DOUBLE YU SEASON 1 - Episode 4 : "Hong Kong Lagi, Hong Kong Lagi"


(Courtesy of Pinterest)


Yureka. Apartemen Arianna. Masa Depan.

Baiklah, Yureka, tenang. Percayalah kalau Eugene tidak ada sangkut pautnya dengan Adam. Kalau saja Ya, habislah aku.

Aku mencoba tenang di depan Eugene. Tidak gugup. Tidak panik. Tapi kemudian aku berkeringat di atas keningku. Payah sekali.

“Yureka, are you okay? Kok tiba-tiba keringetan gitu?”, tanya Eugene penasaran.

“Ehm, enggak. Enggak apa-apa kok. Cuma kaget aja. Anak lulusan Hong Kong gitu loh. Waw. Keren.”, jawabku mencari alasan agar tidak terlihat panik.

“Biasa aja. Dulu sama sekarang yaa sama aja, anak kosan, ngirit, sering sakit-sakitan. Wah banyak lah memorinya”, setelah yakin kalau aku baik-baik saja, ia kembali sibuk dengan laptopnya.

Aku pun mencoba tenang dan rileks. Sambil mengajukan pertanyaan lain, “Di Univ mana kalo boleh tahu?”

“The University of Hong Kong. Departemen Arsitektur”, jawabnya seperti penuh kebanggaan.

“Waah The University of Hong Kong yaa?! Waaah kereeen!” Suaraku makin meninggi. Kepanikan tidak jadi berkurang. Dalam hati aku bergumam : “Kampus itu kan kampus adiknya Adam Wang, si Sophia. Semoga Eugene tidak kenal Sophia anak jurusan Ekonomi itu”.

“Kenapa sih? Ada yang aneh yaa? Kayaknya dari tadi reaksi lu nggak wajar gitu. Ada apaan emangnya?”, Eugene penasaran lagi.

“Enggak apa-apa kok. Santai aja. Yuk terusin lagi ini ngedesainnya”, aku mengalihkan pembicaraan.

Tak berapa lama, Kak Anna menghentikan kami-kami yang sedang sibuk diskusi internal. Kak Anna yang tampak jutek namun baik hati seperti peri itu mulai menggabungkan kami berdelapan untuk mengadakan forum besar guna membahas hal-hal yang sudah kami diskusikan dengan masing-masing divisi sebelumnya.

Tepat pukul 19.00, kami yang biasanya ketawa terbahak-bahak, saling lempar lelucon, mendadak menjadi serius. Ya, karena untuk membahas sesuatu yang bersifat profesional, tentunya kami semua harus profesional, harus serius agar semua pokok pembahasan dibahas dengan cepat dan tepat.

Empat puluh menit berlalu, kami masih serius membahas ide untuk lokasi acara. Kami sempat kebingungan mengenai lokasi, karena kami harus memikirkan lokasi yang mudah dijangkau oleh banyak khalayak, tidak jauh dari KJRI, dan tidak jauh dari basecamp kami yaitu apartemen Kak Anna. Permasalahannya memang ada di lokasi apartemen Kak Anna yang agak jauh dari dua lokasi yang kusebutkan tadi.

“Ada dua opsi untuk solving problem lokasi ini. Mau deket basecamp supaya tetep gampang buat kita mondar-mandir, atau, jauh dari basecamp tapi deket sama KJRI?”, ucap Dhimas.

“Tapi masa iyaa kita mau basecampnya di KJRI? Nggak enak kali. Suka ada anak-anak PERMIAS disitu pada rapat. Fikri, lu kan pengurus PERMIAS, gimana menurut lu?”, sahut Kak Anna.

“Duh, gue nggak tahu kak. Gue kan jarang ngumpul sama mereka”, bahkan Fikri tidak bisa memberikan solusi.

“Kenapa emang? Lu harusnya bersyukur udah jadi pengurus PERMIAS. Akses mereka ke KJRI juga gampang”, tanyaku kritis.

“Ya, lu nggak tahu aja kak Yure gimana anak PERMIAS. Kurang cocok sama gaya bergaul gue, Kak”, aku Fikri.

“Berarti kamu yang kurang gaul?”, sahut Gilang dengan logat medoknya itu.

“Udah udah jangan diperpanjang. Udah biarin aja. Toh, itu privasi mereka. Hmm, kalau kita pake apartemennya Yureka buat jadi basecamp, gimana?”, Kak Anna lagi-lagi bijaksana menanggapi semua itu.

“Wah nggak deh. Bukannya nggak mau nih, tapi gue sekamar sama dua orang dan dua-duanya beda banget. Gue cuma sungkan aja sama salah satu dari mereka”, jawabku agak protes.

“Salah satu dari mereka? Maksudnya?”, tanya Eugene.

“Jadi, yang satu imigran dari Libya. Anaknya strict banget. Nggak boleh pake banget laki-laki masuk ke apartemen kita. Ya, padahal kan we are in US right? Yaa, tahu sih gue sama dia sama-sama muslim, dan sebisa mungkin nggak masukin yang bukan muhrim. Tapi menurut gue itu kurang… yaa…”, jelasku kebingungan.

“Ya ya gue paham maksud lu. Trus yang satunya gimana?”, tanya Kak Anna lagi.

“Nah, kalo yang satu lagi sih enak banget orangnya. Orang Meksiko, santai banget anaknya. Kalau aja gue satu apartemen ama dia doang yang orang Meksiko itu, lu pada mau mondar-mandir ke apartemen gue ampe jungkir balik juga nggak masalah sama dia. Dia juga orangnya jarang di apartemen, sering malah doi nggak pulang karena tugas di luar kota”, jelasku pada tujuh panitia lainnya yang akhirnya mengerti situasiku ini.

Di tengah-tengah diskusi, tiba-tiba suara adzan berkumandang dari salah satu smartphone kami.

Aku bergumam dan bertanya pada yang lain, “Sejak kapan Islamic Center NYU pindah deket apartemen Kak Anna?”

Kak Anna langsung merespon, “Itu bukan masjid nona. Noh, hape-nya si Yujin”

Eugene langsung mengeluarkan smartphone barunya dan berkata, “Iyaa ini hape gue kok guys. Sorry sorry. Hehehe.

Btw, udah magrib nih, kalo kita-kita pada sholat dulu aja gimana? Gapapa kan Kak Anna?” tanya Dhimas penuh perhatian.

“Yaa deh gapapa. Kayaknya kita juga udah hampir satu jam disini. Perlu refreshing nggak sih buat jeda gitu?”, jawab Kak Anna bijak.

“Iyaa bener kak. Yuk yuk. Utamakan ibadah. Kak Anna pinjem kamarnya yaa”, Gilang seakan yang akan memimpin sholat berjamaahnya.

“Santai lah pake aja”, respon Kak Anna santai.

Ya, adzan magrib telah berkumandang. Memang, waktu solat magrib kala musim panas seperti ini dimulai sekitar pukul 19.47 waktu setempat. Satu setengah jam lebih lama dari waktu normal di Indonesia. Kemudian ku melihat Gilang, Dhimas, Eugene dan Fikri bersama-sama menuju kamar Kak Anna untuk menunaikan solat magrib berjamaah. Sedangkan aku dan Farida, kami sama-sama sedang menstruasi. Sedangkan Kak Anna sendiri penganut Khatolik dan Chandra pun penganut Konghucu. Meski demikian, itu tidak menghalangi pertemanan kami. Kami kan satu Indonesia, berbeda-beda tapi tetap satu.

Eh tapi tunggu, suara adzan tadi dari notifikasi hape-nya Eugene, ya tadi? Berarti Eugene punya aplikasi waktu solat dong? Dan itu berarti Eugene muslim?

“Yureka, solat nggak?”, tanya Eugene padaku dari arah belakang ketika ia sudah berdiri dan menuju ruang solat.

“Lagi nggak sholat, jin. Biasa bulanan perempuan”, jawabku kaget karena hampir terlelap dalam lamunan.

“Oh gitu. Oke deh. Kita solat dulu ya”, respon Eugene tampak sejuk membuat hati adem.

Ya ampun, ternyata Eugene itu seorang muslim. Aku pikir dia bukan. Ya, dilihat dari luarnya memang tampak seperti non-muslim, tapi ternyata dugaanku salah. Benar lagi kan kalau kita tidak boleh menilai orang dari luarnya aja. Tapi boleh juga nih si Eugene kalau dijadikan pacar. Aduh, Yureka, hentikan lah. Jangan mulai mengkhayal lagi. Cukup rasa sakit akibat Adam, jangan cari perkara lagi. Eh tapi tidak ada salahnya kan kalau lebih tahu Eugene lebih dalam. Ah, tidak tahu lah. Lihat saja nanti.

Kemudian Kak Anna menyarankan sesuatu, “Eh gimana sambil nunggu mereka solat, lu order makanan, Chan? Nanti gue yang bayar bill-nya”.

“Wuih udah kaya raya rupanya sekarang yaa”, sahut Chandra.

“Bukan duit gue, Chandra Setiawan! Duit dari KJRI. Kita dikasih itu buat biaya konsumsi rapat kita. Jangan lupa bilang terima kasih sama beliau-beliau yaa nanti. Ya udah sana order apa lah gitu”, jelas Kak Anna.

“Enggak nunggu kakak-kakak yang lagi pada solat aja, Kak? Siapa tahu mereka mau apa gitu”. Benar juga yang dibilang Farida.

“Udah pada solat belum mereka? Kalau belum mulai, biar gue tanyain aja,” saranku sambil mengunyah satu biskuit yang kuambil dari sebuah toples di meja makan Kak Anna.

Kemudian ku ketuk pintu kamar Kak Anna yang ada persis di sebelah ruang makan apartemen. Ternyata para laki-laki belum mulai solat, jadi bisa ku tanyakan terlebih dahulu.

“Hey, para laki-laki, Chandra mau order makanan, pada mau makan apa?” Tanyaku sambil tetap mengunyah biskuit Kak Anna. Sepertinya aku mulai lapar.

“Hmm apa yaa?”, Fikri menggumam.

“Mie-mie gitu dong.” Eugene mengungkapkan pendapat.

“Mie? Yang lain?”, Dhimas agaknya protes.

“Pengen nasi padang. Kangen nasi padang titik maksimal nih”, Gilang membuat pernyataan sengak.

“Aduh itu mahal nggak sih bisa 15$ sendiri sebungkus? Yang lain deh”, kesal tapi kuingin tertawa mendengar perkataan Gilang tersebut.

“Spagetti aja. Chinese noodle ada minyak… the pig-nya”. Fikri alim sekali.

“Iyaa juga sih. Tapi gue sering makan itu di China Town selama ini. Waduh lupa gue nggak tanyain ke penjualnya pake minyak itu atau nggak”, ungkap Eugene yang menjadi paranoid.

“Ya kalo lu tanyain satu-satu yaa nggak akan nemu yang nggak pake, Jin. Susah kali”, Dhimas berkomentar dengan bijaksananya.

“Yaudah nggak usah berantem. Cepetan mau pesen apaan?”, sahutku mulai dongkol.

“Boleh deh spaghetti aja. Yang penting mie-mie-an gitu”, Eugene tetap pada pilihan hatinya. Pemuda ini merasa ia punya hak untuk memilih.

“Okay, spagetti yaa. Gue bilangin yang lain nih. Yakin yaa?”, tutup ku meyakinkan para pemuda generasi penerus bangsa ini.

“Iyaa boleh boleh. Thank you Yureka!”, ujar semua pemuda.

Sambil jalan dari kamar Kak Anna kembali ke ruang makan, aku berfikir sesaat dan dalam hati berkata “Eugene suka mie? Kenapa dari tadi pilihannya jatuh pada mie bukan pizza gitu misalnya, atau sandwich apa gitu. Dia tetap bilang mie. Kenapa Eugene jadi mirip Adam? Aduh kebiasaan dari dulu Yureka ini kalau suka sama laki-laki, gue samakan ciri-cirinya dengan orang lain. Lebih lagi terkadang Yureka menganggap wajah orang lain mirip dengan lelaki yang ia suka. Yureka, kamu sangat aneh”.

Setelah terlelap dalam lamunan selama 15 detik, segera ku sampaikan pesanan makanan kepada Chandra, “Mereka pengen spagetti. Pokoknya mie-mie-an gitu deh”.

“Okay, spagetti yaa. Lu juga kan, Farida, Kak Anna?”, tanya Chandra meyakinkan.

“Iyaa Kak, samain aja”, Farida yang menjawab, Kak Anna entah dimana, sepertinya di kamar mandi.

Setelah sekitar 30 menit menunggu, akhirnya pesanan kami datang. Chandra yang tadi pesan 8 spaghetti dan 1 loyang pizza juga 8 soda kalengan, pun yang menerima pesanannya di depan apartemen Kak Anna. Selama makan malam, kami berbincang-bincang banyak hal. Ternyata ada banyak hal yang belum aku ketahui dari delapan teman-temanku ini. Padahal sudah hampir satu tahun aku mengenal mereka, tapi tetap saja ada informasi yang belum aku ketahui, seperti Chandra, ternyata mahasiswa Institute of Culinary Education New York City jurusan Pastry itu memiliki saudara kembar. Kembarannya bernama Chelsea. Kupikir kembarannya laki-laki, tapi ternyata perempuan. Dari cerita yang Chandra bagikan, kembarannya itu tidak lagi satu rumah dengannya sejak mereka berusia 3 tahun. Chandra dan keluarganya tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur, sedangkan Chelsea tinggal dengan sepupu Ayahnya di Palembang. Hal itu terpaksa dilakukan untuk mengurangi biaya hidup keluarganya yang sangat pas-pasan dikarenakan Ayahnya yang saat itu sakit-sakitan, dan juga biaya hidup dengan Ibu dan kedua kakaknya yang juga terbatas. Akhirnya, sepupu Ayahnya atau bisa disebut dengan Tantenya, mau membantu mengurangi beban hidup keluarganya dengan mengadopsi kembarannya tersebut. Meskipun tinggal berjauhan, namun hingga saat ini mereka masih tetap berkomunikasi dengan baik. Chandra menambahkan kalau saat ini Chelsea berada di Barcelona, Spanyol untuk bekerja di sebuah restoran di hotel sekaligus kursus masak disana, persis seperti dirinya saat ini. Chandra yang saat bercerita itu sambil menambahkan lada bubuk ke dalam piring spaghetti-nya, sudah berkaca-kaca di matanya, lalu sedikit menitihkan air mata. Ia buru-buru mengelap ujung matanya dengan melepas kacamatanya dan menyeka dengan tisu dari bungkusan pizza yang kami pesan. Aku yakin itu air mata bahagia karena bangga memiliki saudara kembar seperti Chelsea yang sudah sukses di Barcelona, bukan air mata yang disebabkan oleh lada bubuk yang ia taburkan tadi.

Aku pun mencoba memberikan semangat kepada Chandra, “Gue jadi ikut bangga. Gue emang nggak kenal kembaran lu, Chan, tapi dari cerita lu, you deserve with thatYou know, life is like rollercoaster. Kemaren kita dibawah, besok kita bisa diatas. Tapi emang nggak selamanya kita diatas, Chan, jadi stay humble yaa kalo lu udah jadi chef sekelas Gordon Ramsay nanti.”

Tapi dibalas dengan pernyataan konyol Chandra, “Jadi chef yang galak yang suka ngata-ngatain masakan orang kalo masakannya nggak enak, gitu?”

Dibalasku dengan bijaksana, “Iyaa tapi jangan pake kata kasar ya. Please hahaha”.

Setelah selesai makan, melempar candaan, mencuci piring sampai ada yang harus ke kamar mandi untuk buang air besar, kami kembali ke rutinitas kami dengan agenda rapat malam itu. Kami kembali membahas konsep acara. Saatnya membahas media promosi untuk acara “Batik Day 2018”. Sebagai divisi Kehumasan, Fikri memberikan sebuah ide. Ia berpikir kalau membuat video singkat untuk di unggah ke media-media sosial adalah bentuk promosi acara yang paling efektif.

Kemudian Kak Anna berceloteh dengan idenya, “Nah kita kan punya penulis film disini”. Lirikan menggoda Kak Anna menuju ke arahku. Sontak aku menjawab, “Apa? Kenapa? Suruh ngapain gue?”

“Nggak usah belagak lupa. Situ kuliah jurusan apa gue tanya?”, Kak Anna nyolot.

“Kepenulisan drama”, jawabku polos.

“Dapet mata kuliah bikin film nggak?”, tanyanya lagi menginterogasi.

“Nggak sih, tapi pernah dapet tugas analisis film”, jawabku masih polos.

“Tapi pernah bikin film kan? Yang lu upload di Youtube itu”. Kak Anna punya bukti. Sial.

“Hehehe iyaa. Tapi… it was really long time ago, Kak”. Aku pun membela diri.

“Ya tapi bisa kan bikin film? Yeah, at least lu tahu gimana konsep bikin film”. Secara tersirat Kak Anna mendukung. Tapi ini seperti paksaan menurut ku.

“Ya okay I know what you mean, Kak. Hmmm. Oke deh boleh, tapi gue harus di provide kameranya ya”. Aku mulai memaksa. Tapi aku tidak salah kan kalau aku dapat hakku?

“Gampang, nanti pake punya gue aja, Yur”, Eugene membantu keberlangsungan kehidupan Batik Day 2018.

Tunggu dulu? Eugene punya kamera? Kamera canggih macam fotografer-fotografer hajatan begitu? Suka ia kalungkan juga ke leher? Seperti Adam dong kalau begitu?

Mereka benar tidak saling kenal kan?

Atau jangan-jangan kembar?

Tapi mana mungkin, postur tubuh keduanya sangat berbeda. Adam kan tinggi dan kurus, semampai bak model susu pengembang otot. Sedangkan Eugene tinggi juga tapi lebih berisi dari Adam. Mungkin berat badannya sekitar 70-80kg. Tapi sejak tadi kulihat dan dari informasi yang ku dapat, mereka punya kesamaan. Sama-sama Chinese, sama-sama pakai kacamata, sama-sama suka makan mie, sama-sama punya kamera canggih, dan sama-sama berhubungan dengan Hong Kong. Yaa, Hong Kong lagi, Hong Kong lagi. Lagi-lagi Hong Kong.

Ada apa sih dengan Hong Kong?

Ada yang spesial kah disana sampai semua pria yang memikat hatiku berasal dari Hong Kong? Jackie Chan juga dari Hong Kong tapi aku biasa saja kalau menonton aktingnya di layar lebar. Kecuali Andy Lau, aktor tampan itu sangat memukau.

Setelah hampir 2 jam, akhirnya rapat pun disudahi karena waktu sudah menunjukkan pukul 22.15. Semuanya harus kembali ke apartemen masing-masing. Kak Anna menyarankan kami semua agar bermalam di apartemennya, tapi sayangnya kami bertujuh sudah punya agenda lain di hari besoknya. Alhasil kami semua tetap memutuskan untuk pulang naik kereta bawah tanah. Ada aku dan Gilang yang pulang satu arah ke NYU, kemudian Eugene, Farida dan Fikri juga satu arah ke Columbia University, serta Dhimas dan Chandra ke arah stasiun World Trade Center.

Sebelum pulang, Dhimas memberikan ide kalau agenda rapat berikutnya dibuat dengan acara menginap di apartemen Kak Anna. Alasannya supaya kami bisa membahas konsep acara lebih lama dan kalau sampai malam bisa lebih dihentikan hanya dengan tidur dan makan saja. Semua pun setuju dan akhirnya agenda rapat selanjutnya akan diadakan minggu depan dengan tambahan agenda menginap bersama. Tapi tenang, meskipun kami tinggal di kota sebebas New York, tapi sebagai diaspora dari Asia Tenggara dengan adat ketimuran yang kental, kami tidak tidur berbarengan melainkan nantinya yang perempuan tidur di kamar kak Anna, sedangkan para lelaki akan tidur di ruang tengah dengan alas karpet dan selimut. Semoga keesokkannya mereka tidak masuk angin.

Selama jalan kaki dari apartemen Kak Anna ke stasiun subway terdekat, kami membicarakan banyak hal. Dhimas sibuk berdiskusi klub sepakbola dengan Chandra dan Fikri, sedangkan Farida dan Gilang diskusi soal hobi mereka yang sama-sama suka musik indie. Lalu aku, secara tidak sengaja aku jalan beriringan dengan Eugene, si pria oriental tinggi besar ini. Duh, kenapa aku jadi canggung jalan di sebelahnya? Kebiasaan sekali Yureka dari dulu kalau jalan dengan pria tampan selalu gugup bahkan sampai keluar keringat di kening. Tapi tenang, Yureka, buatlah se-natural mungkin, bicara apa saja yang bisa membuat suasana tidak canggung. Bukan kah kamu seorang ahli dalam pemecah suasana awkward, Yureka?

“Jadi lu angkatan 2017 di Columbia? Seangkatan gue berarti. Gue pikir lu baru masuk Spring season kemaren”, tanyaku pada Eugene.

“Nggak, gue masuk Columbia dari musim gugur tahun lalu. Dan lu tahu nggak, acara seminar kemaren tuh acara non-kampus pertama gue loh”, ungkap Eugene.

“Maksudnya?”, tanyaku lagi.

“Semenjak gue tinggal di New York dan kuliah di Columbia, gue nggak pernah kemana-mana. Yaa, tugas emang banyak, tapi gue nggak pede aja ke acara-acara macam seminar gitu”. Pemalu juga rupanya pemuda ini.

“Emang pas lu S1 dulu, lu nggak ikut apa gitu? Semacam UKM atau kegiatan kampus?”, tanyaku lagi.

“Nggak.” Jawabnya singkat.

“Hmm homeboy yaa. Hmm keliatan sih”, Eugene ku cap jelek sekali yaa. Tapi kenyataannya kan memang demikian.

“Masa sih? Keliatan banget yaa? Dulu udah sibuk juga sama tugas kuliahnya. Keluar rumah cuma les bahasa Canton aja. Sisanya cuma jalan-jalan aja keliling Hong Kong sambil hunting foto. Dan suasana kota Hong Kong itu yang bikin gue ketagihan buat jalan-jalan”. Tidak pemalu kok, itu dia bisa cerita panjang lebar.

I see. Eh di Hong Kong tuh banyak makanan street food gitu ya? Kayak Tong Sui”. Mulai kau Yureka, mulai lagi dengan hal ke-Hong Kong-an itu.

“Iyaa bener. Itu dessert yang lumayan terkenal disana. Kok lu tahu, lu pernah ke Hong Kong juga?”, tanya Eugene dan aku mulai gugup.

“Nggak bukan. Dulu pernah makan itu, diajakin sama temen waktu di Penang”, jawabku sambil menunduk.

“Penang tuh Malaysia, kan? Acara apaan?” Eugene penasaran.

Exchange. Cuma sebulan kok”, jawabku sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaket.

“Kampus mana?”, tanya Eugene sambil berusaha melihat mataku. Sumpah aku gugup.

“KDU Penang University College. Dulu semacam mewakili kampus gitu deh buat exchange disana. Programnya dari kampus gue”, aku berusaha lihat kedua bola matanya. Beruntung lah aku bisa menjawab semua pertanyaannya dengan kontak mata yang tajam. Aku tidak pernah berhasil kontak empat mata saat berbicara dengan orang lain. Ya, itu kelemahanku.

“Dulu lu S1 di Jakarta?” tanya Eugene sambil tetap menatap mataku.

“Iyaa. Di Paramadina yang di TB Simatupang”, jawabku kemudian mengambil hape dari kantung tas untuk mengecek waktu.

“Oh situ. Tahu gue. Deket rumah gue dulu”, Eugene tahu kampusku ternyata. Waw.

“Emang dulu rumah lu di Jakarta dimananya?” Aku yang mulai penasaran.

“Tebet”, jawabnya singkat.

“Ahh Tebet. Deket tuh. Gue di Cinere.” Wow, rumah kami berdekatan.

“Oh Cinere. Yaa masih satu area lah, meskipun rumah lu masih area Depok tapi deket banget sama Jaksel.” Jawabnya membela.

Aku hanya bisa tersenyum simpul lalu hening sejenak tapi tak lama aku mengajukan pertanyaan lagi kepadanya, “Eh ceritain dong pengalaman lu di Hong Kong. Kayaknya seru tinggal di Hong Kong”.

Sambil memegang lehernya yang kemungkinan gatal, dia menjawab, “Ehm apa aja yaa?...”

Tidak terasa perjalanan kami ke stasiun telah sampai. Belum sempat Eugene bercerita, kami yang akan terbagi dalam 3 grup tujuan yang berbeda harus berpisah.

“Lah udah sampe aja ke stasiun”, ujar Eugene.

“Yaah nggak jadi cerita deh. Yaudah minggu depan yaa”, ungkap ku, sambil berharap.

“Sip santai aja”, jawab Eugene tersenyum.

Astaga Tuhan kenapa senyumnya manis sekali? Aku kesal!

Bye semuaaa. Kak Yureka, Kak Gilang, Kak Chandra, Kak Dhimas, kita duluan. Kereta tujuan kita 2 menit lagi dateng”, ujar Farida.

“Oke, Far, Fik, Jin, hati-hati yaa”, ungkap Dhimas.

Pertemuan kami di Sabtu ini ditutup dengan lambaian tangan teman-teman senasib sepenanggunang ini. Tapi tidak hanya itu tapi juga diakhiri dengan indahnya tatapan mata Eugene. Sesaat sebelum mereka bertiga naik kereta tujuan mereka, aku melihat mata sipitnya berbicara kepadaku. Entah apa artinya, atau entah aku yang terlalu percaya diri atau tidak, tapi aku bisa merasakan sesuatu dari tatapan matanya itu. Ia juga tersenyum dengan manisnya. Ya, aku tahu ia senyum tidak hanya untukku, tapi ke semuanya. Tapi yang ku bilang tadi, tatapan matanya itu tidak terlupakan. Aku bahkan masih ingat betul setelah kereta tujuan ku datang, hingga di dalam kereta juga demikian. Meskipun aku asyik ngobrol dengan Gilang, tapi bayangan senyum dan tatapan mata Eugene tadi masih terngiang dibenakku.

Ada apa ini?

Masa aku secepat itu melupakan Adam dan menggantikan posisinya dengan Eugene?

Aku takut memulai lagi untuk hal-hal seperti ini. Apa aku benar sudah siap?

((BERSAMBUNG))

Comments

Popular posts from this blog

Kumpulan Cerita Bersambung : DOUBLE YU - SEASON 1 (karya Yulia Sutjahjono)

"Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan)" Part 2

Langkah-Langkah Menjadi Volunteer (Relawan) Part 1