DOUBLE YU SEASON 3 - Episode 7 : "Baby Eula dan Bola Basket"
Double Yu – Season
3
Episode 7 :
“Baby Eula dan Bola Basket”
![]() |
(Courtesy of Pinterest) |
Yureka. 14 September
2022. Pukul 17.53 PST. San Francisco. Masa depan.
“Telah lahir ke dunia anak perempuan pertama gue dan
@peo95 yang kami beri nama Pandya Eula Ravisa Oetomo dengan berat 3,4kg dan
panjang 52cm dan dilahirkan dengan cara gentle birth. Terima kasih untuk semua
yang sudah mendoakan kelancaran selama proses kehamilan dan persalinan
berlangsung. Alhamdulillah semua berjalan dengan baik, bayi sehat dan ibu
selamat. Semoga #babyEula kelak menjadi anak yang sholeha, cerdas, sehat, kuat,
bahagia, ceria, membawa kedamaian bagi sekelilingnya, dan jadi berkah buat
keluarganya plus kebanggan untuk agama, bangsa juga negaranya. Aamiin. Kami
yang berbahagia Mommy Yureka dan Papa Eugene.”
[mau tahu episode sebelumnya? baca disini!]
[mau tahu episode sebelumnya? baca disini!]
Begitulah penggalan caption yang ku buat di feed
Instagramku. Ya, setelah perjuangan 38 minggu, akhirnya baby Eula lahir. Masih tidak
menyangka sekarang aku jadi seorang ibu. Bukan apa-apa, secara parenting style tentu aku sudah rembukan
banyak hal dengan Eugene. Tapi aku hanya tidak bisa membayangkan saja kalau nanti
Eula sudah besar lalu di tiba-tiba SMA, aku akan jadi model nyokap seperti apa
ya? Apakah akan jadi nyokap-nyokap yang overprotective
sama anaknya yang selalu whatsapp Eula setiap jam saat dia tidak di rumah,
misal sedang ke mall sama temen-temennya. Hahaha. Haduh Yureka kebiasaan terlalu
jauh berimajinasinya. Bayinya saja masih orok begini, sudah jauh sekali
khayalannya.
Oh ya, mungkin ada yang penasaran apa arti dibalik
nama lengkap Eula. “Pandya” diambil dari bahasa Sanskrit yang artinya
bijaksana. “Eula” diambil dari kata Eulalia atau Eulalie dari bahasa Yunani
yang berarti “bertutur sopan dan santun”. “Ravisa” dari kata “Ravi” dalam
bahasa Prancis yang berarti senang atau bahagia. Dan “Oetomo” adalah nama
keluarga Eugene. Jadi kami berharap baby Eula akan menjadi anak perempuan
keluarga Oetomo yang bijaksana yang jadi anak yang sopan dan santun plus selalu
dihiasi dengan kebahagiaan.
Bagaimana bentuk dan rupa Eula? Alhamdulillah tidak
ada kurang satu apapun dari dia. Dan seperti yang kalian bisa tebak, wajahnya
sangat bapaknya sekali; China! Hahaha. Nggak ada tuh mata atau hidungnya atau
satu bagian dari wajah Eula yang seperti ibunya yang ke-arab-araban ini.
Pokoknya plek cetakannya kayak Eugene, sipit-sipit menggemaskan. Semoga kalau
Eula sudah besar dia tidak memanggilku tante atau bude ya. Hahaha. Duh jangan
dong ah.
Ngomong-ngomong, Eula dilahirkan di UCSF Medical
Center pada tanggal 14 September 2022 pada pukul 7.48 pagi. Saat dia datang ke
dunia, mendengar tangisannya saja aku ikutan menangis. Ya ampun, ibu-ibu yaa.
Hahaha. Tapi itu hal yang natural kok. Kalian para calon ibu pasti akan
merasakannya nanti. Tapi aku benar-benar bersyukur semuanya aman terkendali,
baby Eula sehat dan aku pun selamat. Jadi, lengkap deh Double Yu ada si Eula.
Meski tak tahu apakah kedepannya ada Double Yu junior lainnya atau tidak. Berhubung
baby Eula masih fresh from the oven,
jadi kita pikirkan nanti saja lah ya. Hahaha.
Eugene. Natal
2022. San Francisco. Masa depan.
Tiga bulan pasca kelahiran baby Eula. Huaaah, nggak
bisa dijelaskan dengan kata-kata rasanya jadi seorang ayah. Meskipun capek juga
full-time kerja dan nambah tanggung
jawab baru bantuin Yureka untuk urus Eula, tapi gue seneng kok ada anggota baru
di rumah. Jadi rame. Jadi ada yang nangis malem-malem minta susu atau poop di pagi dini hari. Nikmat banget
rasanya. Hahaha.
Oh ya sejauh ini gue sama Yureka belom pake babysitter sih karena so far Yureka masih di rumah full-time jagain dan urus Eula. Semenjak
lahiran dia belom nerima job nulis
meskipun udah beberapa kali dia dapet tawaran part-time penulis skenario TV. Meskipun via online, tapi sejauh ini
Yureka bilang dia pengen jadi full-time
mommy dulu. Jadi belum ada keinginan buat nerusin pekerjaannya kapan. Ya,
apapun itu yang penting senyamannya dia aja deh.
Menjelang tahun baru, gue dan Yureka memutuskan buat
liburan di SF aja. Tapi hari ini nyokap-bokap gue plus ibu-ayahnya Yureka yang
bakal otw kesini nengokin baby Eula.
Wah, nggak kebayang sih ini pertama kalinya Eula ditengokin Halmeoni-Halabeoji
dan juga Eyang Uti dan Eyang Kakungnya. Sebenarnya pas seminggu setelah Eula
lahir, kakaknya Yureka plus sepupunya udah nengokin, cuma karena visa mertua
gue sempet bermasalah akhirnya baru bisa kesini tanggal 25 Desember ini. Wah
nggak sabar banget!
Btw, hari ini tanggal 25 Desember 2022, so pasti libur
natal dan selama dua minggu kedepan gue bakalan libur dari kantor. Hmmm,
campuran antara cuti dan libur bersama sih. Ya, karena tadi itu, orang tua dan
mertua gue bakal dateng. Btw juga,
dari kemarin cuaca lagi nggak bagus, jadi gue sama Yureka sama baby Eula di
rumah aja. Nah, baru hari ini gue ngajak mereka ke luar. Kita bertiga liat
Christmas Parade di pusat kota San Francisco. Pokoknya asyik banget. Kita juga
makan siang di luar. Seperti biasa kesukaan gue sama Yureka, kita makan di
restoran Italia yang namanya Bella Trattoria yang kebetulan nggak jauh dari
rumah.
Sepulang dari makan dan jalan-jalan sekitar jam 7
malem which is udah gelap karena
pengaruh winter, baby Eula rewel,
nangis nggak berhenti-henti. Kita udah ngecek popoknya dan aman alias dia nggak
poop atau pipisnya udah penuh. Yureka
juga udah breastfeeding dia. Kita cek
temperaturnya ternyata agak panas. Mungkin karena kita seharian di luar dan
cuaca emang agak dingin jadi wajar kalau Eula agak panas. Kita mencoba nggak
panik dan Yureka punya ide buat skin-to-skin
sama Eula. Itu loh teknik nurunin panas anak yang ibunya naked anaknya juga naked
trus anaknya ditempelin ke badan ibunya. Yureka juga sesekali nyusuin Eula.
Beberapa saat kemudian, Alhamdulillah panas Eula
udah turun. Tapi dia malah awaken. Setelah
dipakein popok dan baju lagi, Eula yang melek seger itu sesekali dinyanyiin
sama Yureka. Btw, Yureka suaranya
lumayan bagus loh. Hehehe.
Mungkin waktu skin-to-skin
tadi si Eula udah tidur pules dan durasinya juga lumayan lama, jadi makanya dia
sekarang awaken gitu. Karena bingung
mau ngapain dengan posisi Eula melek seger dan waktu udah menunjukkan pukul
21.25 waktu SF, akhirnya Yureka punya ide buat storytelling. Tapi bukan storytelling
hewan atau kisah Disney, melainkan kisah percintaan gue sama Yureka. Lucu sih,
kayak throwback gitu kenanya. Cuma
gue nggak tahu apa yang bakal diceritain Yureka. Pokoknya dengerin aja, entah
gue masih inget atau nggak sama kejadian yang bakalan diceritain Yureka.
“Mending sekarang Mommy ceritain pengalaman Mommy
waktu masih PDKT sama Papa. Mau tahu nggak Eula ceritanya? Nih Mommy ceritain
yaa. Cuma nggak tahu yaa Papa Eugene inget atau nggak. Jadi waktu itu musim
panas tahun…. tahun 2018. Yaa bener, 2018. Cerita ini berkaitan dengan hobi Papa
kamu yang suka banget main basket. Wah, pokonya Papa Eugene ini anak basket
abis. Jadi emang pas banget anak basket merantaunya ke US. It’s like, he supposed to go to the basketball country. Hahaha. Trus
waktu itu…”
--- ---
Yureka. Akhir
musim panas. 2018. New York. Masa lalu.
Sedang asyik menikmati sore yang teduh meskipun
aslinya panas karena musim panas di New York memang tidak pernah santai,
tiba-tiba notifikasi pesan Whatsapp masuk. Dari anak-anak Batik Day pula. Aku
tahu aku sangat mencintai keluarga besar Batik Day tapi tidak dengan sore yang
syahdu ini, ku mohon!
“3 on 3? OMG iyaa besok kan nonton basket anak-anak.
Duh gimana nih? Pasti ada Eugene kan disitu. Gimana nih? Jadi ikut nggak ya?
Hmmm”, ucapku sesaat setelah membuka pesan Whatsapp Group anak-anak Batik Day.
Ya, aku baru ingat besok anak-anak Batik Day yang
laki-laki akan tanding basket 3 on 3 dengan
teman-teman kampusnya Dhimas di salah satu lapangan basket di Bronx. Jauh aja
sih?! Tapi Dhimas mengajak para wanita Batik Day untuk ikut menonton dan
memberi dukungan. Ampun lebay sekali. Kalau di Super Bowl atau Knicks Games
masih masuk akal, tapi kalau cuma nonton 3
on 3 yang sebagian lainnya aku tidak kenal yaa agak malas juga. Tapi yaa
itu tadi, karena ada Eugene yang akan ikut bermain, jadi aku semacam jadi
bersemangat dan antusias ingin menonton. Dasar bucin! Seakan tidak peduli kalau
mainnya jauh sampai Bronx. Jangankan ke Bronx, lapangannya di Alaska pun akan
aku sanggupi.
Tidak sabar mau ketemu Eugene. Hmm, kami sudah tidak
bertemu selama… tiga hari. Haah sungguh berlebihan, Yureka! Ya, terakhir ketemu
di akhir pekan lalu dan itupun saat rapat Batik Day. Jujur, aku jadi semakin kesemsem
sama Eugene. Rapat kemarin entah aku yang telalu pede atau apa, tapi sering
sekali Eugene mencuri pandangannya kepadaku, terutama saat makan bersama
teman-teman Batik Day. Saat sedang rapat pun demikian, meskipun aku dan dirinya
merupakan satu divisi Dekorasi tapi kalau tiap aku yang sedang menjelaskan
perkembangan konsep dekorasi, Eugene pasti melihatnya yang seperti itu. Yaa,
yang seperti itu pokoknya.
Tapi inilah hal yang paling aku benci kalau aku
sedang suka dengan seseorang, aku selalu dibuat kepedean bukan kepalang. Ya,
yang seperti itu, si gebetan melihat ke arah ku dan pasti aku langsung
kepedean, kebaperan. Dan hal itu biasanya terjadi tidak hanya sekali. Jadi, aku
agak sanksi kalau mengatakan “Ih dia juga kayaknya suka sama gue deh”. Cuih.
Bagaimanapun, aku rasa kalau aku sudah pernah
pacaran sebelumnya, aku yakin presentase kebaperanku semacam itu pasti jauh
lebih kecil. Tapi yaa begitulah, mau bagaimana lagi. Anggap saja aku memang
kepedean jadi biarkan saja hal itu terjadi. Toh itu yang bisa membuatku jadi
bahagia. Entah lah, ini pujian atau rasa kasihan.
Hari H pun tiba. 25 Agustus 2018. Meskipun akhir
pekan ini kami tidak ada agenda rapat, tapi tetap saja berkumpul sebelum ke
Bronx-nya tetap di apartemen Kak Anna. Kan sudah aku bilang, apartemen Kak Anna
memang jadi basecamp anak-anak rantau
Indonesia yang rawan kelaparan dan kedinginan plus kesepian di kota sebesar New
York seperti ini.
Tandingnya sih jam 11 siang, tapi karena tahu
sendiri orang Indonesia rata-rata jam karet, jadi janjian kumpul di depan
apartemen Kak Anna jam 9 pagi dan akan berangkat pukul 10 tet.
Pukul 9.10 aku sudah sampai di apartemen Kak Anna,
sudah ada Farida di dalam. Sedangkan para laki-laki belum juga datang. Hingga
pukul 9.25 pun belum ada yang datang. Akhirnya kami cewek-cewek memutuskan
untuk menunggu semua cowok-cowok di tangga depan pintu masuk gedung apartemen
Kak Anna. Pas sekali, saat kami akan keluar pintu, Eugene dan Gilang datang.
Jadi, sambil menunggu Dhimas, Chandra dan Fikri, kami semua menunggu diluar dan
duduk-duduk melihat orang hilir mudik jalan didepan gedung apartemen Kak Anna
yang berada di West 52nd Street nomor 415 di daerah Hell’s Kitchen.
Sembari menunggu, kami disibukkan dengan kegiatan
masing-masing. Gilang yang sedang mendapat telepon entah dengan siapa, lalu Kak
Anna juga Farida yang sibuk foto-foto untuk di unggah ke Instagram dengan tagar
“OOTD” –katanya sih mumpung hari ini outfit
mereka lagi lumayan kece jadi sayang kalau tidak diabadikan– sedangkan aku
duduk di tangga dan sibuk membalas Whatsapp dari teman-teman kampus yang
kebetulan akan berencana piknik bareng besok pagi. Sedangkan Eugene yang ku
lihat sedang melihat sekeliling area sambil mendrible bola basketnya. Lalu
tidak lama menghampiriku dan menegurku. Mampus, aku jadi nervous.
“Sibuk amat, Mba.”
“Eh, iyaa ini besok gue mau piknik sama temen-temen
kampus”
“Oh, tradisi ya sebelum Autumn dateng”
“Emang itu tradisi ya?”
“Ya gatau sih tapi temen-temen gue minggu lalu kayak
gitu. Cuma gue nggak ikut kan karena minggu lalu kita rapat. Tapi bisa dibilang
itu tradisi sih. Menikmati matahari sebelum mataharinya jadi jarang.”
“Bener juga.”
Sial, anak ini tidak pernah gagal membuatku
tersenyum terkesima. Dan hari ini Eugene terlihat sangat kece. Dengan
mengenakan kaos putih tipis agak kebesaran yang dilapisi baju basket bernuansa
putih-biru tua-oranye bernomor 95 dan bertuliskan “Eugene”, membuat Eugene
terlihat berbeda dari biasanya yang rata-rata memakai baju polo berkerah
berwarna putih atau hitam dan celana pendek selama musim panas. Mau dia pakai
kaus kutang pun sepertinya aku tetap kesemsem dengannya. Sempurna!
“Lu beda deh kalo pake baju basket, Jin. Kayaknya
belom pernah gue liat lu pake baju basket kayak gini”, tanyaku pada Eugene yang
memutar bola basketnya dengan sangat lihai.
“Oh ya? Yaa lu belom pernah liat gue main basket
soalnya. Ya begini outfit gue kalau
main basket. Beda ya?”, sahutnya lalu berhenti memutar bola basketnya.
“Iyaa beda banget. Kayak bukan Eugene gitu.”
“Hahaha. Bisa aja, Yureka”
“Eh tapi emang main basket harus kedegean gitu yaa
pake bajunya? Dulu gue pernah tuh nonton basket di kampus trus gue perhatiin
kayaknya emang semua pemain basket bajunya harus serba kegedegan. Ya nggak sih?”
“Sebenernya ada sih yang pake daleman ketat, apa tuh
namanya? Long John ya? Atau apalah
itu, trus baru pake jersey basketnya. Yaa, supaya kenceng aja dan mainnya jadi
enak. Kalau pake yang kayak gini biasanya yang santai, main 3 on 3 kayak nanti gue sama anak-anak
main. Eh tapi nggak semua ya. Style
baju pemain beda-beda soalnya. Yang penting gimana nyamannya aja”
“Hmm gitu. I
see. Btw ini nomor 95 artinya apaan, Jin?”
“Tahun lahir gue, 1995”
“Ohhh. Ya ampun. Gue kira apaan. Yang nama IG lu
juga? Peo_95 itu? Eh iyaa bener kan?”
“Yesss”
“Ada alasan kenapa bangga pake nomor 95 selain
karena tahun kelahiran?”
“Hmm nggak ada sih. Cuma suka aja kalau ngasih tahu
ke orang-orang kalau gue lahir tahun 95. Kalo lu 93 kan?”
“Iyaa, kalo gue 93. Hmm tapi lu nggak takut bakal
dibilang tua gitu kalau ketahuan sama anak-anak ABG dengan melihat angka 95 dan
itu adalah tahun kelahiran lu?”
“Hahahaha yaa nggak lah. Ngapain takut. Lagian gue
nggak suka ABG juga….”
“Oh gitu? Berarti… suka sama… yang lebih… tua gitu
maksudnya?”
“Kind of…”
Shit! Tatapannya langsung tajam mempesona ke arahku
begitu ia menjawab “Kind of” atas
pertanyaanku tadi. Aduh mampus lah aku jadi makin baper dibuatnya.
Masih dibuat terkesima, tiba-tiba Kak Anna merusak
suasana.
“Eh kalian nggak sadar dari tadi ada paparazzi
curi-curi foto kalian?” sahut Kak Anna.
“Wah sialan. Mana sini liat? Bayar royalti lu
harusnya ke gue, Kak” responku bernada agak kesal.
“Waduh. Parah nih Kak Anna. Masukin majalah kampus
gue aja sekalian gimana, Kak? Biar gue sama Yureka berdua terkenal” sahut
Eugene malah ngeledek.
“Yeee, dasar abang-abang Halal Guys. Ngebet banget
terkenal lu. Udah ayo sini gue fotoin lagi. Tapi yang versi sadarnya gitu yaa”
lanjut Kak Anna.
“Versi sadar?” tanya Eugene dengan ekspresi naifnya.
“Iyaa maksudnya yang versi difoto beneran gitu. Ah
Eugene minggu lalu gara-gara salah perhitungan dekor trus gua marahin jadi
geser nih otaknya. Ayo cepet. Begaya lu berdua. Ya, anggap aja outfit before playing basketball. Yaa
gitu pokoknya.” lanjut Kak Anna yang sedikit kesal tapi tetap memainkan
hape-nya untuk memotret aku dan Eugene.
Akhirnya aku dan Eugene dengan senang tapi tidak
senang hati, dipotret oleh Kak Anna dengan kamera hape-nya. Aku hanya khawatir
akan jadi bahan “ciyee ciyee” anak-anak Permias kalau sampai Kak Anna meng-upload ke sosial media. Ah, tapi aku
percaya Kak Anna tidak akan sealay itu.
Aku masih ingat betul gaya foto kami dan posisi
fotonya. Jadi, aku yang tadinya duduknya agak macho di mana kedua kakinya agak
terbuka beralih jadi agak sedikit feminin dengan membujurkan kaki alias
selonjoran. Sedangkan Eugene bergaya yang cool
yang duduk tepat satu tangga dibawahku serta membawa bola basketnya. Aku senyum
memperlihatkan gigi, sedangkan Eugene tidak memperlihatkan gigi. Padahal Eugene
itu anaknya flat alias datar, seperti
display TV di Hypermart. Tapi saat itu, aku bisa melihat kalau senyumnya sangat
lebar di foto itu.
Entah mengapa aku bersyukur aku bisa memiliki foto
bersama gebetan tampan seperti ini. Maksudnya, aku merasa ini bisa menjadi cara
pendekatan yang paling tepat sekaligus berkesan, bila dibanding dulu-dulu
dengan mantan gebetanku yang lain. Jangankan foto berdua, foto bersama dengan
teman-teman lainnya pun rasanya sangat aneh karena aku hanya khawatir semua
orang akan tahu kalau aku suka dengan salah satu laki-laki yang ada di dalam
foto itu. Ya, begitulah nasib seseorang dengan nasib percintaan sepertiku.
Tunggu, kenapa aku jadi curhat dadakan seperti ini?
Setelah melihat hasil fotonya, aku dan Eugene hanya
bisa tertawa, juga makin terbahak-bahak ketika melihat foto-foto candid sebelumnya. Lalu tertawa kami
terhenti saat Dhimas dan Fikri yang akhirnya datang ke meeting point kami itu.
“Nah ini akhirnya dateng juga. Yuk, buruan
berangkat. Udah jam 10 kurang nih” sahut Farida sambil melihat jam tangannya.
“Kok Chandra nggak sama kalian?” tanya Dhimas.
“Nah itu dia, tadi gue udah telpon nggak diangkat.
Tapi barusan dia Whatsapp katanya dia kesiangan trus nanti bakalan nyusul ke
Bronx” jawab Kak Anna.
“Aduh perkara emang tuh anak”, tambah Dhimas.
“Emang Kak Chandra tahu tempatnya?” tanya Fikri.
“Entar gue shareloc lah. Selow. Yaudah yuk jalan”
ajak Kak Anna menggiring kami menuju lokasi lapangan basket yang telah
direncanakan.
Sepanjang perjalanan, jujur aku makin degdegan. Tapi
seperti tidak tahu apa penyebabnya. Apa mungkin karena sebentar lagi aku akan
melihat secara live bagaimana Eugene
main basket? Karena aku sama sekali belum pernah melihat Eugene main basket,
dan katanya Eugene termasuk jago juga main basketnya, jadi semacam takut
terlihat terlalu happy saat nanti
melihat Eugene tanding dan mencetak skor.
Sampai di Bronx, di lapangan basket St. James Park,
akhirnya kami bertemu dengan teman-teman Dhimas yang sebagian besar sudah
menunggu di lapangan. Ternyata meskipun hanya menonton 3 on 3 saja, banyak juga teman-temannya temannya si Dhimas yang
ikut menonton dan memberi dukungan. Orang bule memang totalitas!
Oh ya pertandingan ini hanya pertandingan iseng
saja. Tidak ada piala yang akan diperebutkan. Sebenarnya tanding ini sudah
pernah dilakukan oleh Dhimas sebelumnya tapi jauh sebelum mengenal anak-anak
Batik Day. Tapi ketika tahu kalau Chandra, Gilang, dan Eugene juga main basket,
akhirnya basket-mate nya Dhimas jadi
bertambah. Akhirnya mereka jadi dikenalkan ke lingkungan main basketnya Dhimas.
Btw, kalau Fikri tidak ikut main karena dia anak bola, bukan anak basket. Dia
bilang dia bisa sih main, tapi tidak mahir, jadi lebih baik duduk sama ikut
menjadi supporter.
Pertandingan pun dimulai. Benar-benar menakjubkan.
Tidak disangka Eugene jauh lebih ganteng saat main basket. Ya, aslinya saja
memang sudah ganteng, ditambah main basket jadi double-triple gantengnya. Yaa siapa yang akan tahan melihat orang
tampan berkeringat dan mendrible bola basket seperti itu. Aku ikutan
berkeringat jadinya. Iyaa, berkeringat karena detak jantung rasanya berdetak
makin kencang dari biasanya.
Pertandingan 3
on 3 pun akhirnya selesai. Sayangnya, tim Indonesia kalah dari tim Amerika.
Yah, terang saja, badannya orang Amerika jauh lebih besar dari Dhimas, Gilang,
dan Eugene, meskipun Gilang yang paling tinggi diantara laki-laki Batik Day
lainnya sih. Tidak bisa dipungkiri kalau meskipun ada satu pemain dari tim
Amerika yang lebih tinggi dari Gilang, tetap saja karena memang aslinya orang
Amerika banyak yang jago main basket. Bisa dibilang Amerika itu “The Land of Basketball” menurutku. Oh
ya, karena Chandra terlambat 20 menit, jadi akhirnya ia hanya jadi pemain
cadangan saja, dan di babak kedua ia menggantikan Gilang dan Gilang juga sempat
masuk lagi untuk menggantikan Eugene yang kelelahan.
Meskipun kalah, yang penting kata Dhimas
pertandingan ini bisa jadi bentuk kerjasama yang baik antara Indonesia dan
Amerika, secara tersirat. Terlebih olahraga memang membuat lebih sehat dan
bugar. Dan mereka pun memutuskan akan mengadakannya lagi secara rutin meskipun
hanya satu bulan sekali.
Tepat pukul 13.30 setelah lelah tanding dan asyik
ngobrol dengan semua personil, kami para anggota Batik Day pamit pulang ke
daratan Manhattan. Tapi sebelum menuju stasiun subway terdekat, kami mampir
dulu ke kedai kebab untuk makan sekalian santai sejenak.
Kebetulan aku berdiri persis disamping Eugene. Bukan
apa-apa tapi kami sambil membahas sedikit dan banyak soal perkembangan konsep
serta ide-ide lain untuk menambah konsep Batik Day yang terhitung satu bulan
satu minggu lagi. Tapi yang aku rasakan entah mengapa mulai nyaman berada di
dekatnya. Jarak kami saat ngobrol pun cukup dekat. Padahal biasanya aku deg-degan
tidak karuan, tapi kali ini aku merasa nyaman. Andai saja hal seperti ini akan
aku rasakan setiap hari sepanjang sisa hidupku. Ya, meskipun aku selalu
berusaha untuk tetap terbangun dan tersadar kalau hubunganku dengan Eugene
tidak lebih dari teman, juga dari sisiku dia tidak lebih dari sekadar gebetan.
Palingan juga ending-nya seperti
gebetan-gebetanku terdahulu. Tapi kalau boleh jujur, tiap kali menatap matanya
atau sekadar melihat wajahnya dari kejauhan, aku selalu menyisipkan doa kepada
Tuhan, “Ya Allah, semoga Eugene adalah jawaban dari segala doa dan usahaku
selama ini”.
Doaku tersebut agaknya didengar Tuhan. Ya, jelas
Tuhan kan tidak pernah tidur, Ia selalu mendengar apa yang kita panjatkan pada-Nya.
Meskipun tidak ujug-ujug Eugene jadi pacarku, tapi dua hari kemudian, Eugene
mengirim pesan Whatsapp. Awalnya hanya berisi “Yur, Sabtu ini free nggak? Kan gue tahu lu orangnya organize banget nih, makanya gue tanya
dulu hehehe”. Sumpah, hari yang biasanya biasa saja, jadi lebih spesial. Aku
pun membalas “Kebetulan sih nggak ada agenda. Kalo minggu kan ada karena rapat
lanjutan, jadi Sabtunya gue free kok.
Kenapa emang, Jin?”. Padahal aku ada janji dengan diriku sendiri untuk
jalan-jalan ke New Jersey sendirian karena sudah lama aku tidak ada waktu me-time jalan-jalan kota. Tapi ya karena
Eugene, janji dengan diri sendiri itu terpaksa dibatalkan. Dasar bucin!
Ternyata benar dugaanku, Eugene mengajakku keluar.
Tapi bukan jalan-jalan atau apa, melainkan mengajakku nonton dia main basket.
Sabtu ini, teman-teman kampusnya mengajaknya bermain basket di taman Marthin
Luther King’s Park. Ya, katanya hanya kumpul-kumpul biasa dan sebenarnya main
basket ini sudah menjadi suatu rutinitas mingguan bersama mahasiswa fakultas
Urban Planning Columbia. Tapi karena dua bulan terakhir disibukkan dengan Batik
Day, Eugene jadi sering absen. Kok, dia tidak pernah memberitahuku kalau dia
juga join club basket kampus ya? Eh
ya lagian aku siapanya dia juga sih? Hmm, tapi berarti yang kemarin dengan
Dhimas itu benar-benar pertama kalinya aku melihat dia main basket?
Tidak sampai disitu, ternyata chattingan ajakan itu
berlanjut ke chattingan lainnya. Hampir sekitar 2 jam kami chattingan tiada
henti, membicarakan banyak hal, mulai dari hal serius sampai lawakan-lawakan
receh. Ternyata Eugene tidak sekaku yang aku bayangkan. Ternyata dia bisa juga
bercanda seperti manusia normal lainnya.
$$$
Sabtu, 2 September 2018, sesuai janjiku beberapa
hari sebelumnya, aku menemani Eugene main basket hari ini, kami pun menentukan
Stasiun 110 Street Station Central Park North sebagai titik bertemu. Maklum,
daerah apartemenku dengan asrama Eugene saling berjauhan, jadi karena kami akan
ke lapangan basket Marthin Luther King, Jr. Park, jadi kami ambil Central Park
sebagai titik tengahnya. Tapi ada yang tidak beres. Saat aku melihat Eugene
dari kejauhan sebelum saling bertemu di depan stasiun, aku melihat wajah Eugene
begitu sangat pucat. Sepertinya kondisi badannya sedang tidak baik.
“Lu lagi sakit, Jin?”
“Nggak. Cuma semalem abis begadang ngerjain tugas
gitu. Biasa lah deadline. Gue juga
sih yang dari kemaren nunda-nunda. Jadi begadang deh. Tapi gapapa kok, semalem udah
lumayan cukup tidurnya”
“Yakin? Kalo nggak fit, nggak usah dipaksa main,
Jin. Nanti malah kenapa-napa.”
“Nggak, gue nggak papa kok. Nggak enak juga kan udah
janji sama temen-temen. Udah lama absen juga.”
“Oke deh kalo gitu. Hmm tapi kalau kenapa-napa
bilang ke gue ya”
“Sip”
Meskipun dalam keadaan kurang fit, tapi dia masih
bisa senyum selebar itu. Argggh, curang. Kenapa sih Tuhan menciptakan makhluk
sebegitu gantengnya seperti dia? Sebel. Bagaimanapun, aku prihatin melihat
kondisi Eugene yang seperti demikian. Semoga tidak terjadi apa-apa padanya saat
main nanti.
Sampai di lapangan, Eugene sempat memperkenalkanku
kepada teman-teman kampusnya. Ya, meskipun hanya dikenalkan sebagai teman, tapi
tidak apalah, paling tidak aku jadi mengenal teman-teman kampusnya yang
sepertinya sudah cukup akrab dengannya. Semoga lain waktu aku dikenalkan lagi
sebagai… hmmm… pacarnya. Hehehe. Sudah mulai terbawa suasana rupanya aku.
Pokoknya, yang penting Eugene tidak kenapa-kenapa hari ini. Aku benar-benar
khawatir.
Lalu aku duduk di pinggir lapangan. Disana ada
sekitar lima teman perempuan Eugene juga yang juga sama-sama dari departemen
pascasarjana Urban Planning Columbia University. Kebanyakan dari mereka
ternyata imigran alias mahasiswa internasional. Luar biasa memang Amerika,
selalu berhasil menarik orang asing baru datang ke negaranya.
Sebelum permainan dimulai, aku tidak menyangka,
kalau Eugene sempat melihat ke arah ku dan memandangku cukup lama. Aku sempat
salah tingkah. Tapi seperti biasa, aku tidak mau terlihat kepedean di depan
gebetanku sendiri. Jadi, aku buru-buru berpikir kalau mungkin ada salah satu
dari lima teman-teman wanitanya disitu yang sedang Eugene sukai, makanya dia
menoleh ke arah bangku penonton. Tapi ku lihat mereka berlima sedang sibuk
membuka smartphone atau asyik
mengobrol satu sama lain. Jadi mungkin memang benar, senyum itu memang
dilayangkan kepadaku.
Tidak ada hal lain yang kulakukan selain melempar
senyum balik pada Eugene. Semoga senyumnya tadi bukan salah alamat, begitupun
denganku. Tapi bodohnya, aku secara reflect
melambaikan tangan kananku sambil mengepalkan tangan tersebut sambil berbicara
kecil “Hwaiting!”. Eugene pun
merespon baik yang sedang mendrible bola dengan tangan kanan lalu mengacungkan
jempol kirinya dan tersenyum lebar ke arahku. Astaga aku makin meleleh, Ya
Tuhan! Meskipun sedang pucat seperti itu, ia masih bisa menampakkan aura
kegantengannya yang paling maksimal! God
bless him!
Pertandingan pun dimulai. Aku masih khawatir dengan
Eugene dan kondisi kesehatannya. Menit-menit pertama, Eugene masih terlihat
baik-baik saja, hingga sebelum pertandingan babak pertama usai, Eugene yang
terlihat sedang melakukan pertahanan, terdorong oleh lawan mainnya saat akan
dihadang sehingga membuatnya jatuh. Dari bangku penonton, aku sontak berdiri
dan berteriak kecil karena shock
melihat adegan itu. Tapi untungnya Eugene bisa berdiri lagi dan melanjutkan
pertandingan. Suasana pun sempat canggung diantaraku dan lima teman Eugene yang
sedang menonton di barisan bangku penonton itu.
Hingga suatu hal tidak menyenangkan benar-benar
terjadi pada Eugene. Benar apa kata firasatku, terlebih sejak awal aku memang
khawatir dengan kondisinya yang sedang tidak baik. Jadi, saat istirahat
pergantian babak pertama ke babak kedua, Eugene yang sedang minum tapi sambil
berdiri membelakangi ring basket, tiba-tiba bola basket yang sedang dipakai
latihan oleh salah satu temannya melayang dengan indah ke arah Eugene dan
seketika itu juga membentur tepat di kepala Eugene. Tidak ada sedetik, Eugene
langsung tersungkur jatuh dan tidak sadarkan diri.
Entah bersyukur atau tidak, tapi aku tidak
melihatnya secara langsung tentang kejadian itu. Aku baru tahu saat kembali ke
lapangan sesaat setelah membeli camilan dan air putih tambahan di supermarket
sebrang lapangan. Ketika kembali dari supermarket, aku langsung melihat semua
orang mengerubungi sesuatu yang ada di pinggir lapangan. Ternyata itu bukan
sesuatu, melainkan seseorang, dan seseorang itu adalah si gebetan tampan;
Eugene! Otomatis aku langsung mendatangi Eugene yang masih tidak sadarkan diri
itu.
“Oh my God!
What’s happening? What’s going on with him?” tanyaku panik pada teman-teman
Eugene.
“I wanted to
throw the ball to the ring. But accidentaly I threw it towards him. I am so
sorry. I really didn’t mean to do that” jawab teman Eugene si pelaku
pelempar bola yang diketahui bernama Barry itu.
“What should
we do now?” tanyaku masih panik.
“Don’t worry.
Somebody already called 911 and the ambulance should be here any minute”
lanjut Barry.
“Alright.
Thank you. Oh my goodness. Jin. Bangun, Jin” lanjutku sambil membangunkan
Eugene dari pingsannya.
Akhirnya Eugene dilarikan ke rumah sakit terdekat
dengan ambulan yang datang 2 menit setelahnya. Aku juga ikut naik ke ambulan
itu. Sedangkan semua teman Eugene menggunakan taksi untuk menyusul kami ke
rumah sakit. Di dalam ambulan sepanjang jalan menuju rumah sakit, petugas
memberikan pertolongan pertama dengan sangat baik, yang akhirnya membuat Eugene
sadar beberapa menit setelahnya. Tapi Eugene tetap harus dilarikan ke rumah
sakit untuk pemeriksaan kesehatan lebih lanjut.
“Alhamdulillah! Jin! Jin, lu udah sadar? Ini berapa
coba? Lu masih inget gue siapa kan? Lu nggak gagar otak kan, Jin?” tanyaku pada
Eugene dengan nada masih panik.
“Ini gue dimana, Yur?” tanya Eugene kebingungan.
“Alhamdulillah lu masih inget nama gue. Lu ada di
ambulan. Lu tadi pingsan kena bola”
“Hah? Serius? Trus?”
“Ya trus lu pingsan lah, Bambang! Secara lu tadi
udah pucet banget. Pas tanding lu kedorong dikit aja oleng. Tuh, kan udah gue
bilang, nggak usah ikut main. Jadi gini deh jadinya”
“Yaa, sorry deh jadi ngerepotin. Next time nggak gue paksain lagi deh.
Janji”
Sampai di rumah sakit New York Central Hospital,
Eugene ditempatkan di salah satu kamar VIP. Ya, ini permintaan dirinya sendiri
untuk ditempatkan di kamar VIP. Dasar anak tajir. Eugene juga tidak
diperbolehkan ditengok pengunjung selama beberapa jam karena menurut suster
yang bertugas ia harus bedrest
terlebih dahulu karena dehidrasinya cukup parah dan tekanan darahnya sangat
rendah. Ia juga disarankan untuk opname minimal semalam agar ia bisa pulih
dengan cepat.
Akhirnya semua teman Eugene yang saat itu sudah
membantu mengantarnya ke rumah sakit, pamit pulang, dan akan menjenguknya
keesokan harinya. Jadinya, hanya ada aku yang menemani Eugene di rumah sakit.
Agar tidak sendirian amat, aku memberi tahu semua anak Batik Day tentang
kejadian ini. Karena memang Eugene harus bedrest,
akhirnya ku suruh anak-anak Batik Day datang ke rumah sakit esok harinya. Dan
berhubung di New York si Eugene juga tinggal sendiri tapi harus ada yang
menunggunya di RS, akhirnya aku menyuruh Dhimas untuk gantian menjaga Eugene di
rumah sakit malam ini. Lagipula supaya tidak awkward juga, masa harus aku juga yang jaga semalaman. Aku pacarnya
saja bukan, eh belum maksudnya. Yureka, fokus! Intinya, aku takut aku yang
malah keenakan bertemu anak ganteng ini semalaman. Jadi biar fair saja ada orang terdekat Eugene
lainnya yang ikut menjaganya di RS.
Keesokan harinya sekitar pukul 11, selain aku dan
Dhimas, semua anak Batik Day datang untuk menjenguk Eugene. Bukannya menjaga
kelakuan karena ada teman yang sakit, kami berdelapan malah asyik membicarakan
Batik Day. Mulai dari membicarakan perkembangan humas sampai persiapan
penyewaan properti dan lain sebagainya. Tapi setelah tiga puluh menit asyik
membicarakan persiapan acara, beberapa menit kemudian, Gilang dan Farida ijin
keluar untuk beli makan karena mereka belum makan dari pagi katanya. Sementara
Kak Anna dan Dhimas sedang membicarakan sesuatu, dan Chandra dan Fikri yang
sibuk membuka smartphone mereka. Lalu
suasana jadi hening. Aku yang akhirnya mengajak Eugene bicara.
“Pada sibuk amat yaa”, ujarku sambil memangku tangan
di atas kasur rawat Eugene.
“Yureka…”, Eugene sebut namanya dengan nada lembut.
“Ya? Kenapa, Jin? Lu mau sesuatu? Mau gue ambilin
minum?”
“Hmmm. Boleh deh”
“Here we go”
“Thank you”
“No problem”
“Hmm, no. I
really thank you”
“Ngomong apa sih lu?”
“Wait, listen….
Makasih banget yaa udah ngerawat gue disini.”
“Yang ngerawat lu suster sama dokter di rumah sakit
ini kali. Masa makasihnya sama gue?”
“Bukan, maksudnya selain suster sama dokter. Lu kan
yang dari tadi bantuin gue ambilin ini itu. Malah dari kemaren udah repot ampe
bawa gue ke rumah sakit. Makasih banget yaa”
“Ya, santai. Namanya juga bantuin orang sakit.
Santai aja lah”
“Tapi… lu kok care
banget sih sama gue, Yur?”
“Maksudnya?...”
“Lu yang ingetin gue kemaren untuk nggak ikut main
karena lu ngeh banget kalo gue emang lagi nggak fit kondisinya. Ya meskipun gue
ngeyel dan akhirnya tetep ikutan main. Tapi lu care banget, Yur…”
Seandainya ini saat yang tepat untuk menyatakan
perasaaanku yang sebenarnya, akan aku lakukan. Tapi masa iya di depan
teman-teman begini, plus di rumah sakit dan ada yang lagi sakit, apalagi yang
lagi sakit ini adalah objeknya. Tapi sepertinya memang mustahil juga aku bisa
jadian sama Eugene. Ya, ampun dia terlalu sempurna untuk perempuan yang tidak
ada apa-apanya sepertiku.
“Bukannya harus begitu ya. Kan sebagai temen harus
saling bantu.”
“Hmm… oke.”
Entah mengapa suasana mendadak hening. Canggung.
Masa karena aku tidak sengaja mengatakan “sebagai teman” ke Eugene, situasi
seketika menjadi canggung luar biasa seperti ini? Kalau memang tidak saling
baper, harusnya tidak ada masalah. Bukan begitu? Jadi, apa benar Eugene suka
padaku? Dan percakapan barusan adalah harapan Eugene untuk lebih membicarakan
hal yang lebih intim lagi di antara kami berdua, seperti membahas yang lain.
Atau jangan-jangan Eugene mau menembakku? Nah, Yureka mulai!
Karena cangungg, aku pamit ke luar dengan alasan mau
menelpon teman untuk urusan kuliah. Padahal aku lari mencari toilet dan mau
menangis sejadi-jadinya, meskipun di kamar rawatnya Eugene ada toilet. Tapi
entah mengapa rasanya aku ingin menangis, menyalahkan diriku atas percakapan
barusan. Bodohnya kamu, Yureka! Kamu telah menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Sampai di toilet, aku langsung menutup pintu dan
mengunci rapat salah satu biliknya. Kemudian air mata langsung turun dengan
sangat derasnya.
“Sumpah demi apapun, bego banget gue. Kenapa musti
bilang kalau ada kata teman disitu sih, Yureka? Kan bisa aja gue yang mulai
duluan buat ngomongin hal yang lebih serius ke Eugene. Masa bodoh dengan konsep
cowok yang nembak duluan. Harusnya gue bisa ngomong lebih menjurus lagi tadi. Shit!”
Begitulah percakapan dengan diri sendiri yang aku
lakukan sembari duduk di kloset duduk. Kemudian aku buka isi chat-ku dengan Eugene seminggu terakhir.
Ya, kami akhir-akhir ini asyik chattingan sampai lupa kalau kami ini hanyalah
anggota Batik Day yang satu divisi untuk mengadakan acara bersama bulan depan.
Tapi isi chat kami berdua sudah sangat bisa dibilang
seperti pasangan yang sedang dimabuk asmara. Sesekali juga Eugene mengirim emoji-emoji
yang terkesan romantis, seperti wajah yang ada gambar hati di kedua bola
matanya atau sesekali menyelipkan tanda hati berwarna biru atau kuning. Ya, itu
yang membuatku semakin yakin kalau kami ada apa-apa di luar Batik Day. Tapi
sampai sekarang tidak ada pertanda Eugene akan menyatakan perasaannya kepadaku.
Aku pun belum ada nyali yang cukup untuk menyatakan perasaanku duluan.
Hal-hal yang seperti itu yang membuat nasib
percintaanku selalu pada level yang sama, tidak pernah naik, selalu stagnan.
Saking senangnya chatting-an dengan Eugene tersebut, aku bahkan membuat Whatsapp Story yang berisikan kalimat
“Basketball dan Kamu” supaya bisa meluapkan rasa bahagiaku. Tapi story itu aku
sembunyikan alias aku hide dari semua
kontak anak Batik Day plus anak-anak Permias New York, supaya tidak terlihat kalau
hari di mana pertama kalinya aku melihat
Eugene main basket itu merupakan momen yang paling indah diantara semua momenku
bersama Eugene. Terlebih foto berdua yang diambil oleh kamera Kak Anna sesaat
sebelum kami ke Bronx yang membuatku semakin melayang ke angkasa. Senang bukan
kepalang.
Andai kamu tahu ini, Eugene. Andai kamu tahu kalo
perkara pergebetan ini selalu membuatku sakit kepala, cenut-cenut tiada tara.
Dan semua perkara ini sudah sangat menjemukkan buatku dan ingin sekali
mengakhirinya dengan sesuatu yang indah. Andai kamu tahu ini, Eugene.
--- ---
“Jadi gitu ceritanya, Eula. Kamu kalau udah gede,
semoga ada yang naksir kamu yaa. Biar kamu pacaran seperti anak-anak ABG pada
umumnya. Yaa minimal kalau kamu suka sama cowok nanti, kamu nggak akan
berkali-kali unrequited love kayak
Mommy dulu. Eh tapi kalau punya pacar, pacarannya yang sewajarnya aja yaa.
Jangan bandel pokoknya”, ucap Yureka mengakhiri ceritanya sambil mencoba
berkomunikasi dengan baby Eula.
“Tapi jangan khawatir, Eula, kan ending-nya Mommy Yureka jadian juga sama
Papa Eugene. Makanya sampe ada kamu disini”, lanjut gue menghibur Yureka.
“Eh, Yang. Kamu dulu kenapa sih udah tahu suka sama
aku, tapi nembaknya lama amat. Sampe segala curhat dan minta tolong ke Kak Anna
pula”, tanya Yureka protes.
“Yaa maaf. Kamu tahu sendiri aku anaknya pemalu
banget. Shy guy. Lagian, aku cuma mau
meyakinkan diri sendiri apakah kamu adalah orang yang tepat atau tidak. Makanya
sampe tanya banyak ke Kak Anna. Ternyata Kak Anna pernah dicurhatin kamu dan
emang kamu jomblo waktu itu, yaudah aku sikat aja”
“Tetep aja itungannya kita jadiannya lama”
“Yang penting kan jadian. Dan kesabaran kamu emang
ada hasilnya, ya kan?”
“Iyaa sih. Makasih yaa”
“Eh, baby Eula, mau tahu juga nggak kronologi Papa
nembak Mommy?”
“Ceritain deh sekalian. Belom tidur juga lagian nih
bayi”
“Oke jadi gini ceritanya…”
Dan malam itu pun dihiasi cerita kilas balik antara
gue dan Yureka jaman PDKT dan jadian dulu. Somehow,
setelah mengakhiri cerita dengan mengatakan kalimat “Patung Liberty jadi saksi
deh Mommy sama Papa jadian”, eh si Eula ketiduran. Wah, emang harus nunggu happy ending yaa baru bisa tidur nih
anak. Hahaha. Gapapa deh, gue sama Yureka seneng kok bisa ceritain cerita kita
ke anak sendiri, meskipun masih bayi 3 bulan. Bener kata Yureka, mudah-mudahan
kalau Eula udah gede, love story-nya
nggak kalah seru kayak bapak-ibunya.
“Eh pucuk dicinta ulam tiba. Kak Anna whatsapp nih”,
ucap Yureka yang sesekali mengecek hape-nya
“Di group?”, tanya gue penasaran.
“Bukan, pc biasa. Katanya <<mana katanya mau
ke New York. Udah lahiran kan? Sini reunian. Gilang mau kesini loh awal Januari
sampe Maret. Nyesel loh nggak pada kumpul>>. Eh, serius Gilang mau ke US?
Ngapain dia?”
“Eh boleh tuh, Yang. Kita reunian. Seru bakalan tuh
yaa”
“Tapi kan bakalan nggak lengkap, Yang. Si Farida di
Jakarta.”
“Iyaa sih. Tapi kan cuma Farida aja. Bisa video call
lah. Yang penting hampir semua kumpul. Asyik loh. Yuk, aku pesenin tiket nih
sekarang”
“Hmmmm. Tapi Eula diajak kan?”
“Yaiyalah. Masa dititipin ke Jamie”
“Nggak usah bawa-bawa Jamie, please”
“Oke sorry. Berangkat nggak nih?”
“Hmmm. Boleh deh.”
“Yesss. Batik Day, New York here we come!”
[BERSAMBUNG]
Comments
Post a Comment