DOUBLE YU SEASON 1 - Episode 7 : "Batik Day"


(Courtesy of Pinterest)


Yureka. Agustus-Oktober 2018. New York. Masa Depan.

Tidak terasa, proses acara Batik Day 2018 sudah setengah jalan. Sudah satu bulan lebih kami disibukkan dengan rapat, rapat, dan rapat. Kami juga fokus pada divisi masing-masing, atau bahkan membantu divisi lain seperti mengurusi perizinan dan promosi.

Semakin lama, hubungan pertemanan kami berdelapan pun semakin dekat. Aku merasa pertemanan kami satu level lebih tinggi, yakni menjadi persahabatan. Lebih-lebih kami sudah seperti keluarga sendiri. Kami jadi makin tahu kesukaan dan ketidaksukaan masing-masing. Seperti Farida yang ternyata tidak bisa lepas dari slime berwarna kuning kesukaannya yang sejak setahun ini ia simpan sebagai hadiah dari pacarnya. Memberi hadiah kok slime? Pacarnya aneh sekali.

Atau Kak Anna yang bercerita panjang lebar mengapa ia tidak percaya pernikahan. Agak aneh sih orang Indonesia bisa punya pemikiran seperti orang Amerika yang tidak mau menikah. Alasannya sih karena hidup sendiri itu sangat nikmat, tidak ada yang perlu diributkan apabila ia membuat kesalahan. Kemudian, yang membuatnya tidak ingin menikah bahkan tidak percaya pernikahan adalah karena orang tuanya sering bertengkar dan kemudian terpaksa berpisah saat ia duduk di kelas 3 SMP. Tapi katanya ia juga agak trauma dengan laki-laki. Dulunya Kak Anna ini tergolong anak salah gaul. Sejak SMA ia memang sudah merokok tapi jauh sebelum sekarang ia benar-benar perokok berat. Ia juga pernah kecanduan alkohol waktu kuliah S1 dulu. Lebih parah lagi, ia pernah melakukan hubungan seks bebas dengan pacarnya saat itu yang bernama Leo. Pria yang sudah menjadi mantannya itupun juga sering ketahuan selingkuh dengan banyak teman perempuannya. 

Tapi setelah tiga tahun seperti itu, Kak Anna memutuskan untuk kembali ke jalan Tuhan dan benar-benar bertaubat. Ia dulu tidak pernah sama sekali pergi ke gereja, tapi salah satu sahabatnya yang sempat lost contact dengannya karena kuliah di Selandia Baru, mengajaknya untuk bertaubat. Lambat laun Kak Anna mulai ikut kebaktian, jadi rajin ke gereja, bahkan sering mengunjungi para biarawati dan banyak belajar dari mereka. Nah, dari situ, ia merasa ia menjadi pribadi yang lebih baik. Ia pun memberikan pernyataan “Itu mending yee gue nggak sampe hamil dan aborsi. Jadi gue bersyukur banget sama Tuhan karena sebelum masalah makin rumit, gue dibangunin dari situasi itu dan bener-bener ditunjukkin jalan taubat lewat sahabat gue itu. Dan dari situ gue jadi nggak pengen nikah dan pengen ngabdi aja hidup gue buat Tuhan”.

Bahkan cerita Gilang yang sedikit menyayat hati ketika ia bercerita soal bagaimana ia bisa terbang ke New York. Ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Waktu kuliah S1 dia anak Bidikmisi, itu loh beasiswa dari pemerintah buat yang berprestasi tapi kurang mampu. Kemudian dalam waktu tepat 4 tahun ia berhasil mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris dari Universitas Negeri Yogyakarta. Kemudian karena kegigihannya, ia juga berhasil jadi salah satu penerima beasiswa kece sekelas LPDP dan akhirnya sekarang ia disini, jadi mahasiswa S2 TESOL di kampus yang sama kayak gue.

Bagaimana dengan Eugene?

Ah, tidak ada habisnya membicarakan laki-laki ganteng itu. Aku sampai lupa apa saja yang kami bahas selama ini. Intinya semakin banyak informasi yang kudapat soal Eugene, seperti hobinya yang suka main game online, atau gambar sketsa rumah dan gedung. Ah, asyik sekali yaa punya gebetan anak Urban Planning. Eugene, Eugene, kamu benar-benar bisa kolaborasi dengan Ayahku kalau sudah lulus nanti. Sekalian memperkenalkan diri sebagai calon menantu juga boleh. Hmmm, Yureka hayoo jangan mulai.

Ya, kami makin dekat. Sesekali atau dua kali Eugene mampir ke apartemen untuk sekadar main dan ngobrol. Meskipun sering sekali Salima berdeham kalau Eugene kelamaan mampir.

Ngomong-ngomong soal Eugene nih, aku jadi teringat obrolan WhatsApp dengan Ibuku kala beliau menanggapi foto yang kuunggah ke Whatsapp Story beberapa waktu lalu. Ya, harusnya aku tidak perlu mengunggahnya karena Ibuku pakai WhatsApp juga, dan hampir tiap aku posting, beliau memberikan komentar. Ya, tidak salah sih namanya juga orang tua mau tahu kesibukan anaknya bagaimana. Tapi tidak dengan yang satu ini karena pasti akan ditanya macam-macam. Dan benar saja, kala itu Ibuku bertanya “Itu temannya ya, dek? Siapa namanya? Orang Amerika atau mana? Mahasiswa asal China bukan?”

Aku masih ingat bagaimana reaksiku menanggapi WA Ibu itu. Agak berkeringat sih, tapi semoga kala itu Eugene tidak ngeh dengan hal itu. Kemudian ku balas lah dengan kalimat: “Nggak kok Bu, itu temen panitia acara buatnya KJRI yang kemarin Kia kasih tahu itu. Bukan orang China bu, orang Indonesia juga kok, cuma keturunan Chinese sih. Namanya Eugene, dibacanya Yujin, namanya kayak bule yaa? Hehehe”.

Begitulah balasan WhatsApp ku ke Ibuku. Kemudian kutanyakan mengapa ia mengirim WhatsApp jam segini. Karena perbedaan waktu Jakarta-New York adalah 13 jam, jadi kalau di New York jam 2 siang, kira-kira di Jakarta jam 1 pagi. Beliau bilang baru mau tidur karena semalaman ada tamu datang. Tamunya hanya dari keluarga sendiri, yaitu Ayah dan Ibunya Dione dan Delila alias Om dan Tanteku. Mereka sudah terbiasa main ke rumah, karena selain rumah mereka dekat, tidak salah dong kalau sering mampir, namanya juga sanak saudara.

Tapi kupikir awalnya Ibuku hanya sekadar komentar, ternyata ia memberikan pernyataan yang membuatku mendadak bimbang. Beliau berkata “Oh yaa. Hati-hati yaa. Semoga sukses acaranya. Hati-hati juga pilih-pilih teman”.

Nah aku tahu nih kalau Ibuku sudah bilang “Pilih-pilih teman”, itu berarti “Pilih-pilih pacar” secara tersirat. Ya, aku tahu beliau pasti khawatir, tapi kenapa Ibu jadi begitu yaa? Memangnya aku tidak boleh dekat dengan Eugene? Haduh, jangan-jangan, ibuku tidak suka dengan Eugene? Yah, bagaimana mau dijadikan kekasih kalau orang tua saja dari awal begitu sudah tidak nyaman. Entah lah, lihat saja nanti.

Jujur aku sempat tidak bersemangat dan konsentrasiku pun tidak melulu penuh. Aku sering melamun hanya karena memikirkan kata-kata Ibuku tadi. Aku jadi punya feeling kalau Ibuku tidak suka dengan Eugene. Hmm, bukan tidak suka secara dalamnya, ya karena kan Ibuku belum tahu kepribadiannya Eugene bagaimana, baru tahu dari luarnya saja. Karena yang aku tahu, Ibuku memang sangat selektif apabila anaknya punya teman dekat. Mungkin karena dulu aku pernah dekat dengan laki-laki yang tidak percaya agama, atau bisa dibilang Agnostic, jadi Ibuku agak-agak trauma apabila aku dekat dengan laki-laki yang dilihat dari luarnya bukan seiman dengan keluarga kami. Ah, ya, Ibuku kan belum tahu kalau Eugene itu Muslim. Ya, aku paham sekarang mengapa beliau berkata demikian, karena pasti yang ada di benaknya pria Tiong Hoa itu pasti penganut Kristen, Katolik, bahkan Buddha dan lain sebagainya. Duh, Ibuku tidak pernah membaca sejarah Islam di Xinjiang China sih, jadi beliau tidak tahu pasti kalau di daratan China pun ada banyak penduduk Muslim disana. Ya, entah lah. Kapan-kapan saja aku beri tahu Ibuku soal yang satu itu. Intinya, meskipun aku terkena sindrom galau akut karena pengaruh kata-kata ibuku, aku harus tetap konsentrasi menghadapi Batik Day yang tinggal beberapa minggu lagi.

 

🎉🎉🎉

 

Bulan sudah masuk September, itu artinya acara Batik Day makin dekat sekitar 3 minggu lagi. Kami menjadwalkan acara ini selama satu pekan, yakni dari tanggal 1-7 Oktober 2018. Dua hari pertama kami jadwalkan untuk workshop dan seminar tertutup khusus untuk mahasiswa atau orang-orang yang berlatar belakang bidang desain. Hari ketiga untuk diskusi tertutup untuk diaspora Indonesia. Hari keempat forum diskusi umum tentang keberagaman batik yang didukung oleh Kementerian Pariwisata. Sedangkan tiga hari sisanya pameran batik dan peragaan busana.

Makin hari, makin melelahkan. Makin hari pula makin membuat emosi kami kurang terkontrol. Mungkin pengaruh kelelahan itu sendiri. Kami jadi sering tersulut amarah, contohnya ketika Dhimas dan Chandra bertengkar karena saling menyalahkan akan hilangnya salah satu alat pinjaman pertukangan milik tetangga Kak Anna yang mana mau tidak mau akan kami ganti nantinya. Ya, tahu sih hanya sekadar meteran dan bor atau apalah itu namanya. Secara uang sih memang mahal, tapi tanggungjawab lah yang lebih mahal. Kita bisa kehilangan uang, tapi kalau kehilangan kepercayaan dari orang lain itu jauh lebih sulit. Ibaratnya “Sudah pinjam, dihilangkan, trus nggak diganti gitu?”. Pasti orang yang meminjamkan akan malas meminjamkannya lagi. 

Selain kejadian hilangnya alat-alat yang kusebutkan tadi, ada masalah lain. Memang emosiku pun makin ikut tidak terkontrol, dan yang kemudian memunculkan masalah adalah rasa kecemburuan yang mulai muncul dalam diriku kepada Farida. Jadi begini, rapat minggu lalu, seperti biasa kami rapat di apartemen Kak Anna. Saat itu Farida tidak berniat menginap karena keesokan paginya ia sudah ada janji dengan temannya untuk pergi ke New Jersey. Karena malam sudah larut, yakni sekitar pukul 11 malam dan kami semua khawatir kalau ia pulang naik subway, akhirnya Eugene yang berinisiatif mencarikan taksi untuk Farida. Aku pun heran mengapa harus Eugene yang antar? Dia sengaja kah membuatku cemburu? Ya, memang waktu itu sepupunya yang satu tim dengannya, si Fikri, sedang tidak datang. Dhimas dan Gilang sedang rapat internal penting dengan Kak Anna. Jadi dengan segala hormat mereka tidak bisa diganggu. Kalau Chandra kakinya belum lama itu terkilir dan agak susah berjalan. Aku? Yah mana mungkin, aku juga kan perempuan, pasti riskan kalau mencarikan taksi untuk Farida. Akhirnya mau tidak mau Eugene lah yang menemaninya.

Selama Eugene mengantarkan Farida mencari taksi, aku ingat betul rasanya lama sekali mereka mendapat taksinya. Saking keponya, aku mengecek jam. Aku menghitung durasi waktu berapa menit atau jam mereka mencari taksi. Mereka mulai keluar apartemen sekitar pukul 23.12, kemudian Eugene baru balik ke apartemen pukul 23.40. Ya, seperti biasa memang lama mencari taksi di New York, tapi kira-kira apa yaa yang mereka perbincangkan selama kira-kira 30 menit itu?

Kekhawatiranku terjadi ketika satu minggu kemudian, kami berempat, aku, Eugene, Fikri, dan Farida sama-sama ke KJRI untuk menemui wakil divisi kebudayaan, yang juga sebagai penanggungjawab acara Batik Day ini. Selama perjalanan menuju KJRI, entah mengapa Eugene dekat sekali dengan Farida. Mereka bicara banyak, tapi apa sih yang mereka sebenarnya perbincangkan? Pada akhirnya aku hanya ngobrol dengan Fikri. Tapi selama bicara dengan Fikri aku sering tidak konsen, karena terganggu dengan pertunjukkan Eugene dan Farida bicara berdua seperti itu.

Lain halnya dengan Farida yang entah mengapa jadi dekat dengan Eugene. Sama halnya denganku yang agak aneh juga karena beberapa minggu terakhir Chandra jadi modus denganku. Dia jadi sering memberikanku coklat dan hal-hal lainnya. Jadi Chandra berubah menjadi Jamie begitu?

Jadi satu minggu setelah kejadian kecemburuan itu menimpaku, tiada hujan tiada angin, Chandra memberiku coklat. Bukan, hari itu bukan hari ulang tahunku, ulang tahunku sudah lewat awal Juli kemarin. Itu juga bukan hari ulang tahunnya yang dirayakan tiap bulan Februari. Jadi, katanya waktu itu restoran tempat ia praktik, memiliki banyak pasokan coklat susu, dan pemasoknya sengaja memberikan 2 kotak tambahan sebagai bonus. Hmm, baik sekali yaa. Akhirnya kami berdelapan masing-masing dapat 1 coklat. Tapi yang aneh adalah, entah mengapa, semoga ini hanya perasaanku saja, Chandra memberikan ku coklat dengan ukuran paling besar diantara yang lain. Diberi pita pula! What? Apa-apaan ini? Dan ada tulisan: “Terima kasih Yureka krim anti terkilir dan pijat gratisnya waktu itu”. Ah ya aku baru ingat waktu kakinya terkilir, aku yang bantu pijat kaki kirinya yang terkilir karena habis main bola kala itu. Aku memang tidak tahu banyak tentang bidang perpijatan, tapi aku tahu sedikit teknik yang diajarkan Ayahnya Dione yang bekas pelatih sepak takraw itu. Jadi, aku juga jadi tahu kalau kaki keseleo atau pegal-pegal itu harus dipijat bagian mana.

Tapi, kan bukan itu juga seharusnya yang menjadi alasan utama mengapa aku diberi coklat dengan ukuran besar, ya kan?

Tidak hanya coklat, aku pun baru menyadari, kalau selama rapat ini berlangsung, tiap kali Chandra yang beli makan, orang pertama yang ia hidangkan makanan tersebut adalah aku. Juga, waktu kami bosan beli makan diluar dan masak makanan sendiri, Chandra yang memaksaku untuk ikut membantunya memasak. Ya, memang sih aku bisa masak, cukup jago lah boleh dibilang, begitupun Kak Anna. Meskipun Farida katanya tidak bisa memasak, tapi masa harus aku yang jadi sasaran Chandra untuk menemaninya di dapur?

Duh, makin lama makin tidak nyaman. Belum lagi urusan dengan Jamie. Ah dia lagi. Dia sudah jarang sih membuatkanku pie coklat, katanya sibuk di tempat kerjanya dan pulang malam terus. Tapi tidak dengan tawarannya mengajakku jalan. Dia benar-benar tidak bosan mengajakku keluar meskipun hanya sekadar makan kacang rebus pinggir jalan. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Aku sebenarnya ingin sekali menerima ajakannya, tapi hati ini sekali bilang tidak yaa tetap tidak. Aku pun tidak bisa membohongi diriku sendiri. Pokoknya kalau hatiku bilang tidak yaa tetap tidak. Titik.

 

🎊🎊🎊

 

Satu minggu sebelum hari H, badan makin lelah, emosi makin tidak stabil, semuanya dibuat pusing. Seharusnya sih tidak. Kami berusaha sebisa mungkin tidak saling menyalahkan kala kami menemukan ketidaksempurnaan pada persiapan acara kami yang akan dilaksanakan satu pekan mendatang. Aku tahu, kami semua harus bekerja dan menghasilkan karya dan perfoma yang semaksimal dan sesempurna mungkin, tapi kan namanya juga manusia, tidak ada yang namanya sempurna. Tapi hal kesempurnaan dan ketidaksempurnaan menjadi momok bagi Kak Anna. Dia memang koordinator kami, ia punya tanggungjawab yang besar kepada KJRI untuk menyelesaikan semua ini dengan sebaik mungkin. Disamping itu memang Kak Anna tipikal orang yang perfectionist, jadi apa-apa harus teliti, tidak sembarangan ini dan itunya. Dari situlah aku baru tersadar mengapa beberapa kali ia bersilat lidah dengan Dhimas, seperti yang waktu itu, karena pada dasarnya Dhimas orangnya easy going, dan ia paling malas dengan orang yang menuntut ini dan itu. Sedangkan Kak Anna apapun harus dibuat sebagus dan sesempurna mungkin.

Tapi bagaimanapun, persiapan kami sejauh ini lumayan baik, sudah 90% matang. Agenda acara yang kami jadwalkan sudah pasti dan siap dilaksanakan. Yang belum hanya proses dekorasi. Ya, itu bagianku dan Eugene. Kami sempat kewalahan dengan realisasi dari desain panggung yang pernah Eugene buat. Aku agak kesal sih dengannya karena dekorasinya terlalu sederhana, sedangkan ia bilang itu sudah cukup baik. Setelah kutanyakan pada Kak Anna memang ada yang kurang. Kami pun sempat adu mulut soal itu. Ternyata aku ini seperti Kak Anna yaa yang perfectionist, tapi tidak seekstrem Kak Anna sih, aku masih bisa mewajarkan segala sesuatunya kok.

Aku juga sempat marah ke Eugene karena ternyata desain terakhir yang ia buat sesaat sebelum eksekusi itu berbeda dengan yang kami buat di awal-awal kami rapat. Yang membuat aku jadi naik pitam adalah karena ia tidak bilang padaku terlebih dahulu. Ia hanya berkata “Gue kan udah bilang Kak Anna, bukannya lu udah tahu?”. Yah, intinya seperti itulah. Kami bertengkar sesaat, tidak saling tegur sapa dalam beberapa hari. Aku masih kesal, dia pun sepertinya tidak tahu harus berbuat apa meskipun sudah minta maaf padaku.

Agak rugi sih diam-diaman dengan gebetan sendiri. Jujur, saat kami bertengkar, aku khawatir, khawatir karena takut itu semua merusak kesan-kesan Eugene terhadapku. Duh, memang kebiasaan sekali aku dari dulu selalu mementingkan outside dibandingkan inside impression kepada gebetanku. Agak berlebihan sih, tapi yang kulakukan memang semata-mata karena aku tidak mau hubunganku dengan orang yang kusukai jadi aneh dan kaku seperti pertama kali bertemu. Jadi, sebisa mungkin aku membuat kesan yang baik didepan Eugene.

 

⚡⚡⚡

 

Tiga hari menjelang hari yang dinanti. Bukan, bukan hari pernikahan ku dengan Eugene, jadian saja belum sudah melangkah pesat ke jenjang pernikahan. Astaga imajinasiku terlewat berlebihan. Bagaimanapun, aku sudah baikan dengan Eugene. Itu semua karena Kak Anna yang melerai kami berdua. Ia bilang “Udah dong kalian jangan diem-dieman, nggak enak nih udah mau Hari H, harus profesional dong kalian. Kalau masih marahan, nggak usah ikutan Batik Day deh”.

Ya, setengah dilerai, setengah diancam. Baiklah, akhirnya kami berdua memutuskan untuk berbaikan. Lagi-lagi aku yang mulai duluan dengan mengatakan “Yaudah lu gue maafin. Tapi pokoknya lain kali kalo ada apa-apa bilang dulu yaa, biar sama-sama enak” pada Eugene. Ia pun dengan ekspresi bersalahnya, merespon “Ya, sekali lagi maaf ya. Gue traktir es krim mau ya?”. Nah, jujur kalau yang itu aku jadi tidak bisa menahan tawaku. Langsung tersenyum lebar aku dibuatnya. Eh tapi boleh juga tawarannya, asal jangan ditraktir rasa kayu manis saja seperti rasa kesukaannya.

 

🎉🎉🎉

 

Akhirnya “Batik Day 2018” dilaksanakan. Semua sudah siap. Panggung, ruangan seminar, semua sudah siap 100%. Sesama panitia pun sudah tidak ada yang marah-marahan lagi. Selama acara berlangsung, kami semua kompak. Selama tujuh hari berturut-turut, kami bekerja sama, saling membantu, saling terbuka, saling berkata “maaf, tolong, dan terima kasih” kepada masing-masing panitia termasuk kepada panitia dari pihak KJRI.

Tapi selama acara berlangsung, Eugene jadi agak berbeda denganku. Dia jadi agak cuek denganku. Loh, kan aku sudah memaafkannya tiga hari yang lalu? Kenapa jadi acuh begitu kepadaku?

Aku pikir-pikir sejena dan meresapi apa yang terjadi. Pesan WhatsApp-nya tadi malam juga hanya di read. Ya, memang hanya kata-kata penyemangat “May the force be with you…” yang kuambil dari salah satu kutipan film Star Wars. Ditambah dengan “Jangan lemes sampe seminggu kedepan ya! Semangat Yujin!!!”.

Biasanya Eugene membalas, seperti waktu itu aku kirim kutipan-kutipan film Forrest Gump: “My Mama always said life is like a box of chocolates, you’ll never know what you’re gonna get”. Yah, meskipun waktu itu dia hanya membalas “Quotes dari mana tuh? Bahasnya coklat mulu ah si Yureka nih, yang lain dong”, tapi kan intinya dia masih membalas. Membahas soal kutipan film tersebut, sebenarnya agak heran dengannya karena ketika kusebutkan bahwa itu salah satu kutipan terkenal dari film yang dibintangi Tom Hanks itu, Eugene tidak tahu sama sekali. Dia bilang “Siapa tuh Tom Hanks?”. Astaga, masa aktor kelas internasional macam Tom Hanks saja ia tidak tahu? Tidak heran memang setelah ku tahu ia tidak suka nonton film. Yah sayang sekali padahal kalau ia juga hobi nonton film, aku bisa tukar informasi seputar film dengannya. Ternyata tidak suka ya? Ada-ada saja yaa. Pertama, ia tidak suka coklat, kedua ia tipikal yang mendadak, dan ketiga tidak suka film. 180 derajat terbalik denganku. Kalaupun kita tetap berbeda, aku masih berharap setidaknya kami berjodoh. Kan kami punya beberapa kesamaan.

Tunggu, tapi sepertinya sikap tidak pedulinya bukan hanya karena itu.

Atau jangan-jangan soal Chandra? Tapi masa karena Chandra waktu itu memberiku coklat yang ukurannya lebih besar dan ada kata pengantarnya, Eugene jadi berubah denganku?

Atau karena job-desc yang diberikan koordinator KJRI yang menempatkanku dan Chandra sebagai lini keamanan? Apa iyaa itu yang membuat Eugene jadi aneh?

Ya, memang selama acara aku mendapat bagian mengawal dan membantu mengamankan jalannya acara, khususnya di depan pintu ketika acara workshop dan seminar berlangsung. Dan untuk tiga hari berturut-turut aku bertugas dengan Chandra, jadi otomatis kami ngobrol disela-sela waktu. Sedangkan Eugene saat itu hanya bagian operator saja.

Apa itu yang membuatnya jadi acuh kepadaku?

Jadi Eugene cemburu dengan Chandra?

 

🎊🎊🎊

 

Setelah tujuh hari, “Batik Day 2018” pun selesai!

Lega, puas, bahagia, tapi sedih.

Lega karena persiapan yang kita lakukan jauh-jauh hari akhirnya selesai juga.

Puas karena hasil kerja keras kita semua membuahkan hasil. Peserta seminar dan pengunjung peragaan busananya saja sudah melebihi angka target. Ditambah performa para model yang kami undang langsung dari DNA Models Management yang cukup terkenal di New York itu sangat sesuai dengan konsep acara kami.

Bahagia juga karena kapan lagi bisa bekerjasama dengan orang-orang penting di KJRI dan tidak lupa bahagia punya teman-teman seperti Fikri, Farida, Gilang, Dhimas, Chandra, Eugene, dan satu-satunya “Ibu” kami, Kak Anna. Ditambah lagi bahagia karena kapan lagi bisa satu divisi dengan gebetan sendiri, setiap rapat bertemu, menjelang hari H apalagi. Kami bahkan bertemu dua minggu berturut-turut menjelang Batik Day tiba.

Tapi sedih. Pasti sedih karena aku tidak tahu apakah setelah Batik Day kami berdelapan masih bisa berkumpul intensif seperti ini lagi atau tidak. Mengingat kebanyakan dari kami sudah menempuh tahun kedua di universitas, jadi pasti tugas makin menumpuk, kegiatan di kampus makin menggila. Apalagi yang sudah mau menyusun tugas akhir sepertiku ini, rasanya sulit sekali meluangkan waktu untuk mereka kalau bukan karena demi kelulusan sekolah masterku nanti.

Apalagi soal Eugene. Aku sempat menitikkan air mata saat kami foto bersama. Selain karena sedih kami semua harus kembali ke rutinitas masing-masing, aku sedih karena aku tidak tahu apakah setelah ini hubunganku dengan Eugene tetap bisa seperti ini atau tidak. Apakah aku bisa makan siang bareng lagi atau tidak. Ya, selama rapat acara ini, aku dan Eugene jadi banyak mampir ke tempat-tempat makan yang murah-murah di New York, mulai dari makan makanan Vietnam lah, makanan Thailand lah, Western Food lah, sampai Fast Food, semua kami coba bersama.

Tentunya kami jadi makin banyak tukar informasi soal pribadi masing-masing, salah satunya aku jadi makin tahu apa yang suka dan tidak disukai Eugene, seperti ia sangat suka melihat gedung-gedung bertingkat, intinya ia ini tipe yang city person. Kalau boleh jujur, aku juga demikian. Maka dari itu ia memilih tinggal di New York karena ia tidak akan bosan melihat New York karena banyak gedung-gedung pencakar langit yang bisa ia pandangi setiap hari.

Kalau soal hal yang ia tidak sukai, sebenarnya bukan tidak suka, tapi lebih ke phobia. Jadi, Eugene ganteng itu ternyata Claustrophobia alias phobia terhadap ruangan sempit. Jadi aku mengerti saat Eugene bercerita kalau waktu ia kuliah di Hong Kong, ia punya apartemen sendiri, seperti studio lah kira-kira, besar dan luas. Itu semua karena yaa phobianya itu yang katanya kalau ia terlalu lama berada di ruangan sempit, ia akan tersugesti untuk sulit bernapas bahkan pingsan. Dan itu pula alasannya selama Batik Day berlangsung, kalau kami ada urusan dengan KJRI atau mengunjungi institusi tertentu, Eugene lebih memilih naik tangga ketimbang naik lift. Hmm, aneh sih tapi jadi sehat juga kalau begitu keadaannya.

Lupakan soal phobianya, aku ingin bercerita soal momentum menggetarkan hati yang terjadi di Chinatown persis seminggu sebelum Batik Day. Saat itu, entah mengapa kami banyak tukar informasi soal keluarga masing-masing. Seperti sudah sangat percaya diri kalau aku bisa jadian dengannya dan menikahinya suatu hari nanti. Tapi lagi-lagi aku membutuhkan tamparan yang keras untuk itu.

Tapi bukan hanya soal itu, ada lagi satu hal lain yang benar-benar membuatku bergetar di dalam dada. Masih di Chinatown, saat itu hari Minggu dan Chinatown di Mott Street atau lebih dikenal dengan Little Hong Kong yang saat itu sedang ramai turis wisatawan. Secara harafiah, benar-benar ramai! Orang bertaburan di jalan, desak-desakan. Pokoknya penuh sekali dan aku tidak suka itu. Karena secara pribadi, aku tidak terlalu suka keramaian, lebih tepatnya takut kalau-kalau kecopetan atau apapun. Melihatku begitu dan aku terdiam beberapa saat, itu mungkin yang membuat Eugene menjadi bertanya “Lu kenapa, Yur?”, dan kujawab dengan “Gue nggak suka kalau banyak orang gini. Insecure aja”. Dan mau tahu apa yang terjadi? Eugene menggenggam tangan kananku dengan tangan kirinya waktu itu! Tidak ada kata-kata keluar dari mulutnya, tapi aku bisa merasakan kalau dalam hatinya berkata “Don’t worry, you won’t be alone and lost”.

Ah, Indah sekali! Ya, itu kali pertamanya itu terjadi dalam hidupku ada laki-laki yang mau menggenggam tanganku dengan penuh kasih sayang. Hmmm bukan hidupku juga sih, lebih tepatnya kehidupan percintaanku. Kalau hanya digenggam saja, Ayahku dan Kakekku juga pernah memegang tanganku kalau mau menyebrang jalan saat masih kecil dulu. Intinya, aku bahkan tidak bisa berkata apa-apa kala itu, bahkan sampai detik ini. Ini rasanya seperti mimpi!

Ya, itulah sebabnya aku menitikkan air mata saat kami berdelapan berfoto bersama. Aku tidak tahu apakah atas nama Batik Day aku bisa seperti itu dengan Eugene atau tidak. Maksudku, bisa saja kalau bukan karena Batik Day, aku tidak bisa kenal Eugene lebih jauh, tidak tahu persamaan dan perbedaan yang ada pada kami berdua sampai sedekat ini. Aku terbawa emosi, aku sedih, aku takut kalau saja setelah acara ini berakhir, hubunganku dengan Eugene juga akan berakhir begitu saja, berakhir menjadi teman, berakhir hanya menjadi gebetan. Seperti itu saja terus! Dari dulu tidak pernah berhasil mencuri hati satu pria pun. Gebetan berakhir menjadi gebetan yang kemudian menjadi mantan gebetan ketika ku menemukan gebetan baru, dan begitu terus sampai kapan juga aku tidak tahu.

Aku mengerti, aku harus tetap sabar menanti. Tapi kalau ku boleh meminta pada Tuhan, dalam hati yang terdalam, bahwasanya Eugene adalah pilihan yang tepat. Ada banyak persamaan tapi ada banyak perbedaan di antara kami dan itu yang membuatku memiliki firasat bahwa “Aku sangat merasa nyaman seperti ini. Eugene bukan seperti teman panitia biasa, ia bisa lebih dari itu. Kami cocok kok kalau dilihat-lihat”.

Karena tidak tahan dengan perasaanku itu dan aku bingung harus mengekspresikannya kepada siapa, akhirnya Dione, sepupu yang gila Korea itu, akhirnya kujadikan tempat curhat. Habisnya siapa lagi yang mau diajak curhat soal gebetan? Keluargaku yang lain? Ah, udah nggak asik gara-gara kejadian tidak menyenangkan saat aku semester 7 dulu. Lagipula Ibuku kan sempat mempertanyakan soal Eugene dan pasti kalau aku mengaku kalau aku suka dengannya, pasti Ibu angkat bicara. Atau malah bisa-bisa Ibuku rela menyusulku ke New York demi menasehatiku secara empat mata soal bagaimana harus berteman dan dekat dengan lelaki dan atau lain sebagainya.

Ku curahkan lah isi hatiku pada Dione dan cerita semuanya. Bahwa betapa senang dan berbunga-bunganya aku saat ini. Terlebih soal pegangan tangan itu. Benar-benar impian menjadi nyata. Benar-benar bahagia meskipun hanya di respon “Lah jadi yang waktu kita video-callan itu? Itu gebetan baru lu? Yaelah ini gebetan lu yang ke berapa sih? Udah nggak bisa keitung? Lah emang yang bule itu udah nggak suka?” oleh Dione.

Ah sial, si Dione jadi nggak asik gini. Kalau saja dia juga tidak curhat soal gebetannya yang ia temui saat ia pergi ke Bali beberapa waktu lalu itu, aku tidak akan sabar menghadapi responnya yang sengit ini.

Ngomong-ngomong, Dione adalah satu-satunya orang yang paling overreacting saat pertama aku ke New York. Aku masih ingat betul kata-katanya sesaat sebelum aku berangkat, yang mungkin akan dikatakan wanita-wanita Indonesia lainnya yakni “Tolong bawakan aku satu bule untuk aku nikahi. Tinggi badan lelaki Indonesia tidak mendukung tinggi badanku, Kak. Please”. Tapi memang dari penyataannya dia seperti sudah desperate soal itu.

Ya, memang lucu sekali. Dione memang bekas atlet renang waktu ia kecil, makanya efeknya tinggi badannya jadi tidak normal alias melebihi batas normal tinggi badan perempuan Indonesia pada umumnya.

Tapi rasanya, kekhawatiran Dione jadi berkurang setelah ia berkenalan dengan pemuda asal Denmark yang bernama lengkap Arthur Frederik Holm. Katanya sih mereka sebaya, dan mereka bisa bertemu karena sama-sama menghadiri workshop waktu mereka pergi ke Bali belum lama ini. Lucunya adalah ternyata mereka sama-sama berasal dari kampus yang sama. Yang jelas kalau Arthur ini adalah mahasiswa asing yang kuliah di kampus Dione, dan Arthur ini adalah mahasiswa hasil pertukaran pelajar dari Roskilde University, Denmark. Kece sekali rupanya sepupu ini. Tidak jadi mencari Oppa-Oppa Korea saja?

 

🎉🎉🎉

 

Sesuai rencana, aku dan Eugene “merayakan” keberhasilan tim dekorasi dengan makan pasta di Vapiano Italian Restaurant di University Place Street 113 yang kebetulan tidak jauh dari kampusku di Jalan Broadway.

Tidak ada lilin sih, tapi makan malam ini cukup romantis. Kami pesan Spagetti Aglio E Olio, Fusili Scampi E Spinaci, Lasagna Al Forno, dan Risotto Ai Funghi. Sebagai hidangan penutup, kami pesan Tiramisu dan Panna Cotta. Ya, kami keluar uang banyak malam itu, tapi kami puas. Kami merasa kami layak mendapatkan makanan-makanan lezat itu. Selain karena selama persiapan Batik Day kami hampir tidak pernah keluar uang untuk beli makan yang disebabkan oleh hampir tiap rapat kami dibelikan makanan. Itupun yang menjadi salah satu faktor uang kami bisa hemat banyak. Selain itu juga karena aku dan Eugene sengaja menabung dan tidak jajan demi makan-makanan Italia seperti ini. Ah, rasanya nikmat sekali.

“Nggak nyesel kan kesini?”, tanya Eugene dengan tatapan perhatian.

“Iyaa. Hehehe. Padahal gue pengennya ke L’Artusi atau minimal Scarpetta lah”, jawabku sambil tersipu malu dan berusaha fokus dengan piring saji.

“Gila, itu sih makan disitu semalem doang udah hampir mirip kayak setengah uang sewa dormitory gue. Nggak deh makasih”, tatapan perhatian mendadak pudar setelah tahu aku banyak maunya.

“Nggak lah becanda. Tapi kapan-kapan bisa dong dinner lagi, tapi yang fine dining gitu. hmmm ketahuan yaa ngarep?”, sambil menjawab sambil mencuil coklat diatas Tiramisu dengan sendok teh perak itu.

“Yaa, why notBy the way, kamu waktu itu jadi dateng ke birthday party nya si Jamie? No offense, tapi aku cuma pengen tahu aja”. Sebentar, Eugene mendadak jadi ngomong “Aku-Kamu”? Waduh.

“Yaah, Jamie lagi dibahas. Untung udah selesai makan, kalo nggak gue muntah deh”, mendadak napsu makanku hilang.

“Yaah sorry deh. Bete yaa? Hmm, aku cuma pengen tahu aja dan masih penasaran, kenapa sih kamu sebegitu nggak sukanya sama dia? Dia kan cuma mau jadi temen aja. Nggak ada salahnya kan?”, balas Eugene sambil melahap Tiramisunya.

“Duh, Eugene. Gimana yaa… Lu nggak tahu aja keadaannya gimana”. Aku tidak berani menatap mata Eugene untuk membicarakan soal ini.

Dan percakapan pun berlanjut seperti berikut:

Eugene            : “Okay. We can talk about it later. Will that be okay?

Yureka             : “Yeah.

Eugene             : “Trus, gimana birthday party-nya dia waktu itu? Seru?”

Yureka         : “Yaa, seru. Jadi kenal temen baru. Kebanyakan sih temen-temennya dari restoran tempat dia kerja. Apa ya nama restorannya? Giano atau apa gitu. No-no-no lah pokoknya.”

Eugene          : “Tuh kan kamu jadi banyak kenalan baru. Siapa tahu ada yang bisa diajak diskusi bareng, soal film misalnya.”

Yureka            : “Iyaa juga sih. Yaa liat nanti deh. Dan sebenernya waktu itu, biasa lah ada after party gitu, aku diajak juga tapi aku nggak mau. Waktu itu bareng-bareng sih, tapi nggak ah. Lagian udah malem waktu itu.”

Eugene        : “Trus, kamu bilang nggak kalau next time aja kamu ikut hang out lagi? Gini Yur, bukannya aku ngatur yaa, tapi please, nggak ada salahnya kok mengiyakan ajakan dia. Sekali aja.”

Yureka            : “Iyaa sih sebenernya waktu itu aku udah, hmmm, yaa bisa dikatakan janji ke dia mau ke bioksop bareng, tapi abis Batik Day. Trus dia bilang, yaa nggak apa-apa yang penting bisa jalan bareng.”

Eugene             : “Bagus lah. Trus udah ke bioskopnya?”

Yureka              : “Belum.”

Eugene             : “Oh. Come on!”

Yureka              : “Yah, yaudah lah liat nanti aja. Males ah. Hmm, how about one more dessert?”

Eugene           : “You’re kidding me? Siapa takut! Okay, aku yang panggil waitress-nya. Excuse me, can we have more dessert?”

Waitress            : “Yes, what else do you want to order?

Eugene              : “We would have Chocolate Mouse, 2 Chocolate Mouse. That's all. Thank you

Yureka              : “Are you sure about that? Lu makan coklat? Katanya nggak suka”

Eugene          : “Sekali-kali lah makan coklat, nggak ada salahnya. Tapi nggak tahu deh nanti gue muntah atau enggak pas makan itu. Hahaha.”

Yureka              : “You must be like it. I bet it yes.”

Kami berdua tenggelam dalam tawa, tapi tidak lama tertawa kami terhenti. Bukan, aku yang mendadak berhenti tertawa tapi aku mendadak membeku karena tercengang melihat seseorang yang aku kenal betul siapa dia. Ya, orang yang baru saja aku dan Eugene bicarakan. Jamie! Ya, itu Jamie! Sedang apa dia disini?

“Yureka? Eugene? What are you doing here?”, tanya Jamie datang dari jauh yang masih menggunakan celemek putih dengan sablon “Vapiano” itu.

We have dinner… here… Anyway, what are you doing here too?”, tanyaku dengan bicara yang putus-putus seperti telepon susah sinyal.

I’m working. This is my workplace. Don’t you remember? In my birthday party? I said I work in Vapiano”, jelas Jamie panjang lebar.

Oh, I thought you work in Giano. Oh, men, I’m so sorry. It was misheard”, jawabku merasa bersalah.

Well, it doesn’t matter. So, are you both here just two of you?”, tanyanya agak heran.

Yeah. We are. Kind of special dinner, with the special person”, balas Eugene dengan cepat dan terlihat penuh percaya diri. Ada apa sih dengan orang ini?

What? You’re going together now?”, tanya Jamie keheranan.

No! Hmmm, I mean….”, responku agak berlebihan.

Hmmm. I have no idea, we have no idea. What do you think, Yureka?”, Eugene tetap stay cool, ia tidak tahu apa yang terjadi.

“Hmmm…”, hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

Wow. I’m sort of surprised. Because you said that you and Eugene don’t have any… what, special relationship, or something. Yeah, I think people changed their mind, right?”, ungkap Jamie.

What does it mean?” Eugene mulai bertanya-tanya. Nah kan, ia mulai tahu yang sebenarnya terjadi.

It does not have a meaning, Eugene”, aku benar-benar kehabisan kata-kata.

What, it does not mean anything? Wow, this is completely complicated”, balas Eugene mulai emosi.

No, it’s not complicated at all”, aku berusaha mendinginkan situasi ini. Agak heran juga kenapa Eugene jadi marah begitu.

Kemudian Jamie menyambar sesuatu, “And hey hey, by the way, you owe me a time to go to cinema together, right? And you said that you would go with me tonight, but unfortunately I can’t because I work this weekend, and you said that you have an appointment with your friends in campus. You said that, didn’t you?

Yeah, I did. But…”, aku benar-benar sudah kehabisan diksi bahasa Inggris. Rasanya kalau sudah begini ingin bertele-tele menggunakan bahasa Indonesia saja.

And you prefer to go with your… your somebody here. Please, Yureka. Don’t be lie to me”, Jamie membalas sambil menggelengkan kepalanya karena tidak percaya aku sudah membohonginya.

Are you making a lie, Yureka?”, tanya Eugene menyambar.

No, I’m not! I didn’t lie to you. Well, yeah I have an appointment with my friend, which is Eugene, and… yeah, I’m lying that I’m not going to campus, but here…”, Aku berusaha tenang dan menjelaskan semuanya.

Semuanya terdiam beberapa saat. Tidak ada yang berkata. Ini canggung sekali.

Tapi untungnya tidak seperti di film-film yang kalau ada momentum seperti ini ada gelas atau piring pecah. Tidak, tidak sama sekali. Akhirnya aku minta maaf pada Jamie, dan berjanji dan benar-benar berjanji minggu depan kami nonton dan makan bersama. Jamie memang marah karena kau bohong padanya, Yureka. Siapa sih yang suka dibohongi meskipun hanya bohong “Aku ke kampus padahal ke resto mahal sama gebetan”. Aku tahu aku mungkin itu menyakiti Jamie seperti itu, tapi aku benar-benar tidak bermaksud demikian.

Setelah situasi canggung itu, Jamie pun memaafkanku dan aku pun benar-benar akan mengajaknya nonton bareng sebagai pengganti ajakannya makan malam denganku.

Jamie sudah mencair, tidak dengan Eugene. Sesaat setelah membayar bill restoran, kami keluar restoran. Saat itu kami akan kembali ke apartemenku sebentar karena sebelum kami ke Vapiano, beberapa barang Eugene ditinggalkan disana karena agak berat kalau dibawa ke restoran. Lagipula, masa mau makan malam indah bawa barang banyak, kan tidak lucu. Eh tapi jadi tidak indah juga karena kejadian tadi.

Sepanjang perjalanan jalan kaki dari Vapiano ke apartemen, aku dan Eugene tidak bicara banyak. Aku tahu Eugene pasti marah denganku. Aku tahu itu.

Aku pun mencoba mengajaknya ngobrol seperti bertanya “Lagi ada acara apa yang bagus di kampus lu?”

“Nggak tahu, nggak pernah update”. Datar sekali jawabannya.

Aku jadi khawatir kalau Eugene benar-benar marah padaku. Habislah aku.

Aku paling benci saat aku dekat dengan laki-laki dan karena satu hal konyol kami jadi saling diam, bahkan saling marahan. Itu benar-benar tidak elegan.

Sepanjang perjalanan sampai ke apartemen, kami benar-benar saling diam. Aku hanya bisa menikmati lampu-lampu kota New York yang dihasilkan dari gedung-gedung pencakar langit yang indah dan simfonis. Ah, andai saja tidak ada kejadian tadi, pasti lebih indah lagi.

Sesampainya di apartemen, Eugene mengambil kembali barangnya. Saat akan pulang, Eugene menatapku dengan dalam, dan hanya berkata “Have a nice night. Bye”.

Itu bukan Eugene yang ku kenal tiga bulan ini.

Aku khawatir ia akan begitu seterusnya. Jangan, ku mohon, jangan.

((BERSAMBUNG))

Comments

Popular posts from this blog

Kumpulan Cerita Bersambung : DOUBLE YU - SEASON 1 (karya Yulia Sutjahjono)

"Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan)" Part 2

Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan) Part 1