DOUBLE YU SEASON 1 - Episode 1 : "Berawal dari Penang"
![]() |
Yureka.
New York. Masa Depan.
Bulan Juli. Musim panas 2018. Pukul 16.54 / 4.54 PM EDT.
Bulan ini, tepat 1 tahun aku tinggal di New
York. Ya, aku ingat sekali bagaimana New York menyambutku kala pertama aku
menapakkan kaki di Bandara John F. Kennedy; PANAS! Kala itu aku ingat betul
kalau temperaturnya sampai 31 derajat. Ya, sebenarnya sama saja dengan
Jakarta, kota di mana aku dilahirkan, hanya
saja bedanya matahari Jakarta tidak semenyengat New York. Entah mengapa. Silau
sekali. Apalagi di musim panas. Ya, matahari hanya ada satu dan harusnya
rasanya sama saja, tapi entah mengapa matahari New York sempat membuat kulit ku
pecah-pecah dan terlihat lebih kusam. Tapi tidak apa lah, toh aku sudah cinta
mati dengan kota ini sejak aku berusia 5 tahun. Sehingga permasalahan soal
silaunya matahari musim panas tidak cukup dewasa untuk dikeluhkan.
Hari ini hari Sabtu. Kebetulan, aku ingin
santai dari rutinitas kampus. Selama musim panas, kegiatan di kampus memang
berkurang karena semua orang menikmati hak libur musim panas mereka untuk pergi
kemanapun mereka mau. Tapi tidak denganku, khususnya tahun ini, karena aku
sudah masuk semester akhir jadi sudah waktunya harus mondar-mandir sana-sini
untuk menyiapkan topik tugas akhirku. Berhubung minggu ini sudah banyak waktuku
habiskan dengan menemui profesor di kampus dan juga di luar kampus, jadi tidak
salah kan kalau aku mendapatkan 5 menit saja untuk bersantai?
Tapi tunggu, sepertinya aku melupakan
sesuatu. Sepertinya aku punya satu agenda penting hari ini.
Baru saja ingin memikirkan kejadian penting
apa yang akan terjadi hari ini, sebuah nada notifikasi pertanda pesan WhatsApp masuk
pun berbunyi. Tidak hanya satu kali, tapi sampai lima kali berbunyi. Hmm,
berarti ini penting.
Ketika ku buka WhatsApp, ternyata
itu dari grup “Batik Day 2018 Team”. Pesan mereka berbunyi:
Arianna: “Kawan-kawan jangan lupa nanti jam 6 sore
kumpul. Yang punya makanan jangan lupa dibawa. Paham kan lo semua?”
Empat pesan lainnya berbunyi
Fikri : “Tempatnya dimana guys? Gue lupa”
Farida: “Ya ampun kan udah dikasih tahu fik, di
apartemennya Kak Anna. Gimana sih?”
Fikri : “Lah katanya mau di McDonald’s aja biar
sekalian makan-makan? Bosen guys di rumah mulu rapatnya”
Eugene : “Tanggal tua. Di rumah aja Kak Anna aja
udah bener lah”
Arianna : “Lu apa sih
yang gak tanggal tua, jin? Ini masih tanggal 15 woiii”
Eugene : “Oh
iya ya? Yaa kan hemat kak”
Terkadang aku ingin tertawa sendiri melihat
tingkah laku mereka kalau sudah melempar candaan di grup WhatsApp.
Ada-ada saja yang dibahas, mulai dari yang sangat serius, sangat penting,
bahkan yang tidak penting sekalipun, semua kami bahas. Bagaimanapun aku merasa
nyaman dan bersyukur masih berada ditengah-tengah keseruan mereka. Maklum lah,
sebagai imigran dari negeri jauh, aku juga butuh lelucon segar yang dibuat
langsung dari bahasa ibu yang sudah ku kenal sejak masih dalam perut ibu.
Jadi begini, sebenarnya aku dan teman-teman
grup tersebut merupakan panitia acara “Batik Day 2018” yang mewakili
mahasiswa-mahasiswi PERMIAS New York City. Ide membuat acara ini sebenarnya berasal dari salah
satu pegawai Konsulat Jenderal
Republik Indonesia New York, Ibu Mirna, yang ingin mengadakan
kegiatan apapun yang berhubungan dengan Hari Batik Nasional juga
Internasional yang jatuh pada tanggal 2 Oktober
mendatang.
Sebenarnya sudah pernah ada acara sejenisnya
di tahun-tahun sebelumnya, hanya saja dahulu dibuat terlalu sederhana dan
target penonton dari kalangan warga sipil pun tidak terpenuhi. Terlebih panitianya dari pengurus PERMIAS itu
sendiri. Dan di tahun-tahun sebelumnya juga jadwalnya selalu bentrok dengan
acara mereka lainnya seperti Hari Sumpah Pemuda dan agenda tahunan yang
lainnya. Maka
dari itu, Ibu Mirna dan pegawai pegawai KJRI lainnya berinisiatif untuk merekrut mahasiswa Indonesia untuk mengatur acara
ini. Akhirnya, terpilihlah delapan mahasiswa tanpa dosa yang tergabung dalam
sebuah tim panitia untuk
acara seminar
tertutup dan pameran busana terbuka yang
semuanya acaranya berhubungan dengan batik.
Target penonton pun akan
ditingkatkan dan jangkauannya lebih luas lagi, di mana warga lokal
diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam acara ini.
Lalu PERMIAS NYC itu apa? Dari tadi aku sebutkan tapi
tidak dijelaskan apa kepanjangannya.
Jadi begini, PERMIAS NYC itu merupakan kependekkan
dari “Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat” cabang New York City. Kami adalah komunitas mahasiswa-mahasiswi
asal Indonesia yang sedang mengenyam pendidikan, baik Sarjana, Magister,
ataupun Doktoral di Amerika Serikat. Memang tidak semua mahasiswa Indonesia
bergabung menjadi pengurus komunitas ini, tapi ku pikir semua mahasiswa
Indonesia di Amerika Serikat otomatis menjadi anggotanya. Termasuk diriku dan tujuh teman ku lainnya
tersebut. Salah satu dari kami adalah pengurus inti PERMIAS NYC, namun sisanya
hanya anggota.
Bagiku, tetap terhubung dengan orang-orang Indonesia di luar
negeri adalah hal yang paling utama. Alasannya? Sederhana saja.
Aku hanya tidak ingin melupakan bahasa ibuku, Bahasa Indonesia. Aku pun tidak
ingin lupa siapa identitasku atau darimana aku berasal. Maka dari itu,
berkumpul dengan orang-orang Indonesia adalah upayaku agar terus bisa ingat
siapa diriku, apa warna kulitku, apa warna asli rambut dari negaraku, dan apa
warna bendera negaraku. Agar setelah ‘berperang di medan perang’ usai alias
setelah lulus kuliah nanti, aku tetap ingat rumah dan kembali ke tanah air.
Atau sekalipun aku akan berkelana kembali,
dimanapun aku berada, aku tidak akan melupakan tanah air tercinta, Indonesia.
Selama menjadi anggota PERMIAS satu tahun
belakangan ini, aku seperti tidak berada di New York. Ya, tentu karena hampir
setiap akhir pekan aku bertemu dan berdiskusi banyak dengan teman-teman
mahasiswa Indonesia lainnya. Ada banyak pula acara-acara yang diadakan PERMIAS
yang berkolaborasi dengan KJRI. Seperti seminar, buka puasa bersama saat bulan
Ramadhan, bahkan hanya sekadar diskusi sederhana atau makan malam bersama.
Rasanya benar-benar lupa kalau aku sedang berada di New York.
Oh ya, aku sampai lupa memberi tahu siapa diriku.
Jadi, nama lengkapku Yureka Bhanuresmi
Cendekia. Sapa saja aku Yureka, atau singkatnya Rere juga boleh. Tapi
sebenarnya aku lebih suka dipanggil Yureka sih. Sedangkan di rumah aku dipanggil Kia oleh semua
anggota keluargaku. Tapi di kampus orang-orang selalu memanggilku dengan
sebutan “Yure” atau kadang-kadang “Yur Sayur” sebagai bahan bercanda
teman-teman Indonesia ku selama di New York. Ya, baiklah aku tidak akan
meneruskan soal namaku atau akan menjelaskan arti dari namaku. Aku yakin itu
akan menghabiskan waktu saja. Mungkin di lain waktu.
Saat ini aku tercatat sebagai mahasiswi sekolah Pascasarjana Tisch
School of Art untuk jurusan penulisan drama di New York University. Ini
merupakan tahun keduaku tinggal di New York sekaligus tahun ajaran terakhir mengenyam
pendidikan S2 di NYU. Senang sekali akhirnya aku sudah memasuki tahap tugas
akhir, tapi pastinya ada banyak hal yang akan sangat aku rindukan dari kota
terbesar di dunia ini, mulai dari mahalnya biaya sewa apartemen, sulitnya
mencari orang yang mau berbagi uang sewa apartemen, bertemu banyak imigran dari
berbagai macam ras dan budaya, bahkan hanya sekadar mengantre makan es krim di pinggiran jalan
dekat Times Square.
Kembali soal grup WhatsApp,
ternyata benar, aku hampir lupa kalau malam ini akan ada agenda rapat yang
ketiga untuk membahas perkembangan susuan acara yang akan berlangsung selama sepekan pertama di
bulan Oktober mendatang.
Jadi, siapa penggagas acara ini?
Hmm, pasti bukan aku. Memangnya aku siapa?
Jadi sebenarnya KJRI New York, khususnya Ibu Mirna yang sudah aku sebutkan
tadi, beliau lah
yang menggagas acara
ini. Tahun-tahun sebelumnya, Hari Batik Nasional tidak dirayakan secara
besar atau khusus. Kami, para mahasiswa, para pegawai dan juga diaspora
Indonesia hanya diwajibkan menggunakan pakaian batik saja. Di tahun-tahun
sebelumnya juga, ketika KJRI akan mengadakan acara bertema batik, selalu
bersamaan dengan persiapan acara besar lain seperti peringatan HUT RI, Hari
Sumpah Pemuda, dan Hari Pahlawan.
Jadi, pihak KJRI ingin agar acara peringatan Hari Batik itu, tidak hanya sekadar hari peringatan biasa, melainkan lebih bagus dan
menarik lagi terutama untuk menarik warga lokal. Maka dengan perekrutan
kami berdelapan yang juga bergabung dengan beberapa panitia dari pihak KJRI
lainnya, berharap acara yang akan mengadakan peragaan busana batik terbuka dan juga
perlombaan itu akan banyak mengundang
perhatian banyak diaspora dan juga warga lokal untuk ikut berpartisipasi.
Total panitia untuk acara ini sekitar 27 orang dari pihak KJRI,
dan 8 lainnya dari mahasiswa Indonesia, diantaranya adalah Kak Arianna (atau sapa saja
Kak Anna), Farida, Fikri, Gilang, Dhimas, Chandra, Eugene (terkadang ia dipanggil dengan ejaan ‘Yujin’), dan termasuk aku sendiri. Grup WhatsApp seperti yang ku
sebutkan sebelumnya pun sudah tergabung sejak 1 bulan terakhir. Rapat perdana
dan kedua pun sudah diadakan tiap akhir pekan pada akhir bulan lalu. Namun sayangnya, aku tidak
ikut serta dalam dua rapat perdana tersebut karena harus
menemui profesor yang lebih suka ditemui di Teater Broadway dan Radio City
Hall. Maka, rapat internal ketiga ini aku tidak boleh ketinggalan.
Setelah ingat apa yang harus ku lakukan malam
ini, aku bergegas ganti pakaian dan siap-siap menuju apartemen Kak Anna
yang sebenarnya jaraknya cukup jauh dari
apartemenku. Sekiranya dibutuhkan waktu 20 menit naik subway dan 10 menit
berjalan kaki.
Dalam perjalanan menuju apartemen Kak Anna
naik kereta bawah tanah, kebiasaan burukku muncul, membayangkan hal-hal yang
tidak penting. Parahnya aku menamai hal tersebut dengan istilah IMAJINASI.
Mulai dari membayangkan aku akan menjadi Sekjen PBB, menjadi salah satu orang
paling berpengaruh versi Majalah Times, bekerja sama dalam garapan produksi
film bersama Stephen Spielberg, atau berteman akrab dengan Sarah Jessica
Parker. Rasanya memang aneh. Aku bahkan tidak tahu apakah itu kebiasaan buruk
atau malah sebaliknya. Lebih parah lagi kalau aku mulai terbawa arus perasaan,
seperti menginginkan kekasih hati, saat itu pula aku merasa bumi ini seperti
ada di jaman batu, merasa sendirian dan kesepian.
Duh, kenapa harus membahas yang satu itu?
Baiklah, ku akui, aku tidak pernah berpacaran
sebelumnya. Payah.
Kalau teman dekat semacam gebetan misalnya?
Ya, sejak SMP aku cukup sering gonta-ganti
gebetan. Kalau bisa ku hitung, mungkin sekitar 27 kali aku
suka dengan teman laki-laki yang
berbeda-beda. Bukan karena aku yang pemilih atau tidak cocok dengan mereka,
hanya saja mereka semua yang tidak ingin didekati olehku. Kenapa semenyedihkan
ini? Entahlah. Tapi entah
mengapa pada
saat aku suka dengan 27 laki-laki tersebut, ada-ada saja kejadiannya, seperti ada yang sudah punya
pacar lah, ada yang suka dengan teman sebangkuku lah, ada yang seperti banci
lah, ada yang sok jual mahal lah, malah ada yang kepedean ketika ku dekati padahal aku hanya ingin
melihat catatan pelajaran Sejarahnya saja. Pokoknya banyak alasan
mengapa dulu aku tidak bisa lebih jauh daripada seorang penggemar rahasia.
Bagaimana kalau kencan? Untungnya aku pernah
satu kali kencan dengan seorang lelaki. Berarti aku normal kan?
Tapi kapan ya itu? Hmm, sepertinya 5 tahun
lalu. Astaga sudah 5
tahun rupanya.
Siapa dia ya? Kenapa aku lupa?
Oh ya, lelaki berkewarganegaraan Malaysia
keturunan Tionghoa itu. Namanya Adam yang kalau tidak salah nama belakangnya
Wang. Ya, Adam Wang, lelaki ganteng berparas oriental berkacamata itu adalah
ketua panitia program pertukaran pelajar di KDU College University, Penang, Malaysia.
Saat itu aku terpilih menjadi salah satu dari
5 orang tim Indonesia yang dikirim kampus almamaterku, Universitas Paramadina,
ke Penang Malaysia untuk mengikuti pertukaran mahasiswa jurusan Komunikasi
selama satu bulan.
Kala itu adalah kali pertamanya aku ke luar
negeri. Aku masih ingat betul betapa kampungannya diriku saat pertama naik
pesawat. Benar-benar mengerikan berada di dalam pesawat. Kalau saja tidak ada
pramugara yang tampan yang menawarkanku segelas jus jeruk sesaat setelah
turbulensi hebat selama 7 menit kala itu, aku pasti tidak akan mau lagi terbang
naik pesawat.
Sesampainya di Penang, Malaysia, semua begitu
menarik. Acara pertukaran pelajar pun berjalan dengan lancar. Tapi tidak
denganku di akhir pekan pertama di asrama. Aku terjangkit flu berat. Mungkin
penyesuaian udara. Padahal kalau dipikir-pikir Indonesia-Malaysia kan tidak
beda jauh. Tampak sama-sama di bagian Asia Tenggara dan dekat dengan garis
khatulistiwa dimana udara agak sedikit panas dari negara-negara tetangga
kami. Tapi memang tidak bisa
dibohongi, flu
berat makin parah. Bisa jadi
karena kelelahan selama minggu pertama itu. Alhasil, akhir pekan
saat itu aku gunakan untuk istirahat di kamar asrama sedangkan yang lain
menikmati liburan gratis keliling pulau Penang, terutama jalan-jalan menikmati ibukotanya, George Town, selama
seharian penuh. Sial.
Malam harinya tiba. Sudah pukul 19.00 waktu
setempat, tapi teman-temanku belum juga kembali ke asrama. Aku agak bosan.
Makan sudah, minum sudah, menelan
pil pahit hidup, hmm maksudnya pil pereda flu dan demam juga sudah, nonton TV kabel pun sampai bingung mau nonton acara
mana lagi. Hingga tak berapa lama ku dengar seseorang mengetuk pintu kamar
sebanyak tiga kali. Ini pasti Diana, Arumi, Ghina, dan Tommy. Dengan kondisi
tubuh masih lemas, ku bukakan pintu itu.
Ternyata tidak. Ku lihat sosok pria tinggi
175cm, mengenakan kemeja hitam, berkacamata Emporio Armani, celana jeans biru, dan
juga jas almamater berlogo KDU
College,
sudah berdiri dengan tampannya di depan pintu. Ya, itu Adam Wang! Astaga keren sekali dia!
Jujur saja, sejak awal aku melihat Adam, aku
terbawa arus imajinasi luar biasa yang membuatku berpikir kalau aku bisa memiliki hubungan
romantis dengan seseorang yang tampan seperti dirinya. Ya, untungnya itu hanya
imajinasiku saja.
Yang ku tahu, saat itu, Adam adalah mahasiswa
semester 5 yang berkebangsaan Malaysia keturunan Tionghoa yang tahun ini
menjabat sebagai ketua himpunan mahasiswa di jurusannya. Usut punya usut, Adam
ini gosipnya adalah anak pebisnis kaya raya di Malaysia. Bisnis Ayahnya
tersebar hingga ke seluruh penjuru Asia Tenggara dan Pasifik. Kantor pusatnya
saja di Hong Kong. Tidak heran ketika kami makan siang bersama di hari ketiga,
ia sempat menceritakan beberapa hal tentang Hong Kong di depanku dan
teman-teman Indonesiaku. Sepertinya ia sangat fasih di luar kepala. Konon
katanya pula, hampir setiap bulan ia pergi menemui Ayahnya yang bertugas di
kantor pusat bisnis keluarga di Hong Kong. Pun, adik perempuannya yang bernama Sophia katanya baru saja masuk kuliah
jurusan Ekonomi di The University of Hong Kong.
Setelah membukakan pintu, entah dari mana
asalnya, suasana menjadi canggung. Berdasarkan pengalaman, aku sudah familiar dengan yang namanya
memecahkan suasana seperti ini, aku pun memulai pembicaraan.
“You are Adam, right? Ada perlu
apa? Hm, I mean, what’s going on?”, tanyaku sambil berusaha
menahan senyum karena tersipu malu.
“Saya dengar dari kawan-kawan, kalau awak ni sedang
sakit. Benarkah?”, jawab Adam dengan aksen melayunya yang sangat kental.
“Ya, benar. But now, I feel better.
Thank you for asking”, jawabku dengan menggunakan bahasa Inggris karena
daripada aku salah menggunakan bahasa Melayu, nanti malah membuat moment
romantis menjadi hancur lebur.
“Well, since you’re not join with the
others to the city today, I have intention to invite you to walk around the
city tomorrow. But if you still need to take a rest, it’s okay.”, jelasnya.
“Tomorrow? City tour? Well, I know
tomorrow is the free day and everybody can explore to everywhere... But... I
still feel... Hmm... Yes, I’d loved to!”. Bodohnya dirimu, Yureka! Murahan
sekali!
“So, it does mean okay?” tanyanya yang
pasti terkejut mendengar keterusteranganku.
“Yeah. Why not?”, jawabku masih
sok-sokan tersipu malu.
“Really? Are you sure?”, tanyanya
sekali lagi agar aku terlihat konsisten.
“Yeah. What time?”, sambil menaruh
kedua tanganku ke kantung baju piyama biru bergambarkan beruang madu yang ku
pakai seharian saat sakit.
“It’s about 10 am? Is it too early for
you?”, tanyanya sambil mengernyitkan dahinya.
“Perfect! And only two of us. Got it.
Well, I’ll see you tomorrow. And thanks for inviting me”, respon ku penuh senyum
sumringah.
“Okay. See you tomorrow. Take a rest”,
tutup Adam lalu pergi.
Ya, aku memang bodoh mengapa langsung
mengiyakan penawarannya untuk jalan-jalan dengannya.
Dalam hatiku berperang: “Bodoh sekali kamu, Yureka. Memang kamu tahu Adam itu
siapa? Kalian saja baru kenal satu minggu. Itu pun ngobrol hanya pada waktu
makan siang dan malam saja. Lebihnya, kamu malah sibuk menepuk pundak Tommy
saat kesal akibat poin pada mobil balap virtual mu tak kunjung
bertambah. Tenang. Santai. Tarik
napas. Semoga
ini pertanda baik.”
Ya, aku tahu tawaran jalan-jalan Adam
menandakan bahwa rekorku menyendiri sudah terpecahkan. Sejak dulu memang aku
yang selalu mengajak laki-laki jalan duluan, tapi na'asnya tidak pernah
berhasil. Entah aku yang terlalu berani, atau mereka yang tidak punya perasaan
sama sekali ketika menolak tawaran gadis bawel nan aneh sepertiku. Semoga Adam
tidak seperti gebetan-gebetan ku terdahulu yang sok-sokan jual mahal.
Sehari kemudian, tepat pukul 9.00 pagi, entah
ada angin dari mana yang biasanya saat akhir pekan aku bangun siang, aku malah
sudah mandi dan rapih menggunakan baju bermotif bunga berwarna pink dan kuning.
Memoles wajah dengan bedak? Aku rasa aku
butuh sedikit. Juga pelembab bibir agar bibir ku tidak terlihat kering akibat
AC kamar asrama sepanjang waktu yang membuat kulit dan bibir kering.
Lalu rambut ikal sebahuku ini aku
apakan ya?
Di kuncir? Sepertinya ide buruk.
Baiklah di gerai saja dan diberi jepitan
untuk poni sepanjang 10cm-an ini. Tidak lupa kacamata oval berwarna hitam
metalik yang sudah menemani ku sejak setahun terakhir. Kutempelkan ke kedua
telinga lalu menempel indah di hidung setengah mancungku ini, dan, yap,
Sempurna!
Waktu sudah menunjukkan pukul 9.50, tapi
lagi-lagi ada yang mengetuk pintu. Haduh, itu pasti Adam! Baiklah tenang,
Yureka, semua akan baik-baik saja.
Sekali lagi ku lihat diriku di cermin. Sudah
rapih. Oke, pasti kencan ini akan berhasil.
Saat Diana, Arumi, dan Ghina masih tertidur
pulas, ku tinggalkan pesan di kertas yang berbunyi “Doakan gue guys. Ada cowok
ganteng dari negeri panda ngajak jalan-jalan. Cihuy!”
Saat ku buka pintu, benar itu Adam! Saat
melihatnya pagi itu, aku tambah meleleh dibuatnya. Berbeda dari pertama kali
aku melihat dirinya saat upacara pembukaan dan penyambutan mahasiswa-mahasiswa
program pertukaran pelajar tujuh hari lalu. Kala itu ia tampak lusuh dan belum
mandi. Mungkin tidak sempat tidur karena sibuk menangani acara ini. Meskipun
lusuh begitu pun aku sudah tertarik padanya apalagi saat ia memberikan
kata-kata sambutannya. Kharismatik!
Tapi Adam yang kulihat ini benar-benar
beda. Ia menggunakan kaos Polo putih dan celana pendek biru donker juga
mengalungkan kamera mahal layaknya fotografer profesional.
Jadi sebenarnya kita mau kencan kemana kalau
ia bawa kamera?
Lagi-lagi imajinasi ku mulai muncul ke
permukaan. Bukan, Yureka, kalian tidak akan foto pra-menikah. Bukan!
“Good morning, Yureka. Feel better?”
tanya Adam dengan ketampanannya.
“Morning. Yeah, of course. Shall...?” tanyaku yang kemudian
situasi romantis yang sudah diniatkan sebelumnya menjadi buyar karena
kedatangan tamu tak diharapkan. Ya, seseorang menghampiri kami, entah dari mana
datangnya.
“Hi, you must be Yureka?”, gadis
tinggi berwajah Arab datang menghampiri kami.
“Hi, who are you by the way? Adam, you
said that will be just two of us, right?” tanya ku heran seribu persen.
“Really? Did I say that? Hmm, I don’t think so.
Because.... So... well, this is Hamidah. She will be with us today. Because she
is the responsible for city touring activity, and me as a chief of your team,
and since you were not able to come to the city tour yesterday, so today, we
all will take you to walking around the city. It’s like recover your city tour
activity”,
terang Adam yang membuatku terbangun dari imajinasiku akan momentum romantis.
“And free of course!”, Hamidah
menyambar bagai petir. Lucu sekali.
“Hahahahahaha. Alright. Hmm. Yeah”,
aku bahkan tidak punya alternatif jawaban.
“Okay, shall we?”, Hamidah mengajak
kami semua untuk segera meninggalkan asrama.
“Okay”, bibir ku senyum tapi hatiku
180 derajat kebalikannya.
Sial, ternyata aku yang terlewat percaya
diri. Lagipula memang iya juga kalau Adam tidak memberikan pernyataan apapun
semalam apakah akan hanya kita berdua yang pergi atau tidak. Ternyata memang
tidak. Untung ‘penyusup’nya berjenis kelamin perempuan, jadi bisa saja
percakapan kami akan lumayan seru. Ya tahu sendiri kan kalau sesama perempuan
bisa jadi tidak secanggung yang dibayangkan.
Sepanjang hari itu kami menjelajahi pulau Penang. Senang sekali karena meskipun
aku seorang diri yang tidak ikut acara jalan-jalan kemarin, tapi sehari
setelahnya aku mendapat layanan premium dan menjadi tamu istimewa. Mobil yang
disediakan pun berbeda dengan yang mengantar teman-temanku kemarin. Mereka
pakai bus, sedangkan aku dapat mobil jenis SUV.
Sepanjang jalan, aku, Adam, dan Hamidah
ngobrol banyak. Mulai dari kegiatan kami masing-masing di kampus, bagaimana
rasanya menjadi anak Komunikasi, dan juga apa tujuan ku setelah lulus dari
sekolah Strata 1 ini. Kami juga membahas soal hobi kami masing-masing. Hamidah
yang terlihat sangat perempuan, ternyata suka musik rock and metal.
Tipe prianya juga dari kalangan militer. Pula warna kesukaannya yang hijau army
dan hitam. Aku semakin sadar mengapa kita tidak boleh menilai seseorang dari
luarnya saja. Ya, contohnya
seperti itu.
Beda dengan Adam. Ternyata ada banyak
persamaan antara aku dan Adam. Kami sama-sama suka makan olahan mie. Ya,
mungkin karena dia keturunan Tionghoa jadi dia sangat terbiasa makan mie. Terlebih dia kan sering ke
Hong Kong, pasti tidak asing di mata dan telinganya soal aneka mie. Beda
denganku yang suka mie karena sejak aku SD, gerobak mie ayam milik Pak Onar selalu lewat setiap hari bahkan mangkal di pos
satpam dekat rumahku. Aneh memang, tapi apapun
yang sudah terbiasa dan tidak asing sejak kecil pasti hanya ada dua pilihan;
bosan atau malah ketagihan.
Tidak hanya mie saja, ternyata ada persamaan lainnya yang kutemukan pada
diriku dan Adam bahwa kami sama-sama suka musik klasik! Aku jarang sekali
menemukan pria yang suka mendengarkan musik klasik. Ketika ia menyebutkan
komposer besar macam Frédéric Chopin, aku sontak teriak dan mengatakan “You
know him too?! No way!”. Dan ya, ia memang tahu dan sangat familiar dengan
karya-karya Chopin. Menurutnya memang siapa
yang tidak kenal Chopin, karya-karya Chopin selalu melekat di telinga penikmat
musik, khususnya musik klasik. Seketika suasana semakin hangat karena
akhirnya aku dan Adam tidak begitu dingin lagi ketika aku tahu ia suka hal-hal yang sama seperti denganku. Mungkin kala itu dalam
hati Hamidah bergumam kalau ia merasa seperti obat nyamuk di antara
nyamuk-nyamuk yang kasmaran.
Semakin sore, perbincangan semakin seru. Pada
akhirnya aku juga menjadi banyak berdiskusi dengan Hamidah karena ternyata ia
penyuka film sepertiku. Nah, kalau yang satu ini Adam bungkam. Sepertinya dari
gelagatnya, ia tidak suka menonton film.
Hari berlalu dengan cepat dan sudah mulai gelap, seharian sudah kami
bertiga jalan-jalan di kota George Town dan
saatnya kembali ke asrama. Aku sangat berterima kasih dengan Adam dan Hamidah
yang sudah menemani ku jalan-jalan seharian penuh itu. Meskipun ekspektasiku
jalan berdua dengan Adam dibantai habis dengan kenyataan bahwa Hamidah juga
ikut, tapi aku tetap bersyukur akhirnya aku menemukan teman baru di Malaysia. Lebih-lebih, aku jadi tahu sisi lain dari
seorang Adam yang tampan dan rupawan itu.
Saat berpisah, Hamidah harus segera meninggalkan aku
berdua dengan Adam di lobi asrama karena ia keburu sakit perut dan harus ke
kamar mandi secepat mungkin. Ku kira kami
akan berpisah di lobi, ternyata Adam mengantarkanku sampai depan pintu kamarku yang berada di lantai 2.
Benar-benar pacar idaman. Hmm, maksud ku pemimpin idaman. Ia bertanggung jawab
atas semua peserta program pertukaran
ini agar
semuanya dalam keadaan
yang sebaik-baiknya.
Setibanya kami di depan pintu, aku yang
buru-buru bilang “Good night and thank you for today”, Adam justru
mengatakan “Are you free in tomorrow’s evening? Around 7pm?”
Habislah aku, ia mengatakan itu lagi?
Mirip-mirip dengan tawarannya kemarin malam.
Jadi ini
sebenarnya ada apa? Aku dikerjai atau bagaimana?
Jangan berekspektasi macam-macam dulu,
Yureka. Tarik napas, dan pikirkan hal-hal nyata yang bisa saja terjadi.
((BERSAMBUNG))
Comments
Post a Comment