Yureka.
Nostalgia. Masa Depan. Stasiun tujuanku sudah tiba. Aku harus segera
turun dari kereta ini atau aku akan terbawa sampai ujung New York. Aku saja
masih suka nyasar kalau mau ke Central Park, bagaimana kalau sampai ke Long Island? Aku takut. Setelah turun dari kereta, aku masih harus
jalan kaki sekitar 10 menit menuju apartemen Kak Anna. Sepanjang perjalanan
pun, aku masih terbawa arus nostalgia tentang Adam,
pria Tionghoa dari negeri Jiran itu. Jadi sampai mana aku tadi cerita? Oh ya,
jadi setelah lelah seharian jalan-jalan kota George Town, Adam mengantarkanku
sampai ke depan kamarku di lantai dua. “Thank you for today, Adam. It was really
amazing day. Good night”, kata-kata penutup untuk hari yang melelahkan tapi
menyenangkan, ditambahkan menyebalkan karena ada Hamidah yang merusak
ekspektasiku. “Yureka...” sambung Adam “Yes? What’s happen?” tanyaku
penasaran. “Are you free tomorrow night at 7?” Adam melemparkan pertanyaan yang secepat
kilat membuatku merasa percaya diri, kembali. Astaga. Jangan-jangan dia berniat mengatakan hal-hal yang mirip seperti yang ia
katakan saat membuatku terbang melayang penuh percaya diri seperti kemarin malam itu? Kalau kemarin ia
mengundangku untuk jalan-jalan kota yang bahkan aku terlalu bodoh untuk bilang
“Hanya kita berdua”, lalu bagaimana dengan yang ini? “Hmm, I have no clues. What’s wrong?”, aku berusaha tenang dan tidak terlalu pe-de. “Would you mind to buy some dessert nearby
with me? Just two of us”. Akhirnya jawaban yang kuharapkan keluar dari bibirnya. Jreng jreeeeengg. Apa? Hanya berdua? Tunggu
dulu, aku harus konfirmasi ulang ini. “Two of us? Seriously?” Ya aku harus konfirmasi agar tidak ada
kejadian na'as yang kedua kalinya. “Yeah. Why not, right? What do you think?” jawabnya sambil menundukkan kepalanya lalu
mengangkat lagi dan menatap mataku. “Yeah, I would like to. If
it’s...really...just two of us”. Bodoh lagi kau, Yureka. Itu terlalu jujur! “Okay. Good. See you tomorrow.
Good night”, balasnya dengan santai sambil melambaikan
tangannya yang cukup putih itu ke arahku. “Good night”, jawabku sambil melambaikan tanganku yang tak
seberapa indahnya ini. Kemudian aku masuk kamar dan menutup kamar
dengan perlahan sambil mengucap syukur di balik pintu. Oh Tuhan, ini mirip seperti
film-film drama yang sering ku tonton di bioskop dan di DVD itu. Ternyata
hal-hal romantis itu belum punah di dunia ini. Terima kasih, Tuhan! “Alhamdulillah...” ucapku sambil menghela napas. “Kenapa lu, Yur?” tanya Ghina kebingungan sambil mengeringkan rambutnya
menggunakan hairdryer pink kesukaannya. “Iyaa nih, pulang-pulang aneh gitu. Lu
beneran kencan ama orang? Siapa sih? Penasaran gue”, samber Diana yang sedang membaca
booklet hasil ‘jarahan’ keliling museum
kemarin siang. “Jalan-jalan romantis. Nggak deng bukan. Jadi gue kan nggak ikut
kalian tuh kemaren, dan hari ini
panitianya nge-cover jalan-jalan buat gue. Asyik deh, gue berasa jadi tamu
premium gitu. Naik mobil SUV keluaran terbaru, private
air-conditioner, dan bersama orang ganteng”, jelasku sambil tersenyum-senyum sumringah. Dari penjelasanku itu, aku bisa melihat
wajah-wajah kebingungan Diana dan Ghina mencuat. Tidak dengan Arumi yang datar
saja. Ia bahkan tidak bergeming saat keluar dari kamar mandi dan melihatku baru
pulang setelah seharian tidak di kamar. Cuek sekali, bukan? Padahal Arumi
adalah paling cantik dan paling alim di antara aku, Diana, dan Ghina. Tapi
sifat tidak pedulinya yang tinggi membuat dia terlihat biasa saja. Manusia
memang tidak sempurna. Hari Minggu kali itu ditutup dengan cerita-ceritaku tentang jalan-jalanku keliling George Town seharian penuh. Intinya,
menyenangkan sekali kenal dua orang hebat seperti Adam dan Hamidah. Dan aku paham betul bahwa diriku sudah termakan
pesona Adam yang sudah ada di level internasional itu, maka tidak heran kalau aku menjadi penggemar rahasia Adam
sejak awal berada di KDU Penang
University College. Terlebih sejak aku tahu kalau Adam suka makan mie dan mendengarkan musik klasik, aku tambah terbawa
perasaan. Aku benar-benar
suka padanya. Tapi untuk hal ini, aku tidak akan ceritakan pada
teman-temanku. Sangat riskan. Keesokan harinya, aktivitas kami di kampus
KDU Penang University College sebagai peserta
program pertukaran pelajar berlangsung lancar. Jadwal kami untuk minggu kedua adalah
observasi langsung ke laboratorium komunikasi kampus KDU Penang, seperti studio siaran radio
dan studio film yang menjadi tempat mahasiswa-mahasiswi jurusan Mass
Communication belajar sehari-harinya. Hingga malam tiba, suasana hatiku makin
senang namun makin tegang. Ya, malam ini aku ada janji dengan Adam seperti yang
ia tawarkan kemarin. Apakah akan terjadi sesuatu yang
menyenangkan? Atau Hamidah akan ikut kami lagi? Entahlah, tapi aku berharap yang terbaik. Tepat pukul 18.55, aku izin kepada Diana dan
Arumi untuk pergi keluar. Ghina kemana ya? Oh ya, dia juga ada janji dengan
salah satu panitia acara untuk menenaminya membeli kartu memori kameranya yang
katanya rusak karena penyebab yang belum bisa dipastikan. Ah, paling Ghina juga
sekalian kencan. Karena yang ku tahu panitia yang mengantarkannya belanja kartu
memori itu laki-laki. Kalau tidak salah namanya Ghibran. Rupanya ada dua pemudi
Indonesia jatuh cinta pada dua pemuda Malaysia yang berbeda. Ya, siapa
tahu kalau kami masing-masing jadian, tidak
ada lagi pertikaian antara dua negara Asia Tenggara ini. Ketika akan turun ke lobi, ternyata Adam juga
sedang naik tangga menuju kamarku. Duh, jodoh bukan sih kalau papasan di tangga seperti itu? Apapun itu semoga
kencanku kali ini berhasil. Kala itu Adam mengenakan celana pendek putih
dan sweater hitam yang aku tidak tahu tulisan apa yang
disablon di atasnya. Mungkin logo KDU Penang University College. Hmm, sepertinya memang iya. Setelah papasan, dan saling menyapa basa-basi busuk, kami berdua
jalan keluar asrama. Kupikir kita berdua akan naik mobil SUV lagi, ternyata
tidak. Kami berjalan kaki. Tidak apa, jalan kaki bersama cowok ganteng buatan
Malaysia juga sudah lebih dari cukup bagiku. Kala itu Adam bilang kalau ia mau mengajakku makan makanan khas
Hong Kong yang terletak di beberapa blok dekat kampus KDU. Sepanjang
jalan, kami membahas banyak hal. Ya, lagi-lagi kami membahas topik
musik klasik yang aku rasa tidak akan ada habisnya. Ternyata Adam ini
termasuk penggemar musik klasik
yang rajin
pergi ke konser musik orkestra, baik
di Malaysia, Hong Kong, Indonesia, bahkan ia pernah pergi langsung ke kiblatnya
di Italia. Tidak heran, dia kan memang anak orang kaya. Harga tiket konser
orkestra bagi dia pasti seperti membeli sebungkus kacang koro di supermarket. Tidak denganku yang selama ini suka musik
klasik hanya bermodalkan streaming Youtube saja. Strata kelas
berbicara. Kemudian sampailah kami di kedai mie, seperti kesukaan kami
berdua. Kami masih berbincang banyak soal musik klasik. Tapi selain itu,
kami berdua juga membahas hal lain seperti bagaimana pengalaman menjadi
mahasiswa jurusan Komunikasi. Adam juga bertanya padaku mengapa aku masuk ke
jurusan itu. Sambil menyantap semangkuk mie, aku menjelaskan bahwa aku memang
sudah tertarik di bidang Komunikasi sejak aku SD. Aku suka menulis, aku suka
membuat video-video sederhana, aku sendiri juga anaknya sangat bawel dan
cerewet. Secara halusnya, aku gemar berbicara di depan banyak orang tanpa
malu-malu. Karena kelebihan yang menurutku kekurangan itu, membuat aku sering
dijadikan sebagai moderator dalam seminar-seminar yang diadakan di kampus ku,
Universitas Paramadina. Setelah mangkuk mie kami habis, kami masih membahas soal
pengalaman masing-masing di jurusan Komunikasi. Tapi sebelum meneruskannya,
Adam menyarankan agar kami melanjutkan cerita di kedai sup puding dingin khas Hong
Kong yang tak jauh dari
kedai mie tersebut. Setelah berjalan sekitar 5 menit, kami sampai di salah satu kedai
makanan khas Hong Kong, menu spesialnya bernama Tong Sui. Tak berapa lama kami memesan, dua porsi Tong Sui pun mendarat dengan indah di atas meja
kami. Kami pun meneruskan cerita kami. Saat itu giliran Adam yang bercerita. Ia
bilang kalau masuk di jurusan Komunikasi Massa memang bukan salah satu
keinginannya. Alasannya sederhana, sebenarnya Adam ini orangnya pemalu. Saat
SMA dulu, ia tidak percaya diri apabila diminta maju ke depan kelas oleh
gurunya. Lebih sederhananya, kalau Ibu dan Ayahnya menyuruhnya berpergian
sendiri. Terlebih sesaat sebelum kuliah, ia harus hidup sendiri di George Town,
Penang, sedangkan adik dan orang tuanya lebih sering berada di Hong Kong. Sejak
itulah ia memberanikan diri untuk masuk ke jurusan Komunikasi agar ia bisa
tampil lebih percaya diri serta bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang
baru yang ia temui. Di sela-sela ia bercerita, ia sempat mengambil gambar diriku yang
sedang menyuap Tong Sui dengan kamera canggihnya yang ia kalungkan itu. Rasanya
kencan ini benar-benar berhasil. Sesuai ekspektasiku. Malah melebihi
ekspektasiku! Ya, aku tahu agaknya ini berlebihan, kampungan, tapi tidak bisa
dibohongi kalau aku memang benar-benar senang berada di dekat Adam. Terlebih
aku kan tidak pernah pacaran, jadi wajar kalau aku bahagia 100 kali lipat
berkat semua ini. Malam itu ditutup dengan ucapan selamat malam
dan selama tidur dari Adam. Sesampainya di atas kasur empuk asrama pun, Adam
masih mengirim pesan di WhatsApp kepadaku yang membuat aku tambah percaya diri kalau ini bukan
sekadar jalan-jalan malam saja, ada potensi lain yang bisa terjadi. Keesokannya, dua hari setelahnya, hingga tiba
pekan terakhir program pertukaran pelajar, aku dan Adam masih saling menyapa,
bercerita, berdiskusi, dan juga mengirim pesan WhatsApp. Oh ya,
kami juga sempat jalan-jalan ke George Town bersama. Ya, meskipun kala itu ramai-ramai berlima
belas orang kesana untuk sesi jalan-jalan kota yang terakhir sebelum program berakhir. Rasanya
ini benar-benar di luar dugaanku. Ku pikir aku tidak akan pernah bisa kencan
dengan pria setampan dan sekeren Adam. Dan kalau boleh aku pe-de, dari gelagatnya selama empat minggu
ini, aku rasa ia punya perasaan yang sama denganku. Semoga benar begitu, Ya Tuhan. Setelah program usai, aku, Ghina, Diana,
Arumi, dan Tommy harus kembali ke tanah air. Sesaat sebelum ke bandara, kami berlima dan
semua panitia dan peserta Student Exchange berfoto bersama.
Semua foto pun di unggah ke masing-masing media sosial, termasuk ke Instagram.
Untungnya aku dan Adam sudah saling follow di Instagram jadi
tidak heran kalau kemudian ia memberi tag nama akunku ke foto
yang ia unggah. Dan dengan begitu meskipun kami akan saling berjauhan, kami
akan tetap merasa dekat melalui media sosial yang kami saling ikuti di dunia
virtual itu. Sepanjang perjalanan udara, aku terus
memikirkan Adam. Padahal niat hati tidak ingin demikian. Tapi entah mengapa, isi otakku penuh dengan wajah dan
perawakannya yang memang tidak bisa dilupakan itu. Aku berharap, tidak hanya Malaysia saja yang menjadi
saksi sebuah rasa yang lebih dari sekadar peserta-panitia itu. Aku juga
berharap Indonesia juga bisa
menjadi saksi sebuah hal yang bisa lebih luar biasa daripada ini. Satu hari, dua hari, tiga hari, hingga satu
minggu pasca kepulanganku dari Penang, aku sama sekali tidak melihat
tanda-tanda Adam menghubungiku. Tiap pagi, tiap makan siang, hingga akan tidur
pun, aku selalu rajin mengecek notifikasi di smartphone-ku apakah
ada WhatsApp dari Adam atau tidak. Ya, nihil. Chat terakhir
yang Adam kirim hanya berbunyi “Safe flight and say hi to Indonesia. Really
want to back there just watch Jakarta Phillaharmonic Concert or just buy some
cheap jacket in Tanah Abang”. Setelah itu, tidak ada lagi pesan masuk
darinya. Tiap malam pun aku sibuk
bolak-balik membuka akun Instagramnya untuk sekadar “kepo” akunnya. Kepo atau
kangen, Yureka? Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, hingga
satu bulan benar-benar tidak ada kabar. Baiklah, seperti biasa, seorang Yureka
tidak suka didiamkan seperti ini. Dengan cepat dan tanggap, aku menyiapkan
keberanian untuk mengirim pesan WhatsApp ke Adam. Basa-basi
apa saja yang penting aku tahu bahwa Adam belum punah. Dan lagi-lagi aku yang
harus mulai duluan. Apa aku salah? Tidak, kan? Memang ada peraturannya kalau
wanita tidak boleh mulai duluan? Kalau pun ada, aku akan mengajukan keberatanku yang teramat sangat. Ini kan sudah
zaman milenial, wanita dengan pria sudah disamaratakan. Terima kasih, Ibu
Kartini! Pesanku kepadanya itu berbunyi “I heard that there will be an orchestra concert in
Gedung Kesenian Jakarta two weeks from now. I wonder if you will watch that or
not...” Satu menit, dua menit, hingga satu jam, tidak
ada balasan. Ya, sudah lah, dari dulu memang selalu begitu, aku ini pecundang
di tengah kalangan pemuda-pemudi yang menjunjung tinggi keromantisan dan
menghalalkan segara cara untuk pamer foto berdua di media sosial. Aku memang
payah. Tapi bukan Yureka namanya kalau menyerah. Ya,
aku memutuskan untuk tidak menyerah. Aku kirim lagi pesan kepada Adam dengan
berbunyi “I went a Mall in Central
Jakarta and drank Teh Tarik. Somehow it recalled me the same Teh Tarik when the
last trip in George Town together with KDU’s students. Really want to come back
there”. Lagi dan lagi, satu jam, dua jam, hingga
keesokan harinya Adam tidak membalas juga. Padahal sesekali kalau ku tengok ke
profilnya, ia sedang online. Berarti kan dia masih hidup dan masih
punya WhatsApp. Orang ini memang aneh. Baiklah aku putuskan untuk
melupakan semua itu sejenak. Mungkin ada hikmahnya karena aku harus fokus ke
Ujian Akhir Semester yang akan datang beberapa minggu lagi. Hingga keesokan harinya Adam membalas: “Hi, Yureka. Apologize to the late reply
of your messages. Been busy with campus life. Well, thank you for the
information. But I can’t go anywhere out of Penang until next month even I
really wanted to. Teh
Tarik? Yeah, I bet you’re addicted on it. Here come back to Penang and we can
enjoy another part of Malaysia if you want” AKHIRNYA ADAM MEMBALAS WHATSAPP KU! Sebuah keajaiban! Untuk menanggapi balasan tersebut, sebenarnya ingin sekali rasanya
ku balas dengan: “Kau pikir terbang ke Malaysia hanya cukup dengan 5000 perak?
Mengada-ngada saja. Uang jajan saja aku masih minta Ayah dan Ibu”. Kemudian pesan itu ku balas dengan “Oh so sorry if I’m
bothering you now. Hope everything okay there. Stay healthy and keep hydrate.
I’d loved to come back to Malaysia, but I should focused on my final exam, it
will in several weeks. Wish me luck!” “Stay healthy and keep hydrate”? Sudah seperti pacar saja
mengingatkannya untuk tetap menjaga kondisi badan dan minum air putih yang
banyak. Imajinasiku mulai berkembang lagi. Tapi ya sudah lah, kami kan memang
teman baik, tidak ada salahnya saling mengingatkan, bukan? Kami pun kemudian asyik berbalas WhatsApp. Ternyata
Adam yang lebih dari sebulan tidak ada kabar itu sedang sibuk mengerjakan
tugas-tugas juga ketertinggalannya di kampus akibat menjadi penanggung jawab
tim kampusku saat kami exchange kala itu. Pula sedang menyiapkan diri untuk pergi ke London,
Inggris dalam 3 bulan mendatang. Katanya akan ada pertemuan keluarga disana.
Ya, dia memang punya beberapa anggota keluarga di London. Ia bahkan berencana
untuk ambil S2 di Inggris setelah lulus nanti. Sudah pintar, kaya raya,
ganteng, apa lagi? Ia punya semua. Hanya saja satu hal yang
benar-benar tampak tak sempurna, membalas pesan saja lamanya minta ampun.
Bagaimana kalau dia punya pacar? Pasti pacarnya tidak tahan karena lamanya ia
membalas pesan. Untung aku belum jadi pacarnya. Eh tapi kalau jadi juga tidak
apa. Duh Yureka, jangan mulai dengan imajinasi konyolmu itu. Selama berbalas pesan itu, Adam juga memberi
tahuku kalau lebaran tahun
depan dia
akan ke Jakarta untuk bersilahturahmi dengan sanak saudara juga rekan kerja
Ayahnya di Jakarta. Dalam hati aku bertanya: “Jadi sebenarnya ada berapa jumlah
saudaranya hingga di semua negara ia punya saudara? Di Malaysia, ia memang orang sana. Di Hong
Kong, ada. Di Inggris juga katanya ada. Sekarang di Indonesia. Ayo sebutkan
dimana lagi?” Dengan sigap aku balas pernyataannya dengan:
“Really? Come and visit my house. Which part of Jakarta is your family?” Ia membalas: “South Jakarta. Hmm, I think
it’s Pakubuwono or something” Pakubowono? Yang banyak rumah gedong itu? Ah
kecil. Aku tinggal di Cinere. Jangankan Pakubowono, aku berenang lewat kali
Ciliwung sampai Ancol pun kalau untuk Adam juga aku
sanggup. Lalu Adam membalas lagi dengan pernyataan: “I
will try later. I’ll let you know soon.” Asyik. Kalau saja ia jadi datang ke Jakarta,
rasa rinduku pada lelaki tampan ini akan segera berakhir. Eh tapi jangan senang dulu. Tenang, Yureka.
Jangan terlalu terbawa perasaan. Tenangkan pikiran dan emosimu. Berdoa
pada Tuhan agar Adam jadi ke
Jakarta dan benar-benar bisa menemuimu. 💙💙💙 Beberapa bulan kemudian, hari yang dinanti
tiba. Hari Lebaran Idul Fitri datang.
Aku bersyukur aku masih bisa merasakan lebaran dengan berkumpul keluarga. Aku juga bersyukur, bahwa Adam jadi datang ke
Jakarta! Dia bahkan sudah mengkonfirmasi sejak 1 minggu lalu dengan
mengirim WhatsApp: “Hey, I got 2 days free in Jakarta which is not
planned before. Let’s meeting in somewhere.” Oh Tuhan, rasanya senang betul aku hari itu.
Rasanya seperti memenangkan undian hadiah
mobil dari Bank ternama. Semoga kali ini berhasil karena aku sudah mengumpulkan
keberanian untuk mengatakan sesuatu pada Adam. Ya, aku akan menyatakan
perasaanku padanya. Tidak peduli lagi, aku sudah tidak sanggup dengan semua
itu. Hidup di bawah bayang-bayang wajah tampannya, pula semakin hari
imajinasiku semakin konyol yang membayangkan tentang diriku dan Adam menjadi
sepasang kekasih. Dua hari kemudian, pertemuan yang sudah
direncakan tiba. Kami janjian bertemu di salah satu restoran masakan Italia di
daerah Kemang. Kala itu aku menggunakan blouse berwarna
merah, jeans panjang hitam, dan flatshoes berwarna peach.
Rambut ikal yang ku banggakan pun juga digerai. Baiklah semua sudah siap. Aku sudah tidak sabar bertemu Adam
sang pujaan hati. Saat itu aku sudah ada di restoran sejak
pukul 12.45, sedangkan waktu janjian kami adalah pukul 13.00. Tidak apa kan
kalau aku datang lebih awal? Hitung-hitung latihan berbicara dengan Adam
tentang hal yang akan aku ungkapkan. Tepat pukul 13.02, Adam menunjukkan batang
hidungnya. Aku yang kala itu duduk di pojok ruangan, bisa melihat
kedatangannya. Ia mengenakan kaos berkerah garis-garis hitam-biru-putih, juga
celana jeans panjang berwarna biru dongker, dan menenteng tas belanja
bertuliskan “Hermes”. Tunggu dulu, siapa itu yang ada di belakang
Adam? Setelah Adam masuk lewat pintu restoran, ada
sosok wanita tinggi rupawan mengenakan short dress merah
selutut berlengan panjang dan sepatu lari berwarna
putih yang ada logo berbentuk ceklisnya, yang membuatnya tampak sangat stylist. Pula menenteng tas tangan bermerk “Coach”. Jika dibandingkan denganku, AKU BUKANLAH SIAPA-SIAPA. Tapi siapa yaa dia? Adam menghampiriku dan menyapaku, “Yureka! Long time no see!”, sapa Adam nyaris membuat seluruh mata
pengunjung tertuju pada kami. “Hey, How are you?”, balasku senang namun penasaran dengan si
wanita tersebut. “I’m great. How are you?” tanya Adam yang tersenyum penuh gembira.
Entah gembira bertemu diriku atau gembira karena membawa wanita itu. “Good. Perfect”, jawabku datar. “Well, this is Tiara. Meet my friend,
honey, this is Yureka. She is Indonesian like you. We met in my campus when she was a student
exchange. Like I told you before”, jelas Adam sambil menyuruh si wanita berbaju merah untuk
berjabat tangan denganku. Tunggu, “Honey”? Tidak salah dengar
kah aku barusan? “Hai. Aku Tiara”, jawab si gadis berbaju merah yang ternyata
bernama Tiara itu. “She is my girlfriend”, ucap Adam yang bahkan aku masih ingat jelas
kata-kata itu sampai kiamat datang. “Oh come on. It’s recent”, jawab Tiara tersipu malu. “Oh wow. Nice to meet you, Tiara. Eh
iya kita sama-sama orang Indonesia ya. Silahkan duduk”, Aku mempersilahkan mereka duduk dihadapanku.
Ya, di hadapanku. Ada apa ini, Ya Tuhan? Terakhir kali saat aku
dan Adam akan jalan, ada Hamidah, sekarang ada Tiara. Lebih baik lah ketika ku
tahu Hamidah hanya penanggungjawab sesi jalan-jalan. Tidak dengan Tiara.
Rasanya seperti mimpi buruk ketika mengetahui bahwa Tiara adalah pacar Adam.
Mungkin, ini penyebab ia tidak pernah mengubungiku lagi karena dia sudah ada
yang punya. Benar-benar menyedihkan. Setelah melihat semua kondisi canggung itu, ditambah rasa sedih
dalam hati yang tentunya aku tutupi, aku bertanya-tanya akan sesuatu. Jadi, apa maksudnya waktu itu ia mengajakku kencan makan Tong Sui malam-malam? Lalu mengapa ia mengajakku ngobrol lebih
intensif saat di kampus KDU kala itu? Mengapa pula dia masih terus membalas WhatsApp ku
saat masih berada di asrama dulu? Rasanya memang seperti tersambar petir atau
terkena duri pohon nanas. Sakit sekali. Tapi aku mencoba untuk tenang dan tidak
terlihat gelisah atau sebagainya. Ya, aku sudah terbiasa dengan hal semacam ini. Yureka kuat!
Yureka hebat! Lalu kemudian kami bertiga pesan satu loyang
Pizza dan tiga porsi Spagetti Carbonara. Kami berbincang banyak hal kala itu. Ada banyak hal juga yang ku tahu
dari Tiara saat kami ngobrol. Ternyata Tiara itu anak dari rekan kerja Ayahnya
Adam yang ia maksud di Whatsapp sebelumnya. Tiara juga menambahkan bahwa mereka baru saja jadian minggu lalu sesaat setelah sholat Ied
karena Adam memang menghabiskan lebarannya tahun ini di Jakarta. Aku malah baru
tahu kalau Adam ini seorang Muslim yang kupikir beragama Konghucu atau Buddha.
Ya, itu karena wajah oriental yang ia punya, maka aku berpikir kalau dia
mungkin saja bukan seorang Muslim. Juga saat di Penang, aku tidak pernah melihatnya pergi ke Mushola
atau Masjid. Ya, memang ibadah kan bukan hal yang harus dipamerkan. Tapi
setidaknya kan ada tanda-tandanya. Lagipula, yang membuatku berpikir demikian
karena nama
belakangnya yang “Wang” itu. Setelah ku korek informasi darinya, ternyata ayahnya, Andy Wang,
adalah seorang pria Malaysia keturunan Tionghoa yang menjadi mualaf ketika
menikah dengan ibunya, Siti Zubaidah, wanita asli keturunan Melayu Malaysia. Kalau Tiara, ia ternyata seorang model berkewarganegaraan Indonesia tapi memiliki darah
Inggris-Malaysia dari ayahnya, sedangkan ibunya asli orang Bandung. Ia lahir dan menghabiskan masa
kecilnya di Kuala Lumpur, Malaysia. Namun sejak SMP ia harus pindah ke Indonesia
karena orang tuanya bercerai dan ia ikut ibunya dan tinggal di Jakarta. Tapi
kemudian di usia 16 tahun, ia memutuskan untuk ambil sekolah modeling di
London dan setelah lulus ia mendapat tawaran pekerjaan modeling di
Malaysia juga Indonesia. Jadi, saat ini Tiara masih bolak-balik Kuala
Lumpur dan Jakarta. Lalu dari mana Adam bisa kenal dan berpacaran
dengan Tiara? Jadi, ternyata keluarga Adam dan Tiara sudah
kenal lama karena orang tua mereka adalah rekan bisnis yang sudah seperti sanak saudara sendiri. Mereka sebenarnya sudah
lama kenal, namun Tiara sejak dulu sudah mengagumi Adam. Tiara pun berkata
kalau ia yang mulai duluan untuk menyapa dan mengajak Adam jalan. Tuh kan
benar, siapa bilang hanya aku satu-satunya wanita yang mulai duluan? Tiara juga
demikian. Ya, bedanya mereka memang sudah lama kenal. Sedangkan aku kenal Adam
saja baru-baru ini, itu pun kenal hanya di kampus tempat ia kuliah saja. Tidak
sama kelasnya dengan cara Adam dan Tiara bertemu. Pertemuan mereka jelas lebih elegan. Kami masih asyik mengobrol sampai
makanan-makanan yang kami pesan habis. Waktu pun menunjukkan pukul 17.15 WIB.
Saatnya pulang ke rumah masing-masing. Saatnya pula kami berpisah. Aku tahu aku patah hati, tapi
aku tahu ini adalah jalan yang terbaik. Aku berharap mereka bahagia. Lalu
bagaimana dengan rencanaku menyatakan perasaan pada Adam? Aku rasa aku harus
tetap mengatakannya. Karena kalau dibiarkan, aku semakin gelisah. Ya,
setidaknya dengan ‘nembak’ Adam, aku menjadi lebih lega. Beban hidupku
berkurang satu. Tapi nanti, tunggu
sampai rasa tak karuan ini mereda. Sampai rumah, aku masih terdiam di kamar.
Perasaanku campur aduk. Senang, sedih, kesal, marah, semuanya. Aku senang
karena akhirnya aku berjumpa lagi dengan Adam. Aku sedih karena ternyata Adam
sudah punya pacar. Aku kesal terhadap diriku sendiri yang selalu berimajinasi
konyol tentang aku dan Adam. Aku juga marah karena mengapa tidak dari awal Adam
mengatakannya pada ku kalau ia sudah lama punya kenalan model sekeren Tiara. Malamnya, aku mengirim pesan WhatsApp ke
Adam. Kali ini benar-benar akan ku katakan pada Adam tentang apa yang kurasakan
padanya selama ini. Tidak peduli dia akan membenciku atau lain sebagainya. Saat ku ketik di layar smartphone dengan
kata-kata: “Thank you for today. Greet to Tiara. Greatest day ever” Tidak lama ia membalas: “My pleasure to
meet you again. Really can’t believe that we still meet each other. And I will
say it to Tiara. She said you are such an awesome girl.” Ketika membaca kata-kata itu dalam hati aku merespon: “Yeah,
she is such a bi*** and you’re such an as*****!”. Setelah emosi mereda, aku langsung mengetik apa yang akan aku ingin
katakan pada Adam. Aku mengetik: “Adam, there’s something I
want to tell you about. I know this must be ashame for me and maybe for you.
That is about my feeling for you. Since we met in Penang, I think there is
something different between us. I thought that we have same feeling. But
clearly, it’s not. Only my side. So sorry to say this, but I’m into you since
we had Tong Sui that night. Please don’t tell this to your GF. I don’t want to
make her feel hurt. I just want to say this, just want to tell about what I am
feeling for you. Thank you for the
noodles, thank you for the Tong Sui. Thank you for
everything.” Lega rasanya menulis semua isi hatiku pada
Adam seperti itu. Aku bahkan tidak berharap jawaban apapun dari Adam. Hanya
dibaca pun juga tidak apa-apa karena aku hanya ingin mengungkapkannya saja
tanpa bertanya sedikit pun tentang apa yang ia rasakan padaku. Tapi, tak berapa lama setelah pesan tersebut terkirim, ku lihat tanda “typing…” muncul di kolom profile nya. Adam akan membalasnya? Apa yang akan ia katakan?
((BERSAMBUNG)) |
Comments
Post a Comment