DOUBLE YU SEASON 1 - Episode 6 : "Chocolate vs Cinnamon"
(Courtesy of Pinterest) |
Yureka.
New York. Masa Depan.
Selamat pagi dari kota New York. Aku tidak bisa tidur. Bukan
karena lupa pakai kaus kaki, tapi memikirkan permainan Truth or Dare yang
semalam. Benar-benar canggung sekali. Jadi, semalam kami main permainan itu
yang mana lima pemuda memilih Dare sedangkan pemudinya
memilih Truth yang berhujung sesi curhat. Tapi itu tidak
penting, yang terpenting adalah sampai detik ini aku masih merasa canggung
karena jawaban yang ku berikan saat menjawab pertanyaan Kak Anna.
Jadi semalam Kak Anna memberikan perumpamaan, kalau semisal di
bumi ini laki-lakinya tinggal Fikri, Gilang, Dhimas, Chandra, dan Eugene, aku
mau pilih yang mana untuk meneruskan keturunan. Kak Anna juga bilang aku harus
menjawabnya secara jujur. Padahal kan hanya Truth, kok disuruh
jawab jujur? Ya sudah, akhirnya dengan perasaan campur aduk kala itu, aku pilih
Eugene. Tapi untungnya tidak perlu memberikan alasannya. Aneh sekali yaa,
padahal kan biasanya menjawab sesuatu harus memberikan alasan. Contohnya
menjawab soal ujian dari dosen versi esai, ada kasus dan dijawab dengan akal
logika serta alasan mengapa dan dari mana. Mungkin Kak Anna tidak ingin menjadi
dosen.
Yaa, aku tahu itu semua hanya permainan dan hanya candaan saja,
tapi kan aku yang mulai kesemsem sama Eugene ini jadi was-was. Takut-takut
benar mereka sudah tahu kalau aku suka dengan Eugene dari cara dan gelagatku
beberapa kali bertemu Eugene seperti ini. Aku memang begitu, terkadang menggila
atau overreacting tiap kali bertemu pujaan hati. Ya, namanya
juga bertemu orang yang disukai, pasti ada reaksi yang tidak bisa dikendalikan.
Contohnya? Kalau aku biasanya jadi lebih banyak tanya, banyak bicara, bahkan
banyak membuat candaan dengan orang tersebut.
Setelah membuka mata dan beberapa menit memikirkan itu semua, aku
memutuskan untuk bangun dari tempat tidur. Kulihat Farida masih tidur nyenyak.
Aku tidak ingin mengganggunya.
Tapi kemana Kak Anna?
Jam berapa sih sekarang?
Hah masih jam 6?
Tumben sekali aku sudah bangun jam segini? Biasanya kalau weekend aku
bangun jam 11 siang. Oops.
“Duh laper”, ucapku tak sengaja karena memang aku mulai lapar.
Padahal kan aku semalam makan 3 potong pizza tapi sepagi ini aku sudah lapar.
Eh lebih, 4 atau 5. Hmm, aku sudah lupa. Tapi intinya perutku pagi-pagi sudah
minta dipresensi.
Ketika turun dari tempat tidur dan keluar menuju ruang tengah, aku
masih melihat 4 pemuda masih tertidur lelap.
Tapi kok cuma 4? Hmmm, siapa yang tidak disitu?
Ah, Eugene! Kemana tuh anak?
Sekilas ku melihat ke arah balkon, disitu ada Kak Anna dan Eugene.
Oh, jadi disitu mereka rupanya. Wah, pagi-pagi sudah ngerumpi.
Ngobrolin apa yaa mereka? Penasaran.
Eh kenapa jadi ngurusin hidup orang? Aku kan tadi mau buka kulkas
cari makanan.
Ku buka kulkas Kak Anna, ku cari-cari mana makanan yang cocok
dimakan di pagi-pagi hari seperti ini. Dan kulihat ada melon dan semangka sisa
semalam. Aku jadi teringat Eugene ketika ia melontarkan komennya saat aku
menghidangkan buah-buahan ini kepada mereka bertujuh. Katanya: “Wah ada melon. Kok
tahu aja sih gue doyan melon”.
Saat itu pun dalam hati ku berkata: “Duh kok kebetulan banget sih
gue beli buah yang dia suka. Waktu beli itu di supermarket sih gue milih buah
itu karena pasti banyak yang suka. Tapi emang lagi diskon sih jadi lebih murah
juga”. Tapi diluar konteks buah-buahan murah, aku pun sangat suka buah-buah
itu, lebih tepatnya semangka, tapi tidak terlalu dengan melon. Ternyata pemuda
yang mulai membuatku kecanduan akan kehadirannya ini suka sekali buah melon.
Apakah ini pertanda bahwa ini semacam perjodohan dari Yang Maha
Kuasa?
Oke, Stop Yureka, jangan mulai berkhayal lagi.
Ini masih jam 6 pagi, sebaiknya kau pikirkan hal yang lebih penting ketimbang
mempertimbangkan perjodohan Tuhan lewat buah-buahan tidak berdosa ini.
…“Yur, tutup kulkasnya. Itu dinginnya ampe kesini-sini
tahu!”, Dhimas terbangun karena udara dari kulkas yang kubuka tadi. Ternyata
lamunanku membuat ku lupa kalau aku sedang membuka kulkas dan sedang mencari
makanan.
Dengan penuh penyesalan, aku hanya membalas “Oh yaa maap, Dhim.
Yaa, nih gue tutup lagi”.
Setelah ku ambil melon dan semangka yang tersisa beberapa potong
itu, aku duduk di kursi dekat dapur yang arahnya menghadap serong kiri ke pintu
menuju balkon. Jadi Eugene dan Kak Anna masih ngobrol yaa diluar? Sepertinya
obrolan mereka seru sekali. Kelihatannya Kak Anna juga enjoy berada
di dekat Eugene. Ah, andai yang diposisi Kak Anna itu aku. Pasti lebih seru
lagi.
Tunggu, tunggu, kenapa aku jadi cemburu dengan Kak Anna?
Oke, Yureka, ini mulai berlebihan. Jadi, tolong hentikan ini.
Sambil mengunyah buah-buah segar ini, aku masih memikirkan
permainan semalam. Aku masih ingat betul kata demi kata yang dilontarkan Kak
Anna, ataupun reaksi-reaksi semacam “Ciyeee” dari teman-teman panitia. Bahkan
aku masih ingat bagian Eugene saat ia menjawab Truth. Setelah
tantangan Dare yang ia lakukan di anulir yang disebabkan oleh
tantangan yang diminta tidak ada saat itu juga. Jadi sebenarnya tantangan
tersebut adalah ia harus meminta sebungkus keju mozarela dari tetangga Kak Anna
yang tinggal di lantai 1, namun sayangnya beliau hanya memiliki keju chedar.
Diterima sih keju chedarnya, tapi bagi teman-teman berenam lainnya, tantangan
tersebut di anulir dan harus diganti dengan Truth. Jahat sekali yaa
teman-temanku ini. Namun bodohnya, pertanyaan yang diajukan Kak Anna ke Eugene
sama seperti pertanyaan yang diajukan kepadaku, hanya saja objeknya yang
berbeda. Intinya, antara Kak Anna, Farida, dan aku, Eugene pilih yang mana?
Dengan keheningan sesaat, kemudian ia menyebut namaku. Ya, NAMAKU! YUREKA!
Sumpah, saat itu juga aku bereaksi mematung, membeku, atau apalah. Apa
maksudnya coba? Ya, dia memang diminta menyebutkan satu nama dari tiga nama
tadi tapi kan itu yang justru membuatku tambah kegirangan sampai ke angkasa.
Tidak berapa lama, mereka yang sedang aku bicarakan dalam benak,
masuk kembali.
“Eh, Yureka. Kirain siapa. Udah bangun?”, tanya Eugene yang masih
terlihat muka bantal di wajah tampannya.
“Ajegile pagi-pagi udah makan. Laper lu atau gimana?”, celetuk Kak
Anna.
“Iyaa laper gue. Hehehe”, jawabku tersenyum simpul.
Setelah basa-basi busuk, Kak Anna kemudian mengingatkanku untuk
mengambil barang-barang bekas di apartemenku untuk bahan membuat dekorasi. Yaa,
memang hasil rapat seharian kemarin itu menghasilkan ide untuk membuat DIY (Do
It Yourself) untuk dekorasi panggung peragaan busana nanti. Memang
tidak full panggung yang akan kami hias dengan DIY, tapi nanti
sebagiannya lagi akan menggunakan barang-barang pajangan yang bisa disewa dari
sebuah studio seni yang tidak jauh dari apartemen Kak Anna.
Kemudian Kak Anna menambahkan kalau nanti ketika mengambil barang
DIY itu, Eugene yang akan membantu mengambilkannya dan mengantarkannya ke
apartemen Kak Anna. Alamak! Duh pasti tambah canggung lagi nanti. Yaa, Eugene
memang satu tim denganku tapi kan bisa minta tolong beberapa orang lagi untuk
ambil ke apartemenku. Tapi kan semua sudah punya tugasnya masing-masing yaa.
Ya, yasudah lah, mau bagaimana lagi.
Tepat pukul 8.00 pagi, setelah cuci muka dan lain sebagainya, aku
dan Eugene meluncur ke apartemenku dengan menggunakan kereta bawah tanah.
Selama perjalanan, kami cerita banyak. Ibaratnya, meneruskan percakapan yang
kemarin kami lakukan. Kemarin kami bicara soal apa ya? Ah, yaa soal keluarganya
Eugene dan Mamanya yang orang Korea itu.
Ternyata Eugene ini punya adik laki-laki yang perbedaan usianya
sangat jauh, yakni 15 tahun. Adiknya sempat sakit-sakitan, baik fisik maupun
psikologisnya. Bukan gila yaa, tapi hanya butuh terapi saja. Tapi itu dulu
katanya, waktu usianya masih 3 tahun. Sekarang adiknya yang namanya Genji itu
sudah kelas 2 SD, usianya 8 tahun, tumbuh menjadi anak yang sehat walafiat
dengan emosi yang sudah cukup stabil. Karena katanya, dulu emosi
adiknya tidak bisa dikontrol. Sebentar-sebentar ia marah dan ngamuk, kadang malah
tanpa sebab. Awalnya juga sempat bersekolah di sekolah umum, tapi karena hal
itu tadi yang akhirnya membuat orang tuanya beralih ke homeschooling dengan
tujuan agar emosi Genji bisa dikontrol lebih mudah dengan bantuan guru dan
terapisnya. Sampai sekarang pun katanya masih homeschooling dan
direncanakan sampai lulus SD nanti. Kalau SMP dan seterusnya, melihat bagaimana
perkembangan Genji nanti.
Menanggapi cerita yang ini, adiknya homeschooling,
ikut terapi dari psikolog berpengalaman, berarti keluarganya kaya raya yaa?
Kalau memang demikian, yaa, ya sudah. Tapi aku suka Eugene bukan karena
hartanya ya. Lagi pula awalnya mana ku tahu kalau ia setajir itu. Aku kan suka
karena kebaikan hatinya, kecerdasan otaknya, dan juga kerupawanan wajahnya. Ah,
sempurna!
Karena makin penasaran dengan latar belakang keluarganya, aku
bertanya lagi bagaimana soal Ibunya yang berasal dari Korea Selatan tersebut.
Sambil mampir beli dua potong bagel sandwich, ia beberkan panjang
lebar. Jadi, mulai dari Kakek dan Neneknya yang tinggal di Korea. Kakeknya
bernama Kang Dong-won, asli orang Korea Selatan, lebih tepatnya dari kota
Incheon. Lalu Kakek Dong-won menikah dengan Nenek Meiyin Wang atau nama
Korea-nya Kang Mi-young. Neneknya berasal dari Guangzhou, China yang kemudian
pindah warganegara menjadi warga Korea Selatan sesaat setelah menikah dengan
Kakek Kang Dong-won.
Tunggu dulu, tunggu, nama belakang Neneknya “Wang”? Nah kan betul,
Eugene dan Adam ada hubungan saudara. Atau jangan-jangan Neneknya Eugene dengan
Neneknya Adam ada hubungan pertalian saudara? Tapi kan yang namanya “Wang”
banyak, Yureka. Kau ini bagaimana. Ah, tidak tahu lah. Nanti saja investigasi
lagi. Sekarang aku harus fokus terlebih dahulu ke cerita Eugene tentang
keluarganya. Ya, siapa tahu akan jadi bagian dari keluarganya juga. Hah,
berharap sekali yaa Yureka ini.
Lalu, Kakek dan Neneknya punya 4 orang anak, dan salah satunya
Mamanya Eugene yang ternyata anak ketiga dari 4 bersaudara itu. Kemudian tahun
1980an, mereka pindah ke Jakarta dan membuka usaha toko obat herbal di daerah
Glodok. Saat itu Kakek dan Neneknya hanya membawa dua anaknya saja, yaitu
Mamanya yang bernama Kang Mi-sook dan juga adik Mamanya alias Tantenya Eugene
yang bernama Kang Mija. Sedangkan dua kakak Mamanya saat itu sudah berkeluarga
dan satu lagi sedang wajib militer maka tidak ikut pindah ke Indonesia.
Selama tinggal di Jakarta, Kang Mi-sook atau nama Indonesia Mia
Oetomo ini, membantu usaha kedua orang tuanya alias Kakek dan Neneknya Eugene,
sampai kemudian Tante Mia memutuskan untuk meneruskan studi ke jenjang
universitas. Saat itu Tante Mia kuliah di jurusan Farmasi Universitas
Indonesia. Kemudian, di toko Kakek-Neneknya Eugene ada pelanggan tetap yang
ternyata berprofesi sebagai dosen Sastra Mandarin di UI. Karena Tante Mia bisa
bahasa Mandarin, maka pelanggan yang dosen tadi memintanya untuk menjadi
asisten pengajar selama satu semester. Nah, dari asisten pengajar Sastra
Mandarin itulah Tante Mia bertemu suaminya alias Papanya Eugene yang bernama
Geni Joyo Oetomo. Papanya memang bukan mahasiswa Sastra Mandarin, tapi Papanya
itu murid lesnya dosen tadi karena katanya saat itu Om Geni sedang kursus
bahasa Mandarin guna mempersiapkan keberangkatannya ke China untuk menjalani
program magang selama 6 bulan di salah satu perusahaan berbasis pertanian. Nah,
dari pertemuan di kampus FIB UI itu, Tante Mia dan Om Geni ketemu dan akhirnya
sampai sekarang menikah.
Eugene juga cerita kalau kisah percintaan Mama-Papanya tidak
seindah yang dilihat orang dari luarnya. Karena katanya awal mereka dekat,
Kakek dari Papanya atau Eyang Kakungnya kurang setuju karena meskipun Tante Mia
sudah mualaf sejak sebelum bertemu Om Geni, tapi yang waktu itu agak
dipermasalahkan adalah karena keluarga besar Tante Mia masih beragama Buddha.
Setelah menjalani serangkaian pendekatan persuasif, akhirnya Mama-Papanya
mendapat restu. Setelah selesai magang di China yang mana aku lupa itu di kota
mana, kemudian Om Geni balik ke Indonesia dan langsung menikahi Tante Mia. Dari
pernikahan itulah, beliau-beliau dikaruniai dua anak ganteng seperti Eugene dan
Genji. Ya, aku memang belum ketemu Genji langsung sih, tapi Eugene menunjukkan
foto adiknya dari handphonenya. Iyaa, memang ganteng. Abang-Adik
sama-sama tampan dan rupawan. Duh, jadi ingin menikahi Abangnya. Baiklah,
Yureka jangan mulai lagi!
Eugene juga menjelaskan lika-liku kehidupan keluarganya. Salah
satunya beberapa kali pindah-pindah tempat tinggal. Jadi, Eugene ini lahir di
Jakarta pada tanggal 20 Maret 1995, kemudian ketika ia berusia 3 tahun, ia dan
Mama-Papanya pindah ke Korea untuk tinggal sementara disana untuk menghindari
efek krisis moneter di Indonesia tahun 1998. Sekitar lima bulan kemudian, hanya
Papa dan Mamanya saja yang kembali ke Indonesia, sementara Eugene tetap tinggal
dengan Neneknya di Incheon, Korea Selatan, selama kurang lebih 1,5 tahun.
Setelah itu Eugene pindah ke Surabaya karena sejak orang tuanya pindah dari
Korea, mereka membuka usaha di Surabaya. Eugene pun lagi-lagi harus dititipkan
pada Nenek dari Papanya yang ia panggil Eyang Putri itu. Di Surabaya, Eugene
tinggal selama 2 tahun kalau tidak salah. Setelah itu ia dan orang tuanya
pindah ke Jakarta dan membuka cabang dari usaha keluarganya itu.
Setelah pindah ke Jakarta, bukan tambah bahagia, tapi saat itu
keluarganya mendapat musibah, yakni Om Geni sakit stroke yang membuat bagian
tubuh sebelah kirinya tidak bisa digerakkan. Untuk membayar pengobatan Papanya
itu, Mamanya terpaksa menjual seluruh aset bisnisnya baik yang ada di Surabaya
maupun yang baru dibuka di Jakarta. Tapi bersyukurnya setelah 2 tahun menjalani
pengobatan alternatif, akhirnya Papanya sembuh total dan kembali menjalani
aktifitas seperti sedia kala. Katanya sih, Om Geni dulu hidupnya kurang sehat,
pola makannya berantakan, tidak pernah olahraga, perokok berat, bahkan katanya
Papanya juga sempat kecanduan minuman beralkohol. Beliau juga katanya sering
marah-marah, sering memarahi Eugene kalau ia malas belajar dan sekolah. Eugene
bahkan pernah dihukum dikurung di kamar selama beberapa jam oleh Papanya akibat
ia mendapat nilai yang kurang bagus dalam mata pelajaran bahasa Inggris dan
bahasa Mandarin di sekolah. Uang jajannya pun tidak diberikan selama satu
bulan. Mungkin karena perlakuan beliau yang demikian membuat beliau sakit
stroke. Memang sih, setauku salah satu penyebab stroke itu karena selain pola
hidup yang tidak sehat, sering marah-marah dan gampang emosi juga jadi pemicu
utamanya.
Meskipun modal dan aset keluarganya menipis, tapi orang tua Eugene
tidak kehilangan akal. Mereka semua akhirnya pindah kota untuk yang kesekian
kalinya. Dipilihlah Denpasar yang sampai saat ini keluarganya Eugene masih
tinggal disana. Sambil merapihkan serpihan roti dibajunya, ia berkata: “Ya,
Alhamdulillah sejak pindah ke Bali, semuanya stabil. Meskipun ada drama adik
gue sakit yang tadi gue ceritain itu. Tapi keluarga gue nggak ambil pusing sih,
soalnya kita semua jadi belajar ikhlas. Pokoknya semenjak Bokap sakit stroke
yang tiba-tiba dan sembuhnya pun lama sampe 2 tahun, ditambah adik gue sakit,
ya, Nyokap gue cuma bilang itu semua cobaan dari Allah. Dan ambil pelajaran aja
dari disitu supaya nggak sampe terulang lagi.”
Dari pernyataannya itu, Eugene juga mengungkapkan itulah salah
satu alasan mengapa ia tidak merorok karena ia memetik pelajaran dari kejadian
Papanya sakit. Ia bilang ia tahu betul pola hidup Papanya yang sangat tidak
sehat. Sering begadang dan lain sebagainya. Tapi selain mengambil pelajaran
dari Papanya, ia tidak merokok juga katanya ia alergi dengan tembakau. Aku baru
dengar ada kelainan semacam itu. Penyakit macam apa yang membuat seseorang
alergi dengan tumbuh-tumbuhan semacam tembakau? Ya, mungkin memang ada tapi aku
yang belum cari tahu lebih lengkapnya. Tapi tetap saja aneh. Intinya, dahulu
waktu awal-awal Eugene mencoba merokok saat duduk di bangku SMA, ia bilang
setiap habis merokok maka kemudian di wajahnya akan timbul bercak-bercak merah
seperti jerawat. Kasihan sekali gebetanku ini.
Dari ceritanya dan caranya bercerita, aku bisa melihat kalau
Eugene ini penyayang keluarga. Setelah terlontar dari benakku, ia kemudian yang
mengaku sendiri kalau ia memang sangat menyayangi keluarnya. Ia bilang kalau ia
rela belajar mati-matian agar bisa mendapat nilai yang maksimal dan setelah
lulus nanti bisa menghasilkan uang yang banyak yang nantinya akan membalas
kebaikan dan kasih sayang kedua orang tuanya selama ini. Meskipun katanya
memang kasih sayang orang tua tidak akan bisa dibalas dengan apapun, apalagi
dengan sepeser uang. Tapi ngomong-ngomong, aku suka sekali loh laki-laki
yang family man karena dengan mencintai keluarganya berarti
kan dia bisa mencintai wanita dengan sepenuh hati. Tapi siapa yaa wanita yang
akan ia cintai? Cintai aku saja maka aku sangat menerimamu apa adanya, Jin. Nah
kan, mulai lagi Yureka Bhanuresmi Cendekia anak Cinere satu ini.
Tidak terasa, setelah cerita panjang lebar, akhirnya sampai
juga di apartemenku yang tidak jauh dari kampus NYU, kampusku tercinta. Ketika
naik tangga menuju ke lantai 3, tempat ku dan dua roommate menetap,
aku dan Eugene berpapasan dengan tetangga yang suka memberikan ku kue pie coklat
kepadaku.
“Yureka! How’s going? How was your weekend?”. Laki-laki
berambut cokelat kepirang-pirangan bermata biru yang katanya keturunan Rusia
dan Slovenia ini menghampiriku dan basa-basi menanyakan kabarku.
“Good. It was great. I spent my weekend with a bunch of friend,
Indonesian friends”, balasku dengan muka datar. Ya, aku tidak terlalu suka
pria bule ini.
Jadi, tetangga yang ku ceritakan pada Eugene kemarin itu namanya
Jamie Whitley. Sejak beberapa minggu terakhir, aku agak terganggu dengan
kedatangan Jamie yang lumayan sering ke apartemenku. Awalnya ia mau mendekati
Cassandra, salah satu roomate asal Mexico. Setelah mengetahui
Cassandra sudah punya tunangan, maka Jamie perlahan mundur dan malah sekarang
beralih mendekatiku. Ya, bukannya aku Pe-de, tapi ia sering sekali memberikanku
sebatang coklat dengan isian kacang atau bahkan membuatkanku pie coklat. Ya,
pekerjaannya memang jadi tukang masak di restoran Italia ternama di New York,
aku bahkan lupa namanya apa. Dan tidak heran memang kalau ia membuatkanku kue
pie karena dia memang bisa membuatnya, tapi kan kalau keterusan berarti ada
udang di balik batu. Aku jadi memutar ulang kapan pertama kali Jamie
memberikanku coklat, ternyata itu semua berawal dari pernyataanku yang sangat
menyukai coklat ini. Makanan favoritnya juga ternyata coklat. Intinya semenjak
itu ia jadi mendekatiku, bahkan sudah berani mengajakku jalan.
“By the way, I’m so sorry to not reply your message. Very busy
weekend with my friends. Owh, and this is Eugene, one of my Indonesian friends.
So, Jamie this is Eugene. And Eugene, this is Jamie. Jamie works as a chef, in
the very famous Italian Restauran in New York City. He’s also way to smart to
cook chocolate pie. He always come by and give me a very special chocolate pie.”,
jelasku pada keduanya namun sesekali mengedipkan mata ke Eugene dengan maksud
untuk menunjukkan padanya siapa sesungguhnya tetangga yang suka menggangu yang
ku ceritakan padanya kemarin. Dan manusia itu adalah yang sedang ia temui saat
ini.
“Owh. Jamie. Chocolate pie. I’m Eugene. Nice to meet you”,
ucap Eugene dengan tambahan ekspresi terkejut.
“I’m Jamie. Nice to meet you bro”, Jamie menjabat tangan
Eugene dan bersalaman lah mereka pada akhirnya.
Setelah berjabat dan bersenyum sapa yang bisa jadi ada
gunanya namun bisa juga tidak ada gunanya, Jamie kemudian menanyakan kepadaku
tentang sesuatu, “So, Yureka? Still no?”
“I have no idea. I’ll let you know soon”. Ya, Jamie masih
ingin mengajakku jalan. Tak henti-hentinya pria bule ini berusaha agar aku
mengiyakan permintaannya.
“Alright. That’s fine. Well, have a nice Sunday. See you around”.
Jamie pamit undur diri.
Aku membuang napas pertanda lega. Kupikir akan ada drama yang
antara pria bule dan pria oriental demi mendapatkan hati gadis Cinere.
“Jadi itu tetangga yang lu maksud, yang ngajak lu jalan? Kenapa
nggak lu iyain aja sih? Yaa, gue tahu lu nggak mau sama bule tapi kan nggak ada
salahnya menerima ajakan dia. Kan sebagai teman”. Menanggapi pernyataan Eugene
begini aku tambah kesal. Tapi sarannya boleh juga sih.
“Iyaa tahu, tapi kalo setelah itu dia jadi besar kepala dan
terus-terusan ngajak gue jalan, ngajak gue pacaran, gimana?”, sambil sibuk
mencari kunci pintu apartemen di tas punggungku, nada bicaraku meninggi.
“Yaa, jodoh kan nggak kemana-mana. Ya, kan?”, jawab Eugene.
“Duh, nggak deh, Jin. Bukan gue rasis nih, tapi doi itu Atheis.
Dalam prinsip hidup gue… Ya… Nggak bisa. Lu paham kan maksud gue?”. Saking
emosinya, aku jadi salah ambil kunci. Harusnya kunci pintu malah kunci gudang
yang akan aku kunjungi setelah ini.
“Oh Atheis ternyata. Nggak heran sih kalo disini. Yaa, tapi kan
bagus dong kalo lu ajak dia jadi mualaf”. Saran Eugene memang bagus tapi sekali
hati ini berkata tidak ya tetap tidak.
“Ngajak dia mualaf? Alhamdulillah kalo berhasil. Lah kalo nggak?
Orang terakhir gue bahas agama sama dia, ujung-ujungnya ribut. Dia keukeuh
bilang, Tuhan itu nggak ada. Astagfirullohalazim. Gimana mau
dijadiin pasangan hidup, pegangan hidup aja dia nggak punya”, gumam ku lalu
pintu berhasil dibuka dan secara tersirat mempersilahkan Eugene masuk ke dalam
apartemenku.
“Hmm nice thought. I appreciate that anyway”, Eugene hanya
menanggapinya dengan senyuman. Untung dia gebetanku, untung juga senyumnya
manis. Kalau tidak, aku usir dia saat itu juga karena masih terbawa kesal terhadap
Jamie.
Setelah masuk ke apartemen, sepertinya tidak ada orang. Oh ya,
baru sadar, Cassandra dan Salima, dua teman berbagi apartemen, sedang ada acara
masing-masing. Cassandra sepertinya sedang menginap di apartemen tunangannya di
daerah Queens. Biasa lah, disini seperti itu tidak perlu diherankan lagi.
Sedangkan Salima sedang berlibur bersama keluarganya ke Boston.
Setelah mempersilahkan Eugene masuk, aku menyiapkan satu teko
besar dan satu gelas untuk Eugene, siapa tahu dia haus. Sambil berkata “Yaudah,
gue cari dulu barang-barangnya di kamar. Trus, kalo lu kalo laper atau mau
nyemil-nyemil, ada di lemari atas nomor dua yaa. Di kulkas juga ada. Feel
free aja pokoknya.”
“Sip. Thank you, Yur.”, balas Eugene sambil melihat
area dalam apartemen tempat aku tinggal.
Di kamar, sembari mencari barang-barang yang bisa dijadikan bahan
dekorasi, aku sempat tersenyum lebar. Astaga, baru dua kali bertemu dan semalam
menginap yang artinya frekuensi bertemu dengan Eugene lebih banyak, sekarang
malah mampir ke apartemen, meskipun cuma hanya sekadar mengambil barang. Duh,
aku belum pernah menerima tamu laki-laki sebelumnya. Maksudnya laki-laki yang
aku sukai. Kan beda rasanya memasukkan laki-laki yang satu bahasa, satu bangsa
denganku, ke dalam tempat tinggal selama satu tahun belakangan. Kalau
mempersilahkan Jamie masuk sih biasa saja. Atau teman kuliah juga beberapa kali
pernah kesini. Tapi hanya mampir saja, yaa seperti ini, ambil barang lalu pergi
lagi.
Sebenarnya tidak banyak teman pria yang datang dan berdiam agak
lama. Maksudnya, aku tidak pernah belajar atau diskusi kelompok bersama teman
kampus yang jujur saja kebanyakan laki-laki, di apartemen ini. Itu semua karena
Salima, teman apartemenku yang kurang nyaman kalau laki-laki masuk ke apartemen
kami. Bukan menghakimi, tapi memang maklum saja dia wanita berhijab yang cukup
relijius, jadi wajar saja kalau dia kurang nyaman ada laki-laki bukan muhrim
kami masuk ke apartemen. Aku pun sebenarnya sama muslimnya dengan Salima, tapi
bagiku kalau hanya sekadar mampir dan belajar bersama, apa salahnya? Ya, aku
pernah membicarakan ini diam-diam dengan Cassandra bahwa kami berdua kurang
nyaman dengan prinsip Salima tersebut. Cassandra juga sempat kesal karena
tunangannya, Jose, tidak pernah bisa menginap karena hal tersebut yang pada
akhirnya membuat Cassandra mengalah dan tidur di tempat tinggal Jose kalau
memang diinginkan. Tapi kemudian aku dan Cassandra menyadari bahwa membicarakan
Salima di belakangnya bukan solusi yang baik, kami pun pada akhirnya harus
menghargai keputusan dan prinsip hidup Salima tersebut.
Lupakan soal gadis Libya atau si Mexico itu. Aku tetap fokus pada
pencarian barang-barang bekas yang kemudian ada satu kardus berukuran sedang
dengan penuhnya. Kemudian ku letakkan di bawah meja makan persis dekat kaki
Eugene yang sedang bersantai sambil membaca-baca buku kuliahku yang ternyata
masih bertengger di meja makan bekas ku baca Jumat sore lalu. “Nih, segini
dulu. Sisanya ada di gudang yang ada di rooftoop. Mau bantu cariin
atau lu tunggu sini aja?”
“Ya, bantuin lah. Masa satu tim nggak saling bantu”, jawab Eugene
sangat bijaksana.
“Bisa aja nih Oppa-Oppa. Yaudah yuk”, ajakan ku yang hampir saja
berencana menarik tangannya. Tapi aku urungi karena itu terlalu obvious.
Sampai di gudang, kami langsung mencari barang-barang seperti
kardus, tali-temali, dan kertas-kertas karton bekas yang masih bisa terpakai.
Biasanya di gudang ada banyak barang-barang bekas dari penghuni yang sudah
pindah. Tapi ada juga barang-barang yang masih dipakai oleh penghuni saat ini.
Jadi, harus teliti memilihnya. Biasanya yang ada tulisannya “for free”,
nah itu berarti boleh diambil. Atau kalau tanda masih dipakai berarti ada nama
pemiliknya. Seperti satu kardus sepatu bertulisan “J. Whitley” yang pastinya
sudah tidak diragukan lagi kalau kepunyaan Jamie, si tetangga bule itu.
Selama mencari-cari, aku beberapa kali bersin-bersin.
“Are you okay, Yur?”, Eugene yang sedang menahan pohon
natal berukuran kecil menanyakan keadaanku.
“Hmm. It’s okay. Nggak okay sih
sebenernya. Hmm sebenernya gue paling nggak suka kalau disuruh ke gudang
soalnya gue alergi debu”, akuku pada Eugene.
“Yah, elu kenapa nggak bilang dari tadi. Tahu gitu kan gue aja
yang cari. Yaudah lu tunggu di luar aja, biar gue yang bongkar-bongkar”,
ungkapnya dengan nada perhatian. Kemudian aku iyakan permintaannya dan dia yang
kemudian mencari barang-barang yang kami cari.
Setelah berjibaku dengan barang-barang di gudang, kami harus
segera kembali ke apartemen Kak Anna sebelum jam 12 siang, dan saat itu waktu
sudah menunjukkan hampir pukul 11. Kami harus bergegas meninggalkan apartemen
dan meluncur ke apartemen Kak Anna. Barang-barangnya cukup banyak, kami tidak
yakin akan sanggup membawanya kalau naik subway. Daripada kerepotan, kami
putuskan untuk naik taksi dengan membayar patungan. Berniat naik taksi namun
mobil tranportasi umum berwarna kuning itu tak kunjung datang. Duh, aku paling
benci cari taksi di New York. Ya, New York yang sebesar ini dan taxi
cab itu bejibun, tetap saja susah. Mau orang bilang lebih enak naik
taksi karena langsung ke tempat tujuan, tapi tidak dengan di New York. Kalau
kalian sanggup berteriak “Taxi” berulang kali atau mengancungkan jempol
sampai taksi datang, itu artinya level kesabaran kalian sangat tinggi. Namun
tidak denganku.
Sudah hampir lima belas menit tidak ada taksi yang mau menepi, dan
kami berdua mulai lapar, akhirnya kami cari makan. Karena barangnya terlalu
banyak dan tidak memungkinkan membawanya sambil mencari makan, akhirnya Eugene
yang bersedia membelikan kami makanan. Kebetulan ada bistro
yang tidak jauh dari apartemenku. Agak mahal sih, tapi lebih baik lah
daripada kalau kami mati kelaparan di negara orang lalu menjadi headline di
koran-koran. Duh amit-amit. Sepuluh menit kemudian, Eugene kembali dengan
kantung kertas berisi 4 roti lapis isi tuna dan dua botol air mineral.
Sambil makan, aku menerima pesan Whatsapp dari
adik sepupuku, Dione, atau sering disapa Dee. Isi pesannya “Woi, lagi apa
lu, Kak? Sepi amat nggak ada kabar? Btw, di New York lagi 20 derajat ya? Eh
doain yaa ini gue lagi otw ke Bali. Mau jalan-jalan”.
Belum ku balas pesan sepupuku itu, aku mengekspresikan respon ku
dengan berkata “Wuih mau Bali”.
“Siapa mau ke Bali?”, tanggap Eugene dengan cepat.
“Ini, adik sepupu gue”, sambil tersenyum dan membalas pesan
sepupuku tersebut.
“Oh yang kata lu suka Kpop itu yaa?”, tanyanya sambil merapihkan
selada didalam sandwich yang agak berantakan.
“Iyaa yang itu. Lucu deh, dia tuh sering banget ngasih tahu kalo
di New York jam berapa, di New York berapa derajat. Itu hasil dia ngeliat pake
aplikasi gitu. Sebenernya nggak dikasih tahu juga gue udah bisa liat sendiri
pake aplikasi yang sama. Tapi gue jadi berasa diperhatiin gitu sih sama dia.
Jadi kangen.”
Dengan lahapnya menyantap makan siang sederhana ini, dia merespon.
“Sepupuan kan emang harus gitu bukannya? Gue juga gitu sama sepupu gue, namanya
Cindy, yang tinggal di Malang. Di keluarga gue nggak banyak sepupu yang deket
kayak sampe Whatsappan gitu. Kecuali si Cindy itu. Saking deketnya
gue sama adik sepupu ini, gue sampe pernah dikira pacaran sama Mba-Mba waitress resto
Jepang di Tunjungan Plaza Surabaya. Astaga. Parah banget. Tapi lucu sih.
Hahaha.”
Baru mau kutanggapi ceritanya, tidak berapa lama, video
call masuk. Ya, karena keasyikan ngobrol sama Eugene, dan lupa
membalas Whatsapp Dione, sepupu bau kencur itu jadi mem-video
call ku.
Sepanjang telepon tatap muka virtual itu, aku cerita panjang lebar
ke Dee. Sepertinya sudah lama tidak video call dengannya.
Mungkin karena aku disibukkan dengan urusan kampus, begitupun dengan dia. Dan ada
hal lucu yang terjadi dalam percakapan kami, jadi saat aku berkata kalau aku
sedang bersama Eugene dan aku jelaskan pula bahwa Mamanya Eugene orang Korea,
mendadak Dee berkata “Annyeonghaseyo, Oppa”. Eugene hanya membalas
sambil tertawa. Setelah itu Dee malah tanya ke Eugene kalau dia bisa bahasa
Korea atau tidak. Eugene pun menjawab “Ya, bisa. Lumayan lah”, dan kemudian dua
manusia ini berbicara menggunakan bahasa Song Jongki itu. Memang sejak lama,
Dione dan kakaknya, Delila, suka hal-hal yang berbau Korea. Mereka sampai rela
kursus bahasa Korea demi bisa lancar berbicara bahasa Korea. Mereka juga sedang
dalam program menabung untuk liburan ke Korea tahun depan. Setelah ngomong
panjang lebar, kami akhiri video call tersebut.
Setelah kenyang dan mengakhiri telepon virtual, tidak lama
kemudian, kami dapat taksi. Oh, jadi begitu yaa, harus kenyang dulu atau
bertegur sapa dengan sanak saudara di kampung halaman, baru dapat taksi. Lucu
sekali.
Kembali ke apartemen Kak Anna, rapat lagi, ngobrol lagi, ketawa-ketiwi
lagi, tidak lupa juga ngobrol dengan Eugene. Duh, rasanya aku ingin memberi Kak
Anna sekuntum mawar merah, karena ia yang membuat aku dan Eugene bergabung
dalam satu divisi dan mulai dari itulah kami jadi dekat. Aku merasa bahwa
lama-kelamaan, obrolanku dengan Eugene makin intensif. Aku benar-benar belum
pernah merasakan seperti ini, maksudnya ketika aku suka dengan seseorang, belum
pernah yang frekuensi mengobrolnya sebanyak dengan Eugene begini. Sepertinya
aku memang benar-benar jatuh cinta dengan Eugene. Awalnya memang sulit untuk
menerima kondisi ini, apalagi aku masih trauma dengan kejadian Adam waktu itu.
Rasanya takut kalau-kalau Eugene juga sama seperti Adam yang hanya menganggap
aku mirip dengan gebetannya atau bahkan pacarnya. Eh tapi kan kemarin Eugene
bilang kalau dia belum pernah pacaran lagi kecuali pas SMA dulu. Berarti
sekarang dia jomblo dong? Hmm, benar-benar kesempatan yang baik.
Setelah lelah rapat, lelah bercanda, lelah makan, lelah nyeloteh,
akhirnya kami berdelapan mengakhiri pertemuan minggu ini. Minggu yang indah
memang, lebih tepatnya karena banyak hal yang aku lakukan bersama Eugene hari
ini. Seperti biasa, kami jalan kaki bersama sampai stasiun subway terdekat,
dan seperti biasa pula, Fikri, Farida, dan Eugene satu arah pulang dan seperti
biasa juga keretanya sudah datang. Curang sekali sih kenapa setiap pulang
selalu mereka duluan yang kereta datang, kenapa bukan Dhimas dan Chandra saja?
Kan aku masih ingin berlama-lama dengan Eugene. Yaa, untungnya minggu depan
kami akan bertemu lagi dalam agenda rapat yang sepertinya akan menjadi
rutinitas sampingan kami dalam beberapa waktu mendatang. Bagus lah, aku jadi
bisa bertemu Eugene lebih banyak.
🙆🙆🙆
Hari berganti, kembali menjalani rutinitas menjadi mahasiswa Tisch
School of Art NYU. Cuaca juga hari ini cerah, membuatku bisa tersenyum bahagia,
bersyukur, atas menikmati hari minimal dengan tidak mengeluh. Meskipun hari ini
aku harus ke perpustakaan untuk mencari sumber data untuk bahan tugas akhir ku.
Tiga jam lebih berada di dalam perpustakaan membuatku hampir stress, akhirnya
aku putuskan untuk mendinginkan kepala dan otak dengan mencari minuman dingin
di kantin.
Di kantin yang tidak jauh dari perpustakaan, aku memesan Caramel
Chocolate Ice Blended. Setelah pesananku siap, aku berniat duduk di sudut
kantin, tapi belum aku duduk, aku melihat pemuda berkaus putih dan celana jeans
hitam duduk sambil menatap ke layar handphone. Aku kenal punggung
itu. Ya, itu punggungnya Eugene. Aku mengenalinya aku kebiasaan kalau ngobrol
dengan orang lain pasti aku tepuk pundak atau punggungnya. Dan tahu sendiri
sejak kemarin aku sangat intensif ngobrol dengannya. Tanpa berpikir panjang,
aku hampiri dia dan berkata “Nah loh lagi ngapain di kampus orang?”
“Yah, baru mau gua WhatsApp. Hehehe ketahuan yaa.
Nggak surprise deh”, Eugene kaget seketika melihat ku
mengetahui kedatangannya.
“Nggak ada yang bisa kasih surprise buat seorang
Yureka. Pasti ketahuan duluan sama orangnya hahaha. Jadi, lagi ngapain lu
disini?”, jawabku penuh percaya diri.
Sambil mempersilahkan ku duduk di sebrangnya, ia bercerita kalau
hari ini sejak selesai perkuliahan 1 jam yang lalu, tadinya ia ingin langsung
pulang, tapi katanya ia penasaran dengan kampusku tercinta, New York
University, dan memang berniat menemuiku. Tapi karena batre handphone-nya
habis dan belum menemukan colokan, akhirnya dia menepi ke kantin dan
pesan ice cream. Eugene juga melanjutkan bahwa katanya ia memang
sengaja mau mengajakku makan siang di luar.
Apa? Mengajakku makan diluar? Ini seperti dejavu yaa.
Jangan seperti Adam ya Eugene, please, aku mohon!
“Belum makan kan? Yaudah yuk, cari makan di luar, pasti bosen deh
makan di kantin sini mulu”, ungkap Eugene dengan senyum khasnya itu.
“Gue jarang juga makan di kantin sini”, jelasku sambil
menyeruput Ice Blended yang bahkan belum sempat diminum.
“Trus?”, tanyanya penasaran.
“Bawa bekel terus doong. Hemat lah hemat”, jawabku sambil tertawa
simpul penuh kebahagiaan.
Setelah Ice Blended nikmat itu lenyap ke dalam
tenggorokan sampai ke perutku, aku dan Eugene segera meninggalkan kampus NYU
menuju tempat makan siang hasil rekomendasi Eugene. Nah harusnya dulu Adam
seperti ini, kalau mengajak tidak perlu direncanakan, langsung tancap gas. Tapi
ngomong-ngomong Eugene berarti tipe orang yang tidak suka punya janjian sama
orang alias kalau punya niatan langsung ia laksanakan. Beda denganku yang
sangat terencana. Sebenarnya aku kurang tertarik dengan ajakan yang mendadak
seperti ini. Iyaa untung saja siang ini aku tidak ada janji atau agenda lain
selain ke perpustakaan, coba kalau hari ini aku ada janji dengan dosen atau ada
perkuliahan, pasti aku tolak mentah-mentah ajakan Eugene. Kan sayang sekali
kalau sampai menolak ajakan pria ganteng.
Siang ini Eugene berniat mengajakku ke restoran sushi Jepang yang
cukup terkenal dekat Central Park. Tapi sayangnya sesampainya disana
antriannya MasyaAllah panjang sekali! Tidak heran memang
sedang jam makan siang. Melihat antrean seperti itu, Eugene langsung mengajakku
mencari tempat lain. Dia bilang dia kurang suka dengan tempat yang terlalu
ramai apalagi antreannya sampai panjang sampai memakan setengah jalan trotoar.
Dia bilang kalau dia lebih suka bayar mahal tapi tempat makannya nyaman dan
sepi ketimbang harus menjadi waiting list seperti ini. Wah,
berarti meskipun dia bukan tipikal yang terencana tapi dia sangat tidak suka
menunggu. Sebaliknya denganku, jadwalku terstruktur, tapi aku masih Okay kalau
makan dengan antrean yang panjang atau waiting list demi makan
enak apalagi yang murah. Hmm, sepertinya banyak perbedaan diantara kami. Tapi
kan katanya pasangan itu cocok karena banyak perbedaan yang saling melengkapi.
Duh, apalagi nih ini Yureka? Mulai lagi kan!
Setelah gagal makan sushi di Blue Ribbon, akhirnya kami beralih ke
restoran bernama Blossom Du Jour Express. Restoran itu menyediakan
makanan-makanan vegan yang tentunya aman bagi kami berdua yang tidak makan
daging babi. Ya, agak susah memang cari makanan halal di New York. Ada sih,
tapi kalau dicari di peta virtual, tempatnya saling berjauhan, jauh pula dari
tempat kami berada saat ini, jadi boleh lah kalau kali ini makan makanan
vegetarian. Di restoran vegan ini, aku pesan Smoky Avocado Wrap,
sedangkan Eugene pesan Spicy Green Bowl. Smoky Avocado
Wrap itu semacam kebab, isiannya pun ada tempe asap, selada, tomat,
kacang hitam, dan tentunya ada alpukatnya. Kalau pesanan Eugene ada sayur kale,
kol, kacang hitam, jagung, dan juga nasi kuning dan disajikan dengan saus
pedas.
Setelah makan, rupanya Eugene belum selesai mengajakku jalan.
Kemudian, ia mengajakku makan es krim. Namanya Emack & Bolio’s. Memang agak
jauh sih dari tempat kami makan sebelumnya tapi karena ia yang mengajakku jadi
aku ikut saja. Ia bilang kenapa ia mau ke tempat itu karena disana tersedia
berbagai macam rasa ice cream yang bisa jadi pilihan, dan
salah satunya mereka punya rasa favorit Eugene, yaitu Apple Cinnamon.
Seleranya jarang kudengar. Aku tidak pernah menemukan laki-laki doyan kayu
manis. Dan ngomong-ngomong soal kayu manis, aku cukup tidak tertarik dengan
rempah-rempah satu itu. Baunya itu menyengat sekali, membuatku mual. Untung di
toko es krim itu punya rasa coklat, jadi aku aman. Memang toko es krim mana
yang tega tidak menyediakan rasa coklat yang nikmatnya bukan main itu? Kalau
tidak, aku akan mengumpulkan massa dan melakukan demonstrasi.
“Jadi lu suka rasa kayu manis yaa?”, tanyaku pada Eugene sambil
mengernyitkan dahi.
“Yap. Suka banget! Wanginya tuh… hmmm nenangin banget. Emang lu
nggak suka kayu manis?”, jawabnya penuh gairah.
“Nggak. Gue nggak terlalu suka sama rempah-rempah gitu. Aneh aja di
lidah”. Aku berhasil jujur, karena kalau dari awal berbohong, akan runyam
kedepannya.
“Yah, sayang banget. Padahal enak banget loh. Emang lu sukanya
rasa apa?”, tanyanya sambil mengambilkan selembar tisu untukku yang tetesan es
krimnya mulai jatuh ke jari-jemariku.
“Rasa ingin memiliki… hahaha. Bercanda. Gue suka rasa coklat, nih
makanya kenapa tadi gue langsung ambil ini karena ini tuh menggiurkan banget.
Tuh kan bisa diliat, ini menggoda banget”, jawabku juga penuh gairah.
“Oh pantesan, Jamie Jamie tetangga lu itu sering ngasih lu coklat
karena dia tahu lu suka coklat?”, Eugene baru tersadar akan sesuatu.
“Lah emang bukannya gue bilang begitu kemaren?”, tanyaku
memastikan bahwa ia sudah paham mengapa Jamie suka sekali membuatkan ku
seloyang pie coklat.
“Hmm iya yaa? Ah lupa. Tapi by the way, gue nggak suka
coklat tuh.”, akunya sedikit malu-malu.
“Ih kenapa? Enak tahu. Everybody’s love chocolate”,
tanyaku padanya sambil mengunyah ice cream cone ini.
“Hmm nggak tahu dari kecil gue benci banget sama coklat. Gue mau
muntah gitu loh kalo nyium baunya”, jawabnya yang sepertinya kami berdua
sama-sama kecewa karena selera kami berbeda.
“Ih padahal coklat itu… just like paradise”, responku
sambil membuat gerakan mendanga ke arah angkasa.
“Ya, selera orang emang beda-beda sih yaa”, tambah Eugene.
“Iyaa bener banget. Meskipun lu suka banget kayu manis dan gue
benci banget, sementara sebaliknya gue suka banget coklat dan elu nggak, semoga
nggak bikin kita berantem ya kayak Kak Anna sama Dhimas kemaren”. Pernyataanku
seketika membuat kami berdua tertawa. Kami benar-benar menikmati siang ini
dengan penuh canda tawa. Apalagi aku yang terlewat bahagia, pertama dihampiri
oleh pujaan hati tanpa disangka-sangka, pula diajak makan siang meskipun
bayar bill masing-masing, makan es krim bersama, hingga
tertawa bersama. Benar-benar hari Senin yang luar biasa.
Tidak sampai disitu, karena momen yang sedang dilakukan adalah
makan, maka topik pembicaraan kami selanjutnya adalah seputar makanan. Yap,
menceritakan makanan kesukaan masing-masing. Eugene bilang kalau sebenarnya ia
tipe pemakan segalanya, ia suka semua jenis makanan. Tapi yang menurutnya
terbaik sampai saat ini adalah ketoprak. Ya, tapi sayangnya hanya bisa
ditemukan versi orisinilnya di Indonesia. Kalau makanan non-Indonesia,
ia sangat suka tuna sandwich, pasta fusilli, dimsum, dan bakpao.
Dari kecil ia juga sangat suka buah-buahan yang berawalan huruf ‘P’ seperti
pisang, pepaya, peach, plum, prune, ya
terkecuali melon yang kemudian menjadi outsider di antara
daftar buah-buahan favoritnya tersebut. Tapi bukan kebetulan kan karena nama
depannya berinisial ‘P’? Ya, katanya memang agak aneh tapi begitulah yang
terjadi.
Selain buah, ia juga sangat suka makan-makanan yang manis, seperti
aneka kue, roti isian, aneka macam permen, dan tidak lupa es krim. Ia
menambahkan kalau ia dan es krim sudah menjadi sahabat setia sejak ia kecil.
Tapi beruntungnya, meskipun ia makan makanan yang manis, giginya terlihat
rapih, sehat, dan terawat. Bagus sekali, sampai kalau senyum atau tertawa yang
memperlihatkan giginya, membuat hatiku berdecak kagum.
“Ya, jadi waktu bokap sakit stroke dulu, kata dokter salah satu
penyebabnya karena junk food. Dan bokap sebelum itu katanya emang
suka banget junk food atau makanan asin, berminyak, dan
bersantan. Yaudah, jadinya kolesterolnya tinggi sampe akhirnya stroke deh. Nah
dari situ, gue jadi il-fil sama junk food atau makan-makanan
yang gurih”, ungkapnya soal masa lalu Papanya itu.
“Iyaa sih, lu nggak suka makan junk food yang
artinya lu bisa terhindar dari kolesterol. Tapi yaa sama aja dong kalo lu suka
makan yang manis-manis which is lu bakal kena diabetes kalo
nggak dijaga”, balasku terdengar sangat perhatian.
“Uhhh, perhatian banget sih kalo gue kena diabet. Hmm, tapi lu
bener juga sih. Gue udah sadar akan hal itu sebenernya. Tapi, gimana dong, gue
udah jatuh hati banget sama es krim dan kawan-kawan dessert-nya”,
respon yang awal membuat hatiku menang, dan respon keduanya terdengar
membutuhkan nasehatku.
“Gampang. Selama lu masih mau makanan sehat, makan sayur, buah,
olahraga, tidur cukup, minum air putih yang banyak, InsyaAllah sehat
walafiat”, nada suara dari nasehat yang kubuat itu terdengar halus dan lembut.
Yureka tidak seperti itu biasanya.
“Good point. Thanks yaa. Eh gantian dong,
sekarang lu yang cerita makanan favorit lu apa aja? Ya, sapa tahu ada favorite
dish yang sama dan kapan-kapan kita cari restorannya bareng. Kan asik
tuh”, balas Eugene kemudian menyenggol lenganku sambil mengangkat alisnya.
Astaga, pemuda ini benar-benar membuatku mati gaya.
Sambil tertawa kecil dan senyum sumringah aku menjawab kalau
makanan kesukaanku sebenarnya beragam. Itu semua karena terkadang aku latah
ketika orang lain makan apa, aku jadi suka makanan itu, dan lain sebagainya.
Tapi top list makanan favoritku adalah makanan laut terutama
cumi-cumi, kwetiau goreng seafood, scrambled eggs, sushi, aneka pasta, acar
ketimun, semangka, durian, dan tentu saja cokelat nikmatnya tak terkalahkan
rasanya oleh apapun. Dan setelah dilihat-lihat, rupanya kami sama-sama suka
pasta yang kemudian membuat kami menyusun rencana ketika acara Batik Day sudah
selesai, kami berdua akan makan pasta dan hunting restoran
Italia yang paling terkenal di kota New York. Hmm, jadi tidak sabar jalan
berdua lagi dengannya.
Setelah cerita banyak, tidak lengkap rasanya kalau tidak foto
berdua. Mumpung es krimnya belum habis, akhirnya kami berdua foto selfie yang
kemudian mengunggahnya ke Instagram Story dan juga WhatsApp
Story masing-masing. Aku membuat kutipan “Orang tuh jalan-jalan hari
Sabtu-Minggu, ini kenapa hari Senin coba? Hahahaha”, sedangkan Eugene mengutip
“Chocolate vs Cinnamon” dengan menambahkan emoji tertawa. Benar-benar
dua manusia yang aneh. Sudah jalan-jalan tanpa rencana, makan siang ala vegan,
beli es krim dengan pilihan rasa masing-masing. Tapi apapun itu, aku
benar-benar bersyukur kalau semua itu setidaknya bukan hanya sekadar imajinasi
atau mimpi belaka. Semoga ini semua juga bukan sekadar sesaat saja, atau kami
berdua bukan hanya sekadar teman makan siang saja. Semoga saja bisa lebih dari
itu.
Dalam lamunanku akan rasa syukurku, aku merasakan getaran. Bukan
getaran dalam dada, tapi getaran pertanda pesan masuk. Ya, handphone ku
selalu dalam mode getar, tidak pernah ada bunyi-bunyian kece seperti
orang-orang di luar sana. Ah, rupanya ada WhatsApp.
Pesan itu ternyata dari Ibuku, yang berbunyi: “Itu lagi sama
siapa, Kia?”
Dalam hati aku hanya bergurau: “Alamak! Kenapa juga aku unggah
di WhatsApp? Kan Nyokap gue jadi tahu. Duh tahu gitu nggak
gue upload, upload di Instagram atau Path doang
lebih aman. Pasti abis ini Nyokap tanya macem-macem deh”
Belum sempat ku ketik untuk membalas, Ibuku menulis lagi dan berkata: “Itu temannya ya, dek? Siapa namanya? Orang Amerika atau mana? Mahasiswa asal China bukan?”
Nah kan benar Ibu mulai tanya-tanya.
((BERSAMBUNG))
Comments
Post a Comment