DOUBLE YU SEASON 1 - Episode 3 : "Ternyata Kita Pernah Bertemu Sebelumnya"
(Courtesy of Pinterest) |
Yureka.
Apartemen Kak Anna. Masa Depan.
Sudah sampai apartemen Kak Anna. Tapi
ternyata aku membutuhkan waktu 15 menit dari stasiun ke
apartemen Kak Anna, 5 menit lebih lama
dari biasanya.
Mungkin karena sedang bernostalgia, apalagi nostalgia hal-hal yang menyedihkan,
maka langkah kakiku tak
sengaja melamban.
Sampai di apartemen Kak Anna, ternyata
teman-teman sudah berkumpul. Ternyata aku yang paling lambat diantara mereka.
Memangnya ini sudah jam berapa? Astaga ternyata sudah pukul 18.25, aku terlambat 25
menit dari jadwal rapat
yang ditentukan.
Tapi firasatku berkata kalau perhitungan
waktuku sudah pas. Ya, aku tahu aku
meninggalkan apartemen sekitar pukul 17.35, kalau dihitung-hitung seharusnya cukup,
atau kalau memang terlambat ya hanya 5 sampai 10 menit saja. Apa karena ini semua karena
nostalgia tentang Adam? Kalau ya, sial sekali. Padahal kan langkah kakiku hanya
diperlambat sedikit, ternyata berdampak pada aspek lainnya. Sudah lah yang penting aku sampai di
apartemen Kak Anna dengan selamat dan sentausa.
“Hai semua! Sorry telat”, sapaku pada Kak Anna, Farida, Fikri, Dhimas,
Gilang, Chandra, dan Eugene.
“Lu tumben paling terakhir, biasanya kalo
ngumpul paling cepet”, jawab Chandra yang
sedang sibuk membuka laptop bersama Fikri, Gilang, dan Dhimas.
“Ada something lah”, jawabku sambil melepas sepatu kets ku yang
kemudian kuletakkan di belakang pintu. Sekadar informasi, sebagai orang
Indonesia, terutama ketika bertamu di rumah orang Indonesia di New York,
kebiasaan melepas sepatu masih kami pertahankan. Dulu, kini, hingga nanti.
“Udah telat, meeting yang kemaren nggak dateng. Aneh lu”, cetus Kak Anna yang sambil menatap ke layar
MacPro-nya. Kak Anna memang begitu orangnya, jutek tapi penyayang.
Balasku hanya, “Yaudah sih, maaf. Nggak usah dihakimi gitu
dong guenya. Eh bentar gue mau pipis dulu”.
Di kamar mandi, setelah buang air kecil, aku
melihat diriku di cermin. Aku masih dalam suasana biru karena nostalgia
soal Adam. Jadi belum selesai kah aku bercerita bagaimana respon dari Adam?
Ya, jadi begini, setelah mengirim pesan ‘tembak’ untuk Adam, aku melihat kata “typing…”
muncul di atas bar profilnya. Ia pasti akan menulis sesuatu. Semoga bukan hal
yang tidak aku inginkan.
Ternyata balasannya: “Wow, that’s pretty good actually. And
you’re kind of brave person. I appreciate that. But, I am so sorry for this. I
can’t go out more with you unless with my Tiara now. I know it might be because
our nighttime back then. The Tong Sui, the noodles, George Town, anything.
Perhaps, made you crazy and falling in love with me. I appreciate that though.
There is one thing I want to tell you too actually. Why we did do that, why I
asked you that night…”
Membaca balasannya, rasanya aku ingin meneguk obat anti kecoa cair
saja. Eh tapi tunggu, ia ingin mengatakan sesuatu. Sebuah petunjuk mengapa
dirinya saat itu mengajakku jalan malam-malam. Ia menambahkan : “Honestly,
your face, your gesture, looks like so much with Tiara, if you notice that. For
the first time I met you, you really remind me with her. I know that’s too bad
but I couldn’t help with that…”
Ya, yang ku ingat bentuk wajahku dengan Tiara hampir sama,
sama-sama lonjong dengan dagu lancip. Ditambah bentuk rambut kami yang sejenis,
bergelombang semi lurus. Bedanya ia panjang dan aku hanya sebahu. Wajah kami
juga hampir mirip. Kami sama-sama berperawakan Arab. Padahal aku sendiri tidak
ada darah Arab sama sekali, sedangkan Tiara masih ada karena pengaruh aroma
Melayu Malaysia dari nenek moyangnya. Tapi perbedaan paling signifikan adalah
tinggi kami, yakni tingginya yang 178cm, sedangkan aku hanya 165cm. Jelas jauh
berbeda. Betisnya juga indah, semampai. Kalau aku? Jangan ditanya. Dengan berat
70kg, apa yang bisa diharapkan?
Jadi pantas sajalah kalau Adam kesemsem denganku karena
keterlaluan mirip dengan Tiara. Tapi ada bangganya sih karena itu berarti aku
yang tidak seberapa ini bisa disamakan dengan model kelas internasional macam
Tiara. Hahaha.
Lalu, Adam kembali mengetik: “I know Tiara said that she loves
me first, but in the deepest of my heart, I always catch her up every day since
the day we met when we were child. We already met each other since we were 8,
and we’ve been best friend since that too. Turned out, before she left KL for
Jakarta, in my 12th birthday party at my place, she was there,
she became as a very beautiful, independent, and smart girl. Since that,
somehow I fell in love with her, until now. But, we should separate when she
decided to move to Jakarta and then she lived in London to take modeling
school. I felt no air without her for sure. So, when we met again several weeks
ago in KL, we hang out again. From that, we are both falling in love each
other. Just like now. Really apologize, Yureka. But I hope we still be good
friends in a lifetime”
Ya, saat itu langit serasa runtuh atau hujan salju menyerang
hebat. Tapi aku lega, setidaknya ia mau jujur karena aku sudah jujur kepadanya.
Tidak ada lagi yang harus dirahasiakan. Dan untuk pertama kalinya, seorang
gebetan bisa merespon isi hatiku meskipun secara tidak langsung. Dan bukan
berarti dia akan menerima cintaku, dia hanya mengapresiasi apa yang telah
terjadi kepada kami.
Saat itu aku hanya berharap kami tidak saling bertemu lagi. Ya,
bagiku ketika aku tidak bisa mendapatkan cinta seseorang, lebih baik aku tidak
bertemu lagi dengannya, sama sekali! Daripada harus bertemu dan merasakan sakit
lagi. Bertemu lagi dan mengingat semua momen-momen bersamanya. Belum lagi kalau
bertemu mana ada yang tahu apakah kita bisa jatuh hati lagi atau tidak. Dan sejak
itu, aku cukup takut untuk memulai lagi.
Sambil melihat ke arah cermin, aku melihat diriku, Yureka, gadis
yang sedang dalam proses metamorfosis menjadi wanita dewasa yang tidak pernah
beruntung dalam hal cinta, Hmm, maksudku belum beruntung. Ya, aku memang punya
segalanya. Aku masih memiliki orang tua dan anggota keluarga yang lengkap dan
harmonis, aku bisa membiayai sebagian biaya hidupku di New York, aku sudah
pernah beberapa kali ke luar negeri, dan juga banyak mendapat pencapaian dalam
hidup, tapi tidak dengan cerita cintaku. Tapi bukan Yureka namanya kalau
menyerah begitu saja. Aku masih harus sabar menunggu siapa sebenarnya yang akan
memenangkan hati ini.
-Dok dok dok dok-
Aku yang sedang asyik merenung, tiba-tiba dikagetkan dengan suara
ketukan pintu kamar mandi yang lumayan keras.
“Yur, udeh belom? Lama amat? Gantian dong kebelet nih!”, teriak
Chandra dari luar.
Tanpa menjawab aku pun keluar kamar mandi.
“Yar yur yar yur. Emang gue sayur”, ucapku kesal.
“Yaa emang nama lu begitu, bukan? Udah buruan gantian, kebelet”,
balas Chandra sambil terburu-buru masuk ke kamar mandi.
Lucu memang kalau sudah bertemu mereka bertujuh. Ada-ada saja yang
dibercandakan. Rasa sedihku pun hilang seketika.
Setelah memasuki ruang rapat yang diadakan di ruang makan apartemen
Kak Anna, dengan sangat terkejut aku menerima sebuah kertas dari tangan Kak
Anna ke wajahku yang akan lewat dan berniat duduk dibaris depan.
“Nih!”, disodorkannya sebuah kertas dari Kak Anna.
Sontak aku kaget sambil berkata, “Duh santai dong. Jangan ke muka
juga. Apaan nih btw?”
“Ini tugas-tugas yang direkomendasiin Bu Mirna ke kita. Nah karena
lu kemaren nggak dateng, jadi lu bisa baca-baca dulu. Eh tunggu, jangan-jangan
lu belom tahu lu masuk divisi mana?”, jelas Kak Anna yang sangat bossy meskipun
ia memang yang jadi bosnya di antara kami berdelapan.
“Iyaa, gue nggak tahu Kak. Hehehe”, jawabku polos sambil mengelus
rambutku yang agak sedikit tidak beraturan.
“Hmm, sudah kuduga”, Kak Anna menyipitkan kedua matanya ke arahku.
“Sorry. Janji, gue akan kerja dan cari ide
sebanyak-banyaknya”, ucapku tegas pada Kak Anna.
“Bener yaa? Nih gue jelasin dulu, jadi gue kan koordinatornya.
Dhimas, Gilang, sama Chandra bagian perlengkapan. Farida sama Fikri bagian
promosi dan cari talent…”
Belum selesai Kak Anna bicara, aku memotong perkataannya,
“Eh tunggu, Farida sama Fikri kan sepupuan, curang banget mereka
dijadiin satu divisi?”, tanyaku protes
“Heh, justru karena mereka itu sepupuan, jadinya gampang kalo
komunikasi. Mereka juga tinggal satu apartemen kan? Jadi gampang koordinasinya.
Udah deh nggak usah protes. Nah, kalo elo sama Eugene, bagian dekorasi. Paham
kan lu maksud gue? Nih datanya. Tuh kalo lu gak tahu orangnya, noh duduk
dipojokan dia.”, Nah kalau yang seperti ini Kak Anna terlihat aslinya yang sangat
bijaksana. Tidak salah kalau kami berdelapan memanggilnya dengan sebutan “Ibu
Pertiwi” yang bijak dan selalu menasehati kami dengan nilai-nilai budaya negeri
tercinta.
“Okay, beres bos!”, jawabku dengan posisi tangan hormat di atas
dahi. “So, gue kerja dulu ya. Jangan ngoceh aja ah. Nanti cantiknya
luntur”.
“Kecantikan gue abadi selamanya, ya kan, guys?”, tanya Kak Anna
pada semua anggota rapat.
Naasnya, semua terdiam tanpa gaung. Menandakan bahwa lelucon Kak
Anna kali ini gagal total.
“Santai aja dong ngeliatinnya. Yaudah internal lagi. Dalam waktu
30 menit, kita mulai rapat besarnya ya”,
“Siap, Kak!”, hanya Farida yang menggubris. Memang anak baik.
Sedangkan yang lainnya hanya menjawab “Iyaaa” dengan tanpa ekspresi.
Sesaat sebelum aku duduk dan bekerja sama dengan Eugene, seperti
yang ditugaskan Kak Anna, aku melihat semua tim sibuk membahas hal-hal yang
menjadi bagian divisi masing-masing. Ku lihat Dhimas yang sedang sibuk
menasehati Gilang yang sedang browsing informasi di internet.
Sedangkan Farida dan Fikri juga asyik dengan gadget mereka
guna mencari orang-orang yang akan dijadikan sebagai model dalam peragaan
busana nanti. Lalu Chandra kemana? Oh ya, dia kan sedang buang air kecil.
Setelah melihat-lihat, lalu aku menghampiri Eugene yang katanya
satu tim denganku. Aku dan dirinya tergabung dalam divisi dekorasi. Aku belum
bisa melihat wajahnya dengan jelas karena tertutup setengah dengan laptop
MacPro-nya. Kelihatannya, ia sudah sibuk sedari tadi. Tatapannya ke arah laptop
berwarna perak itu sangat serius. Dilengkapi kacamata kotaknya, ia terlihat
duduk sangat nyaman di kursi kuliah di sudut ruangan dekat wastafel dapur. Tapi
ngomong-ngomong, ku dengar memang Eugene ini bekas anak arsitektur, jadi pasti
ide dan konsepnya soal dekorasi akan sangat bermanfaat. Tidak heran kalau
melihat dia serius begitu, pasti sudah mulai mencari informasi-informasi
seputar ide dekorasi untuk acara Batik Day nanti.
“Hey”, sapaku.
“Eh, Yureka. Dateng juga lu akhirnya. Duduk, Yur”, balasnya. Sopan
sekali lelaki ini.
“Thank you”, ucapku sambil meletakkan tas ku diatas meja
dapur dekat wastafel. Dan ketika melihat wajah Eugene, aku rasa aku tidak asing
lagi. Hingga kemudian tercipta percakapan seperti berikut:
Yureka : “Eh
Eugene, ya? Iyaa bener. Parama Eugene Oetomo, kan? Anak Columbia University
itu? Yang satu kelompok sama gue pas seminar Sumpah Pemuda tahun lalu. Ya,
kan?” (ekspresiku terkejut. Benar-benar terkejut)
Eugene : “Iyaa. Gue
emang Eugene. Elu Yureka kan? Lah emang lu nggak tahu kalo yang satu divisi
sama elu itu yaa gue?” (ekspresinya datar)
Yureka : “Nah iyaa,
gue nggak tahu sama sekali. Sumpah! Gue kira Eugene siapa. Yaa nama Eugene kan
banyak. Heh Kak Anna, elo kok kenapa nggak bilang kalo Eugene nya Eugene ini?”
(ku lempar percakapan ke Kak Anna yang sibuk dengan laptopnya)
Kak Anna : “Lah elu
nggak nanya sama gue? Salah sendiri sibuk mulu ngurus tesis.” (rasanya ingin ku
pukul Kak Anna seketika)
Dhimas : “Ya
maklum, Kak, orang sibuk.” (Dhimas tiba-tiba menyambar bagai kilat)
Yureka : “Apaan
sih, Dhim.”
Farida : “Oh jadi
ternyata Kak Yure sama Kak Eugene pernah ketemu sebelumnya?” (tidak hanya
Dhimas, Farida pun ikut menyambar)
Yureka : “Iyaa kita
pernah ketemu sebelumnya. Jadi, waktu itu gue sama Eugene satu tim bareng pas
sesi mini forum gitu deh di acara seminar Sumpah Pemuda KJRI tahun lalu.”
Eugene : (hanya
mengangguk sambil mata tetap menatap layar laptop)
Farida : “Oh
gitu ternyata”
Yureka :
“Hehehe. Iyaa.”
Kami semua melanjutkan
rapat internal kami. Begitu pula denganku dan Eugene. Tapi kami masih saling
berbincang-bincang. Agaknya ini seperti reunian yaa.
Yureka : “Eh,
Jin, kayaknya lu waktu itu agak-agak hilang dari peredaran. Kayak lost
contact gitu. Kenapa sih?”
Eugene : “Oh iyaa
emang bulan Maret kemaren hape gue rusak. Kecemplung bak wastafel pas lagi cuci
piring. Trus rusak, nggak bisa nyala, semua kontak disitu ilang, dan akhirnya
ganti baru. Tapi ganti barunya juga sekitar 3 mingguan kemudian sih.” (berhenti
sejenak dari aktifitasnya membuat desain panggung hanya untuk menjawab
pertanyaanku. Eugene memang baik.)
Yureka : “Kenapa
demikian?”
Eugene : “Yaa
biasa. Permasalahan anak kuliahan apaan sih yang nggak jauh dari duit. Akhirnya
gua pinjem loan money dari kampus dan baru cair 3 minggu
kemudian.”
Yureka : “Oh gitu.
Kasian ih. Tapi, now it’s all good kan?” Udah bisa kontak sana
kontak sini?”
Eugene : “Iyaa udah
bisa kok.” (sambil tersenyum)
Chandra : “Apaan
jin, satu-satunya alasan lu beli hape lagi kan demi main game offline.
Ya kan?”
Eugene : “Apaan sih
lu, dateng-dateng abis pipis malah sok tahu gitu.”
Chandra : “Nggak usah
bo’ong. Jujur aja udah.”
Eugene :
“Iyaa sih.” (sambil meringis)
Yureka : “Ya
ya, anak game. Got it. Trus trus, kalau ada kabar soal
kampus, atau PERMIAS, gimana tuh?”
Eugene : “Yaudah
nggak bisa aja. Mau gimana lagi. Yaa ujung-ujungnya gua suruh mereka email gue.”
Yureka : “Okay
I see. Eh tapi sumpah loh gua masih nggak nyangka kalo Eugene yang dimaksud
itu tuh elu. Kirain siapa gitu.”
Eugene : “Menurut
lu orang Indonesia mana lagi yang namanya Eugene dikalangan PERMIAS dan KJRI?
Kayak cuma gue doang deh. Pede banget ya gue?”
Yureka : “Ya
kan siapa
tahu.”
Ya, percakapan yang cukup panjang itu memang untuk mengingat
kembali kapan pertama kali aku dan Eugene bertemu. Saat itu kami sama-sama
mengikuti seminar Sumpah Pemuda yang diadakan PERMIAS dan KJRI. Dan saat itu
pula kami menjadi satu tim untuk forum kecil yang kami namakan “Blue Aqua Team”
karena saat penentuan kelompok, semua anggota kelompok kami sama-sama duduk di
bangku dengan nomor meja berwarna biru.
Jujur, saja awalnya aku tidak tertarik sama sekali dengan Eugene.
Bayangkan saja, tampak luar ia sangat arogan dan jutek. Matanya yang sipit dan
wajahnya yang oriental itu membuatku makin yakin dengan mengecapnya sebagai
“Chinese yang Jutek”. Lalu, saat kami dalam satu tim itu, Eugene sama sekali
tidak memberikan idenya. Hanya duduk mendengarkan keempat anggota lainnya
menyampaikan pendapat. Dalam hatiku saat itu berkata “Dasar Cina,
mentang-mentang pinter trus nggak mau join sama kita yang biasa aja kayak
gini”. Tapi ternyata setelah bertemu kembali, Eugene tidak seperti yang ku
kenal saat pertama kali bertemu. Ia sekarang tampak lebih ramah, sopan, dan
halus. Apa benar seseorang bisa berubah drastis dalam kurun waktu yang singkat?
Ya, semoga saja demikian. Meskipun wajah juteknya tidak berubah sama sekali,
tapi setidaknya ada sedikit senyum di bibirnya dibandingkan dahulu karena dia
sangat kikir senyum. Tunggu, kenapa aku jadi memujinya? Aku kan tidak ada niatan
demikian.
Memang aku akui Eugene adalah laki-laki paling ganteng di antara
anggota tim seminar saat itu. Jangan salah sangka dulu, karena memang waktu itu
semua anggota kelompok perempuan semua, kecuali dia laki-laki satu-satunya.
Saat itu kelompok kami ada lima orang, ada Intan, Kinanti, Dewi, Eugene dan
aku. Ya, sudah jelas kan diantara anggota kelompokku, ia memang yang paling
tampan karena ia laki-laki sendirian.
Tapi bagaimana kalau dibandingkan dengan anggota laki-laki panitia
Batik Day lainnya?
Gilang? Ya, lumayan sih karena ia tinggi semampai bak pemain
basket ibukota. Tapi sayangnya wajahnya polos dan gaya bicaranya medok
Jogjakarta. Tidak apa sih memang, toh orang kan tidak ada yang sama, punya
keunikan tersendiri.
Bagaimana dengan Dhimas? Tampak keren dari luar. Kalau di
Indonesia, dia totalitas anak gaul Jakarta. Kalau main selalu ke Mall atau
minimal ke kafe-kafe terbaik ibukota. Cara berpakaian pun selalu mengikuti
jaman dan cara berbicaranya juga gaul sekali. Selalu terselip kata “Anjas, anjrit,
dan an-an-an” yang lain yang terlontar dari mulutnya. Benar-benar anak gaul.
Tapi sayangnya, label anak gaulnya mendadak memudar kalau kalian tahu bahwa dia
jarang mandi ke kampus. Dhimas juga kudengar sering gonta-ganti pacar. Semoga
segera ia insyaf dan memilih 1 wanita saja yang dia persunting nantinya.
Kalau Fikri? Oke sih menurutku. Tipikal wajahnya yang ganteng
Indonesia itu membuat hampir semua perempuan terenyuh. Ia juga kalem, pintar,
birokasinya bagus, dan prestasinya di bidang Sains tidak diragukan. Tidak salah
kalau beasiswa LPDP menjadikannya salah satu penerima beasiswa full di
Columbia University. Tapi sayangnya ia sudah punya pacar. Bagiku, seganteng
apapun seorang laki-laki, kalau sudah punya pacar, tidak jadi ganteng, jadi
biasa saja.
Dan Chandra? Hmmm. Begini, aku bukan bermaksud menjelek-jelekkan
teman sendiri tapi… Matanya sipit, kepalanya botak, giginya agak maju kedepan,
pakai kacamata bulat seperti Boboho, ada tahi lalat di pelipis dan dekat
matanya dan gayanya yang sok itu, membuatku jijik setengah mati. Cara bicaranya
juga terkadang kasar, mengandung konten seksual. Hmm, aku tidak suka laki-laki
yang kalau bicara terlalu kasar dan porno. Untung Chandra ini teman baikku
selama di New York. Semua kelemahannya ku maafkan.
Kalau Eugene? Secara fisik dia boleh juga. Tingginya 175cm, warna
kulit kuning langsat, wajahnya oriental, mengenakan kacamata berbentuk
kotak full frame, badannya berisi, dan gaya rambutnya yang seperti
Oppa-Oppa Korea, agaknya membuatku mulai meleleh.
Tunggu, kenapa aku jadi memuji Eugene lagi? Dan kenapa aku jadi
memuji orang berwajah oriental seperti ini? Apa karena masih dipengaruhi oleh
bayangan Adam yang Chinese itu? Jadi, gara-gara Adam aku jadi
suka pria oriental? Ada apa denganmu, Yureka?
Setelah percakapan yang ternyata juga reunian itu, aku dan Eugene
melanjutkan perbincangan kami dengan membahas dekorasi panggung untuk acara
“Batik Day 2018” mendatang. Eugene menyarankan agar kami membuat desain
dekorasi untuk panggung peragaan busana terlebih dahulu, baru kemudian dekorasi
podium untuk seminarnya. Selama diskusi, aku benar-benar tidak melihat Eugene
se-arogan dan se-sombong seperti pertama bertemu. Kenapa bisa begitu ya? Ya,
aku tahu semua orang kan bisa saja berubah setiap detiknya, tapi ini benar-benar
beda dari yang pertama aku mengenalnya. Lebih lagi, aku juga masih ingat betul,
saat kami foto berlima sesaat setelah seminar itu selesai, Eugene sangat kikir
senyum. Oke, pada beberapa foto ia tersenyum, tapi sisanya, ekspresinya sangat
datar. Ya, aku tidak tahu persis mengapa demikian, mungkin kala itu dia sedang
ada masalah, jadi agak malas tersenyum. Dan mungkin sekarang, atau beberapa
hari belakangan, suasana hatinya baik, jadi terlihat sangat ramah. Tapi kan dia
laki-laki, laki-laki biasanya mental dan emosinya sudah stabil, tidak sepertiku
yang sudah berjenis kelamin perempuan, emosi masih labil, semua hal bisa jadi
terbalik kalau sesuatu membuatku mendadak tidak mood.
Selama berdiskusi, sesekali aku selipkan pertanyaan yang kuajukan
pada Eugene. Yaa, supaya tidak terlalu canggung diantara kami berdua. Aku hanya
tidak ingin sebagai sesama divisi, kami tidak punya chemistry yang
baik.
“Wah jago banget sih desainnya. Jurusan lu apa sih? Desain?”,
tanyaku pada Eugene.
“Bukan. Cuma arsitektur kok”, jawabnya sambil membuat garis-garis
simetris di laptopnya.
“Oh pantesan. Yaa, tetep aja kenanya kan desain juga”, sautku
protes.
“Beda dong. Desain kan apa tuh sebutannya, hmm DKV. Iyaa, DKV. Nah
gue arsitektur. Yaa, just architecture. Beda”, jawabnya yang kudengar
penuh kesabaran akan keprotesanku itu.
“Iyaa deh beda. Emang beda sih. Eh tapi yang ini pake Autocad kan?
Yang biasanya buat anak arsitek itu?”, tanyaku lagi.
“Iyaa gue emang terbiasa pake ini dari jaman kuliah S1 dulu. By
the way, kok lu tahu ini Autocad?”, jawab Eugene sambil
tersenyum. Astaga senyumnya manis juga.
“Iyaa, soalnya bokap gue dulunya arsitek juga. Kakak gue juga dulu
kuliahnya arsitektur”, ucapku mulai tersipu malu.
“Oh pantesan. Jadi nggak kaget dong liat-liat bangunan?”, tanyanya
sambil menatap ke arah ku. Astaga aku mulai gugup.
“Iyaa. Trus ini lu S2 nya arsitektur juga?”, tanyaku lagi.
“Nope. Urban Planning”, jawabnya masih dengan kharismanya.
“Waduh, ada calon Menteri Tata Kota nih. Entar bikin dong
Indonesia jadi banyak taman, banyak kembang-kembangnya, banyak yang ijo-ijonya
lah pokoknya. Jakarta udah panas”, saranku sambil mengambil botol minum di
tasku karena mulai kehausan.
“Iyaa, Jakarta emang makin… hmmm yaa gitu lah. Panas. Macet. Everything.
But, I still love it”, jawabnya sambil terus menatap ke layar laptop.
“Emang domisili lu Jakarta kok tahu aja Jakarta makin kacau
panasnya?”, tanyaku penasaran.
“Tahu lah, gue lahir di Jakarta soalnya”, jawab Eugene lugas.
“Lahir dan gedenya di Jakarta?”, aku mulai interogasi Eugene lebih
dalam. Ya, aku mulai penasaran.
“Hmm, gimana yaa. Jadi tuh gue lahir dan kecil sampe lulus SD di
Jakarta, tapi pas TK sempet pindah ke Surabaya sih. Trus pas SMP pindah ke
Bali. Dan tinggal disana sampe sekarang. Keluarga gue juga masih tinggal disana”,
jelasnya sambil menaikkan kacamata kotaknya yang sedikit melorot.
“Oh orang Bali ternyata. Keren. Sering liat pantai dong”, entah
kenapa aku jadi wawancara Eugene seperti ini. Pembangunan chemistry macam
apa ini?
“Nggak juga. Tapi waktu SMA sih sering kabur ke pantai. Biasa lah
anak muda. Di Bali tuh kalo gabut yaa having fun aja di
pantai. Liat ombak. Liat orang pada sunbathing”, jawabnya semakin
lama semakin santai.
“Wah, bisa surfing dong?”, tanyaku masih
penasaran.
“Nggak bisa. Gue…seasick. Hehehe”, jawabnya agak malu-malu.
“Seorang Eugene anak Urban Planning Columbia University takut
laut? Ya ampun”, aku hanya bisa tertawa dalam hati. Bagaimana bisa hidup di
Bali bertahun-tahun tidak bisa berselancar.
“Anak Columbia kan juga manusia, ya kan?”, jawabnya santai tapi
aku tahu pasti dalam hatinya dia juga malu.
“I know. Hmm, trus lu berarti lahir di Jakarta, besar di
Bali, trus kuliah S1 di Bali juga?”
“Nggak. Gue kuliah di luar”, jawabnya yang agak mencurigakan.
“Di luar? Luar negeri maksudnya? Dimananya?”, tanyaku sambil
sekilas membuka layar ponsel ku untuk melihat jam.
“Di Hong Kong”, jawabnya tegas.
“Hong Kong?!”, seketika aku kaget dibuatnya. Untung ponsel
milenial yang sedang kupegang tidak ku lempar.
“Iyaa Hong Kong. Kenapa? Ada yang salah?”, tanyanya kepadaku
penasaran.
“Eh… hmmm… itu…”, Aku bahkan tidak bisa menjelaskan apa-apa.
Lidahku membeku. Memoriku melayang kemana-mana.
Ada apa ini? Kenapa seperti dejavu? Telingaku seakan
berdenging mendengar negara berawalan ‘H’ itu. Eugene bukan salah satu anggota
keluarganya Adam Wang kan? Katakan padaku kalau ini hanya kebetulan saja.
((BERSAMBUNG))
Comments
Post a Comment