penasaran.
“Ah elah, Yang. Nggak usah dibahas lah udah. Males.” Eugene membalas tapi sudah malas.
“Beneran aku penasaran”
“Bener? Jangan nyesel yaa. Dan jangan marah. Dan harap maklum bagi pria bule itu”
“Ya, janji. Ayo cepetan cerita!”
Dengan tarikan napas kemudian mengeluarkan dengan cepat, Eugene bercerita kalau yang Jamie bisikkan ke Eugene tadi adalah ide konyol Jamie yang kalau ia jadi dirinya, ia akan melakukan hal-hal menyenangkan dengan pacar di kamar berduaan, ya apalagi kalau bukan berhubungan badan. Eugene hanya berkomentar kalau seandainya kami berdua adalah orang lokal, kami mungkin saja akan melakukan hal yang Jamie katakan tersebut. Tapi aku dan Eugene tetap manusia biasa, yang berasal dari budaya ketimuran, terlebih kami memiliki agama dan dalam agama kami dilarang melakukan hal semacam itu. Kami berdua pun juga tidak ada sama sekali memiliki pikiran demikian.
Ah, meskipun ganteng, kalau sudah bule macam Jamie, tetap saja pikirannya pornografi. Kesal.
Sesuai yang diceritakan Eugene, kalimat-kalimat Jamie tersebut adalah “Your girl is really hot. If I were you, I’ll get laid to her right now until next morning.
Mendengarnya saja aku jijik menjadi-jadi. Untung aku sering menolak ajakan kencan Jamie yang dulu sering sekali ia tawarkan. Karena aku sudah menebak, kalau saja aku bilang “Ya” pasti hal-hal negatif akan terjadi padaku dan si manusia occidental itu. Tuhan Maha Penyelamat hambanya.
“Yaudah lah, masukin kuping kiri keluar kuping kanan aja, Yang. Emang orang gila dia. Masa bodo deh sekarang” responku santai.
“Ya, aku maklumin kok. Namanya juga orang bule. Apa sih pikirannya kalau bukan sex, minum bir, joget-joget ampe pagi? Ya, kan?” jawab Eugene masih agak kesal.
“Yap. Eh mau minum nggak? Kalo mau, aku ambilin. Kan kata Salima, kamu nggak boleh keluar kamar sampe 30 menit kedepan”
“Aduh, ribet yaa. Ya, ya paham. Ya boleh deh, haus juga btw”
Perlahan ku buka pintu kamar dan keluar menuju dapur untuk mengambilkan Eugene air minum. Selama mengambil gelas dari laci kitchen set bagian atas, dan menuangkan air dari keran, lagi-lagi fokus ku terdistraksi oleh wajah Eugene. Aku tidak tahu sampai kapan aku memikirkan ini. Bahkan kami sudah resmi berpacaran, aku sudah menjawab “Ya” saat Eugene menyatakan cintanya padaku di Patung Liberty tanggal 30 Oktober lalu yang mana pertanyaanya adalah “Yureka, mau nggak jadi pacar aku?”. Sumpah, itu adalah masa-masa paling gugup sepanjang sejarah hidup seorang Yureka Bhanuresmi Cendekia. Aku bisa bilang, momen itu merupakan momen paling gugup yang pernah ada, lebih gugup daripada mengerjakan tugas mendekati deadline waktu dari professor.
Setiap membayangkan Eugene di isi kepala, saat itu pula aku bersyukur pada Tuhan. Ya, Tuhan, akhirnya aku tidak sendirian. Akhirnya ada yang benar-benar jatuh hati padaku. Akhirnya ketika aku suka dengan seseorang, dia berbalik suka padaku, tidak hanya aku sendirian yang berusaha. Hmm, ini terdengar terlalu puitis, Yureka. Tapi apalah, memang begitu kenyataanya. Aku rasa aku tidak akan pernah berhenti bersyukur. Semua aspek dalam hidup ini tentunya aku syukuri, apapun itu, tapi satu hal ini, tentang Eugene, aku amat sangat menyukurinya. Terimakasih Ya Tuhan.
Setelah selesai membawakan segelas air putih, ditambah beberapa buah coklat marzipan yang ku ambil dari sebuah mangkuk besar di dapur karena sebentar lagi hari Natal maka akan sangat banyak coklat dimana-mana, aku kembali ke kamar. Dengan agak sedikit kesusahan ketika membuka pintu, akhirnya aku sampai di kamar dengan selamat. Selamat karena air di gelas tidak tumpah, bungkusan-bungkusan coklat pun tidak jatuh berguguran layaknya dedaunan di musim gugur. Sambil menaruh gelas dan coklat-coklat itu ke atas meja, ku curi pandanganku kepada Eugene yang sedang serius membaca sesuatu di telpon genggamnya.
“Serius amat Koh bacanya. Baca berita?”, tanyaku penasaran. Ah, penasaran terus Yureka.
“Bukan. Ini Mamaku ngirim Broadcast di Whatsapp, tapi ada huruf Mandarinnya. Aku sambil inget-inget aja”, jawabnya sambil menatap layar gadgetnya.
“Eh iya yaa, kamu bisa bahasa Mandarin ya. Eh sambil diminum air trus sama dimakan coklatnya”, tanyaku lagi. Tanya saja terus.
“Makasih, Sayang. Iya. Alhamdulillah bisa.” Untung Eugene menjawabnya dengan sabar.
“Fasih?”
“Lumayan”, pandangannya masih tertuju ke layar handphone-nya
“Skala 1 sampai 10?”
“Hmmm, 8.5”
“Wow. Eh tapi bisa bahasa Korea juga kan? Eh. Ya iyalah. Kamu tergolong native malah, ya kan?”
“Huum.”
“Kalau bahasa Koreanya, skala 1-10?”
“6”
“6? Lah kok? Cuma 6, Yang?”
“Iya, aku nggak bisa baca tulis huruf Hangul, Sayang. Hehehe”
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena nggak diajarin”
“Kenapa nggak diajarin?”
“Ya.. ya nggak aja. Nggak tahu ya, kayaknya Mama emang nggak mau aku terlalu fasih Korea. Ya, aku tahu dikit huruf Hangul tapi nggak bisa baca tulisnya gimana.”
“Keturunan Korea yang aneh. Hahaha. Bercanda, Yang. Tapi kan kamu pernah tinggal di Korea, kok nggak diajarin? Lagian Kakek-Nenek kamu asli Korea”
“Nenek ku bukan. Nenekku…”
“Oyaa lupa, orang Guangzhou, China. Tapi kenapa demikian?”
“Nggak tahu yaa. Kayaknya aku emang lebih deket ke Pho-Pho dari pada Harabeoji. Somehow, jadinya lebih fasih bahasa Mandarinku. Dan waktu kuliah di Hongkong, bahasa Mandarinnya aku paksain bisa karena meskipun pake bahasa Canton disana, tapi banyak juga orang Hongkong yang bisa bahasa Mandarin. Baik lisan maupun tulisan, jadi 3-4 tahun aku disana yaa aku latih terus. Jadinya lebih fasih bahasa Mandarin. Maksudnya, tulisannya aku bisa lumayan baca, secara lisan juga aku bisa ngomong. Tapi kalau Korea, cuma ngomong aja”
“Menarik ya. Ku pikir kamu bisa baca tulis, lalala nya gitu.”
“Ya, sama aja, Yang, kan kamu bisa bahasa Jawa sama Sunda, tapi kamu bisa nggak nulis huruf Hanacarakanya?”
“Nggak.”
“Kenapa?”
“Ya, nggak pernah diajarin”
“Nah! Kayak gitu maksudku. Sama aja kan?”
“Iyaa juga yaa. Hehehe. Ih iyaa baru sadar. Etapi masa beneran nggak bisa baca Hangul? Nanti kalau kita suatu hari liburan bareng ke Korea, nggak bisa baca Hangul, nanti kalau mau makan di restoran, kebalik lagi mana restoran mana tempat laundry
“Ya, kan ada sepupu-sepupu aku. Tanya aja ke mereka”
“Kalau kita berdua kesana, itu namanya bukan kencan, Yang, tapi digangguin. Dinyamukin kalau ada sepupu-sepupu kamu.”
Kami berdua hanya berbalas tertawa. dan kemudian percakapan masih berlanjut.
“Tapi beneran nggak bisa sama sekali?”
“Hmmmm. Berapa huruf ya? 5 atau 6 huruf gitu”
“Demi apa?”
“Demi Allah, Sayang! Nggak boong. MashaAllah!”
“Aku aja bisa. Dikit sih. Hahahaha”
“Serius?”
“Iyaa nih kebanyakan nonton il bak iil. Jadi, tahu dikit-dikit”
“2 Days 1 Night? Yang ada Cha Taehyun nya?”
“Iyaa. Tahu juga yaa. Ya, tahu lah, Yureka, emaknya kan orang Korea. Gimana sih, Yureka ini”
“Iyaa, itu Mama ku suka ngakak sendirian kalo nonton itu. Beberapa waktu lalu sepupu ku, Eun Ha, juga cerita katanya pas banget aku nelpon dia, dia lagi nonton itu. Ketawa ampe nangis gitu katanya”
Dan percakapan pun berlanjut semakin seru hanya karena membahas sebuah program televisi Korea Selatan itu. Ternyata pacaran itu memang gunanya mencari tahu lebih banyak tentang pasangan, yaa. Ya ampun, baru sadar aku. Kemana saja kamu selama ini, Yureka. Tapi, tidak apa, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Dan ternyata seru juga punya pacar yang punya darah keturunan China-Koreanya. Kadang membahas Indonesia, kadang bisa membahas China, bisa lanjut membahas Korea, asal jangan keterusan sampai ke Mongolia atau Rusia saja.
Saking asyiknya ngobrol, tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11.23 malam. Wow. Sudah hampir tengah malam. Aku terpaksa mengusir Eugene karena tidak baik kalau bermalam disini. Ya, sebenarnya sih santai saja. Tapi karena Salima masih tinggal disini dan aku harus tetap menghargai prinsipnya, maka mau tidak mau harus mengucapkan “See you soon, Eugene” kepada pacar Oriental ku ini.
Sambil memakai jaket cukup tebal berwarna hitam, dan sepatu kets bermerk yang mana merk nya bergambarkan ceklis, serta sesekali merapihkan rambutnya, aku masih ngobrol-ngobrol dengan Eugene dibalik pintu sebelum ia pergi. Kemudian ada Cassandra yang menghampiri kami dan mengatakan sesuatu.
Hey, guys. Hey, Eugene! How are you?”, Cassandra menghampiri kami dan bercipika-cipiki dengan Eugene. Untung ini di Amerika, kalau bukan, pasti aku sudah cemburu membabi buta dengan Cassandra.
Good. Thank you. How are you?”, basa-basi penuh sopan santunku kepada teman apartemenku ini.
I’m doing well thank you. So, Yureka. I need to tell you that, hmm… something about Salima”, Cassandra mengecilkan volume suaranya.
Yes. What is it about?”, tanyaku pada Cassey, nama panggilannya.
No. I mean. When she moves out next week, I haven’t got yet any new roomates or something. And of course, we need to find it soon, otherwise, you and I will pay the rent more expensive.”, jelas Cassey.
I don’t want that happens
Lanjut Cassey, “See? Yeah, I mean. We will, won’t we? But, before we got the new one, I would like to use Salima’s room to my brother, Dominico. I’ve told you he will coming to New York on December 15th, right?
Yeah, you’ve told me, but I forgot the date that your brother will come
Yeah, the date. It’s just, recently decided by him. And he also already booked the flight and he’s coming here on that date. And he will also stay here for 1 month. Yeah, I know, it’s very long time, but he needs place to stay. And the most possible for him, is, stay here. With us. Do you mind with that?”
No, I don’t mind. It’s totally fine for me. And, I can’t wait for your brother. I mean, be a tourguide for him
Please do. I’m kidding
No, Seriously. If he needs some guidance during his vacation in New York, I would like to help him
Okay. Nice. Very nice of you. I hope you don’t mind, Eugene
Oh, of course, not
Yeah, Eugene probably also can help and join me and Dominico. Will you, Honey?
Yeah, why not?
Okay. Then. Thank you very much. I will let you know again when he gets ready to heading for New York from Mexico. And thank you for you too, Eugene
Anytime
Okay, so have a nice night, you guys. I should go to sleep right now
Have a nice sleep, Cassey
You too. Good night
Night, Cassandra
Sambil mengantarkan Eugene ke depan pintu apartemen, kami berpisah sementara disitu. Kok, sesedih ini? Padahal kami bisa bertemu kapan saja sesuka hati kami. Toh, sama-sama masih di New York.
“Makasih ya, sayang”
Hanya dibalas senyum dan “hmm” oleh Eugene.
“Jangan cemburu dong”
“Sama siapa?”
“Adeknya Cassandra”
“Yaelah. Ngapain juga”
“Bener?”
“Iyaa… hmmm. Tapi selama dia tinggal disini, jangan sering-sering main ke kamarnya loh”
“Itu namanya cemburu”
“Iyaa aku cemburu. Pokoknya, take care ya”
“Oke.”
Sambil mengucapkan “Selamat malam dan semoga mimpi indah”, Eugene turun ke bawah menuju lantai 1 dan keluar gedung apartemen sampai akhirnya dari kejauhan aku hanya bisa melihat sekilas rambut dan kacamatanya. Tapi seterusnya masih bisa mendengar suara hentakan kakinya dan lama-lama terdengar pintu terbuka dan tertutup dan itu berarti Eugene sudah keluar dari gedung apartemen ini. Kok jadi sedih ya? Tapi semoga ia selamat sampai dormitorinya.
Keesokan paginya, suatu Minggu, sekitar pukul 8.45, aku sudah siap dengan pakaian olahragaku, aku sudah siap untuk jogging di Central Park. Hmm, sudah lama sekali tidak lari disitu. Terakhir jogging hanya memanfaatkan taman sekitaran kampus saja. Semoga jogging ku kali sanggup aku lewati, ya minimal 5km lah, meskipun telah lama mengetahui kenyataan bahwa Central Park itu kalau dibangun rumah susun, bisa muat beribu-ribu kepala keluarga. Asli, gede banget tamannya!
Sudah diluar gedung apartemen dan akan memasang earphone ke telinga kanan, lalu tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang.
Hey, girl! Good morning!
Huh. Lagi-lagi orang ini. Seperti kecoak yaa dia, muncul terus. Ya, siapa lagi kalau bukan tetangga occidental, Jamie Whitley. Lama-lama kalau aku keluar rumah ku bawa obat semprot anti kecoa yang sudah lama tidak dipakai dan hanya berdiam di dalam laci kamar mandi apartemenku, kemudian ku semprotkan ke wajah bule Amerika ini, supaya dia pergi.
Hey. Good morning!
Where are you heading to?
Just running. In Central Park
Really? Wow. That sounds.,, impossible…
Nah, nah. Sudah muncul tiba-tiba seperti serangga, sekarang mau mengata-ngataiku. Sial memang bule ini. Huh, untung dia ganteng, kalau tidak sudah aku tenggelamkan ke lautan Atlantik, biar dimakan ikan salmon baru tahu rasa dia.
I beg your pardon? It’s just a park. It’s not Tour de France
Moreover, it’s going to be Winter soon, getting colder, and freezing. And… No, I’m joking, Yureka.
Dalam hati ku ingin berkata “Bodo amat! Gue nggak peduli!”
Ha ha ha. Yeah, funny enough
Entah mengapa percakapan kami kemudian berhenti selama beberapa detik. Mungkin dia tidak berniat melanjutkan topik ini karena terakhir ku berkomentar, ku pasang tampang paling datar yang pernah kutunjukkan padanya. Ternyata masih kok, seorang Yureka tidak tertarik pada cowok bule satu ini. Syukurlah kalau begitu.
And you? Where will you going in this early morning?
I’m going for laundry
Ah yeah. I can see that” sambil melihat ke sekantong besar berisi baju, dan itu baju kotornya Jamie. Tapi aku tidak peduli. Kemudian ku lanjutnya percakapan dan bermaksud memberikan sinyal “Sudah yaa ngobrolnya. Sampai nanti”
Well, I should probably be there before midday. Have a nice laundry time
Thanks. Have a nice running too! Be warm with your beautiful sweat. See you around!
Ku balas hanya dengan tertawa kecil namun terpaksa, dan membelalakkan mata selebar mungkin, kemudia memasang satu pasang earphone lainnya ke sebelah telinga kiri dan menjawab perkataan Jamie dengan perlahan “Whatever!
Hmm, sudah lama tidak lari pagi. Perkuliahan pascasarjana ini ternyata menyita waktuku sangat banyak, sampai hobi lari ku tertunda sangat lama. Hmm, terakhir kapan yaa lari pagi atau lari sore? Sepertinya sesaat setelah Batik Day kemarin. Kapan ya itu? Bulan Oktober. Ya ampun ternyata sudah lebih dari 2 bulan aku tidak olahraga. Keterlaluan sekali kamu Yureka.
Sesampainya di Central Park, aku langsung pasang aplikasi di telpon genggamku untuk memasang jarak dan waktu tempuh selama aku lari. Memutar lagu-lagu favorit dan melihat pemandangan New York melalui taman besar ini, adalah kombinasi yang sempurnya untuk menghilangkan rasa jenuh dan stress dalam hidup ini. Kedengarannya memang picisan, tapi memang benar kok. Aku selalu merasa bersyukur ketika aku mendengarkan lagu yang membuat hati tentram, kemudian melihat ke sekiling, itu membuatku ingat akan semua hal yang harusnya tidak perlu dikeluhkan. Justru harus menjadi sebuah hal yang harus disyukuri, apapun itu, baik soal studi, keluarga, teman-teman, dan bahkan pacar. Ah, kalau sudah membicarakan tentang kekasih hati, memang tidak ada habisnya. Oh, Eugene, kurang dari 12 jam saja ku sudah rindu padamu. Dia sedang apa yaa?
Setelah 48 menit lari untuk jarak 4 kilometer, kemudian kuputuskan untuk mengakhiri acara lari pagi ini. Tuh kan, memang benar ternyata sudah lama tidak lari membuat tubuhnya tidak mampu berlari lebih jauh atau lebih lama. Jangan ditiru lah kalau seperti ini. Ingat ya, olahraga bukan hanya soal membuat tubuh langsing atau singset, lebih dari itu. Ya, yang ku bilang tadi, olahraga adalah cara untuk mengalihkan kita dari hal-hal negatif, mengalihkan kita dari permasalahan hidup yang sedang dihadapi, yang terpenting juga olahraga membuat tubuh kita bugar dan merasa sehat. Kan seperti kata pepatah “Mens sana in corpore sano”, “Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat”. Sebentar, kok pembicaraanku ini seperti sedang memberikan perkuliahan 2 unit ya. Apa-apaan ini?
Baiklah, selesai semua acara lari pagi di Shumann Running Track, mengoceh tentang mata kuliah kehidupan, juga melepas penat di hari Minggu yang cerahnya tidak seberapa ini. Sebelum kembali ke apartemen, aku memutuskan untuk duduk sebentar di bangku yang menghadap langsung ke danau Jacqueline Kennedy Onnasis Reservoir. Ketika duduk-duduk santai, tidak lama ada telpon masuk. Ternyata dari seseorang bernama lengkap Parama Eugene Oetomo. Ya, pacarku.
“Ya, selamat pagi, ada yang bisa saya bantu Bapak Rama Oetomo?”, mulaiku lewat percakapan di telpon dengan Eugene yang sengaja kupanggil nya dengan nama Rama karena katanya waktu SMA, teman-teman dan guru-gurunya memanggilnya dengan Rama yang diambil  dari nama depannya, Parama. Tidak ada alasan khusus sih katanya karena memang ia juga sengaja tidak memberitahu kepada semua teman-teman SMA nya bahwa panggilan sebenarnya adalah Eugene bukan Rama. Katanya agar terdengar lebih merakyat menggunakan nama Rama.
“Selamat pagi, Bu. Saya pesan ayam geprek 1 ya”
“Anda salah sambung bapak”
Kami berdua hanya tertawa. Tertawanya saja terdengar ganteng, bagaimana aslinya.
“Lagi apa, Yang?”
“Abis lari di CP”
“Wuih. Rajinnya. CP nya bukan mall yang di Jakarta itu kan?”
“Bukan. Eh suaranya kedengeran baru bangun tidur. Baru bangunkah?”
“Iya. Aku mendadak ngelembur tahu, Yang, semalem itu. Ya, nggak sampe pagi banget sih, cuma sampe jam 2 apa setengah 3 gitu yang abis dari apartemen mu. Gegaranya aku baru baca email dari dosen, dan email nya itu dari hari Jumat.”
“Oyaa? Emang email-nya apaan, Yang”
Sambil berjalan perlahan meninggalkan Central Park menuju apartemen, aku mendengar keterangan Eugene seputar email dari dosennya itu. Kedengarannya sih serius, meskipun sambil bercerita sesekali Eugene menyelanya dengan menguap dan terdengar menggaruk-garuk rambut. Bahwasanya, awal Januari nanti, dia akan mengikuti “Mapping Day” yang akan diadakan di Lincoln, Nebraska selama 10 hari. Jadi, Mapping Day ini semacam acara studi wisata yang umumnya dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa jurusan geografi, demografi, arsitektur, dan termasuk perencanaan tata kota alias Urban Planning seperti jurusan kuliah S2 Eugene.
“Yah. Kok mendadak sih, Yang. Kayaknya kamu nggak pernah bilang”
“Ih pernah kok. Waktu itu aku bilang kalo bakalan ada Mapping Day”
“Ya, tapi nggak bilang kalo Januari. Awal lagi”
“Nah, iya aku nggak tahu kalo tanggalnya. Ini bener-bener baru dikasih tahu dosennya, Yang. Trus, yaudah akhirnya semalem aku langsung lembur ngisi formnya dan lain-lainnya”
Mendengar penjelasannya, entah mengapa jiwa yang sudah kuat dan raga yang bugar akibat lari pagi, tiba-tiba luntur dan hilang semangat. Seperti apa jadinya kalau 10 hari aku berpisah dengan Eugene. Aku kan masih ingin melihat mata sipitnya, masih ingin mampir ke dormitorinya untuk sekadar main meskipun hanya di ruang tamu saja untuk bermalam minggu dengannya.
“Halo? Sayang? Kok diem?”
“Nggak pa-pa”
“Sedih ya? Yah, jangan sedih dong. Kan 10 hari doang. Nanti juga balik. Nanti pas balik kita makan ice cream coklat deh. Yah?”
“Nggak mau. Maunya kamu, bukan es krim”
“Iya tahu. Yah, terus gimana?”
“Yaudah. Aku nggak sedih kok. Tenang aja. Berangkat aja. Becanda kok. Aku nggak selabil itu. Hahaha. ”, padahal hatiku sebenarnya labil dan sedih. Sakit seperti ditusuk-tusuk pakai tusukan sate.
“Aku main ke apartemen deh hari ini. Biar mood kamu balik”
“Ya ampun, Jin. Aku nggak sebocah itu kali. Santai aja”
“Bohong. Aku tahu meskipun kamu bilang nggak pa-pa, tapi sebenernya kamu kenapa-kenapa kan?”
Gila. Rupanya ia tahu isi hati dan kepalaku. Darimana ia bisa menebak itu? Padahal kan memang harusnya aku bersikap dewasa dalam kondisi apapun. Tapi memang benar sih, aku sedih. Tidak tahu apakah aku akan serindu itu pada Eugene selama dia ke Nebraska nanti. Rasanya langsung ingin memutar lagu-lagu melankolis seperti “Writing on The Wall”-nya Sam Smith jaman dahulu, agar suasana tambah terharu biru.
Obrolan kami lewat telpon masih berlangsung sampai aku sampai ke apartemen. Gila benar pacar satu ini. Sudah kaya atau bagaimana? Pulsanya unlimited atau bagaimana sehingga bisa menelpon ku selama lebih dari 30 menit. Tidak hanya membicarakan rencananya yang akan ke Nebraska itu, kami juga membahas apa yang mau kami lakukan ketika libur Natal nanti. Yang pasti hanya tetap tinggal di New York dan tidak kemana-mana. Ya, mau kemana juga, kalau liburan keluar kota pasti biayanya mahal. Sudah dapat beasiswa untuk kuliah S2 dan dapat sewa apartemen murah saja sudah beruntung, jangan ditambah dengan beban biaya liburan lah. Liburan paling hanya ke sekitaran New Jersey atau ke D.C saja. Oh ya, lagi pula kan bulan Februari kami akan ke Kanada selama 5 hari. Jadi, simpan semangat liburannya untuk bulan Februari nanti.
Sampai di apartemen, baru saja hilang sedihku karena dihibur oleh Eugene, eh mood langsung turun lagi sejak pertama kali yang dilihat saat buka pintu sesosok mahkluk berjenis kelamin laki-laki bernama Jamie Whitley. Ya, Tuhan, kenapa dia lagi sih?! Kali ini ia datang bukan untuk memberiku pai coklat atau coklat bar seperti sebelum-sebelumnya, tapi karena Salima yang mengundangnya ke rumah dan apakah Jamie bisa membantu kami mengangkat barang-barang Salima ke truk pengangkut guna pindah rumah minggu depan.
Jadi, begitu rupanya. Eh, ngomong-ngomong soal bantu-bantu pindahannya Salima, aku baru ingat kalau aku harus memberi tahu Eugene juga kalau ia juga dimintai tolong oleh Salima untuk ikut membantunya mengangkat barang. Aku paham sih, Salima pasti memerlukan tenaga laki-laki untuk mengangkat barang yang berat, tapi tidak tahu mengapa yang dimintai tolong hanya Jamie dan Eugene. Kalau Jamie sih mungkin karena tetangga yang hampir selalu mampir ke rumah, apapun kondisi dan alasannya, pasti kecoak itu datang ke apartemen. Tapi kalau Eugene? Ya, masa karena dia pacarku makanya Salima minta tolong. Tapi tidak apalah, mungkin karena laki-laki yang sering main ke rumah itu Eugene.
Satu minggu kemudian, hari pindahan Salima pun tiba. Selama seminggu belakangan rumah memang agak berantakan karena harus memilah-milah barang-barang antaranya milikku, milik Cassandra dan Salima. Aku, Cassandra, Eugene, dan Jamie, termasuk Salima, pun sibuk membawa satu persatu kardus-kardus berisikan barang-barang milik Salima dari apartemen kami di lantai 3 ke truk pengangkut yang sudah siap di depan gedung apartemen. Rasanya ingin bunuh diri saja kalau begini. Bukan apa-apa, tapi membawa kardus-kardus tidak berdosa itu dari lantai 3 ke lantai dasar dengan hanya menggunakan anak tangga saja, rasanya badai Katharina akan datang dua kali dalam setahun. Mengapa apartemen ini tidak punya lift?!
Aku sempat rehat sejenak dan beinisiatif menyediakan minum untuk kami berlima.
Guys, you could take a break for sec. I already served water and some snacks here, if you wish.
Thanks, Yureka! Very nice of you!”, jawab Cassandra.
Sambil minum segelas air putih dan berdiri dekat pintu dapur, aku sempat melihat Eugene asyik ngobrol dengan Jamie. Eh, kenapa mereka bisa tiba-tiba sedekat itu? Apa Eugene tidak il-fil dengan Jamie setelah kuceritakan semua kegondokan ku pada Jamie? Aku juga sempat melihat mereka saling membantu saat membawa kardus besar dan membawanya ke lantai dasar. Saat mengangkat kardus besar itu, mereka juga saling ngobrol. Aku tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan, tapi kelihatannya seru.
Ironis memang, antara senang atau sedih melihat fenomena itu. Aku yang sudah dipacari Eugene selama hampir 1 bulan dan selalu dibuat kesemsem dengannya, menghadapi seorang tetangga orang lokal yang menyebalkannya minta ampun. Tapi aku pun sebenarnya bingung kepada diriku sendiri mengapa aku tidak setertarik itu kepada Jamie. Maksudku, bisa saja kan dari dulu, saat pertama kali bertetangga dengannya, aku bisa jadian dengan Jamie bukan Eugene. Ya, memang sih aku punya alasan kuat bahwasanya Jamie seorang Atheis dan aku punya pengalaman buruk dengan seseorang yang Agnostik, yaitu mantan gebetanku sendiri, eh bukan, mantan Friendzone-ku sendiri. Na’as.
Jadi, aku masih perang batin melihat keakraban Eugene dengan Jamie yang mendadak ini. Tapi kalau diliat-liat lucu juga sih. Yang satu rambut hitam mata sipit oriental, yang satu lagi hidung mancung rambut pirang occidental.
Setelah 4 jam mengangkut barang-barang Salima ke dalam truk, akhirnya semuanya selesai. Ternyata banyak juga barang-barangnya. Aku sampai tidak menyadari bahwa Salima ini suka mengoleksi majalah fashion seperti “Elle”, “Marie Claire”, “InStyle”, “Harper Bazaar”, dan the one and the only-nya Amerika “Vogue”. Wah, kemana saja aku selama ini. Tapi memang benar sih, meskipun Salima berkerudung, tapi aku selalu melihat dirinya memakai pakaian yang tetap menutup auratnya namun masih bisa mementingkan estetika dalam berbusana agar terlihat fashionable.
Time to say “Goodbye” to Salima. Selain truk pengangkut barang-barang Salima sudah siap berangkat ke Boston, taksi yang akan membawa Salima ke bandara JFK juga sudah datang. Ya, Salima memang tidak akan ikut truk itu karena ia lebih memilih mempercayakan barang-barangnya kepada supir truk antar kota, dan memilih juga dirinya untuk nyaman naik pesawat yang hanya memakan waktu sekitar 1 jam itu. Mudah-mudahan kami semua bisa bertemu kembali dengannya, entah dalam kesempatan apa, dimana, dan kapan. Yang pasti aku senang pernah menjadi roommate nya selama kurang lebih setahun belakangan. Ya, meskipun prinsip dan peraturannya ketat, tapi aku tetap menyayanginya.
Aku dan Cassandra saling berpelukan erat. Aku sempat menitikkan air mata karena terharu dengan momen ini.
Good luck in the new place”, ucapku pada Salima sambil mengusap air mata di dekat mata kanan ku.
I wish you good luck, Salima. We’ll miss you”, saut Cassandra.
I’m gonna miss you too, girls. I’m gonna write you a postcard from Boston. And good luck for everybody.”, balas Salima menguatkan.
Yeah, good luck, Salima…”, ujar Jamie.
Saat mengatakan itu, tubuh Jamie mengarah ke arah Salima dan berniat ingin memeluknya, tapi Salima buru-buru membuka kedua telapak tangannya dan memblokir niatan Jamie untuk memeluknya sambil berkata “Hmm, excuse me. Anyway, thank you for your helps, Jamie, Eugene
No problem for me. Good luck, Salima”, respon Eugene.
Good bye, guys. Assalamualaikum!”, ucap salam Salima kepada kami semua.
Walaikumsalam”, dibalas oleh kami semua yang mana membuatku terpana karena bisa-bisanya Jamie yang anti agama tahu cara membalas ucapan itu yang mana tercengang ku dibuatnya. Kalau Cassandra memang tidak heran karena aku dan Salima pernah mengajari Cassandra cara membalas salam dengan bahasa Arab, dan juga pernah mengajarinya cara berdoa sebelum makan. Ah, Salima belum pindah saja aku sudah rindu kebersamaan kami bertiga.
Hah, she’s gone. Well, one left, but another one will coming”, ucap Cassandra.
Yeah, you’re right. Your brother will coming to New York”, balasku.
Who’s his name, by the way?” tanya Eugene.
Dominico”, balas Cassandra.
Nice name”, saut Jamie.
Thanks.” Balas Cassandra.
Well, that’s nice actually. I have a new bro in the house. And I’ll bring him to a club for whole month”, ujar Jamie terdengar konyol meskipun hanya lelucon semata.
Whatever you say, Jamie.”, jawab Cassandra agak terganggu.
Yeah. Burrito from Mexico! Woohooo!”, ujar Jamie lagi sambil berseru.
Dan kami semua kecuali Jamie, diam tak bergeming, memandang ke arah Jamie dengan aneh.



- BERSAMBUNG -


Lanjut Episode 3 --> Double Yu S2E3

Comments

Popular posts from this blog

Kumpulan Cerita Bersambung : DOUBLE YU - SEASON 1 (karya Yulia Sutjahjono)

"Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan)" Part 2

Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan) Part 1